Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberan

(1)

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN

2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAL PIDANA KORUPSI (Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, No.

1198K/Pid.Sus/2001) SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAH MEISARY SURAHMAN 090200471

Departemen Hukum Pidana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2013


(2)

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN

2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAL PIDANA KORUPSI (Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, No.

1198K/Pid.Sus/2001)

SKRIPSI Disusun Oleh :

DIAH MEISARY SURAHMAN 090200471

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan

Diketahui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195700103261986011

Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Nuh, SH, M.Hum. Edi Yunara, SH, M.Hum

NIP. 130810667 NIP. 19601222198603100

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

*Diah Meisary Surahman ** Muhammad Nuh, SH, M.Hum

*** Edi Yunara, SH, M.Hum

Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU No.28 Tahun 2007)), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang – Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000) kurang

efeisien. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam

UU No. 16/2000 harus diberlakukan.

Penerapan sanski pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan ditinjau dari Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam memberantas tindak pidana perpajakan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (studi hukum kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, No. 1198K/Pid.Sus/2011) dimana analisis kasus tindak pidana perpajakan ini menyangkut permasalahan bagaimana hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan


(4)

pada tindak pidana perpajakan dan bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelian normatif ini bahwa setiap orang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana perpajakan tidak hanya terbatas pada kalangan pejabat saja dan sanksi pidana yang dapat diterapkan adalah pidana pokok dan pidana tambahan.

Terjadinya tindak pidana korupsi di bidang perpajakan khususnya yang terjadi pada kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan disebabkan oleh beberapa aspek antara lain aspek individu pelaku yag berasal dari dalam diri yang berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri, aspek ekonomi, sosial dan tempat dimana ini individu berada serta kurangnya pendidikan agama.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Departeman Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vi

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Penulisan... 1

B. Permasalahan...5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...6

D. Keaslian Penulisan...7

E. Tinjauan Kepustakaan...7

1. Pengertian Sanksi Pidana...7

2. Pengertian Tindak Pidana...8

3. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan...13

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi...16

F. Metode Penelitian...18

G. Sistematika Penulisan...19

BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPANNYA...22

A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan...22

B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi...31

C. Hubungan Tindak Pidana Perpajakan dan Tindak Pidana Korupsi...39

BAB III REALISASI UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KORUPSI


(6)

A. Penegakan dan Kedudukan Hukum Pidana dalam Pajak...44

B. Realisasi Undang-Undang Perpajakan Dikaitkan dengan Undang-Undang Korupsi...50

C. Faktor-faktor Terjadinya Tindak Pidana Korup diBidang Perpajakan...53

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI TINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 28 TAHUN 2007 TENTAG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI HUKUM KASUS GAYUS HALOMOAN PARTAHANAN TAMBUNAN, NO. 1198/K.Pid.Sus/2011)...60

A. Kasus...60

B. Analisis Kasus...80

BAB V PENUTUP...121

A. Kesimpulan...121

B. Saran...123


(7)

ABSTRAK

*Diah Meisary Surahman ** Muhammad Nuh, SH, M.Hum

*** Edi Yunara, SH, M.Hum

Pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN dimana dari tahun ke tahun perlu peningkatan, akan tetapi dalam kenyataannya terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak maupun pihak ke-3 sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera pada pelaku maka ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU No.28 Tahun 2007)), Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU No.20/2000) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana perlu diberlakukan secara selektif. Dalam praktek ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, dimana Undang – Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi sehingga ketentuan pidana dalam UU No 16/2000) kurang

efeisien. Berdasar azas lex specialist deregat legi generalis maka ketentuan pidana dalam

UU No. 16/2000 harus diberlakukan.

Penerapan sanski pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan ditinjau dari Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam memberantas tindak pidana perpajakan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (studi hukum kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, No. 1198K/Pid.Sus/2011) dimana analisis kasus tindak pidana perpajakan ini menyangkut permasalahan bagaimana hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan


(8)

pada tindak pidana perpajakan dan bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelian normatif ini bahwa setiap orang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana perpajakan tidak hanya terbatas pada kalangan pejabat saja dan sanksi pidana yang dapat diterapkan adalah pidana pokok dan pidana tambahan.

Terjadinya tindak pidana korupsi di bidang perpajakan khususnya yang terjadi pada kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan disebabkan oleh beberapa aspek antara lain aspek individu pelaku yag berasal dari dalam diri yang berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri, aspek ekonomi, sosial dan tempat dimana ini individu berada serta kurangnya pendidikan agama.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Departeman Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang didunia yang sedang gencar melaksanakan kegiatan pembangunan nasional disegala bidang. Pembangunan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu segala kegiatan dan usaha untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa merupakan usaha bersama dari bangsa dari seluruh rakyat yang dilakukan secara bahu membahu dan dijiwai semangat kebersamaan.

Uang sebagai modal dalam pemenuhan dana dan biaya pembangunan, diperoleh dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Sumber kemampuan dalam negeri inilah merupakan sumber utama, yang didapatkan melalui sumber daya alam seperti minyak bumi, mineral dan gas. Adapun sumber dana lainnya yang bukan merupakan sumber daya alam, adalah pajak.

Dapat diketahui bahwa sumber dana untuk mewujudkan pembangunan nasional itu selain yang bersumber dari sumber daya alam, juga dari penerimaan pajak. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pembangunan dengan bekerjasama dengan masyarakat yang salah satu caranya adalah menarik biaya melalui pajak dari masyrakat.

Pajak merupakan potensi besar dalam mengumpulkan dana demi pembangunan, akan tetapi potensi ini tidak berjalan sesuai rencana pembangunan. Penarikan pajak cenderung kecil dari potensi untuk mendapatkan peneriman pajak yang cukup. Hal ini terjadi selain karena adanya kebijakan baru, juga karena adanya tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan seperti penggelapan pajak.


(10)

Di tengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan dan kejahatan lainnya semakin meningkat. Dalam kenyataan adanya perbuatan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup perpajakan perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Sebelum reformasi Undang-Undang perpajakan yang dimulai tahun 1983, tindak pidana perpajakan diselesaikan dengan peraturan peninggalan penjajahan seperti ordonansi pajak

pendapatan 1944, dan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi1

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan

. Disamping itu penyelesaian tindak pidana perpajakan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kitab umum kejahatan pidana yang salah satunya adalah penggelapan. Namun beberpa dekade setelah indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1983, perkembangan perundang-undangan perpajakn dimulai dan tindak pidana perpajakan diatur tersendiri dengan Undang-Undang perpajakan. Pada tahun 1983, telah lahir 3 (tiga) Undang-Undang perpajakan berikut aturan pelaksanaannya, yaitu :

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

3. Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa

Pajak Penjualan barang mewah

1 Warta Warga, “Perpajakan indonesia”


(11)

Namun dalam perkembangannya perundang-undangan tersebut tidak dapat diaplikasikan sesuai perkembangan keadaan sehingga diperbaharui diselesaikan melalui Undang-Undang yang baru, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Kemudian pada tahun 2000, dibuat kembali perubahan keduan terhadap Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut, menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Meskipun telah melalui perubahan kedua, pengaturan Perpajakan dirasakan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga dilakukan perubahan ketiga menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tindak pidana perpajakan cenderung masi dilakukan, akibatnya yaitu merugikan keuangan negara. Walaupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan beserta tindak pidana perpajakan telah dilakukan beberapa kali penyesuaian, akan tetapi peraturan ini tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menanggulangi tindak pidana perpajakan dan sebagai pengaturan mengenai penghimpunan sumber keuangan.

Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam ruang lingkup perpajakan, disebabkan berbagai faktor yang antara lain menyangkut mentalitas aparat, dan petugasnya, mentalitas dari wajib pajaknya, dan kelemahan administrasi tata cara termasuk birokrasi pengelolaa pajak yang panjang. Pada saat pasca-reformasi Undang-Undang perpajakan tahun 1983,

sistem perpajakan kita menganut self- assessment system, wajib pajak menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terhutang2

Tindak pidana perpajakan dalam penerapannya tidak hanya menggunakan peraturan perpajakan saja. Beberapa kejahatan yang dilakukan di bidang perpajakan, dapat

. Dari faktor-faktor tersebut, wajib pajak ataupun petugas pajak itu sendiri memiliki peluang untuk melakukan tindak pidana perpajakan.

2


(12)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Perpajakan tersebut memenuhi syarat dari sifat kejahatan dan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sifat kejahatan kejahatan tersebut memenuhi syarat memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara.

Sejalan dengan perkembangan dan perluasan arti dari keuangan negara, dan memperkaya diri dalam perundang-undangan korupsi maka makin berkembang pula kemungkinan penerapan perundang-undangan korupsi terhadap tindak pidana perpajakan.

Pada tahun 2009, Pegawai Negeri Sipil dari Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan, diputus bebas oleh PN Tanggerang terkait kasus penggelapan dana sebesar Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) Namun, putusan tersebut dibatalkan terkait dengan kasus penyuapan terhadap Jaksa dan Penyidik. Adanya dugaan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi membuat peneliti tertarik untuk membahas penerapan Undang-Undang Perpajakan dalam menyelesaikan tindak pidana perpajakan sekaligus penerapan Undang-Undang Korupsi terhdap tindak pidana perpajakan, yang bertitik tolak dari pandangan pentingnya penyelamatan sumber keuangan sektor pajak, yang selama ini terus terjadi pelanggaran.

Berdasarkan hal tersebut diatas Peneliti mencoba membahas dan melaksanakan penelitian, yang diwujudkan dalam bentuk skripsi berjudul :

“Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan,NO. 1198 K/Pid.Sus/2011 )”


(13)

Berdasarkan uraian diatas timbul beberapa masalah yang perlu dikaji dalam penulisan ini antara lain :

1. Bagaimanakah hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana

korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan ?

2. Bagaimanakah sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan yang masuk

kedalam perbuatan tindak pidana korupsi ? C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini yaitu :

1. Untuk mengkaji dan memahami hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan

tindak pidana korupsi sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan.

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak

pidana perpajakan yang masuk kedalam perbuatan tindak pidana korupsi.

3. Untuk mengetahui bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi dibidang

perpajakan. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai tindak pidana perpajakan yang masuk kedalam tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.


(14)

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkat atau diterapkan dalam mengambilan kebijakan oleh aparat menegak hukum dalam tindak pidana korupsi di bidang perpajakan dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana D.Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Studi Hukum Kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, NO. 1198 K/Pid.Sus/2011 )”

Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata dikemuadian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sanksi Pidana :3

Menurut H.L Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief

dalam Bukunya “The limits of criminal sanction” yaitu :

1) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki

untuk mengahadapi kejahatan-kejahatan atau bahay besar dan segara serta untuk

3


(15)

mengahadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm)

2) Sanksi pidana suatu ketika merupakan ‘penjamin yang utama/terbaik’ dan suatu

ketika merupakan ‘pengancam yang utama’ dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor, used indiscriminately and coercively, it is threatener)

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan

hukum yang diancam dengan sanski pidana.4 Kata Tindak Pidana berasal dari istilah yang

dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-kadang juga menggunakan

istilah delict, yang berasal dari bahasa Latin delictum, hukum pidana di negara-negara

Anglo-Saxon menggunakan istilah offence atau criminal act untuk maksud yang sama.5

Istilah offence, criminal act, oleh negara-negara Eropa Kontinental dikenal dengan

istilah strafbaar feit atau delict ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya mengalami keberagaman istilah. Keberagaman ini muncul baik dalam perundang-undangan maupu dalam berbagai literatur hukum yang ditulis oleh para pakar, keberagaman istilah yang digunakan para ahli yang meliputi tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran

pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan pidana.6

4 H.M. Nurul Irfan, M.Ag.,

Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 23.

5

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 86.

6


(16)

Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpda memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang

dimaksud dengan perkataan strafbaar feit. 7 Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa

Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid,

sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu

dapat diterjemahkan sebagai sebgaian dari suatu kenyataan yang dapt dihukum, bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,

perbuatan ataupun tindakan.8

Menurut Hazewinkel-Suringa mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat

umum dari “strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusai yang pada suatu saat tertentu

telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

9

Para penulis lama seperti Prof Van Hamel telah

merumuskan strafbaar feit itu sebgai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak

orang lain.10

Menuru Prof. Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan

sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhdap tertib hukum) dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum atau sebagai “de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder

7

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.

8

Ibid

9

Ibid

10


(17)

schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzjin”.11

Dikatakannya selanjutnya oleh Prof. Pompe bahwa menurut hukum positif kita, suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakn sebagai tindakan yang dapt dihukum.

Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Prof. Pompe suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan didalam Pasal 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“Barang siapa denga sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”

12

Dari uarain diatas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa untuk menjatuhkan suatu hukuman itu adalh

tidak cukup apabila disitu hanya terdapat suatu strafbaar feit melainkan harus juga ada suatu

strafbaar persoon atau seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat

dihukum apabila strafbaar feit yang telah ia lakukan itu tidak bersifat wederrechtlijk dan

telah ia lakukan baik dengan sengaja mau pun tidak dengan sengaja.13

Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsure-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

A.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

14

11

Ibid

12

Op.Cit., hlm. 183.

13

Ibid.

14

Op.Cit., hlm. 193.

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya, sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur


(18)

objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.15

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:16

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP

3. Macam-mavcam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam

kejahatan-kejahatn perncurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang misalnya yang

terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak

pidana menurut Pasal 208 KUHP .

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana:17

Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa unsur subjektif tindak pidana adalah unsur

yang terdapat pada diri perilaku atau pembuat, in de dader aan wezig, unsur subjektif ini

dapat berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan ysng 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

4. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

15

Ibid

16

Op.Cit., hlm. 194

17


(19)

dilakukan, toerekeningsvat baarheid dan dapat berupa kesalahan seseorang, schuld. Schuld

ini dapat berupa berupa dolus atau opzet atau kesengajaan dan dapat pula berupa culpa,

kelalaian, kealpaan atau ketidaksengajaan.18

Di samping unsur subjektif, dalam tindak pidana juga terdapat unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat diluar manusia. Unsur objektif ini bisa berupa suatu tindakan, suatu akibat tertentu, een bepaldgejolg dan berupa keadaan, omstendingheid yang semulanya

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.19

Berkaitan dengan masalah unsur-unsur tindak pidana ini, Bambang Poernomo, dengan menguitp pendapat-pendapat para pakar menjelaskan bahwa menurut Apeldoorn, elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang beruoa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrecht mating/wederrecthtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader), yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan terhadap

kelakuan yang bertentangan dengan hukum.20

3. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan

Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atau Tindak Pidana Perpajakan adalah informasi

yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan

menyampaikan

atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan

21

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, menyatakan pada pasal 40 yaitu:22

18 H.M. Nurul Irfan,

Op.Cit., hlm. 31.

19

Ibid

20

Ibid., hlm. 33

21

April pukul 21.00

22


(20)

“Tindak Pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa pajak, berakirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan”.

Tindak Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-udangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya

diancam dengan hukuman pidana.23

a. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman

Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturann-peraturan tentang :

b. Siapa-siapa yang dapt dihukum, dan

c. Hukuman apa yang dapt dijatuhkan

Dalam Hukum Pajak, disamping sanksi admisistratif terdapat juda sanksi pidana, sanski administratif dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan, hukum pidana merupakan ancaman bagi wajib pajak yang bertindak tidak jujur, adanya tindak pidana

perpajakan ini dapa dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.24

Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak. Secara sosiologis, kejahatan dibidang perpajakan telah memperlihatkan suatu keadaan nyata yang terjadi dalam masyarakat sebagai bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain. Sementara itu secara filosofis tersirat makna bahwa telah terjadi perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitas perpajakan dilaksanakan sebagai bentuk peran serta dalam berbangsa dan bernegara. Kejahatan dibidang perpajakan dapat

Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain agar menaati ketentuan perundang-undangan perpajakan.

23

pada tanggal 20 April pukul 21.15

24


(21)

berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di bidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan ketika

memenuhi rumusan kaidah hukum pajak.25

Korban kejahatan dibidang perpajakan tidak selalu tertuju kepada pada negara, melainkan wajib pajak dapat pula menjadi korban. Ketika korban dari kejahatan tertuju pada negara berarti pihak yang melakukan kejahatan itu adalah pegawai pajak atau wajib pajak. Contoh pegawai pajak dengan maksud menguntungkan diri sendiri melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksaseseorang dengan memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri dengan tindakan atau perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian atau pendapatan negara, atau wajib pajak menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi substansinya tidak benar atau

tidak lengkap sehingga dapat menimbulka kerugian pada pendapatan negara.26

Istilah Korupsi berasal dri satu kata bahasa latin, yakni corupptio atau corruptus yang

disalin dalam bahas Inggris menjadi corruptio atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi

corruptio dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi corruptie (korruptie). 4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

27 Arti harfiah dari

kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

memfitnah.28

25 Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar,

Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 2.

26

Ibid, hlm. 3.

27 Andi Hamzah,

Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4.

28


(22)

Baharuddin Lopa, mengatakan corruption adalah the offering and accepting of bribes

(penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap).29

Syamsul Anwar mengutip beberapa pengertian dari para ahli, Syed Hussein Alatas,30

menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang

menghianati kepercayaan. Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi

didefinisikan sebagai ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan

pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas.31

Seperti diketahui bahwa pada tahun 1971 Pemerintah telah mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi. Namun Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga oerlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi yang baru dengan harapan dapat lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu untuk lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden (Pemerintah)

Tindak Pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggara terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu, akibat perbuatan tindak pidana yang merugikan keuangan maupun pekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dankelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi yang tinggi.

29 Baharudin Lopa,

Masalah Korupsi dan Pemecahann, (Jakarta: PT Kipas Putih Askara, 1997), hlm. 1

30

H.M. Nurul Irfan, Op.Cit., hlm. 34.

31


(23)

mengeluarkan Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berkaitan dengan penambahan beberapa pasal baru serta perubahan penyesuaian pada pasal-pasal yang telah ada sesuai dengan perkembangan hukum

yang terjadi dimasyarakat.32

Jenis penelitian F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

33

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain :

yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (penelitian hukum droktiner). Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan adatu studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum droktiner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau pun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

2. Jenis Data

Data sekunder yang terdiri atas :

1. Bahan buku primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tindak pidana perpajakan dan korupsi.

34

b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejehatan korupsi yang dilakukan di bindang perpajakan.

a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dan sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan.

32

C.S.T Kansil, Engelien R. Palandeng, Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm. 74

33 Soerjono Soekanto,

Penghantar Penelitian Hukum, (Jkarta: UI-Pers, 1986), hlm. 42.

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat, (Jakarta, 2003), hlm. 13.


(24)

c. Hasil-hasil penelitian, tulisan, majalah dan lain-lain. 3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi

dokumen atau bahan pustaka.35

35

Op.Cit., hlm. 52.

Studi dokuen atau badan pustaka dilakukan dibeberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, maupun mengakses internet.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis secara deskriptif dengan mengguna metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori hukum pidana khususnya tentang tindak pidana korupsi dibidang perpajakan. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana dibidang perpajakan yang masuk kedalam tindak pidana korupsi yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

4. Sistematika Penulisan

Penulisa skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memehami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:


(25)

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai perngertian sanksi pidana, sanksi pidana dibidang perpajakan, pengertian tindak pidana, tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi.

Bab II Hubungan Tindak Pidana Perpajakan dan Tindak Pidana Korupsi dalam Penerapan

Bab ini memberikan pemaparan tentang ketentuan tindak pidana perpajakan,

yang didalamnya termasuk penjelasan mengenai kejahatan di bidang pajak, kidah hukum pajak dan jenis kejahatan dibidang perpajakan serta pemaparan ketentuan tindak pidana korupsi, dan pemaparan bagaimana hubungan tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi dan hubungan tindak pidana

perpajakan dengan tindak pidana korupsi yaitu asas concursus idealis.

Bab III Realisasi Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Yang di kaitkan dengan Undang-Undang Tipikor

Bab ini memberikan pemaparan tentang penegakan dan kedudukan hukum pidana dalam pajak yang termasuk didalamnya terdapat penjelasan mengenai tujuan penegakan hukum pidana dalam pajak, kedudukan tindak pidana perpajakan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana perpajakan, serta memberikan pemaparan tentang realisasi Undang-Undang perpajakan dikaitkan dengan Undang-Undang Korupsi dan faktor-faktor penyeban terjadinya tindak pidana korupsi dibidang perpajakan.


(26)

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini.

BAB II

HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPAN

A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK. 03/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau


(27)

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan analisis kasus tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri Sipil Dirjen Pajak dalam perspektif hukum pidana Indonesia, serta penjatuhan sanksi dalam tindak memberantas tindak pidana perpajakan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak untuk mengantisipasi perkembangan tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan yang cenderung meningkat saat ini.

BAB II

HUBUNGAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN, TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENERAPAN

A. Ketentuan Tindak Pidana Perpajakan

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan aturan fundamental dalam mengelola dan mengatur hubungan antara aparat pajak dan wajib pajak.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK. 03/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK. 03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian atau


(28)

Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan persyaratan wajib pajak yang dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi dalam rangka penerapan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

1. Kejahatan di Bidang Perpajakan

Perkembngan pergaulan dalam bernegara tidak hanya menimbulkan pengaruh yang bersifat positif, tetapi termasuk pengaruh yan besifat negatif. Kedua pengaruh ini harus dihadapi dan bahkan memerlukan pencegahan atau penanggulangan melalui isntrumen hukum. Pengaruh yang bersifat positif sangant menunjangkelangsungan pemerintah negara untuk mensejahterakan warganya sebagaimana yang diamanatkan dalam pembuknaan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)36

Kejahatan di bidang perpajakan berada dala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara . kejahatan di bidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak yang mengararahkan pegawai pajak, waib pajak, pejabat pajak, atau pidhak lain agar menaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini didasarkan bahwa hukum pajak tidak dapat memberikan suatu kegunaan (kemanfaatan) bila pihak-pihak dalam kedudukan

sebagai stakeholder tidak memeliki rasa keadilan dalam menunaikan atau melaksanakan

tugas maupun kewajiban hukum masing-masing.

. Pengaruh yang bersifat negatif merupakan hambatan atau kendala yang dihadapi oleh negara untuk mencapai tujuananya. Misalnya, kejahatan di bidang perpjakan yang dapat memperngaruhi kelangsungan pembiayaan negara sehingga negara tidak mampu menciptakan kesejahteraan.

37

Ketika Kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur-unsur delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah

hukum pajak.38

36

Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.

37

Ibid, hlm. 2.

38

Ibid


(29)

ditujukan kepada pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya

berupa hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.39 Ketiga jnis hukuman ini

berada pada tataran hukuman pokok. Dalam arti ketika ditelusuri ancaman hukuman yang boleh dikenakan kepada pelaku kejahatan di bidang perpajakan, ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan sebagaimana dikenal pada Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).40

1. Pidana Pokok, terdiri dari:

Adapun jenis hukuman yang diatur pada Pasal 10 KUHP, adalah sebagai berukut: 41

2. Pidana Tambahan, terdiri dari: a. pidana mati;

b. pidana penjara; c. pidana kurungan; dan d. denda.

42

Lain lagi halnya, bila pelaku kejahatan di bidang perpajakan berstatus atau berkedudukan sebagai pewagai negari sipil, seperti pegawia pajak dapa dikenakan hukuman disiplin pegawai negeri sipil. Karena, ketentuan yang berlaku bginya dibolehkan berdasarkan Pasal 36 ayat (2) UUKUP.

a. pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang-barang tertentu; dan c. pengumuman putusan hakim.

43

39

Ibid

40

Ibid, hlm. 4.

41

Ibid, hlm. 5.

42

Ibid

43

Ibid

Hal itu pun, terlebih dahulu harus diadukankepada lembaga yang khusus diadakan pada kementrian keuangan untuk pengenaan hukuman disiplin


(30)

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil (PP NO. 5 Taun 2010).44

1. Hukuman disiplim ringan, terdiri dari:

Adapun tingkat dan jenis hukuman didipli pegawai negeri sipil sebagaimana ditentukan dalam PP NO. 53 Tahun 2010, adalah sebagai berikut.

45

2. Hukuman disiplin sedang, terdiri dari: a. teguran lisan;

b. teguran tertulis; dan

c. pernyataan tidak puas secara tertulis. 46

3. Hukuman disiplin, berat terdiri dari:

a. penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan

c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. 47

Begitu pula, ketika pelaku kejahatan di bidang perpajakan dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dengan kedudukan sebagai pegawai negeri sipil, hanya boleh dikenakan hukuman berdasarkan kaidah hukum pajak yang berlaku baginya berupa hukuman pokok. Sementara hukuman tambahan sebagaimana ditentukan pada Pasal 10 KUHP tidak boleh

a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah salam 3 (tiga) tahun; b. pemindaan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan;

d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil; dan

e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pewagai negeri sipil.

44

Ibid

45

Ibid

46

Ibid, hlm. 6.

47


(31)

dikenakan karena tidak ditentukan dalam UUKUP. Namun, hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 boleh dikenakan terhadap wajib pajak orang pribadi dalam kedudukan sebagai pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan bahwa telah

melanggar sumpah/janji sebagai pegawai negeri sipil.48

Tindak pidana itu meliputi:

Perundang-undangan perpajkan dengan jelas menyebutkan perbuatan pidana di bidang perpajakan dengan istilah “Tindak Pidana Perpajakan”.

49

Tindak Pidana di bidan perpajakan atau dalam peristilah lain disebut tindak Pidana Fiskal antara lain:

a. Tindak Pidana Surat Pemberitahuan (SPT);

b. Tindak Pidana NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak); c. Tindak Pidana Pembukuan;

d. Tindak Pidana tidak Menyetorkan Pajak yang telah dipotong atau dipungut; e. Tindak Pidana Pembocoran Rahasia;

50

Hukum pajak sebagai hukum positif merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum publik. Substansi hukum pajak memuat kaidah hukum tertulis karena dalam kenyataannya

a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau oleh badan melalui orang; b. yang memenui perumusan Undang-Undang;

c. yang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana; d. yang melaan atau bertentangan dengan hukum; e. yang merugikan masyarakat/ oarang

f. yang dilakukan dibidang perpajakan 2. Kaidah Hukum Pajak

48

Ibid

49

Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 95

50


(32)

bahwa kelahirannya didasarkan pada Undang-Undang Pajak sebagai produk politik dari Dean Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Ketentuan ini tersebar dalam berbagai Undang-Undang pajak yang bersifat formal maupun bersifat materiil. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kepada pihak-pihak yang terkait dengan hukum pajak agar memahami kaidah hukum pajak dalam pelaksanaan dan penegakannya, baik diluar maupun dilembaga peradilan pajak, dengan demikian hukum pajak tidak mengenal keberadaan kaidah hukum pajak tidak

tertulis karena kelahirannya tidak dilandasi dengan praktik perpajakan didalam masyarakat.51

Di samping itu, dikenal pula kaidah hukum pajak yang bersifat umum maupun bersifat abstrak dan terarah kepada pihak-pihak yang diharapkan menaati hukum pajak. Sehingga menurut Jimly Asshiddiqie karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait

tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak atau individu tertentu.52

Munculnya kejahatan di bidang perpajakan, didasarkan pada kaidah hukum pajak yang berupaya membedakan dalam bentuk seperti “karena kelalaian” atau “dengan kesengajaan”.

Kaida hukum yang bersifat umum maupun bersifat abstrak, inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah ukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.

53

Adanaya perbedaan itu tergantung pada niat dari pelaku untuk mewujudkan perbuatannya yang terjaring dalam kaida hukum pajak. Sebenarnya kejahatan dibidang perpajakan muncul karena didasarkan pada niat pelakunya saat melaksanakan tugas dan

kewajiban masing-masing.54

Kejahatan yang terkait dalam pelaksanaan hukum pajak memiliki keanekaragaman, karena didasarkan pada berbagai kepentingan yang hendak dilindungi terutama kepentingan terhadap 3. Jenis Kejahatan di Bidang Perpajakan

51

Muhammad Djafar Saidi, Eka Merdekawati Djafar, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7.

52

Ibid

53

Ibid

54


(33)

pendapatan negara. Keanekaragaman kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan kaidah hukum pajak yang wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak berdasarkan tugas da

kewajiban di bidang perpajakan.55 Kaidah hukum pajak yang memiliki keterkaitan dengan

pelaksanaan tugas merupakan tanggung jawab pegawai pajak maupun pejabat pajak. Sementara itu, kaidah hukum pajak yang terkait dengan pemenuhan kewajiban merupakan

tanggung jawab wajib pajak dan pihak lain.56

Kejahatan dibidang perpajakan tidak boleh digolongkan kedalam kejahatan yang

bersifat menimnulkan kerugian pada keuangan negara dan perekonomian negara.57 Oleh

karena itu unsur, unsur kerugian dan keuangan negara atau pereonomian negara merupakan salah satu unsur delik korupsi, sebaliknya kejahatandi bidang perpajakan memiliki unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendatapan negara”.58 Dalam arti delik pajak memiliki unsur kerugian yang berbeda dengan usnur kerugian pada delik korupsi. Walaupun demikian, baik delikpajaknmaupun delik korupsi, keduanya merupakan kejahatan yang berada diluar

jangkauan KUHP kerena diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang yang berbeda.59

Pertimbangannya adalah pada adanya asas hukum “lex specialis derogat legi generali”.

Misalnya, delik pajak telah diatur dalam hukum pajak, khususnya dalam UUKUP, sementara itu delik korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua jenis delik ini diatur dalam peraturan hukum yang berbeda sehingga tida boleh disamakan antara delik pajak dan delik korupsi, walaupun salah satu unsur delik

hampir sama, tetapi tetap memiliki perbedaan substansif.60

55

Ibid, hlm. 8

56

Ibid

57

Ibid

58

Ibid

59

Ibid

60


(34)

Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun jenis kejahatan

dibidang perpajakan, antara lain sebagai berikut:61

61

Ibid, hlm. 10.

1. Menghitung atau menetapkan pajak; 2. Bertindak diluar kewenangan;

3. Melakukan pemerasan dan pengancaman; 4. Penyalahgunaan kekuasaan;

5. Tidak mendaftarkan diri tau melaporkan usahanya; 6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;

7. Pemalsuan suart pemberitahuan;

8. Menyalahgunakan nomor pokok wajib pajak; 9. Menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak; 10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak; 12. Menolak untuk diperiksa;

13. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;

14. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

15. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;

16. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;

17. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak;


(35)

19. Tidak memberikan keterangan atau bukti;

20. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak; dan 21. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi; 22. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain; 23. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan; 24. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan;

25. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak; 26. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan wajib pajak;

Upaya untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan dibidang perpajakan tergantung kepada perilaku dan kepatuhan untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan larangan. Penghindaran untuk tidak melakukan kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan hukum yang dihararapkan menjadi dasar panutan agar tidak dapat menimbulkan kerugian pada

pendapatan negara.62 Inilah yang merupakan substansi hukum pajak berupa terwujudnya

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara.63

Kalau dicermati secara seksama, berbagai kejahatan di bidang perpajakan karena pelaksanaan hukum pajak, korbannya lebih banyak terarah kepada negara dibandingkan kepada wajib pajak. Keberadaan hukum pajak sebagai hukum positif pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan negara dengan tidak mengabaikan kepentingan wajib pajak.

64

62

Ibid, hlm. 11

63

Ibid

64

Ibid, hlm. 12.

Perlindungan kepada negara selalu mengarah kepada penerapan sanksi pidana maupun sanksi disiplin terhadap kejahatan yang dapat menimbulkan kerugian pada negara. B. Ketentuan Tindak Pidana Korupsi

1. Undang-Undang Korupsi dalam Ruang Lingkup Perpajakan


(36)

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Perubahan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU. No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (UU ini sebagai pengganti dari UU No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana korupsi). Adapun tujuan dengan di Undangkannya Undang-Undang Korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta

masyarakat pada umumnya.65

• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Di dalam Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi terdapat 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:

• Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)

Sedangkan pengertian Keuangan Negara dalam undang-undang ini adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan,

65

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidaan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 18.


(37)

termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang

timbul karenanya :66

• berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga

Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.

• berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Batasan mengenai Perekonomian Negara menurut UU tersebut sebagai berikut: kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ).

Undang-Undang bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan

masyarakat harus dituntut dan dipidana.67

Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

66

Ibid, hlm. 20

67


(38)

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1.68

Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan

tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 Yang berbunyi sebagai berikut:69

• Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak

menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur -unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut

hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.70

Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana dimana hal ini tidak diatur sebelumnya yakni

dalam undang-undang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang no. 3 Tahun 1971.71

Undang-undang ini bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga

68

Ibid

69

Ibid, hlm 21

70

Ibid, hlm. 22

71


(39)

pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan

berupa uang pengganti kerugian negara sesuai dengan Pasal 18.72

Pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1

ayat (2).73

Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung RI. sedangkan proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari

tersangka atau terdakwa. (sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27).74

Pembuktian Terbalik:75

72

Ibid

73

Ibid

74

Ibid, hlm. 23

75

Ibid, hlm. 26

Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37).


(40)

Peran Serta Masyarakat:76

Adapun bentuk-bentuk dari korupsi adalah sebagai berikut:

Undang-undang ini juga memberikan peran serta masyarakat dan kesempatan yang seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum dan penghargaan setinggi-tingginya oleh Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 41 UU ini dan Pasal 102, 103 KUHAP).

B. Bentuk-Bentuk Korupsi

77

Adapun Upaya-upaya dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)

2. Perbuatan melawan huku memperkaya diri/orang atau badan lain yang merugikan keuangan/ perekonomian negara.

3. Penggelapan dalam jabatan. 4. Pemerasan dalam jabatan

5. Tindak Pidana yang berkaitan dengan pemborongan. C. Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

78

76 Ibid,

77

Ibid, hlm. 28.

78

Ibid, hlm. 32

1. Upaya Pencegahan (Preventif)

1. Menanamkan aspirasi, semangat, dan spirit nasional yang positif dengan mengutamakan kepentingan nasional.

2. Para pemimpin dan pejabat, selalu dihimbau untuk memberikan keteladanan dengan mematuhi pola hidup sederhana dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi.


(41)

3. Demi kelancaran pelayanan admisnistrasi pemerintah, untuk para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.

4. Menciptakan aparatur pemerintah yang disiplin kerja yang tinggi. 2. Upaya Penindakan (Kuratif)

Berdasarkan kasus yang penulis angkat dalam skripsi ini, upaya penindakan yang telah dilakukan berupa:

1. Pemblokiran tehadap 10 rekening di Bank Panin dan 11 rekening di Bank BCA yang kesemuaannya atas nama Gayus Halomoan P Tambunan dan seluruhnya berjumlah Rp. 28.400.000.000,00 (dua puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah).

2. Di tetapkannya Gayus Halomoan P Tambunan sebagai tersangka dan dilakukannya penyidikan, hingga ditetapkan menjadi terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

3. Menghukum Gayus Halomoan P Tambunan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

3. Upaya Edukasi Masyarakat

1.Memiliki rasa tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial. 2. Tidak bersikap apatis, karena hal ini akan merugikan masyarakat sendiri.

3. Melakukan kontrol setiap pada kebijakan, terutama yang dilaksanakan oleh pemerintah desa, kecamatan, dan seterusnya sampai tingkat pusat/nasional.

4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya,

5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dlam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

4. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 1. Indonesia Corruption Watch (ICW)


(42)

Indonesia Corruption Watch adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia.

2. Transparancy International (IT)

Transparancy International adalah sebuah lembaga internasional yang bertujuan memerangi korupsi publik. Organisasi in bersifat nirlaba tidak mencari keuntungan.

C. Hubungan Tindak Pidana Perpajakan dan Tindak Pidana Korupsi 1. Asas Pidana Concurcus Idealis

1. Pengertian Asas Concurcus Idealis

Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk,concursus ini diatur

didalam KUHP Bab. VI, adalah sebagai berikut :79

1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)

2. Concursus Berlanjut (Pasal 64 KUHP)

3. Concursus Realis (Pasal 65 – 71 KUHP)

KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab. VI Pasal 63 – 71. Dalam rumusan pasal maupun Bab. IX, KUHP tidak memberikan definisi perbarengan tindak pidana (Concursus). Namun, dari rumusan pasal-pasalnya dapat diperoleh pengertian dan sistem

pemberian pidana bagiconcursus sebagai berikut.

1. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP)

Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281.

79


(43)

Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksismumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak

sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.

Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341. 2. Concursus Berlanjut (Pasal 64 KUHP)

Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai

satu perbuatan berlanjut” adalah: 80

80

Adami Chazawi, SH, Pelajaran Hukum Pidana Bagian, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 129.

a. harus ada satu keputusan kehendak b. masing-masing perbuatan harus sejenis


(44)

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.

Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. 3. Concurcus Realis

Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 81

b. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak a. Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlahmaksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambahsepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam.

Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.

81


(45)

boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak.

Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.

Jadi dalam kasus tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Gayus Halomoan P Tambunan ini terdapat hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan melalui Bab VII Ketentuan Khusus Pasal 36A ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:82

Pasal 43A ayat (3):

“pegawai pajak yang dengan masud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk mmbayar, atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjaka sesuatu untuk dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentng Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

83

82

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), (Bandung: Fokus Media, 2010), hlm. 54.

83

Ibid, hlm. 61.

“Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Diektorat Jendral Pajak yang tersangkut wajib diproses diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi”.


(46)

BAB III

REALISASI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KORUPSI

A. Penegakan dan Kedudukan Hukum Pidana Dalam Pajak 1. Tujuan Penegakan Hukum Pidana dalam Pajak

Adapun tujuan penegakan hukum pidana dalam pajak adalah sebagai berikut:

1. Agar penyempurnaan produk hukum di bidang perpajakan terlaksana lebih efisien. Produk hukum di bidang perpajakan dilakukan jangan sampai memiliki celah yang “mengundang” wajib pajak, aparat pajak, pejabat pajak, pihak lain (pihak ketiga) mempunyai kesempatan untuk melakukan perbuatan yang dilaranng oleh Undang-undang atau melakukan tindak pidana.

2. Agar memperbaiki kualitas sumber daya manusia baik wajib pajak, pejabat pajak maupun aparat pajak.

3. Menyelamatkan perekonomian Perekonomian Negara

4. Meminimalisir terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam hal penentuan pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

2. Kedudukan Tindak Pidana Perpajakan

Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/ Eropa

Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris, keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti hubungan antara


(47)

warga negara dengan negara. Hukum publik berurusan dengan hal-hal yang berhubungan

dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya.84

Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.

Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik.

85

Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan perkembangan dan kebutuhan negara akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensinya, ternyata tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari hukum administrasi. Secara tegas dikatakan, bahwa hukum pajak bukan lagi bagian hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian ilmu hukum. Dasar pemisahan

hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut:86

84 Soeparman, Tindak Pidana Dibidang Perpajakan, (Bandung: Citra Aditya Bakti: 1994), hlm. 10. 85

Ibid, hlm. 11

86

Ibid, hlm. 15.


(48)

b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara);

c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah

pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa;

d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan

penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara;

e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum

acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha negara.

Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri dengan hukum administrasi, substansi dalam hukum pajak menimbulkan pembidangan yang mencakup hukum pajak ketatanegaraan, hukum pajak administrasi, hukum pajak kepidanaan (tindak pidana pajak),

hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak), dan hukum pajak interasional.87

Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri khasnya sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/ daerah, dan mempunyai instrumen berupa sanksi

administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya.88

Berdasarkan Undang-Undang yang aturan mengenai perpajakan sebagimana di paparkan diatas, setiap pelaku tindak pidana perpajakan akan diancam sanksi pidana sebagai berikut:

3. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan

89

87

tanggal 21 April 2013 pukul 04.00 WIB

88

Ibid

89


(49)

Ketentuan Pidana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang merupakan perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagi berikut :

Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan

“( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar”.

( 2 ) “Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan”.

( 3 ) “Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf ( a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajip Pajak”.

Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat

(1) “Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 ( dua puluh lima juta rupiah)”.

(2) “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 ( lima juta rupiah )”.

Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.

“Setiap orang yang menurut pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana


(1)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: A. KESIMPULAN

1. Adapun hubungan antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana korupsi sehingga Undang tipikor dapat diterapkan pada tindak pidana perpajakan yaitu dalam Undang-Undang tindak pidana perpajakan terdapat suatu delik “yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara” delik tersebut juga terdapat pada Undang-Undang Tipikor, sehingga Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan dalam memberantas pelaku tindak pidana perpajakan.

a. Hubungan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi juga dapat dikaitkian memalui asas pidana Concurcus Idealis dan, concurcus berlanjut dan concurcus realis, perbuatan perbarenganm dimana jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari 1 aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu.

2. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana perpajakan telah sesuai dengan Undang-Undangmenjatuhkan hukuman pokok dan hukuman tambahan, agar memberikan efek jera pada para pelaku. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di bidang perpajakan, dalam hal ini yakni Gayus dimana pada setiap rumusan pasal yang di dakwakan kepadanya telah memenuhi unsure-unsur dalam pasal tersebut, serta tidak adanya alas an pemaaf dan


(2)

pembenar dalam dirinya, maka pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan aturan yang ada.

a. Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi dibidang perpajakan terdiri atas 7 aspek antara lain aspek individu, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek agama, seperti adanya sifat tamak, moral dan iman yang kurang kuat mengahadapi godaan, pengahsilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, dan aspek sosial yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat dimana individu berada, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat juga ikut berperan aktif.

b. Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis terhadap kasus tindak pidana perpajakan dimana juga termasuk kedalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gayus Halomoan Partahanan Tambuanan selaki Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jendral Pajak dimana dia bertugas sebagai pelaksana maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tindak pidana yang terjadi dibidang perpajakan dapat dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika tindak pidana perpajakan tersebut menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara baik secara langsun maupun tidak langsung. Dan semua unsur-unsur didalam Pasal Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi. B. SARAN

1. Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan pendapatan negara, maka pengelolaan pajak harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar terciptanya cita-cita negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

2. Perlunya mengoptimalkan peran masyarakat sebagai subjek pajak, bahwa masalah pajak adalah masalah bersama, sehingga upaya pemenuhan pajak menjadi menjadi tanggung


(3)

jawab bersama. Tercapai tidaknya sistem Self Assement dalam pembayaran pajak sangat tergantung dari bentuk kesadaran diri masyarakat, juga didukung oleh pemerintah sebagai fiskus yang diwujudkan dibentuk dalam pelayanan publik.

3. Kebiijakan untuk menerapkan sanksi yang berat dalam Undang-Undang perpajakan. Perlu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana dibidang perpajakan. Misalnya diterapkannya delik korupsi terhadap pelaku pelanggaran dibidang perpajakan, degan catatan negara telah nyata dirugikan secara ekonomi, serta penjatuhan hukuman pidana haruslah dijatuhkan tanpa adanya pilih kasih dan diskriminatif.

4. Perlunya diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum baik hakim, polisi, jaksa, maupun pengacara sehingga memilki profesionalitas rangka menangani tindak pidana korupsi dibidang perpajakan, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas aparat penegak hukum baik yang ada dalam bidang pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan dipengadilan.

5. Mengupayakan pemerintah dan pembuat Undang-Undang meliki kerangka pemikiran dalam kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana dibidang perpajakan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

Andi Hamzah, Hukum Pidana, Pradanya Paramita, Jakarta, 1993

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004

Bagir Manan (Ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief 2004

C.S.T. Kansil, Engelin R Palandeng, Altje Agustin Musa, Tindal Pidana dalam Undang – Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008

Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principles of Criminology, J. B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York, Sixth Edition 1960.

E Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1958

F. Ijswara, Pengantar Ilmu Politik, Putra Bardin, Bandung, 1999.

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2002


(5)

La Ode Husen, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2005

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1988

Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi, Jakarta, 2012

___________, Sistem Peradilan Pidana, Referensi, Jakarta, 2012

Moeljatno , Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1963

___________, Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010

Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdeka wati Djafar, Kejahatan Dibidang Perpajakan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Muhammad Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, 2012

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan pidanaI, Alumni, Bandung, 1998

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Banudng, 1991

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Hukum Hak Asasi ManusiaI, Yogyakarta, 2009.


(6)

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008

Artikel

Penelitian Sigid Suseno, Alasan-alasan Penghapusan Pidana Dalam Hukum Pidana Positif dan Hubungannya dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung, Universitas Padjadjaran, 1995.

Peraturan Perundangan

Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Susunan Dalam Satu Naskah, Fokus Media, 2010

Undang- undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Fokus Media, 2010

Situs

Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nomor perkara : 1195/Pid.B/2010/PN. Jkt. Sel. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Nomor Perkara : 06/PID/TPK/2011/PT.DKI


Dokumen yang terkait

Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberan

2 52 115

Tinjauan Normatif Terhadap Pembatasan Berlakunya Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Uang Merugikan Keuangan Negara.

0 0 36

EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA BAGI WAJIB PAJAK YANG MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

0 0 114

Efektivitas Sanksi Pidana Bagi Wajib Pajak Yang Melanggar Ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

0 1 114

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ) Undang-undang nomor 28 tahun 2007

0 0 46

EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA PAJAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (Studi di Pengadilan Pajak Jakarta)

0 0 9

Bab II - Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 Tentang

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perpajakan Di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Memberantas Tindak Pidana Perpajakan Dihubungkan Dengan Undang-Und

0 1 18

EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA BAGI WAJIB PAJAK YANG MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SKRIPSI

0 0 49

EFEKTIVITAS SANKSI PIDANA BAGI WAJIB PAJAK YANG MELANGGAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SKRIPSI

0 0 49