Perubahan Pengurus Pada Anggaran Dasar Perseroan Berkenaan Dengan Pengelolaan Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

(1)

“PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK DARI PENYANDANG DISABILITASMENURUT CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSON

WITH DISABILITIES (KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DAN PENGATURAN HUKUM NASIONAL INDONESIA”

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

RIBKA ELISABETH 110200176

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

“PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK DARI PENYANDANG DISABILITASMENURUT CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSON

WITH DISABILITIES (KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DAN PENGATURAN HUKUM NASIONAL INDONESIA”

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RIBKA ELISABETH 110200176

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Ketua Departemen

NIP : 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Arif, S.H., M.H

NIP : 196403301993031002 NIP : 19730801200212100 Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK-HAK DARI

PENYANDANG DISABILITASMENURUT CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSON WITH DISABILITIES (KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DAN PENGATURAN HUKUM NASIONAL INDONESIA”ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata – mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu penting yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan hak-hak penyandang disabilitas.Perkiraan jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam metodologi yang digunakan untuk mengukur derajat ketidakmampuan fisik.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bentuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pemebelajaran penulis yakni:


(4)

1. Prof. Dr. dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selakuRektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU ;

4. Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Ipenulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini; 5. Dr.Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;

6. Dosen – dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;

7. Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya:

8. Orang tua penulis, Abraham Luther B.Silalahi dan D. Saulina Lumban Gaol, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;

9. Saudara – saudara penulis, David, Joyce, dan John untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

10. Teman – teman penulis, Elly, Dessy, Nova, Rina, beserta teman – teman Grup D dan ILSA;


(5)

11. Teman – teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, serta pihak – pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, April 2015 Hormat Penulis,

NIM: 110200176 RIBKA ELISABETH


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

Abstrak ... iii

BAB I : Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : Aspek Historis dan Yuridis Hak Asasi Manusia ... 17

A. Definisi & Sejarah HAM ... 17

B. HAM dalam DUHAM ... 27

C. Prinsip-Prinsip HAM ... 31

D. Pengaturan HAM secara universal dalam UDHR 1948 dan relevansinya dengan CRPD ... 34


(7)

BAB III : Aspek Historis dan Normatif dari Convention On The Rights Of Person With Disabilities

`(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) ... 43

A. Sejarah CRPD ... 43

B. Mengenai Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ... 48

C. Kewajiban Negara Pihak Konvensi ... 56

D. Perlindungan Hukum Atas Hak-hak Penyandang Disabilitas berdasarkan CRPD ... 60

BAB IV : Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas Menurut Hukum Nasional Indonesia ... 80

A. Kekuatan Mengikat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas ... 80

B. Konsep Negara Hukum dan HAM di Indonesia ... 88

C. Peratifikasian Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia ... 93

D. Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas Menurut Hukum Nasional Indonesia ... 98

BAB V : Kesimpulan dan Saran ... 109

A. Kesimpulan ... 109


(8)

ABSTRAK

Ribka Elisabeth* Arif, S.H., M.H**

Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai perlindungan hukum atas hak-hak dari penyandang disabilitas menurut Convention on The Rights of Person With Disabilities (selanjutnya disebut Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan pengaturan hukum nasional Indonesia. Di sini diteliti mengenai hak penyandang disabilitas yang dijamin dan dilindungi oleh konvensi hak-hak penyandang disabilitas untuk menjamin aksesibilitas agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di sini juga diteliti bagaimana perlindungan hukum atas hak-hak penyandang disabilitas dalam hukum nasional Indonesia, sebagai negara pihak yang telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Ada tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu, pengaturan Hak Asasi Manusia secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan relevansinya dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, hak-hak dari penyandang disabilitas berdasarkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, serta hak-hak dari penyandang disabilitas menurut hukum nasional Indonesia sebelum dan sesudah lahirnya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau norma hukum tentang hak-hak penyandang disabilitas melalui bahan-bahan berupa konvensi internasional, undang-undang, buku, dokumen, dan artikel yang berkaitan dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas merupakan penjabaran dan pengembangan dari UDHR 1948, dimana hak-hak yang terkandung dalam UDHR 1948 diadopsi di dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Hak-hak penyandang disabilitas yang dijamin dan dilindungi dalam konvensi ini, di antaranya hak persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi, hak penyandang disabilitas perempuan dan anak, hak untuk hidup, hak atas kesetaraan pengakuan di hadapan hukum, dan lainnya. Hak-hak penyandang disabilitas menurut hukum nasional Indonesia sebelum lahirnya konvensi ini, di antaranya hak persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi, hak penyandang disabilitas perempuan dan anak, hak untuk hidup, dan lainnya. Setelah lahirnya konvensi ini, Indonesia belum mengeluarkan peraturan hukum lain tentang penyandang disabilitas selain undang-undang pengesahan konvensi ini.

Kata Kunci : Hak Penyandang Disabilitas, Convention on The Rights of Person With Disabilities, Hukum Nasional Indonesia

*Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK

Ribka Elisabeth* Arif, S.H., M.H**

Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum***

Skripsi ini berbicara mengenai perlindungan hukum atas hak-hak dari penyandang disabilitas menurut Convention on The Rights of Person With Disabilities (selanjutnya disebut Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan pengaturan hukum nasional Indonesia. Di sini diteliti mengenai hak penyandang disabilitas yang dijamin dan dilindungi oleh konvensi hak-hak penyandang disabilitas untuk menjamin aksesibilitas agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di sini juga diteliti bagaimana perlindungan hukum atas hak-hak penyandang disabilitas dalam hukum nasional Indonesia, sebagai negara pihak yang telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Ada tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu, pengaturan Hak Asasi Manusia secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan relevansinya dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, hak-hak dari penyandang disabilitas berdasarkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, serta hak-hak dari penyandang disabilitas menurut hukum nasional Indonesia sebelum dan sesudah lahirnya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian adalah meninjau norma hukum tentang hak-hak penyandang disabilitas melalui bahan-bahan berupa konvensi internasional, undang-undang, buku, dokumen, dan artikel yang berkaitan dengan tujuan yang termaksud dalam penyusunan penelitian ini.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas merupakan penjabaran dan pengembangan dari UDHR 1948, dimana hak-hak yang terkandung dalam UDHR 1948 diadopsi di dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Hak-hak penyandang disabilitas yang dijamin dan dilindungi dalam konvensi ini, di antaranya hak persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi, hak penyandang disabilitas perempuan dan anak, hak untuk hidup, hak atas kesetaraan pengakuan di hadapan hukum, dan lainnya. Hak-hak penyandang disabilitas menurut hukum nasional Indonesia sebelum lahirnya konvensi ini, di antaranya hak persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi, hak penyandang disabilitas perempuan dan anak, hak untuk hidup, dan lainnya. Setelah lahirnya konvensi ini, Indonesia belum mengeluarkan peraturan hukum lain tentang penyandang disabilitas selain undang-undang pengesahan konvensi ini.

Kata Kunci : Hak Penyandang Disabilitas, Convention on The Rights of Person With Disabilities, Hukum Nasional Indonesia

*Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU **Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Tidak ada seorangpun yang ingin menjalani kehidupan sebagai seorang penyandang disabilitas. Namun data dari The World Health Organization (WHO) / Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sekitar 15% dari populasi dunia (7 miliar orang) hidup dengan beberapa bentuk keterbatasan fisik. Perkiraan jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam metodologi yang digunakan untuk mengukur derajat ketidakmampuan fisik.1 Keterbatasan fisik yang dimiliki oleh penyandang disabilitas selain mempengaruhi kehidupan sehari-hari sekitar 25 persen dari populasi dunia, juga menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak para penyandang disabilitas dengan berbagai cara di seluruh dunia ini.2

Penyandang disabilitas memiliki hak hidup serta kebebasan, yaitu mendapat perlindungan, adil dan setara dengan hormat dan martabat yang sama sebagai manusia pada umumnya. Konstitusi Indonesia menjamin akan hal ini sebagaimana dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945, yang berbunyi : "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Dimana hak untuk hidup merupakan

1

International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, hlm. 3.

2

ADD International, “10 Facts about disability Dispelling the myths”, diakses dari


(11)

hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Perlindungan hak-hak konstitusional penyandang disabilitas juga dapat dilihat pada Pasal 28D dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945, berbunyi sebagai berikut :

Pasal 28 D :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 28 H ayat (2) :

“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. “

Selanjutnya, Indonesia membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat yang merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pasal 5 Undang-Undang Penyandang Cacat menegaskan bahwa “Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Hak-hak fundamental berikut kewajiban penyandang disabilitas juga ditegaskan dalam


(12)

Pasal 41 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang menyebutkan bahwa :

"Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus".

Begitu pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi :

"Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara".

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penyandang cacat memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup, dan mempertahankan kehidupannya. Selain hak untuk hidup, apabila membicarakan isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat menemukan bahwa manusia sebagai warga negara memiliki hak sipil dan politik, serta memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak sipil dan politik dipandang sebagai hak-hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi


(13)

tanggung jawab negara.3

Kesadaran akan pentingnya melindungi, dan memastikan agar semua penyandang disabilitas menikmati hak-haknya secara utuh dan setara, dan untuk menjunjung penghormatan atas martabat mereka, mendorong dikeluarkannya Resolusi Nomor A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) / Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 13 Desember 2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini adalah perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM) pertama yang komprehensif dari abad ke-21 dan merupakan Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) pertama yang terbuka untuk penandatanganan oleh organisasi integrasi regional. Konvensi ini terdiri dari 50 pasal dan Optional Protocol, dan mulai berlaku pada 3 Mei 2008 setelah Konvensi ini diratifikasi oleh 20 negara dan Optional Protocol ditandatangani oleh 10 negara.

Hak sipil dan politik meliputi meliputi : hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

4

3

Indra Setiawan, “Mengenal Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik”, diakses dari Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi tersebut.

4

United Nations, “Convention on the Rights of Persons with Disabilities”, diakses dari


(14)

Sebagai cerminan tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam memajukan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua, tertutama pada penyandang disabilitas, dan agar dapat memenuhi tugas negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945 dalam melindungi dan memajukan kesejahteraan umum, maka Pemerintah Indonesia pun menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) / Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 30 Maret 2007 di New York.5 Pada waktu menandatangani Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia menandatanganinya tanpa reservasi, akan tetapi tidak Optional Protocol Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.6

Indonesia secara resmi telah menyampaikan instrumen ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 30 November 2011. Penyampaian itu dilakukan setelah DPR RI dalam Rapat Paripurna pada 18 Oktober 2011 yang menyetujui secara aklamasi RUU tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menjadi Undang-Undang, yaitu Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-107 yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Indonesia sebagai Negara Pihak dari Konvensi akan memiliki kewajiban untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi, yaitu melakukan berbagai penyesuaian dalam penanganan kelompok masyarakat disabilitas di berbagai bidang kehidupan. Hal ini mencakup

5

Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, 2013, Buku Informasi Lokakarya Nasional Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Dirham dan Kemenlu RI, Jakarta, Lamp. 2

6


(15)

antara lain penyediaan aksesibilitas dan perubahan pola pikir pada tingkat pembuat kebijakan serta masyarakat umum guna mewujudkan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.7

The Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) / Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini selain merupakan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) pertama yang secara komprehensif membicarakan dan memberikan perhatian pada kebutuhan penyandang disabilitas, juga merupakan instrumen pembangunan. Upaya ini ditujukan untuk menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aksesibilitas disini tidak hanya dalam arti fisik, namun juga aksesibilitas yang terkait dengan peraturan perundangan yang memberikan peluang yang sama bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di semua sektor.8 Konvensi ini sebagai sebuah instrumen kebijakan atau alat kebijakan (policy instrument) yang dapat dipakai pemerintah, yang bersifat lintas-disabilitas (cross-disability) dan lintas-sektoral ( cross-sectoral), yaitu penanganan dalam satu sektor sangat tergantung pada penanganan di sektor lain.9

7

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “RI Ratifikasi Konvensi Hak-Hak

Penyandang Disabilitas”, diakses dari http://www.kemlu.go.id/songkhla/Pages/News.aspx?IDP=5222&l=id, pada 19 Februari 2015

pukul 20.25

Maka sebagai konsekuensinya, Indonesia wajib melaksanakannya

8

Persatuan Tuna Netra Indonesia, “Komitmen Pemerintah untuk Sosialisasi dan Monitoring Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas di Indonesia”, diakses dari

9

Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, op.cit.

9

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “Menko Kesra: Roh Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas adalah Merubah Paradigma”, diakses dari


(16)

secara bertahap yang dalam terminologi HAM dikenal dengan progress realization. 10

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas memperkenalkan paradigma baru dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, yaitu melihat penyandang disabilitas sebagai subyek penuh yang setara dalam hak dasar dan kebebasan dasarnya, serta memiliki kapasitas penuh untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai individu atau kelompok yang dalam kondisi sakit dan cacat yang hanya membutuhkan penyembuhan medis dan bantuan kehidupan berupa santunan.11 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kata kunci dari Konvensi ini terutama adalah membangun masyarakat yang inklusif, kemandirian penyandang disabilitas sebagai subyek penuh, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam kehidupan sosial dan bernegara secara penuh dan setara. Paradigma baru ini menuntut perombakan cara penanganan isu mengenai penyandang disabilitas, penerapan pendekatan komprehensif yang melibatkan semua sektor, serta peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat luas mengenai asas-asas yang menjadi pijakan bagi penghormatan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas.12

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya penyandang disabilitas yang tertuang dalam regulasi hukum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tersebut, tentu menjadi harapan besar bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pengakuan hukum, pelayanan publik, keadilan, kesetaraan serta terbebas dari perlakuan diskriminasi. Walau

10

Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, op.cit.

12


(17)

pada kenyataannya, masih terdapat stigma atau persepsi negatif terhadap penyandang disabilitas.13Fuller pada tahun 2010 dalam penelitian Dewi tahun 2012 menyebutkan, terdapat tiga kendala utama yang dihadapi penyandang disabilitas saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan pekerjaan, yaitu prasangka komunitas, persepsi negatif, dan keterbatasan dana perusahaan. Soal prasangka komunitas dan persepsi negatif, Looden dan Roesner pada tahun 1991 dalam Macy tahun 1996 menyatakan, masyarakat cenderung memunculkan stereotip bahwa keterbatasan fisik penyandang disabilitas berbanding lurus dengan tingkat intelektualitas mereka. Masyarakat pun seringkali memperlakukan rata-rata penyandang disabilitas layaknya seorang abnormal yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa penyandang disabilitas tidak mampu mengatasi beban hidup mereka sendiri.14

Penemuan fakta juga menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat disabilitas banyak yang tertinggal, karena tidak terpenuhinya hak-hak mereka dan terjadinya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas15

13

Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, op.cit., Lamp. 5

. Ini terbukti oleh masih banyaknya pengalaman penyandang disabilitas, khususnya di daerah-daerah, yang masih ditolak ketika mendaftar ke sekolah regular. Begitu pula di sektor lapangan kerja, masih terdapat diskriminasi yang menolak penyandang disabilitas hanya

14

Meylisa Badriyani-Riani Rachmawati. “Diversity Program untuk Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas (Studi Eksploratif terhadap Perusahaan BSC Indonesia), diakses dari

15

Buku Informasi:Lokakarya Nasional Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, op.cit.

15

Dimas Prasetyo Muharam, “Akomodasi Kepentingan Penyandang Disabilitas sbg Agenda Prioritas Capres”, diakses dari

16


(18)

karena keterbatasanya, bukan melihat keterampilan dan keahlian serta kualifikasi pendidikan yang dimiliki.16

Kembali pada persepsi negatif tentang penyandang disabilitas, selain pengaruh faktor eksternal, terjadinya diskriminasi juga tidak terlepas dari sikap para penyandang disabilitas sendiri dalam memandang diri mereka.17

Dalam hal akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih terjadi hal-hal seperti: penolakan pelaporan kasus di kepolisian, rendahnya pengetahuan aparat hukum dan kepolisian terhadap isu disabilitas termasuk dengan hak-hak para penyandang disabilitas, tidak tersedianya sarana pendukung seperti petunjuk braille dan penerjemah bahasa isyarat, gedung yang menyulitkan, penolakan penyandang disabilitas sebagai saksi, sistem administrasi peradilan yang tidak aksesibel dan rendahnya sosialisasi tentang informasi hukum kepada penyandang disabilitas. Penemuan fakta lainnya mengenai penyandang disabilitas Sebagian penyandang disabilitasmasih kurang percaya diri dan cenderung mengkotak-kotakkan diri. Penyandang disabilitas merasa dirinya kurang dicintai oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya, tidak bisa melakukan banyak hal sebagaimana orang normal, dan merasa bahwa penampilannya tidak menarik. Hal ini membuat mereka mengisolasi diri, malu untuk berinteraksi sosial, dan merasa dirinya tidak berharga.


(19)

juga menunjukkan bahwa masih rendahnya informasi dan sosialisasi hak-hak penyandang disabilitas sebagai individu di dalam sistem peradilan.18

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, makatulisan skripsi ini diberi judul “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak dari Penyandang Disabilitas Menurut

Convention On The Rights Of Person With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan Pengaturan Hukum Nasional Indonesia”.

b. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan Hak Asasi Manusia secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan relevansinya dengan

Convention on the rights of person with disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)?

2. Bagaimana hak-hak dari penyandang disabilitas berdasarkan Convention on the rights of person with disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)?

3. Bagaimana hak-hak dari penyandang disabilitas menurut hukum nasional Indonesia sebelum dan sesuah lahirnya CRPD?

18Cucu Saidah,

“Akses Terhadap Hukum dan Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas”, diakses dari


(20)

c. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk pengaturan Hak Asasi Manusia secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan relevansinya dengan

Convention on the rights of person with disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)?

2. Untuk mengetahui hak-hak dari penyandang disabilitas berdasarkan

Convention on the rights of person with disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

3. Untuk mengetahui hak-hak dari penyandang disabilitas berdasarkan hukum nasional Indonesia (UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat).

Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat secara teoritis

Secara teoritis penulisan ini yakni diharapkan dapat memberi sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan kesadaran bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai hak-hak penyandang disabilitas.

2. Manfaat secara praktis

a. Secara praktis atau terapan penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada semua pihak baik akademisi dan masyarakat umum yang memiliki perhatian khusus pada hukum internasional.


(21)

d. Keaslian Penulisan

Judul dari skripsi ini adalah “Perlindungan Hukum atas Hak-Hak dari Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Person With Disabilities dan Pengaturan Hukum Nasional Indonesia”.Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul ini. Oleh karena itu tulisan ini bukan merupakan hasil penggandaan dari karya tulis orang lain dan keaslian penelitian ini terjamin adanya.

e. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindari keragu-raguan pada bab-bab selanjutnya, maka terlebih dahulu ditegaskan pengertian judul di atas secara umum, mengenai pengertian perlindungan hukum, hak, penyandang disabilitas, Convention on the rights of person with disabilities (CPRD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan Hukum Nasional.

1. Perlindungan Hukum, menurut Satijipto Raharjo adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.19

2. Hak, memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

19


(22)

undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.20

3. Penyandang Disabilitas

Disabilitas berasal dari kata dalam Bahasa Inggris 'disability'. Disability

memiliki arti ketidakmampuan. Ketidakmampuan yang dimaksud di sini bukanlah ketidakmampuan yang semata disebabkan oleh faktor internal dalam diri seorang individu tetapi juga faktor eksternal yang menghambat seseorang untuk melakukan kegiatan dan meningkatkan kapasitas diri.21

• Seseorang yang menggunakan kursi roda bisa saja mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, bukan karena ia menggunakan kursi roda namun karena ada hambatan-hambatan lingkungan misalnya bis atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of Person With Disabilities) tidak secara eksplisit menjabarkan mengenai disabilitas. Pembukaan Konvensi menyatakan : “Disabilitas merupakan sebuah konsep yang terus berubah dan disabilitas adalah hasil interaksi antara orang yang penyandang disabilitas/mental dengan hambatan perilaku dan lingkungan yang menghambat partisipasi yang penuh dan efektif di tengah masyarakat secara setara dengan orang lain’.

Disabilitas merupakan hasil interaksi antara masyarakat yang sifatnya tidak inklusif dengan individual, contohnya:

20

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

21

Melina Margaretha, “Disabilitas dalam Ketangguhan: Berangkat dari Sumberdaya yang Belum Termanfaatkan”, dari


(23)

tangga yang tidak bisa mereka akses sehingga menghalangi akses mereka ke tempat kerja.

• Seseorang yang memiliki kondisi rabun dekat ekstrim yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan lensa korektif mungkin tidak akan dapat melakukan pekerjaan sehari-harinya. Orang yang sama yang memiliki resep untuk menggunakan kacamata yang tepat akan dapat melakukan semua tugas itu tanpa masalah.22

4. Convention on the rights of person with disabilities (CPRD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Merupakan Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) yang dibuat oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 13 Desember 2006 dan mulai berlaku pada 3 Mei 2008 mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

5. Hukum Nasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

f. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum secara normatif karena dalam penelitian yang dilakukan untuk penulisan skripsi ini mendasarkan pada data sekunder yang berasal dari data kepustakaan.23

22

International Labour Office, “Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilitas”, dari

23

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hlm. 29.


(24)

Bahan pustaka bidang hukum yang digunakan sesuai dengan ketentuan bahan-bahan dasar suatu penelitian, terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu produk-produk hukum berupa konvensi-konvensi internasional, seperti Convention on the rights of person with disabilities

(CPRD) Tahun 2006, The Universal Declarations of Human Rights Tahun 1948, dan undang-undang nasional Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, makalah-makalah, dan bahan sejenis sepanjang mengenai hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tersier / penunjang, mencakup bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer.

g. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penulisan ini terbagi ke dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang dikembangkan jika memerlukan pembahasan yang lebih terperinci :

1. Bab I adalah merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan skripsi.

2. Bab II adalah bahasan mengenai aspek historis dan yuridis Hak Asasi Manusia (HAM) yang terdiri dari beberapa sub bab, mengenai definisi dan sejarah HAM, HAM dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM), prinsip-prinsip HAM, serta pengaturan HAM secara universal


(25)

dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM) dan relevansinya dengan Convention On The Rights Of Person With DisabilitiesTahun 2006 (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2006).

3. Bab III memuat bahasan mengenai aspek historis dan normatif dari

Convention On The Rights Of Person With DisabilitiesTahun 2006(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2006), yang terdiri dari 4 (empat) sub bab, yaitu mengenai sejarah Convention on The Rights of

Person With Disabilities(Konvensi Hak-Hak Penyandang

Disabilitas),Ruang Lingkup dan Fokus Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Kewajiban Negara Pihak Konvensi, serta Hak-Hak Penyandang Disabilitas berdasarkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

4. Bab IV memuat bahasan mengenai perlindungan hukum penyandang disabilitas dalam hukum nasional. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab, yaitu: Kekuatan Mengikat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, konsep negara hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia,Peratifikasian Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia, serta Perlindungan Hukum Penyandang Disabilitas Menurut Hukum Nasional Indonesia.

5. Bab V adalah merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dari bab-bab terdahulu mengenai pembahasan dan saran yang dimuat untuk mengambil hikmah dari penulisan ini.


(26)

BAB II

ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS HAK ASASI MANUSIA

A. Definisi dan Sejarah Hak Asasi Manusia

Secara etimologis, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan terjemahan dari “droits de l’home” dalam bahasa Perancis, dan menselijke rechten dalam bahasa Belanda. Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam bahasa inggris dikenal dengan empat istilah yaitu (a) human rights; (b) fundamental rights; (c) citizens’ rights; dan (d) collective rights. Human rights dianggap sebagai terminologi yang paling memadai dan paling komprehensif dan terminologi ini dapat menampung aspek internasional dan aspek nasional dari Hak Asasi Manusia.24

Awalnya istilah Hak Asasi Manusia (HAM) berasal dari kata “natural rights” (hak alamiah) yang biasa digunakan pada masa pencerahan

(enlightenment). Istilah ini kemudian mendapat penolakan karena konsepsinya yang menyatakan bahwa hak ini tidak perlu mendapat pengakuan dari pemerintah atau hukum. Istilah “natural rights” lantas digantikan dengan istilah “the rights of man”. Istilah ini juga dinilai tidak tepat karena bisa menimbulkan persepsi diskriminasi gender terkait dengan arti dari kata “man” (manusia / pria). Istilah “human rights” (Hak Asasi Manusia / HAM) digunakan oleh Eleanor Roosevelt

24

Eko Riyadi, at.al., 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Yogyakarta, PUSHAM UII, hlm. 9.


(27)

(anggota Komisi HAM PBB) ketika ia membantu pembuatan rancangan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB. Istilah terakhir ini dipergunakan hingga kini.25

Human rights sendiri diturunkan dari konsep natural rights, yaitu hak yang ditempatkan Tuhan dalam diri setiap manusia. Merujuk padanatural rights berlaku prinsip “setiap manusia sama di hadapan Tuhan”. Wataknya yang religius ini berubah menjadi sekuler dalam human rights yang mengenal prinsip “setiap manusia sama di hadapan hukum.”26 Sedangkan terminologi fundamental rights

disebut demikian karena dia menjadi dasar dari semua hukum yang lebih rendah.

Fundamental rights hanya lebih mengacu pada aspek nasional.27

25

Jelly Leviza, 2014, Bahan Kuliah Hukum dan HAM, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 16

26

Marianus Kleden, 2008, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera, Yogyakarta, hlm. 69.

27

Eko Riyadi, op.cit.

Istilah citizens’ rights diketemukan di dalam Declaration des droits de l’Homme et du Citoyen

tahun 1789 di Prancis. Penyebutan citizens’ rights masih dianggap memungkinkan sepanjang hak yang dimaksud adalah seperti kebebasan berbicara, berorganisasi dan berkumpul, termasuk kebebasan untuk bergerak melewati batas negara. Hari ini, hanya tinggal sedikit dari hak-hak politik yang bisa disebut sebagai citizens’ rights seperti hak untuk memilih dan dipilih. Terminologi yang keempat adalah

collective rights yang diketemukan dalam African Charter on Human and Peoples’ Rights tahun 1981. Piagam ini memberikan pembedaan yang cukup tegas antara individual rights dan collective rights. Di antara empat terminologi tersebut, human rights yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi


(28)

‘Hak Asasi Manusia’ dianggap sebagai terminologi yang paling komprehensif dan memadai serta dalam praktik paling banyak digunakan.28

Tidaklah mudah untuk menemukan definisi yang mendetail mengenai Hak Asasi Manusia di dalam instrumen internasional dan buku-buku internasional. Instrumen dan buku tersebut biasanya hanya memberikan karakter, prinsip dan bagaimana memahami Hak Asasi Manusia. Rhona K.M. Smith mengutip Vienna Declaration and Programme of Action 1993 untuk mengkerangka Hak Asasi Manusia, yaitu “Human rights and fundamental freedoms are the birthright of all human being; their protection and promotion is the first responsibility of government”.29 Sedangkan R. Kirk memberi definisi “human rights as signifying all privileges and immunities prossessed by human beings in a civil social order.”30

Instrumen internasional Hak Asasi Manusia juga tidak memberikan definisi detail tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia misalnya secara langsung menyebutkan dalam Pasal 1 yaitu “All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act toward one another in a spirit of brotherhood” (Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan).31

28

Ibid.

29

Rhona K. M. Smith, 2014, Textbook on International Human Rights, sixth edition, oxford university press, Oxford, New York, hlm. 1.

30

A. Masyhur Effendi, 1980, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional, Alumni, Bandung, hlm. 20.

31


(29)

Adapun pengertian Hak Asasi Manusia menurut Darji Darmodiharjo adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.32 Hak asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. A. Masyhur Effendi menyatakan Hak Asasi Manusia adalah hak milik bersama umat manusia yang diberikan oleh Tuhan untuk selama hidup.33

32

A. Masyhur Effendi, op.cit.

33

Ibid.

Hak Asasi Manusia adalah hak yang diberikan Tuhan atau manifestasi hak istimewa manusia, sehingga harus berada pada manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Dari pengertian di atas kemudan lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak antara umat manusia berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, yang memberikan pengakuan bahwa


(30)

manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ketidaksempurnaan fisik, ras suku, agama dan status sosial.34

34

Udiyo Basuki, “Perlindungan HAM dalam Negara Hukum Indonesia:Studi Ratifikasi Konvensi Hak-hak Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities)”, didownload dari

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) disebutkan mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, bahwa :

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut ditegaskan bahwa adanya kewajiban dari setiap individu untuk menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban tersebut dengan tegas dituangkan dalam undang-undang sebagai seperangkat kewajiban sehingga apabila tidak dilaksanakan maka tidak mungkin akan terlaksana dan tegaknya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini memandang kewajiban dasar manusia merupakan sisi lain dari Hak Asasi Manusia. Tanpa menjalankan kewajiban dasar manusia, adalah tidak mungkin terlaksana dan tegaknya Hak Asasi Manusia, sehingga dalam pelaksanaannya, hak asasi seseorang harus dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain.


(31)

Persoalan yang kemudian timbul ialah manusia sebagai makhluk sosial dan politik (zoon politicon / man is a social and political being) hidup dalam satu masyarakat dan negara, membawa konsekuensi lebih lanjut tentang adanya satu golongan manusia yang disebut pemimpin / penguasa, dan golongan lain yang disebut rakyat. Kemudian timbul persoalan tentang Hak Asasi Manusia, lebih-lebih bagi penguasa dengan legalitas hukum yang dimiliki, menafsirkan Hak Asasi Manusia secara subyektif.35

Sejarah pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana disebut terdahulu bersumber dari teori hak alamiah (natural rights theory). Teori alamiah mengenai hak itu bermula dari teori hukum alamiah (natural law theory). Dalam perkembangannya melawan kekuasaan muncul Gerakan pembaharuan (Renaissance) yang mengharapkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi yang menghormati orang perorang. Gerakan pembaharuan diteruskan oleh aliran hukum alam yang dipelopori oleh Thomas Aquinas.Dalam teori hukum alamiahnya, Thomas Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi hukum alamiah sebagai bagian dari hukum Tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia.

Hal ini menimbulkan reaksi masyarakat yang kemudian berkembang, dan menjadi awal pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia.

36

35

A. Masyhur Effendi, op.cit., hlm. 21

Artinya, bukan hanya kekuasaan Raja saja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahi, tetapi semua manusia dianugerahi identitas indvidual yang unik; yang terpisah dari negara di mana ia

36

Diakses dar


(32)

memiliki hak alamiah yang menyatakan bahwa setiap individu adalah makhluk otonom.37

Hugo de Groot, yang merupakan seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “Bapak Hukum Internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum alam Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak alamiah. Gagasan Locke mengenai hak-hak alamiah inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang terjadi di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.38

a. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215. Magna Charta yang memiliki 63 pasal, lahir sebagai bentuk protes keras dari kalangan bangsawan kepada Raja Jhon Lackland (1199-1216), yang memberikan jaminan perlindungan hak-hak bagi kaum bangsawan dan kalangan gereja.

Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris dapat dilihat dari adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan, yaitu:

39

Isi dari Magna Charta adalah sebagai berikut :

37

Retno Kusniati, “Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum”, didownload dari

15.30, hlm. 5

38

Op.cit.

39


(33)

- Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.

- Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagai berikut :

- Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.

- Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.

- Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.

- Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

b. Petition of Rights, berisi petisi yang diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Petisi Hak tersebut mengatur bahwa penetapan pajak dan hak-hak istimewa harus seizin parlemen, tidak ada orang yang boleh ditangkap tanpa tuduhan yang sah.40

d. Glorius Revolutionmenghasilkan Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689. Saat itu kekuasaan kerajaan beralih ke parlemen. Bill of rights memuat tentang penetapan pajak, pembuatan

40


(34)

undang-undang dan tentara harus seizin parlemen; parlemen berhak mengubah keputusan raja dan pemilihan parlemen berlaku bebas.41

Perkembangan usaha perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika Serikat dimulai dengan adanya United States’ Declaration of Independence pada 1776 yang disusun Thomas Jefferson, yang menandai kemerdekaan Amerika Serikat. Deklarasi kemerdekaan ini diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, yang secara garis besar berisi asas pengakuan persamaan manusia, dengan alasan Tuhan telah menciptakan manusia dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, antara lain: hak untuk hidup(rights of life), hak kebebasan(liberty), dan hak untuk mengejar kebahagiaan (the pursuit of Happiness).42

“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.”

Berikut adalah kutipan dari United States’ Declaration of Independence :

43

Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan Hak-Hak Asasi Manusia dalam konstitusinya. Thomas Paine mengatakan bahwa Revolusi Amerika ini bukanlah semata untuk bangsa Amerika Serikat sendiri, melainkan senantiasa

41

Ibid.

42

Woro Winandi, Modul Hukum HAM dan Demokrasi, didownload dari http://worowinandi.dosen.narotama.ac.id/bahan-ajar/ , pada 03 Maret 2015 pukul 21.00, hlm. 12.

43

Wikipedia, United States Declaration of Independence, diakses dari


(35)

untuk seluruh umat manusia.44

Hak-hak tersebut lebih lanjut dikodifikasi dalam diperluas dari masa ke masa untuk dapat diterapkan secara menyeluruh melalui putusan yudisial dan undang-undang, serta mencerminkan norma-norma masyarakat yang terus berkembang, dimana Bill of Rights mengartikulasikan berbagai hak untuk dinikmati oleh semua warga negara termasuk kebebasan dan kesetaraan. Bill of Rights memuat tentang kebebasan beragama (Amandemen I), berbagai persyaratan yang berkaitan dengan proses hukum dan hak atas pengadilan yang adil (Amandemen V, VI, VII, VIII), dan kebebasan pribadi dan harta benda (Amandemen IV).45

Pada tahun 1789 di Perancis, dikeluarkan pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des droits de L’homme et du citoyen) Hal ini juga disampaikan oleh Presiden Amerika, Presiden Flanklin D. Roosevelt, dalam amanat yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941, yang dikenal sebagai Four Freedom, yaitu :

- Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).

- Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).

- Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).

- Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

44

H.J. Morgenthau, 2010, “Politik Antar Bangsa”, hlm.296.

45

Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, sixth edition, oxford university press, Oxford, New York, 2014, hlm. 6


(36)

atau. Deklarasi Perancis ini terinspirasi dari United States’ Declaration of Independence.46Deklarasi yang dicetuskan pada awal Revolusi Prancis ini, merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan lama yang sewenang-wenang di bawah kepemimpinan Jenderal Lafayette yang terkenal dengan simbol Liberte (Kemerdekaan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan), yang berkuasa secara absolut. Naskah The French Declaration of The Rights of Manini dimulai dengan pernyataan bahwa “Manusia yang lahir adalah merdeka dan setara dalam hak asasinya”.47

”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama …”

Deklarasi ini bertujuan untuk menjamin Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam konstitusi. Sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia terus berlanjut hingga abad ke 20 dengan lahirnya The Universal Declarations of Human Rights.

B. Hak Asasi Manusia dalam The Universal Declarations of Human Rights

1948 (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia-DUHAM 1948)

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3):

46

Ibid.

47


(37)

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, yaitu: Universal Declaration of Human Rights (Resolution 217 A (III), 1948), International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights1966 (Resolution 2200 A (XXI), 1966), International Covenant on Civil and Political Rights1966 (Resolution 2200 A (XXI), 1966), The Convention on The Elemination of All Forms of Discrimination Against Women (Resolution 34/180, 1981), dan The Convention on The Rights of The Child (Resolution 44/25, 1989).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengumumkan The Universal Declarations of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia / DUHAM) pada 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 (tiga puluh) pasal dan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Javier Perez de Cuellar. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ini diumumkan sebagai suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara. Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat pengajaran dan pendidikan, serta lewat langkah-langkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya.48

DUHAM 1948, sebagai instrumen induk,dijabarkan dalam dua instrumen pokok, yakni, masing-masing,Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, danBudaya/KIHESB (International Convenant on Economic, Social, and

48

Ian Brownlie, ed., 1971 Basic Documents on Human Rights, Clarendon Press, Oxford, hlm. 93-105


(38)

Cultural Rights/ ICESCR) tahun1966 danKovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik/KIHSP(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)pada 1966. Kedua kovenan ini dirancang oleh Komisi Hak AsasiManusia, badan bawahan Dewan Ekonomi dan Sosial namunpengukuhan dan penerimaannya dilakukan oleh MajelisUmum PBB.49

Awalnya, DUHAM ditetapkan sebagai norma yang tidak mengikat, atau hanya sebagai common standard of achievement, tetapi lambat laun berkembang menjadi “hukum adat” internasional.50

J. G Starke menyatakan bahwa deklarasi ini sesungguhnya merupakan tahap pertama dari tiga tahap program yang dirancang untuk menjadi sebuah

International Bill of Rights yang didasarkan atas kewajiban-kewajiban yang mengikat negara-negara secara universal dan diperkuat dengan perangkat kerja dewan dan administrasi yang efektif

Kedudukan DUHAM sebagai common standard of achievement ditegaskan dalam considerans deklarasi, di antaranya menyebutkan bahwa “deklarasi diproklamirkan sebagai suatu dasar pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa .. berusaha .. mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan...”

51

49

Eko Riyadi, at.al., op.cit., hlm. 47.

50

A.Gunawan Setiardja, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 85.

51

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional,

. Tiga tahapan tersebut adalah:

a. Sebuah deklarasi yang menetapkan bermacam-macam hak manusia yang seharusnya dihormati.


(39)

b. Serangkaian ketentuan covenant yang mengikat negara-negara untuk menghormati hak-hak yang telah ditetapkan tersebut, dan

c. Langkah-langkah dan perangkat kerja untuk pelaksanaannya.

Dua puluh satu pasal pertama dalam deklarasi ini menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat dalam Bill of Rights yang termakhtub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak asasi atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai dengan pasal 27 menciptakan kebiasaan baru, dimana pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial, suatu standar bagi ke hidupan yang layak, dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan kesejahteraan dari negara.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ini mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa) maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antarnegara, agar tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa DUHAM harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari


(40)

masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.52

Bagi anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini DUHAM bersifat mengikat, sebab sudah menjadi ius cogens. Dengan demikian, setiap pelanggaran atau penyimpangan dari DUHAM di suatu negara anggota PBB, bukan semata-mata menjadi masala intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau lembaga-lembaga HAM internasional lainnya untuk mengutuk, bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.53

Manfred Nowak menyebut bahwa prinsip Hak Asasi Manusia ada empat, yaitu universal (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung

(interdependent), dan saling terkait (interrelated). Rhona K. M. Smith menambahkan prinsip lainnya, yaitu kesetaraan (equality) dan non-diskriminasi

(non-discrimination). Beberapa kalangan menyebutkan bahwa prinsip tak terbagi

(indivisibility), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait

(interrelated) merupakan prinsip turunan dari prinsip universal (universality).

C. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)

54

52

M. Afif Hasbullah, 2005, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, UNISDA Lamongan dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 36

53

Ibid., hlm. 37

54


(41)

Prinsip tak terbagi (indivisibility) dimaknai dengan “semua Hak Asasi Manusia adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya.” Prinsip universal (universality) dan prinsip tak terbagi (indivisibility) dianggap sebagai “dua prinsip kudus / suci paling penting” (the most important sacred principle).

Dua-duanya menjadi slogan utama dalam ulang tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kelima puluh, yaitu semua Hak Asasi Manusia untuk semua manusia (all human rights for all). Juga ditegaskan dalam pasal 5 Deklarasi Wina tentang Program Aksi yang berbunyi “semua Hak Asasi Manusia adalah universal, tak terbagi, saling bergantung, saling terkait (all human rights are universal, indivisibile, interdependent and interrelated).

Kesetaraan (equality) dianggap sebagai prinsip Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan sama, dan dimana pada situasi berbeda -- dengan sedikit perdebatan—diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang fair dan lain-lain, merupakan hal penting dalam Hak Asasi Manusia. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yang tidak setara seperti inequality before the law, inequality of treatment, inequality or education opportunity dan lain-lain. Diskriminasi kemudian dimaknai sebagai a situation is discriminatory of inequal if like situations are treated differently or different situation are treated similarly


(42)

(sebuah situasi dikatakan diskriminatif atau tidak setara jika situasi sama diperlakukan secara berbeda dan/atau situasi berbeda diperlakukan sama).

Prinsip non-diskriminasi kemudian menjadi sangat penting dalam Hak Asasi Manusia. Diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu:

a. Diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang, baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda daripada lainnya

b. Diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum dan/.atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi.

Pemahaman diskriminasi kemudian meluas dengan dimunculkannya indikator diskriminasi yaitu berbasis pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan atas suatu benda, status kelahiran atau status lainnya. Namun demikian, perkembangan gagasan Hak Asasi Manusia memunculkan terminologi baru, yaitu diskriminasi positif (affirmative action). Diskriminasi positif dimaknai sebagai memperlakukan orang secara sama padahal situasinya berbeda dengan alasan positif. Hal ini diperlukan agar perbedaan yang mereka alami tidak terus menerus terjadi. Tindakan afirmatif ini membolehkan negara memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili, seperti adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana diatur di dalam undang-undang pemilihan umum atau penerimaan perempuan di dunia kerja dibanding laki-laki. Jika seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki


(43)

kualifikasi dan pengalaman yang sama kemudian melamar pekerjaan yang sama, maka perusahaan atau negara diizinkan untuk menerima si perempuan hanya dengan alasan karena lebih banyak laki-laki yang melamar pekerjaan tersebut dan secara umum laki-laki telah banyak bekerja dibanding perempuan.55

Pada tanggal 10 Desember 1948, Sidang Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM 1948 ini memang bukan instrumen yuridis. Namun, DUHAM 1948 itu sendiri atau ketentuan-ketentuan tertentunya, menjadi landasan dibuatnya instrumeninternasional Hak Asasi Manusia lain, baik yang tidak mengikat secara hukum maupun yang mengikat secara hukum yang menyangkut tema Hak Asasi Manusia atau kelompok pemangku Hak Asasi Manusia tertentu serta dirujuk oleh instrumen-instrumen regional Hak Asasi Manusia, peraturan perundang-undangan nasional negara mengenai atau yang berkenaan dengan Hak Asasi Manusia. Karena penerimaan universal ini maka memang layaklah pendapat yang menyatakan bahwa DUHAM 1948 sudah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law).

D. Pengaturan HAM Secara Universal dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Tahun 1948 dan Relevansinya dengan CRPD

56

Instrumen-instrumen international Hak AsasiManusia lain yang mengikat secara hukum yang menjabarkansecara langsung ketentuan tertentu yang termuat dalamDUHAM 1948 dan menjadikannya norma-norma hukuminternasional

55

Ibid., hlm. 17.

56


(44)

adalah Konvensi mengenai Status Pengungsi,1951; Konvensi tentang Hak Politik Perempuan, 1952;Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan, 1954(pembuatannya diprakarsai oleh Dewan Ekonomi dan Sosial);Konvensi tentang Pengurangan Nirkewarganegaraan, 1954;dan Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan Kawin,1957.

Terdapat kritik akan pernyataan Dagener dan Quinn bahwa DUHAM tidak memberi perhatian kepada penyandang disabilitas; bahwa penyandang disabilitas tidak dimasukkan ke dalam kelompok tersendiri yang rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.Akan tetapi, Sidang Umum PBB ini sejak awal telah memproklamirkan bahwa Deklarasi “sebagai standar bersama untuk pencapaian bagi semua umat manusia...” Selain itu, terdapat instrumen-instrumen international Hak AsasiManusia yang mengikat secara hukum yang menjabarkansecara langsung ketentuan tertentu yang termuat dalamDUHAM 1948dan menjadikannya norma-norma hukum internasional. Contohnya adalah Konvensi mengenai Status Pengungsi,1951; Konvensi tentang Hak Politik Perempuan, 1952;Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan, 1954(pembuatannya diprakarsai oleh Dewan Ekonomi dan Sosial);Konvensi tentang Pengurangan Nirkewarganegaraan, 1954;dan Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan Kawin,1957.

Terdapat juga instrumen-instrumen internasional Hak Asasi Manusiayang mengikat secara hukum yang merupakan penjabaran,pengembangan, dan pengukuhan secara hukum deklarasiyang dikeluarkan sebelumnya (deklarasi-deklarasi ini sendiridikeluarkan untuk menjabarkan dan mengembangkan


(45)

DUHAM 1948), antara lain : Konvensi tentang Hak Anak, 1989 (berasal dariDeklarasi tentang Hak Anak, 1959); Konvensi Internasionaltentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965(berasal dari Deklarasi tentang Penghapusan Segala BentukDiskriminasi Rasial, 1963); Konvensi tentang PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979 (berasaldari Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadapPerempuan, 1967); dan Konvensi tentang Hak PenyandangDisabilitas, 2006 (berasal dari Deklarasi tentang Hak OrangCacat, 1975). 57

Hak-hak yang terkandung dalam DUHAM yang diadopsi di dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Pasal 1 DUHAM 1948 menyatakan bahwa “Semua manusia terlahir dalam keadaan bebas dan setara dalam martabat dan hak-hak...”Pasal 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan yang dinyatakan didalam Deklarasi, tanpa adanya pembedaan dalam bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,agama, pendapat politik dan lainnya, kewarganegaraan atau asal usul sosial, properti, kelahiran atau status lainnya”. Tidak perlu diragukan bahwa penyandang disabilitas telah tercakup di dalam Deklarasi ini,walau tidak disebutkan secara khusus.

58

1. Hak untuk hidup

, yaitu :

Hak untuk hidup merupakan hak mutlak setiap orang dan termasuk dalam kategori non-derogable rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi. Dalam pasal 3 DUHAM disebutkan bahwa :

57

Ibid., hlm. 47-48.

58

Center for Reproductive Rights, 2009, “Reproductive Rights are Human Rights”, New


(46)

“Everyone has the right to life...”

(Setiap orang memiliki hak untuk hidup)

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas juga menyebutkan mengenai hak untuk hidup, yang dapat dilihat dalam pasal 10:

“States Parties reaffirm that every human being has the

inherent right to lifeand shall take all necessary measures to ensureits effective enjoyment by persons with disabilities on an equal basiswith others.”

(Negara-Negara pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain).

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, maka jelaslah bahwa hak untuk hidup yang merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap orang, diakui dan dilindungi baik dalam DUHAM juga dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

2. Hak atas Kebebasan dan Keamanan Pasal 3 DUHAM menyatakan bahwa :

“Everyone has the right to . . . liberty and security of person.”

(Setiap orang memiliki hak untuk.. kebebasan dan keamanan pribadi)

Pasal 14 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan :

“States Parties shall ensure that persons with disabilities, onan equal basis with others: 1) Enjoy the right to liberty and security of person; 2) Are not deprived of their liberty unlawfully or


(47)

arbitrarily, and that any deprivation of liberty is in conformity with the law, and that the existence of a disability shall in no case justify a deprivation of liberty.”

(Negara-Negara Pihak wajib menjamin penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan yang lain : 1) Menikmati hak atas kebebasan dan keamanan; 2) Tidak dicabut kebebasannya tanpa alasan hukum atau secara sepihak, dan bahwa setiap pencabutan kebebasan adalah selaras dengan hukum, dan bahwa adanya disabilitas tidak menjadi alasan pembenaran bagi pencabutan kebebasan)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, maka jelaslah bahwa hak atas kebebasan dan keamanan pribadi diakui dan dilindungi baik dalam DUHAM juga dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

3. Hak Atas KesehatanTermasuk dalam Bidang Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Pasal 25 DUHAM menyatakan :

“Everyone has the right to a standard of living adequate forthe health and well-being of himself and of his family.”

(Setiap orang memiliki hak atas tingkat kehidupan yang memadai bagi kesehatan dan kesejahteraannya sendiri dan keluarganya) Pasal 25 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan :

“States Parties recognize that persons with disabilities have the right to the enjoyment of the highest attainable standard of health without discrimination on the basis of disability... In particular, States Parties shall: Provide persons with disabilities with the same range, quality and standard of free or affordable health care and programmes as provided to other persons, including in the area of sexual and reproductive health and population-based public health programmes...”

(Negara-Negara Pihak mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang


(48)

tersedia tanpa diskriminasi atas dasar disabilitas mereka... Secara khusus, negara-negara pihak wajib : menyediakan bagi penyandang disabilitas, program dan perawatan kesehatan gratis atau terjangkau, kualitas dan standar yang sama dengan orang lain, termasuk dalam bidang kesehatan seksual dan reproduksi serta program kesehatan publik berbasis populasi)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, jelas bahwa perlindungan atas kesehatantermasuk dalam bidang kesehatan seksual dan reproduksi dijamin baik dalam DUHAM, juga dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

4. Hak untuk Menikah dan Kesetaraan dalam Pernikahan Pasal 16 DUHAM menyatakan :

(1) “Men and women of full age, without any limitation due torace, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. (2) Marriage shall be entered into only with the free and fullconsent of the intending spouses.”

(1. Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa ada pembatasan apapun berdasarkan ras, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal perkawinan, dalam masa perkawinan dan pada saat berakhirnya perkawinan.

2. Perkawinan hanya dapat dilakukan atas dasar kebebasan dan persetujuan penuh dari pihak yang hendak melangsungkan perkawinan)

Pasal 23 (1) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan :

“States Parties shall take effective and appropriate measuresto eliminate discrimination against persons with disabilities in all mattersrelating to marriage, family, parenthood and relationships, on an equalbasis with others, so as to ensure... the right of all persons with disabilities who are of marriageable age to marry and to found a family onthe basis of free and full consent of the intending spouses is recognized.”


(49)

(Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan-kebijakan yang efektif dan sesuaiuntuk menghapuskan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam segala permasalahan terkait dengan perkawinan, keluarga, peran orang tua, dan hubungan pribadi, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, untuk menjamin:Diakuinya hak-hak setiap orang penyandang disabilitas yang sudah cukupumur untuk kawin dan membentuk keluarga berdasarkan persetujuan bebas dan penuh dari calon pasangannya)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, dinyatakan secara jelas bahwa hak untuk menikah dan kesetaraan dalam pernikahan dijamin dan dilindungi oleh DUHAM dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

5. Hak Atas Kesetaraan dan Non-Diskriminasi Pasal 2 DUHAM menyatakan:

“Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”

(Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasiini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin,bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain)

Pasal 6 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan :

“States Parties recognize that women and girls with disabilities are subject to multiple discrimination, and in this regard shall takemeasures to ensure the full and equal enjoyment by them of all humanrights and fundamental freedoms.”

(Negara-Negara Pihak mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anakperempuan adalah rentan terhadap diskriminasi ganda, dan dalam kaitan ini harusmengambil kebijakan-kebijakan untuk menjamin penikmatan penuh dan setara


(50)

bagi mereka atas semua Hak Asasi Manusia dan kebebasan fundamental)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi yang dimiliki oleh setiap orang, diakui dan dijamin baik dalam DUHAM juga dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

6. Hak untuk Tidak Menjadi Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia

Pasal 5 DUHAM menyatakan :

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman ordegrading treatment or punishment.Disability Rights Convention”

(Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukumsecara tidak manusiawi atau dihina)

Pasal 15 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan:

Article 15(1): No one shall be subjected to torture or to cruel, inhumanor degrading treatment or punishment. In particular, no one shall besubjected without his or her free consent to medical or scientificexperimentation.

Article 15(2) : States Parties shall take all effective legislative, administrative, judicial or other measures to prevent persons with disabilities, onan equal basis with others, from being subjected to torture or cruel,inhuman or degrading treatment or punishment.

( 1. Tidak seorangpun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau penghukuman yangkejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Secara khusus, tidak seorangpun boleh dijadikan percobaan medis atas ilmiah tanpa persetujuan bebas dari yang bersangkutan.


(51)

2. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan peraturan perundang-undangan, administratif, yudisial atau kebijakan lainnya yang efektif guna mencegah penyandang disabilitas, berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya, menjadi korban dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia)

Berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas, jelas bahwa hak untuk tidak menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia diakui dan dilindungi baik dalam DUHAM juga dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.


(52)

BAB III

Aspek Historis dan Normatif dari

Convention On The Rights Of Person With Disabilities

(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

A. Sejarah Konvensi

Pembentukan Convention on the Rights of Persons with Disabilities(CPRD)

/ Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) banyak dipengaruhi oleh beberapa instrumen Internasional yang telah berlaku sebelumnya, antara lain : The Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Selain itu, terdapat juga instrumen PBB dan ILO lainnya yang membahas secara spesifik mengenai hak asasi manusia dan kecacatan, yaitu : Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons (1971), Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975), World Programme of Action concerning Disabled Persons (1982), Tallinn Guidelines for Action on Human Resources Development in the Field of Disability (1990), Principles for the Protection of Persons with


(53)

Mental Illness and the Improvement of Mental Health Care (1991), Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (1993)59

Namun, tidak seperti pendahulunya, Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) / Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas ini memberikan perlindungan pada level atau tingkat yang belum pernah terjadi pada sebelumnya. Konvensi ini menekankan bahwa penyandang disabilitas harus menikmati, dan adalah kewajiban bagi negara dan subjek hukum lain untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dihargai.

.

60

Sebuah hasil utama dari International Year of Disabled Persons 1981 adalah perumusan adanya The World Programme of Action concerning Disabled Persons (Program Aksi Dunia tentang Penyandang Cacat), yang diadopsi oleh Majelis Umum pada tanggal 3 Desember 1982, dengan resolusi 37/52. Program Aksi Dunia (WPA) adalah strategi global untuk meningkatkan pencegahan kecacatan, rehabilitasi dan pemerataan kesempatan, yang berkaitan dengan partisipasi penuh penyandang cacat dalam kehidupan sosial dan pembangunan nasional. WPA juga menekankan perlunya pendekatan cacat dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), dengan tiga bahasan, yaitu memberikan analisis tentang prinsip, konsep dan definisi yang berkaitan dengan cacat; situasi dunia tentang

59

United Nations, “From Exclusion to Equality : Realizing the rightsof persons with disabilities-Handbook for Parliamentarians on the Convention on the Rights of Persons with

Disabilities and its Optional Protocol”, didownload dari

http://www.un.org/disabilities/documents/toolaction/ipuhb.pdf., pada 03 Maret 2015, hlm. 10

60


(54)

penyandang cacat; dan menetapkan rekomendasi untuk tindakan di tingkat nasional, regional dan internasional.61

"Persamaan peluang" adalah tema sentral dari WPA dan filosofi ini membimbing untuk mencapai partisipasi penuh penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Prinsip penting yang mendasari tema ini adalah bahwa isu-isu tentang penyandang cacat tidak harus diperlakukan secara terpisah, tetapi dalam konteks pelayanan bagi masyarakat normal. Pelaksanaan Program Aksi Dunia (WPA) menggunakan pendekatan multisektoral dan multidisiplin yang ditujukan oleh Majelis Umum pada tanggal 3 Desember 1982 dan 22 November 1983.62

Selama review internasional besar pertama dari pelaksanaan Program Aksi Dunia tentang Penyandang Cacat yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1987, para peserta dianjurkan untuk menyusun konvensi tentang Hak Asasi Manusia bagi para penyandang cacat. Meskipun berbagai inisiatif, termasuk proposal yang dibuat oleh Pemerintah Italia dan Swedia, dan Commission for Social Development’s Special Rapporteur on Disability (Komisi untuk Pembangunan Sosial Khusus tentang Pelapor Kecacatan, dan lobi yang kuat dari masyarakat sipil, rencana ini kurang mendapat dukungan untuk mengadakan negosiasi pembentukan perjanjian internasional yang baru.63

61

United Nations, “World Programme of Action Concerning Disabled Persons”, diakses

dar

62

Ibid.

63


(1)

2. Disarankan agar pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas yang termuat dalam Convention on The Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dapat dijalankan sebaik-baiknya oleh Negara Pihak dan Negara penandatangan, karena masih terdapat penyandang disabilitas di berbagai negara di dunia yang belum menerima perlindungan terhadap hak-hak mereka. Terkait laporan negara pihak yang harus diserahkan kepada Komite, disarankan agar tugas dan tanggung jawab negara pihak dan Komite dapat dijalankan sebagaimana seharusnya, agar tujuan Konvensi untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka, dapat terwujud.

3. Mengingat bahwa perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebelum lahirnya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas masih kurang cukup memuat kebutuhan penyandang disabilitas dan bahwa setelah lahirnya Konvensi, Indonesia belum membentuk peraturan perundangan mengenai perlindungan hak penyandang disabilitas selain daripada undang-undang pengesahan Konvensi (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011), maka disarankan agar pemerintah Indonesia dapat memberi perhatian serius untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang dapat menampung perlindungan hak-hak penyandang


(2)

disabilitas sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia. Hal ini seyogianya dapat dilakukan antara lain dengan melibatkan mereka di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga aspirasi mereka dapat ditampung dengan lebih baik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A.K, Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), C.V.Armico, Bandung, 1985.

Brownlie,Ian, ed., Basic Documents on Human Rights, Clarendon Press, Oxford, 1971.

DIRHAM dan KEMENLU, Buku Informasi Lokakarya Nasional Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Dirham dan Kemenlu RI, Jakarta, 2013.

Effendi, A. Masyhur, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional, Alumni, Bandung, 1980.

Hasbullah,M. Afif,Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, UNISDA Lamongan dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

International Labour Office, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, 2006.

Kleden, Marianus,Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera, Yogyakarta, 2008.

Kusumaatmadja,Mochtar,Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1996.

Morgenthau,H.J.,Politik Antar Bangsa,2010.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.


(4)

Riyadi, Eko, at.al., Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Yogyakarta, PUSHAM UII,2012.

Setiardja,A.Gunawan,Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Smith, Rhona K. M., Textbook on International Human Rights, sixth edition, Oxford University Press, Oxford, New York, 2014.

Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta, Rajawali,1994.

Sulaiman,Hamid,Hukum Perjanjian Internasional dan Implementasi Wawasan Nusantara, Fakultas Hukum USU, Medan, 1986.

Sunggono, Bambang, dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2001.

JURNAL

Harahap, Rahayu Repindowaty dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut CRPD”, Jurnal Inovatif, Volume VIII, Nomor I Januari 2015, 2015.

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006 Universal Declaration of Human Rights 1948


(5)

UNDANG-UNDANG NASIONAL INDONESIA

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menjadi Undang-Undang

INTERNET

“10 Facts about disability Dispelling the myths”

Akomodasi Kepentingan Penyandang Disabilitas sbg Agenda Prioritas Capres”,

“Akses Terhadap Hukum dan Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas”,

“Becoming a party to the Convention and the Optional Protocol”, 22.50

“Convention on the Rights of Persons with Disabilities”,

Februari 2015 pukul 20.15

“Disabilitas dalam Ketangguhan: Berangkat dari Sumberdaya yang Belum Termanfaatkan”,


(6)

pukul 20.15

“Diversity Program untuk Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas (Studi Eksploratif terhadap Perusahaan BSC Indonesia),

“From Exclusion to Equality : Realizing the rightsof persons with disabilities-Handbook for Parliamentarians on the Convention on the Rights of Persons with Disabilities and its Optional Protocol”, http://www.un.org/disabilities/documents/toolaction/ipuhb.pdf., pada 03 Maret 2015

“Gagasan Negara Hukum Indonesia”,

“Komitmen Pemerintah untuk Sosialisasi dan Monitoring Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas di Indonesia”, 19.00

“Kronologis Upaya Ratifikasi The Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) di Indonesia”,

pada

16 april 2015 pukul 01.15

“Latest Developments April 2015 pukul 21.00

“Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilitas”,

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_160360.pdf., didownload pada 6 Februari 2015

“Mengenal Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik”, https://indraswat.wordpress.com/2012/04/17/iccpr/, pada 02 Maret 2015 pukul 20.10

“Menko Kesra: Roh Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas adalah Merubah Paradigma”, http://2010.kemenkopmk.go.id/content/menko-kesra-roh-konvensi-hak-hak-penyandang-disabilitas-adalah-merubah-paradigma, pada 02 Maret 2015 pukul 18.00

“Modul Hukum HAM dan Demokrasi”, http://worowinandi.dosen.narotama.ac.id/bahan-ajar/ , pada 03 Maret 2015