Pemberdayaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.

(1)

   

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh : YURISTA ARINI

NIM : 070200355

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

   

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh : YURISTA ARINI

NIM : 070200355

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA (DAGANG)

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata (Dagang) Universitas Sumatera Utara

(DR. Hasyim Purba, SH,M.Hum) NIP. 196603031985081001

DISETUJUI OLEH DISETUJUI OLEH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

( M. Husni, SH. M.Hum) (Malem Ginting, SH. MHum) NIP. 195802021988031004 NIP. 195707151983031002


(3)

   

Rahmat dan Karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul : PEMBERDAYAAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008”.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan negeri dalam penyelesaian sengeketa perdata menurut peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dengan menghubungkan dengan teori-teori dalam hukum perdata yang penulis pelajari selama ini apakah dapat digunakan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan.

Dari mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapat banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut:

1. ALLAH SWT Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, meskipun demikian penulis menyadari penulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan itu semata-mata hanya milik Nya.


(4)

   

menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayi penulis selama berlajar di fakultas hukum Universitas sumatera utara sehingga penulis dapat sampai kepada tahap penyelesaian penulisan karya ilmiah ini, Hanya ALLA SWT yang dapat membalas kebaikan kalian semua.

3. Kepada Pimpinan Fakultas Hukum, bapak Dekan Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum, beserta para Pembantu Dekan, dan Bapak Dosen Pembimbing I Bapak M. Husni, SH,M.Hum. dan Bapak pembimbing II, Bapak Malem Ginting, SH.M.Hum, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan dari bapak kepada saya guna menyelesaikan penulisan skripsi ini, kepada para seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis dan bantuan kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum, penulis yakin suatu saat ilmu yang diberikan akan berguna. 4. Kepada sahabat-sahabat ku Puti lenggo geni , Fauzi ichwana siregar, Desi

hariani , bang Jo yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis, dan sahabat – sahabat penulis lainnya yang tidak dapat penulis


(5)

   

Semoga ALLAH SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua yang telah disebutkan maupun pihak yang tidak disebutkan diatas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang akan membuat penulis lebih baik dimasa depan. Semoga penulisan skripsi ini berguna baik untuk penulis dan menjadi ilmu yang berguna bagi masyarakat.

Medan, 15 September 2011


(6)

   

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.

Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II fakultas hukum Universitas Sumatera Utara


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Tinjauan Pustaka ... 13

1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan ... 13

a. Kewenangan Peradilan Umum ... 13

b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa ... 14

c. Gugatan Perdata ... 15

d. Putusan Hakim ... 16

2) Tinjaun Tentang Mediasi ... 18

G. Metode Penelitian ... 20

1. Tipe atau Jenis Penelitian ... 20

H. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008 A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa ... 23

B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa ... 29

C. Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 . 40 BAB III MANFAAT PRAKTEK MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO.1 TAHUN 2008 A. Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ... 44

B. Teori-Teori Mediasi ... 49

C. Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Suatu Sengketa Perdata ... 52


(8)

BAB IV FAKTOR MEMPENGARUHI TERLAKSANA ATAU TIDAKNYA PERDAMAIAN MELALUI LEMBAGA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI

A. Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum Indonesia .... 56

B. Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1 Tahun

2008 ... 62

C. Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya

Perdamaian Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 78


(9)

   

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Permasalahan yang saya bahas dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan.

Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyelesaian sengketa hanya diatur dengan HIR, RBG, KUHPerdata dan peraturan Mahkamah Agung sebagai implementasi dari keseluruhan peraturan tersebut. Dengan adanya mediasi, maka para pihak yang berperkara dapat dengan mudah dan tidak memakan waktu yang lama dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Hanya saja, sangat sulit untuk menjalankan hasil keputusan dari kedua belah pihak apabila salah satu diantara para pihak tidak mau melaksanakan hasil mediasi yang telah dicapai.

Maka untuk menjadikan mediasi yang memiliki hasil yang baik,maka dipilihlah hakim yang memiliki pengalaman dan integritas serta itikad baik dari masing-masing para pihak yang bersengketa.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II fakultas hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana telah di rumuskan secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (rechtstaat) dan bukan negara yang mendasarkan diri kepada kekuasaan belaka (machtstaat). Esensi sebagai negara hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus menempatkan segala aspek kehidupan secara hukum untuk dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa pengecualian. Karena itu hukum dalam negara hukum mempunyai posisi yang

supreme atau insrumen pengendali dan pengarah utama yang menjadi pedoman

dan harus dipatuhi oleh setiap orang dan/atau subyek hukum melalui penegakan hukum.

Dalam pergaulan di masyarakat dimana yang berbeda kita hidup di tengah individu-individu yang berbeda tabiat dan kepentingan,perselisihan atau konflik tentunya sulit di hindari. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukm apapun,seperti perbedaan pendapat dengan istri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.


(11)

Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, terkualifikasi menjadi suatu sengketa, antara lain di sebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab dari yang berselisih merasa bersalah dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang berselisih merasa bersalah dan mengerti bahwa ia tidak berhak atas sesuatu yang di perselisihkan, maka perselisihan itu dianggap tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenarannya disadari.

Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling berbenturan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengdakan tata tertib,yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum,yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat,agar dapat memperahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang di tentukan itu,setiap orang iharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan di kenakan sanksi atau hukuman.

Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti tersebut di atas adalah hak-hak dan kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil. Hukum perdata (materil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupkan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang


(12)

selayaknya berbuat atau tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.Ketentuan-ketentuan seperti ; “Siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum….dan sebagainya”,”siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”,itu semuanya merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang.1

Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi,tanpa harus melalui instansi resmi. Namum acapkali terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan.

Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan memperthankan atau menegakan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam

       1


(13)

mempertahankan dan menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan litigasi.

Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berekara ada pada diri orang yang berpekara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa,bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.2

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam,baik dari praktisi maupun teoritis hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overload). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlamapu formalistik (formalistic) dan terlamapu teknisi (technically).

Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of

time), mahal (very expensive) dan kurang tanggap ( unresponsive ) terhadap

kepetingan umum serta dianggap terlampau formalistik ( formalistic ) dan terlampau teknis ( technically ) menurut pada masa sekarang bersifat mendunia. 3 Sama – sama mendapat lontaran kritik di semua Negara. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali pada perbaiakn sistem peradilan kea rah yang efektif dan efisien, terjadi diman – mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan mahal (delay dan expensive)sehingga penyelesaian perkara yang dihasilakan

       2

Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni ,1978), hlm. 6

3

M. Yahya Harahap, BEBErapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian


(14)

dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil

procedure was neither efficient no fair).4

Berbagai kelemahan yang melekat pada badan pegadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak singkatnya karena peradilan dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan masyarakat pencari keadilan, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain untuk menyelesaikan sengekta mereka. 5

Alternatif penyelesaian sengketa muncul sebagai gejala sosial dalam masyarakat yang tidak percaya kepada lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa mereka. Metode ini sudah dikenal secara universal dapat memenuhi harapan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa. Di negara maju misalnya, penyelesaian sengketa melalui alternative penyelesaian sengketa atau alternative

Dispute Resolution bahkan menjadi klausul (Pasal) yang selalu dicantumkan

dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaiakn melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa tersebut (tidak melalui pengadilan ). Dari hal ini dapat kita cermati bahwa alternatif penyelesaian sengketa atau ADR telah menjadi strategi preventif untuk mencegah “terjebaknya” para pihak dalam proses ”gugat menggugat” di lembaga peradilan.6

       4

Ibid.

5

Munir Fuady, Hukum Arbitrase Modern , (Bandung, PT. Citra Adyta Bhakti, 2008), hlm. 23.

6

Wirawan, Menyelesaiakn Perdata Secara Singkat, ( Makalah; LBH-Bandung, 2009), hlm. 1-2


(15)

Di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang – Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, metode penyelesaian sengketa secara alternative ( non- litigasi ) tersebut menjadi dapat digunakan secara legal (resmi) dalam praktek penyelesaian sengketa perdata di masyarakat.

Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang umum digunakan,seperti :

1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite /

dua pihak ),

2. Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga, mediaor/ konsiliator),dan

3. Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaandan putusan oleh

Abiter ).

Alternatif penyelesaian sengketa yang paling potensial digunakan adalah Arbitrase. Hal ini itu dikarenakan keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesiabersamaan dengan dipakainya

Reglementop de rechtsvordering (RV) dan Het Herzeiene Indonesisch reglement (HIR) ataupun Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615

s/d 651 reglement of de rechtsverordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak diberlakukan lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999.


(16)

Menurut Prof. Subekti 7, bagi dunia perdagangan atau bisnis,penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwarisan, mempunyai bebrapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan ;

1. Dengan cepat

2. Oleh ahli, dan 3. Secara rahasia

Namun praktek di lapangan menunjukan bahwa arbitrase dirasa kurang begitu efektif untuk menyelesaikan sengketa tanpa maslah. Di samping ia masih berpotensi menyisakan pertentangan antara para pihak yang berengketaan, karena prosesnya yang tak ubahnya seperti berpekara di pengadilan, arbitrase juga bermasalah dalam hal eksekusi (pelaksanaan) putusan yang dikeluarkan oleh

arbiter (wasit/hakim jurinya). Yang pada akhirnya berdampak kompleks, dimana

bagi para pihak kesepakatan berdamai tidak dicapai, sementara sengekta juga semakin tajam. Di samping bagi pengadilan bertamabah tugasnya, sementara kasus-kasus yang ada di pengadilan belum terselesaiakan, akhirnya menimbulkan apa yang disebut penumpukan perkara. Jika hal ini sudah terjadi, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan rasa tidak percaya yang tinggi dari masyarakat para pencai keadilan, karena pengadilan dianggap tidak dapat memnuhi harapan ideal mereka akan hukum (das sollen).

Hal ini tersebut menunjukan bahwa sebenarnya keberadaan pengadilan sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang resmi dalam suatu negara tetap dibutuhkan, meskipun ia memiliki banyak kekurangan dalam beberapa aspek.

       7


(17)

Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, anataralain berhukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan, antara lain berperan sebagai berikut :8

1. Peradilan berperan sebagai katup penekan ( pressure vakatlve ) atas

segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban umm.

2. Peradilan masih tetap diharpkan berperan sebagai last resort atau

tempat terakhir kebenaran dan keadilan, sehingga peradilan masih tetap diandalkan sebagi badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice).

3. Disamping itu, tempat dan kedudukan peradilan masih dihargai

sebagai badan atau institusi yang memiliki fungsi istimewa (serve a

very special function ).

Dalam kedudukan istimewa yang demikian, JR. Spencer9 mengataka

bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan diibaratkan seperti “putusan Tuhan” atau the judgement was of god. Pendapat yang menganggap putusan pengadilan sebagai the judgement of the God sudah lama berakar dalam kehidupan manusia. Masyarakat Yunani menyebutkan sebagai judicium die.

       8

M . Yahya Harahap, beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa ( Bndung : PT . Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 237. Juga terdapat dalam makalahnya yang berjudul “ Mencari sistem Peradilan yang Efektif dan efisien” yang disampaikan pada Seminar Akbar 50 tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional dalam PJP II. Jakarta, 18 – 21 Juli 1985.

9

JR. Spencer Jackson’s, Machinery Of Justice ( Cambridge : Cambridge Univerity Pres. 1989 ), hlm. 19


(18)

Dengan fakta tersebut kemudian muncullah suatu ide baru dalam hal penyelesaian sengketa perdata dengan win–win solution yang menggunakan pengadilan sebagai mediator dan sekaligus dapat berperan sebagai katup penekan yang diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efisien bagi para pihak yang bersengketa, tapi juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengeketa mereka, dalam hal mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi kompleks tersebut. Pemikiran baru tersebut adalah dengan mengefektifkan suatu pola penyelesaian sengketa dengan jalan berunding diantara pihak yang bersengketa dan kepentingan yang sebenarnya masing – masing mereka atas suatu hal yang disengketakan dalam terminologi yang lebih netral.

Metode tersebut adalah modifiksi dari model pnyelesaian sengketa alternative mediasi, yang lazimnya disebut mediasi di pengadilan, atau lazim juga disebut Mediation – Arbitration atau dalam bahasa inggris disebut “court annexed

mediation”. Jadi jika sebelumnya yang dikenal publik mediasi itu hanya

merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sekarang sudah berkembang menjadi dapat dilakukan di dalam pengailan.

Di Indonesia dasar hukum untuk pemberlakuan metode tersebut melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang prosudur mediasi dipengadilan. Latar belakang lahirya Perma ini yang pertama adalah sebagai salah satu upaya untuk membantu lembaga pengailan dalam rangka mengurangi beban penumpukan perkara. Kedua, adanaya kesdaran akan pentingnya sistem hukum di Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh ras keadilan. Ketiga, proses mediasi sering


(19)

diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memuakan waktu dibandingkan proses pengadilan.10

Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 diatur bahwa mediasi bisa dilaksanakan di dalam dan diluar pengadilan. Jika proses mediasi dilaksanakan diruang pengadilan dan menggunakan mediator yang dipilih dari daftar yang dimiliki pengadilan, maka pelaksanaannya tidak dipungut biaya. Tetapi jika proses mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, maka para pihak harus bersepakat mengenai tempat, biaya dan honorarium mediator yang diperlukan.

Eksistensi mediasi sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa semakin berkembang pesat, hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan tentang mediasi yang secara parsial diatur dalam berbagai Undang-undang. Dalam perkembangannya, semula mediasi merupakan pilihan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (mediator). Namun demikian, sejak tahun 2002 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, selanjutnya MARI melakukan revisi dengan mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

       10

Majelis Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Mediasi sebagai Alternatif


(20)

Sejauh ini, Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan (litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga mediasi.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “ Pemberdayaan Mediasi di Pengadilan Negeri Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008”.

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan penulis teliti, yakni:

1. Bagaimana tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di

pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008?

2. Apa Manfaat praktek mediasi di Pengadilan Negeri sesuai dengan Perma

No.1 tahun 2008?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya perdamaian


(21)

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tahapan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata

di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 tahun 2008.

2. Untuk mengetahui Manfaat praktek mediasi di pengadilan sesuai dengan

yang diamanatkan oleh Perma No. 1 tahun 2008.

3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya

perdamaian melalui lembaga mediasi di Pengadilan Negeri.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Penulisan Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang mediasi, sebagai slah sat bentuk alternative penyelesaian sengeketa di luar pengadilan yang telah melembaga menjadi suatu alternatif yang bersifat “mandatory” bagi seluruh hakim pengadilan Indonesia dalam upaya melaksanakan tugas mereka memutus sengketa perdata.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan


(22)

c. Skripsi ini dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiwa, praktissi hukum ,pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa dalam rangka memperdayaakaan lembaga mediasi untuk menyelesaikan sengeketa perdata yang mereka hadapi.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang telah penulis telusuri dan penulis ketahui mengenai karya ilmiah skripsi yang terdapat di lingkungan Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara, bahwa penulisan skripsi yang mengangkat mediasi sebagai topic pembahasannya adalah belum pernah ada sebelumnya. Dengan demikian,dengan melihat permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, maka penulisa dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan murni karya asli penulis.

F. Tinjaun Pustaka

1) Tinjaun Tentang Sengketa di Pengadilan

a. Kewenangan Peradilan Umum

Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan untuk mengadili yang dimiliki oleh peradilan umum (pengadilan negeri). Kewenangan peradilan umum dibagi menjadi dua, yakni:


(23)

Peradilan umum berwenang untuk mendili perkara pidana dan perdata sesuai dengan pasal 50 UU No. 2 tahun 1986 Jo UU No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum. 2). Kewenangan Relatif

Pengadilan Umum (Negeri) memiliki daerah hukum yang terbatas, karena sesuai dengan pasal 2 UU No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum, kedudukan pengadilan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota sehingga daerah hukumnya hanya meliputi wilayah kabupaten/kota tersebut.

b. Bentuk Penyelesaian Sengeketa

Menurut Fathahillah AS penyelesaian sengketa dalam praktenya memiliki dua macam metode, yaitu :11

1) Proses Peradilan/ajudikasi,

- Litigasi (Proses pengadilan) - Arbitrase

2) Proses Konsensual / Non-Ajudikasi

- Alternatif Penyelesaian Sengeketa

Alternatif Penyelesaian Sengeketa saat ini menjadi pilihan yang efektif dan efisien sebab memiliki beberapa bentuk yang memberikan pilihan berbeda bagi para pihak.

Menurut Yahya Harahap, dalam penyelesaian sengeketa terdapat beberapa bentuk penyelesaian diluar pengadilan, antara lain:12

a. Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi diantara para pihak,

sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediaotor hanya sebagai penolong dan fasilitator;

       11

Fatahillah A.S. Pelatihan Mediator, (Jakarta, Indonesian Institute For Conflict Transformation, 2004), hlm. 14.

12


(24)

b. Konsiliasi melalui konsiliator, dimana pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap ditangan para pihak;

c. Expert Determination, menunjukkan seorang ahli memberi

penyelesaian sengeketa yang menentukan oleh karena itu keputusan yang diambilnya mengikat para pihak.

d. Mini trial

Para pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak untuk memberikan opini kepada kedua belah pihak, opini tersebut diberikan advisor setelah mendengar permasalahan sengketa dari kedua belah pihak, opini yang berisi kelemahan masing-masing pihak serta member pendapat cara penyelesaian sengekata yang harus ditempuh para pihak.

c. Gugatan Perdata

Dalam proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan adalah mengenai pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan harus memperhatikan

hal-hal yang diatur dalam pasal 118 HIR/142 RBG yang mengatakan:13

1) Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk ke pengadilan negeri

harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada ketua pengadilan di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya tempat tinggal sebetulnya;

2) Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediamanan tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.

3) Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.

4) Apabila pihak tergugat ada dua orang yaitu yang seorang misalnya adalah

yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.

       13

Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, ( Jakarta, Rineka Cipta, 2004), hlm. 19-20.


(25)

5) Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.

6) Jika gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. Jika benda tidak bergerak itu terletak dalam beberapa daerah hukum pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua salah satu pengadilan negeri menurut pilihan penggugat.

HIR dan RBG tidak mengatur tentang prasyarat mengenai isi pada gugatan. Isi pada gugatan diatur dalam Pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat, antara lain:

1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal, dan pekerjaan.

Dalam praktek sering juga dicantumkan agama, umur, status.

2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang

adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan.

3. Petitum (tuntutan), dalam praktek tuntutan/petitum terdiri dari dua

bagian, tuntutan primer dan tuntutan sekunder. Misalnya, tuntutan primer:

- Menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa dalam

keadaan baik dan kosong kepada penggugat;

- Menyatakan sah dan berhaga sita jaminan atas tanah sengeketa

Misalnya tuntutan sekunder:

- Jika majelis hakim berpendapat lain, mohon memberikan putusan

yang adil dan benar


(26)

d. Putusan Hakim

Untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara merupakan tugas seorang hakim. Putusan itu dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan konstatering peristiwa yang dihadapi, mengkualifikasi dan mengkonstitusinya. Jadi bagi hakim dalam mengadili suaut perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya adalah suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.14

Putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kedudukan yang sangat penting di seluruh sistem hukum yang berdasarkan prinsip

konstitusionlisme.15 Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap wajib

dipatuhi oleh para pihak baik dalam perkara perdata maupun pidana.

Di dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Disamping itu, pertimbangan

hakima adalah penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi.16

Putusan hakim menurut sifatnya dapat dibagi kedalam 3 macam, yaitu:17

1. Putusan Declaratoir;

Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.

2. Putusan Consitutif

Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.

       14

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: tata cara dan proses persidangan, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2003), hlm. 79.

15

Mhd. Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradya Paramita, 2002), hlm. 106.

16

R. Soeroso, Loc.cit.

17

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 223


(27)

3. Putusan Condemnatoir

Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.

Dari ketiga maca putusan hakim diatas, hanya ada satu putusan yang didalamnya mengandung suatu penghukuman dan dapat dilakukan eksekusi bagi para pihak yang kalah, yaitu putusan condemnatoir, sedangkan putusan declatoir dan putusan constitutive tidak perlu adanya eksekusi.

2) Tinjaun Tentang Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung maka segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).

Pasal 1 butir ke-7 Perma No. 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.


(28)

Mediasi adalah salah satu penyelesaian sengketa secara damai. Mediasi ada 2 jenis: yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi dari dalam pengadilan, ditangani oleh hakim pengadilan tersebut yang tidak menangani perkaranya. sedangkan mediasi di luar pengadilan, ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen.

Seorang sarjana Amerika, Stephen R. Marsh memberikan batasan tentang Mediasi di Pengadilan. Ia menyebutkan ada 3 (tiga) batasan mengenai mediasi di Pengadilan, yaitu :

There are three different definitions of Court Annexed Mediation

1. The narrowest definition is mediation that has been specifically ordered by a Court.

2. The middle ground is mediation that occurs per general court

order (e.g. standing orders tha all family law cases will be mediated before a trial date is set).

3. The most expansive definition is the mediation of any and all

matters that will of necessity be litigated (e.g damage to minors, divorce actions ).18

Penyelesaian sengketa dengan proses mediasi adalah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh pihak ketiga (mediator), tanpa melalui persidangan. Pihak ketiga dalam hal ini tidak memutuskan perkaranya. Mediator hanya berusaha mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai suatu kesepakatn diantara mereka menuju pada pemecahan yang saling menguntungkan (win win solution). Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi

       22

Stephen R. Marsh, current Issues in Court Annexed Mediation, Article. P. 1, http://adrr.com/smarsh/, available on 2000 diakses terakhir tanggal 5 Agustus 2011.


(29)

dengan para pihak dan bekerja bersama sama untuk mencapai suatu kesepakatan.19

Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang mengajukan perkara ke pengadilan) bisa berdamai dengan hasil sama sama senang. Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosudur mediasi maka menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan/atau Pasal 154 RBG, yang berakibat putusan batal demi hukum.

3) Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian Hukum adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan menganalisanya. Berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan dimuka, maka metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis-normatif.

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat, tulisan para ahli dan juga untuk

       19

Abdul Kadir, Mediasi sebuah Solusi Alternatif, (Makalah disampaikan dalam diskusi bulan di Pengadilan Agama Biak, Kamis, 19 November 2009), hlm. 3.


(30)

memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun melalui naskah resmi yang ada.20

Bahan ilmiah yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa:

a) Bahan hukum primer, seperti, UUD 1945,Ketetapan MPR, Peraturan

Perundang-undangan, Peraturan Mahkamah Agung yang terkait dengan penelitian ini;

b) Bahan hukum sekunder seperti karya ilmiah, jurnal hukum, dan hasil

penelitian hukum (disertasi, tesis) putusan pengadilan, serta kepustakaan yang berkaitan dengan penelitan ini;

c) Bahan hukum tersier, seperti, kamus hukum, pendapat para ahli

hukum, dan ensiklopedia.

Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan kemudian dilakukan penelusuran terhadap Perma No 1 tahun 2008 berjalan efektif dalam pelaksanaannya di pengadilan.

4) Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penjabaean penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi Enam Bab dengan komposisi sistematika penulisan sebagai berikut:

       20

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta; Ghalia Indo, 2004), hlm. 10.


(31)

BAB I : Pendahuluan

Memuat latar belakang Penulisan, Rumusan Pemasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Di

Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008.

Bab ini memuat sejarah penyelesaian sengketa, tinjauan umum tentang penyelesaian sengketa dan Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008.

BAB III :Manfaat Praktek Mediasi Di Pengadilan Negeri Berdasarkan Perma

No.1 Tahun 2008.

Memuat tentang Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata ,Teori-Teori Mediasi serta Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Suatu Sengketa Perdata.

BAB IV :Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya Perdamaian

Melalui Lembaga Mediasi Di Pengadilan Negeri.

Memuat tentang Penyelesaian Sengketa Menurut sistem Hukum Indonesia, Penyelesaian sengketa Perdata Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 dan Faktor Mempengaruhi Terlaksana Atau Tidaknya Perdamaian Melalui Lembaga Mediasi di Pengadilan Negeri.


(32)

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Memuat kesimpulan dan saran penulis sebagai hasil dari analisis penulis atas permasalahan dalam skripsi ini.


(33)

BAB II

TAHAPAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008

A. Sejarah Penyelesaian Alternatif Sengketa

Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja pebisnisdalam menggerakan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang relative besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaiakn sengketa bisnis. Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang mengakomodir kelemahan – kelemhan litigasi, yang merupakan siklus kedua penyelesaian sengketa.21

Perkembangan arbitrase ditandai dengan lahirnya Jay Teaty pada Tahun 1794, yang merupakan perjanjan antara Amerika dan Inggris . perjanjian tersebut bertujuan untuk menanggulangi perselisihan yang terjadi antara warga mereka. Cara penyelesaian lama yang didasarkan pada sistem saluran diplomatik sering mengecewakan. Penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik

(political consideration ). Cara dan sistem inilah yang berbentuk “missed commission” yang berfungsi untuk menyelesaiakn sengketa dagang secara

hukum. Cara penyelesaian lama yang berkarakter politik dan diplomatik digeser kearah sistem penyelesaian yang berkarakter yuridis. Mixed commissions berkembang dan menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan internasional, dimana masing–masing negara mengakuinya sebagai extra judicial, penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan rule yang disepakati, putusan langsung final and

       21


(34)

binding, serta putusan dapat dipaksakan sengketa dagang. Pada mulanya apa yang diharapkan dapat dipenuhi arbitrase. Penyelesaian sengeketa berjalan cepat, tidak formalistic, dan lebih ringan dari litigasi. Untuk memperluas peran arbitrase tersebut, maka disepakati berbagai konvensi internasional mengenai arbitrase. 22

Perkembangan arbitrase ditujukan mengatasi kontraksi atau kebekuan

(contraction ) yang dialami litigasi, ternyata arbitrase sendiri mengalami penyakit

yang hampir sama. Penumpukan kasus sengketa mengalir. Cara penyelesaian arbitrase mengalami kontraksi karena cenderung formalistic meniru pola litigasi. Biaya yang dibebankan sangat mahal. Sebaliknya, kecepatan perkembangan perdagangan yang mengarah kepada “ free trade” dan “free competition” dalam suasana global competition, memerlukan perlindungan dengan enyelesaian sengketa yang segera, sehingga dapat dipertahankan efisiensinya.

Dengan sendirinya sistem penyelesaian sengketa dagang memerlukan siklus baru, karena siklus litigasi dan arbitrase tidak memadai. Jika perubahannya dilakukan melalui jalur legislative, tidak mungkin. Lambatnya langkah legislative mengubah sistem litigasi dan arbitrase melalui ketentun perundang – undangan,

bias menghambat laju perkembanngan ekonomi dan perdagang.23

Berdasarkan alasan itu, masyarakat mengambil inisiatif untuk memperkenalkan dan mengembangkan “dispute resolutuion” yang mereka anggap cocok diperluas untuk menggeser peran litigasi dan aribitrase. Sejak Tahun 1980 – an telah berkembng bermacam pilihan penyelesaian sengketa bisnis, karena penyelesaian tidak memerlukan aturan formal, pemyelesaian segera

       22

M. Yahya Harahap, Op. cit ., hlm 226 – 227

23


(35)

(immedeatly) dan cepat (quick), memberi kepuasan dan harapan, biaya harus

ringan demi efisiensi, hasil yang diinginkan berisi penyelesaian sengketa untuk melangkah ke depan, bukan mempermasalahkan masa lalu, dan penanganannya diserahkan kepada profesioanal oleh orang yang betul – betul ahli (expert). 24

Istilah Alternative Dispute Resolution ( ADR ) pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada Tahun 1976, yaitu ketika “ Chief Justice Warren Burger” mengadakan “ the Rescoe E. Pound Confrence

on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administratration of Justice” ( Pound Conference ) di Saint Paul, Minesota. Para akdemisi, para anggota

pengadilan, dan para public interest lawyer, secara bersama – sama mencari cara – cara baru dalam menyelesaiakn konflik, Pada Tahun 1976 itu pula American Bar

Association ( ABA ) mengakui secra resmi gerakan Alternative Dispute Resolution ( ADR ) dan membentuk suatu komisi khusus untuk penyelesaian

sengketa ( Special Committee on Dispute resolution ). 25

Konsep tersebut merupakan jawaban atas ketidakpuasan ( disatifaction ) yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadp sistem peradilan mereka. Ketidakpuasan tersebu bersumber pada persoalan – persoalan waktu yang dibutuhkan sangat lama dan biaya yang mahal, serta dirgukan kemampuannya menyelesaikan secra memuaskan kasus – kasus yang bersifat rumit. Kerumitan dapat disebabkan oleh substansi kasus yang sarat dengan persoalan – pesoalan ilmiah ( scientifically complicated ) atau dapat juga disebabkan banyaknya serta luasnya stake holders yang harus terlibat.

       24

Ibid.,hlm. 228

25

Jacqualine M, Nolan – Halvey, Alternative Dispute Resoolution in Arbitrase Nutshell (S.T. Pal, Minn : west Publishing Co, 1992 ), hlm. 2


(36)

Pada intinya Alternative Dispute Resolution ( ADR ) dikembangkan oleh para praktisi hukum maupun para akademis sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses keadilan. 26 Sementara itu di Jepang sebenarnya jauh sebelum peresmian Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang dilakukan oelh

Asociation Bar of America ( ABA ) tersebut diatas, pada zaman Tokugawa telah

diterapkan “kpnsiliasi” ( chotei ) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya ditungkan dalam bentuk Undang – undang Konsiliasi Perdata atau “

Minji Chotei Ho “ pada Tahun 1951. 27

Disamping itu, baik di China dan Jepang juga sudah sejak lam mengenal “mediasi” sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina yang tidak suka Pengadilan sebagai tempat penyelesian sengketa. Di sini sengketa – sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi anatar kaum “Confucius” dan “legalist” mengenai bagaimana mengatur masyarakat, Di satu pihak, kaum Confuciu menekankan pentingnya ditegakkan prinsip – prinsip berdasarkan moral ( LI ), sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan – aturan hukum tertulis yang pasti ( FA ).28

Sementara itu di Indonesia terdapat beragam metode pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun metode dari luar

       26

Mas Achmad Sentosa, 1995. Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Bidang

lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam forum Dialog Tentang Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan

The Asia Foundation, Jakarta : Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, hlm. I

27

Hide Tanake, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo:University of Tokyo Press, 1988), hlm, 492

28

Lihat Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, ( Jakarta : Chandra Pratama,2000), hlm. 105. Lihat juga Derk Bodle dan Clarence Morris, Law in Imperial China, (Philadelphia : University of Pennysylvania Press, 1973 ), hlm. 23


(37)

yang salah satunya mengisyaratkan akan penyelesaian sengketa melalui

Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di luar badan pengadilan.

Metode tersebut dapat dibagi dalam 2 ( dua ) prosedur sebagai berikut: 29

1. Prosedur Administratif atau Prosedur Yudisial

Dalam prosedur ini sanksi dari pihka ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada zaman kerjaan, kesultanan, adat setempat, atau pemuka adat desa, setya prosedur administrative pengadilan zaman colonial Belanda.

2. Proses Konsensus Sukarela (Consensually – Based Approaches)

Dalam proses ini para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat dierima bersama. Proses ini berakar dari sistem pengaturan sendiri ( self governing system ) yang dapat ditemukan di Negara kepulauan kita. Ada beberapa persamaan lain yang ditemukan pada masyarakat Indonesia, yaitu :

a. Pertama banyak sengketa yang diselesIn melalui prosedur

yudisial, dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka adat yang memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang bersengketa dan membantu bernegosiasi dengan memakai standar ( criteria ) adat atau kerangja penyelesaian menurut sarn pemuka adat.

b. Kedua, banyak suku yang masih mempertahnkan prosedur

consensus sukarela untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk “Consensually – Based” dapat diartikan ke dalam bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat ( consensus )

Di Indonesia sendiri proses penyelesaian melalui Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) bukanlah sesuatu yang baru dalam nilai – nilai budaya bangsa

kita yang berjiwa kooperatif. Nilai kooperatif dan komptomi dalam penyelesaian sengketa muncul dimana saja Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relative memiliki nilai “litigious”, masih mengandalkan forum runggun adat, yang intinya

       29

Mas Achmad Sentosa, Palembang Alternatuve Dispute Resolution ( ADR ) di

Indonesia, Makalah pada kuliah umum Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Fakultas Hukum


(38)

penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau dikenal dengan adanya lembaga hakim perdamaian, yang secara umum berperan sebagai mediator dan konsiliator. Konsep prmbuatan keputusan dalam pertemuan desa pada suku Jawa tidak didasarkan atas suara mayoritas, tetapi dibuat oleh keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan.

Perlu disadari bahwa secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsesus. Pengembanagan keputusan secara tradisional dan penyelesaian sengketa secra adat. Alasan cultural bagi eksentensi dan pengembangan Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.30

Apabila melihat latar belkang pendayagunaan Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) di Amerika Serikat sebagai resperentasi Negara industry dan

ekonomi maju dan Negara – Negara yang menganut akar budaya non –

konfronatif yang pada umumnya dimiliki oleh Negara – Negara yang sedang

berkembang, terdapat sedikit perbedaan. Latar belakang pendayagunaan

Alternative Dispute Resolution (ADR ) di Negara maju disebabkan ketidakpuasan

terhadap sistem pengadilan, sedangkan Negara – Negara yang menganut akar budaya non – konfrontatif adalah melestarikan budaya non – adversarial menuju masyarakat yang lebih stabil (social stability), sekaligus akses pada keadilan (proses pemeriksaan yang cepat, berbiaya ringan dan tidak asing bagi

       30

Sujud Margono,Alternative Dispute Resolution ( ADR ) dan Arbitrase, ( Jakarta: Ghalia Indonesia,2000), hlm.38.


(39)

masyarakat). Sistem pengadilan dianggap institusi yang tidak memenuhi kebutuhan di atas.

Bila menyimak sejarah perkembangan Alternative Dispute Resolution

(ADR) di Negara tempat pertama kali dikembangkan (Amerika Serikat),

pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut :

a. Mengurangi kemaceta di pengadilan, banyaknya kasus yang diajukan ke

pengadilan, menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan ;

b. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa;

c. Memperlancar serta memperluas akses pengadilan ;

d. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang

menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.31

B. Tinjaun Umum Terhadap Penyelesaian Sengketa

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “Conflict” dan

“Dispute”. Keduakosa kata tersebut pada umumnya sama –sama mengandung

pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi secara khususkeduanaya dapat dibedakan. Kosa kata conflict

       31

William Ury, J.M. Brethh dan S.B. Goldberg, Gretting Dispute Resolved, sebagaimana dikutip Ibid. hlm 35


(40)

sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata

“dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”.

Konflik dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa, bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak ynag dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak Lain.

Dari penjelasan tentang pengertian konflik diatas, dapatlah diaartikan Sengketa merupakan keadaan dimana pihak yang merasa dirugikan atas konflik yang terjadi dengan pihak lain menyatakan ketidakpuasaannya tersebut dengan jalan melakukan suatu perbuatan tertentu.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan peredebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusanya jaur komunikasi yang sehat, sehingga masing – masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Untuk mencegah hal tersebut,maka diperlukan suatu pola penyelesaian sengketa yang efektif. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak untuk dapat dilakukannya proses penyelesaian sengketa adalah bahwa para pihak yang bersengketa harus sama – sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk didengar. Dengan persyaratan tersebut proses


(41)

pencarian titik temu (common guard) baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan berjalan dalam arti yang sebenarnya.

Ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu ;

1. Kepentingan ( Interest ) 2. Hak – hak ( Rights ), dan 3. Status kekuasaan ( power).

Ada beberapa dinamika penyelesian sengketa dalam kehidupan masyarakat dunia, yaitu :32

1. Proses adjudikasi (Adjudicative Processes ) a. Litigasi (Litigation)

Litigasi adalah proses gugatan atas sesuatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, di mana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sanagat dikenal (familiar) bagi para lawyer, dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan ( impose ) solusi diantara para pihak yang bersengketa. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan (court and admninistrative proceedings).

       32


(42)

b. Arbitrase (Arbitration)

Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan sama – sama memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan.

Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan – keuntungan melebihi adjudikasi melalui pengadilan negri. Arbitrase pada dasarnya menghindari melalui Pengadilan Negeri. Dalam kaitan ini, dibandingkan dengan adjusikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonom dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa.

Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandinkan dengan adjudikasi public karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak perlu antri meunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagianbesar yurisdiksi, hal tersebut betul – betul merupakan suatu penantian yang panjang.

Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjudikasi publik, prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase tidak sering mengalamipenundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana, arbitrase mengurangi biaya – biaya berhubungan dengan adjudikasi public.


(43)

2. Proses Konsensus (Consensus Processes)

a. Ombudsman

Ombudsman adalah sebutan unuk suatu badan atau institusi yang tugasnya meng –investigasi keberatan dan mencegah terjadinya sengekta para pihak atau memfasilitaskan pemecahan masalahnya. Metode yang digunakan dalam ombudsman adlah investigai, publikasi, dan rekomendasi.

b. Pencari Fakta Bersifat Netral ( Neutral Fact Findinga )

Fact finding sering disebut sebagai neutral fact finding atau pencari fakta

yang bersifat netral. Dalam beberapa perkara yang benar – benar rumit, para pihak sebenarnya tidak bersengketa mengenai hukum ataupun mengenai penerapan hukum terhadap fakta – fakta, namum mereka bersengketa mengenai objektivitas fakta – fakta. Ha ini kadangkala merupakan perkara dengan perosoalan – pesoalan teknis atau ilmu yang kompleks.

c. Alternative Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)

ADR merupakan alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan (ordinary court). Hal ini akan saya jelaskan lebih lanjut pada pembahasan tersendiri dalam skripsi ini.

3. Proses Adjudikasi Semu ( Quasi Adjudicatory Processes )

Di amerika serikat, alternatif penyelesaian sengketa merupakan bidang yang paling berkembang. Berbagai macam proses yang dirancang diterapkan untuk mendorong pihak yang berpekara menyelesaiakan sengketanya melalui


(44)

alternatife yang tersedia dan tidak hanya menyerahkannya kepada pengadilan. Hal ini mengurangi beban perkara di pengadilan . para pihak yang berpekara mencari cara penyelesaian yang menguntungkan baginya. Dengan demikian mereka dapat menghindari hasil pemeriksaan yang merugikan .

Proses – proses berikut ini dirancang untuk memberikan suatu pandangan yang lebih objektif terhadap sengekta kepada pihak yang berepekara dibandingkan apabila mereka merancangnya sendiri.33

a. Mediasi – Arbitrase ( Med – Arb 34)

b. Persidangan Mini ( Mini Trial )35

c. Pemeriksaan Juri secra Sumir ( Summary Jury Trial 36)

d. Evaluasi Netral Secara Dini ( Early Neutral Evaluation )37

       33

Sudargo Gautama, Arbitrase Dan Mediasi ( Hak Milik Intelektual ) WIPO, (Bandung PT. Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm. 96

34

Mediasi – Arbitrase adalah proses penyelesain sengketa campuran yang dilakukan setelah proses mediasi tidak berhasil. jika para pihak tidak mencapai kesepakatan secara mediasi, mereka dapat melanjutkan pada proses penyelesaian sengekta secara arbitrase

35

Pemeriksaan mini hampir sama dengan pemeriksaan juri secara sumir, bedanya hanya Tanpa ada juri penasehat ( advisory jury ). Dalam proses ini pengacara membuat suatu presentasi ringkas mengenai perkara masing–masing pihak dihadapan suatu panel yang terdiri atas wakil masing–masing pihak untuk merundingkan dan menyelesaikan perkara tersebut

36

Model pemeriksaan ini merupakan adaptasi dari beberapa konsep persidangan mini

(mini trial concepts ). Dalam pemeriksaan juri secara sumir, pengacara membuat suatu presentasi

ringkas tentang perkara mereka dihadapan juri penasehat, bukan juri adjudikasi. Juri memberikan perimbangan atas infprmasi – informasi yang dipresentasikan pengacara. Para pihak memepertahankan hak pemeriksaan mereka. Apabila mereka tidak memperoleh suatu penyelesaian, mereka dapat menyidangkan perkaranya. Jadi pemeriksaan juri secara sumir merupakan suatu sarana yang dimaksudkan untuk menghemat waktu pengadilan dan sumber daya. Yang lebih penting lagi, proses ini mirip dengan proses litigasi penuh, karena para pihak hars mempersipakan perkara mereka secara utuh seolah – olah mereka akan menyidangkannya.

37

Berdasarkan prosedur ini, setelah suatu pihka mendaftarkan perkaranya, pengadilan segra menunjukan seorang pengacara yang netral dan berpengalaman dalam menilai materi atau pokok perkara ( on the metris ). Tujuan evaluas netral secara dini adalah untuk memberikan para pihak yang berpekara suatu pandangan yang objektif mengenai perkara masing – masing.


(45)

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 ( dua ) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua ialah melalui Proses Litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasana (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara oihak yang bersengketa. Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “wi–win solution”, dijamin kerahasian sengketa para pihak, dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara – negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat.

Salah satu kelebihan proses non- litigasi ini terletak pada sifat kerahasiannya karena persidangan dan bahkaan hasil keputusan pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) .38

Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) ini merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan cir “ moving quickly “, menuntut cara–cara yang informal procedure and be put in motion quickly’. Sejak Tahun 1980 di berbagai Negara Alternative Dispute resolution ( ADR) dikembagka

       38

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung; PT. Citra Aditya Bhakti, 2003) , hlm.3.


(46)

sebagai jalan terobosan alternative atas kelemahan penyelesaian litigasi dan arbitrase, mengakibatkan terkurasnya sumber daya, dana, waktu , pikiran dan

tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha kea rah kehancuran. 39 Atas

dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaikan sengketa di luar proses litigasi.

Alternative Dispute Resolution ( ADR ) merupakan suatu istilah asing yang

perlu dicarikan padanannya dlam bahasa Indonesia. Berbgai istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanise Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan, dan mekanisme

penyelesain sengketa secara kooperatif. 40 Serta ada juga yang mengartikan

dengan pengelolaan konflik secra kooperatif ( cooperation conflict management ). Dengan demikian dilihat dari beberapa peristilahan di atas, maka sesungguhnya

Alternative Dispute Resoulution ( ADR ) merupakan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan yang dilakukan secra damai.

Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur secara panjang lebar tentang arbitrase, memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya undang – undang tersebutjuga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi (dengan pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif – alternatif lain. 41

       39

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian

Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997) hlm. 280 - 281 40

Suyud Margono, Alternative Dispute resolution ( ADR ) dan Arbitrase, J(akarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 35 – 36.

41

Munir Fuady, Arbitrse Nasioanal : ALternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 3


(47)

Pasal 6 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui musyawarah para pihak yang bersengketa, dibawah title “ Alternatif Penyelesaian Sengketa”; yang marupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution ( ADR ). Pengertian Alternative Dispute

Resolution ( ADR ) di sini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesain sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative

Dispute Resolution ( ADR ) dalam perspektif Undang – Undang Nomor 30 Tahun

199 itu adalah suatu pranata penyelesain sengketa di laur pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

Penggunaan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut bukan suatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu. Hukum melalui Undang – undang Nomor 30 Tahun1999 telah menyediakan beberapa pranata Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaiakan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, apakah mendayagunakan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,atau penilaian ahli. Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) di luar pengadilan hanya dapat ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaian melalui pranata Pilihan Penyelesaian Sengketa ( PPS ).


(48)

Sengketa atau beda pendapat yang dapat diselesaikan oleh para pihak melalui Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) hanyalah sengketa atau beda pendapat di bidang perdata saja. Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara para pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Pertama, penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui Pilihan

Penyelesaian Sengketa (PPS) diselesaikan dalam penemuan langsung oleh para pihak ( negoisasi ) sebagai tahap pertama. Dalam waktu paling ama 14 (empat belas ) hari sejak negosiasi (perundingan) dilakukan, para pihak harus sudah dapat mengambil putusan yang dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Seandainya penyelesian sengketa melalui perundingan tadi tidak menghasilkan apa–apa, maka atas kesepakatan tertuli, para pihak menujukanatau meminta bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat para pihak. Penasehat ahli atau mediator ini di berikan kesempatan selama 14 ( empat belas ) hari untuk menyelesaiakan sengeketa atau beda pendapat para pihak sejak hari ditunjukannya.

Cara demikian ini tidak juga berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka dapat ditempuh penyelesaian sengketa tahap ketiga, yakni dengan menunjukan seorang mediator lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa permintaan par pihak yang bersengketa. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penunjukannya, mediator harus sudah memulai usaha mediasinya.


(49)

Penyelesaian usaha melalui mediasi ini diharapkan sudah selesai paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak usaha mediasi dimulai. Usaha mediasi ini dilakukan dengan memegang teguh kerahasian dan kesepakatannya dituangkan dalam bentuk tertulis yang juga ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Putusan kesepakatan Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) tersebut dibuat secara tertulis dan bersifat final dan mengikat bagi para pihak, serta untuk dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak. Kesepakatan ertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negri dalam waktu paling lam 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Selanjutnya dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari sejak pendaftaran tersebut, kesepakatan penyelesaian sengekta atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan.

Cara perdamaian melalui Pilihan Penyelesaian Sengketa ( PPS ) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad- hoc. Upaya penyelesaian melalui arbitrase ini dilakukan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter terbentuk. Pemeriksaannya dilakukan menurut ketentuan - ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Sungguhpun tidak disebutkan secara tegas, para pihak tidak harus mengikuti prosedur “alternatif penyelesaian sengekta“ tingkat demi tingkat sampai tingkat keempat, tetapi dapat saja mengabaikan tingkat tertentu. Hal ini disebabkan :

1. Sifat penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cepat dan efisien ;

2. Undang – undang tidak mengharuskan secra tegas untuk mengikuti


(50)

3. Masih tercakup dalam kewenangan dan kebebasan para pihak untuk berkontrakn termasuk untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang dikehendakinya ;

4. Untuk kepentingan efektivitas. Jika para pihak sudah tidak mau

menggunakan salah satu atau lebih tahap – tahap penyelesaian sengketa, tidak ada gunanya dipaksakan, karena kemungkinan besar kata sepakat juga tidak akan tercapai. Sungguhpun tidak disebutkan dengan jelas, tahap – tahap penyelesaian sengketa tersebut bukanlah “ hukum memaksa “ ( dwingend recht ), melainkan hanya hukum mengatur. Akan tetapi, sekali tahap tersebut sudah disetujui oleh para pihak , maka para pihak tersebut wajib mengikutinya. 42

Dengan demikian, istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) menunjukan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak ( self – governing system ) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, atau arbitrase. 43

C. Tahapan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di

Pengadilan Negeri berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008

Di dalam Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan sebagai dasar hukum bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa perkara perdata dengan cara mediasi, diatur mengenai tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para pihak dalam menjalankan proses mediasi.

Dalam PERMA, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu orang yang terdiri atas hakim dan profesi lainnya yang dianggap memahami masalah pokok sengketa. Konsep ini menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum Jepang. Jika dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang

       42

Ibid ., hlm 6-7

43


(51)

diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya jika dikehendaki oleh para pihak atau atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).

Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya menyerupai dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang. Selanjutnya, dalam sistem hukum Jepang dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar pengadilan dapat dimintakan pengesahannya kepada pengadilan. Konsep Sokketsu Wakai memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam PERMA seperti yang dirumuskan dalam Pasal 24.

Secara garis besar Prosedur Untuk Mediasi yakni:

1) Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua,

kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.

2) Setelah pihakpihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada

mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.

3) Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara

supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.

4) Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.


(52)

Di dalam Perma No.1 tahun 2008, Bab III tentang Tahap-Tahap Proses Mediasi yakni Pasal 13 mengenai Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi, yakni sebagai berikut:44

(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.

(2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing~masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

(3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6). (4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3:

(5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.

(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

Setelah proses mediasi berjalan, terdapat dua kemungkinan mengenai hasil dari proses mediasi, tercapai kesepakatan atau tidak tercapai kesepakatan. Apabila mencapai kesepakatan maka para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan

       44


(53)

atau yang memuat iktikad tidak baik, kemudian Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Selanjutnya Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Akantetapi Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.45

Apabila proses mediasi tidak mencapai kesepakatan antar pihak maka, Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajlb menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Kemudian Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Selanjutnya Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan

perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.46

       45

Lihat Pasal 17 Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Dipengadilan.

46


(54)

BAB III

MANFAAT PRAKTEK MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI BERDASARKAN PERMA NO.1 TAHUN 2008

D. Dasar Hukum Mediasi Di Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian

Sengketa Perdata

Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut.

Latar Belakang Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah

penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum


(55)

para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa

yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.

Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.


(1)

aktif mengikuti proses mediasi dari awal sampai akhir di Pengadilan dan mendorong terjadinya perdamaian kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur

Bambang Sunggono, Hukum Lingkungan & Dinamika Kependudukan, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2004.

Christoper W. Moore, The Execute Seminar on Alternative Dispute Resolution Procedure, Colorado: CDR Associates, 1995.

Deanldy Mauna, Mediator’s Skill Reframing and Quiestioning in Practice, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2002.

Derk Bodle dan Clarence Morris, Law in Imperial China, Philadelphia: University of Pennysylvania Press, 1973.


(2)

aktif mengikuti proses mediasi dari awal sampai akhir di Pengadilan dan mendorong terjadinya perdamaian kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur

Bambang Sunggono, Hukum Lingkungan & Dinamika Kependudukan, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2004.

Christoper W. Moore, The Execute Seminar on Alternative Dispute Resolution Procedure, Colorado: CDR Associates, 1995.

Deanldy Mauna, Mediator’s Skill Reframing and Quiestioning in Practice, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2002.


(3)

Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2000.

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Hide Tanake, ed, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988.

JR. Spencer Jackson’s, Machinery Of Justice, Cambridge: Cambridge Univerity Pres. 1989.

Jacqualine M, Nolan – Halvey, Alternative Dispute Resoolution in Arbitrase Nutshell, S.T. PalMinn : west Publishing Co, 1992.

Jhon M. Echols dan Hassan Sadely, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan XXIII, 1996.

Fatahillah A.S. Pelatihan Mediator, (Jakarta, Indonesian Institute For Conflict Transformation, 2004.

M . Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT . Citra Aditya Bakti, 1997.

……… Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: PT Alumni, 2006.

Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Mhd. Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramita, 2002.


(4)

Munir Fuady, Hukum Arbitrase Modern , Bandung: PT. Citra Adyta Bhakti, 2008

……….., Arbitrse Nasioanal : ALternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung; PT. Citra Aditya Bhakti, 2003.

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan ,Jakarta : BPHN: Bina Cipta, 1981.

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: tata cara dan proses persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta; Ghalia Indo, 2004.

Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum Indonesia, Bandung: Alumni ,1978.

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Sudargo Gautama, Arbitrase Dan Mediasi ( Hak Milik Intelektual ) WIPO, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1996.

Sujud Margono, Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka,1995.

B. Peraturan Perundang-undangan


(5)

Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU No. 2 tahun 1986 Jo UU No. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum.

Undang Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003).

C. Artikel, Makalah dan Internet

Abdul Kadir, Mediasi sebuah Solusi Alternatif, (Makalah disampaikan dalam diskusi bulan di Pengadilan Agama Biak, Kamis, 19 November 2009)

Wirawan, Menyelesaiakn Perdata Secara Singkat, Makalah; LBH-Bandung, 2009.

M. Yahya Harahap, makalahnya yang berjudul “ Mencari sistem Peradilan yang Efektif dan efisien” yang disampaikan pada Seminar Akbar 50 tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Dasar Pembangunan Hukum Nasional dalam PJP II. Jakarta, 18 – 21 Juli 1985.

Majelis Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Makalah, MAPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009


(6)

Mas Achmad Sentosa, 1995. Alternative Dispute Resolution ( ADR ) di Bidang lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam forum Dialog Tentang Alternative Dispute Resolution ( ADR ) yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation, Jakarta : Departemen Kehakiman dan The Asia Foundation.

Mas Achmad Sentosa, Palembang Alternatuve Dispute Resolution ( ADR ) di Indonesia, Makalah pada kuliah umum Alternative Dispute Resolution (ADR). Fakultas Hukum Unika Atmajaya, Jakarta, 1997.

Soeharto, Pengarahan dalam Rangka Pelatihan Mediator dalam Menyambut Penerapan ”PERMA Court Annexed Mediation di Pengadilan Indonesia (Jakarta ,Makalah, Mahkamah Agung RI, 2002.

Stephen R. Marsh, current Issues in Court Annexed Mediation, Article. P. 1, http://adrr.com/smarsh/, available on 2000 diakses terakhir tanggal 5 Agustus 2011.

Siti Megadianty Adam dan Clarita Degrantini, Artikel. Hlm. 1, http;//www.IICT.co.id, available on 22 oktober 2006


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata

0 12 21

Efektivitas peraturan mahkamah agung republik indonesia nomor 02 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan negeri surakarta

0 1 87

IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI BOYOLALI)

0 4 102

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali).

0 2 17

KEDUDUKAN MEDIASI BAGI PARA PIHAK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN UNTUK MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN SKRIPSI

0 0 15

Tinjauan terhadap peraturan mahkamah agung nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata pada pengadilan negeri kelas 1a khusus makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 82

Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Melalui Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Sungguminasa (Studi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan) - Repositori UIN Alauddin Mak

0 0 78

Efektivitas Mediasi Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2011-2015 - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 75

PENGUATAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN (Studi di Pengadilan Negeri Purwokerto)

0 0 15