IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA TUBAN.
IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
1 TAHUN 2008 DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PADA
PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA TUBAN
SKRIPSI Oleh Siti Partiah NIM. C31213102
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA PRODI HUKUM KELUARGA
SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul
“Implementasi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Pada Proses Mediasi Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Tuban”. Adapun rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana perbedaan proses mediasi antara PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016. Kedua, bagaimana penerapan dan hasil mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Tuban. Dan Ketiga, adakah perubahan signifikan pada proses mediasi di Pengadilan Agama Tuban sebagai akibat PERMA No. 1 Tahun 2016.
Penelitian lapangan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode wawancara kepada hakim, hakim mediator serta observasi terhadap proses pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Tuban. Selain itu pengumpulan data lain juga peneliti menggunakan dokumentasi data dari hasil mediasi di Pengadilan Agama Tuban yang dianalisis menggunakan pola pikir induktif untuk memperjelas kesimpulan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada beberapa perbedaan antara aturan PERMA NO. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Diantara perbedan yang signifikan adalah lama waktu mediasi dan adanya iktikad baik dan iktikad tidak baik. Selain itu peneliti juga menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Tuan telah menerepkan proses mediasi pad aturan PERMA yang terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2016, meskipun hasil mediasi masih banyak kasus yang gagal. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi keadaan ini salah satunya adalah para pihak yang sudah terlanjur emosional dan tetap ingin bercerai dari pasangannya dan juga kurangnya kreatifitas hakim mediator.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, peneliti mengharapkan kepada Pengadilan Agama Tuban dan juga Pengadilan Agama di berbagai kota dan daerah lainnya agar lebih bisa mengoptimalkan dan memanfaatkan proses mediasi sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 sehingga hasil yang diharapkan itu dapar meminimalisir terjadinya perceraian di Indonesia.
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian... 17
F. Kegunaan Penelitian ... 17
G. Definisi Operasional ... 18
(8)
I. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II TINJAUAN TENTANG MEDIASI A. Pengertian Mediasi ... 24
B. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam... 29
C. Mediasi Menurut Hukum Adat ... 32
D. Mediasi Dalam Hukum Nasional... 34
E. Landasan Hukum Mediasi ... 37
F. Prinsip-Prinsip Mediasi ... 40
G. Mediasi Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016... 42
BAB III PROSEDUR DAN IMPLEMENTASI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA TUBAN A. Deskripsi Pengadilan Agama Tuban ... 44
B. Pendapat Hakim Mediator Terhadap Perubahan-Perubahan PERMA ... 48
C. Implementasi Mediasi Di Pengadilan Agama Tuban ... 51
D. Tahapan-Tahapan Mediator Dalam Mediasi ... 58
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 PADA PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA TUBAN A. Analisis Perbedaan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 ... 60
(9)
B. Implementasi Proses Mediasi PERMA No. 1 Thaun
2016 Di Pengadilan Agama Tuban... 62 C. Hasil Mediasi Pada Tahun 2016 Di Pengadilan
Agama Tuban ... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 72 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ikatan yang suci dan diridhoi oleh Allah SWT adalah ikatan perkawinan.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Perkawinan merupakan ikatan yang suci dan segala bentuk perceraian harus dihindari seperti proses mediasi, sebagaimana firman Allah dalam Alquran
surat An Nisa’ ayat 34-35 sebagai berikut:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
1
R. Subektidan R. Tjitrosudinio ,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT PRADNYA PARAMITA,2009), 10.
(11)
2
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Kemudian Allah juga menjelaskannya lagi dalam firmanNya surat An Nisa’
ayat 128 sebagai berikut:
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Lembaga peradilan merupakan lambang keadilan di Indonesia dan lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa yang sangat berperan penting.Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah lembaga tertinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.Mahkamah Agung memiliki wewenang diantaranya memutuskan perkara Banding, kasasi dan Peninjauan kembali.Karena tidak menutup kemungkinan jika ada banyak perkara yang masuk di Pengadilan Tingkat Tinggi.2
2
Syahrizal Abbas,Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), IX.
(12)
3
Peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Adayang berkenan dengan pengingkaran janji (wanprestasi), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, dan sebagainya. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.3
Begitu pula dengan adanya pengadilan Agama di Indonesia, merupakan lambang kedudukan Hukum Islam dan kekuatan umat Islam di Indonesia di bidang keperdataan. Sebagai perwujudan dari lembaga peradilan, Pengadilan Agama telah ada sebelum Belanda datang ke Indonesia. Tujuan didirikannya lembaga peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat yang berdasarkan atas undang-undang dalam kehidupan bernegara, oleh sebab itu, lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dari negara.Hukum dan negara adalah hal yang tidak akan pernah dapat dipisahkan, karena dimana ada negara pasti memiliki hukum tersendiri. Sedangkan hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis, kaku dan harus mampu mengayomi masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaharu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan orientasi kepada masa depan, karena hukum tidak boleh dibangun dengan berorientasi pada masa lalu.Dalam prosedur beracara, masalah merupakan hal yang wajib diselesaikan jika tidak mampu
3
(13)
4
diatasi dengan sebuah musyawarah maka permasalahan itu bisa diajukan kepada pengadilan.
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi menjadi dua dalam kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaankehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht).4 Kekuasaan kehakiman atribusi disebut kewenangan mutlak atau kompetensi absolut, adalah kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dansecara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Perkara perceraian bagi yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 jo. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan), biasanya kompetensi absolut tergantung pada isi gugatan dan nilai dari gugatan.5 Kekuasaan kehakiman distribusi disebut juga kewenangan nisbi atau kompetensi relative. Kewenangan nisbi adalah kewenangan pengadilan negeri memeriksa dan mengadili suatu perkara berdasarkan domisili pihak tergugat.
Sesuai dengan kewenangan relatif dan absolutnya di negara kita ketika masalah itu bersifat perdata maka ada dua pengadilan yang berwenang yakni pengadilan agama dan pengadilan negeri. Lebih mudahnya jika seseorang beragama Islam dan memiliki masaah berkaitan keperdataanya dengan Islam maka bisa mengajukannya ke Pengadilan Agama di kabupaten atau kota masing-masing, misalkan permasalahan tentang perceraian, hak asuh anak, kewarisan,
4
Ibid., 9.
5
(14)
5
permohonan dispensasi anak, isbat nikah dan lain sebagainya.Melihat realita yang terjadi saat ini, banyak masyarakat yang mengajukan permasalahannya langsung ke Pengadilan Agama tanpa bermusyawarah secara baik-baik.Dan kebanyakan dari mereka adalah masyarakat yang kurang paham tentang hukum.Sehingga mereka tidak tahu tahapan-tahapan yang harus dilakukannya dan mereka hanya mengatakan keinginan hatinya saja tanpa berfikir mengenai akibatnya.
Tahap awal yang wajib dilakukan oleh lembaga pengadilan agama adalah
perdamaian baik itu masalah perceraian, kewarisan dan lain
sebgaianya.Perdamaian merupakan sistem penyelesaian perkara (problem solving) yang sama-sama menguntungkan diantara para pihak, tidak ada yang merasa dikalahkan atau dipecundangi karena dalam perdamaian lebih mengutamakan asas persaudaraan yang mana egoisme atau pemaksaan kehendak akan lebih lunak, sehingga kedua belah pihak merasa diuntungkan. Perasaan untuk saling mengalahkan, memenangkan serta menguasai barang sengketa tiada muncul atau kembali ke produk perdamaian yang berlandaskan asas persaudaraan.6
Peran mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Apabila perdamaian dapat dilaksanakan, maka hal itu jauh lebih baik dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak
6
Syahrizal Abbas,Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 283.
(15)
6
terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.7
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara, dimana persetujuan itu harus tertulis.8 Itu terdapat dalam Pasal 1851 KUHPerdata, sedangkan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg dikemukakan bahwa jika pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihakyang bersengketa.
Menyikapi hal tersebut Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi penyelenggara kekuasaan kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang paling baik demi tegaknya hukum dan keadilan. Salah satu inovasi yang dilahirkan oleh Mahkamah Agung adalah mediasi, yang mana hal tersebut merupakan suatu
inovasi kreatif guna mengoptimalkan perdamaian para pihak yang
berperkara/bersengketa serta untuk mencegah penumpukan perkara di pengadilan sebagai mana dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2016. PERMA yang sekarang ini berlaku sebelumnya telah mengalami perubahan yaitu dengan adanya PERMA No.2 tahun 2003, kemudian diperbaharui dengan adanya PERMA No.1 tahun 2008 dan sekarang ini telah diperbaharui dengan diberlakukannya PERMA No.1 tahun 2016 yaitu tentang prosedur mediasi.
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (jakarta: Prenada Media Group, 2005), 151.
8
Victor M.Situmorang, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1993), 3.
(16)
7
Mediasi bagi para pihak yang berperkara dalam perceraian merupakan tahapan pertama yang harus dilakukan seorang hakim dalam menyidangkan suatu perkara yang diajukan kepadanya.Usaha dalam mendamaikan para pihak dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa.9Tujuan Mahkamah Agung pengesahkan adanya PERMA No. 2 Tahun 2003, PERMA No 1Tahun 2008 dan juga PERMA No 1 Tahun 2016 adalah semakin mengurangi angka perceraian yang tiap tahun terus meningkat. Ada banyak perbedaan di masing-masing peraturan yang Mahkamah Agung sah kan diantaranya. PERMA yang diatur No 2 Tahun 2003 Mediasi hanya terbatas pada pengadilan tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1), Hakim yang memeriksa perkara baik sebagai ketua majelis atau anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 4), Tidak disebutkan pihak yang berhak menjadi mediator secara spesifik. Hanya disebutkan bahwa mediator dapat dari dalam maupun luar pengadilan (Pasal 4 ayat 1), Setelah sidang pertama, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib berunding untuk menentukan mediator paling lama 1 hari kerja (Pasal 4 ayat 1) dan lain sebagainya.10
Kemudian ada perubahan yaitu PERMA No 1 Tahun 2008 Mediasi dilakukan pada pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus (Pasal 21), Hakim majelis pemeriksa perkara dapat menjadi mediator (Pasal 8 ayat 1 huruf d), Disebutkan pihak yang berhak menjadi mediator disertai dengan latar belakang pendidikan
9 Edi As’Adi,
Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012), 51.
10
(17)
8
atau pengalaman mediator. Pihak yang dapat menjadi mediator adalahHakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutanAdvokat atau akademisi hukum, Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa, Hakim majelis pemeriksa perkara dan gabungan antara mediator dalam butir a dan b, atau b dan d, atau c dan d (Pasal 8 ayat 1). Kemudian Setelah sidang pertama, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib berunding untuk menentukan mediator pada hari itu juga atau paling lambat 2 hari kerja berikutnya (Pasal 11 ayat 1), Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi (Pasal 7) dan lain sebagainya.
PERMA yang telah dilakukan dirasa belum sepenuhnya efektif dalam proses mediasi, dengan bukti bahwa angka perceraian masih digolongkan tinggi. Sehingga pada tanggal 4 Februari 2016 Mahkamah Agung memperbaharuinya yakni Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016.11
Ada beberapa perbedaan antara PERMANo 1 Tahun 2008 dengan PERMA No 1 Tahun 2016, diantaranya jangka waktu penyelesaian mediasi yang lebih singkat menjadi 30 hari hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi, adanya kewajiban bagi para pihak untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan/tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali terdapat alasan yang sah (kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter atau dibawah pengampuan, mempunyai tempat tinggal diluar negeri, menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau peerjaan yang tidak dapat ditinggalkan), adanya aturan
11
(18)
9
tentang iktikad baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi (maksudnya tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, menghadiri mediasi pertama tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya setelah dipanggil secara patut 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan mediasi tanpa alasan sah, menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak mennaggapi resume perkara pihak lain, dan tidak menandatangani konsep kesepakatan perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan yang sah). Dan adanya pengakuan mengenai kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang terlibat didalam sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya.12
Mediasi merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan.Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, salah satu manfaatnya adalah penyelesaian segketa secara cepat dan relative murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan iktikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka.13
12
http://shnplaw.com/portfolio-posts/perubahan-prosedur-dan-tata-cara-mediasi-di-pengadilan-setelah-berlakunya-peraturan-mahkamah-agung-ri-perma-no-1-tahun-2016/. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2016, 09:00 PM.
13
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 24-25.
(19)
10
Tanpa mengurangi arti perdamaian dalam segala bidang persengketaan, makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian dapat dilakukan oleh hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.Khusus dalam sengketa
perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat
imperative.Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perceraian.
Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah untuk menghentikan persengketaannya dan mengupayakan agar perceraian tidak terjadi. Apabila terjadi perdamaian dalam perkara perceraian maka perkara perceraian itu dicabut. Terhadap hal ini ada dua pendapat dalam praktek Pengadilan Agama, yaitu: pencabutan cukup dicatat dalam berita acara sidang dan perkara tersebut dicoret dari daftar perkara yang ada di Pengadilan Agama, atau pencabutan acara tersebut tidak cukup dengan dicatat dalam berita acara sidang tetapi harus dibuat produk berupa penetapan atau putusan dan itu akan menjadi bukti bahwa perkara yang terjadi sudah pernah diputus di Pengadilan Agama
(20)
11
sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 216K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus 1953.14
Sehingga, proses mediasi harus sangat diperhatikan dan dilakukan sesuai dengan aturannya agar dapat terwujudnya sebuah perdamaian yang menggagalkan sebuah perceraian. Ada beberapa kali perubahan mengenai peraturan tentang mediasi, dan proses pelaksannnya yang juga pasti berubah dan disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Dalam hal ini di Pengadilan Agama Tuban telah diterapkan dengan baik, tetapi meskipun begitu proses berjalannya mediasi tetap mengalami berbagai kendala, mungkin dari sisi para pihaknya ataupun mengenai keterampilan mediatornya. Dan hasil mediasi di Pengadilan Agama Tuban sebelum PERMA No. 1 Tahun 2016 ini berlaku masih banyak kasus yang gagal mediasi dan setelah adanya peraturan barupun masih sama.
Dengan adanya aturan itu maka Mahkamah Agung yangmengharapakan bahwa tidak akan terjadi penumpukan kasus perceraian di Pengadilan Agama Tuban dan semakin rendahnya kasus yang mencapai persidangan. Tetapi realita yang terjadi di Pengadilan Agama Tuban angka perceraian masih tetap tinggi dan salah satu cara untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya perceraian dengan keberhasilan dari proses mediasi. Dalam skripsi yang akan penulis lakukan bahwa perubahan yang ada dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 ini, proses pelaksanaan mediasinya dan hasil proses mediasiyang dilakukan yang sesuai dengan persturan yang baru.
14
Abdul M, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 164-166.
(21)
12
Maka dari itu peneliti ingin meneliti proses mediasi dan juga perubahan yang terjadi antara sebelum dan sesudah adanya PERMANo 1 Tahun 2016.
Sehingga penulis mengangkat judul “IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN
DIPENGADILAN AGAMA TUBAN”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian diatas maka idetifikasi dan batasan masalahnaya adalah
1. Kelemahan PERMA No. 2 Tahun 2003
2. Kelemahan PERMA No. 1 Tahun 2008
3. Keterampilan dan keahlian hakim mediator
4. Kendala-kendala ketika proses mediasi di Pengadilan Agama. C. Rumusan Masalah Penelitian
1. Bagaimanakah perbedaan dan perubahan proses mediasi antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Agama Tuban?
2. Bagaimanakah penerapan dan hasil mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Tuban sebelum dan sesudah adanya perubahan PERMA No. 1 Tahun 2016?
3. Adakah perubahan signifikan pada proses mediasi di Pengadilan Agama Tuban sebagai akibat dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016? D. Kajian Pustaka
(22)
13
Setelah penulis menelusuri ada beberapa peneliti yang mengangkat dalam skripsinya, tetapi itu sebelum adanya PERMA No 1 Tahun 2016 sebagai berikut:
1. Karya Rizka Zulinda Fatmawati, skripsinya yang berjudul “Efektivitas Mediasi Pada Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Bondowoso 4 Tahun Sesudah Berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008”. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa mediasi pada perkara
perceraian di Pengadilan Agaa Bondowoso 4 Tahun sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008, Setelah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008, mediasi diterapkan pada semua perkara perceraian tanpa ada klasifikasi khusus dan sudah ada hakim yang bersertifikat mediator. Selain itu, Pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa perkara perceraian sebelum berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008 dan sesudah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008, diperoleh nilai yang tidak signifikan. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata persentase keberhasilan mediasi tiap tahun hanya sebesar 3.10 %. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Bondowoso kurang efektif. Meski demikian, secara tidak langsung hasil tersebut berpengaruh terhadap prosentase penumpukan perkara yang nantinya terjadi di tingkat banding dan kasasi. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) Terbatasnya keterampilan hakimuntuk melaksanakan mediasi, b) Lemahnya pengetahuan para pihak yang bersengketa mengenai keuntungan mediasi, c) Terbatasnya waktu yang digunakan oleh mediator
(23)
14
dalam melaksanakan mediasi, d) Tingkat kerumitan problem yang harus dipecahkan serta e) Kurangnya respon advokat dalam menerapkan mediasi.15
2. Karya dari Mahmud Hadiriyanto dalam tesisnya yang berjudul “Mediasi Sebagai Upaya Penekanan Angka Perceraian (Analisis Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 di Pengadilan
Agama Kabupaten Kediri)”. Hasil penelitiannya pelaksanaan mediasi di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008, dan tahapan yang dilakukan oleh mediator selama mediasi berlangsung adalah dengan memulai sesi mediasi, merumuskan masalah dan menyusun agenda, mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak, membangkitkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa, menganalisa pilihan-pilihan
penyelesaian sengketa, proses tawar-menawar akhir, mencapai
kesepakatan formal atau tidak mencapai kesepakatan. Sedangkan fungsi mediasi terhadap upaya penekanan angka perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, dapat dikatakan bahwa walaupun upaya mediasi telah dilakukan secara maksimal oleh hakim mediator, ternyata, hasil dari pelaksanaan mediasi ini tidak bisa menekan angka perceraian, tingkat keberhasilan mediasi sangat rendah. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh mediator, guna melakukan proses mediasi antara lain disebabkan oleh kualitas dari
15
Rizka Zulinda Fatmawati, “Efektivitas Mediasi Pada Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Bondowoso 4 Tahun Sesudah Berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008”, (Skripsi--, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2013), v.
(24)
15
hakim mediator, beban kerja hakim yang begitu banyak, sehingga mediasi dipandang hanya formalitas untuk memenuhi hukum acara saja, fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri dan tingkat kepatuhan para pihak untuk menjalani proses mediasi begitu rendah.16 3. Karya Ahmad Jauhari dalam skripsinya yang berjudul “Efektivitas
Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2005-2009”. Dan hasil penelitiannya mediasi di pengadilan gama Yogyakarta tidakberpengaruh pada jumlah perkara yang masuk dan tidak dapat menekan terjadinya peningkatan angkat perceraian, secara otomatis harapan mahkamah agung untuk mengurangi penumpukan perkara pada pengadilan tingkat banding belum bisa terealisasi.17
4. Karya Syahdan, dengan judul, “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisis Pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2009 Tentang Prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.
Skripsi ini menjelaskan tentang pasca perma No. 1 Tahun 2008 tantang prosedur mediasi terhadap angka perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah adanya perma No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi.18
16 Mahmud Hadiriyanto,“Mediasi Sebagai Upaya Penekanan Angka Perceraian (Analisis
Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri)”, (Tesis--, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2013), v.
17 Ahmad Jauhrai,“Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Yogyakarta Tahun 2005-2009”, (skripsi--, UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2010), v.
18 Syahdan, “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisis Pasca Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, (skripsi--, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011), v.
(25)
16
5. Siti Rahmatul Ima, dengan judul “ Prosedur Mediasi Pengadilan Agama Bangkalan Ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016
Tentang Prosedur Mediasi”. Dalam kesimpulan skripsinya bahwa yang
menjadi dasar pelaksanaan proses beracara mediasi oleh Pengadilan Agama Bangkalan adalah menggunakan PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi”.19
Berdasarkan penelusuran pada beberapa karya tulis tersebut, maka penelitian yang hendak dilakukan ini belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.Penelitian ini mengkaji tentang implementasi mediasi yang ada di Pengadilan Agama Tuban, baik aturan, pelaksanaanya dan juga hasilnya.Penelitian ini ditekankan pada implementasi mediasi dan hasilnya ketika masih menggunakan PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2016.Sehingga penelitian penulis berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan rumusan masalah di atas, sehingga dapat diketahuisecara jelas dan terperinci tujuan diadakannya penelitian ini. Adapun tujuan tersebut sebagai berikut:
19Siti Rachmatul Ima, “Prosedur Mediasi Pengadilan Agama Bangkalan Ditinjau dari Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi”, (Skripsi--, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2016), v.
(26)
17
1. Untuk mengetahui perbedaan dan perubahan proses mediasi antara PERMA NO. 1 Tahun 2008 dengan PERMA NO. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Agama Tuban.
2. Untuk mengetahui penerapan mediasi sebelum dan sesudah adanya PERMA No. 1 Thaun 2016 di Pengadilan Agama Tuban.
3. Untuk mengetahui perubahan hasil mediasi di Pengadilan Agama Tuban.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna, baik dari secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan serta memberikan tambahan keilmuan di bidang hukum tentang implementasi mediasi khususnya bagi diri penulis dan pembaca umumnya.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang bernilai positif bagi masyarakat maupun Mahkamah Agung mengenai aturan baru PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi, dan juga bagi Pengadilan Agama lainnya, yang mana mungkin belum semua Pengadilan Agama menggunakan PERMA ini. Selain itu bagi masyarakat terlebih para pihak yang bersangkutan mengenai manfaat menyelesaikan masalah menggunakan mediasi.
(27)
18
Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dengan serius degan mengacu pada norma-norma tertentu mencapai tujuan kegiatan. 20
2. Prosedur merupakan rangakain tugas-tugas yang saling berhubungan berupa urutan waktu dan tata cara tertentu untuk melaksanakan pekerjaan yang dilakukan berulang-uang.21
3. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4. PERMA No. 1 Tahun 2008 adalah peraturan Mahkamah Agung tentang prosedur mediasi di Pengadilan, dan ini hasil revisi dari PERMA sebelumnya yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003.
5. PERMA No. 1 Tahun 2016 adalah bentuk peraturan Mahkamah Agung
yang memuat tentang ketentuan hukum formil mengenai prosedur mediasi di pengadilan, dan merupakan revisi dari PERMA No. 1 Tahun 2008 yang belum optimal dalam memenuhi kebutuhan pelaksanaan mediasi yang lebih maksimal.
H. Metode Penelitian
20
Aris Kurniayawan, (Guntur Setiawan, http://www.gurupendidikan.com/9-pengertian-implemetasi-menurut-para-ahli/), diakses pada tanggal 08 Oktober 2016.
21
Ismail Masya, http://dilihatya.com/1706/pengertian-prosedur-menurut-para-ahli. diakses pada tanggal 08 Oktober 2016.
(28)
19
Agar tercipta penulisan skripsi itu secara sistematis jelas dan benar, maka perlu dijelaskan tentang metode penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dengan adanya penelitian ini maka data yang diperlukan adalah data yang terkait dengan sumber data primer dan sumber data sekunder yang menjelaskan mengenai implementasi PERMA No. 1 Tahun 2008 dan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Pengadilan Agama Tuban. 2. Sumber data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari: a. Sumber primer
Yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, yakni PERMA No. 1 Tahun 2008, PERMA NO.1 Tahun 2016 dan Mediator yang ditunjuk oleh pimpinan Pengadilan Agama Tuban. b. Sumber sekunder
Yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Tuban yang berupa laporan hasil mediasi dan data yang berasal dari bahan pustaka seperti buku-buku, artikel dokumen peraturan-peratutan dan yang lainnya. Adapun dalam penelitian ini Penulis menggunakan data sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan tesebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional.
(29)
20
2) Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia.
3) Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data tersebut menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Wawancara
Dalam hal ini penulis mengajukan pertanyaan secara lisan untuk mendapatkan keteragan dari informan yaitu hakim mediator
Pengadilan Agama Tuban yang sudah ditunjuk, untuk
mendapatkan informasi terkait dengan kenyataan yang terjadi yaitu terkait implementasi mediasi sebelum dan sesudah adanya PERMA No. 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama Tuban.
b. Dokumentasi
Yaitu penulis melakukan penelitian dengan megumpulkan data yang berkaitan denagn mediasi di Pengadilan Agama Tuban, misalkan data perkara yang di mediasi, laporan hasil mediasi yang sebelum dan sesudah adanya PERMA No. 1 Tahun 2016, data yang berhasil di mediasi serta undang-undang yang digunakan, kemudian dipelajari oleh penulis, menelaah dan menganalisa data-data yang telah diperoleh sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
(30)
21
4. Teknik pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dari hasil wawancara hakim mediator Pengadilan Agama Tuban dan dokumentasi mengenai proses mediasi dengan memilih lalu menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi keselarasan, kesesuaian, keaslian, kejelasan serta relevansi antara aturan dengan proses dilakukannya mediasi dan hasilnya di Pengadilan Agama Tuban.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data dari Pengadilan Agama Tuban sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan prosedur dan pelaksanaan di Pengadilan Agama Tuban.
5. Teknis analisis data
Terniks analisis yang digunakan adalah sebgai berikut:
Teknis Deskriptif
Pada teknik peneliti menggambarkan prosedur dan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Tuban. Peneliti berusaha menguraikan prosedur yng digunakan di Pengadilan Agama Tuban, setelah tahu prosedur yang dipakai maka proses pelaksanaan mediasi sesuai dengan kenyataan yang dad an dibandingakan dengan sebelum menggunakan aturan yang sebelumnya di Pengadilan Agama Tuban.
(31)
22
Kemudian dianalisis menggunakan metode berfikir induktif dengan menganalisa data dari fakta yang ada di lapangan kemudian ditarik kesimpulan berdasarkan hukum yang menjadi dasarnya.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini mengurai tentang latar belakang masalah, identifikasi dan Batasan Masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan kerangka konseptual yang terdiri atas tinjauan umum tentang mediasi yang meliputi pengertian mediasi menurut Islam, adat dan nasional, landasan hukum mediasi, penjelasan mengenai PERMA No. 1 Tahun 2008 dan PERMA No. 1 Tahun 2016.
Bab ketiga merupakan bab yang memuat hasil penelitian. Bab ini terdiri atas deskripsitentang Pengadilan Agama Tuban, pemaparan titik perbedaan antara PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 dan analisisnya.
Bab keempat merupakan kajian analisis atau jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian ini. menafsirkan dan mengintegrasikan praktik dengan peraturan yang berlaku. Yakni perbedaan PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 dan prosesperubahan praktek mediasi dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Agama Tuban.
(32)
23
Bab kelima merupakan penutupyang terdiri dari kesimpulan dan saran yang mana bisa dibuat untuk koreksian dan untuk lebih baik praktek kedepannya.Karena kesimpulan dan saran bisa di ambil dari hasil analisis data yang telah dilakukan.
(33)
BAB II
TINJAUAN TENTANG MEDIASI A. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan istilah yang popular dan banyak para ilmuan yang berusaha mengungkapkannya. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Makna kata “berada di tengah“ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehungga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.1
Dalam buku yang telah dikutip oleh Syahrizal Abbas dalam bukunya Colins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua belah pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepatakan (agreement).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.2Dalam hal ini mengandung tiga unsur penting.Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan
1
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 4.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 569.
(34)
25
atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa.Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.Dari penjelasan diatas, maka mediasi secara etimologi lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya.3
Kemudian pengertian mediasi secara terminologi menurut J. Folberg dan A. Taylor dalam bukunya “Mediation” lebih menekankan pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi.Mediasi dapat membawapara pihak mencapai kesepakatan tanpa merasa ada pihak yang menang atau pihak yang kalah (win-win solution).4
Garry Gospater memberikan definisi mediasi sebagian proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.5
Dalam mediasi, penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan.Sehingga
3
Dandy Sugono, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi.Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada tanggal 29 November 2016, pukul 13:35 WIB.
4Edi As’Adi,
Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012), 3.
5
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 5.
(35)
26
mediasi ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga unsur penting yang saling terkait satu sama lain, yakni unsur itu berupa ciri mediasi, peran mediator dan kewenangan mediator. Oleh karenanya, mediator harus memiliki skill yang dapat memfasilitasi dan membantu para pihak dalam penyelesaian sengketa para pihak.
Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijealskan mengenai bentuk-bentuk perikatan, mediasi merupakan salah satu bentuk perikatan.Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1851
KUHPerdata yang berbunyi, “perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan sutau barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, persetujuan ini hanya mempunyai kekuatan hukum, bila dibuat secara tertulis”.6
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan juga tentang mediasi yang terdapat dalam pasal 143-145 KHI.Pasal 143 ayat (1) bahwa dalam pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Ayat (2) bahwa selama perkara belum diputuskan,
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.Dalam pasal 144 bahwa apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.Dan pasal 145 bahwa
6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan Soesilo dan Pramudji, Rhedbook Publisher, Cet. 1 Juli2008.
(36)
27
apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan daam sidang tertutup.7
Peranan hakim sangat urgent dalam mendamaikan para piahk sebagaimana telah tercantum bahwa hakim berkewajiban untuk mendamaikan suamu istri yang hendak bercerai ssuai pasal 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 UU No. 1 Thaun 1974 jo. Pasal 3`1 PP No. 9 Tahun 1975 bahwa ayat (1) hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak, ayat (2) selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.8
Dari pasal-pasal tersebut bisa disimpulkan bahwa mediasi telah diwajibkan dan mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa dengan adanyapihak ketiga yang bertugas untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa baik didalam pengadilan atau diluar pengadilan dan mediasi adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam setiap sidang agar para pihak yang bersangkutan sebagaimana asas-asas cepat, sederhana dan biaya murah. Makhamah Agung sendiri telah memberkan aturan dalam prosedur pelaksanaan mediasi yang mana telah disahkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, kemudian diperbaharui dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan telah direvisi lagi dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
7
Kompilasi Hukum Islam.diterjemahkan Soesilo dan Pramudji, Rhedbook Publisher, Cet. 1 Juli2008.
8
(37)
28
Dalam setiap peraturan memiliki kekurangan sehingga peraturan mengenai prosedur mediasi ters direvisi dengan harapan aturan yang baru itu bisa efektif dan mampu mengurangi setiap kasus perceraian yang diajukan. Salah satunya adalah pada PERMA No.2 Tahun 2003 bahwa masih belum ada penjelasan yang jelas tentang pemilihan mediator dan batas melakukan mediator, kemudian dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 masih dirasa belum efektif sehingga direvisi dengan memperjelas batas waktu mediasi dan juga prosedur mediasinya yang menggunakan metode kaukus. Dan yang terakhir direvisi lagi menjadi PERMA No. 1 Tahun 2016 yang memperjelas batas waktu melakukan mediasi dan prosedur mediasi itu sendiri.
Dalam pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 dijelaskan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.9Dengan adanya aturan ini maka mediasi wajib dan harus selalu ditawarkan para pihak setiap pemeriksaan dalam persidangan.
B. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam Islam dijelaskan juga tentang Mediasi, sejak zaman Nabi Muhammad dalam sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang
terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat dalam bentuk
9
Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MA RI.
(38)
29
negosiasi,mediasi, adjudikasi, rekonsiliasi arbitrase dan penyelesaian sengketa lembaga peradilan (litigasi).10
Dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya “ tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi
rahmat bagi sekalian alam “.Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran
Nabi Muhammad melalui risalah islam bertujuanmewujudkan damai, menyelesaikan konflik atau sengketa dan menjadikan manusia sebagai mahkluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai (peace-maker).
Sebagaimana menurut Mohammed Abu Nimer dalam bukunya yang telah di kutip oleh Syahrizal Abbas bahwa beliau meyakini Islam telah meletakkan prinsip dan nilai damai dalam Al-Qur’an yaitu penerapan prinsip dan nilai damai yang diderivasi dari tradisi ajaran Islam, akan mampu menyelesaikan konflik, baik dalam lapangan sosial maupun politik. Kemudian beliau merumuskan ada 12 prinsip penyelesaian sengketa (konflik) yang ada dalam Al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi
Muhammad, yakni Perwujudan keadilan, Pemberdayaan sosial,
Universalitas dan martabat kemanusiaan , Prinsip kesamaan, Melindungi kehidupan manusia, Perwujudan damai, Pengetahuan dan kekuatan logika, Kreatif dan inovatif, Saling memaafkan, Tindakan nyata, Pelibatan melalui tanggung jawab individu, Sikap sabar, Tindakan bersama (collaborative)
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 113.
(39)
30
dan solidaritas, Inklusif dan proses partisipatif dan Pluralisme dan keragaman.
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian fakta (adjudikatif) dan penyelesaian sengketa melalui perdamaian (islah atau Sulh). Sulh adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai.11Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat padapengajuan alat bukti. Anjuran Sulh mengantarkan pada ketentraman hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturarahmi para pihak yang bersengketa. Oleh karenanya, hakim harus senantiasa mengupayakan para pihak yang bersengkata untuk menepuh jalur damai (islah), karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak. Sulh dilakukan secara sukarela, tidak ada paksaan dan hakim hanya memfasilitasi para pihak agar mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan demi mewujudkan kedamaian. Sulh adalah kehendak para pihak yang bersangkutan untuk membuat keseptakan damai.12
Perkara atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur sulh adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak manusia (haq al-‘ibad) dan bukan perkara yang menyangkut hak Allah
11
Sayyid sabiq, fiqh sunnah, juz 3, (cairo: dar bal fath, 2000), 210.
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011),161.
(40)
31
(haq Allah).Dalam kategorisasi hukum, perkara atau sengketa yang dapat diajukan upaya damai atau sulh adalah perkara yang berkaitan dengan hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga
(mu’malah wa ahwal al-syakhsiyah).
Dalam islah keberadaan pihak ketiga amat penting, guna menjembatani para pihak yang bersengketa. Para pihak umumnya memerlukan bantuan pihak lain untuk mencari solusi tepat bagi penyelesaian sengketa mereka. Pihak ketiga amat berperan melakukan fasilitas, negosiasi, mediasi, dan arbitrase diantara para pihak yang bersengketa. Fasilitas, negosiasi, mediasi dan arbitrase merupakan bentuk teknis penyelesaian sengketa dengan menggunakan pola sulh. Pola sulh dapat dikembangkan dalam alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan seperti mediasi (wastha), arbitrase (tahkim), dan lain-lain.13
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Sulh telah diterapkan sejak zaman Rasulullah dan manfaat dari Sulh itu sendiri sangat banyak salah satunya untuk tetap menjaga silaturahmi diantarapara pihak dan menyelesaikan masalah dengan jalan yang damai sehingga tidak ada penyesalan.
C. Mediasi Menurut Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaiakn sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat
13
(41)
32
terbangun dan tersususn dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarnnya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan Indonesia. Soedarsono menyebutkan dalam bukunya bahwa tata hukum adat Indonesia berbeda dengan tata hukum lainnya yang ada di Indonesia.14Kemudian dalam bukunya Soepomo, disebutkan bahwa hukum adat merupakan penjelmaan dan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.15
Hukum adat suatu sistem yangbersandar pada alam pikiran bangsa Indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar, unsur, bagian, konsistensi dankelengkapan yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang terangkai.Sebagaimana menurut Van Vollenhoven yang dikutip oleh Syahrizal Abbas dalam bukunya yang menyebutkan konstruksi pembidangan hukum adat berupa, bentuk masyarkat hukum adat, badan pribadi, pemerintahan dan peradilan, hukum keluarga, perkawinan, waris, tanah, utang piutang, delik dan sistem sanksi.16
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat adat adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern cenderung berlabel
14
Soedarsono, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (yogyakartta: FH UII, 1998), 5.
15
Soepomo,Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (yogyakartta: FH UII, 1998), 6.
16
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011),236.
(42)
33
industri.Pelabelan ini didasarkan pada pandangan dan filsafat hidup yang dinaut masing-masing masyarakat.17
Masyarakat hukum adat bersifat komunal, yakni bahwa setiap
individu “wajib” menjunjung tinggi hak sosial dalam masyarakatnya.Masyarakat hukum adat memiliki sifat demokratis yang mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan ataumerugikan kepentingan perorangan. Ciri masyarakat hukum adat di atas menggambarkan pandangan hidup mereka, yang nantinya akan tercermin dalam filosofis penyelesian sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat hukum adat.18
Masyarakat adat mengutamakan jalan musyawarah mufakat ketika terjadi sebuah permasalahan, karena dengan kedamaian akan kedua belah yang bersengketa. Bentuk-bentuk yang digunakan adalah mediasi, negosiasi, fasilitasi dan arbitrase.19
Mediasi yang dilakukan oleh masyarakat adat memiliki kekuatan dalam penyelesaian sengketa mereka. Kekuatan itu akan menunjang terwujudnya penyelesaian melalui mediasi yakni jika para pihak memiliki keinginan untuk menyelesaikan sengketa denganjalan mediasi, kemudian jika terdapat masalah dalam lingkungan adat mereka semua masyarakat adat ikut merasaknnya sehingga masalah yang terjadi harus segera diselesaikan dengan jalan musyawarah. Dan mediasi yang dilakukan itu tidak terlepas dari nilai religi dan kultural, yang terwujud dari proses
17
Ibid, 236.
18
Ibid, 241.
19
(43)
34
penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga proses yang harus dilakukanpun mempunyai beberapa tahap diantaranya keterbuakaan antara para pihak kepada pihak ketiga (mediator), adanya rasa saling percaya terhadap pihak ketiga, dan adanya waktu untuk bertemu sehingga dnegan adanya tahap-tahap tersebut masalah yang terjadi bisa diatasi dengan baik.20 Karena dalam masyarakat adat tidak ada perbedaan antara masalah public atau private maka dalam proses penyelesaian sengketanya dilakukan dengan proses yang sama.
D. Mediasi Dalam Hukum Nasional
Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap, menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual. Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa.21 Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara yaitu pancasila. Prinsip musyawarah mufakat merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari solusi terutama di luar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi dan berbagai bentuk pengyelesaian sengketa lainnya.
20
Ibid, 250.
21
Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012), 9.
(44)
35
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar yuridis bagi penerapan mediasi di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di pengadilan atau pihak lain dari luar pengadilan, sehingga aturannya memerlukan aturan hukum.22
Dalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya yakni umum, agama, militer dan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 4 ayat dan pasal 5 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan peradilan dilakukan dengansederhana, cepat dan biaya ringan. Penerapan asas tersebut mengalami kendala dalam prkatik peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupataen/kota. Bahkan penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding tetapi juga tingakat kasasi di Mahkamah Agung. Sehingga ada proses yang harus dilakukan yakni salah satunya adalah tahap mediasi.
22
Syahrizal Abbas,Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 283.
(45)
36
Mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung dari no 2 tahun 2003, kemudian direvisi no 1 tahun 2008 dan direvisi lagi no 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Dalam aturan tersebut ada beberapa perbedaan diantaranya sebagai berikut:
No. Jenis Perbedaan Implementasi
PERMA No. 1 Tahun 2008
Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2016 1. Batas waktu mediasi Dalam pasal 13 ayat 3
proses mediasi paling lama 40 hari kerja sejak mediator dipilih
Pasal 3 ayat 6 bahwa proses mediasi dilakukan paling lama 30 hari kerja. 2. Kewajiban para pihak
menghadiri secara langsung pertemuan mediasi
Belum ada aturannya Pasal 6 para pihak wajib menghadiri pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum
3. Adanya iktikad baik dan akibat hukum
Ada tapi kurang detail Pasal 7 dijelaskan tentang iktikad baik dan tidak baik an diperjelas pada pasal 23
4. Adanya kesepakatan
sebagian pihak
Kesepakatan salah satu pihak saja tidak diakui atau dianggap gagal
Kesepakatan salah satu pihak tetap diakui
5. Pengecualian perkara yang dimediasi
Ada tapi kurang luas penjelasannya
Pasal 4 ayat 2 dijelaskan secara jelas tentang perkara yang wajib dimediasi lebih diperluas penjelasannya
6. Adanya terobosan
baru yakni mediasi dengan menggunakan audio visual jarak jauh
Belum ada Pasal 6 ayat 2 bahwa
kehadiran para pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh dianggap sebagai kehadiran
langsung 7. Pertemuan para pihak Pasal 1 ayat 4 bahwa
masih menggunakan kaukus yakni
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak
Tidak menggunakan kaukus lagi tetapi wajib kedua belah pihak wajib hadir
(46)
37
E. Landasan Hukum Mediasi
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan adanya perdamaian akan terhindar dari putusnya perpecahan silaturrahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.23 Adapun dasar hukum yang menegaskan tentang perdamaian dapat dilihat dalam Al-quran surat Al Hujuraat ayat 10 yang berbunyi :
Artinya ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.24
Mediator mempunyai Landasan hukum mediasi yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugasnya di Pengadilan agama yaitu :
a. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian. Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa.
b. SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154bg.
c. PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. d. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
23
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3, ( Bandung:Alumni, 1996), 16.
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003),97.
(47)
38
e. PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. f. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. g. Pasal 3 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.25
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam perma No. 2 tahun 2003 ditemukan beberapa masalah, sehingga
tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung
mengeluarkan perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat,
mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). Kehadiran PERMA NO. 1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata.
Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti
25
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3, ( Bandung:Alumni, 1996), 165.
(48)
39
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerpakan prosedur mediasi, maka putusan hakim batal demi hukum (pasal 2 ayat 3 PERMA).26
Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Pada prinsipnya mediasi di lingkungan pengadilan dilakukan oleh mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama tersedia mediator, maka PERMA ini mengizinkan hakim menjadi mediator.
Pada tahap pramediasi, hakim mewajibkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 7 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator baik yang ada di dalam daftar atau diluar daftar pengadilan, termasuk biaya yang mungkin timbul (Pasal 11 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 2008).
Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator (Pasal 13 ayat 1 PERMA
26
Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MA RI.
(49)
40
Nomor 1 Tahun 2008). Baik mediasi itu berhasil ataupun tidak maka wajib ada laporan (Pasal 14 PERMA Nomor 1 Tahun 2008).27
F. Prinsip-Prinsip Mediasi
Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (Basic Principles) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip-prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus dikethaui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi. David Spencer dan Michael Bragon merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi.
Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau Confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing para pihak. Dan mediator pun juga harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut.
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip sukarela ini dibangun atas dasar bahwa orang akan
27
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, (Jakarta: PRENADAMEDIA, 2013), 25.
(50)
41
mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak. Itulah prinsip-prinsip mediasi yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang mediator.28
G. Mediasi Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016
Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan merupakan bentuk pembaharuan dari peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yakni peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
28
Syahrizal Abbas,Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 28-31.
(51)
42
Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan PERMA baru dalam rangka mempercepat dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena proses mediasi menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan, sehingga hakim dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi, apabila para pihak melanggar atau tidak menghadiri mediasi terlebih dahulu, maka putusan yang dihasilkan batal demi hukum dan akan dikenai sanksi berupa kewajiban membayar biaya mediasi, hal ini disebutkan dalam pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, para pihak harus beriktikad baik dalam proses mediasi, namun mengingat tidak semua para pihak beriktikad baik dalam proses mediasi, maka dalam pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 PERMA ini mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi.
Hakim atau kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara dituntut untuk aktif dalam mendorong para pihak untuk berperan aktif
(52)
43
dalam proses mediasi, dengan adanya kewajiban menjalankan mediasi, maka hakim dapat menunda persidangan perkara agar dapat terjalin komunikasi antara para pihak yang berperkara.
Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan Agama menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016 sebagai berikut :
a. Tahap Pra mediasi
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi lama 30 hari kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat memilih mediator yang dikehendaki. Ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator
b. Tahap proses mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 30 hari
(53)
44
kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak telah 2 kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal yang disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
c. Mediasi mencapai kesepakatan
Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan sacara tertulis dan ditandatngani oleh para pihak dan mediator. Jika mediasi di wakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap kembali kepada
hakim pada sidang yang telah ditentukan untuk
memberitahukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
d. Mediasi tidak mencapai kesepakatan
Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis proses mediasi telah gagal. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika mediasi gagal, pernyataan dan
(54)
45
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.29
Itulah tahapan mediasi dalam peraturan yang baru yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
29
Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MA RI.
(55)
BAB III
PROSEDUR DAN IMPLEMENTASI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA TUBAN
A. Deskripsi Pengadilan Agama Tuban
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai profil Pengadilan Agama Tuban dan hasil penelitian atas bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Tuban. Tuban adalah salah satu kabupaten yang ada di jawa timur, yang memiliki nilai jumlah perkara yang tinggi dan sudah menjadi kelas IA.1Tuban merupakan wilayah yang sangat luas, sehingga kasus yang terjadi juga banyak.Ada banyak kasus yang terjadi, salah satu kasus yang setiap harinya selalu meningkat adalah perkara perceraian.2
Pengadilan Agama Tuban adalah peradilan yang ada di Tuban untuk mengurusi perkara perdata dan sudah berstatus kelas IA.Alamat dari Pengadilan Agama Tuban di Jalan Sunan Kalijogo No. 27, Tuban Kode Pos 62314. Pengadilan Agama Tuban juga melayani melalui Telp./Fax Telp. (0356) 321326 Fax 324939, selian itu juga ada situ situs yang bisa dikunjungi di http:/www.pa-tuban.net/ dan juga menyediakan alamat email yang bernama pa_tubanyahoo.c0.id.3
Secara administratif Kabupaten Tuban luas wilayahnya mencapai 1.839,94 km2 dengan panjang pantai 65 km2, luas lautan 22.608 km2 yang
1
http://www.pa-tuban.go.id/index.phx/9-berita, diakses pada tanggal 28 Desember 2016 pukul 21:36 WIB.
2
Irwandi, Wawancara, Tuban, 27 Desember 2016.
3
(56)
47
terdiri dari 20 Kecamatan, 17 kelurahan dan 311 desa dengan batas-batas wilayahnya jika dari arah utara dibatasi oleh Laut Jawa, dari arah Timur dibatasi oleh KabupatenLamongan, dari arah Selatan dibatasi oleh Kabupaten Bojonegoro dan dari arah Baratdibatasi oleh Propinsi Jawa Tengah (Kab. Rembang).4
Visi Pengadilan Agama Tuban mengacu pada visi Mahkamah Agung RI sebagai puncak kekuasaan kehakiman di negara Indonesia, yaitu
“ Terwujudnya Kesatuan Hukum dan Aparatur Pengadilan Agama
yang Professional, Efektif, Efisien dan Akuntabel Menuju Badan
Peradilan Indonesia yang Agung ”.
Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka Pengadilan Agama Tuban menetapkan misi-misi sebagai berikut:
1. Menjaga kemandirian Aparatur Pengadilan Agama
2. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum yang berkeadilan, kredibel dan transparan
3. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan
4. Mewujudkan kesatuan hukum sehingga diperoleh kepastian hukum bagi masyarakat.5
Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor: MA/Kumdil/177/VIII/K/1996 tanggal 13 agustus 1996 tentang Bagan
4
Laporan Tahunan 2016 Pengadilan Agama Tuban, 2.
5
(57)
48
Susunan Pengadilan, berikut struktur organisasi Pengadilan Agama Tuban Kelas IA:6
Hakim di Pengadilan Agama Tuban berjumlah 16 orang adalah sebagai berikut:
Ketua Pengadilan Agama Tuban 1. Dra. Hj. Nur Indah H. Nur, SH Wakil Ketua Pengadilan Agama Tuban 2. Drs. H. Suhardi, S.H., M.H.
Hakim:
3. Drs. H. Asep Badruzaman, MH
4. Drs. Syamsul Arifin, SH. MH 5. H. Anshor, SH
6. Drs. H. Muhammad Abbas
7. Dra. Hj. Rusdiana 8. Drs. H. Sholhan
9. Drs. Abdul Adim, MH
10.Dra. Hj. Ummu Laila, M.HI 11.Drs. Tantowi, SH, MH 12.Drs. H. Irwandi, MH
13.Drs. H. M. Ubaidillah, M.Si 14.Drs. Ainnur Rofiq, MH 15.Drs. H. Nursalim, SH, MH
6
(58)
49
16.Dra. Hj. Sufijati, MH
Pejabat Kepaniteraan berjumlah 5 orang adalah sebagai berikut:
1. Panitera : H. Abdul Wahab,SH
2. Wakil Panitera : Drs.Mat Busiril, MH
3. Panitera Muda Hukum : Durorin Humairo’, SH
4. Panitera Muda Gugatan : Akhmad Qomarul Huda, SH
5. Panitera Muda Permohonan : H. Masuhudi, S.Ag, MH
Pejabat Fungsional Panitera Pengganti berjumlah 5 orang sebagai berikut:
1. Rukmiati
2. A. Romadhon,S.Ag,M.H 3. Umi Rofiqoh,S.H
4. Syaiful Anwar,S.Ag 5. H. Mashudi,S.Ag,M.H
Jurusita berjumlah 7 orang sebagai berikut: 1. H.Masjhuri
2. Kasianto
3. Nurlailia Isnawati, A.Md
4. Wening Tyas W, SH
5. Eka Bektiani, SPd, SH
6. Teguh DN
7. Kasiono
(1)
73
kepada para pihak, agar mampu mempengaruhi hal positif kepada para
pihak.
4. Masih belum ada mediator khusus
Menurut peneliti jika meditor yang bertugas itu adalah mediator non
hakim, maka proses mediasi ini bisa diperkirakan banyak yang
berhasil, tetapi karena keterbatasan dan belum adanya mediator khusus
dalam bidang mediasi hakim masih merangkap jabatan menjadi
mediator juga. Sehingga beban dan tugas hakim jugabertambah, jadi
menurut peneliti mediator yang khusus menangani proses mediasi
dapat membantu keberhasilan proses mediasi tersebut.
Dari observasi diatas dapat disimpulkan bahwa yang sangat
mempengaruhi ketidak berhasilan mediasi tersebut adalah dari mediator.
Mediator yang ada di Pengadilan Agama Tuban masih sangat sedikit,
itupun mediator merangkap sebagai Hakim Majelis, sehingga faktor
tersebut mempengaruhi dan akibatnya mediasi yang dilakukan hanya
sebagai formalitas saja. Itulah hasil analisis peneliti dari wawancara,
(2)
74 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian dan penjelasan mengenai prosedur dan
implementasi mediasi PERMA Nomor 1 Tahun 2016 dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perbedaan yang sangat menonjol dari PERMA Nomor 1 Tahun 2008
dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di
pengadilan adalah darisegi lama waktu mediasi dan iktikad baik atau
iktikad tidak baikserta akibathukumnya.
2. Pengadilan Agama Tuban telah menerapkan aturan sesuai PERMA
Nomor 1 Tahun 2016 yakni adanya penekanan di iktikad baik dan
iktikad tidak baik dari para pihak dan juga penerapan akibat
hukumnya. Meskipun demikian tidak semua yang telah diterapkan
sesuai dengan aturan, seperti halnya tidak adanya hak pilih terhadap
mediator yang akan melakukan mediasi dengan para pihak.
3. Meski telah diimplementasikan hasil dan dampak dari impelementasi
mediasi setelah menggunakan aturan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 di
Pengadilan Agama Tuban tampak masih belum signifikan, hal ini bisa
(3)
75
B. Saran
1. Sebaiknya Pengadilan Agama mengimplementasikan hakim dapat
lebih memaksimalkan potensi yang ada pada PERMA No. 1 Tahun
2016 demi meminimalisir perceraian salah satunya dengan kreatifitas
komunikasi.
2. Sebaiknya Pemerintah selalu meningkatkan kualitas kapasitas hakim
mediator itu menjadi lebih baik semakin baik lagi.
3. Sebaiknya juga ada kerjasama yang baik antara hakim mediator
dengan aturan yang baru agar terwujudnya nilai positif dari aturan
tersebut, karena jika tanpa aturan yang baik diterapkan makanya
hasilnya tidak baik, dan jika hakimya potensial tetapi aturannya kurang
baik hasilnya juga kurang baik. Sehingga diperlukan timbale balik
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP, 2011.
Aris Kurniayawan, (Guntur Setiawan, http://www.gurupendidikan. com/9-pengertian-implemetasi-menurut-para-ahli/).
As’Adi, Edi. Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di
Indonesia. Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV.
Penerbit Diponegoro, 2003.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Hadiriyanto, Mahmud. “Mediasi Sebagai Upaya Penekanan Angka Perceraian (Analisis Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri)”. Tesis--, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2013.
http://shnplaw.com/portfolio-posts/perubahan-prosedur-dan-tata-cara-mediasi-di-pengadilan-
setelah-berlakunya-peraturan-mahkamah-agung-ri-perma-no-1-tahun-2016/. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2016.
Kompilasi Hukum Islam. diterjemahkan Soesilo dan Pramudji, Rhedbook Publisher, Cet. 1 Juli2008.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan Soesilo dan
Pramudji, Rhedbook Publisher, Cet. 1 Juli 2008.
Jauhrai, Ahmad “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2005-2009”. Skripsi--UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.
(5)
Ismail Masya, http://dilihatya.com/1706/pengertian-prosedur-menurut-para-ahli.
Keputusan Keterangan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 108/KMA/SK/VI/2016 tentang tata kelola Mediasi di Pengadilan.
Laporan Tahunan 2016 Pengadilan Agama Tuban
M, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011.
M.Situmorang, Victor. Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara
Perdata. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1993.
Maru Hutalagung, Sophar. Praktik Peradilan Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Muhammad, Abdul Kadir Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3,
Bandung:Alumni, 1996.
Mubarok, Jaih Peradilan Agama Di Indonesia,. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004.
Rachmatul Ima, Siti. “Prosedur Mediasi Pengadilan Agama Bangkalan
Ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi”. Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2016.
R. Tjitrosudinio , R. Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT PRADNYA PARAMITA, 2009.
Syahdan. “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisis
Pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”. Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.
(6)
Soepomo,Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,. yogyakartta: FH UII,
1998.
Soedarsono. Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,. yogyakartta: FH UII,
1998.
Sabiq, Sayyid fiqh sunnah, juz 3, cairo: dar bal fath, 2000.
Zuhaily, Wabah, fiqh sunnah, juz 3, cairo: dar bal fath, 2000.
Wawancara, Bapak Irwandi, Tuban, 2016 dan 2017.
Wawancara Bapak Anshor, Tuban, 2016.
www.patuban.net.
http://www.pa-tuban.go.id/index.phx/9-berita.
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan
Contoh Dokumen Litigasi, Jakarta: PRENADAMEDIA, 2013.
Zulinda Fatmawati, Rizka. “Efektivitas Mediasi Pada Perkara Perceraian
Di Pengadilan Agama Bondowoso 4 Tahun Sesudah Berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008”. Skripsi--UIN
Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2013.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008.