Hakikat Pendekatan Struktural Sastra

e) Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan bagian dari unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra. Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi adalah strategi, teknik yang secara sengaja di pilih pengarang untuk mengemukakan gagasan yang dalam suatu cerita karya sastra.

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukaakan gagasan dan ceritanya (Nurgiyantoro, 2005:248). Menurut Sumardjo&Saini (1988: 82) point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.

Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah sebagai pencerita Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah sebagai pencerita

pelakunya sebagai “aku”.

b) Teknik diaan, yaitu pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut

pelaku utama sebagai “dia”.

c) Pengarang serba tahu atau omniscient naratif, yaitu pengarang menceritakan segalanya dan memasuki berbagai peran bebas.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005:256-266), bahwa sudut pandang mempunyai banyak macam tergantung dari sudut pandang mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang yaitu:

1) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”, merupakan pengisahan seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya yaitu ia, dia, dan mereka. Sudut pandang “Dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan ketertarikan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “Dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “Dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.

2) Sudut pandang persona pertama: “Aku” Dalam pengisahan cerita yang mepergunakan sudut pandang persona pertama, first-person point of view, “aku”, jadi gaya “aku” narrator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkiash, mengisahkan kesadaran dirinya sendirinya, self- consciousness , mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.

3) Sudut pandang campuran Dalam hal ini, pengarang menggunakan kedua sudut pandang “aku” dan “dia” karena karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada si pembaca.

Sumardo&Saini memandang ada empat macam point of view yang asasi, yaitu:

1) Omniscient point of view (sudut penglihatan Yang Berkuasa). Dalam hal ini pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya.

2) Objective point of view. Dalam teknik ini pengarang bekerja seperti 2) Objective point of view. Dalam teknik ini pengarang bekerja seperti

3) Point of view peninjau. Dalam hal ini pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Tokoh bisa bercerita, mengenai pendapatnya atau perasaannya sendiri, tetapi terhadap tokoh-tokoh lain ia hanya bisa memberitahukan pada kita seperti apa yang dilihat saja.

Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja namun biasanya pemilihan bentuk- bentuk tersebut bersifat sederhana di samping hal itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu.

Penggunaan sudut pandang dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Hal tersebut dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan penginformasian, kebagusan cerita yang kesemuanya dipertimbangkan dapat dapat mencapai tujuan artistik (Nurgiyantoro, 2005: 250). Jadi dalam hal ini, penggunaan sudut pandang lebih dimaksudkan untuk menyampaikan maksud yang hendak dicapai oleh pengaranya dalam menciptakan sebuah karya sastra. Dalam membaca atau menikmati sebuah karya sastra, pembaca hendaknya dapat menangkap sudut pandang yang disuguhkan pengarang tersebut. Pembaca dapat dengan cepat menemukan hal-hal yang ingin disampaikan pengarang seperti ide, gagasan, nilai-nilai, sikap, kritik, dan lain sebagainya.