INFORMED CONSENT TINJAUAN PUSTAKA

bahwa tindakan dari direktur juga merupakan tindakan dan kehendak dari korporasi. Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal ini pertanggungjawaban sehingga ia tidak dapat disamakan dengan model pertanggungjawaban vicarious.

D. INFORMED CONSENT

Salah satu hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam rangka memperoleh persetujuan pasien adalah memberikan informasi terlebih dahulu , yang kita kenal dengan istilah Informed Consent yaitu suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas , sadar dan rasional setelah ia mendapat informasi yang dipahaminya dari dokter tentang penyakitnya. 19 Perlu ditekankan bahwa informasi yang dipahami oleh pasien artinya informasi itu disampaikan dalam bahasa pasien , bukan dengan bahasa atau istilah – istilah medik. Latar belakang diperlukannya izin pasien itu adalah karena tindakan medik yang dilakukan oleh dokter, hasilnya penuh dengan ketidakpastian uncertenty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik karena dipengaruhi oleh faktor – faktor lain yang berada di luar kekuasaan dokter, seperti misalnya kepatuhan pasien , kualitas obat dan sebagainya . Selain itu hampir semua tindakan medik mengandung resiko possibilityof bad consequence dan bahkan untuk tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. . 19 Guwandi , Trilogi Rahasia Kedokteran , Balai Penerbit FKUI, Jakarta , 1992 , hal 17 – 30 . Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medis menjadi mutlak diperlukan , kecuali pasien dalam keadaan emergensi . Informasi harus diberikan secara lengkap dan jelas mengenai tidakan medis yang akan dilakukan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi pasien atau keluargannya untuk mengambil keputusan yaitu menerima atau menolak tindakan medik . Hal – hal yang perlu diberikan dalam informed consent : 1. Alasan perlunya dilakukan tindakan medik 2. Sifat tindakan medik tersebut 3. Tujuan tindakan medik tersebut 4. Resiko tindakan medik 5. Ada tidaknya tindakan medik alternatif. D.1. Aspek – Aspek Hukum dari Informed Consent Pasal 53 ayat 2 Undang – undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan tentang hak – hak pasien, diantaranya adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik. Pelaksanannya diwujudkan dalam bentuk informed consent, sehingga setiap tindakan medik yang dilakukan tanpa informed consent merupakan pelanggaran hukum dan dokter dapat dituntut secara pidana atau perdata. Informed consent merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk suatu tindakan medik agar dokter tidak dapat dipersalahkan melakukan tindaka melanggar hukum. Dari sudut hukum pidana , informed consent harus dipenuhi dengan adanya Pasal 351 KUHP, yaitu tantang penganiayaan. Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat disebut penganiayaan dan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Menurut Leenen, tindakan dokter dapat dikecualikan dari perbuatan penganiayaan , yaitu : 20 a. Pasien telah memberikan persetujuan b. Tindakan tersebut merupakan tindakan medik berdasarkan indikasi medis. c. Tindakan medik tersebut dilakukan menurut kaidah ilmu kedokteran. Selain itu Pasal 89 KUHP juga berkaitan dengan tindak pembedahan yang memerlukan pembiusan , karena dikatakan dalam pasal tersebut bahwa membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya termasuk dalam tindak kekerasan. Leenen menambahkan bahwa dokter juga perlu menyampaikan mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medik tersebut, tetapi dalam hal resikonya dokter tidak mungkin menjelaskannya, hanya unsur – unsur umumnya yang perlu dijelaskan. Unsur – unsur itu meliputi : 21 a. Sifat nature 20 Crisdiono Achdiat, Pernik – pernik Hukum Kedokteran Melindungi Pasien dan Dokter, Widya Medika, Jakarta, 1996. 21 Ibid b. Tingkat keseriusan resiko tersebut c. Besarnya kemungkinan resiko tersebut . d. Jangka waktu kemungkinan timbulnya resiko Dalam keadaan emergensi, informed consent merupakan hal yang penting walaupun prioritasnya paling bawah. Prioritas yang utama adalah menyelamatkan nyawa, karena dalam situasi kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai waktu untuk menjelaskan sampai pasien menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Apabila dokter menunda operasi karena menunggu izin dan kemudian terjadi akibat serius dari penundaan tersebut, justru dokter dapat dituntut karena kelalaian. Oleh karena itu diperlukan kriteria keadaan yang dapat digolongkan sebagai gawat darurat, yaitu meliputi : a. Syok b. Perdarahan c. Patah Tulang d. Kesakitan D.2. Hakekat Informed Consent Hakekat dari informed consent adalah merupakan sarana legitimasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medik yang mengandung resiko serta akibat yang tidak menyenangkan dan hanya dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum atas resiko tersebut. Hakekat lain adalah merupakan pernyataan sepihak, bukan merupakan pernyataan dua pihak. Oleh karena itu dalam hal diberikan secara tertulis, maka hanya yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani pernyataan. Dalam pandangan hukum pidana, informed consent tidak dapat disamakan dengan ” consent of the victem ’’ dan tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atau penghapus pidana atas terjadinya malpraktek. American Hospital Association AHA merinci kondisi kegawatan medik menjadi : a. Kondisi Dianggap Emergensi Yaitu setiap kondisi yang menurut pendapat pasien , keluarganya atau orang – orang yang membawa pasien ke rumah sakit memerlukan perhatian medik segera. Kondisi ini berlangsung sampai dokter memeriksanya dan menemukan keadaan yang sebaliknya , pasien tidak dalam keadaan terancam jiwanya. b. Kondisi Emergensi Sebenarnya Yaitu setiap kondisi yang secara klinik memerlukan penanganan medik segera kondisi ini baru dapat ditentukan setelah pasien diperiksa oleh dokter.

E. KEGAWATAN MEDIK

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DENGAN HUKUM PIDANA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 213

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 149

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 165

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN CYBERPORN DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

1 4 338

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 211

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI WANG PERBANKAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 197

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PEDOFILIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

5 21 193

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Delik Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 136

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK KEDOKTERAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 23