Sosis emulsi minyak dalam air dengan lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu, sedangkan protein daging terlarut
sebagai emulsifier. Umumnya emulsifier yang terdapat di dalam daging adalah protein yang larut dalam garam, yaitu protein aktin dan myosin. Protein yang larut
dalam air dan protein jaringan ikat yang tidak larut mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk mengemulsi lemak. Protein daging selain dapat mengemulsi
lemak juga dapat mengikat air. Jika salah satu fungsi ini tidak berjalan, maka emulsi tidak akan stabil dan cenderung rusak selama pemasakan sosis Kramlich
1971. Berdasarkan karakteristik produk dan metode pengolahannya, sosis terbagi
menjadi tiga kelompok besar, yaitu: sosis segar, sosis asap cured sausage, dan sosis fermentasi fermented sausage Hui et al. 1999. Kramlich 1971 membagi
sosis dalam 6 kelas, yaitu: 1. sosis segar, 2. sosis kering, semi kering, 3. sosis masak, 4. sosis masak dan diasap, 4. sosis masak dan tidak diasap, dan 6. bola
daging cooked meat specialities. Di Indonesia hanya dikenal satu jenis sosis yaitu sosis emulsi yang terbuat dari daging halus yang membentuk emulsi.
Adapun syarat mutu sosis berdasarkan Peraturan BPOM No HK.00.06.1.52.4011 tanggal 28 Oktober 2009 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu sosis berdasarkan BPOM Kriteria uji
Satuan Persyaratan
Bahan tambahan makanan: a.
Pewarna dan pengawet
Cemaran logam: a.
Timbal Pb b.
Tembaga Cu c.
Seng Zn d.
Raksa Hg Cemaran Arsen
Cemaran mikroba: a.
Angka lempeng total b.
Bakteri bentuk koli c.
Escherichia coli d.
C. perferingens e.
Salmonella f.
S. aureus
Sesuai dengan SNI- 0222-1995
Mgkg Mgkg
Mgkg Mgkg
Mgkg Kolonigr
APMgr APMgr
Kolonigr Koloni25 gr
Kolonigr Maks 2.0
Maks 20.0 Maks 40.0
Maks 0.03 Maks 0.1
Maks 10
5
Maks 10 3
Maks 10
2
Negatif Maks 10
2
Sosis segar adalah jenis sosis yang tidak dimasak, seperti breakfast sausage, sausage patties, whole hog sausage, bratwust, Italian-style sausage
, dan
polish style sausage . Semua jenis sosis ini mengandung 50 bahan daging. Pada
umumnya sosis segar menggunakan edible casing sebagai selongsongnya dan dijual dalam bentuk tidak dimasak serta disimpan dalam kondisi beku.
Pembuatan sosis didasarkan pada faktor ekonomi, yaitu memanfaatkan daging berkualitas rendah seperti jeroan, tetelan dan daging sisa trimming Hui et
al . 1999. Semua jenis daging ternak dapat digunakan sebagai bahan baku sosis.
Meskipun bahan bakunya merupakan daging dengan kualitas yang rendah, tetapi daging tersebut harus segar dengan jumlah total mikroba yang rendah. Pada
pembuatan sosis, dapat ditambahkan daging berlemak untuk memberikan rasa lezat. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang tidak
enak dan keriput setelah pemasakan, sedangkan penambahan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering.
Air sebagai komponen dominan pada sosis, berjumlah kira-kira 45-55 Kramlich 1971. Air yang ditambahkan berupa es. Es berfungsi untuk
menurunkan suhu selama proses cuttering pencacahan, memperbaiki sifat fluiditas emulsi sehingga mudah diisikan ke dalam selangsong serta
mempengaruhi tekstur dan kekuatan produk akhir. Air juga berfungsi untuk membantu distribusi bahan non-daging dan menambah rendemen produk Hui et
al . 1999.
Beberapa bahan tambahan yang diberikan pada pembuatan sosis adalah: 1. Garam, yang berfungsi sebagai pemberi citarasa, pengawet dan melarutkan
protein. 2. Nitrit, untuk mengembangkan warna daging menjadi merah terang, mempercepat proses curing, sebagai bahan pengawet, dan memperbaiki flavor. 3.
Fosfat, untuk meningkatkan daya ikat oleh protein daging, mereduksi pengerutan, menghambat ketengikan oksidatif bersama askorbat, dan memperbaiki tekstur. 4.
Bahan pengikat, adalah bahan non daging yang dapat meningkatkan daya ikat air produk dan mengemulsi lemak. Bahan pengikat mengandung protein dalam
jumlah yang tinggi, seperti natrium kaseinat protein 90, ISP protein 90, gluten gandum protein 80, dan SCP protein 70. 5. Bahan pengisi,
merupakan produk karbohidrat yang dapat menyerap air dalam jumlah yang banyak tetapi sifat emulsinya kurang bagus. 6. Bumbu, untuk memberikan
citarasa spesifik. 7. Pewarna dan selongsong.
Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk kokus.
Pengamatan dengan mikroskop pada bakteri ini menunjukan bentuk yang berpasangan, rantai pendek, atau berkelompok seperti buah anggur. Beberapa
strain mampu menghasilkan toksin tahan panas dalam jumlah yang banyak dan menyebabkan penyakit pada manusia. Spesies Staphylococcus tumbuh secara
aerob atau anaerob fakultatif dan melakukan metabolisme secara fermentasi atau respiratori. Bakteri ini bersifat katalase positif dan dapat menggunakan berbagai
jenis karbohidrat. Seperti kebanyakan bakteri gram positif lainnya, Staphylococcus
membutuhkan komponen organik tertentu untuk kebutuhan nutrisinya. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, tiamin dan asam
nikotinat digunakan sebagai sumber vitamin B Jay 2000. Umumnya makanan terkontaminasi S. aureus dari manusia, seperti tangan
manusia atau lewat kontaminasi sumber lain, seperti peralatan yang sebelumnya telah terkontaminasi S. aureus dari manusia. Sekitar 25-50 populasi manusia
kemungkinan membawa S. aureus Eley 1992. Menurut Deshpande 2002, S. aureus
dapat berpindah lewat bersin, batuk, kontak jari, gigitan, dan sapu tangan. Beberapa strain S. aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan
tempat pengolahan makanan Blackburn dan Mc Clure 2002. Menurut
Resch et al
. 2005, S. aureus memproduksi beberapa senyawa adhesive
, seperti polysaccharide intercellular adhesion PIA, biofilm associated protein
Bap, dan protein lainnya yang memungkinkan sel bakteri menempel sebagai stuktur. Setelah menempel pada permukaan sebagai struktur, biofilm
tersebut biasanya membentuk beberapa lapisan dan terdeferensiasi. Sel bakteri berada di dalam matriks berlendir dan menjadi lebih resisten terhadap respon
imun inang. Umumnya
S. aureus tidak memiliki kemampuan kompetisi yang baik
dengan flora normal pada kebanyakan makanan. Sangat banyak peneliti yang telah menunjukan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan segar
dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus,
mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi,
dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus ialah Acinetobacter,
Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, Enterobactericeae, Lactobacillaceae, Enterococci
, dan Streptococcus Jay 2000. Menurut ICMSF 1996, S. aureus sangat resisten terhadap pembekuan,
thawing, dan masih dapat hidup pada makanan yang disimpan pada suhu dibawah
-20°C. Pada suhu yang lebih tinggi, misalnya -10°C hingga 0°C, viabilitasnya menurun. Pertumbuhan bakteri ini optimal pada suhu 35-40°C dan terbatas pada
suhu 7°C dan 48°C. Pada suhu 10°C terjadi waktu lag yang panjang yaitu lebih dari 20 jam dan saat pertumbuhannya dimulai, kecepatannya sangat lambat. Pada
suhu yang lebih rendah, sedikit penurunan pH atau Aw akan membatasi pertumbuhan S. aureus. Pertumbuhannya lebih terbatas pada kondisi anaerob.
Bakteri ini bisa dibunuh pada suhu pasteurisasi dan pemasakan makanan. Resistensinya meningkat pada makanan kering dan kaya lemak. Ketahanan
terhadap panasnya sangat dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan. Ketahanan panasnya meningkat jika pertumbuhan berlangsung pada suhu 37°C tetapi
menurun jika pertumbuhan berlangsung pada suhu 20°C. S. aureus
merupakan mikroorganisme salt-tolerant dan dapat tumbuh pada aw 0.85 mengandung garam 25 ww ICMSF 1996. Pertumbuhannya juga
dipengaruhi oleh pH. Menurut ICMSF 1996, S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.3. Sementara itu menurut Jay 2000, S. aureus dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8,
namun pertumbuhannya optimum pada pH 6-7. S. aureus
memiliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia. Salah satunya ialah protein permukaan
yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasion, leukosidin,
kinase, dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitosin yang dapat membunuh leukosit sedangkan hyaluronidase adalam enzim yang dapat mendegradasi asam
hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan Todar 2008.
S. aureus menghasilkan toksin yang dapat melisis membrane sel eukariot,
yaitu hemolisin, leukotoksin, dan leukosidin. Selain itu, bakteri ini juga menghasilkan beberapa toksin yang dapat merusak jaringan inang maupun
menyebabkan penyakit, seperti enterotoksin, toxic shock syndrome toxin TSST, dan exfoliantin toxin ET
Todar 2008. TSST yang dikenal juga sebagai SEF adalah toksin yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome, yaitu penyakit yang
ditandai dengan demam dan hipotensi. ET merupakan toksin yang dapat membelah lapisan tengah epidermis sehingga menyebabkan kulit terkelupas
Peterson dan Finegold 1994. Untuk menyamarkan dirinya dari sel imun, S. aureus menghasilkan
protein A, koagulase, dan faktor penggumpal Todar 2008. Koagulase ialah enzim larut air yang dapat menggumpalkan komponen plasma Omaye 2008.
Kemampuan menghasilkan koagulase adalah salah satu sifat yang paling membedakan S. aureus dibandingkan dengan spesies lain. Umumnya
enteroktoksin dihasilkan oleh stafilokoki yang bersifat koagulase positif. Valle et al.
1990 mendeteksi enterotoksin yang dihasilkan oleh stafilokoki kambing sehat. Sebanyak 74 dari stafilokoki koagulase positif menghasilkan
enterotoksin.
Intoksikasi oleh Staphylococcus aureus
Penyakit yang disebarkan melalui makanan telah menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menyebabkan sekitar 5.000 orang
meninggal dunia dan sekitar 76 juta orang mengalami gangguan kesehatan Mead et al
. 1999. Salah satu keracunan ialah intoksikasi Staphylococcus. Keracunan ini meliputi 20 sampai 50 dari seluruh keracunan yang disebabkan oleh makanan.
Kasus ini disebabkan oleh tertelannya toksin yang terdapat pada makanan. Toksin ini lebih dikenal sebagai enterotoksin karena dapat menyebabkan gastroenteritis
atau inflamasi pada saluran usus Supardi dan Sukamto 1999. Menurut USFDA 1999, dosis efektif enterotoksin Staphylococcus yang dapat menyebabkan
penyakit ialah ketika populasi bakteri ini lebih besar dari 10
5
per-gram dalam makanan yang terkontaminasi. Dalam penelitian lain, tercatat kisaran populasi
yang dapat menghasilkan kasus keracunan berkisar 10
5
sampai 10
8
sel per gram
produk. Dalam kenyataan yang lain jumlah populasi sel yang lebih rendah sudah dapat menyebabkan penyakit ini Holmberg dan Blake 1984.
Secara umum, jumlah enterotoksin dalam makanan relatif rendah sehingga jarang yang dapat menyebabkan kematian. Pemeriksaan yang dilakukan pada
makanan yang diimplikasikan dalam keracunan yang diakibatkan oleh makanan yang mengandung enterotoksi ini menunjukan bahwa kadar enterotoksin yang
hanya 1µg sudah bisa menimbulkan gejala pada individu-individu yang sensitif Raiser et al. 1974. Dalam penelitian lain juga menyebutkan bahwa dosis toksin
kurang dari 1µg dalam makanan yang terkontaminasi akan menimbulkan penyakit ini. Staphylococcus dapat masuk ke dalam makanan dikarenakan tercemar oleh
jaringan kulit selaput lendir yang terbuka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit. Oleh karena itu, pekerja dengan luka
terbuka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah pangan Schaechter et al. 1993. Apabila S. aureus terkontaminasi pada makanan dan terdapat nutrisi yang cukup
untuk pertumbuhannya, maka bakteri ini akan bertambah dengan cepat. Bahan pangan yang menunjang pertumbuhannya ialah yang mengandung kadar protein
tinggi seperti daging, unggas, telur, ikan, kentang, produk bakeri, dan susu USFDA 1999. Hal ini disebabkan oleh adanya 11 asam amino yaitu valin,
leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin, dan arginin Supardi dan Sukamto 1999.
Keracunan pangan akibat S. aureus disebabkan oleh tertelannya Staphylococcus Enterotoxin SE bersama pangan yang terkontaminasi. Setelah
tertelan, SE akan masuk ke saluran pencernaan dan mencapai usus halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan
sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan pangan yang disebabkan SE ini muncul setelah tiga sampai enam jam setelah
enterotoksin tertelan. Masa inkubasi ini juga bergantung pada jumlah toksin dan kerentanan individu Ash 2000 didalam Hocking et al. 2000. Gangguan
kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah perasaan letih, mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan dan inflamasi usus ICMSF
1996. Dalam beberapa kasus, darah dan lendir tampak pada feses dan muntahan tetapi pada kasus yang ringan penderita mengalami mual dan muntah tanpa
disertai diare atau kram perut Ash 2000 di dalam Hocking et al.2000. Pada kasus yang parah, penderita mengalami sakit kepala berlebih dan terus mengeluarkan
keringat sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah. Penderita akan mengeluarkan cairan dari seluruh jaringan sehingga dapat kehilangan 7-9 Kg
berat bandannya. Wilayah regional EU merekomendasikan untuk mengikuti pedoman yang
dibuat oleh United Kingdom, untuk pangan siap saji. Food Standards Australia New Zealand FSANZ
juga tidak menerapkan untuk pangan jenis ini. Sebagai pedoman kualitas mikrobiologis untuk pangan ini, New South Wales Food
Authority menetapkan pedoman yang megacu pada Health Protection Agency dan
FSANZ . Pedoman Angka Lempeng Total ALT dan cemaran Staphylococcus
aureus terangkum dalam Tabel 3. Angka Lempeng Total atau total mikroba pada
bahan pangan siap saji khususnya ayam olahan siap saji yang diterima oleh ketiga pedoman tersebut ialah kurang dari 10
5
CFUg. Tabel 3. Kriteria mutu S. aureus untuk pangan siap saji.
Parameter Mutu Mikrobiologi cfug
Sumber
Satisfactory Bordeline
Unsatisfactory
ALT 10
3
10
3
-10
5
≥10
5
a S. aureus
dan Stafilokoki koagulase yang lain
20 20-10
4
10
4
a
Parameter Mutu Mikrobiologi cfug
Sumber Good Acceptable Unsatisfactory
Potentially Hazardous
ALT 10
4
10
5
≥10
5
NA b
S. aureus dan Stafilokoki
koagulase yang lain 10
2
10
2
- 10
3
10
3
- 10
4
≥10
4
b Parameter
Mutu Mikrobiologi cfug Sumber
Satisfactory Acceptable
Unsatisfactory Unacceptable
ALTMeat, poultry 10
4
10
4
- 10
5
≥10
5
NA c S. aureus
20 20-100 100-10
4
≥10
4
c
Foods cooked immediately prior to sale or consumption.
a
Health Protection Agency, UK 2009.
b
NSW Food Authority 2009.
c
Food and Environmental Hygiene Departement, hongkong 2007
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret-September 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, PAU IPB, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah larutan pengencer KH
2
PO
4
, sosis ayam dari supermarket di wilayah Bogor, buffer fosfat, aquades, Baird-Paker Agar BPA, kuning telur, tellurite, Trypticase Soy
Agar TSA, brain heart infusion broth BHIB, plasma kelinci, H
2
O
2
, bromcresol purple
, paraffin cair, bahan pewarna Gram, alkohol 70, kapas, plastik, aluminium foil, tisu dan korek api. Isolat S.aureus yang digunakan dalam
penelitian adalah isolat ATCC 25923 yang diperoleh dari Ibu Harsi Kusumaningrum. Dipakai juga data pembanding dari penelitian Dwintasari 2010
pada S. aureus ATCC 25923 yang ditumbuhkan pada ayam suwir dengan konsentrasi awal 10 dan 10
3
cfu gram
-1
dan data penelitian Rawendra 2008 pertumbuhan S. aureus pada nasi uduk dengan penyimpanan pada suhu optimum
35-37 °C dengan jumlah mikroba awal 10
3
cfu g
-1
dan 10
5
cfu g
-1
. Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, neraca analitik, stomacher,
coolbox , inkubator, ose, cawan petri, stik hoki, hot plate, magnetic stirrer, vortex,
sentrifus, botol semprot, bunsen, gunting, pinset, pipet Mohr, bulb, pipet mikro, tips, dispense pipette, sudip, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, tabung reaksi
berukir, rak tabung reaksi, dan software DMfit serta RSM MODDE 5.
Metodologi Rancangan penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan seperti yaitu persiapan sampel, persiapan inokulum yang sebelumnya dilakukan uji konfirmasi, inokulasi kultur S.
aureus pada sampel sosis ayam, dan perhitungan jumlah S. aureus selama
penyimpanan pada -5 sampai 10°C. Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva
pertumbuhan S. aureus menggunakan program DMFit sehingga diperoleh nilai laju pertumbuhan dan lama waktu lag Gambar 2. Tahapan selanjutnya ialah
pembuatan model berdasarkan data laju pertumbuhan dan lama waktu lag menggunakan RSM MODDE 5. Validasi model RSM dilakukan dengan
memasukan nilai suhu dan waktu pada rentang percobaan untuk memperoleh nilai laju pertumbuhan dan lama waktu lag dari model RSM yang kemudian
dibandingkan dengan nilai sebenarnya dari percobaan. Setelah didapatkan model tervalidasi, dilakukan pembuatan kurva pertumbuhan dengan menggunakan
persamaan Baranyi.
Gambar 2. Diagram alir penelitian.
Uji Konfirmasi BAM 2001 Pewarnaan Gram
Kultur terduga
S.aureus dipindahkan dengan ose ke atas gelas obyek.
Gelas obyek tersebut kemudian dilewatkan di atas api, diberi pewarna primer ungu Kristal dan didiamkan selama 1 menit kemudian dibilas dengan air. Kultur
yang telah dibilas itu diberi iodium didiamkan selama 2 menit, kemudian dibilas dengan air dan dilanjutkan dengan alkohol hingga warnanya menjadi pucat
Uji Konfirmasi S. aureus
Persiapan inokulum Innokulasi kultur S.
aureus 0, 20, dan
100 cfug pada sosis ayam
Persiapan sampel sosis ayam
Jumlah S. aureus
Nilai laju pertumbuhan dan
lama waktu lag dari DMFit
Kurva pertumbuhan
Disimpan pada -5, 2.5, dan 10 °C
Permodelan dengan
RSM VALIDASI
Kurva Pertumbuhan
S. aureus prediksi