Wahyu Widodo S111008019

(1)

commit to user

MANTRA KIDUNG JAWA

(KAJIAN REPETISI DAN FUNGSI)

TESIS

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Untuk Mencapai Derajat Magister

Oleh:

Wahyu Widodo

S111008019

MINAT UTAMA LINGUISTIK DESKRIPTIF

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

commit to user

i

MANTRA KIDUNG JAWA

(KAJIAN REPETISI DAN FUNGSI)

TESIS

Oleh Wahyu Widodo

S111008019

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. ... 12/11/2012 NIP 196203091987031 001

Pembimbing II Dr. Sudaryanto ... 9/11/2012 NIK 691 2002 258

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 20 November 2012

Ketua Program Studi S2 Linguistik Program Pascasarjana UNS

Prof. Drs.M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D NIP 196303281992011001


(3)

commit to user

KUTIPAN YANG MENGINSPIRASI

Ma ngertosipun sa lebeting na mpi weja ngan ing da lem buku punika

keda h: ka nti pa ngga lih ingkang tentrem, suci, teliti, wening. Boten

kenging grusa -grusu, sra ka h, reged ing pikir. Sada ya punika na mung

murih ka sa mba da ning sedya ingkang uta mi, a wit boten klentu

a nggenipun na mpi sura osing buku punika .

(Pengantar dalam KPAA).

A linguist dea f to the poetic function of la nguage a nd a litera ry

schola r indifferent to linguistic problems a nd unconversa nt with

linguistic methods a re equa lly fla gra nt anochronisms

(Roman Jakobson, 1960: 377).

Buku itu lahir di kesepian, dari renungan, diciptakan dari STUDI dan

SEMADI bertahun-tahun. Ia hasil dari kesinambungan sejarah: dari

mata rantai pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi

pembaca. Maka, Kebudayaan buku adalah kebudayaan mata dan

huruf, kebudayaan sunyi sepi. Itulah literacy, keberaksaraan yang

sungguh-sungguh.

(Disarikan dari “Dua Dunia” A. Teeuw, 1994: 288-298).

Hendaknya tidak terikat, berani ambil risiko, jangan tergoda jalan

yang mulus, hindari karirisme, tempuh jalan sendiri, dan kalau sudah

begitu, senantiasa awas, optimistis, dan setia pada kebenaran.


(4)

commit to user

Persenggamaan ilmiah ini akan berbuah janin naskah akademik

sebagai anak akademismu yang engkau beri nama TESIS. Asyik

masyuklah dalam erotisme membaca, menelaah, mengalisis.

Kesyahduan posemu untuk meniti larik dalam jalin makna akan

menentukan kualitas orgasme ilmiahmu. Timang-timanglah anak

akademikmu karena mencerminkan kualitas terdalam dari hidupmu.

(Kampus Kenthingan, Solo

UNS)

(Terinspirasi dari kuliah lisan Dr. Sudaryanto pada

matakuliah sintaksis dan metode linguistik)


(5)

commit to user

viii

ABSTRAK

Wahyu Widodo. S111008019 2012. Mantra Kidung Jawa (Kajian Repetisi dan Fungsi). TESIS. Pembimbing 1: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., II: Dr. Sudaryanto. Program Studi Linguistik. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui kekhasan aspek kebahasaan mantra kidung Jawa, (2) memaparkan bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa, (3) menjelaskan fungsi repetisi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa. Mantra kidung Jawa dalam penelitian ini bersumber dari Kitab Primbon Atasshadur

Adammakna (KPAA) yang terdapat 12 mantra yang berbentuk kidung (tembang).

Penyedian data yang bersumber dari dokumen (KPAA) dilakukan dengan menggunakan metode simak dan teknik catat. Penyedian data yang bersumber dari narasumber (informan) dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth

interview). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan analisis isi

(content analysis) melalui penahapan analisis domain, taksonomi, analisis komponen

dan penemuan tema budaya.Analisis repetisi menggunakan ancangan puitika linguistik Jakobson, sedangkan analisis fungsi menggunakan enam fungsi kebahasaan Jakobson. Temuan penelitian ini adalah (1) Kekhasan bahasa yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu adanya kata takbermakna, kata tabu, dan penjajaran bahasa Arab dan Jawa. (2) Bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu repetisi yang terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik. Selain itu, ada repetisi unik yaitu repetisi yang terjadi dalam multi-lapis secara serentak (3) Fungsi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi referensial, konatif, dan puitik. Fungsi referensial yaitu ada dua (a) memperkuat daya yakin bagi pembaca mantra. Keyakinan itu dapat tumbuh dengan penahapan identifikasi, internalisasi, dan implementasi, (b) Sebagai media dakwah Islam. Fungsi konatif yaitu dengan menggunakan verba imperatif yaitu sebagai bentuk pengusiran pada kekuatan-kekuatan jahat dan sebagai bentuk doa (panyuwunan) untuk menghadirkan keselamatan. Fungsi puitik yaitu adanya kata saroja dan aliterasi.


(6)

commit to user


(7)

commit to user

x

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS... iii

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL DAN BAGAN... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR 2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Mantra dalam Masyarakat Jawa ... 12

2.1.2 Pengertian Mantra ... 13

2.1.3 Jenis- Jenis Mantra... 14

2.1.4 Mantra dalam Kitab Primbon Jawa ... 16

2.1.5 Pengertian Primbon ... 18

2.1.6 Kitab Primbon Jawa ... 19

2.1.7 Mantra Kidung Jawa dalam KPAA ... 22

2.1.8 Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa ... 27

2.1.9 Fungsi Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa ... 34


(8)

commit to user

xi BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Data dan Sumber Data ... 44

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.4 Penyajian Data... 45

3.5 Sampel dan Teknik Sampling ... 48

3.6 Validitas Data ... 50

3.7 Metode dan Teknik Analisis Data... 51

3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 52

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data ... 53

4.1.1 Kekhasan Bahasa Mantra Kidung Jawa ... 53

4.1.1.1 Kata Tak Bermakna ... 54

4.1.1.2 Kata Tabu ... 58

4.1.1.3 Penjajaran Bahasa Arab dan Bahasa Jawa ... 60

4.1.2 Bentuk- Bentuk Repetisi ... 64

4.1.2.1 Repetisi Gramatikal ... 64

4.1.2.1.1 Pola S (F.Pron Pos) + P (FN/N) ... 68

4.1.2.1.2 Pola S (FN/N) + P (V.Impr)... 70

4.1.2.1.3 Pola P (V. Psf) + Pel. (FN/N) ... 72

4.1.2.2 Repetisi Leksikal ... 75

4.1.2.2.1 Frasa Pronomina Posesif ... 77

4.1.2.2.2 Verba Imperatif... 79

4.1.2.2.3 Frasa Nomina dan Nomina ... 82

4.1.2.3 Repetisi Unik ... 85

4.1.2.4 Repetisi Semantik ... 94

4.1.2.4.1 Sinonim ... 94

4.1.2.4.2 Medan Leksikal ... 96

4.1.3 Fungsi ... 98


(9)

commit to user

xii

4.1.3.3.1 Kata Saroja ... 108

4.1.3.3.2 Aliterasi ... 109

4.2 Pembahasan ... 111

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 114

5.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA... 118


(10)

commit to user

xiii

Tabel 1. Struktur Matriks Tembang Pangkur ... 23

Tabel 2. Struktur Matriks Tembang Dhandhanggula ... 24

Tabel 3. Nama Mantra dan Metrumnya... ... 24

Tabel 4. Makna Kata Kidung dan Kidungan di Jawa ... 27

Tabel 5. Repetisi pada Mantra Kidung Jawa ... 34

Tabel 6. Kata Tabu dalam Mantra Kidung Jawa ... 59

Tabel 7. Konstruksi Frasa Pronomina Posesif ... 76

Tabel 8. Pola Repetisi Unik ... 93

Tabel 9. Repetisi Semantik yang Bersinonim... 95

Bagan 1. Kerangka Pikir Mantra Kidung Jawa Kajian Repetisi dan Fungsi... 40


(11)

commit to user

xiv

Lampiran 1. Data Asli Mantra Kidung Jawa ... 127

Lampiran 2. Data Inti Mantra Kidung Jawa ... 165

Lampiran 4. Repetisi Gramatikal... 192

Lampiran 5. Rekapitulasi Repetisi Gramatikal ... 204

Lampiran 6. Repetisi Unik Multi-Lapis ... 206

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Inti Mantra Kidung Jawa ... 213


(12)

commit to user

xv SINGKATAN

F. Adj : kategori frasa adjektifal F. Adv : kategori frasa adverbial F. Prep : kategori frasa preposisional FN : kategori frasa nominal FV : kategori frasa verbal K : fungsi keterangan

KA : kidung ajiwedha

KB : kidung bagyawedha

KD : kidung darmawedha

KJ : kidung japawedha

KJi : kidung jiwawedha

KM : kidung mantrawedha

KR : kidung reksawedha

KS : kidung suksmawedha

KSa : kidung saktiwedha

KSe : kidung setyawedha

KY : kidung yogawedha

KW : kidung warawedha

KPAA : Kitab Primbon Athasshadhur Adammakna

Konj. : konjungsi

N : kategori nomina Num : kategori numeralia P : fungsi predikat

Pron. Pers : kategori pronomina persona Pron. Demns : kategori pronomina demonstratif Pron. Intro : kategori pronomina interogatif Pron. Pos : kategori pronomina posesif Pron. Reltf : kategori pronomina relatif Pel. : fungsi pelengkap

S : fungsi subjek O : fungsi objek V : kategori verba

V. Impr : kategori verba imperatif V. Akt : kategori verba aktif V. Psf : kategori verba pasif

TANDA

[ ] : konstruksi klausa // : penjedaan kalimat


(13)

commit to user


(14)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagian dari masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mempercayai adanya kekuatan adikodrati (supranatural) yang hadir dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Kemalangan hidup, segala malapetaka, segala penyakit dan serangkaian keburukan hidup lainya dapat ditolak eksistensinya melalui pembacaan mantra. Mantra tersusun dari konstruksi kata dan kalimat yang dipercaya memiliki daya magis bagi pembaca (perapal) atau pengamal mantra.

Mantra, secara leksikal, berarti pembacaan bunyi atau kata sebagai sarana ritual yang memiliki daya magis. Magis yaitu kekuatan supranatural yang hadir melalui praktik ritual tertentu. Mantra kidung Jawa berarti rangkaian kata dalam bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan atau disenandungkan dengan titi nada tertentu (verse form). Hal ini oleh Arps (1996a:47) disebut dengan ‘incantatory poems’ atau disebut juga dengan ‘mantra kekidungan’ atau ‘tetembangan’. Arps mengadopsi istilah ini dari Behrend (1987). Temba ng juga ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis, salah satunya yaitu mantra magis-religi (ma gico-religious inca ntations) (Arps, 2000:117).

Kidung sebagai mantra magis-religi didalamnya terdapat perpaduan antara sastra dan doa sebagai sarana ritual. Sastra berkaitan dengan bentuk tembang yang memiliki ciri khas keindahan dan keteraturan, sedangkan doa sebagai sarana permintaan kepada tuhan (panyuwuna n).


(15)

commit to user

Kidung (temba ng) dalam hal ini mengacu pada puisi Jawa tradisional yang mempunyai jumlah konvensi suku kata, jumlah baris dan irama. Dengan kata lain

temba ng terdiri atas unsur fonologis (konvensi suku kata) dan intonasi (jumlah

baris dan irama). Arps (1990:3) menggunakan istilah verse form untuk merujuk fenomena ini, karena secara bersamaan bentuk temba ng menentukan aspek fonologis, sintaksis, dan melodis secara serentak ketika temba ng dilantunkan

(these verse form govern a spects of the phonologica l and synta ctic shape of texts

a nd at the sa me time comprise melodies with which the texts a re recited). Untuk

itu, temba ng memiliki aturan (konvensi), yaitu guru wila nga n dan guru la gu.

Pengertian secara umum Guru wila ngan ialah ketentuan jumlah suku kata dalam satu baris suatu temba ng. Arps (1990:68) mendefinisikan guru wila nga n yaitu ketentuan jumlah suku kata pada setiap baris tembang (the count in question is the

number of sylla bles in verse lines). Guru la gu ialah ketentuan tentang vokal pada

akhir temba ng. Guru la gu dapat diiterpretasikan dua hal, perta ma, sebagai suara vokal pada akhir baris (a s voca lic sound the fina l vowel of that verse line). Kedua, sebagai suara fonem vokal dan alofon (the term of guru la gu ca n be chara cterized

in terms of vowel phonemes and a llophones) (Arps, 1990:69).

Mantra kidung Jawa tidak hanya dapat dilantunkan dengan melodi tertentu, tetapi ia juga dapat dianalisis melalui perangkat kebahasaan yang membangun mantra tersebut. Hal tersebut disebut ‘poetic rea ding’, yakni usaha untuk mengeksplorasi kenikmatan temba ng (lela ngena n), sedangkan yang kedua berfokus pada a na lytica l rea ding. Ana lytica l reading, yakni usaha untuk memahami teks temba ng sebagai bahan analisis untuk dikupas dan didalami


(16)

commit to user

kandungan unsur yang membangun. Hal tersebut bertumpu pada sebagaimana yang disimpulkan oleh Arps (1990:413) berikut kutipan lengkapnya temba ng verse is not a lwa ys sung. It can be spoken a s well. but voicing it a s song a nd

voicing it a s speech serve different ends. The first can be ca lled poetic a nd the

second a na lytica l.

Selain poetica l dan a na lytica l tidak menutup kemungkinan adanya

ma gica l reading, hal ini dilakukan untuk menyingkap dan menguak kandungan

magis yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Penelitian ini menggunakan

a na lytica l rea ding untuk menganalisis perangkat kebahasaan yang membangun

mantra kidung Jawa. Hal ini dipilih karena penelitian ini berfokus pada analisis tekstual mantra kidung Jawa khususnya penggunaan repetisi dan fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa.

Mantra kidung Jawa sebagai data dalam penelitian ini diambil dari Kita b

Primbon Atasadhur Ada mma kna (Sa mbetanipun Beta ljemur) (selanjutnya disebut

dengan KPAA). Dalam KPAA terdapat 12 macam mantra yang secara umum berisi tiga hal: perta ma, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala penyakit (sla met atau raha yu), kedua mendatangkan kekuatan adikodrati

(ka sekten), dan ketiga menghadirkan ketentraman dalam hidup (katentreman).

Secara khusus isi mantra dipraktikkan dalam kondisi dan situasi tertentu yang dihadapi oleh pembaca mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu perjalanan jauh, mendirikan rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai kondisi khusus lainya.


(17)

commit to user

Mantra tergolong sebagai bahasa ritual, maka ia banyak memiliki bentuk-bentuk repetisi. Repetisi merupakan karakteristik dari bahasa ritual sebagaimana dipaparkan oleh Gill (1981) menyatakan bahwa repetisi dan elaborasi dari elemen bahasa lain menjadi karakteristik yang dominan dalam bahasa ritual (dalam Keane, 1997:52). Menurutnya repetisi yaitu bentuk pengulangan dan elaborasi (penjajaran bahasa dari dua bahasa) menjadi ciri khas bahasa ritual.

Becker (1998:84) dalam The linguistics of Pa rticula rity: Interpreting

Superordination in a Ja vanese Text menerangkan bahwa repetisi dan reduplikasi

-melalui pengulangan sebagian atau keseluruhan- yang ia istilahkan strategi repetisi telah menjadi karakter estetika Jawa dan Asia Tenggara pada umumnya. Apa yang dipaparkan oleh Becker (1998) menandaskan bahwa repetisi menjadi ciri khas yang melekat pada estetika Jawa. ‘Strategi pengulangan’ sebagaimana Becker istilahkan mengemban penanda penting bahwa dibalik strategi pengulangan terdapat makna tertentu baik itu penegasan, penguatan dan penjelasan atau mungkin keindahan. Tannen (2007:46), seorang murid dari Becker yang menekuni repetisi dalam percakapan, mengatakan senada dengan gurunya bahwa repetisi sebagai sebuah strategi pengulangan mempunyai makna menghubungkan jalinan setiap unsur yang terdapat dalam kohesi teks melalui pengulangan leksikal.

Gonda (1988:190) pada saat mengulas mantra Sata patha -Brahma na

mengatakan bahwa gaya yang mencolok dari mantra Sa ta patha -Brahmana yaitu mengulang-ulang penjelasan dengan maksud yang sama pada posisi akhir dan pada posisi yang lain. Gonda memberi penekanan bahwa repetisi dalam mantra


(18)

commit to user

Sata patha -Bra hma na menjadi stylistic peculia rities, yaitu mengulang makna dan

pikiran yang sama melalui gaya repetisi yang khas (Gonda, 1988:264).

Senada dengan Gonda (1988), Yelle (2003:11) juga memberi pernyataan yang sama pada saat mengulas mantra Tantra Hindu ia mengatakan bahwa mantra tidak hanya mengulang, tetapi berulang-ulang(ma ntra s a re not only repeated, but

repetitive). Hal ini mempunyai maksud bahwa pengulangan menjadi ciri khas

mantra. Widodo (2011a) sewaktu menganalisis aspek tekstual dan gramatikal pada mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi atau Kidung Mantra wedha menunjukkan bahwa aspek gramatikal yang dominan yang ditemukan dalam Kidung Rumeksa

Ing Wengi yaitu aspek pengacuan (referensi), sedangkan aspek leksikal yang

dominan yaitu aspek repetisi. Repetisi dalam kajian tersebut mengacu pada pengertian pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks tuturan (Sumarlam, 2010:35).

Repetisi sebagai kekhasan dalam mantra patut untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam, karena repetisi mempunyai andil dalam menggerakkan daya keyakinan (cogency) bagi pengamal mantra. Bentuk-bentuk pengulangan dengan menggunakan varian satuan lingual yang dibaca secara berulang-ulang akan menimbulkan keampuhan atau kemanjuran (effica cy; ma ndhi; manjur) (periksa Widodo, 2012a). Repetisi bukan salah satu unsur dalam mantra yang menghadirkan kemanjuran, tetapi ia bagian yang utama dalam mewujudkanya. Brown (2000:223) menegaskan bahwa repetisi merupakan titik sentral dalam membangun sistem semiotik. Bertalian dengan mantra, repetisi menjadi spirit


(19)

commit to user

penggerak dalam membangun keutuhan struktur dalam artian memenuhi persyaratan kidung sekaligus juga membangkitkan sugesti bagi pengamal mantra. Pengkajian ini bertolak dari repetisi sebagai kekhasan kebahasaan yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yang pada akhirnya dapat menjelaskan fungsi kelingualan dalam mantra kidung Jawa.

Repetisi dalam isu linguistik di Indonesia seringkali terkait dengan ‘gaya bahasa’ yang berfungsi penegasan (periksa Keraf, 1994: 127-128 ; Ratna, 2009 : 206), bukan sebagai ‘gejala bahasa’. Sehingga repetisi lebih cenderung bersifat sastrawi, ia dalam artian lebih pada pengkajian sastra. Berkaitan dengan hal mantra, pengkajianya banyak dilakukan sebagai kajian sastra lisan. Sebagaimana dilakukan oleh Soedjijono (1985), Saputra (2007), Vidiyanti (2009) pendekatan kajian mereka bertumpu pada kajian ‘formula’ dan ‘ungkapan formulaik’. Formula adalah ” a group of words which is regula rly employed under the sa me

metrica l conditions to express a given essentia l idea” (kelompok kata yang secara

teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki), sedangkan ungkapan formulaik adalah “a line or ha lf line

constructed on the pattern of the formula s” (larik atau separuh larik yang disusun

atas dasar pola formula) (Lord, 1971:30).

Tujuan kajian tersebut pada akhirnya membuktikan jejak-jejak kelisanan (residu kelisanan) dalam mantra (lihat Ong, 1982:11). Kelisanan dalam mantra merupakan sebuah keniscayaan karena ia bagian dari tradisi lisan yang berkembang dengan ‘mulut bersambut’ atau ‘tutur tinular’ (lihat Sutarto, 2011a:6 ; 2011b: viii). Singkat kata, transmisi mantra dalam ruang kultural kelisanan yang


(20)

commit to user

pekat, maka sebuah keniscayaan pula dalam bentuk formalnya unsur kelisanan itu masih tampak.

Penelitiaan ini mengkaji bentuk bentuk repetisi dan fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Analisis repetisi pada mantra kidung Jawa bertumpu pada apa yang dipaparkan Jakobson (1960:358) mengatakan bahwa projecting the principle of equiva lence from the a xis of

selection into the a xis of combination. Proyeksi dari prinsip keseimbangan dari

poros sintagmatik dan poros paradigmatik. Secara struktural mempunyai implikasi bahwa hasil proyeksi tersebut muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif yang terdapat dalam tataran gramatikal, leksikal, dan semantik. Tataran gramatikal yaitu terjadinya pengulangan bentuk dengan pola sintaksis yang sama, sedangkan pada tataran leksikal terjadi pengulangan bentuk leksikal (kata maupun frasa) dengan kategori yang sama. Pada tataran semantik mempunyai maksud bahwa pengulangan makna tersebut dengan menggunakan satuan lingual yang berbeda dan pengulangan makna tersebut masih dalam jangkauan medan leksikal yang sama dan relasi makna yang sama (sinonim).

Secara ringkas pengulangan tersebut terjadi pada semua lapis kebahasaan sebagaimana dipaparkan Jakobson (1966:399) on every level of la ngua ge the

essence of poetic a rtifice consists in recurrent returns. Dari pemaparan repetisi

tersebut yang menarik dan menjadi kekhasan dalam mantra kidung Jawa yaitu adanya pengulangan yang terjadi pada ketiga dimensi atau ketiga cakupan yaitu gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak dan seimbang. Jadi, repetisi


(21)

commit to user

tersebut muncul bukan karena fenomena ke-gaya-an bahasa, tetapi lebih dampak dari upaya pengungkapan prinsip keseimbangan.

Seruntut dengan kajian repetisi di atas, fungsi dalam hal ini merujuk pula pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson (1960) tentang enam fungsi kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2) konatif (a ppella tive) (3) metalingual (meta linguistic,'glossing') (4) puitik (a esthetic) (5) referensial

(cognitive, denotative, ideationa l) (6) phatis (Jakobson, 1960:357). Dari keenam

fungsi bahasa tersebut digunakan untuk menganalisis fungsi-fungsi kebahasaan yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yang berfokus pada penggunaan repetisi. Ada tiga fungsi yang dominan dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi referensial, puitis, dan konatif. Ketiga fungsi tersebut bekerja pada jalur penyampai pesan (referensial). Fungsi referensial disini terdapat dua pemilahan fungsi, yaitu fungsi repetisi dan fungsi mantra kidung Jawa itu sendiri dalam dimensi sosialnya. Fungsi puitis berfokus pada perangkat keindahan mantra kidung Jawa (puitis), dan fungsi konatif berfokus pada mitra tutur atau interlokusi melalui bentuk verba imperatif (konatif) yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Ketiga fungsi tersebut membangun keutuhan mantra kidung Jawa secara memadai.

Penelitian mantra Jawa baik yang dilakukan sarjana Barat maupun sarjana Timur telah banyak memberi kontribusi bagi pengkajian bahasa Jawa, sastra lisan dan antropologi budaya Jawa. Bermula dari Soedjijono dkk, (1985) yang meneliti mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa Timur yaitu Magetan, Malang, Probolinggo, dan Banyuwangi. Fokus kajiannya yaitu pada analisis struktur dan


(22)

commit to user

isi mantra Jawa di Jawa Timur. Hefner (1985) yang meneliti bahasa ritual di komunitas Hindu Jawa di Bromo. Keeler (1987) yang memaparkan mantra Jawa sebagai bagian studi etnografinya tentang masyarakat Jawa. Baik Hefner (1985) dan Keeler (1987) tidak menjadikan mantra sebagai kajian sentral, tetapi mantra hanya bagian dalam lanskap kebudayaan Jawa. Selain itu, Saputra (2007) mengkaji mantra Sa buk Ma ngir dan Ja ra n Goya ng sebagai sastra lisan yang mencerminkan budaya masyarakat Using di Banyuwangi. Hartarta (2008) mengkaji mantra pengasihan Jawa dengan pendekatan sosiologi sastra.

Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu terletak pada tiga hal: perta ma, fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek kebahasaan dari mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek kebahasaan pada umumnya yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Dari kajian repetisi tersebut akan terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa, baik fungsi praktis kebahasaan maupun fungsi ideologis yang diembannya.

Kedua, penelitian terdahulu menggunakan mantra yang tidak bisa dilantunkan

(ditembangkan) hanya bisa dirapal (dibaca). Hal ini menunjukkan bahwa mantra kidung mengindikasikan bahwa mantra tersebut mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat. Hal ini mempunyai maksud bahwa mantra kidung diperuntukkan untuk masyarakat biasa atau masyarakat pada umumnya, sehingga ia tidak hanya mengantarkan keampuhan mantra bagi penggunanya, tetapi mempunyai fungsi sosial ideologis yang diembanya. Ketiga, mantra kidung ini bersumber dari KPAA bahwa penamaan mantra yang ada kata ‘wedha ’ dalam KPAA merupakan interpretasi baru yang belum ada dalam buku atau manuskrip


(23)

commit to user

kuno sebelumnya (periksa Arps, 1996a:104-108). Atas dasar latar belakang tersebut, penelitiaan ini memaparkan dan menjelaskan “Mantra Kidung Jawa” yang terdapat dalam KPAA dengan fokus kajian pada penggunaan aspek repetisi dan fungsi yang terkandung.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas rumusan masalah sebagai fokus penelitian sebagai berikut

1.2.1 Bagaimanakah kekhasan aspek bahasa pada mantra kidung Jawa ? 1.2.2 Bentuk-bentuk repetisi apa sajakah yang terdapat dalam mantra

kidung Jawa ?

1.2.3 Bagaimanakah fungsi repetisi dalam mantra kidung Jawa ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat ditarik tujuan penelitian sebagai berikut.

1.3.1 Mengetahui kekhasan aspek kebahasaan mantra kidung Jawa.

1.3.2 Memaparkan bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa.

1.3.3 Menjelaskan fungsi repetisi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa.


(24)

commit to user

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terutama adalah usaha untuk mendeskripsikan penggunaan repetisi pada mantra kidung Jawa dalam KPAA yang dapat dibedakan secara teoretis dan praktis. Secara teoretis penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Memberikan kontribusi ilmiah di bidang analisis wacana dari aspek leksikal: khususnya penggunaan repetisi dalam mantra kidung Jawa dan memberikian kontribusi bagi pengkajian register bahasa ritual Jawa pada umumnya.

1.4.2 Memberikan referensi yang mendalam mengenai fungsi repetisi pada mantra kidung Jawa khususnya fungsi repetisi. Memberikan kontribusi fungsi kebahasaan Jakobson yang digunakan dalam mantra kidung Jawa. 1.4.3 Memberikan perspektif akademik terhadap primbon Jawa khususnya mantra

kidung melalui perspektif linguistik deskriptif, tidak sekadar melihat primbonmelalui pendekatan mitis dan irasional.

Secara praktis penelitiaan ini memberi manfaat sebagai rujukan tentang pengkajian penggunan repetisi mantra kidung Jawa dan memberi manfaat bagi praktisi mantra Jawa, budayawan, dan pengamal mantra sebagai salah satu daftar acuan tentang pemanfaatan repetisi mantra Jawa khususnya dalam KPAA dan mantra dalam umumnya.


(25)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR

2. 1 Landasan Teori

2.1.1 Mantra dalam Masyarakat Jawa

Saidi (2003:3) mengatakan pandangan hidup orang Jawa, dikuasai oleh tiga ide yang paling mendasar, yaitu (1) ide sa kti dan mana bahwa ada suatu kekuatan gaib yang dipunyai oleh seorang manusia istimewa, seperti raja dan pandai besi (empu). Sakti ini dapat diperkuat dengan tapa, dan juga dengan kata-kata mantra, buku-buku atau lontar yang dikarang oleh pujangga keraton (istana). (2) Ide percaya kepada taa l ma gies, bahwa isi kata-kata dapat memengaruhi keadaan dunia melalui mantra, maka seorang pendeta bahasa (taa l priester) dapat memengaruhi jalan dunia. Sebab ’kata’ itu identik dengan benda yang ditandai dengan kata tersebut. Siapa yang menguasai ’ kata’, maka akan menguasai benda-benda atau anasir-anasir lain yang dinyatakan dengan kata-kata itu. (3) semua anasir, kenyataan, benda, bayangan-bayangan rohani itu dibagi dalam klasifikasi kosmos. Misalnya, gelap terang, baik-jahat, pa ngiwa -panengen dan sebagainya.

Mantra berkaitan erat dengan kepercayaan taa l ma gies karena mantra tidak hanya konstruksi kata dalam larik saja, tetapi mengandung daya magis tertentu. Daya magis tersebut dapat diaktivasi oleh pengamal mantra. Hal ini terkait erat dengan penghayat mistik atau kebatinan yang telah dihayati oleh sebagian masyarakat Jawa.


(26)

commit to user

2.1.2 Pengertian Mantra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mantra didefinisikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (Alwi, dkk, 2002:713). Poerwadarminta (1955:142) mengatakan bahwa mantra dikenal dengan istilah kalimat magis (ma gic sentence) kontruksi kalimat yang membawa daya magis bagi pengamal mantra atau pembaca mantra.

Istilah mantra sangat akrab dikenal dalam lingkungan Hindu dan Budha. Dua agama tersebut menjadikan mantra sebagai sarana peribadatan, mantra dianggap sebagai teks suci (sa cred text) (Yelle, 2003:3). Lebih lanjut Yelle (2003:9) mengatakan dalam tradisi tantra mantra berarti hasil dari kontemplasi (mananā ) lalu seseorang memeliharanya (trāyate). Mantra diturunkan dari akar verba ma n yang berarti berpikir atau merenung, dan mendapat sufiks (akhiran) tra

yang berarti ‘sebagai sarana berpikir atau merenung’ (an instrument of thought). Mantra sering dieja ma n-te-ra adalah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan dapat menimbulkan kuasa gaib atau jampi (Soedjijono, 1985:24). Koentjaraningrat (1981:177) menyebutkan bahwa mantra merupakan unsur penting di dalam teknik ilmu gaib (ma gic). Mantra berupa kata-kata dan suara-suara yang sering tidak berarti, tetapi yang dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk. Mantra kidung Jawa dalam penelitian ini, artinya rangkaian kata dalam bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan atau disenandungkan dengan titi nada tertentu (verse form).

Mantra yang terdapat dalam KPAA merupakan mantra yang bersinggungan dengan tradisi agama Islam hal ini terlihat jelas dalam kidung


(27)

commit to user

ma ntra wedha yang didalamnya tersebut nama-nama nabi dan rasul agama Islam

(periksa Widodo, 2011a). Di mantra kidung setya wedha di dalamnya berisi rukun iman yang dikemas dalam metrum dhanda nggula (periksa Widodo, 2012a). Dari pemaparan pengertian mantra di atas, mantra kidung Jawa dalam penelitian ini mempunyai batasan yaitu konstruksi kalimat (kata, frasa, dan klausa) yang mempunyai daya magis bagi pengamalnya dan mantra tersebut dapat dilagukan dengan titi laras tertentu (metrum atau verse form).

2.1.3 Jenis- Jenis Mantra

Hien (2009:163) membagi mantra dalam tiga jenis, yaitu

1. Pa nula ha n atau paneluhan yaitu mantra untuk menolak kehadiran dan

pengaruh setan, hantu dan roh jahat, atau untuk memanggil dan memohon roh-roh yang baik, (2) Ja mpe yaitu mantra untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan rerumputan, hujan, angin dan sebagainya, (3) Ra ja h atau doa dalam bentuk riwayat raja dan pangeran. Di tanah Sunda, riwayat raja diceritakan dalam bentuk pantun diyakini memiliki kekuatan penolak bala.

Hartarta (2010: 43-47) membagi mantra berdasarkan fungsi atau gunanya sebagai berikut: (1) Ma ntra penga sihan yaitu mantra yang memiliki kekuatan untuk memikat lawan jenis atau objek sasaran tertentu yang menjadi sasarannya. Objek sasaran akan terpesona dengan sang pengamal mantra. (2) Ma ntra

ka nuragan juga disebut dengan mantra aji-aji untuk mencapai kekebalan tubuh

(a tosing ba lung, uleting kulit). (3)Ma ntra ka suksma n yaitu mantra yang terdapat

dalam olah batin atau pendakian ke alam batin yang esoteris. (4)Ma ntra pertanian


(28)

commit to user

menanam, memetik panen untuk mencapai keselarasan dengan alam. (5) Ma ntra

pengla risan yaitu mantra yang digunakan untuk menarik datangnya rejeki melalui

jalur perniagaan. (6) Ma ntra panyuwuna n yaitu mantra yang digunakan pada saat kegiatan-kegiatan tertentu untuk memperoleh keselamatan, misalnya, mendirikan rumah, menggali sumur, menebang pohon, dan sebagainya. (7) Ma ntra pa nula ka n

yaitu mantra yang digunakan untuk melindungi diri dari gangguan-gangguan orang-orang jahat dan makluk halus untuk memperoleh keselamatan. (8) Ma ntra

pengobatan yaitu mantra yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit

tertentu atau yang lebih dikenal dengan metode rukyah dan juga sewaktu pemasangan susuk. (9) Ma ntra tra wa ngan/sorog yaitu mantra yang digunakan untuk menembus dimensi alam lain (alam astral). (10) Ma ntra pa nga la rutan yaitu mantra yang digunakan untuk meredam amarah atau emosi seseorang. (11)

Ma ntra sirep atau pa nglerepa n yaitu mantra yang digunakan untuk menidurkan

seseorang dalam jangka waktu tertentu (hipnotis).(12) Mantra pa ngra cuta n yaitu mantra yang digunakan untuk melarutkan ilmu seseorang ketika menjelang ajal. Mantra (13) dha nya ngan yaitu mantra yang digunakan untuk berkomunikasi dengan roh-roh tertentu.

Mantra kidung Jawa dalam penelitian secara umum berisi tiga hal:

perta ma, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala penyakit (sla met

atau raha yu), kedua mendatangkan kekuatan adikodrati (ka sekten), dan ketiga

menghadirkan ketentraman dalam hidup (katentrema n). Secara khusus isi mantra dipraktikkan dalam kondisi dan situasi tertentu yang dihadapi oleh pembaca


(29)

commit to user

mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu perjalanan jauh, mendirikan rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai kondisi khusus lainya.

2.1.4 Mantra dalam Kitab Primbon Jawa

Banyak sekali jenis-jenis mantra yang beredar di wilayah nusantara khususnya Jawa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Mantra yang tidak tertulis artinya mantra tersebut terdapat dalam ingatan kognitif para dukun di Jawa. yang hanya diwariskan secara terbatas melalui murid-muridnya dan tamu pilihanya, sedangkan mantra yang tertulis secara masal dan dipublisikan yaitu mantra yang terdapat dalam kitab primbon.

Dukun adalah orang yang dianggap memiliki ilmu gaib atau science

occult dan dianggap sebagai ‘orang tua’, yaitu orang yang bisa memberi

pertolongan kepada orang lain. Woodward (2011:71) mengatakan bahwa dukun

juga merujuk pada pitulung (helper), ahli kebatinan (mystic), ahli ngilmu Ja wa (expert in Ja vanese science), wong tuo (elders), wong pinter/ngerti (sma rt person). Kondisi kekinian mereka juga sering disebut “paranormal” (pa ranorma ls) atau praktisi penyembuhan alternatif (pengobatan a lternative).

Dukun merupakan pekerjaan profesi seperti dukun bayi, dukun pijat, dukun sunat,

dukun khitan, artinya sesorang yang memiliki keahlian mengurus bayi, memijat

orang lain dan mengkhitan anak. Pedukunan disini adalah masalah yang ada hubunganya dengan masalah kebatinan, yaitu menyangkut mempunyai kelebihan atau kekuatan dibanding manusia normal (Hanif, 1992:16-20). Selain itu, dukun

bukan gelar yang diperoleh dari sekolah atau akademi, ia merupakan pemberian dari masyarakat karena masyarakat merasa tertolong dan terbantu dengan


(30)

commit to user

kehadiran dukun. Dalam praktik kesehariannya dukun biasanya menggunakan kitab primbon sebagai pedoman atau pegangan (guide books), dalam menjalankan tugasnya, yaitu membantu sesama : menentukan hari baik untuk hajatan pernikahan sampai dengan menentukan waktu hubungan badan suami istri agar mendapat benih yang unggul (Woodward, 2007:75), mendirikan rumah, menambah kekuatan dan keperkasaan, bahkan preman (ba ndit) mendatangi dukun

untuk menambah kekuatan. Hal ini sebagaimana dinarasikan oleh Till (2011:96) :

A report dating from 1888 (which refers to centra l Ja va rather tha n Ba ta via ), describes at visit to the dukun. At his first visit, the client ha nded over a 5o-cent coin from which a n a mulet would be forged. During this and subsequent visits to the dukun, incense would be burned and incantations recited from a primbon, a Ja va nese book of mysticism rather like a n a lma na c. Although the concultation wa s free of cha rge, the dukun would urge the a spiring miscreant: ‘remember the old dukun’. The a ccount states that dukuns tended to be quite prosperous a s result, a nd could pa y the

60-guilder fine imposed for these disreputa ble pra ctises without blinking.

Sebuah laporan yang berasal dari tahun 1888 (yang lebih mengacu Jawa Tengah daripada Batavia), menjelaskan pada sebuah kunjungan ke dukun. Pada kunjungan pertamanya, klien menyerahkan koin 50 sen yang akan ditempa menjadi jimat. Dan dalam kunjungan berikutnya, dukun akan membakar dupa lalu dukun membacakan mantra yang diambil dari primbon, sebuah buku mistik Jawa yang mirip seperti almanak. Meskipun konsultasi itu gratis, dukun akan mendesak kepada calon bandit : ‘ingat sang dukun tua’. Hal itu menyatakan bahwa dukun ikut menentukan dalam kesuksesanya dan pada akhirnya membayar 60 gulden yang dikenakan untuk praktek-praktek jelek tanpa berkedip.

Cerita di atas secara implisit menegaskan bahwa pembacaan mantra yang dilakukan oleh dukun bersumber dari kitab primbon.

Soedjijono, dkk (1985:15) mengatakan bahwa mantra ada yang tertulis pada lempengan tanah liat, batu, rontal, buku suci, buku mantra atau buku-buku primbon. Sementara itu, ada mantra yang tidak terpublikasi secara luas, melainkan


(31)

commit to user

hanya dimiliki oleh pemilik-pemilik mantra tertentu. Mantra kidung dalam penelitian ini yaitu mantra yang terdapat dalam kitab primbon.

2.1.5 Pengertian Primbon

Primbon adalah kitab yang berisikan (perhitungan hari baik, hari naas); buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib (rajah, mantra, doa, tafsir mimpi) sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur untuk mengadakan selametan, mendirikan rumah, memulai perjalanan dan mengurus segala macam kegaitan yang penting, baik bagi perorangan maupun masyarakat.

Subalidinata (dalam Sarworo 2008:7) menduga bahwa kata ‘primbon’ berasal dari kata dasar ‘imbu’ yang diberi awalan pa ri- atau per- dan akhiran –a n, jadi, “pari/per-imbu-an”. Imbu berarti simpan atau peram. Sehingga, parimbon ‘perimbon’ atau primbon berarti sesuatu yang disimpan. Dapat juga diartikan sebagai tempat simpan-menyimpan. Tempat itu berupa kitab atau buku. Materi yang disimpan di dalam kitab tentu saja informasi-informasi dan pengetahuan-pengetahuan penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Arps (1999:437) menduga primbon sebagai kumpulan dari ca theta n ‘tulisan tangan’ atau compendium. Jadi, primbon mempunyai maksud pengetahuan mistik yang terus diperbarui, karena Arps menduga bahwa akar kata dari primbon yaitu

imbuh ‘tambah’. Artinya catatan yang terus menerus diperbarui manakala ada


(32)

commit to user

2.1.6 Kitab Primbon Jawa

Dari ragam pengertian primbon di atas pengertian dari Subalidinata (2008) lebih mewakili dari makna primbon yang sesungguhnya. Primbon bermakna sesuatu yang disimpan. Primbon pertama kali adalah tradisi lisan yang diwejangkan oleh sesepuh pinisepuh Jawa yang mumpuni atau ja lma limpat

seprapat ta mat, yaitu orang yang menguasai ilmu waskita yang mampu membaca

semiotika alam (tanda-tanda alam) yang diajarkan turun-temurun melalui proses esoteris dan laku batin tertentu (melalui beragam tirakat).

Kitab primbon pada awal mulanya adalah teks yang bersifat privat dan rahasia. Ia hanya dapat diberikan kepada seseorang melalui transmisi keguruan (jalur berguru) melalui sesepuh atau dukun. Selain itu, kitab primbon adalah kumpulan dari catatan lepas (kompendium) yang dihimpun oleh seorang pinisepuh dari berbagai sumber. Isi kitab primbon secara umum berisi ka weruh

esoteris magis, yaitu ilmu magis yang diperoleh melalui beragam praktik asketik

(la ku), seperti, mantra, ra ja h, perhitungan hari baik dan buruk, serta pengetahuan

magis lainya. Upaya penulisan kitab primbon adalah untuk memberikan warisan kepada generasi yang akan datang. Tujuan penulisan tersebut secara implisit tertulis di sampul depan (cover) KPAA sebagai berikut.

ngewrat ilmu-ilmu ingka ng ta ksih ginaib ingkang dereng ka sumereba n dening nga katha h pepethikan sa king rupi-rupi primbon Ja wi serata n kina , ngengingi ka wruh ula h ka batosa n wa jib kita pepetri, sinten mangertos bilih ing tembe wingking kathah piguna nipun.

(KPAA memuat ilmu-ilmu yang masih gaib (rahasia) yang belum diketahui oleh khalayak yang diambil dari pelbagai macam kitab primbon Jawa kuno, yang membahas pengetahuan kebatinan (esoteris) yang wajib kita ketahui, siapa tahu dibelakang hari banyak manfaatnya).


(33)

commit to user

Karena kitab primbon hasil dari upaya mengumpulkan catatan lepas dari pinisepuh, maka memunculkan variasi teks yang beragam dalam kitab primbon, khususnya dalam penulisan mantra kidung.

Variasi teks muncul karena dua hal perta ma karena proses penulisan

(litera cy) yang didalamya terdapat dua proses, yaitu penulisan mantra pertama

kali oleh murid dari guru dan produksi publikasi mantra melalui percetakan.

Kedua disebabkan oleh mantra yang telah diperformasikan melalui bentuk kidung

menghadirkan variasi teks untuk menyesuaikan irama dan titi nada yang sesuai. Teks mantra yang tertulis dan teks yang diperformasikan atau ditembangkan akan menimbulkan variasi dalam praktiknya.

Maka penelitian ini fokus pada mantra (teks) yang tertulis dalam kitab primbon. Karena teks hadir terlebih dahulu sebelum performansi. Hal ini mengacu pada apa yang dilakukan oleh Arps sewaktu meneliti ‘temba ng dalam dua tradisi’ (1990) dan Kidung Rumeksa Ing Wengi (1996a) dengan tegas Arps mengatakan

without text there is no pra yer (1996a:65) artinya mantra kidung yang digunakan

sebagai sarana ritual bersumber dan bermuasal dari teks mantra (tertulis). Berkaitan dengan hal ini, Kadarisman (2009:104) mempertegas:

Teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal temba ng

performa nce, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai ma ca pata n,

hampir dipastikan bahwa “teks” selalu mendahului pentas. Perlu dicatat bahwa istilah “teks”di sini diartikan secara longgar, sebagai a strech of

verba l discourse. Jadi, “teks” bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis.

Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis, maka definisi formalnya menjadi a n orthogra phic (or phonetic) record of the stretch of

verba l discourse.

Macam-macam kitab primbon sebagai berikut: Suyami (2008:1-2) menginformasikan untuk wilayah Surakarta dan Yogyakarta, kitab primbon


(34)

commit to user

sedikitnya dijumpai dalam 25 macam, meliputi: primbon (6 buku) terdiri atas (1)

Primbon tuwin Wirid (1 buku), (2) Primbon Ca riyos jimat (1 buku), (3) Primbon

Ciptasa smita (1 buku), (4) Primbon Ja mpi (1 buku), (5) Primbon Ja mpi Ja wi I (1

buku), (6) Primbon Ja wi (1 buku), (7) Primbon Ma ngkupra ja n (1 buku), (8)

Primbon Peta ngan (1 buku), (9) Primbon Puja mantra (1 buku), (10) Primbon

Ra cika n Ja mpi II (1 buku), (11) Primbon Sa bda Pa ndita (1 buku), (12) Primbon’s

Geneesmiddelen E recepten (1 buku), (13) Serat Primbon (3 buku), (14) Serat

Primbon Ja mpi Ja wi (1 buku), (15) Sera t primbon sa king kaisla ma n (1 buku),

(16) Serat primbon suluk wa rna -wa rni (1 buku), (17) Sera t Primbon wa la ndi (1 buku), (18) sera t primbon wa rni-wa rni (1 buku). Suyami (2008:2) menambahkan informasi di perpustakaan BPSNT Yogyakarta terdapat dua kitab primbon yaitu,

‘Serat Primbon Pa wukon Ba yi Lahir’ dan ‘Serat Primbon Pra nata mangsa’.

Kitab Primbon yang dihimpun oleh Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat yang dikeluarkan oleh Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya dan diterbitkan oleh Soemodijoyo Maha Dewa, Yogyakarta atau CV Buana Raya Solo sebagai berikut: (1) Kita b Primbon Beta ljemur Ada mma kna , (2) Kita b Primbon

Lukma na kim Ada mma kna , (3) Kita b Primbon Ata ssa dhur Ada mma kna , (4) Kita b

Primbon Bektija mma l Ada mma kna ,(5) Kita b Primbon Sha hdhatsa hthir

Ada mma kna , (6) Kita b Primbon Qoma rrulsya msi Ada mma kna ,(7) Kita b Primbon

Na kla ssanjir Ada mma kna , (8) Kita b Primbon Qura ysin Ada mma kna , (9) Kita b

Primbon Ajimantra wa ra , Yoga brata , Yoga ma ntra , dan (10) Kita b Primbon Kunci


(35)

commit to user

2.1.7 Mantra Kidung Jawa dalam KPAA

Mengingat banyaknya teks primbon yang beredar di masyarakat Jawa penelitian ini fokus pada mantra Jawa yang berbentuk kidung (temba ng) yang terdapat dalam Kita b Primbon Atassadhur Ada mma kna (Sa mbeta nipun

Beta ljemur), yang diterbitkan oleh Soemodidjojo Maha Dewa, Ngayagyakarta

Hadiningrat dan CV Buana Raya (cetakan kelima tahun 1994).

Pertimbangan yang mendasari dipilihnya KPAA adalah (1) mantra kidung artinya, mantra yang dapat disenandungkan, ditemukan di dalam KPAA. Dalam kitab primbon yang lain juga terdapat mantra, misalnya Kita b Primbon

Beta ljemur Ada mma kna , tetapi mantra tersebut tidak berupa kidung yang hanya

bisa dibaca atau dirapal saja. (2) yaitu di dalam KPAA terdapat salah satu mantra yang sudah banyak dihapal oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yaitu kidung

ma ntra wedha (KM) atau lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa ing Wengi. Hal

ini mencerminkan bahwa mantra sebagai sarana ritual dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Jawa melalui temba ng. Selain itu, mantra yang berbentuk kidung mengindikasikan bahwa mantra-mantra tersebut pernah dekat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Jawa. Mantra kidung di masyarakat Jawa saat ini masih banyak diprakktikkan khususnya Kidung Rumeksa Ing Wengi dan

kidung sesinggahan. Dua kidung tersebut masih banyak dilantunkan oleh

masyarakat dengan berbagai tujuan salah satu diantaranya, yaitu ketika berlangsungnya hajatan dan menanam padi. (3) di dalam KPAA terdapat penjelasan secara memadai tentang interpretasi setiap stanza yang terdapat dalam setiap mantra. Ada upaya penafsiran yang coba dilakukan oleh penghimpun


(36)

commit to user

mantra. Mantra kidung dalam KPAA mempunyai verse form (metrum) dan ini mempunyai dua fungsi: sebagai pedoman penulisan atau penciptaan dan sebagai petunjuk untuk melagukan tembang. Berikut nama mantra dalam KPAA beserta

verse form yang digunakan.

Temba ng sebagai verse form memiliki karakteristik yang khas yaitu pola

irama-pembeda (distinctive metrica l pa ttern) dan kekhasan langgam

(idiosyncratic tunes) (Arps, 1990:57). Ada sebelas bentuk verse form yang paling

terkenal dan berlaku dalam masyarakat Jawa, yaitu ma skuma mbang, pucung,

ga mbuh, megatruh, mijil, kinanthi, a sma ra da na, durma, pa ngkur, sinom, dan

dhandhanggula. Ihwal ini sering disebut dengan tembang cilik atau temba ng

ma ca pat. Berikut contoh struktur matriks temba ng pa ngkur dan dhanda nggula.

Karena dua tembang tersebut paling banyak dikenal dalam pelantunan mantra kidung Jawa yaitu mantra kidung ma ntra wedha (KM) atau kidung rumeksa ing

wengi (dha ndha nggula) dan kidung wa ra wedha atau kidung sesinggahan

(pa ngkur)

Tabel 1. Struktur Matriks Tembang Pangkur

Baris a b c d e f g

Jumlah suku kata 8 11 8 7 12 8 8 Vokal akhir /a/ /i/ /u/ /a/ /u/ /a/ /i/ Baris pertama (a) terdiri dari 8 jumlah suku kata dan vokal akhir /a/, baris kedua (b) terdiri dari 11 jumlah suku kata dan vokal akhir /i/, baris ketiga (c) terdiri dari 8 jumlah suku kata dan vokal akhir /u/, dan terus pada baris selanjutnya. Hal serupa pada struktur matriks temba ng dha ndha nggula sebagai berikut


(37)

commit to user

Tabel 2. Struktur Matriks TembangDhandhanggula Baris a b c d e f g h i j Jumlah suku kata 10 10 8 7 9 7 6 8 12 7 Vokal akhir /i/ /a/ /e/ /u/ /i/ /a/ /u/ /a/ /i/ /a/

Berikut nama mantra kidung Jawa pada KPAA beserta metrum (verse form) yang digunakan

Tabel 3. Nama Mantra dan Metrumnya

No Nama Metrum Singkatan

1 kidung suksma wedha dhandhanggula KS

2 kidung da rma wedha dhandhanggula KD

3 kidung mantra wedha dhandhanggula KM

4 kidung japa wedha dhandhanggula KJ

5 kidung jiwa wedha dhandhanggula KJi

6 kidung reksa wedha sinom KR

7 kidung yoga wedha kinanthi KY

8 kidung wa ra wedha pangkur KW

9 kidung setya wedha dhandanggula KSe

10 kidung a jiwedha durma KA

11 kidung sa ktiwedha durma KSa

12 kidung ba gya wedha mijil KB

Kidung Sukma wedha (KS) terdiri dari 7 stanza (pa da ) dan 70 verse line

(gatra atau pada lingsa). Berisi tentang pentingnya suksma (ruh) dalam kehidupan

manusia. Mantra ini memfokuskan pada pengetahuan suksma yang berada dalam diri manusia dan pemahahaman suksma akan membawa keselamatan dalam diri manusia. Kidung Darma wedha (KD) terdiri dari 10 stanza (pa da) dan 110 baris. Mantra ini menerangkan bahwa seluruh alam dan kandungan isinya berputar dan digerakkan oleh sang penguasa tunggal (Allah) semua tunduk dan takluk dibawah kekuasaannya. Orang yang mengamalkan mantra ini akan bebas dari malapetaka dan kemalangan.


(38)

commit to user

Kidung Ma ntra wedha (KM) terdiri dari 9 stanza (pa da) dan 90 baris.

Mantra ini juga dikenal dengan kidung rumeksa ing wengi yang paling banyak dihapal oleh masyarakat Jawa, terutama stanza 1. Mantra ini berisi tentang perlindungan di waktu malam dari macam bahaya dan malapetaka. Kidung

Ja pa wedha (KJ) terdiri dari 14 stanza (pa da) dan 140 baris. Mantra ini berisi

perlindungan diri dari malapetaka. Kegunaan khususnya yaitu untuk pengasihan dalam artian positif, misalnya, supaya dicintai dan dikasihi oleh majikan atau atasan. Kidung Jiwa wa wedha (KJi) terdiri dari 6 stanza (pa da) dan 60 baris. Mantra ini berisi perlindungan anak kecil dari gangguan gaib.

Kidung Reksa wedha (KR) terdiri dari 26 stanza (pa da) dan 232 baris.

Mantra ini juga disebut dengan suluk plencung. Mantra ini berisi tentang nama-nama lelembut di tanah Jawa dan daearah kekuasaanya. Kegunaan dari mantra ini yaitu mengusir dan menghilangkan pagebluk (penyakit menular). Kidung

Yoga wedha (KY) terdiri dari 32 stanza (pa da ) dan 194 baris. Mantra ini

menceritakan pengetahuan tentang bagaimana menangani bayi lahir dan ketika ia menangis karena tidak diketahui pasti penyebabnya. Mantra ini berguna untuk perlindungan anak kecil (bayi) dari gangguan gaib. Kidung Wa ra wedha (KW) terdiri dari 12 stanza (pa da) dan 84 baris. Mantra ini berisi penolakan dari gangguan jin, setan dan makhluk lainya yang mengancam manusia. Mantra ini terkenanl dengan kidung sesinggahan atau singga ha n. Mantra ini berguna untuk membetengi diri dan khususnya digunakan untuk hajatan (sewaktu menyelenggrakan perkawinan dan khitanan).


(39)

commit to user

Kidung Setya wedha (KSe) terdiri dari 6 stanza (pa da) dan 60 baris. Mantra

ini berisi rukun iman dalam agama Islam. Kegunaan mantra ini untuk mempertebal keyakinan keagamaan seseorang, khususnya keyakinan Islam. Selain itu, mantra ini juga berfungsi untuk meningkatkan keteguhan hati dalam menghadapi pelbagai cobaan hidup. Kidung Ajiwedha (KA) terdiri dari 10 stanza (pada) dan 70 baris. Mantra ini mendeskripsikan macam-macam besi dalam khzanah Jawa yang difungsikan untuk kekuatan tubuh. Mantra ini berguna untuk

ka nuragan (kesaktian), kekebalan tubuh, dan mengobati berbagai macam jenis

penyakit. Kidung Sa ktiwedha (KSa) terdiri 13 stanza (pa da) dan 81 baris. Mantra ini berfungsi untuk melindungi rumah baru atau waktu mendirikan rumah. Kidung

Ba gya wedha (KB) terdiri dari 7 stanza (pa da) dan 41 baris. Mantra ini

menjelaskan tatacara merawat plasenta bayi setelah bayi di lahirkan. Mantra ini dibacakan pada saat mengebumikan a ri-ari (plasenta) ke dalam tanah.

Munculnya kata “wedha” dalam KPAA sebagai penamaan kidung merupakan interpretasi baru karena penamaan tersebut belum muncul dalam serat atau kitab sebelumnya dan juga tidak ada dalam sumber-sumber lama lainya (lihat Arps, 1996a: 107-108). Salah satunya dalam Serat Kidunga n yang terbit pada tahun 1919, penamaan kidung masih berdasarkan baris pertama dalam setiap bait pada kidung.

Kata kidung dan kidungan dalam budaya Jawa merujuk pada berbagai makna untuk itu berikut digambarkan penggunaan kata kidung dan kidungan di Jawa sebagai berikut.


(40)

commit to user

Tabel 4. Makna Kata Kidung dan Kidungan di Jawa

Kidung Kidungan Penggunaan Istilah

1. Puisi yang dilantunkan - Jarang 2. Teks dalam Tembang - Jarang

3. Temba ng (verse form) - Jarang

4. Puisi Jawa Pertengahan - Jarang 5. Hymne Gereja - Jarang 6. Mantra yang Oktosilabik a. genre

7. Mantra-puisi tembang b. bait yang dilantunkan

8. - dalam pertunjukan ludruk Jawa Timur

(Diadaptasi dari Arps, 1996a : 51)

Dari penggambaran di atas, kata kidung dalam penelitian ini merujuk pada no (7) yaitu mantra yang berbentuk puisi (syair) yang dapat dilagukan atau ditembangkan atau dikidungkan.

2.1.8 Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa

Bentuk repetisi menjadi ciri unik dari mantra kidung Jawa dalam KPAA. Secara umum ada dua bentuk repetisi dalam mantra yaitu repetisi internal dan eksternal. Repetisi internal artinya bentuk-bentuk yang diulang dalam teks mantra untuk memberi penekanan pada bagian tertentu dengan menggunakan satuan lingual melalui pengulangan bentuk dan makna. Kedua, yaitu pengulangan eksternal, artinya pengulangan yang dilakukan oleh pengamal mantra atau perapal mantra dengan mengulang bagian teks tertentu untuk memfokuskan tujuan yang diinginkan, misalnya, dalam Kidung Ma ntra wedha atau Kidung Rumeksa Ing

Wengi terdapat satu baris ‘sa keh a ma pan sa mi miruda ’ yang diulang beberapa

kali (misalnya 7 kali) untuk membasmi hama di sawah maupun pekarangan dengan berkeliling mengitarinya. Dalam penelitian ini berfokus pada repetisi internal yang terjadi pada mantra kidung Jawa.


(41)

commit to user

Repetisi dapat diidentifikasi melalui beberapa kriteria. Pengkajian repetisi yang dominan di Indonesia yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Keraf (1994: 127-128), apa yang dipaparkan oleh Keraf tersebut repetisi yang berdasarkan letak posisi satuan lingual yang mengalami pengulangan sehingga menimbulkan pelbagai penamaan, misalnya yang berpola di awal baris biasa disebut dengan anafora. Yang berada diakhir disebut dengan epistrofa.

Wang (2005:510) membagi repetisi dalam tiga kategori yaitu repetisi leksikal, repetisi sintaksis, dan repetisi semantik. Ketiga kategori tersebut dikelompokkan atas dasar terjadinya pengulangan pada aspek tertentu. Pengelompokan tersebut merupakan ikhtiarnya untuk menabulasi dan menginventarisasi secara kuantitatif kata yang berdekatan dalam bentuk reduplikasi dan repetisi. Wang menambahkan bahwa perbedaan mendasar repetisi dengan reduplikasi yaitu bahwa repetisi terjadi pada aspek sintaksis, sedangkan reduplikasi pada aspek leksikal (morfologis)

Tannen (2007:63) mengatakan bahwa bentuk dan variasi repetisi dapat dikelompokkan berbagai kriteria. Fokus kajian repetisi yang dibedah oleh Tannen bertumpu pada repetisi yang terjadi di percakapan (conversation). Bertalian dengan itu, ia membagi repetisi atas self-repetition dan a llo-repetition (repetition

of others). Hal ini mempunyai maksud bahwa self-repetition dan a llo-repetition

terjadi dan dialami oleh penutur dan mitra tutur dalam percakapan. Ia menambahkan bahwa fokus utama kajiannya yaitu repetisi sintaksis (synta ctic


(42)

commit to user

Hasan (1992:87) sewaktu memaparkan struktur teks di dalam struktur tersebut terdapat unsur-unsur yang wajib dan pilihan. Di dalam unsur pilihan terdapat unsur pengulangan, yaitu apabila (seperangkat) unsur tertentu muncul lebih dari satu kali, fenomena itu disebut pengulangan (iteration) atau muncul-balik (recursion).

Jakobson (1960: 358) mengatakan bahwa projecting the principle of

equiva lence from the a xis of selection into the a xis of combination ‘proyeksi

prinsip keseimbangan dari poros sintagmatik dan poros paradigmatik’. The a xis

of selection (poros paradigmatik) dapat dibayangkan sebagai daftar atau lajur

menurun dari kosakata dalam menta l lexicon, sedangkan the a xis of combination

(poros sintagmatik) atau lajur mendatar, di mana sejumlah kata dapat disusun menjadi frasa atau kalimat puitis menurut kaidah-kaidah sintaksis dan/atau semantik. Jadi, the principle of equiva lence atau prinsip keseimbangan itulah yang menentukan pemilihan (kata, rima, makna, dan lain-lain) pada poros paradigmatik untuk kemudian diproyeksikan pada poros sintagmatik, sehingga menghasilkan bahasa puitis atau poetic la nguage (Kadarisman, 2009:118).

Berkaitan dengan poros paradigmatik dan poros sintagmatik, Sudaryanto (1993a:155;1995:48) menyebutnya dengan keselarasan horisontal dan keselarasan vertikal yang menunjukkan keajegan. Werth (1976:24) menafsirkan selection dan

combination sebagai berikut:

Selection (e.g. choice of words) in ordinary la nguage is a choice a mong equiva lent expressions; combination (gra mmatica l or phono-ta ctic rela tionships a nd distributions) is in ordina ry la ngua ge a matter of pla cing different categories contiguously a ccording to the gra mmar of the


(43)

commit to user

‘Selection (misalnya pilihan kata) di dalam bahasa pada umumnya

merupakan pilihan-pilihan (kata) di antara ekspresi keseimbangan, sedangkan combination (relasi gramatika atau fonotaktik dan distribusi) dalam bahasa pada umumnya yaitu masalah penempatan dari kategori yang berbeda secara berurutan yang sesuai dengan sifat kegramatikalan bahasa’.

Lebih lanjut Werth menerangkan tentang ‘the principle of equiva lence’, Ia mengatakan bahwa prinsip keseimbangan tampak jelas dengan adanya paralelisme yaitu pengulangan kegramatikalan sebuah bahasa dan hal tersebut sebagai prinsip yang mendasar dari sebuah fenomena ‘the constitutive principle of

verse’ (Werth, 1976:24).

Jakobson (1966) menjabarkan lebih terperinci melalui tulisan

Gra mmatica l Pa ra llelism And Its Russian Fa cet. Dalam tulisan tersebut ia

mematangkan konsep mentahnya (1960) dengan lebih konkret dan detail pada tulisan tersebut (1966), bahkan Tannen (2007:57) menginformasikam bahwa Jakobson pada tahun 1960an hingga 1970an mencurahkan energi intelektualnya untuk meneliti relasi keparalelan dalam poetry.

Berkaitan dengan apa yang dipaparkan Jakobson (1960) dan (1966) secara struktural mempunyai implikasi bahwa hasil proyeksi tersebut muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif. Pada tataran fonologis, muncul aliterasi dan asonansi atau rima ; pada tataran sintaksis muncul paralelisme struktur dan pada tataran semantis muncul paralelisme makna (Kadarisman, 2009: 62).

Jelasnya, "prinsip keseimbangan" inilah yang memilih "satuan lingual" (bisa berupa fonem, morfem, kata, frasa, dan bahkan kalimat) dari "poros paradigmatik" untuk kemudian diproyeksikan ke "poros sintagmatik". Jadi,


(44)

commit to user

menurut Jakobson,"poetic text" itu merupakan aktualisasi dari "poetic function". Terkait dengan "makna", pada umumnya "paralelisme" bekerja sama dengan "kontras". Secara umum, paralelisme sintaktis berjalan seiring dengan paralelisme semantis; namun kadang-kadang demi variasi (dan menghindari kebosanan) atau demi memberi "kejutan", bisa saja paralelisme sintaktis memiliki makna kontras (Kadarisman, 2012).

Fox (1971) menulis tentang “Sema ntic Pa ra lellism in Rotinese Ritua l

La ngua ge”. Fox membuktikan gejala bahasa pada bahasa ritual di pulau roti yang

menunjukkan kesejajaran makna yang diadik. Fenomena tersebut juga mencerminkan kegandaan kosmologi (dua l cosmologies) dalam bahasa ritual di pulau Roti (Fox, 1971: 246-247).

Usaha Fox tersebut menguatkan bahwa fenomena bahasa ritual menunjukkan kesesuaian apabila fenomena bahasa ritual dibedah dengan menggunakan keparelelan Jakobson. Mantra kidung Jawa merupakan bagian bahasa ritual yang berbentuk temba ng yang didalamnya terdapat gejala pengulangan yang terjadi dalam beberapa lapis, yaitu lapis gramatikal, leksikal dan semantik.

Jakobson (1966:400) menyebut dengan istilah kesebangunan gramatikal

(gra mmatica l congruences), yang mempunyai maksud bahwa keparalelan itu

terjadi pada susunan kemiripan atau kesesuaian konstruksi ('Synthetic or Constructive' and 'where the pa ra llelism consists only in the simila r form of

Construction). Dalam penelitian ini, keparalelan kontruksi dalam mantra kidung


(45)

commit to user

ungkapan Jakobson dengan the constructive parts ‘bagian dari konstruksi’ yang berisi leksikal berkategori atau kelas kata seperti: nomina, verba, numeralia, dan lain sebagainya. Repetisi semantik muncul dalam rangka memenuhi tuntutan prinsip keseimbangan yang berwujud kata yang bersinonim atau kata dalam medan leksikal yang seranah.

Secara singkat dan ringkas, apa yang dipaparkan dalam penelitian ini akan memaparkan kegramatikalan mantra kidung Jawa sebagaimana yang ditandaskan oleh Jakobson (1980:84) bahwa setiap karya yang berbentuk sajak (dalam hal ini mantra) selalu terkandung aspek ‘gramatika dalam sajak’ (Gra mma r of Poetry) yang menjadi ciri khasnya. Selain itu, pemikiran Jakobson bergerak dalam lingkup struktural fungsional, dikatakan struktural karena analisis struktural Jakobson mampu membedah teks puisi (dalam hal ini mantra kidung) dan menjelaskan struktur tekstualnya dengan sangat memuaskan, maka pendekatan Jakobson tersebut dinamakan puitika linguistik (Kadarisman, 2009:92-93).

Secara tinjauan praktis-struktural pengkajian repetisi dalam penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut. Repetisi gramatikal menggunakan pengulangan sintaksis yang sama dengan menggunakan kajian fungsi sintaktis. Fungsi sintaktik adalah tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak, yakni seperti subjek, predikat, objek, dan lain sebagainya. Fungsi sintaktik bersifat relasional artinya fungsi tersebut mempunyai relasi dengan fungsi yang lain (Sudaryanto, 1993a:13). Berkaitan dengan fungsi sintaktik Sudaryanto (1992:66) menambahkan bahwa fungsi dapat dikatakan sebagai aspek “ruang” sintaktis sesuatu kalimat tunggal. Sebagai ruang ia bersifat kosong keberadaanya adalah


(46)

commit to user

sebagai “kerangka”. Implikasinya fungsi yang satu dapat ditentukan kejatiannya hanya dalam hubungannya dengan fungsi yang lain yang sama-sama membentuk kerangka formal kalimat yang bersangkutan.

Repetisi leksikal menggunakan pijakan kategori kata yang menempati fungsi sintaktik. Kategori adalah tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan yang lebih rendah daripada fungsi, yakni seperti nomen (nomina) atau kata benda, verba atau kata kerja, preposisi, konjungtif, numeralia atau kata bilangan, dan lain sebagainya. Kategori bukanlah konsep relasional; hubungan antar-kategori bersifat sistemik (Sudaryanto, 1993a:13). Berkaitan dengan kategori, Sudaryanto (1992:65) menambahkan bahwa dua sifat pokok yaitu formal dan sistemik. Kategori dikatakan formal karena karena dia semata-mata merupakan aspek bentuk atau aspek tubuh sintaktis sesuatu kalimat tunggal. Kategori dikatakan sistemik karena kategori dikenal tidak dalam hubungannya dengan kategori tertentu, melainkan dalam hubungan asosiatif.

Repetisi semantik menggunakan pijakan bahwa kata yang muncul dalam relasi makna yang sama (sinonim) dan kata dalam medan leksikal yang sama. Berkaitan dengan medan leksikal, Subroto (2011:102) mengatakan medan leksikal

(lexica l field) adalah sejumlah leksem atau wilayah yang di dalamnya ditempati

oleh sejumlah leksem yang secara bersama memiliki atau mengandungi komponen arti bersama, namun sejumlah leksem tersebut juga memiliki sejumlah komponen arti yang berbeda. Untuk menuntaskan pendeskripsian pijakan teori repetisi dipaparkan dalam bentuk tabel sebagai berikut.


(47)

commit to user

Tabel 5. Repetisi pada Mantra Kidung Jawa Repetisi Gramatikal (Sintagmatik)

Fungsi Sintaktik S P O K

Repetisi Leksikal (Paradigmatik)

Nomina Verba Numeralia Adverbia

Kategori Kata

Repetisi Semantik

Singkatnya, pengulangan pada mantra kidung Jawa terjadi pada lapis gramatikal, lapis leksikal, lapis semantik, dan pengulangan secara serentak atau multi-lapis.

Repetisi gramatikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan menggunakan pola kalimat yang sama (pola sintaksis), sedangkan repetisi leksikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan menggunakan kategori kata atau frasa yang sama. Repetisi Unik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa yang pengulangan tersebut terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak. Repetisi semantik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan menghadirkan makna yang sama dan makna tersebut masih dalam jangkauan medan leksikal yang sama.

2.1.9 Fungsi Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa

Fungsi dalam hal ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson tentang enam fungsi kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2) konatif (a ppella tive) (3) metalingual (meta linguistic,'glossing') (4) puitik

(a esthetic) (5) referensial (cognitive, denotative, ideationa l) (6) phatis (Jakobson,


(48)

commit to user

Kadarisman (2009:60) menjelaskan keenam fungsi tersebut sebagai berikut (1) Fungsi referensial (misalnya, Ha rga BBM naik terus) berfokus pada isi tuturan atau makna denotatif. (2) Fungsi emotif/ekspresif (misalnya, Wa h, heba t!) berfokus pada sikap atau perasaan penutur terhadap isi tuturannya. (3) Fungsi konatif (misalnya, Ma sukla h, Ya n) berfokus pada mitra tutur dan lazimnya muncul sebagai kalimat perintah. (4) Fungsi fatis (misalnya, Ya , ya) berfokus pada upaya memelihara keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. (5) Fungsi metalingual (misalnya, Terba ntun itu a pa a rtinya?) berfokus pada penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa. Yang terakhir, (6) fungsi puitis, berfokus pada bahasa itu sendiri, atau menonjolkan bentuk bahasa demi dampak estetis.

Sudaryanto (1990:12) menjelaskan keenam fungsi tersebut, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu pesan, (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara : (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak ; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan.

Kesejajaran fungsi ditunjang oleh faktor fundamental tertentu dijelaskan sebagai berikut. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen; fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar dengan faktor pendengar yang diajak berbicara; fungsi metalingual (4) sejajar dengan faktor sandi atau kode; fungsi fatis (5) sejajar dengan faktor kontak (awal


(49)

commit to user

komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan (Sudaryanto, 1990: 12; Waugh, 1980: 58-59).

Dari keenam fungsi tersebut yang digunakan dalam analisis ini yaitu fungsi referensial, fungsi puitik, dan fungsi konatif. Sebagaimana diungkapkan oleh Waugh (1980: 59) bahwa Ja kobson’s six functions are mea nt to be universa l in scope – they a pply to a ll cultures at a ll times – but they a pply only a s set of six

rela tiona l (not a bsolute) categories. Fungsi tertentu yang enam jumlahnya itu

mengungkapkan, menyatakan, menjelaskan, menafsirkan faktor tertentu yang juga enam jumlahnya itu; dan dalam setiap penggunaan bahasa cenderung tertonjol salah satu fungsi tanpa menghilangkan fungsi yang lain (Sudaryanto, 1990:12).

Fungsi referensial berfokus pada message (pesan) bahasa karena bahasa adalah sarana verbal penyampai pesan. Karena fungsi referensial yang dominan yang di antara keenam fungsi tersebut. Informasi yang sama datang dari (Waugh, 1980:58) bahwa ia menyatakan fungsi referensial berpangkal pada message ‘In the referentia l function (its most clea rly delimited opposite), there is a domina nce

of focus upon the message’, Jadi dalam fungsi referensial disini terdapat dua :

perta ma menguak fungsi repetisi, kedua fungsi mantra kidung Jawa sendiri dalam

dimensi sosialnya. Fungsi puitik mempunyai fokus pada bentuk bahasa yang menonjolkan aspek keindahan. Mantra kidung berbentuk tembang, maka fungsi puitis sangat dominan. Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan biasanya menggunakan bentuk imperatif, karena mantra mempunyai maksud pengusiran dengan bahasa ritual, maka fungsi ini juga dikaji dalam penelitian ini.


(50)

commit to user

2.2 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang terkait dengan mantra Jawa dilakukan oleh Soedjijono, dkk (1985) dengan judul penelitian ”Struktur dan Isi Mantra bahasa Jawa di Jawa Timur”. Soedjijono, dkk meneliti mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa Timur yaitu Magetan, Malang, Probolinggo, dan Banyuwangi yang memerikan struktur dan isi mantra Jawa di Jawa Timur sebagai kajian sastra lisan. Temuan yang menarik dari penelitian tersebut yaitu dari aspek kebahasaan mantra Jawa di Jawa Timur menggunakan alat kebahasaan khususnya alat keindahan. Alat-alat keindahan yang digunakan di dalam mantra, dapat disebutkan bahwa mantra menggunakan 8 (delapan) alat bahasa indah, yaitu kata sa roja, kata enta r,

purwa kanti guru swa ra, purwa kanti guru sastra, purwa kanti luma ksita, da sa

na ma, pralambang, dan kata khusus (Soedjijono, 1985:96).

Hefner (1985) meneliti komunitas Hindu Jawa di masyarakat Tengger, Bromo dengan judul “Hindu Ja vanese : Tengger Tra dition and Isla m” dalam satu subbab dibuku itu ia menjelaskan tentang bahasa ritual yang digunakan oleh komunitas Hindu Jawa. Hefner menghubungkan antara kemajuran mantra

(effica cy) dengan partisipan ritual. Hefner mengatakan bahwa kemanjuran doa

ritual di Tengger tergantung pada aktor (pembaca mantra), situasi, partisipan ritual dan relasi-relasi yang terkait dengan pagelaran ritual (Hefner, 1985: 212-213).

Keeler (1987) dalam satu subbab dibuku “Ja vanese Shadow Pla ys,

Ja va nese Selves”, ia juga membicarakan tentang mantra Jawa. Sebagaimana

Hefner (1985), Keeler (1987) juga mengkaji kemanjuran mantra, Keeler (1987) menyatakan bahwa kemanjuran mantra yang ia menyebutnya sebagai the potency


(51)

commit to user

of opa gue la nguage, terletak pada sugesti yang diberikan terhadap mantra tersebut

(Keeler, 1987:137-138). Baik Hefner maupun Keeler tidak menyebutkan faktor lingual yang menjadi kemanjuran mantra, tetapi faktor-faktor nonlingual yang menyebabkan kemanjuran mantra.

Arps (1996a) memaparkan kandungan kidung rumeksa ing wengi dengan judul makalah “The Song Guarding at Night: Grounds for Cogency in a Ja vanese

Inca ntation”. Makalah yang secara tuntas mengupas penelusuran kidung rumeksa

ing wengi dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Arps dengan tegas

membantah argumen Hefner (1985) dan Keeler (1987), Arps (1996a) mengatakan bahwa kemanjuran mantra tetap terkait dengan teks dan perangkat-perangkat lingual yang terdapat dalam teks mantra, tidak ada ritual, tanpa ada teks (Arps, 1996a:65). Arps memaparkan sebagai berikut

I propose that in the case of the Kidung Rumeksa ing Wengi, and probably other prayers as well, the text is not only the vehicle of its perceived efficacy but also the ultimate source of the perception of its efficacy. The former is obvious. The text is the vehicle of efficacy simply because this lingual composition is the only feature common to all valid employment of the Kidung Rumeksa ing Wengi. Without text there is no prayer (Arps, 1996a:65)

Saya mengusulkan dalam kasus kidung rumeksa ing wengi, dan mungkin teks lain yang sejenis. Teks tersebut tidak hanya sarana hadirnya kemanjuran, tetapi juga sumber dari persepsi kemanjuran. Hal itu sudah tampak jelas. Secara sederhananya teks merupakan sarana hadirnya kemanjuran karena komposisi lingual dari kidung rumeksa ing wengi. Tidak ada ritual, tanpa ada teks sebelumnya.

Perangkat lingual kebahasaan yang terdapat dalam teks mantra merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam hal ini aspek kelingualan khususnya penggunaan repetisi mempunyai peran dalam membangun konstruksi mantra kidung Jawa.


(52)

commit to user

Saputra (2007) meneliti mantra suku Using di Banyuwangi dengan judul ”Mantra Sa buk Ma ngir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi”. Saputra mengkaji Sa buk Ma ngir dan Ja ran Goya ng sebagai sastra lisan yang mencerminkan budaya masyarakat Using di Banyuwangi dengan tiga fokus penelitiaan yaitu perta ma konvensi struktural teks mantra Sa buk Ma ngir (SM) dan

Ja ran Goya ng (JG) yang membahas unsur-unsur yang membentuk struktur

tekstual SM dan JG. Kedua membahas aspek kelisanan mantra SM dan JG dari sisi formula, komposisi, performa nce, transmisi, dan transformasi. Ketiga

memerikan fungsi mantra SM dan JG dalam konteks budaya masyarakat Using baik fungsi individual maupun fungsi sosial.

Hartarta (2008) meneliti mantra pengasihan Jawa dengan judul penelitian ”Mantra Pengasihan Jawa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Modern di Wilayah Kabupaten Klaten (Kajian Sosiologi Sastra)”. Dalam salah satu simpulannya, Hartarta (2008:123) mengatakan fungsi mantra sangat luas tergantung jenis mantranya, khususnya untuk mantra pengasihan dalam penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan balasan cinta dari lawan jenis serta mempererat pergaulan.

Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu terletak pada tiga hal: (1) fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek kebahasaan dari mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek kebahasaan pada umumnya yang terdapat dalam mantra Jawa. Dari kajian repetisi tersebut akan terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa, baik fungsi praktis kebahasaan maupun fungsi ideologis yang diembannya.(2) penelitian terdahulu menggunakan mantra yang tidak bisa dilantunkan (ditembangkan) hanya bisa


(53)

commit to user

dirapal (dibaca). Hal ini menunjukkan bahwa mantra kidung mengindikasikan bahwa mantra tersebut mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat. Hal yang mempunyai kesamaan data dilakukan oleh Arps (1996a), tetapi Arps hanya mengkaji salah satu data yang terdapat dalam KPAA yaitu kidung ma ntra wedha

atau kidung rumeksa ing wengi. Selain itu, Arps (1996a) tidak mengkaji aspek kelingualan yang menjadi ciri khas mantra kidung apalagi penggunaan repetisi. Mantra kidung Jawa mempunyai maksud bahwa mantra kidung diperuntukkan untuk masyarakat biasa atau masyarakat pada umumnya, sehingga ia tidak hanya mengantarkan keampuhan mantra bagi penggunanya, tetapi mempunyai fungsi ideologis yang diembanya.(3) mantra kidung Jawa ini bersumber dari KPAA bahwa penamaan mantra yang ada kata ‘wedha ’ dalam KPAA merupakan interpretasi baru yang belum ada dalam buku atau kitab sebelumnya. Ketiga alasan inilah yang menjadi penyempurna dan pemerlengkap kajian terdahulu tentang mantra dari sudut pandang linguistik kebudayaan dengan ancangan puitika linguistik Jakobson.

2.3 Kerangka Pikir

Dari pemaparan tentang landasan teori, tinjauan pustaka untuk memudahkan analisis maka disusunlah kerangka pikir sebagai berikut.


(54)

commit to user

Bagan 1. Kerangka Pikir Mantra Kidung Jawa: Kajian Repetisi dan Fungsi

Bagan di atas mempunyai maksud bahwa mantra kidung Jawa yang terdapat dalam KPAA langkah perta ma yaitu dikaji aspek lingual yang khas yang terkandung di dalamnya. Langkah kedua, yaitu mengkaji penggunaan repetisi yang terkandung di dalamnya dengan dua fokus yaitu pengulangan bentuk yang terdiri atas gramatikal (pola sintaksis) dan leksikal (pola kategori kata). Selanjutnya mengkaji aspek pengulangan makna (semantik). Dari analisis repetisi akan dipaparkan fungsi yang terkandung dalam hal ini fokus pada fungsi referensial, puitis, dan konatif. Fungsi tersebut akan mengantarkan pada fungsi praktis kebahasaan dan fungsi sosial-ideologis, artinya fungsi-fungsi yang melampaui aspek kelingualan dalam mantra kidung Jawa.

Fungsi Repetisi

(Referensial, Puitik, dan Konatif) Kekhasan Aspek Lingual

Mantra Kidung Jawa

Gramatikal Leksikal

Makna Bentuk

Repetisi

Mantra Kidung Jawa dalam KPAA


(55)

(56)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengelompokkan, menganalisis dan menginterpretasikan data penelitian (Surakhmad, 1994:36). Data yang dikumpulkan, dikelompokkan, dianalisis dan diinterpretasikan dalam penelitian ini adalah repetisi dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Data dalam penelitian ini dipilih dan dikumpulkan berdasarkan pendekatan penggunaan repetisi pada mantra kidung Jawa, yaitu bentuk-bentuk yang mengalami pengulangan, mengidentifikasi bentuk satual lingual yang mengalami pengulangan berdasarakan pola gramatikal, leksikal, dan semantik setelah itu menjelaskan fungsi dari fenomena keberulangan tersebut yaitu repetisi dalam mantra kidung Jawa pada KPAA.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena datanya berupa kata-kata (Subroto, 2007:5). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, data penelitian ini adalah satuan lingual baik kata, frasa, klausa yang terdapat dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Penelitian kualitatif biasanya dibatasi setting atau kasus tertentu, dan penelitian ini dibatasi dalam KPAA sebagai kasusnya.

Metode Etnografi juga digunakan dalam penelitian ini karena dalam mengumpulkan data dari informan, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang dirasa masih belum tercukupi dari sumber data utama. Data yang dikumpulkan peneliti dari lapangan berupa wawancara mendalam (in


(1)

commit to user

berkaitan dengan retorika, tetapi juga bertalian dengan etnopuitika yaitu studi ilmu yang membuhulsimpulkan antara disiplin ilmu linguistik, sastra lisan, dan anthropologi (Kadarisman, 2009:85). Berkaitan dengan mantra kidung Jawa dapat dilihat sebagai sastra lisan karena ia hasil dari pelantunan seni tembang yang telah menjadi teks, sedangkan titik singgung dengan anthropologi bahwa mantra kidung Jawa tidak bisa tuntas dikaji dari aspek linguistiknya saja, tanpa melibatkan fungsinya di tengah masyarakat yang lengkap dengan aras kebudayaannya. Hasil penelitian ini menawarkan tawaran konsep teoretis untuk mempertimbangkan pola repetisi gramatikal, leksikal, semantik sebagai acuan untuk mengkaji repetisi pada teks-teks lain yang sejenis.


(2)

(3)

commit to user BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari pemaparan pada bab-bab terdahulu disusunlah simpulan dan saran sebagai berikut.

1. Kekhasan bahasa yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu adanya kata takbermakna, kata tabu, dan penjajaran bahasa Arab dan Jawa.

2. Bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu repetisi gramatikal, leksikal, unik dan semantik. Repetisi gramatikal yang dominan ada tiga yang menggunakan pola sintaksis yang sama, yaitu (1), S (F. Pron. Pos) + P (FN/N), (2) S (FN/N) + P (V. Impr), (3) Pola : P (V. Psf) + Pel. (FN/N). Repetisi leksikal yang dominan digunakan yaitu ada tiga, dengan menggunakan (1) frasa pronomina posesif, (2) verba imperatif, (3) nomina dan frasa nomina. Repetisi semantik yaitu pengulangan makna dengan menggunakan (1) sinonim dan (2) medan leksikal. Repetisi unik yaitu pengulangan yang terjadi pada lapis gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak. Pada tataran gramatikal menggunakan pola kalimat majemuk baik kalimat majemuk setara maupun bertingkat. Pola kalimat majemuk setara pada repetisi unik dengan menggunakan pola [S + P + Pel.] [฀ +P + K] sedangkan pola kalimat majemuk bertingkat [S + P] sebagai klausa utama (inti) diikuti K1[S + P + Pel], K2 [฀ + P + O]1 [฀ + P + K]2,


(4)

commit to user

K3[S + P + O]1 [S + P]2, K4[S + P + O]1 [฀ + P + O]2 . Keunikan pada

tataran leksikal dengan menggunakan satuan lingual yang sama di masing-masing konstituen pengisi fungsinya. Pada tataran semantik adanya pengulangan makna dengan menggunakan satuan lingual yang masih berdekatan dalam jangkauan medan leksikal yang sama.

3. Fungsi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi referensial, konatif dan puitik. Fungsi referensial yaitu ada dua (1) memperkuat daya yakin bagi pembaca mantra. Keyakinan itu dapat tumbuh dengan penahapan identifikasi, internalisasi, dan implementasi. Hal ini adalah fungsi repetisi, sedangkan fungsi mantra kidung Jawa yaitu, (2) sebagai media dakwah Islam. Hal ini lebih pada penyampai pesan ideologis yaitu fungsi mantra kidung Jawa sebagai sarana Islamisasi (masa lampau ; diakronik), sedangkan pada masa sekarang (sinkronik) lebih pada ruang kultural yang ‘kurang Islami’. Fungsi konatif yaitu dengan menggunakan verba imperatif yaitu sebagai bentuk pengusiran pada kekuatan-kekuatan jahat dan sebagai bentuk doa (panyuwuna n) untuk menghadirkan keselamatan (3) fungsi puitik yaitu adanya kata saroja dan aliterasi. Adanya dua perangkat keindahan ini mengindikasikan bahwa mantra kidung Jawa bekerja pada dua yaitu lapis kekuatan dan keindahan. Kekuatan dalam arti menghadirkan daya magis melalui perangkat lingual dan keidahan dalam arti elemen keindahan tetap diperhatikan dan didayagunakan sebagai penunjang hadirnya daya magis.


(5)

commit to user 5.2 Saran

Dari hasil penelitian ini secara umum dan secara khusus menyarankan sebagai berikut. Secara umum penelitian ini menyarankan :

1. Penelitian ini menggunakan sumber data teks tertulis yang terdapat dalam KPAA. Penelitian selanjutnya akan mendalam manakala juga menelisik sumber-sumber manuskrip lain yang memuat mantra berbentuk kidung. Misalnya, sera t kidungan.

2. Perlu juga melihat bagaimana teks mantra kidung Jawa diperformasikan melalui pertunjukan kesenian dalam komunitas tertentu yang masih melestarikan tradisi ini (Verba l Art Performa nce). Melalui performansi akan kelihatan keutuhan teks mantra kidung Jawa lengkap dengan perabot ritual yang mendukung.

3. Pendekatan Jakobson menunjukkan kekuatan dan ketajamannya untuk mengkaji fenomena teks verbal yang puitis, tetapi akan lebih baik manakala pendekatan ini juga digunakan untuk melihat fenomena tradisi Jawa yang lain, semisal, singir, wa ngsa la n, pa rikan, geguritan, dan teks sastra lainya.

Secara khusus penelitian ini menyarankan :

1. Pengkajian repetisi dalam mantra kidung Jawa perlu dihitung secara kuantitatif berapakah jumlah kosakata yang sama yang digunakan, apakah ada korelasi jumlah kata dengan fungsinya sebagai pembangkit daya magis.


(6)

commit to user

2. Unsur bunyi dan kata efektif yang terdapat dalam mantra kidung Jawa juga patut untuk dieksplorasi lebih mendalam, karena bunyi dan kata emotif membentuk unsur keikonikan dalam mantra kidung Jawa. 3. Kandungan isi dan daya magis serta ajaran-ajaran dalam setiap mantra

kidung Jawa perlu untuk ditelisik lebih mendalam untuk mengaitpadukan bagaimana aspek kelingualan dipahami betul oleh pembuat mantra sebagai saluran ideologisasi (dalam hal ini Islamisasi). 4. Teks mantra kidung Jawa juga dapat didekati melalui unsur kesastraan bagaimana kemetaforaan yang ada didalamnya, bagaimana asonansi dan aliterasi bekerja membangun keindahan mantra kidung Jawa.