Tinjauan Pustaka LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR

commit to user 37

2.2 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang terkait dengan mantra Jawa dilakukan oleh Soedjijono, dkk 1985 dengan judul penelitian ”Struktur dan Isi Mantra bahasa Jawa di Jawa Timur”. Soedjijono, dkk meneliti mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa Timur yaitu Magetan, Malang, Probolinggo, dan Banyuwangi yang memerikan struktur dan isi mantra Jawa di Jawa Timur sebagai kajian sastra lisan. Temuan yang menarik dari penelitian tersebut yaitu dari aspek kebahasaan mantra Jawa di Jawa Timur menggunakan alat kebahasaan khususnya alat keindahan. Alat-alat keindahan yang digunakan di dalam mantra, dapat disebutkan bahwa mantra menggunakan 8 delapan alat bahasa indah, yaitu kata sa roja , kata enta r , purwa kanti guru swa ra , purwa kanti guru sastra , purwa kanti luma ksita , da sa na ma , pralambang, dan kata khusus Soedjijono, 1985:96. Hefner 1985 meneliti komunitas Hindu Jawa di masyarakat Tengger, Bromo dengan judul “ Hindu Ja vanese : Tengger Tra dition and Isla m” dalam satu subbab dibuku itu ia menjelaskan tentang bahasa ritual yang digunakan oleh komunitas Hindu Jawa. Hefner menghubungkan antara kemajuran mantra effica cy dengan partisipan ritual. Hefner mengatakan bahwa kemanjuran doa ritual di Tengger tergantung pada aktor pembaca mantra, situasi, partisipan ritual dan relasi-relasi yang terkait dengan pagelaran ritual Hefner, 1985: 212-213. Keeler 1987 dalam satu subbab dibuku “ Ja vanese Shadow Pla ys, Ja va nese Selves” , ia juga membicarakan tentang mantra Jawa. Sebagaimana Hefner 1985, Keeler 1987 juga mengkaji kemanjuran mantra, Keeler 1987 menyatakan bahwa kemanjuran mantra yang ia menyebutnya sebagai the potency commit to user 38 of opa gue la nguage , terletak pada sugesti yang diberikan terhadap mantra tersebut Keeler, 1987:137-138. Baik Hefner maupun Keeler tidak menyebutkan faktor lingual yang menjadi kemanjuran mantra, tetapi faktor-faktor nonlingual yang menyebabkan kemanjuran mantra. Arps 1996a memaparkan kandungan kidung rumeksa ing wengi dengan judul makalah “ The Song Guarding at Night: Grounds for Cogency in a Ja vanese Inca ntation ”. Makalah yang secara tuntas mengupas penelusuran kidung rumeksa ing wengi dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Arps dengan tegas membantah argumen Hefner 1985 dan Keeler 1987, Arps 1996a mengatakan bahwa kemanjuran mantra tetap terkait dengan teks dan perangkat-perangkat lingual yang terdapat dalam teks mantra, tidak ada ritual, tanpa ada teks Arps, 1996a:65. Arps memaparkan sebagai berikut I propose that in the case of the Kidung Rumeksa ing Wengi, and probably other prayers as well, the text is not only the vehicle of its perceived efficacy but also the ultimate source of the perception of its efficacy. The former is obvious. The text is the vehicle of efficacy simply because this lingual composition is the only feature common to all valid employment of the Kidung Rumeksa ing Wengi. Without text there is no prayer Arps, 1996a:65 Saya mengusulkan dalam kasus kidung rumeksa ing wengi , dan mungkin teks lain yang sejenis. Teks tersebut tidak hanya sarana hadirnya kemanjuran, tetapi juga sumber dari persepsi kemanjuran. Hal itu sudah tampak jelas. Secara sederhananya teks merupakan sarana hadirnya kemanjuran karena komposisi lingual dari kidung rumeksa ing wengi . Tidak ada ritual, tanpa ada teks sebelumnya. Perangkat lingual kebahasaan yang terdapat dalam teks mantra merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam hal ini aspek kelingualan khususnya penggunaan repetisi mempunyai peran dalam membangun konstruksi mantra kidung Jawa. commit to user 39 Saputra 2007 meneliti mantra suku Using di Banyuwangi dengan judul ”Mantra Sa buk Ma ngir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi”. Saputra mengkaji Sa buk Ma ngir dan Ja ran Goya ng sebagai sastra lisan yang mencerminkan budaya masyarakat Using di Banyuwangi dengan tiga fokus penelitiaan yaitu perta ma konvensi struktural teks mantra Sa buk Ma ngir SM dan Ja ran Goya ng JG yang membahas unsur-unsur yang membentuk struktur tekstual SM dan JG. Kedua membahas aspek kelisanan mantra SM dan JG dari sisi formula, komposisi, performa nce , transmisi, dan transformasi. Ketiga memerikan fungsi mantra SM dan JG dalam konteks budaya masyarakat Using baik fungsi individual maupun fungsi sosial. Hartarta 2008 meneliti mantra pengasihan Jawa dengan judul penelitian ”Mantra Pengasihan Jawa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Modern di Wilayah Kabupaten Klaten Kajian Sosiologi Sastra”. Dalam salah satu simpulannya, Hartarta 2008:123 mengatakan fungsi mantra sangat luas tergantung jenis mantranya, khususnya untuk mantra pengasihan dalam penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan balasan cinta dari lawan jenis serta mempererat pergaulan. Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu terletak pada tiga hal: 1 fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek kebahasaan dari mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek kebahasaan pada umumnya yang terdapat dalam mantra Jawa. Dari kajian repetisi tersebut akan terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa, baik fungsi praktis kebahasaan maupun fungsi ideologis yang diembannya.2 penelitian terdahulu menggunakan mantra yang tidak bisa dilantunkan ditembangkan hanya bisa commit to user 40 dirapal dibaca. Hal ini menunjukkan bahwa mantra kidung mengindikasikan bahwa mantra tersebut mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat. Hal yang mempunyai kesamaan data dilakukan oleh Arps 1996a, tetapi Arps hanya mengkaji salah satu data yang terdapat dalam KPAA yaitu kidung ma ntra wedha atau kidung rumeksa ing wengi . Selain itu, Arps 1996a tidak mengkaji aspek kelingualan yang menjadi ciri khas mantra kidung apalagi penggunaan repetisi. Mantra kidung Jawa mempunyai maksud bahwa mantra kidung diperuntukkan untuk masyarakat biasa atau masyarakat pada umumnya, sehingga ia tidak hanya mengantarkan keampuhan mantra bagi penggunanya, tetapi mempunyai fungsi ideologis yang diembanya.3 mantra kidung Jawa ini bersumber dari KPAA bahwa penamaan mantra yang ada kata ‘ wedha ’ dalam KPAA merupakan interpretasi baru yang belum ada dalam buku atau kitab sebelumnya. Ketiga alasan inilah yang menjadi penyempurna dan pemerlengkap kajian terdahulu tentang mantra dari sudut pandang linguistik kebudayaan dengan ancangan puitika linguistik Jakobson.

2.3 Kerangka Pikir