Efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan Agama Depok

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

HIDAYATULLOH

NIM. 107044102355

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ii SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Hidayatulloh

NIM. 107044102355

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag.

NIP: 196810141996031002

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii

Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Hj. Rosdiana, M.A. NIP. 196906102003122001

Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag. NIP. 196810141996031002

Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. NIP. 150050917

Penguji II : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A. NIP. 195811101988031001


(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 29 Mei 2011


(5)

v

yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman.

Skripsi ini kami persembahkan kepada Ayahanda Asmawih dan Ibunda Rohimah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Kami sadar tidak akan dapat menyelesaikan skrispi ini tanpa adanya bantuan orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Hj. Rosdiana, M.A. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.

3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan mengkritik kami dalam penyelesaian skripsi ini.


(6)

vi

5. Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yakub, M.A. selaku orang tua kami selama belajar di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, yang telah memberikan teladan, mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi kehidupan kami, serta asatidz dan musyrif.

7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya Drs. Sarnoto, M.H. dan Endang Ridwan, S.Ag. yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan kami menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta para staf yang telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2007 kelas A yang menjadi teman seperjuangan kami. Seluruh pengurus BEMJ Peradilan Agama periode 2009-2010 dan 2009-2010-2011 yang telah menemani kami belajar dan berorganisasi, terutama untuk Ridho Akmal Nasution dan Arifin Bahtiar. Serta kawan-kawan di HMI Komfaksy, LKBHMI, MCC, KMA-PBS, dan KKN Cikembulan terutama Arif Soleh, Asep Solahuddin, Riduan Dalimunthe, Subly, Naila, Andy, Dwima, Hafiz, Daus, Mala, Ima, Yai dan seterusnya yang tidak kami sebutkan satu persatu. Selanjutnya kawan-kawan kelompok studi TOEFL Bang Indra, Ulul


(7)

vii Farhan, dan Riski.

Akhirnya, tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kecuali hanya doa semoga semua pihak yang telah membantu penulis, mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Ciputat, 29 Mei 2011


(8)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian... 12

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA ... 18

A. Pengertian Mediasi ... 18

B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi ... 23

C. Keuntungan Menggunakan Mediasi ... 26

D. Peran dan Fungsi Mediator ... 30

E. Proses Mediasi ... 34


(9)

ix

C. Teori Efektivitas Hukum ... 52

BAB IV ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI... 59

A. Profil Pengadilan Agama Depok ... 59

B. Analisa Efektivitas Mediasi ... 63

1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ... 63

2. Kualifikasi Mediator ... 69

3. Fasilitas dan Sarana ... 78

4. Kepatuhan Masyarakat ... 82

5. Kebudayaan ... 86

C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ... 94

D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .... 98

BAB V PENUTUP ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran-saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).1

Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat formalistis belaka.2

1

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229.

2

Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekadar menitikberatkan unsur kecepatan dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila hakim


(11)

Untuk mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan efisien, maka muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian. Dalam hukum acara di Indonesia didapati dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (selanjutnya disebut R.Bg). Kedua pasal dimaksud mengenal

dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:3

Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu.

Selanjutnya ayat (2) mengatakan:

Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.

Upaya perdamaian yang dimaksud oleh Pasal 130 ayat (1) HIR bersifat imperatif.4 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha mendamaikan dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak perlu ada proses persidangan yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian,

atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim tersebut tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72.

3

R. Tresna, Komentar HIR, cet.XVIII,(Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110. 4M. Yahya Harahap, … h. 231.


(12)

upaya damai yang dilakukan tetap mengedepankan kepentingan semua pihak yang bersengketa sehingga semua merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 melihat pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat memaksa. Berangkat dari pemahaman demikian, maka diterbitkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR). Tujuan penerbitan SEMA adalah membatasi perkara secara substansif dan prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi.

Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan mengapa PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum lengkap atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan


(13)

akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.

Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).5

5

Konsiderans butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


(14)

Dalam ajaran Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang disebut dengan al-sulh.6 Islam menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar pengadilan. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad dalam ajaran Islam memilih sulh sebagai sarana penyelesaikan sengketa yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.7

Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya mengamalkan konsep sulh yang merupakan ajaran Islam.8 Para hakim di Pengadilan Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa

6

Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-Syarbini menyebutkan sulh sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177.

7

Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I,(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160.

8

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.


(15)

untuk menempuh jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak.

Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk dijadikan objek penelitian dalam sebuah skripsi. Tulisan ini ingin menganalisa efektifitas mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi dengan judul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada tingkat keberhasilan mediasi, faktor-faktor pendukung dan penghambat, efektivitasnya di lingkungan Pengadilan Agama Depok.

2. Rumusan Masalah

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan


(16)

dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke persidangan. Belum terjadi perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang masuk ke dalam proses persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan harapan.

Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang menjadi objek kajian dalam skripsi ini:

1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok?

2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Menguji efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok.


(17)

b. Mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama sesuai dengan PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Depok.

c. Mencari faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok serta mencari solusinya.

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya:

1. Bagi ilmu pengetahuan

Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam penerapannya pada sistem peradilan perdata.

2. Bagi masyarakat

Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai pengintegrasian proses mediasi didalam penyelesaian perkara di pengadilan agama.

3. Bagi penulis

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(18)

D. Review Studi Terdahulu

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang mediasi. Berikut skripsi yang penulis temukan:

Tabel 1

NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA

1. M. Ali Suproni, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.

Meneliti kesesuaian antara pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta

Selatan dengan aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008, keberhasilan peran mediasi dalam menekan angka perceraian, dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi. Proses integrasi proses mediasi dalam peradilan sesuai PERMA Nomor 01 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memerlukan

persiapan yang baik, mulai dari kesiapan sarana prasarana, hingga ketersediaan mediator yang profesional. Penelitian hanya dilakukan dalam bentuk analisa kesesuaian antara aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Berbeda dengan yang penulis lakukan, yaitu menganalisa

efektivitas mediasi berdasarkan teori sebagai alat ukur. Sehingga dapat didapatkan

kesimpulan apakah mediasi efektif atau tidak.


(19)

2. Syahdan, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisa Pasca Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.

Menyajikan analisa pengaruh mediasi terhadap angka perceraian, penerapan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta

Selatan sejak keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 serta kesesuaiannya, dan faktor-faktor yang menyebabkan

pelaksanaan mediasi tidak berjalan efektif. Dalam skripsi ini menggunakan data-data statistik dan hasil wawancara dengan para hakim yang menjadi mediator. Dalam analisa, diberikan kesimpulan bahwa mediasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap angka perceraian.

Wawancara yang dilakukan terhadap para hakim sebagai pelaksana mediasi serta pengumpulan data statistik dijadikan kesimpulan terhadap efektif atau tidaknya mediasi terhadap angka perceraian. Hal tersebut juga dilakukan oleh penulis, namun tidak hanya itu, faktor-faktor lain yang mempengaruhi efektif atau tidaknya mediasi penulis gunakan yang diambil dari teori efektivitas Soerjono Soekanto.

3. Siti Umu Kulsum NIM.

106044101441 Konsentrasi Peradilan Agama, 2006. Judul skripsi: “Efektivitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi”.

Membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum, prinsip-prinsip, dan

prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga putusannya.

Skripsi ini menyajikan data perkara tahun 2008-2009 di

Skripsi ini hanya fokus pada data perkara yang ada lalu menganalisa

efektivitas mediasi tanpa menguji faktor-faktor penunjang keberhasilan mediasi. Sedangkan penulis menguji 5 (lima) faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi berdasarkan teori efektivitas yang penulis gunakan.


(20)

Pengadilan Agama Jakarta Timur yang kemudian dianalisa keefektivan mediasi sekaligus menjelaskan hambatan dan tantangan pelaksanannya. 4. Widya Alia

NIM.

106043201357 Konsentrasi Perbandingan Hukum, 2006. Judul skripsi: “Efektivitas Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Setelah Dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”.

Menerangakan pengertian, sejarah, dasar hukum, ruang lingkup, prinsip-prinsip mediasi dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Skripsi ini

menggunakan teori efektivitas Ilham Idrus sebagai alat ukur atau indikator efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Teori efektivitas yang digunakan sebagai alat ukur lebih kepada aspek mediasi dalam pola kerjanya, sehingga tidak

menjangkau indikator-indikator lain yang lebih luas.

Lain hal dengan penulis lakukan, yakni menggunakan teori efektivitas Soerjono Soekanto yang lebih luas. Teori ini tidak hanya melihat keefektifan dari pola kerja, tetapi juga melihat faktor pendukung yang bersifat internal maupun eksternal.


(21)

E. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan pengaturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan.9 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan mediasi di pengadilan agama dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada pola-pola perilaku sosial dan masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh kejelasannya di persidangan pengadilan.

9

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26.


(22)

3. Data Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul dengan menggunakan bahan-bahan:

a) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari:

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 - Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

- Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)

- PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan megenai bahan hukum primer, yang terdiri dari:

- Buku-buku - Majalah Hukum - Artikel Ilmiah

- Arsip-arsip yang mendukung - Publikasi dari Lembaga terkait


(23)

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, meliputi:

- Bibliografi - Ensiklopedia

- Kamus Hukum

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut.

1) Lokasi Penelitian

Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Depok, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut. Dalam hal ini mengenai pelaksanaan mediasi di lokasi tersebut.

2) Subyek Penelitian

Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu dipertanggungjawabkan secara prosesil, maka yang tepat untuk dijadikan rujukan adalah Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator itu sendiri dari para pihak yang pernah menjalani proses mediasi dan Hakim Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji, mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi.


(24)

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat, atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan lain-lain sumber.10

b. Wawancara (Interview)

Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).11

Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator di Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,

10

Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: UMS Press, 2004), h. 47.

11

Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.


(25)

mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi.

5. Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.12

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, membahas tentang mediasi dalam konsep dan penerapannya yang meliputi pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses mediasi, keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator, proses mediasi, dan mediasi dalam Islam.

Bab Ketiga, memaparkan teori efektivitas hukum sebagai alat uji proses mediasi di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian efektivitas dan

12


(26)

selanjutnya dilakukan pembahasan bekerjanya hukum di masyarakat. Selanjutnya, disajikan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang dijadikan dasar pengujian penelitian ini.

Bab Keempat, berisi analisa efektivitas mediasi yang berisikan tentang profil Pengadilan Agama Depok, laporan pemberdayaan lembaga perdamaian, faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi, dan di akhir penulis sajikan analisa efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Depok berdasarkan landasan teori efektivitas, yakni tinjauan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008, kualifikasi mediator, fasilitas dan sarana, kepatuhan masyarakat, kebudayaan.


(27)

BAB II

MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA

A. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.14

Dalam Black‟s Law Dictionary, pengertian mediasi adalah:15

“A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.”

13

Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I,(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2.

14

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 726.

15 Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary, 8th


(28)

Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.16

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung, memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah.17

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.18

16

B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168. 17

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8.

18


(29)

Pengertian mediasi yang lain menurut Cristopher W. Moore sebagaimana dikutip oleh Gatot Soemartono adalah: 19

The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third

party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists

the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of

issues in dispute.

Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak.

Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.20

19

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121.

20

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


(30)

Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:21

1. Aspek Urgensi/Motivasi

Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka.

2. Aspek Prinsip

Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak

21

Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Artikel di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf


(31)

menempuh prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.

3. Aspek Substansi

Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara.

Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda, begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa


(32)

untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut:

1. Metode alternatif penyelesaian sengketa; 2. Bersifat non litigasi;

3. Menggunakan jasa mediator; dan

4. Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.

B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi

Mediasi merupakan proses penyelesaian non ligitasi atau setidak-tidaknya proses yang terpisah dari proses litigasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan jika mediasinya gagal, kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) disebutkan bahwa semua catatan mediator wajib dimusnahkan.

Bila kita telaah lebih lanjut kalimat “keterpisahan mediasi dari litigasi” akan terlihat agak ganjil, karena sejatinya ketika gugatan didaftarkan dan dicatat dalam register pengadilan, berarti sejak saat itu para pihak sudah mulai tunduk dengan aturan dalam proses hukum acara perdata. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur mediasi dalam proses perkara, walaupun belum masuk substansi persidangan yang sebenarnya karena gugatan belum dibacakan. Namun sesungguhnya perkara tersebut sudah ada dalam kewenangan pengadilan. Maka


(33)

menurut D.Y. Witanto22, bahwasanya PERMA hendak memberikan pengertian bahwa meskipun mediasi dilaksanakan dalam proses berperkara, namun sifat dan substansi penyelesainnya berada di luar kewenangan Majelis Hakim yang menyidangkan perkaranya.

Oleh karena PERMA menyebutkan bahwa mediasi merupakan proses yang berada di luar litigasi, maka menurut D.Y. Witanto, proses mediasi memiliki ciri dan prinsip yang berbeda dengan prinsip persidangan pada umumnya yang mana perbedaan tersebut antara lain:

1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara sebagai panduan proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal persidangan di pengadilan. Maka proses mediasi di pengadilan bersifat semi informal.

2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Dalam Pasal 13 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling

22

D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, cet.I, ( Bandung: Alfabeta, 2010), h. 31.


(34)

lama 40 (empat puluh) hari dan dalam Pasal 13 Ayat (4) dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari. Waktu tersebut tidaklah mutlak, bila kesepakatan tercapai kurang dari 40 (empat puluh) hari, mediator dapat langsung mengajukan kesepakatan damai kehadapan hakim yang memeriksa perkara untuk dibuat akta perdamaian. Akan tetapi bila mediasi di pengadilan tingkat pertama gagal, dapat dilakukan kembali pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya sebagai fasilitator agar tercapai sebuah kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.

4. Biaya ringan dan murah. Bila para pihak menggunakan jasa mediator non hakim, biaya mediasi tergantung kebutuhan selama berlangsungnya proses mediasi. Namun bila menggunakan jasa mediator hakim, biaya akan jauh lebih murah, yakni hanya dikenakan biaya pemanggilan bila ada pihak yang tidak hadir sesuai perjanjian. Sedangkan untuk jasa mediator dari kalangan hakim dan penggunaan ruang mediasi di pengadilan tidak dipungut biaya apapun.

5. Prosesnya tertutup dan bersifat rahasia. Dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.


(35)

6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Artinya bila para pihak menghendaki kesepakatan damai, gugatan perkara harus dicabut, sehingga perkara dinyatakan selesai.

7. Proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian. Para pihak tidak perlu saling berdebat dengan alasan bukti-bukti, namun yang diupayakan adalah mempertemukan titik temu dari permasalahan.

8. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan dialog dengan pola komunikasi interaktif saling menghormati dan menghargai.

9. Hasil mediasi bersifat win-win solution. Tidak ada istilah menang kalah. Semua pihak harus menerima kesepakatan yang mereka buat bersama-sama. 10.Akta perdamaian bersifat final dan binding. Berkekuatan hukum tetap (BHT)

dan dapat dieksekusi.

C. Keuntungan Memilih Proses Mediasi

Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pastinya memberikan keuntungan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan perkaranya. Sehingga sangat tepat bila dijadikan pilihan dibandingkan dengan mengikuti persidangan di pengadilan. Menurut Achmad Ali, keuntungan menggunakan mediasi adalah:23

23

Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, cet.I, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004), h. 24-25.


(36)

1. Proses yang cepat: persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam.

2. Bersifat rahasia: segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat rahasia di mana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliput.

3. Tidak mahal: sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah: para pengacara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi.

4. Adil: solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masing-masing pihak: preseden-preseden hukum tidak akan diterapkan dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh mediasi.

5. Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan.

Mediasi memberikan banyak keuntungan karena memiliki metode yang berbeda dari litigasi di pengadilan. Menurut Gatot Soemartono, mediasi dapat memberikan beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut:24

24


(37)

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase.

b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.

c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka. d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap

proses dan hasilnya.

e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.

f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.

g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbitrer pada arbitrase.


(38)

Pendapat lain yang dikemukakan Christopher W. Moore (1995) tentang beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi sebagaimana dikutip oleh Runtung, yaitu:25

1. Keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi;

2. Penyelesaian secara cepat;

3. Hasil yang memuaskan bagi semua pihak;

4. Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;

5. Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif; 6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;

7. Pemberdayaan individu;

8. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah;

9. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;

10. Kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah;

11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.

25

Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia


(39)

D. Peran dan Fungsi Mediator

Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Pengertian mediator dalam Black‟s Law Dictionary adalah:26

A neutral person who tries to help disputing parties reach an agreement.

Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).27 Dalam Kamus Hukum Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti penengah; pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang bersengketa.28

Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.29

Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa

26 Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h . 1003. 27

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, h. 726.

28

B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia…, h. 168. 29

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia


(40)

kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 30

30

Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional…, h. 60-65.


(41)

1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak;

2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;

3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap

kesepakatan para pihak; dan

5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa peran penting antara lain:31

1. Melakukan diagnosa konflik;

2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis; 3. Menyusun agenda;

4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;

5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar; 6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting;

7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan 8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.

31


(42)

Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara lain:32

1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan.

2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.

3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan hal-hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain.

4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh suasana.

6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa keluhan, tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut kepada pihak lawan dengan bahasa yang tidak provokatif.

7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan para pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak.

32

Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency


(43)

E. Proses Mediasi

Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan. Bila proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Namun sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal. Berikut tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008:

1. Tahapan Pra Mediasi.

Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan. Kemudian ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka jalankan.

Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah memiliki sertifikat mediator.

Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.


(44)

Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat puluh) hari kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]).

2. Pembentukan Forum.

Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat menyerahkan resume perkara33 kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim.

Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog. Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut, mediator menampung aspirasi, membimbing serta menciptakan hubungan dan kepercayaan para pihak.

3. Pendalaman Masalah.

Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus34, mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap

33

Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008.

34

Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan disaat bertemu dengan pihak lawan.


(45)

kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar menawar penyelesaian masalah.

4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan.

Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut:

a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi; dan

e. dengan iktikad baik.

Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas, mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara.

Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai


(46)

akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian.

5. Kesepakatan di Luar Pengadilan.

Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat menunjuk Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat tertutup untuk umum seperti perceraian).

6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi.

Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.

Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang


(47)

dapat dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan kesepakatan para pihak.

7. Berakhirnya Mediasi.

Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama, mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan seperti layaknya Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan. Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang pengadilan.

8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum.

Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.

Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai berikut:


(48)

Tabel 2

URUTAN PROSES MEDIASI - Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata

Negeri/Agama

- Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan

Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM)

- Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama

- Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan hari sidang dengan penetapan

- Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat)

- Para Pihak hadir

- Penyampaian proses mediasi oleh Ketua majelis Hakim

- Para Pihak tidak hadir

- Dilakukan pemanggilan ulang

- Pemilihan Mediator

- Penundaan sidang

- Putusan Verstek/

- Putusan Gugur

- Mediator mengadakan pertemuan awal

- Perkenalan dan penyampaian informasi tentang prosedur mediasi


(49)

- Penyampaian dan pertukaran resume

- Melakukan dialog tentang

kemungkinan beberapa penawaran

- Negoisasi

- Kaukus

- Penyampaian

usulan/penawaran lain

- Perumusan butir-butir kesepakatan

- Penjelasan-penjelasan

- Analisis dan koreksi

- Penandatanganan dokumen

Proses mediasi gagal

Proses persidangan dilanjutkan

- Penyampaian Dokumen Kesepakatan Damai kehadapan Majelis hakim Pemeriksa Perkara

- Pengukuhan menjadi Akta Perdamaian

Eksekusi

- Kesepakatan perdamaian tidak dikukuhkan menjadi akta perdamaian


(50)

F. Mediasi Dalam Islam

Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-Sulh. Secara bahasa artinya qath al-niza‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-Sulh sendiri adalah:35

ْ ع

عض

عْف

ع

ا

Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.

Sedangkan Hanabilah memberikan definisi al-Sulh sebagai berikut:36

ع

ّ

إ

حاّْإ ا

ْ

ْ ْ ا

Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang bersengketa.

Praktik al-Sulh sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. dengan berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar, antara kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak dengan pihak lain yang sedang berselisih. Al-Sulh menjadi metode untuk mendamaikan dengan kerelaan masing-masing pihak yang berselisih tanpa dilakukan proses peradilan ke hadapan hakim. Tujuan utamanya adalah agar pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan kepuasan atas jalan keluar akan konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan semua pihak.

35

Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah Zuhaili,

al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168. 36


(51)

Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-Sulh dalam surat al-Nisa ayat 128 sebagai berikut:

إ

أ ْ ا

ْ ف خ

ْ

ْع

ا ش

ْ أ

ضا ْعإ

ف

ح ج

ْ ع

ْ أ

ح ْص

ْ

حّْ

حْص ا

ْخ

ضْحأ

س ْأْا

حش ا

ْ إ

ا سْح

ا

إف

ه ا

ك

ْع

ا خ

.

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Saudah binti Zam‟ah, isteri Rasulullah SAW disaat ia mencapai usia lanjut, Rasulullah SAW hendak menceraikannya. Lalu Saudah memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Rasulullah SAW menerima hal tersebut dan mengurungkan niatnya untuk menceraikannya.37

Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan terhadapnya, yaitu hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita lain. Lalu si wanita (isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku dan jangan engkau ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain,

37

Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi, Tafsir Quran


(52)

engkau terbebas dari nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam ayat tersebut: Maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).38

Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu melakukan upaya perdamaian ketika akan terjadi perceraian. Ia berupaya mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah SAW yang paling muda. Dalam hal ini, memang tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang dilakukan Saudah adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian ditegaskan dalam syari‟at Islam dengan turunnya surat al-Nisa ayat 128 tersebut.

Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut disebutkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:39

ث ح

ْحأ

ْ

ْ ع

ْ

حْ س ا

ْخأ

ْا

ْه

ْ ع

س

ع

ْا

ش

أ

ْ ع

ْ

ْ ا

هث ح

أ

شئ ع

ْ

ا

ّ

ها

هْ ع

ْ س

:

ك

سر

ه ا

ّ

ها

هْ ع

س

ا إ

ارأ

ا س

ع ْ أ

ْ

هئ س

أف

خ

ْ س

خ

هع

ك

سْ

أ ْ ا

ْ

ْ

ْ

ْغ

أ

ْ س

ْ

عْ

ْ ه

ْ

شئ ع

.

Berkata Ahmad bin „Amr bin al-Sarh, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu

Syihab: Bahwasanya „Urwah bin Zubeir berkata kepadanya bahwa Aisyah

berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian

38Muhammad bin „Ismail al

-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, cet.I, (Kairo: Dar al-Hadis, 2000), h. 647. Hadis No. 5206.

39

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.


(53)

diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya kecuali

Saudah bin Zam‟ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.

Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan konsep mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

ْ إ

ْ ْ خ

ش

ْ

ا عْ ف

ح

ْ

ه ْهأ

ح

ْ

ْهأ

ْ إ

ا

ح ّْإ

ف

ه ا

ْ

إ

ه ا

ك

ع

ا خ

.

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari jalan keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah:

1. Berakal. 2. Baligh. 3. Adil. 4. Muslim.


(54)

Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun isteri. Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.40 Bisa jadi hakam diluar pihak keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar terbaik bagi persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut.

Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak jauh berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus hakam yang memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator profesional. Seorang hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah perkawinan antara suami isteri layak dipertahankan atau bahkan lebih baik bubar. Tidak berbeda dengan tugas mediator yang melaporkan hasil mediasi dengan dua pilihan, berhasil atau gagal.

Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang berakumulasi pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan kepada pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila terjadi, perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak melanggar syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut:41

40

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 …, h. 185. 41

Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibbanbi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, cet.II, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.


(55)

ْخأ

ح

ْ

حْ ا

ر سْ س ا

ْ ْ س

:

ث ح

ْع

ها

ْ

ْع

ْح ا

را ا

:

ث ح

ا ْ

ْ

ح

ط ّ ا

:

ث ح

ْ س

ْ

ث ح

ْ ك

ْ

ْ

ع

ْ ا

ْ

ح ر

ْ ع

أ

ْ ه

:

ْ سر

ها

ّ

ها

هْ ع

س

:

حْص ا

ئ ج

ْ

ْ ْس ا

إ

حّْ

حأ

ا ح

ْ أ

ح

ح

.

Berkata Muhammad bin al-Fath al-Samsar di Samarkand berkata Abdullah bin Abd Rahman Darimi berkata Marwan bin Muhammad al-Thathari berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin Rabah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu baik antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.

BAB III

TEORI EFEKTIVITAS


(56)

Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris effective, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily artinya adalah berhasil dan ditaati.42 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif artinya “dapat membawa hasil, berhasil guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat berarti “sudah berlaku” tentang undang-undang atau peraturan.43

Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary, effective adalah bentuk adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst berarti

in operation at given time. Bisa juga berarti performing within the range of

normal and expected standards atau juga productive; achieving a result.44

Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Nurul Hakim berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa:

“Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda

42

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XXIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.207.

43

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 284.


(57)

bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.45

B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan yang ditaati oleh masyarakat agar tercapai ketertiban, keserasian, dan ketentraman hidup. Aturan-aturan yang berlaku bertugas mengatur hubungan dalam struktur masyarakat yang kompleks.

Di dalam berbagai hal, hukum memiliki pengaruh yang langsung maupun tidak langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan. Artinya hukum memiliki peran dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, menurut Soerjono Soekanto dinamakan social engineering atau social planning.46

Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang

45

Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011 dari http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf

46

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.122.


(1)

15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? Faktor psikologi kejiwaan yang terlalu kecewa, sehingga sering berputus harapan.

16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?

a. Bila ya, apa alasannya?

Ya, alasannya merukunkan kembali rumah tangga yang sudah pecah, sungguh sulit tetapi mulia.

b. Bila tidak, apa alasannya? -

C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator

17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.

a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai?

Masih kurang memadai dan dibutuhkan sarana penunjang seperti proyektor. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan

insentif?

Mediator hakim yang berhasil disediakan insentif sesuai dengan pasal 25 PERMA Tahun 2008.

c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan?

-

d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?

Pasal 10 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan penggunaan jasa mediator tidak dipungut biaya.

18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?

a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok?

Ya cukup memadai, yaitu ada ruang tersendiri dan ber-AC. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?

Satu ruang 3 mediator, sarana air minum, dan proyektor.

19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya?


(2)

-

b. Bila tidak, kenapa tidak ada?

Tidak, sebab belum ada mediator diluar hakim yang bersertifikat mendaftarkan diri.

D. Pihak-pihak Yang Berperkara

20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi?

70-80% memberikan respon positif.

21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi?

-Komunikasi yang sudah terputus. -Ada pihak ke tiga.

-Pendidikan.

22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak.

a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian?

Belum pernah, namun para pihak sendiri yang menyatakan sudah pernah menghadap seorang ahli.

b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? -

c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Para pihak sendiri merasa tidak perlu.

23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?

a. Bila ya, apa alasannya?

Ya, hampir semua siap mengikuti mediasi setelah upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya?

Sudah terlalu parah keadaan rumah tangganya.

Pihak yang diwawancarai Pewawancara


(3)

Nama Lengkap : Dra. Sulfita Nefti, S.H.

NIP : 19580803.199403.2.001

Jabatan : Hakim

Usia : 53 tahun

Hari/Tanggal : Rabu, 11 Mei 2011

1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan?

Ya, sejak bulan Januari 2011.

2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok.

3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator?

a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa?

Tidak belum.

b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Karena belum mengikuti pelatihan atau sertifikasi mediator.

4. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama?

a. Bila ya, apa alasannnya?

Ya, agar hakim pengadilan agama bisa maksimal sewaktu melakukan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya?

-

A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan

5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan?

a. Bila ya, apa alasannya? -

b. Bila tidak, apa alasannya?

Tidak, karena mediasi hanyalah salah satu cara dalam upaya mendamaikan pihak yang berperkara, hasilnya terserah kepada mereka.

6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya?

-

b. Bila tidak perlu, apa alasannya?

Tidak perlu, karena PERMA saja sudah memiliki kekuatan mengikat bagi para hakim, karena bila tidak dilaksanakan, putusan menjadi batal karena hukum.


(4)

7. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya?

Sepengetahuan saya belum, karena saya belum lama bertugas di Pengadilan Agama Depok.

8. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif?

a. Bila ya, apa alasannya?

Ya, karena sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. b. Bila tidak, apa alasannya?

-

B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya

9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator?

Mediasi adalah upaya damai yang dilakukan diluar persidangan, dimana mediator berfungsi sebagai penengah dan juru bicara atau juru runding dianatara pihak yang bersengketa.

10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa?

Proses mediasi diperlukan untuk mengoptimalkan upaya damai sesuai tuntutan PERMA Nomor 1 Tahun 2008.

11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung?

Tidak, semuanya tergantung kesepakatan antara para pihak dengan mediator. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua

belah pihak menemui jalan buntu?

Bila usaha mendamaikan oleh mediator menemui jalan buntu, tindakan yang harus dilakukan oleh mediator adalah menyerahkan kembali penyelesaian kepada majelis hakim dengan laporan “mediasi gagal”.

13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut?

a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak?

Pernah, dan dapat berpengaruh terhadap para pihak sekurang kurangnya meredakan emosi mereka, sehingga masalah mereka dapat diselesaikan dengan baik.

b. Bila tidak, kenapa? -


(5)

dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik.

15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? Emosi dan ego para pihak demi gengsi dan harga diri, tidak ada yang mau mengalah. Yang ada hanya saling menyalahkan.

16. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian?

a. Bila ya, apa alasannya?

Ya cocok, karena perkara perceraian adalah sengketa antara suami istri terhadap rumah tangga mereka.

b. Bila tidak, apa alasannya? -

C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator

17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.

a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai?

Lumayan baik dan memadai.

b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif?

Tidak, karena mediasinya gratis.

c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan?

-

d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya?

Mediasinya gratis, tentu mediatornya tidak diberi insentif.

18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal?

a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok?

Bisa dianggap baik dan cukup karena sudah ada 3 (tiga) meja dengan kursi-kursinya.

b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?

Belum cukup baik sebagai tempat mediasi yang ideal karena ruangan yang sempit dan tidak ada sekat pembatas antara meja yang ada sehingga tidak nyaman bagi para pihak dan juga mediator.


(6)

a. Bila ya, berapa jumlahnya? -

b. Bila tidak, kenapa tidak ada?

Tidak, karena hakim banyak dan juga untuk membantu dan meringankan beban para pihak dengan memberikan pelayanan yang prima.

D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara

20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi?

Cukup baik.

21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi?

Jawaban yang sama atas pertanyaan nomor 15.

22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak.

a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian?

Belum pernah.

b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? -

c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Dirasa tidak perlu.

23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini?

a. Bila ya, apa alasannya?

Ya dianggap sudah siap, karena PERMA mewajibkan majelis hakim dalam persidangan memerintahkan para pihak untuk menempuh proses mediasi, tidak terkecuali sekalipun para pihak tidak siap atau keberatan.

b. Bila tidak, apa alasannya? -

Pihak yang diwawancarai Pewawancara