MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA (Ditinjau dari Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman)
MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA
(Ditinjau dari Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman)
T E S I S
Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
Untuk memperoleh gelar Magister Hukum Islam
Oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM 06130008
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Agustus 2012
i
MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA
(Ditinjau dari Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman)
Yang diajukan oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM: 06130008
Telah disetujui,
Tanggal, 14 Agustus 2012
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag
Drs. M. Syarif, M.Ag
Direktur
Program Pascasarjana
Ketua Program Studi
Magister Agama Islam
Dr. Latipun, M.Kes
Prof. Dr. Tobroni, M.Si
ii
TESIS
Dipersiapkan dan disusun oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM: 06130008
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal, 13 Agustus 2012
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. Ketua
: Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag
__________________
2. Sekretaris : Drs. M. Syarif, M.Ag
__________________
3. Penguji I : Prof. Dr. Tobroni, M.Si
__________________
4. Penguji II : Prof. Dr. Ishomuddin, M.Si
__________________
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
NIM
Program Studi
: Hermin Sriwulan
: 06130008
: Magister Agama Islam
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Tesis dengan judul MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA (Ditinjau dari Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman) adalah hasil karya saya, dan dalam naskah tesis ini
tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik
sebagian atau keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
plagiasi, saya bersedia tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya
peroleh dibatalkan serta diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan hak bebas royalti
non eksklusif.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Malang, 5 Januari 2012
Hermin Sriwulan
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya, yang mengajar manusia apa yang tidak diketahui. Shalawat dan
salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabiyullah Muhammad SAW,
panutan dan suri tauladan umat manusia.
Berkat rahmat Allah SWT disertai motivasi yang kuat dan bimbingan dari
para pihak terkait, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini. Tesis
ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sudi Islam
Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Abah dan ibunda tercinta, Suamiku tercinta Edwin Prasedianto, ST yang setia
memberikan dorongan dan semangat, serta ananda tercinta Ahnaf Caesar
Hakim yang sabar dan merelakan waktu dan perhatiannya untuk ditinggal
bertugas jauh dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan
tesis ini, seluruh anggota keluarga yang telah mencurahkan kasih sayangnya
dan dengan penuh kesabaran dan pengorbanannya selalu memberikan
dorongan dan bantuan agar
penulis
dapat
menyelesaikan
studi
di
Universitas Muhammadiyah Malang.
2. Bapak Dr. Muhadjir Efendy, M.AP selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan pascasarjana melalui pemberian program beasiswa penuh.
3. Bapak Dr. Latipun, M.Kes. selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Malang.
4. Bapak Prof. Dr. Tobroni, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Studi
Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
5. Bapak Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag selaku Pembimbing Utama dan Bapak
Drs. M. Syarif, M.Ag selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan serta dorongan selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
v
6. Segenap Ibu dan Bapak dosen, atas didikan dan bimbingan yang telah
mengantarkan penulis menyelesaikan seluruh program akademis dengan baik
7. Teman-teman seperjuangan Galuh, Syarqowi, Mat Busri, M. Ghozali yang
telah menjadi teman diskusi yang baik bagi penulis.
8. Serta para pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu melindungi dan meridhai atas segala apa
yang penulis sampaikan dalam tesis ini. Semoga penulisan tesis ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan kalangan akademis dan peradilan pada umumnya.
Akhirnya, saran dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan dalam
rangka memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dan dalam rangka untuk
menyempurnakan penulisan tesis ini.
Malang, 5 Januari 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN
KATA PENGANTAR
LEMBAR MOTTO DAN PERSEMBAHAN
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
ii
iii
iv
v
vi
vi
ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kajian Terdahulu
F. Teori Penelitian
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Sumber Data
3. Metode Analisis
H. Sistematika Pembahasan
1
11
12
12
13
17
19
19
20
21
22
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Mediasi
1. Menurut Hukum Islam
2. Menurut Hukum Positif
3. Manfaat Mediasi
4. Prinsip-prinsip Mediasi
B. Konsep Perceraian
1. Definisi Perceraian
2. Alasan Perceraian
3. Akibat Perceraian
C. Konsep Pengadilan Agama
D. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
25
25
36
49
52
54
54
59
65
71
74
BAB III: MEDIASI DALAM PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM
PERKARA
PERCERAIAN
DI
PENGADILAN
AGAMA........................................................................................................79
81
A. Substansi Hukum
B. Struktur Hukum
94
C. Budaya Hukum
101
vii
BAB IV: RELEVANSI MEDIASI PADA PERMA NOMOR 1 TAHUN
2008 DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
..................................................................................................................... 107
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
132
133
DAFTAR PUSTAKA
135
viii
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Busthanul, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, (Jakarta: alHikmah, 2001).
Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, hukum adat dan
hukum nasional, (Jakarta, Kencana, 2009), cet I.
Abdul Hak, Nora, The Role of The Conciliatory Committee and Hakam
(Arbitrator): The Practice and Provisions of The Islamic Family Law in
Malaysia, (Malaysia: International Islamic University Malaysia Press,
2008).
Abdullah, Mujiono, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Solo: UMS
Press, 2003).
Al-Aynayni, Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad, al-Bidãyah fi Syarh alHidãyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jild. 9.
Al-Mahally, Jalaluddin, Qalyuby wa Umairah, (Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub alArabiyah, tt.).
Ali, Moh Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Cet IV (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), Cet. VIII,
As-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, (Beirut:
Darul Fikri, tt.), Juz I.
ix
Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Dimaskus: Dar al-Fikr,
1984).
Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).
Donzel, E. van, Lewis, B., dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill,
1990).
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2000), Cet. 2.
Family Court of Australia, Annual Report 2008-2009, (Australia: Commonwealth
of Australia, 2009).
Friedman, Lawrence M., American Law: An invaluable guide to the many faces of
the law, and how it affects our daily our daily lives, (New York: W.W.
Norton & Company, 1984).
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Nusa
Media, 2009).
Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective (New
York: Russell Sage Foundation, 1975).
Ghazali, A. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 2.
Goopaster, Garry, Negoisasi Dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi Dan
Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993).
Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer
(Yogyakarta:
Jendela, 2001), dan Rahardjo, M. Dawan, Ensklopedi Al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 1997).
x
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama
(Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Karini, 2007),
hal.248.
Harahap, M. Yahya, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993).
Harahap, M. Yahya, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan
Agama, (Jakarta: al-Hikmah, 1975).
Hoynes, John Michael., Haynes, Cretchen L, dan Fang, Lary Sun, Mediation:
Positive Conflict Management, (New York: Suny Press, 2004).
Ka’bah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No
271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI).
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. VIII (Kairo: Ad-Dar alKuwaitiyyah, 1968).
Lister, Leisha, Executive Adviser to the CEO of FCoA: Understand What Clients
Want’. www.badilag.net.
Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta, Kencana, 2006), cet 4
Manan,
Abdul,
Problematika
Perceraian
Karena
Zina
dalam
Proses
Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, al-Hikmah & Ditbinbapera, (Jakarta No 52 Th XII 2001).
Manser, Martin H., Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, (Oxford: Oxford
University Press, 1995).
xi
Margono, Suyud & Pandjaitan, Hinca IP, Alternatif Dispute Resolution, (Jakarta:
FH-Universitas Atmajaya, 1998).
Moore, Christoper W., dalam Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di
Luar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003).
Muhammad, Abdul Kadir, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga Di
Beberapa Negara Eropa, (Bandung: Citra Aditya, 1998).
Muktiarto, Hukum Acara Perdata dalam Praktek, ()
Najamuddin, dan Seroza, Candra Boy, Beberapa Permasalahan Mediasi dalam
Teori dan Praktek di Pengadilan Agama, Makalah Rakerdagab Peradilan
Se-Sumatera Utara, Tahun 2009.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jld. I (Jakarta: UI Press,
1985).
Nasution,
Khoiruddin,
Status
Wanita
di
Asia
Tenggara:
Studi
terhadapPerundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002).
Neumann,
Diane,
The
Psychological
Stages
of
Divorce,
dalam
www.divorcemed.com.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1978).
Roberts, Marian, Mediation in Family Disputes: Principles and Practice (Third
Edition), (Hampshire: Ashgate Publishing Ltd, 2008).
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, tt.), Jilid II.
Soekanto, Soerjono, Perbandingan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 1979).
xii
Soekanto, Soerjono dan Mahmudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).
Saposnek, Donald T. dan Rose, Chip, The Psychology of Divorce, dalam
www.mediate.com.
Sutantio, Retnowulan, Mediasi dan Dading, dalam Mediasi dan Perdamaian,
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004).
Syahrani, Riduan, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009, Cet. V.
Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2000).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998).
Widiana, Wahyu, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian di
Pengadilan Agama, Kaitannya dengan BP4, Makalah disampaikan pada
Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta, dimuat pada
www.badilag.net.
Peraturan Perundang-undangan:
Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
xiii
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement
untuk daerah seberang).
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 28PK/AG/1995
tanggal 16 Oktober 1996.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian
sengketa yang selama ini memegang peranan penting dalam masyarakat,
namun produk pengadilan yaitu putusan yang diberikan terkadang dianggap
belum mampu menciptakan keadilan dan kepuasan bagi kedua belah pihak
yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung memuaskan salah satu
pihak.
Proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan
biaya dan memakan waktu. Hal ini disebabkan sistem pengadilan
konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan putusan
dengan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang
kalah. Pihak yang dapat membuktikan dalil-dalil kebenarannya akan diputus
menang, sementara pihak yang tidak dapat membuktikan dalil-dalil
kebenarannya akan diputus kalah. Upaya hukum yang diberikan oleh
pengadilan berupa banding, kasasi atau peninjauan kembali, cenderung
digunakan oleh pihak yang kalah. Adakalanya pihak yang kalah merasa tidak
puas dan akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke
Mahkamah Agung untuk mendapatkan keadilan yang diharapkan. Hal inilah
yang membuat perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung bertumpuk.
Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah
jumlah hakim, karena banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung
melebihi kemampuan pemerintah untuk menambah jumlah hakim. Sebagai
alternatif, usaha untuk menyelesaikan masalah ini harus secara langsung pada
tingkat terendah dari sistem peradilan Indonesia, yaitu pengadilan tingkat
pertama, tempat perkara pertama kali didengar.
Realitas
tersebut
kontradiktif
dengan
asas
peradilan
yang
menegaskan penyelesaian perkara atau sengketa secara sederhana, cepat, dan
biaya ringan.1 Bila permasalahan tersebut tidak cepat dicarikan solusi, maka
akan berbahaya bagi keberadaan lembaga peradilan, karena keadaan semacam
itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat untuk menyerahkan
berbagai masalahnya pada sistem peradilan. Dengan kata lain, keberadaan
lembaga peradilan akan menjadi sia-sia, untuk itu, menjadi mutlak adanya
solusi yang di satu sisi mampu meminimalisir menumpuknya jumlah perkara
di pengadilan secara cepat, dan di sisi lain masyarakat yang beperkara
mendapatkan kepuasan dengan mendapatkan keadilan dan kepastian dengan
solusi tersebut.
Menyadari hal itu pada tahun 2002 Mahkamah Agung mengeluarkan
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 tahun 2002 untuk
memberdayakan lembaga perdamaian (dading) yang diatur oleh Pasal 130
1
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
jo. Pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009.
HIR2/154 RBg3 dalam perkara-perkara perdata. Efektifitas SEMA Nomor 1
tahun 2002 ternyata oleh Mahkamah Agung dipandang belum memuaskan,
karena dipandang hanya sebatas anjuran bagi para hakim justru karena tidak
terintegrasi ke dalam proses beperkara di pengadilan, disamping dianggap
belum memiliki kekuatan daya mengikat bagi para pihak yang beperkara.4
Atas dasar alasan itulah Mahkamah Agung mengintegrasikan proses
mediasi yang merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
menjadi bersifat mengikat dan masuk sebagai bagian dari proses beperkara di
pengadilan5, yakni melalui penyempurnaan SEMA Nomor 1 tahun 2002
menjadi PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 2 tahun 2003.
Penerapan PERMA Nomor 2 tahun 2003 yang telah terintegrasi ke dalam
proses beperkara di pengadilan menjadi satu keharusan, baik bagi hakim
maupun para pihak yang beperkara, artinya ketika hakim memeriksa perkara,
sebelum masuk pada proses pokok perkara, tegasnya pada hari sidang pertama
wajib dan bukan sekedar bersifat anjuran kepada para pihak untuk menempuh
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak
datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan
mereka”. HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement, merupakan salah satu sumber
hukum acara perdata bagi daerah pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda
yang masih berlaku di Indonesia hingga kini. HIR sebenarnya berasal dari Inlansch Reglement
(IR) atau Reglement Bumiputera. IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb).
1848 Nomor 16 merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President hooggerechtshof
(Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia dalam Riduan
Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), Cet.
V, hal 13-19.
3
Bunyi Pasal 154 ayat (1) RBg adalah bila pada hari yang ditentukan para pihak datang
menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah
seberang), merupakan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura
dalam Riduan Syahrani, Op. Cit, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), Cet. V, hal 13-19.
4
Pertimbangan lahirnya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
5
Ibid.
2
proses mediasi dalam upaya menyelesaikan perkaranya. Dengan demikian di
dalam praktek di pengadilan, kedudukan PERMA Nomor 2 tahun 2003
menjadi lex spesialist terhadap hukum acara biasa.
Mediasi -termasuk salah satu alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution)- dalam tata hukum nasional telah
mendapatkan legalitas perundang-undangan yang disahkan pada tanggal 12
Agustus 1999 yaitu melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan mengenai
Alternatif penyelesaian sengketa sendiri diatur dalam bab tersendiri yang
menguraikan bahwa :
”Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.6
Pasal tersebut telah mempertegas keberadaan lembaga mediasi
sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun undang-undang ini
tidak mengatur dan memberikan definisi lebih rinci dari lembaga-lembaga
alternatif tersebut, termasuk mediasi, sebagaimana pengaturannya tentang
arbitrase7.
6
Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
7
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
pihak yang bersengketa.
Di samping itu, upaya mediasi dalam proses beracara di pengadilan
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 20088. PERMA tersebut merupakan
revisi dan penegasan ulang terhadap PERMA sebelumnya yaitu PERMA
Nomor 2 Tahun 2003. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kelemahankelemahan normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran
maksimal yang diinginkan9, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim
tentang permasalahan-permasalahan dalam PERMA tersebut. Pasal 130
HIR/154 Rbg yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan
sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini yang sudah
dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai
Pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan
melalui PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan. Selanjutnya dengan berlakunya PERMA Nomor 1 Tahun 2008,
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku lagi10.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. 11 Seorang
mediator tidaklah berperan sebagai hakim yang memaksakan pikiran
keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti
8
Dalam Pasal 1 ayat (7) PERMA Nomor 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan dijelaskan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk mencapai kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
9
Pertimbangan lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan poin (e).
10
Pasal 26 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
menegaskan bahwa dengan berlakunya peraturan ini PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
11
Secara etimologi mediasi berasal dari bahasa latin mediare artinya berada di tengah.
arbitrer12, tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi
apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog,
membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan
mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan
perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima
para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di
antara para pihak yang bersengketa, maka dibuatkanlah suatu akta perdamaian
yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.13
Bagi lingkungan peradilan Agama, kehadiran seorang mediator
dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru.
Secara yuridis formal Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Pasal 76 ayat (2)14 telah menetapkan keberadaan hakam (juru damai) dalam
perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian
halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal
pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara khusus
maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya.
12
Arbiter adalah pihak ketiga yang diangkat oleh para pihak yanng bersengketa untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Arbiter mempunyai kewenangan dan peran yang berbeda
dengan mediator, arbiter mempunyai kewenangan menawarkan solusi sekaligus memberikan
keputusan akhir.
13
Pasal 17 ayat (5) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan.
14
Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 berbunyi: Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri, dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa, termasuk perceraian dapat
dilakukan melalui 2 (dua) proses. Pertama; penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi atau persidangan di pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan.
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum
mampu menyelesaikan kepentingan bersama, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya yang cukup
banyak, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang
bersengketa dengan tanpa mengurangi asas yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
menegaskan bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan”.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan menurut M. Yahya
Harahap15 relatif lambat karena :
a. Penuh dengan formalitas;
b. Terbuka upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali sehingga proses
penyelesaian di pengadilan membutuhkan waktu yang sangat panjang, bisa
berbulan-bulan/ tahun bahkan puluhan tahun;
c. Munculnya berbagai upaya proses yang lain, seperti upaya intervensi atau
perlawanan dari pihak ketiga (derden verzet)16, menyebabkan penyelesaian
semakin rumit dan panjang.
15
M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 232.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui lembaga peradilan di Indonesia kurang efektif dan efisien
apabila ditinjau dari analisis ekonomi. Sebaliknya melalui proses mediasi yang
dilakukan di luar persidangan, namun masih terintegrasi dalam proses
beracara di pengadilan, akan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “winwin solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan
masalah secara komperehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik. Satu-satunya kelebihan proses mediasi ini adalah sifat
kerahasiaannya, karena hasilnya tidak dipublikasikan17. Dengan demikian
mediasi
sebagai
salah
satu
mekanisme
penyelesaian
sengketa
mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang
akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.18
Mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama adalah suatu
proses usaha perdamaian antara suami dan istri yang telah mengajukan
gugatan cerai atau permohonan cerai talak, mediasi tersebut dijembatani oleh
seorang Hakim yang ditunjuk sebagai mediator. Tugas mediator pada proses
mediasi perkara perceraian sangat berbeda dengan mediasi pada perkara
perdata umum. Pemeriksaan pada perkara perceraian tidak mencari siapa yang
16
Derden Verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap subyek pihak-pihak yang
terdapat dalam suatu perkara yang diputus, yang merugikan kepentingannya, sebelum putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap atau sebelum penetapan eksekusi dilaksanakan dalam
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), Cet. VIII, hal. 126.
17
Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
18
Suyud Margono & Hinca IP Pandjaitan, Alternatif Dispute Resolution, (Jakarta: FHUniversitas Atmajaya, 1998), hal. 6.
menang dan siapa yang kalah, siapa yang benar dan siapa yang salah,
melainkan bagaimana hakekat rumah tangga tersebut, apakah masih mungkin
dapat dipertahankan sebagaimana tujuan perkawinan.19 Disamping itu
perdamaian dalam perkara perceraian mengharuskan para pihak hadir sendiri
dalam proses mediasi.20
Dalam hal ini penulis memfokuskan pembahasan pada mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Mengingat perkara perceraian adalah perkara yang paling banyak21
dan pada saat pasca mediasi, para pihak tidak jarang bermusuhan sehingga
mediasi tersebut dianggap gagal, selain itu sangat sedikit mediasi yang
berhasil damai. Juga perkara perceraian adalah perkara yang khusus yang
berbeda dengan perkara perdata pada umumnya. Perkara perceraian adalah
perkara privat yang penyebabnya hanya diketahui oleh kedua belah pihak,
yang melibatkan hati atau perasaan suami dan isteri, serta hanya diketahui
oleh keluarga dekat, yang pemeriksaan perkaranya dilaksanakan tertutup
untuk umum.22
Mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
diharapkan oleh Mahkamah Agung sebagai solusi untuk mengurangi jumlah
19
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 28PK/AG/1995 tanggal 16
Oktober 1996.
20
Pasal 82 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
21
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009.
22
Pasal 59 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009. Pasal 59 ayat (1) tersebut berbunyi: Sidang pemeriksaan
Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undangundang menentukan lain atau jika
Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
penumpukan perkara di pengadilan, termasuk pengadilan agama, seharusnya
bukan hanya untuk mengurangi jumlah penumpukan perkara saja, tapi
bagaimana mediasi tersebut meskipun gagal, namun suami isteri dapat
bercerai dengan baik, dengan kata lain hubungan silaturrahim antara keduanya
tetap baik.
Dari uraian tersebut terdapat kesenjangan antara tujuan mediasi yang
dikehendaki oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan sedikitnya perkara
perceraian di pengadilan agama yang berhasil damai dalam upaya mediasi.
Sesuai dengan tujuan diberlakukan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 secara
teoritis mediasi di Pengadilan Agama memiliki tujuan yang menguntungkan
bagi Pengadilan Agama dan para pihak. Tujuan tersebut diantaranya bagi para
pihak yang beperkara mediasi bertujuan untuk: a) tercapainya penyelesaian
sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak
sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi, b)
penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah, c) hubungan baik para
pihak yang bersengketa tetap dapat terjaga, dan d) lebih tinggi tingkat
kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan karena dibuat oleh kedua
belah pihak. Sedangkan bagi Pengadilan Agama, mediasi bertujuan untuk: a)
mengurangi penumpukan perkara (court congestion), dan b) memperlancar
jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
Faktanya penyelesaian perkara melalui mediasi dapat memperlambat
penyelesaian perkara, menambah beban kerja hakim sebagai mediator,
kemampuan mediator lemah terbukti dari minimnya mediator hakim
bersertifikat mediator dan sikap para pihak yang memandang mediasi sebagai
sarana yang dapat menghambat para pihak menyelesaikan sengketanya di
pengadilan. Hal ini ditunjukkan oleh laporan tahunan Mahkamah Agung tahun
2009 yang ternyata mediasi tidak mengurangi penumpukan perkara secara
signifikan.
Fakta tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan
penelitian dengan judul Mediasi Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan
Agama. Penulis menggunakan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman
untuk menganalisa efektif atau tidak, pelaksanaan mediasi dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama,
selanjutnya penulis akan memberikan analisa mediasi pada PERMA Nomor 1
Tahun 2008 tersebut masih ideal atau tidak diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama.
B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama ditinjau dari teori sistem hukum
Lawrence Friedman?
2. Apakah mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 masih
ideal untuk diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang akan dikaji, maka tujuan
penelitian ini adalah upaya untuk mendapatkan deskripsi & analisa yang jelas
dan komperehensif tentang :
1. Pelaksanaan mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama ditinjau dari teori sistem hukum
Lawrence M. Friedman.
2. Apakah mediasi yang diatur di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
masih ideal untuk diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis, secara teoritis di samping dapat berguna bagi
pengembangan ilmu penulis, juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti
yang akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti
yang akan datang terutama terletak pada ketersediaan data awal,
karakteristik termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis
yang fokus.
2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran
dalam
pemecahan
persoalan
hukum,
terutama
dalam
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama,
sehingga
mediator
akan
berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
mendamaikan para pihak yang sedang bercerai, atau setidak-tidaknya
membuat suami isteri berpisah secara baik-baik dan tidak ada permusuhan.
Dengan demikian para pihak yang bercerai tidak menempuh upaya hukum
lebih lanjut yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga tujuan
diberlakukannya mediasi untuk mengurangi penumpukan perkara dan
mempercepat proses penyelesaian perkara dapat tercapai.
E. Kajian Terdahulu
Mediasi merupakan pembahasan yang menarik, mengingat karakter
bangsa Indonesia yang sering menggunakan jalan musyawarah untuk mufakat
dalam menyelesaikan suatu masalah atau konflik. Berangkat dari hal inilah
banyak peneliti yang mengangkat mediasi sebagai obyek penelitian.
Telah banyak penelitian yang mengangkat pembahasan tentang
mediasi, diantaranya:
1. Mediasi adalah sistem penyelesaian perkara secara non litigasi yang
diadopsi dari Jepang. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yoshiro
Kusano yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Wakai:
Memotret Sistem Mediasi Negeri Sakura, dengan editor TM. Luthfi Yazid,
cetakan I Agustus 2008, penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.
Dalam penelitian tersebut Yoshiro Kusano membahas mediasi di
Jepang yang dikenal dengan istilah wakai chotei. Yoshiro memusatkan
pembahasan tentang wakai, satu dari dua metode penyelesaian sengketa
berdasarkan kesepakatan para pihak yang dikenal di Jepang. Wakai adalah
kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu,
yang berisi penyelesaian sengketa di muka hakim yang menangani kasus
litigasi tersebut. Sementara chotei adalah kesepakatan antara para pihak
dalam suatu perkara chotei tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di
muka Komisi chotei. Penelitian tersebut memaparkan secara komprehensif
apa dan bagaimana wakai dipraktekan di Jepang.
Penelitian dimulai dengan menjelaskan pengertian wakai, meliputi
karakteristik yang membedakannya dengan putusan hakim sampai
kelemahan serta keunggulan metode ini. Penelitian tersebut juga
mengungkapkan segala kritikan dan ketidakpuasan yang mengiringi
praktek wakai, namun Yoshiro memandang kritikan tersebut hanya
berkisar pada metode dan isi, tetapi tidak menafikan pentingnya wakai.
Meskipun secara umum jepang merupakan inspirasi bagi lahirnya
PERMA Nomor 1 Tahun 2008, namun penelitian tersebut hanya
membahas pelaksanaan mediasi dalam bentuk wakai dan chotei dalam
perkara perdata umum, dan bukan dalam perkara perceraian. Selain itu
Jepang dan Indonesia pada dasarnya memiliki kondisi hukum yang
berbeda, oleh karena itu hasil penelitian ini tidak begitu saja dapat
diterapkan di Indonesia.
2. Abdul Manan dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan
Peradilan Agama membahas secara umum tentang Alternative Dispute
Resolution (APS) yang meliputi negoisasi, mediasi dan konsiliasi. Dalam
penelitian tersebut tidak dikaji secara mendalam tentang mediasi yang
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, apalagi mediasi dalam
perkara perceraian di Peradilan Agama. Mediasi hanya dibahas secara
umum yang diterapkan pada perkara perdata umum.23
3. Syahrizal Abbas, telah mempublikasikan hasil penelitiannya dalam sebuah
buku yang berjudul Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum
Adat, dan Hukum Nasional, diterbitkan oleh Prenada Media Group tahun
2009
dengan
436
halaman.
Penelitian
tersebut
memfokuskan
pembahasannya pada lembaga mediasi sebagai salah satu alternatif
penyelesaiannya sengketa yang memberikan solusi win-win kepada para
pihak yang bertikai. Dalam buku ini dipaparkan secara komprehensif apa
yang dimaksud dengan mediasi, keterampilan apa yang harus dimiliki oleh
seorang mediator, bagaimana batasan dan pelaksanaan mediasi dalam
perspektif hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional.
Penelitian
tersebut
memang
membahas
mediasi
secara
komprehensif dalam tiga sistem hukum di Indonesia, yaitu sistem hukum
syariah, hukum adat dan hukum nasional, namun penelitian tersebut
membahas lebih banyak mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 2
Tahun 2003 dan tidak membahas pelaksanaan mediasi pada perkara
perceraian di Pengadilan Agama secara khusus.
4. I Made Sukadana dalam Disertasinya, Mediasi dalam Sistem Peradilan
Indonesia untuk Mewujudkan Proses Peradilan Yang Cepat dan Biaya
Ringan, (Unbraw: 2006). Dalam penelitian disertasinya, I Made Sukadana
23
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2006), cet. 4, hal. 171-183.
menyimpulkan bahwa mediasi dapat membantu menekan proses peradilan
yang lambat menjadi cepat. Penelitian tersebut lebih banyak membahas
mediasi dalam sistem non litigasi, dan hanya sedikit menyinggung mediasi
di pengadilan yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 secara
umum, dan tidak membahas mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama.
5. Yayah Yarotul Salamah. Mediasi dalam Proses Beracara di Pengadilan:
Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan
Mahkamah Agung RI. (Disertasi: 2009). Dalam kesimpulan disertasinya
menyatakan bahwa pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di
pengadilan tidak sulit untuk dilaksanakan karena di samping hukum acara
perdata Indonesia berdasarkan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg telah
memberikan celah bagi terintegrasinya mediasi dalam proses beracara di
pengadilan. Selain itu dikemukakan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang
memengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di Pengadilan Negeri
proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil, yaitu para pihak
yang bersengketa beritikad baik, hakim mediator berusaha dengan
sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatan dan ketiga
adalah jenis sengketanya mudah diselesaikan.
Menurut hasil kajiannya, kegagalan mediasi di Pengadilan Negeri
percontohan disebabkan oleh faktor para pihak yang tidak memiliki itikad
baik dan lemahnya profesionalisme hakim mediator.
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang mediasi yang
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama dengan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman sebagai
pisau analisis. Selanjutnya apakah mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor
1 Tahun 2008 tersebut masih ideal atau relevan diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama. Mengingat mediasi adalah jalan non litigasi
yang diharuskan ditempuh oleh para pihak dengan salah satu tujuannya untuk
mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan memberikan
solusi win-win bagi para pihak.
F. Teori Penelitian
Penelitian ini menggunakan teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman. Teori tersebut digunakan untuk menganalisa mediasi yang diatur
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ketika diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama serta relevansinya.
Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan
budaya hukum (legal culture).24 Kelembagaan hukum adalah bagian dari
struktur hukum seperti Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan di
bawahnya termasuk
Pengadilan
Agama
beserta
aparaturnya. Hakim
pengadilan sebagai struktur pengadilan memiliki peran yang penting di dalam
meningkatkan keberhasilan mediasi. Keberhasilan dan kegagalan mediasi
24
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media,
2009) hal. 4.
ditopang oleh kemampuan dan kecakapan Hakim mediator di dalam
menjalankan perannya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu elemen substansi hukum. Elemen
substansi ini idealnya dapat memberikan keadilan dan kepastian kepada para
pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar dari sengketa yang
sedang dihadapi. Peraturan mediasi ini berisi mengenai substansi dan
prosedural mediasi.
Aspek yang ke tiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Terkait
dengan budaya hukum ini, mediasi di Pengadilan Agama sesungguhnya
merupakan produk dari sistem hukum yang cara pemanfaatan dan
penggunaannya sangat tergantung dengan nilai dan keyakinan masyarakat
sebagai pengguna mediasi tersebut. Nilai dan keyakinan merupakan bagian
dari budaya masyarakat. Jika masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa
mediasi dapat berperan sebagai sarana penyelesaian masalah sengketa yang
dihadapi, maka para pihak yang akan bercerai tersebut mempunyai i’tikad baik
untuk menghadiri acara mediasi dan berusaha semaksimal mungkin mencari
solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, dengan demikian tujuan
mediasi akan tercapai sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat
dan biaya ringan, reputasi para pihak tidak terganggu, dan hubungan baik
tetap terjaga.
Dengan menggunakan teori ini diharapkan akan dapat menjawab
apakah pelaksanaan mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sudah tepat atau sudah efektif.
Teori tersebut akan dipergunakan untuk menilai apakah Hakim Mediator
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sudah mempunyai ketrampilan
dan kemampuan untuk menjadi Hakim Mediator yang ideal, apakah mediasi
yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 masih relevan diberlakukan
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, selain itu apakah budaya
hukum para pihak yang bercerai di Pengadilan Agama mendukung terhadap
pemberlakuan mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Tabel F.1. Teori Sistem Hukum
No
1.
Teori Sistem Hukum
Struktur Hukum
Keterangan
Meliputi Pengadilan Agama, Hakim pemeriksa
perkara dan hakim mediator.
2.
Substansi Hukum
Meliputi PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
3.
Budaya Hukum
Meliputi budaya hukum para pihak yang
bercerai di Pengadilan Agama. Hal ini tergambar
dari data laporan hasil mediasi para pihak yang
bersedia hadir atau tidak dalam upaya mediasi.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah
studi kepustakaan (library research) dengan model penelitian hukum
normatif-analitis25, yaitu pembacaan kritis dan mendalam terhadap bukubuku, undang-undang, literatur, majalah, surat kabar, berbagai karya tulis
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum normatif, Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14.
atau laporan hasil
penelitian sebelumnya
yang relevan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya hasil penelitian tentang
mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama tersebut dianalisa dengan teori-teori sebagai pisau
analisis.
2. Sumber Data
Data merupakan hal yang sangat urgen dalam sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini, ada tiga sumber data yang akan dijadikan sumber
rujukan atau landasan utama, yaitu: sumber primer, sumber sekunder dan
sumber tertier. Adapun yang dimaksud dengan ketiga sumber tersebut
adalah:
1) Sumber data primer, digunakan untuk menganalisa mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Dalam hal ini adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya
mengikat dan merupakan norma-norma dasar dan utama dalam setiap
pembahasan masalah, yaitu: al-Qur`an, Hadits, Undang-undang Nomor
7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50
tahun 2009, PERMA Nomor 1 tahun 2008, dan aturan hukum terkait
untuk membahas pengertian tentang mediasi, mediasi dalam hukum
Islam dan aturan perundang-undangan terkait.
2) Sumber data sekunder, digunakan untuk melengkapi analisa yang tidak
didapatkan dari sumber data primer. Dalam hal ini adalah bahan-bahan
yang dapat memberikan penjelasan-penjelasan dan penafsiranpenafsiran (interprestasi) yang mendukung sumber data primer dalam
memperoleh pengertian dan pemahaman yang utuh. Di antaranya
karya tulis atau buku-buku ilmiah, hasil-hasil penelitian para pakar,
artikel-artikel yang terpublikasikan baik melalui media cetak maupun
media elektronik.
Sumber data sekunder tersebut akan digunakan untuk melengkapi
pembahasan pelaksanaan mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, serta ukuran
keberhasilannya yang belum dibahas lebih lanjut dengan data primer.
3) Sumber data tersier adalah bahan-bahan yang berasal dari kamus atau
ensiklopedi.
3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis kualitatif26 dengan menggunakan penalaran deduktif.
Yang dimaksud dengan penalaran deduktif adalah prosedur yang
berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah
diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari
pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih
dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan
26
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal.
13-14.
selanjutnya dilakukan penelitian. Dengan demikian konteks penalaran
deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk
memahami suatu gejala.
Metode
kualitatif
tersebut
menggunakan
model
penelitian
deskriptif-analitis27, yaitu analisa yang mendalam dari isi literatur-literatur
yang berkaitan dengan tema pembahasan, sehingga hasil penelitian ini
terarah sesuai dengan tujuan studi analisis yang dimaksud yaitu secara
normatif, selanjutnya hasil penelitian tersebut dianalisa secara tajam dan
mendalam dengan menggunakan teori-teori yang ada sebagai pisau
analisis.
Menurut Soerjono Soekanto metode analisa hukum adalah suatu
metode penelitian terhadap suatu atau berbagai sistem hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang dibahas secara mendalam.28
H. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah dan dapat menghasilkan pembahasan
yang
sistematis,
maka
diperlukan
sistematika
pembahasan.
Adapun
sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan. Pada
bab pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang masalah yaitu
beberapa fakta yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian
tentang mediasi pada PERMA Nomor I Tahun 2008 dalam perkara perceraian
di Pengadilan Agama, rumusan masalah yang meliputi mediasi pada PERMA
Nomor I Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dianalisa
27
28
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal 45.
Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1979), hal 35.
dengan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, serta masih idealkah
mediasi dalam PERMA tersebut diberlakukan dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama, tujuan dan manfaat penelitian secara teoritis dan praktis,
penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam
bab ini secara garis besar akan dibahas mengenai fokus pembahasan mengapa
penulis membahas tentang mediasi dalam PERMA Nomor I Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Selanjutnya pada bab II akan dipaparkan mengenai kajian pustaka atau
kajian teoritik atau definisi konseptual tentang mediasi, baik dalam hukum
Islam, PERMA Nomor 1 tahun 2008 dan aturan perundang-undangan terkait,
definisi perceraian, Pengadilan Agama, serta teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman.
Hasil penelitian dan pembahasan akan dihadirkan pada bab III. Pada
bab tersebut akan dipaparkan pembahasan tentang mediasi yang diatur dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
ditinjau dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedman.
Selanjutnyadi bab IV akan dibahas tentang relevansi mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Dengan kata lain apakah mediasi yang diatur dalam PERMA tersebut
masih ideal diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Bab V adalah peutup pembahasan. Penulis akan memberikan
kesimpulan dari hasil penelitian tentang mediasi dalam PERMA Nomor I
Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama. Di samping itu
penulis juga memberikan saran, temuan serta rekomendasi tentang mediasi
yang seharusnya lebih tepat diterapkan dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama sebagai penutup pembahasan.
NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA
(Ditinjau dari Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman)
T E S I S
Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
Untuk memperoleh gelar Magister Hukum Islam
Oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM 06130008
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Agustus 2012
i
MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA
(Ditinjau dari Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman)
Yang diajukan oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM: 06130008
Telah disetujui,
Tanggal, 14 Agustus 2012
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag
Drs. M. Syarif, M.Ag
Direktur
Program Pascasarjana
Ketua Program Studi
Magister Agama Islam
Dr. Latipun, M.Kes
Prof. Dr. Tobroni, M.Si
ii
TESIS
Dipersiapkan dan disusun oleh:
HERMIN SRIWULAN
NIM: 06130008
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal, 13 Agustus 2012
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. Ketua
: Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag
__________________
2. Sekretaris : Drs. M. Syarif, M.Ag
__________________
3. Penguji I : Prof. Dr. Tobroni, M.Si
__________________
4. Penguji II : Prof. Dr. Ishomuddin, M.Si
__________________
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
NIM
Program Studi
: Hermin Sriwulan
: 06130008
: Magister Agama Islam
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Tesis dengan judul MEDIASI DALAM PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA (Ditinjau dari Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman) adalah hasil karya saya, dan dalam naskah tesis ini
tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik
sebagian atau keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
plagiasi, saya bersedia tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya
peroleh dibatalkan serta diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan hak bebas royalti
non eksklusif.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Malang, 5 Januari 2012
Hermin Sriwulan
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya, yang mengajar manusia apa yang tidak diketahui. Shalawat dan
salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabiyullah Muhammad SAW,
panutan dan suri tauladan umat manusia.
Berkat rahmat Allah SWT disertai motivasi yang kuat dan bimbingan dari
para pihak terkait, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini. Tesis
ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sudi Islam
Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Abah dan ibunda tercinta, Suamiku tercinta Edwin Prasedianto, ST yang setia
memberikan dorongan dan semangat, serta ananda tercinta Ahnaf Caesar
Hakim yang sabar dan merelakan waktu dan perhatiannya untuk ditinggal
bertugas jauh dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan
tesis ini, seluruh anggota keluarga yang telah mencurahkan kasih sayangnya
dan dengan penuh kesabaran dan pengorbanannya selalu memberikan
dorongan dan bantuan agar
penulis
dapat
menyelesaikan
studi
di
Universitas Muhammadiyah Malang.
2. Bapak Dr. Muhadjir Efendy, M.AP selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan pascasarjana melalui pemberian program beasiswa penuh.
3. Bapak Dr. Latipun, M.Kes. selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Malang.
4. Bapak Prof. Dr. Tobroni, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Studi
Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
5. Bapak Drs. Moh. Nurhakim, M.Ag selaku Pembimbing Utama dan Bapak
Drs. M. Syarif, M.Ag selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan serta dorongan selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
v
6. Segenap Ibu dan Bapak dosen, atas didikan dan bimbingan yang telah
mengantarkan penulis menyelesaikan seluruh program akademis dengan baik
7. Teman-teman seperjuangan Galuh, Syarqowi, Mat Busri, M. Ghozali yang
telah menjadi teman diskusi yang baik bagi penulis.
8. Serta para pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu melindungi dan meridhai atas segala apa
yang penulis sampaikan dalam tesis ini. Semoga penulisan tesis ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan kalangan akademis dan peradilan pada umumnya.
Akhirnya, saran dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan dalam
rangka memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dan dalam rangka untuk
menyempurnakan penulisan tesis ini.
Malang, 5 Januari 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN
KATA PENGANTAR
LEMBAR MOTTO DAN PERSEMBAHAN
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
ii
iii
iv
v
vi
vi
ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Kajian Terdahulu
F. Teori Penelitian
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Sumber Data
3. Metode Analisis
H. Sistematika Pembahasan
1
11
12
12
13
17
19
19
20
21
22
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Mediasi
1. Menurut Hukum Islam
2. Menurut Hukum Positif
3. Manfaat Mediasi
4. Prinsip-prinsip Mediasi
B. Konsep Perceraian
1. Definisi Perceraian
2. Alasan Perceraian
3. Akibat Perceraian
C. Konsep Pengadilan Agama
D. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
25
25
36
49
52
54
54
59
65
71
74
BAB III: MEDIASI DALAM PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008
DALAM
PERKARA
PERCERAIAN
DI
PENGADILAN
AGAMA........................................................................................................79
81
A. Substansi Hukum
B. Struktur Hukum
94
C. Budaya Hukum
101
vii
BAB IV: RELEVANSI MEDIASI PADA PERMA NOMOR 1 TAHUN
2008 DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
..................................................................................................................... 107
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
132
133
DAFTAR PUSTAKA
135
viii
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Busthanul, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, (Jakarta: alHikmah, 2001).
Abbas, Syahrizal, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, hukum adat dan
hukum nasional, (Jakarta, Kencana, 2009), cet I.
Abdul Hak, Nora, The Role of The Conciliatory Committee and Hakam
(Arbitrator): The Practice and Provisions of The Islamic Family Law in
Malaysia, (Malaysia: International Islamic University Malaysia Press,
2008).
Abdullah, Mujiono, Dialektika Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Solo: UMS
Press, 2003).
Al-Aynayni, Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad, al-Bidãyah fi Syarh alHidãyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jild. 9.
Al-Mahally, Jalaluddin, Qalyuby wa Umairah, (Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub alArabiyah, tt.).
Ali, Moh Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Cet IV (Jakarta: Rajawali Press, 1998).
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), Cet. VIII,
As-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, (Beirut:
Darul Fikri, tt.), Juz I.
ix
Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Dimaskus: Dar al-Fikr,
1984).
Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).
Donzel, E. van, Lewis, B., dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill,
1990).
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2000), Cet. 2.
Family Court of Australia, Annual Report 2008-2009, (Australia: Commonwealth
of Australia, 2009).
Friedman, Lawrence M., American Law: An invaluable guide to the many faces of
the law, and how it affects our daily our daily lives, (New York: W.W.
Norton & Company, 1984).
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (Bandung: Nusa
Media, 2009).
Friedman, Lawrence M., The Legal System: A Social Science Perspective (New
York: Russell Sage Foundation, 1975).
Ghazali, A. Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. 2.
Goopaster, Garry, Negoisasi Dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi Dan
Penyelesaian Sengketa Melalui Negoisasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993).
Hanafi, Hassan, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer
(Yogyakarta:
Jendela, 2001), dan Rahardjo, M. Dawan, Ensklopedi Al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 1997).
x
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama
(Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Karini, 2007),
hal.248.
Harahap, M. Yahya, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993).
Harahap, M. Yahya, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan
Agama, (Jakarta: al-Hikmah, 1975).
Hoynes, John Michael., Haynes, Cretchen L, dan Fang, Lary Sun, Mediation:
Positive Conflict Management, (New York: Suny Press, 2004).
Ka’bah, Rifyal, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No
271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI).
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. VIII (Kairo: Ad-Dar alKuwaitiyyah, 1968).
Lister, Leisha, Executive Adviser to the CEO of FCoA: Understand What Clients
Want’. www.badilag.net.
Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta, Kencana, 2006), cet 4
Manan,
Abdul,
Problematika
Perceraian
Karena
Zina
dalam
Proses
Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, al-Hikmah & Ditbinbapera, (Jakarta No 52 Th XII 2001).
Manser, Martin H., Oxford Leaner’s Pocket Dictionary, (Oxford: Oxford
University Press, 1995).
xi
Margono, Suyud & Pandjaitan, Hinca IP, Alternatif Dispute Resolution, (Jakarta:
FH-Universitas Atmajaya, 1998).
Moore, Christoper W., dalam Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di
Luar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003).
Muhammad, Abdul Kadir, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga Di
Beberapa Negara Eropa, (Bandung: Citra Aditya, 1998).
Muktiarto, Hukum Acara Perdata dalam Praktek, ()
Najamuddin, dan Seroza, Candra Boy, Beberapa Permasalahan Mediasi dalam
Teori dan Praktek di Pengadilan Agama, Makalah Rakerdagab Peradilan
Se-Sumatera Utara, Tahun 2009.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jld. I (Jakarta: UI Press,
1985).
Nasution,
Khoiruddin,
Status
Wanita
di
Asia
Tenggara:
Studi
terhadapPerundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002).
Neumann,
Diane,
The
Psychological
Stages
of
Divorce,
dalam
www.divorcemed.com.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1978).
Roberts, Marian, Mediation in Family Disputes: Principles and Practice (Third
Edition), (Hampshire: Ashgate Publishing Ltd, 2008).
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, tt.), Jilid II.
Soekanto, Soerjono, Perbandingan Hukum (Bandung: Mandar Maju, 1979).
xii
Soekanto, Soerjono dan Mahmudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001).
Saposnek, Donald T. dan Rose, Chip, The Psychology of Divorce, dalam
www.mediate.com.
Sutantio, Retnowulan, Mediasi dan Dading, dalam Mediasi dan Perdamaian,
(Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004).
Syahrani, Riduan, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009, Cet. V.
Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2000).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998).
Widiana, Wahyu, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian di
Pengadilan Agama, Kaitannya dengan BP4, Makalah disampaikan pada
Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta, dimuat pada
www.badilag.net.
Peraturan Perundang-undangan:
Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
xiii
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement
untuk daerah seberang).
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 28PK/AG/1995
tanggal 16 Oktober 1996.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian
sengketa yang selama ini memegang peranan penting dalam masyarakat,
namun produk pengadilan yaitu putusan yang diberikan terkadang dianggap
belum mampu menciptakan keadilan dan kepuasan bagi kedua belah pihak
yang bersengketa. Putusan pengadilan cenderung memuaskan salah satu
pihak.
Proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan
biaya dan memakan waktu. Hal ini disebabkan sistem pengadilan
konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan putusan
dengan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang
kalah. Pihak yang dapat membuktikan dalil-dalil kebenarannya akan diputus
menang, sementara pihak yang tidak dapat membuktikan dalil-dalil
kebenarannya akan diputus kalah. Upaya hukum yang diberikan oleh
pengadilan berupa banding, kasasi atau peninjauan kembali, cenderung
digunakan oleh pihak yang kalah. Adakalanya pihak yang kalah merasa tidak
puas dan akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke
Mahkamah Agung untuk mendapatkan keadilan yang diharapkan. Hal inilah
yang membuat perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung bertumpuk.
Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah
jumlah hakim, karena banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung
melebihi kemampuan pemerintah untuk menambah jumlah hakim. Sebagai
alternatif, usaha untuk menyelesaikan masalah ini harus secara langsung pada
tingkat terendah dari sistem peradilan Indonesia, yaitu pengadilan tingkat
pertama, tempat perkara pertama kali didengar.
Realitas
tersebut
kontradiktif
dengan
asas
peradilan
yang
menegaskan penyelesaian perkara atau sengketa secara sederhana, cepat, dan
biaya ringan.1 Bila permasalahan tersebut tidak cepat dicarikan solusi, maka
akan berbahaya bagi keberadaan lembaga peradilan, karena keadaan semacam
itu dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat untuk menyerahkan
berbagai masalahnya pada sistem peradilan. Dengan kata lain, keberadaan
lembaga peradilan akan menjadi sia-sia, untuk itu, menjadi mutlak adanya
solusi yang di satu sisi mampu meminimalisir menumpuknya jumlah perkara
di pengadilan secara cepat, dan di sisi lain masyarakat yang beperkara
mendapatkan kepuasan dengan mendapatkan keadilan dan kepastian dengan
solusi tersebut.
Menyadari hal itu pada tahun 2002 Mahkamah Agung mengeluarkan
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 1 tahun 2002 untuk
memberdayakan lembaga perdamaian (dading) yang diatur oleh Pasal 130
1
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
jo. Pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009.
HIR2/154 RBg3 dalam perkara-perkara perdata. Efektifitas SEMA Nomor 1
tahun 2002 ternyata oleh Mahkamah Agung dipandang belum memuaskan,
karena dipandang hanya sebatas anjuran bagi para hakim justru karena tidak
terintegrasi ke dalam proses beperkara di pengadilan, disamping dianggap
belum memiliki kekuatan daya mengikat bagi para pihak yang beperkara.4
Atas dasar alasan itulah Mahkamah Agung mengintegrasikan proses
mediasi yang merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
menjadi bersifat mengikat dan masuk sebagai bagian dari proses beperkara di
pengadilan5, yakni melalui penyempurnaan SEMA Nomor 1 tahun 2002
menjadi PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 2 tahun 2003.
Penerapan PERMA Nomor 2 tahun 2003 yang telah terintegrasi ke dalam
proses beperkara di pengadilan menjadi satu keharusan, baik bagi hakim
maupun para pihak yang beperkara, artinya ketika hakim memeriksa perkara,
sebelum masuk pada proses pokok perkara, tegasnya pada hari sidang pertama
wajib dan bukan sekedar bersifat anjuran kepada para pihak untuk menempuh
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak
datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan
mereka”. HIR singkatan dari Herziene Inlandsch Reglement, merupakan salah satu sumber
hukum acara perdata bagi daerah pulau Jawa dan Madura peninggalan kolonial Hindia Belanda
yang masih berlaku di Indonesia hingga kini. HIR sebenarnya berasal dari Inlansch Reglement
(IR) atau Reglement Bumiputera. IR pertama kali diundangkan tanggal 5 April 1848 (Stb).
1848 Nomor 16 merupakan hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President hooggerechtshof
(Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia dalam Riduan
Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), Cet.
V, hal 13-19.
3
Bunyi Pasal 154 ayat (1) RBg adalah bila pada hari yang ditentukan para pihak datang
menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk daerah
seberang), merupakan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura
dalam Riduan Syahrani, Op. Cit, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), Cet. V, hal 13-19.
4
Pertimbangan lahirnya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
5
Ibid.
2
proses mediasi dalam upaya menyelesaikan perkaranya. Dengan demikian di
dalam praktek di pengadilan, kedudukan PERMA Nomor 2 tahun 2003
menjadi lex spesialist terhadap hukum acara biasa.
Mediasi -termasuk salah satu alternatif penyelesaian sengketa
(Alternative Dispute Resolution)- dalam tata hukum nasional telah
mendapatkan legalitas perundang-undangan yang disahkan pada tanggal 12
Agustus 1999 yaitu melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan mengenai
Alternatif penyelesaian sengketa sendiri diatur dalam bab tersendiri yang
menguraikan bahwa :
”Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.6
Pasal tersebut telah mempertegas keberadaan lembaga mediasi
sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun undang-undang ini
tidak mengatur dan memberikan definisi lebih rinci dari lembaga-lembaga
alternatif tersebut, termasuk mediasi, sebagaimana pengaturannya tentang
arbitrase7.
6
Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
7
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
pihak yang bersengketa.
Di samping itu, upaya mediasi dalam proses beracara di pengadilan
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 20088. PERMA tersebut merupakan
revisi dan penegasan ulang terhadap PERMA sebelumnya yaitu PERMA
Nomor 2 Tahun 2003. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kelemahankelemahan normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran
maksimal yang diinginkan9, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim
tentang permasalahan-permasalahan dalam PERMA tersebut. Pasal 130
HIR/154 Rbg yang memerintahkan usaha perdamaian oleh hakim, dijadikan
sebagai modal utama dalam membangun perangkat hukum ini yang sudah
dirintis sejak tahun 2002 melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai
Pasal 130 HIR/154 RBg yang kemudian pada tahun 2003 disempurnakan
melalui PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan. Selanjutnya dengan berlakunya PERMA Nomor 1 Tahun 2008,
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku lagi10.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. 11 Seorang
mediator tidaklah berperan sebagai hakim yang memaksakan pikiran
keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti
8
Dalam Pasal 1 ayat (7) PERMA Nomor 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan dijelaskan bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk mencapai kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
9
Pertimbangan lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan poin (e).
10
Pasal 26 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
menegaskan bahwa dengan berlakunya peraturan ini PERMA Nomor 2 Tahun 2003 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
11
Secara etimologi mediasi berasal dari bahasa latin mediare artinya berada di tengah.
arbitrer12, tetapi lebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi
apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog,
membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan
mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan
perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima
para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di
antara para pihak yang bersengketa, maka dibuatkanlah suatu akta perdamaian
yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.13
Bagi lingkungan peradilan Agama, kehadiran seorang mediator
dalam suatu perkara tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah hal yang baru.
Secara yuridis formal Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Pasal 76 ayat (2)14 telah menetapkan keberadaan hakam (juru damai) dalam
perkara perceraian yang eksistensinya sama dengan mediator. Demikian
halnya secara normatif, mediator atau hakam sudah dikenal sejak awal
pembentukan hukum Islam, baik dalam perkara perceraian secara khusus
maupun perkara perdata atau bentuk perkara lainnya.
12
Arbiter adalah pihak ketiga yang diangkat oleh para pihak yanng bersengketa untuk
menyelesaikan sengketa mereka. Arbiter mempunyai kewenangan dan peran yang berbeda
dengan mediator, arbiter mempunyai kewenangan menawarkan solusi sekaligus memberikan
keputusan akhir.
13
Pasal 17 ayat (5) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan.
14
Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 berbunyi: Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri, dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa, termasuk perceraian dapat
dilakukan melalui 2 (dua) proses. Pertama; penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi atau persidangan di pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan.
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum
mampu menyelesaikan kepentingan bersama, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya yang cukup
banyak, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang
bersengketa dengan tanpa mengurangi asas yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
menegaskan bahwa “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan”.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan menurut M. Yahya
Harahap15 relatif lambat karena :
a. Penuh dengan formalitas;
b. Terbuka upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali sehingga proses
penyelesaian di pengadilan membutuhkan waktu yang sangat panjang, bisa
berbulan-bulan/ tahun bahkan puluhan tahun;
c. Munculnya berbagai upaya proses yang lain, seperti upaya intervensi atau
perlawanan dari pihak ketiga (derden verzet)16, menyebabkan penyelesaian
semakin rumit dan panjang.
15
M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 232.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui lembaga peradilan di Indonesia kurang efektif dan efisien
apabila ditinjau dari analisis ekonomi. Sebaliknya melalui proses mediasi yang
dilakukan di luar persidangan, namun masih terintegrasi dalam proses
beracara di pengadilan, akan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “winwin solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan
masalah secara komperehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik. Satu-satunya kelebihan proses mediasi ini adalah sifat
kerahasiaannya, karena hasilnya tidak dipublikasikan17. Dengan demikian
mediasi
sebagai
salah
satu
mekanisme
penyelesaian
sengketa
mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang
akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.18
Mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama adalah suatu
proses usaha perdamaian antara suami dan istri yang telah mengajukan
gugatan cerai atau permohonan cerai talak, mediasi tersebut dijembatani oleh
seorang Hakim yang ditunjuk sebagai mediator. Tugas mediator pada proses
mediasi perkara perceraian sangat berbeda dengan mediasi pada perkara
perdata umum. Pemeriksaan pada perkara perceraian tidak mencari siapa yang
16
Derden Verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap subyek pihak-pihak yang
terdapat dalam suatu perkara yang diputus, yang merugikan kepentingannya, sebelum putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap atau sebelum penetapan eksekusi dilaksanakan dalam
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), Cet. VIII, hal. 126.
17
Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
18
Suyud Margono & Hinca IP Pandjaitan, Alternatif Dispute Resolution, (Jakarta: FHUniversitas Atmajaya, 1998), hal. 6.
menang dan siapa yang kalah, siapa yang benar dan siapa yang salah,
melainkan bagaimana hakekat rumah tangga tersebut, apakah masih mungkin
dapat dipertahankan sebagaimana tujuan perkawinan.19 Disamping itu
perdamaian dalam perkara perceraian mengharuskan para pihak hadir sendiri
dalam proses mediasi.20
Dalam hal ini penulis memfokuskan pembahasan pada mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Mengingat perkara perceraian adalah perkara yang paling banyak21
dan pada saat pasca mediasi, para pihak tidak jarang bermusuhan sehingga
mediasi tersebut dianggap gagal, selain itu sangat sedikit mediasi yang
berhasil damai. Juga perkara perceraian adalah perkara yang khusus yang
berbeda dengan perkara perdata pada umumnya. Perkara perceraian adalah
perkara privat yang penyebabnya hanya diketahui oleh kedua belah pihak,
yang melibatkan hati atau perasaan suami dan isteri, serta hanya diketahui
oleh keluarga dekat, yang pemeriksaan perkaranya dilaksanakan tertutup
untuk umum.22
Mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
diharapkan oleh Mahkamah Agung sebagai solusi untuk mengurangi jumlah
19
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 28PK/AG/1995 tanggal 16
Oktober 1996.
20
Pasal 82 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
21
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009.
22
Pasal 59 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undangundang Nomor 50 Tahun 2009. Pasal 59 ayat (1) tersebut berbunyi: Sidang pemeriksaan
Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undangundang menentukan lain atau jika
Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
penumpukan perkara di pengadilan, termasuk pengadilan agama, seharusnya
bukan hanya untuk mengurangi jumlah penumpukan perkara saja, tapi
bagaimana mediasi tersebut meskipun gagal, namun suami isteri dapat
bercerai dengan baik, dengan kata lain hubungan silaturrahim antara keduanya
tetap baik.
Dari uraian tersebut terdapat kesenjangan antara tujuan mediasi yang
dikehendaki oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan sedikitnya perkara
perceraian di pengadilan agama yang berhasil damai dalam upaya mediasi.
Sesuai dengan tujuan diberlakukan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 secara
teoritis mediasi di Pengadilan Agama memiliki tujuan yang menguntungkan
bagi Pengadilan Agama dan para pihak. Tujuan tersebut diantaranya bagi para
pihak yang beperkara mediasi bertujuan untuk: a) tercapainya penyelesaian
sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak
sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi, b)
penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah, c) hubungan baik para
pihak yang bersengketa tetap dapat terjaga, dan d) lebih tinggi tingkat
kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan karena dibuat oleh kedua
belah pihak. Sedangkan bagi Pengadilan Agama, mediasi bertujuan untuk: a)
mengurangi penumpukan perkara (court congestion), dan b) memperlancar
jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat.
Faktanya penyelesaian perkara melalui mediasi dapat memperlambat
penyelesaian perkara, menambah beban kerja hakim sebagai mediator,
kemampuan mediator lemah terbukti dari minimnya mediator hakim
bersertifikat mediator dan sikap para pihak yang memandang mediasi sebagai
sarana yang dapat menghambat para pihak menyelesaikan sengketanya di
pengadilan. Hal ini ditunjukkan oleh laporan tahunan Mahkamah Agung tahun
2009 yang ternyata mediasi tidak mengurangi penumpukan perkara secara
signifikan.
Fakta tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan
penelitian dengan judul Mediasi Pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan
Agama. Penulis menggunakan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman
untuk menganalisa efektif atau tidak, pelaksanaan mediasi dalam PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama,
selanjutnya penulis akan memberikan analisa mediasi pada PERMA Nomor 1
Tahun 2008 tersebut masih ideal atau tidak diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama.
B. Rumusan Masalah.
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama ditinjau dari teori sistem hukum
Lawrence Friedman?
2. Apakah mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 masih
ideal untuk diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang akan dikaji, maka tujuan
penelitian ini adalah upaya untuk mendapatkan deskripsi & analisa yang jelas
dan komperehensif tentang :
1. Pelaksanaan mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama ditinjau dari teori sistem hukum
Lawrence M. Friedman.
2. Apakah mediasi yang diatur di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
masih ideal untuk diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis, secara teoritis di samping dapat berguna bagi
pengembangan ilmu penulis, juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti
yang akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti
yang akan datang terutama terletak pada ketersediaan data awal,
karakteristik termasuk masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis
yang fokus.
2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran
dalam
pemecahan
persoalan
hukum,
terutama
dalam
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama,
sehingga
mediator
akan
berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
mendamaikan para pihak yang sedang bercerai, atau setidak-tidaknya
membuat suami isteri berpisah secara baik-baik dan tidak ada permusuhan.
Dengan demikian para pihak yang bercerai tidak menempuh upaya hukum
lebih lanjut yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga tujuan
diberlakukannya mediasi untuk mengurangi penumpukan perkara dan
mempercepat proses penyelesaian perkara dapat tercapai.
E. Kajian Terdahulu
Mediasi merupakan pembahasan yang menarik, mengingat karakter
bangsa Indonesia yang sering menggunakan jalan musyawarah untuk mufakat
dalam menyelesaikan suatu masalah atau konflik. Berangkat dari hal inilah
banyak peneliti yang mengangkat mediasi sebagai obyek penelitian.
Telah banyak penelitian yang mengangkat pembahasan tentang
mediasi, diantaranya:
1. Mediasi adalah sistem penyelesaian perkara secara non litigasi yang
diadopsi dari Jepang. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yoshiro
Kusano yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Wakai:
Memotret Sistem Mediasi Negeri Sakura, dengan editor TM. Luthfi Yazid,
cetakan I Agustus 2008, penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.
Dalam penelitian tersebut Yoshiro Kusano membahas mediasi di
Jepang yang dikenal dengan istilah wakai chotei. Yoshiro memusatkan
pembahasan tentang wakai, satu dari dua metode penyelesaian sengketa
berdasarkan kesepakatan para pihak yang dikenal di Jepang. Wakai adalah
kesepakatan antara para pihak yang bersengketa dalam gugatan tertentu,
yang berisi penyelesaian sengketa di muka hakim yang menangani kasus
litigasi tersebut. Sementara chotei adalah kesepakatan antara para pihak
dalam suatu perkara chotei tertentu, yang berisi penyelesaian sengketa di
muka Komisi chotei. Penelitian tersebut memaparkan secara komprehensif
apa dan bagaimana wakai dipraktekan di Jepang.
Penelitian dimulai dengan menjelaskan pengertian wakai, meliputi
karakteristik yang membedakannya dengan putusan hakim sampai
kelemahan serta keunggulan metode ini. Penelitian tersebut juga
mengungkapkan segala kritikan dan ketidakpuasan yang mengiringi
praktek wakai, namun Yoshiro memandang kritikan tersebut hanya
berkisar pada metode dan isi, tetapi tidak menafikan pentingnya wakai.
Meskipun secara umum jepang merupakan inspirasi bagi lahirnya
PERMA Nomor 1 Tahun 2008, namun penelitian tersebut hanya
membahas pelaksanaan mediasi dalam bentuk wakai dan chotei dalam
perkara perdata umum, dan bukan dalam perkara perceraian. Selain itu
Jepang dan Indonesia pada dasarnya memiliki kondisi hukum yang
berbeda, oleh karena itu hasil penelitian ini tidak begitu saja dapat
diterapkan di Indonesia.
2. Abdul Manan dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan
Peradilan Agama membahas secara umum tentang Alternative Dispute
Resolution (APS) yang meliputi negoisasi, mediasi dan konsiliasi. Dalam
penelitian tersebut tidak dikaji secara mendalam tentang mediasi yang
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, apalagi mediasi dalam
perkara perceraian di Peradilan Agama. Mediasi hanya dibahas secara
umum yang diterapkan pada perkara perdata umum.23
3. Syahrizal Abbas, telah mempublikasikan hasil penelitiannya dalam sebuah
buku yang berjudul Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum
Adat, dan Hukum Nasional, diterbitkan oleh Prenada Media Group tahun
2009
dengan
436
halaman.
Penelitian
tersebut
memfokuskan
pembahasannya pada lembaga mediasi sebagai salah satu alternatif
penyelesaiannya sengketa yang memberikan solusi win-win kepada para
pihak yang bertikai. Dalam buku ini dipaparkan secara komprehensif apa
yang dimaksud dengan mediasi, keterampilan apa yang harus dimiliki oleh
seorang mediator, bagaimana batasan dan pelaksanaan mediasi dalam
perspektif hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional.
Penelitian
tersebut
memang
membahas
mediasi
secara
komprehensif dalam tiga sistem hukum di Indonesia, yaitu sistem hukum
syariah, hukum adat dan hukum nasional, namun penelitian tersebut
membahas lebih banyak mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 2
Tahun 2003 dan tidak membahas pelaksanaan mediasi pada perkara
perceraian di Pengadilan Agama secara khusus.
4. I Made Sukadana dalam Disertasinya, Mediasi dalam Sistem Peradilan
Indonesia untuk Mewujudkan Proses Peradilan Yang Cepat dan Biaya
Ringan, (Unbraw: 2006). Dalam penelitian disertasinya, I Made Sukadana
23
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2006), cet. 4, hal. 171-183.
menyimpulkan bahwa mediasi dapat membantu menekan proses peradilan
yang lambat menjadi cepat. Penelitian tersebut lebih banyak membahas
mediasi dalam sistem non litigasi, dan hanya sedikit menyinggung mediasi
di pengadilan yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 secara
umum, dan tidak membahas mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama.
5. Yayah Yarotul Salamah. Mediasi dalam Proses Beracara di Pengadilan:
Studi Mengenai Mediasi di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan
Mahkamah Agung RI. (Disertasi: 2009). Dalam kesimpulan disertasinya
menyatakan bahwa pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di
pengadilan tidak sulit untuk dilaksanakan karena di samping hukum acara
perdata Indonesia berdasarkan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg telah
memberikan celah bagi terintegrasinya mediasi dalam proses beracara di
pengadilan. Selain itu dikemukakan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang
memengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di Pengadilan Negeri
proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil, yaitu para pihak
yang bersengketa beritikad baik, hakim mediator berusaha dengan
sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatan dan ketiga
adalah jenis sengketanya mudah diselesaikan.
Menurut hasil kajiannya, kegagalan mediasi di Pengadilan Negeri
percontohan disebabkan oleh faktor para pihak yang tidak memiliki itikad
baik dan lemahnya profesionalisme hakim mediator.
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang mediasi yang
diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama dengan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman sebagai
pisau analisis. Selanjutnya apakah mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor
1 Tahun 2008 tersebut masih ideal atau relevan diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama. Mengingat mediasi adalah jalan non litigasi
yang diharuskan ditempuh oleh para pihak dengan salah satu tujuannya untuk
mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan memberikan
solusi win-win bagi para pihak.
F. Teori Penelitian
Penelitian ini menggunakan teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman. Teori tersebut digunakan untuk menganalisa mediasi yang diatur
dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ketika diberlakukan dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama serta relevansinya.
Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan
budaya hukum (legal culture).24 Kelembagaan hukum adalah bagian dari
struktur hukum seperti Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan di
bawahnya termasuk
Pengadilan
Agama
beserta
aparaturnya. Hakim
pengadilan sebagai struktur pengadilan memiliki peran yang penting di dalam
meningkatkan keberhasilan mediasi. Keberhasilan dan kegagalan mediasi
24
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media,
2009) hal. 4.
ditopang oleh kemampuan dan kecakapan Hakim mediator di dalam
menjalankan perannya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu elemen substansi hukum. Elemen
substansi ini idealnya dapat memberikan keadilan dan kepastian kepada para
pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar dari sengketa yang
sedang dihadapi. Peraturan mediasi ini berisi mengenai substansi dan
prosedural mediasi.
Aspek yang ke tiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Terkait
dengan budaya hukum ini, mediasi di Pengadilan Agama sesungguhnya
merupakan produk dari sistem hukum yang cara pemanfaatan dan
penggunaannya sangat tergantung dengan nilai dan keyakinan masyarakat
sebagai pengguna mediasi tersebut. Nilai dan keyakinan merupakan bagian
dari budaya masyarakat. Jika masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa
mediasi dapat berperan sebagai sarana penyelesaian masalah sengketa yang
dihadapi, maka para pihak yang akan bercerai tersebut mempunyai i’tikad baik
untuk menghadiri acara mediasi dan berusaha semaksimal mungkin mencari
solusi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, dengan demikian tujuan
mediasi akan tercapai sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat
dan biaya ringan, reputasi para pihak tidak terganggu, dan hubungan baik
tetap terjaga.
Dengan menggunakan teori ini diharapkan akan dapat menjawab
apakah pelaksanaan mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sudah tepat atau sudah efektif.
Teori tersebut akan dipergunakan untuk menilai apakah Hakim Mediator
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sudah mempunyai ketrampilan
dan kemampuan untuk menjadi Hakim Mediator yang ideal, apakah mediasi
yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 masih relevan diberlakukan
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, selain itu apakah budaya
hukum para pihak yang bercerai di Pengadilan Agama mendukung terhadap
pemberlakuan mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Tabel F.1. Teori Sistem Hukum
No
1.
Teori Sistem Hukum
Struktur Hukum
Keterangan
Meliputi Pengadilan Agama, Hakim pemeriksa
perkara dan hakim mediator.
2.
Substansi Hukum
Meliputi PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
3.
Budaya Hukum
Meliputi budaya hukum para pihak yang
bercerai di Pengadilan Agama. Hal ini tergambar
dari data laporan hasil mediasi para pihak yang
bersedia hadir atau tidak dalam upaya mediasi.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah
studi kepustakaan (library research) dengan model penelitian hukum
normatif-analitis25, yaitu pembacaan kritis dan mendalam terhadap bukubuku, undang-undang, literatur, majalah, surat kabar, berbagai karya tulis
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum normatif, Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14.
atau laporan hasil
penelitian sebelumnya
yang relevan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Selanjutnya hasil penelitian tentang
mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama tersebut dianalisa dengan teori-teori sebagai pisau
analisis.
2. Sumber Data
Data merupakan hal yang sangat urgen dalam sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini, ada tiga sumber data yang akan dijadikan sumber
rujukan atau landasan utama, yaitu: sumber primer, sumber sekunder dan
sumber tertier. Adapun yang dimaksud dengan ketiga sumber tersebut
adalah:
1) Sumber data primer, digunakan untuk menganalisa mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Dalam hal ini adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya
mengikat dan merupakan norma-norma dasar dan utama dalam setiap
pembahasan masalah, yaitu: al-Qur`an, Hadits, Undang-undang Nomor
7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50
tahun 2009, PERMA Nomor 1 tahun 2008, dan aturan hukum terkait
untuk membahas pengertian tentang mediasi, mediasi dalam hukum
Islam dan aturan perundang-undangan terkait.
2) Sumber data sekunder, digunakan untuk melengkapi analisa yang tidak
didapatkan dari sumber data primer. Dalam hal ini adalah bahan-bahan
yang dapat memberikan penjelasan-penjelasan dan penafsiranpenafsiran (interprestasi) yang mendukung sumber data primer dalam
memperoleh pengertian dan pemahaman yang utuh. Di antaranya
karya tulis atau buku-buku ilmiah, hasil-hasil penelitian para pakar,
artikel-artikel yang terpublikasikan baik melalui media cetak maupun
media elektronik.
Sumber data sekunder tersebut akan digunakan untuk melengkapi
pembahasan pelaksanaan mediasi pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, serta ukuran
keberhasilannya yang belum dibahas lebih lanjut dengan data primer.
3) Sumber data tersier adalah bahan-bahan yang berasal dari kamus atau
ensiklopedi.
3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis kualitatif26 dengan menggunakan penalaran deduktif.
Yang dimaksud dengan penalaran deduktif adalah prosedur yang
berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah
diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari
pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih
dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan
26
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal.
13-14.
selanjutnya dilakukan penelitian. Dengan demikian konteks penalaran
deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk
memahami suatu gejala.
Metode
kualitatif
tersebut
menggunakan
model
penelitian
deskriptif-analitis27, yaitu analisa yang mendalam dari isi literatur-literatur
yang berkaitan dengan tema pembahasan, sehingga hasil penelitian ini
terarah sesuai dengan tujuan studi analisis yang dimaksud yaitu secara
normatif, selanjutnya hasil penelitian tersebut dianalisa secara tajam dan
mendalam dengan menggunakan teori-teori yang ada sebagai pisau
analisis.
Menurut Soerjono Soekanto metode analisa hukum adalah suatu
metode penelitian terhadap suatu atau berbagai sistem hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang dibahas secara mendalam.28
H. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah dan dapat menghasilkan pembahasan
yang
sistematis,
maka
diperlukan
sistematika
pembahasan.
Adapun
sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan. Pada
bab pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang masalah yaitu
beberapa fakta yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian
tentang mediasi pada PERMA Nomor I Tahun 2008 dalam perkara perceraian
di Pengadilan Agama, rumusan masalah yang meliputi mediasi pada PERMA
Nomor I Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dianalisa
27
28
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal 45.
Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1979), hal 35.
dengan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, serta masih idealkah
mediasi dalam PERMA tersebut diberlakukan dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama, tujuan dan manfaat penelitian secara teoritis dan praktis,
penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam
bab ini secara garis besar akan dibahas mengenai fokus pembahasan mengapa
penulis membahas tentang mediasi dalam PERMA Nomor I Tahun 2008
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Selanjutnya pada bab II akan dipaparkan mengenai kajian pustaka atau
kajian teoritik atau definisi konseptual tentang mediasi, baik dalam hukum
Islam, PERMA Nomor 1 tahun 2008 dan aturan perundang-undangan terkait,
definisi perceraian, Pengadilan Agama, serta teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman.
Hasil penelitian dan pembahasan akan dihadirkan pada bab III. Pada
bab tersebut akan dipaparkan pembahasan tentang mediasi yang diatur dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
ditinjau dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedman.
Selanjutnyadi bab IV akan dibahas tentang relevansi mediasi pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama. Dengan kata lain apakah mediasi yang diatur dalam PERMA tersebut
masih ideal diberlakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Bab V adalah peutup pembahasan. Penulis akan memberikan
kesimpulan dari hasil penelitian tentang mediasi dalam PERMA Nomor I
Tahun 2008 dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama. Di samping itu
penulis juga memberikan saran, temuan serta rekomendasi tentang mediasi
yang seharusnya lebih tepat diterapkan dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama sebagai penutup pembahasan.