Permasalahan Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

komponen sub sistem, yaitu sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan sub sistem lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana terbagi manjadi 3 tahap yaitu tahap sebelum sidang pengadilan pra adjudikasi, tahap sidang pengadilan adjudikasi, dan tahap setelah pengadilan post adjudikasi. Dalam mekanisme Sistem Peradilan Pidana mensyaratkan adanya kerjasama antar sub sistem agar Sistem Peradilan Pidana dapat berjalan dengan baik. Keempat sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana mempunyai tugas yang berbeda-beda namun keempat sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila salah satu sub sistem ada yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Lembaga Permasyarakatan sebagai sub sistem yang paling akhir yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan, mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Permasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah timbulnya kejahatan.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimanakah hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana? Universitas Sumatera Utara 3. Bagaimanakah hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui peran lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana b. Untuk mengetahui hubungan lembaga pemasyarakatan di dalam sistem peradilan pidana c. Untuk mengetahui hambatan lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan sistem peradilan pidana

2. Manfaat

a. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya mengenai bagaimana melaksanakan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. b. Secara praktis 1 Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan untuk mengevaluasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan berpedoman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. 2 Masukan bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan serta instansi yang terkait untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menghambat dan Universitas Sumatera Utara faktor yang mendukung dalam mencapai keberhasilan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Binjai. 3 Masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan dan instansi terkait untuk dapat mencari upaya penyelesaian dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian mengenai “Kedudukan Lembaga Permasyarakatan LP Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana SPP” ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini. Semua ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dinyatakan oleh Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat Universitas Sumatera Utara pembinaan. Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi: 10 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; 2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; 3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; 4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik berupa bangunan penjara dan peralatan bengkel kerja yang masih memakai peninggalan kolonial Belanda; sarana personalia yaitu tenaga ahli yang profesional di bidang ilmu keperilakuan; sarana administrasi dan keuangan berupa terbatasnya dana peraturan dan perundang- undangan yang masih memakai reglemen penjara Gestichten Reglemen 1917 No.708. 11 Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, 10 Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, 1990 11 Tujuan pembinaan narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan budi pekerti para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatanrumah tahanan negara. Universitas Sumatera Utara mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan dan berkhayal mengenai cita-cita pemasyarakatan. Masalah pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan masalah pidana, pemidanaan. Dalam pidana hal yang tidak kalah penting adalah berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam arti sebab- sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan. Menurut peneliti sampai saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban akhir dalam memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum. 12 J.E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembebasan” pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu. 13 12 Oleh karena itu sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati. 13 J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Press, 1992, hal. 279 Universitas Sumatera Utara Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur-unsur penderitaan, tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 14 Peter Hoefnagels mengemukakan tujuan pidana adalah untuk penyelesaian konflik conflict resolution, mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law-conforming behavior. 15 Rijksen, membedakan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dari pembalasan itu terletak pembenaran dari wewenang pemerintah untuk memidana strafbevoegdheid van de overheid. Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan itu merupakan penegakan wibawa, penegakan norma, menakut-nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik. 16 Selanjutnya Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana yaitu; pertama dari segi prevensi yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat 14 Ibid, hal. 280. 15 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 21. 16 Ibid, hal 21. Universitas Sumatera Utara mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan dan kedua dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah selaku merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. 17 Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi: 18 1. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; 2. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; 3. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; 4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, barbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual. 17 Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. 18 Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, 1990. Universitas Sumatera Utara Keterbatasan sarana dapat merupakan salah satu penghambat pembinaan narapidana seperti yang diharapkan. Oleh karenanya, sulit untuk menghasilkan pembinaan yang efektif, efisien serta berhasil guna. Hal ini cukup beralasan, mengingat tujuan sistem pemasyarakatan itu sangat ideal, sedangkan sarananya sangat terbatas. Akibatnya, setiap petugas akan mengalami kejenuhan mengenai cita-cita pemasyarakatan. Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick, menyatakan sanksi pidana dimaksudkan untuk a mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana to prevent recidivism; b mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama similar acts; c menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas to provide a channel for the expression of realiatory motives. 19 Selanjutnya Emile Durkheim mengatakan mengenai fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan the function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are aroused by the time. 20 Roger Hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial reinforcing social values, kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan allaying public fear of crime. 21 Ahli di bidang kepenjaraan penolog mengakui bahwa ada 3 tiga elemen pokok apabila tujuan pemasyarakatan tercapai, yaitu: 1 petugas; 2 narapidana; 19 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 20. 20 Ibid, hal. 19. 21 Ibid., hal. 21. Universitas Sumatera Utara dan 3 masyarakat. Dipertimbangkannya unsur masyarakat adalah sesuatu yang rasional dan tepat mengingat beberapa hal bahwa narapidana adalah anggota masyarakat yang telah melanggar hukum, serta narapidana juga nantinya setelah lepas menjalani hukuman kembali ke masyarakat. 22 Sistem pemasyarakatan sebagai petunjuk arah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan belum mencapai hasil yang memadai, dengan beberapa indikator: 23 1. Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. 2. Pelanggaran hak-hak narapidana. 3. Penolakan bekas narapidana oleh masyarakat. 4. Keterbatasan sarana maupun prasarana dalam mendukung pembinaan.

F. Metode Penelitian