PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENINGKATKAN KONSEP DIRI TUNARUNGU (STUDI KASUS DI ORGANISASI GERKATIN BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013/2014)

(1)

PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENINGKATKAN KONSEP DIRI TUNA RUNGU DI ORGANISASI

GERKATIN BANDAR LAMPUNG 2013/2014

Oleh

KANTI SETYO WILUJENG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(2)

PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENINGKATKAN KONSEP DIRI TUNARUNGU

DI ORGANISASI GERKATIN BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013/2014

(Skripsi)

Oleh

KANTI SETYO WILUJENG

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

ABSTRAK

PENGGUNAAN LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENINGKATKAN KONSEP DIRI TUNARUNGU (STUDI KASUS DI ORGANISASI GERKATIN BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013/2014)

Oleh

KANTI SETYO WILUJENG

Masalah penelitian ini konsep diri anak tunarungu yang rendah . Permasalahannya adalah “apakah konsep diri tunarungu dapat ditingkatkan melalui layanan konseling individu? Tujuan penelitian untuk mengetahui peningkatan konsep diri tunarungu menggunakan layanan konseling individu.. Metode penelitian adalah eksperimen deskriptif. Dengan jenis desain One-Group Pretest-Posttest Design. Subjek penelitian sebanyak 2 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan skala konsep diri tunarungu.

Hasil penelitian menunjukkan konsep diri tunarungu dapat ditingkatkan melalui layanan konseling individu, terbukti dari hasil analisis data konsep diri tunarungu terdadapat peningkatan 10,84% pada klien ade dan 11,76% pada klien Chandra. .

Dengan demikian, Ho diterima, artinya bahwa konsep diri tunarungu tidak dapat ditingkatkan melalui layanan konseling individu di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2013/2014.

Kesimpulannya adalah konsep diri tunarungu tidak dapat ditingkatkan menggunakan layanan konseling individu pada organisasi gerkatin bandar lampung tahun 2013/2014

Saran yang diberikan adalah (1) Kepada teman tuli hendaknya mengikuti konseling individu apabila merasa sulit untuk menyelesaikan masalah sendiri (2) kepada guru bimbingan dan konseling hendaknya rutin melakukan kegiatan konseling individu agar penyandang tunarungu dapat meningkatkan konsep dirinya. (3) Para peneliti hendaknya dapat melakukan penelitian dengan menggunakan layanan konseling keprilakuan dan enggunakan Interpreter.


(4)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1KerangkaPikirPenelitian ... 9

3.1 One pretest post test design... 36

4.1 Grafik perubahan konsep diri Ade ... 61


(5)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Laporan Proses dan Hasil Uji Coba Instrumen ...70

2. Analisis Uji Validitas Instrumen ... 75

3. reliabilitas Skala ... 77

4. Skala Konsep diri ... 78


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kriteria Bobot Nilai Pada Skala Psikologi ... 41

3.2. Kriteria Konsep Diri Tunarungu . ... 42

3.3. Kisi-kisi Konsep Diri ... 43

4.1. Kriteria Konsep Diri Tunarungu . ... 49


(7)

MOTO

“Khoirunnas anfa’uhum linnas.”

Sebaik-baiknya manusia diantaramu adalah yang paling banyak bermanfaat

bagi manusia lainnya


(8)

(9)

(10)

(11)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah atas terselesaikannya

penulisan skripsi ini, kupersembahkan

karya kecilku ini kepada :

Bapak dan ibuku tersayang, R. Suyitno dan Hastuti Rahayu

yang selalu menyertakan nama ku dalam setiap sujud

’nya.

Terimakasih atas kasih sayang dan cinta

yang telah banyak memberikan semangat

untuk keberhasilan putra-putrinya.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Kanti Setyo Wilujeng lahir tanggal 5 Agustus 1992 di Bandar Jaya, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis adalah putri ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak R. Suyitno dan Ibu Hastuti Rahayu.

Peneliti menempuh pendidikan formal yang diawali dari: TK PKK Nambah Dadi lulus tahun 1998; SD Negeri 1 Nambah Dadi lulus tahun 2004; SMP Islam Terpadu Bustanul Ulum lulus tahun 2007; kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1 Terbanggi Besar lulus tahun 2010.

Pada tahun 2010, peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selanjutnya, pada tahun 2013 peneliti melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (PLBK-S) di SMP Negeri 2 Gunung Agung, kedua kegiatan tersebut dilaksanakan di Desa Marga Jaya, Kecamatan Gunung Agung, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung.


(13)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrabbil’aalamin, segala puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan rintangan serta kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan dan motivasi serta bimbingan yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Layanan Konseling Individu untuk Meningkatkan Konsep Diri Tunarungu di Organisasi GERKATIN Bandar Lampung Tahun 2013/2014” ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk mengadakan penelitian.

2. Ibu Drs. Riswanti Rini, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Lampung.

3. Bapak. Drs. Yusmansyah, M.Si selaku ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Lampung

4. Bapak Drs. Giyono, M.Pd selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan masukan dan mengarahkan demi terselesaikannya skripsi ini.

5. Ibu Ratna Widiastuti, S.Psi., M.A., Psi selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan masukan dan mengarahkan demi terselesaikannya skripsi ini. 6. Bapak Syaifuddin Latif, M.Pd selaku pembahas yang telah membimbing dan


(14)

7. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling FKIP UNILA terima kasih untuk semua bimbingan dan pelajaran yang begitu berharga yang telah kalian berikan untukku selama perkuliahan.

8. Mas Chandra Wijaya sebagai ketua organisasi Gerkatin Bandar Lampung yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. R. Suyitno’s Squad Hana Ari Saputra, Roni Wicaksono, Novi Erna Rotali,

Noor Prawita Sari, Rayi Yuniar Pratiwi, Yoga Sandi Atharizna, Mahira Rafifah Asla, dan Kakatika. Terimakasih sudah menjadi sumber semangat selama ini.

10. Bapak Bambang Joko Utomo dan Ibu Titi Subekti. Terimakasih untuk doa dan dukungan yang diberikan. Sehingga terselesaikannya skripsi ini

11. Rama Adi Wibowo, terimakasih telah menjadi partner biologis, teman hidup, a half of my soul dan tim penasehat kepala cabang yang baik.

12. Ashoka Indonesia, terimakasih sudah memberikan pengalaman yang luar biasa yang tidak pernah saya dapatkan di sekolah manapun. Terimakasih telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi Young changemaker 2013

13. Keluarga besar Snets Lampung, Sisil, Bebi, Uni, Susi, Topik, Irul, Sayang, serta semua anak-anak Istimewaku. Terimakasih sudah mengisi hari-hari menyenangkan untuk ku

14. Sahabat-sahabatku Komunitas, Silvana, Rizkita, Atu bro, Mbak Woro, Dhia, Om Yo, Kembar, Ena, semua yang sudah menemani dalam suka dan duka 15. Teman-teman se-Twitter, se-Path, se-Instagram, terimakasih sudah

mendengarkan curhatan-curhatan alay ketika suntuk dan pusing skripsian 16. Para costumer Rujak Cireng Lampung dan Khaylila Stuff so thankyou so

much sudah menjadi costumer yang baik hingga akhirnya tabungan saya cukup untuk biaya cetak skripsi.

17. Teman-teman di Asrama Moly dan Asrama Griya, Pipit, Arini, Desi, Dwi, Yasnol, Anita, Tiara, Bertha, Dita. Terimakasih telah menjadi kost-mate yg baik dan menjadi teman seperjuangan di tanah perantauan


(15)

18. Bibeh-bibehku tersayang, Iyah, Nyenil, Dedek, Bundo, Pongki, Dina terimakasih atas bantuan dan dukungannya, serta telah memberikan warna dalam perjalanan perkuliahanku selama ini, love you so much!

19. Teman-teman seperjuangan BK 2010, Noprita, Mamah, Bebi, Uni, Aan Pur, Agus, Nces, Wella, Mbak Dita, Bebet, Nailul, Ayu, Mami, Amel, Mpus, Mbul, Lusi, Desti, Ivana, Ara, Dewi, Suspa, Ika, Emil, Mbak Lulu, Natalia, Mei, Putri, Wiwit, Nita, Rani, Nanang, Kak boy, Irsan, Adit, dan semuanya terima kasih untuk kebersamaannya selama ini. Youre rawrk guys!

20. Teman – teman mahasiswa Bimbingan dan Konseling (2007-2013) yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas masukan, saran, motivasi, serta semangatnya.

21. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.

Hanya harapan dan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dalam mengharapkan keridhaan, semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi penulis khususnya. Aamiin.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Identifikasi Masalah ... 3

3. Pembatasan Masalah ... 4

4. Rumusan Masalah ... 4

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

1. Tujuan Penelitian ... 5

2. Kegunaan Penelitian ... 5

3. Ruang Lingkup Penelitian . ... 5

C. Kerangka Pemikiran ... 6

D. Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Tunarungu ... 11

B. Konsep Diri Tunarungu . ... 13

1. Pengertian konsep diri Tunarungu ... 13

2. Jenis-jenis konsep diri Tunarungu ... 15

3. Dimensi Konsep diri Tunarungu ... 18

4. Perkembangan Konsep diri Tunarungu ... 20

5. Peranan Konsep diri ... 23

C. Layanan Konseling Individu ... 24

1. Karakteristik Konseling Individu ... 26

2. Tahapan-tahapan Konseling Individu ... 27

3. Teknik-teknik Konseling Individu ... 31

D. Konseling Individu untuk Meningkatkan Konsep diri Tunarungu ... 33

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Metode Penelitian ... 38

B. Subjek Penelitian ... 39

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 40

1. Variabel Penelitian ... 40

2. Definisi Operasional Variabel ... 40

D. Metode Pengumpulan Data ... 41

1. Skala Konsep Diri ... 42

E. Pengujian Instrumen Penelitian ... 46


(17)

2. Reliabilitas Instrumen ... 47

3. Teknik Analisis Data ... 48

VI Hasil dan Pembahasan ... 49

A. Hasil Penelitian ... 49

1. Gambaran Umum Pra Konseling ... 49

2. Deskripsi Data ... 50

3. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Konseling Individu ... 52

a. Tahapan Awal Konseling ... 53

b. Tahap Pertengahan Konseling... 54

c. Tahap Akhir Konseling ... 54

4. Data Skor Subjek Sebelum dan sesudah Mengikuti Layanan Konseling Individu ... 62

5. Analisis Data Hasil Penelitian ... 64

6. Uji Hipotesis ... 65

B. Pembahasan ... 66

V Kesimpilan dan Saran ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang

Seseorang dengan keterbatasan pendengaran dan berkomunikasi atau sering kita sebut dengan istilah tunarungu wicara banyak kita jumpai disekitar kita namun banyak diantara kita yang tidak menghiraukan. Keterbatasan fisik yang mereka miliki tidak sedikit yang membuat mereka memiliki konsep diri negatif dan tidak memahami tentang potensi-potensi yang mereka miliki.

Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan ia memandang seluruh tugasnya sebagai sesuatu yang sulit diselesaikan. Pandangan dan sikap individu tunarungu terhadap dirinya inilah yang dikenal dengan konsep diri. Konsep diri merupakan pandangan menyeluruh individu tentang totalitas dari diri sendiri mengenai karakteristik kepribadian, nilai-nilai kehidupan, prinsip kehidupan, moralitas, kelemahan dan segala yang terbentuk dari segala pengalaman

dan interaksinya dengan orang lain (Burns, 1993:50)”.

Konsep diri penting artinya karena individu dapat memandang diri dan dunianya, mempengaruhi tidak hanya individu berperilaku, tetapi juga


(19)

2

tingkat kepuasan yang diperoleh dalam hidupnya. Setiap individu pasti memiliki konsep diri, tetapi mereka tidak tahu apakah konsep diri yang dimiliki itu negatif atau positif. Tunarungu yang memiliki konsep diri positif ia akan memiliki dorongan mandiri lebih baik, ia dapat mengenal serta memahami dirinya sendiri sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi walaupun memiliki keterbatasan.

Masalah dan kegagalan yang dialami tunarungu disebabkan oleh sikap negatif terhadap dirinya sendiri, yaitu menganggap dirinya tidak berarti padahal mereka belum sepenuhnya memahami tentang diri mereka.

Ketidaktahuan terhadap diri sendiri dapat menimbulkan berbagai bentuk prilaku yang kurang efektif dan dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan psikologisnya. Orang yang kurang memahami dirinya, disebabkan oleh proses pembelajaran dari pengalaman menyembunyikan bagian dari dirinya untuk mencegah dan mengurangi kecemasan. Orang yang memiliki daya jiwa yang baik akan mampu mengatasi kecemasan dengan cara-cara yang konstruktif, dan sebaliknya, orang yang memiliki daya jiwanya lemah cenderung menempatkan berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri untuk menyembunyikan kualitas diri yang kurang baik dan mengurangi kecemasan.

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan 15 orang penyandang tunarungu di organisasi Gerkatin, diperoleh data bahwa hampir 5 orang penyandang tunarungu konsep diri yang belum positif, gejala yang nampak yaitu suka mengobrol sendiri ketika sedang rapat anggota organisasi,


(20)

3

sering membolos apabila ada kelas keterampilan untuk tunarungu, apabila diberi tugas akan sering mengelak dan mengatakan bahwa tugas terlalu sulit, tidak mau bertanya pada hal-hal yang baru, memiliki perasaan rendah diri, tidak berani mengungkapkan pendapat, dan mempunyai perasaan tidak mampu melaksanakan tugas namun setelah diberikan surat persetujuan untuk menjadi klien hanya 2 orang yang menandatangai surat tersebut dan bersedia menjadi klien.

Bimbingan dan konseling memiliki tujuh jenis layanan yang semuanya merupakan kegiatan bantuan dan tuntutan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan tunarungu pada khususnya di organisasi dalam rangka meningkatkan mutunya.

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut :

a. terdapat tunarungu yang tidak mau terbuka dengan orang lain. b. terdapat tunarungu yang tidak berani mengungkapkan pendapat c. terdapat tunarungu yang tidak mampu melaksanakan tugas d. terdapat tunarungu yang mengelak ketika diberi tugas

e. terdapat tunarungu yang membolos ketika diadakan kelas belajar untuk tunarungu


(21)

4

3. Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas, namun lebih jelas dan terarah maka perlu dibuat pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian menggunakan metode eksperimen dengan desain Pre-Experimental. Metode ini digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali.

2. Subjek dalam penelitian ini adalah penyandang tunarungu di Organisasi Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Cabang Bandar Lampung

3. Penelitian ini fokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan layanan konseling individual dalam membentuk konsep diri tunarungu di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung.

4. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Apakah Konseling Individu dapat Digunakan untuk Meningkatkan


(22)

5

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membuktikan apakah layanan konseling individu dapat meningkatkan konsep diri tunarungu di organisasi Gerkatin Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya konseling individu yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri tunarungu.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak Organisasi Gerkatin Bandar Lampung, sehingga dapat meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan dan permasalahan tunarungu.

3. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah : a. Ruang Lingkup Ilmu

Ruang lingkup penelitian ini adalah konsep keilmuan bimbingan dan psikoterapi, khususnya pada mata kuliah Modifikasi Perilaku. b. Ruang Lingkup Objek


(23)

6

Objek penelitian ini adalah sejauh mana penggunaan layanan Konseling Individu dapat Meningkatkan konsep diri positif tunarungu

c. Ruang Lingkup Subjek

Subjek penelitian ini adalah tunarungu di organisasi Gerkatin Bandar Lampung.

d. Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung.

e. Ruang Lingkup Waktu

Ruang lingkup waktu dalam penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2014

C. Kerangka Pikir

Salah satu bentuk pengalaman individu dan faktor yang dipelajari dalam hubungan dan interaksi dengan orang lain adalah konsep diri. Interaksi dengan orang lain tersebut menimbulkan tanggapan orang lain yang kemudian tanggapan tersebut dijadikan cermin bagi individu tersebut. Individu akan melihat diri mereka sesuai dengan tanggapan individu lain melalui hubungan interaksi. Konsep diri yang dimaksud merupakan cara pandang seseorang atau individu dalam menilai dirinya sendiri berkaitan dengan pengetahuan, perasaan, perilaku yang ia miliki dan bagaimana hal-hal tersebut berpengaruh terhadap orang lain. Cara pandang dan penilaian


(24)

7

terhadap diri individu akan mempengaruhi tindakan dan pandangan hidup individu tersebut. Hal itu akan berpengaruh terhadap tindakan dan perilaku yang merupakan perwujudan adanya kemampuan dan ketidakmampuan dalam mencapai keberhasilan yang individu inginkan.

Brook dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105) menyatakan individu yang mempunyai konsep diri positif memiliki ciri-ciri :

a) Percaya diri dan merasa setara dengan orang lain

b) Menerima diri apa adanya, mengenal kelebihan dan kekurangan

c) Mampu memecahkan masalah dan mampu mengevaluasi diri d) Menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan, keinginan

dan perilaku yang tidak seluruhnya diterima masyarakat e) Bersikap optimis

Oleh karena itu, konsep diri positif terjadi jika individu tersebut dapat menerima dirinya apa adanya, mengenal kekurangan dan kelebihan yang ia miliki, merasa percaya diri dan setara atau sama dengan orang lain serta mampu memecahkan masalah yang ia hadapi. Seorang individu yang dapat menyikapi kegagalan kemudian bangkit dan berusaha memecahkan masalah adalah individu yang memiliki konsep diri positif.

Cara yang digunakan oleh peneliti modern dalam membantu mendefinisikan identitas secara fungsional adalah dengan menanyakan kepada Individu apa tujuan personalnya, apa yang mereka nilai sebagai suatu yang penting contohnya secara intrapersonal. Dari Konseling Indivudi merupakan cara


(25)

8

yang efektif untuk meningkatkan konsep diri tunarungu karena dilakukan secara intrapersonal sehingga mampu menyentuh ranah pribadi konselee. Berdasarkan uraian tersebut, maka konsep diri positif yang rendah perlu mendapat penanganan khusus, sehingga konsep diri positif dapat ditingkatkan. Pada penelitian ini penulis mencoba mengemukakan alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut melalui Konseling Individu. Adapun hal yang mendasari penulis menggunakan teknik Konseling Individu dalam meningkatkan konsep diri positif ialah adanya beberapa teori yang menyatakan bahwa konsep diri positif dapat ditingkatkan dengan menggunakan konseling individu. Orang datang ke konseling dikarenakan kurangnya kompetensi antar pribadi. Dengan demikian tujuan konseling adalah membantu klien dalam mengenal permasalahan yang berkaitan dengan cara-cara berhubungan dengan orang lain, dan belajar menemukan cara-cara baru yang dapat lebih memenuhi kebutuhan.

Menurut Prayitno & Amti (2004:99) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang-orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Tunarung yang memiliki konsep diri positif yang rendah perlu diberi Konseling Individu agar dapat mengembangkan potensi yang ada secara


(26)

9

optimal, dan mengubah perilakunya. Karena dampak dari rendahnya konsep diri positif tersebut dapat menyebabkan pikiran negatif dan membuat ia percaya komentar negatif yang dibuat orang lain. Hal ini dapat menyebabkan ia kehilangan kepercayaan diri.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Alur Kerangka Pikir D. Hipotesis

Penelitian ilmiah diawali dengan merumuskan suatu masalah yang terpecahkan (Solvable Problem). Selanjutnya peneliti juga mengajukan suatu jawaban tentatif terhadap masalah itu dalam bentuk sebuah proposisi. Peryataan ini harus dapat diuji (Testable). Artinya bisa ditentukan kemungkinan benar atau salahnya lewat pengujian atau pembuktian secara empiris. Itulah yang disebut hipotesis.

Berdasarkan latar belakang masalah, teori dan kerangka pikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalan penelitian ini adalah

“Penggunaan Konseling Individu dalam Meningkatkan Konsep diri Positif Tunarungu di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2014”

Sedangkan hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah : Rendahnya

konsep diri Tunarungu

layanan Konseling Individu

Tunarungu menjadi meningkat Konsep diri


(27)

10

Ha: Konseling Individu dapat digunakan untuk meningkatkan konsep diri tunarungu.

Ho: Konseling Individu tidak dapat digunakan untuk meningkatkan konsep diri tunarungu..


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan dengan ruang lingkup permasalahan yang di teliti dalam penelitian ini maka dapat dijelaskan bahwa tinjauan pustaka adalah teori-teori yang relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang objek yang akan diteliti. Dengan demikian, dalam penelitian diperlukan teori-teori yang mendukung objek yang akan diteliti. Berikut akan dibahas mengenai pelaksanaan Layanan Konseling Individu dalam meningkatkan konsep diri positif tunarungu.

A. Tunarungu

Ada beberapa ahli yang mendefinisikan tentang pengertian tunarungu, antara lain: Andreas Dwidjosumarto (dalam soemantri 2007). Seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Murni Winarsih (dalam soemantri 2007). menjelaskan pengertian tunarungu sebagai seorang yang mengalami kekurangan


(29)

12 -

atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan tertentu sesuai dengan jenis cacatnya. Begitu juga dengan penyandang tunarungu, stigma yang diberikan masyarakat normal sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi dan prasangka bahwa penyandang tunarungu itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Seperti yang diungkapkan oleh Salim (dalam soemantri 2007). Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Anak dengan tunarungu sangat membutuhkan bimbingan berbeda dengan anak lainnya, baik proses belajar maupun proses sosialisasinya. Penyandang tunarungu mengalami hambatan pada komunikasi dan bahasa yang mengakibatkan mereka sulit untuk bergaul dan mendapatkan informasi. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Kita


(30)

13 -

ketahui bahwa saat ini sangat sedikit orang normal yang menguasai bahasa isyarat maka dari itu banyak tunarungu yang hanya mau berkomunikasi dengan sesama tunarungu saja atau orang yang menguasai bahasa isyarat.

Jadi, tunarungu merupakan seseorang yang memiliki kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan alat mendengar yang ditandai dengan hambatan dalam perkembangan bahasanya (tunawicara). Saat ini anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang sudah dipatenkan secara Internasional.

B. Konsep Diri pada Tunarungu

1. Pengertian Konsep Diri Tunarungu

Konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. Konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita. Sehingga konsep diri dalam istilah umum

mengarah pada persepsi individu mengenai dirinya sendiri.

Beberapa studi telah meneliti konsep diri pada anak-anak dan remaja tuna rungu. Studi awal seperti yang dilakukan oleh Craig (dalam Edward 2008) mengemukakan bahwa anak-anak tuli menampilkan konsep diri yang rendah dari rekan-rekan mereka yg bukan tuli, bahkan ketika usia, jenis kelamin, kecerdasan, tingkat gangguan pendengaran dan pekerjaan orangtua diperhitungkan. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, konsep diri anak dengan tuna rungu hampir tidak diperhatikan, kemungkinan terbesar karena sulitnya menilai konsep diri ketika kemampuan bahasa


(31)

14 -

sangat tidak signifikan. Salah satu faktor yang seringkali diduga berpengaruh dalam menentukan konsep diri anak-anak tuli adalah lingkungan sekolah mereka, khususnya sejauh mana mereka dididik dengan anak-anak tuna rungu lainnya. Ketika mereka tidak digabungkan bersama rekan-rekan tuli, lalu dengan asumsi, bahwa mereka akan membandingkan diri dengan teman-teman mereka yang bukan tuli, maka sudah diprediksi, bahwa konsep diri akan jauh di bawah. Besarnya pengaruh dari perbandingan sosial, atau dengan kata lain, besarnya pengaruh dari membanding-bandingkan dengan orang lain dalam menentukan konsep diri anak-anak telah ditekankan oleh Harter (dalam Edward 2008). Dia menemukan bahwa skor konsep diri akademik yang terkait dengan kelompok pembanding yang diadopsi oleh anak-anak dengan ketidak mampuan belajar dan anak-anak dengan penyakit pertumbuhan. Van Gurp (dalam Edward 2008) meneliti masalah ini secara eksplisit dalam sekolah usia menengah anak-anak tuli menggunakan ukuran laporan diri yang telah dimodifikasi secara linguistik dan divalidasi untuk siswa tuna rungu. Dengan kata lain siswa tunarungu membutuhkan metode bimbingan baik belajar maupun konseling yang berbeda untuk dapat mendapatkan layanan yang maksimal berdasarkan kemampuannya supaya siswa dengan tunarungu tersebut tidak selalu membandingkan dirinya dengan sesama tunarungu juga sehingga didapatkan konsep diri yang lebih baik.


(32)

15 -

2. Jenis - Jenis Konsep Diri Tunarungu

Jenis konsep diri menurut Calhoun (1995:72-74) ada dua yaitu konsep diri

negatif dan konsep diri positif :

a. Konsep diri positif

Konsep diri yang positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri tetapi lebih berupa penerimaan diri. Kualitas ini lebih mungkin mengarah ke kerendahan hati dan ke kedermawanan daripada ke keangkuhan dan ke keegoisan. Orang dengan konsep diri positif ini mempunyai pengharapan-pengharapan dengan merancang

tujuan-tujuan hidupnya secara realistis dan ia mempunyai kemungkinan yang

besar untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan tersebut.

Wicklund dan Frey (dalam Calhoun, 1995:73) menyatakan Yang menjadikan penerimaan diri mungkin adalah bahwa orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali.

Individu dengan konsep diri positif dapat mengenal dirinya sendiri dengan sangat baik. Hal inilah yang menyebabkan seorang individu dapat menerima apapun yang ada dalam dirinya. Penerimaan diri individu dengan baik merupakan konsep diri yang positif.

Brook dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105) menyatakan individu yang mempunyai konsep diri positif memiliki ciri-ciri : a) Percaya diri dan merasa setara dengan orang lain

b) Menerima diri apa adanya, mengenal kelebihan dan kekurangan c) Mampu memecahkan masalah dan mampu mengevaluasi diri


(33)

16 -

d) Menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya diterima masyarakat

e) Bersikap optimis

Jadi individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, mampu menyelesaikan masalah, mampu mengevaluasi diri dan bersikap optimis. Karena konsep diri positif itu cukup luas untuk menampung seluruh pengalaman mental seseorang, evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi positif.

Dia dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Mengenai pengharapan, individu dengan konsep diri positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realita. Artinya, memiliki kemungkinan besar untuk dapat mencapai tujuan tersebut dan dapat menghadapi kehidupan di depannya.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif merupakan pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat negatif. Individu tersebut tidak mampu menerima dirinya, tidak mampu mengevaluasi diri, dan bersikap pesimis. Konsep diri negatif muncul karena pandangan seseorang tentang dirinya benar-benar

tidak teratur.

Ada dua jenis konsep diri negatif (dalam Calhoun, 1995:72) yaitu, pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang tidak teratur dan dia tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dia benar-benar tidak tahu siapa dia, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya. Erikson (dalam Calhoun, 1995:72) menyatakan


(34)

17 -

konsep diri mereka kerap kali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran dewasa. Jadi, konsep diri negatif pada jenis tidak teratur tersebut terjadi sementara waktu. Jenis tersebut terjadi pada masa transisi atau masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Dimana anak-anak mengalami ketidakstabilan perasaan ataupun pandangan saat mereka menuju peran sebagai individu dewasa.Artinya tipe ke dua dari konsep diri negatif hampir merupakan lawan dari yang pertama. Di sini konsep diri terlalu teratur dan stabil. Dengan kata lain, kaku. Mungkin karena dididik dengan sangat keras, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan.

Pada kedua tipe konsep diri negatif, informasi baru tentang diri hampir pasti menjadi penyebab kecemasan, rasa ancaman terhadap diri. Tidak satu pun dari kedua konsep diri cukup bervariasi untuk menyerap berbagai macam informasi tentang diri.

Dari teori tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri terdiri dari dua jenis yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Individu dengan konsep diri positif dapat mengetahui dirinya, menghargai dirinya dan menilai dirinya sendiri, dapat merancang tujuan dan memiliki keinginan besar untuk mencapai suatu pengharapan. Sedangkan individu dengan konsep diri negatif cenderung tidak bias menerima dirinya, cemas dan takut menghadapi kegagalan, tidak mampu mengevaluasi diri dan bersikap pesimis. Individu yang memiliki konsep diri negatif bisa memiliki perasaan tidak stabil dan tidak teratur atau bahkan terlalu teratur.


(35)

18 -

3. Dimensi Konsep Diri Tunarungu

Dimensi konsep diri menurut Calhoun (1995:67-71) dijelaskan sebagai berikut a. Dimensi Pengetahuan.

Dimensi pengetahuan dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri. Dalam benak kita ada satu daftar julukan yang menggambarkan kita: usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain sebagainya. Jadi konsep diri seseorang dapat

didasarkan pada “azas dasar” berikut: usia 23 tahun, perempuan,

warga Negara Indonesia, orang lampung, mahasiswa. Faktor dasar ini semua seharusnya dicatat dan menempatkan kita dalam kelompok sosial, kelompok umur, kelompok suku bangsa, dan sebagainya.

b. Dimensi penghargaan atau harapan.

Selain dapat mengetahui dan mengenal diri sendiri, individu dapat menghargai atau berharap tentang apa yang ia inginkan kelak. Pada saat individu mempunyai pandangan tentang siapa dirinya, individu

juga mempunyai seperangkat pandangan yang lain yaitu tentang

kemungkinan individu akan menjadi apa di masa yang akan dating

Rogers (dalam Calhoun, 1995:71) menyatakan pada saat kita mempunyai satu set pandangan tentang siapa kita, kita juga mempunyai satu set pandangan lain yaitu tentang kemungkinan kita menjadi apa dimasa mendatang.


(36)

19 -

Dengan kata lain kita mempunyai penghargaan bagi diri kita sendiri. Penghargaan ini merupakan diri ideal yang sangat berbeda untuk tiap individu. Indiviidu dapat berharap dan menghargai dirinya sendiri untuk menjadi individu yang mereka inginkan dan harapkan.

c. Dimensi penilaian

Setelah individu dapat mengetahui diri sendiri dan berharap tentang bagaimana dirinya kelak, individu dapat mengevaluasi atau menilai terhadap diri individu tersebut. Dimana individu dapat menilai dan mengukur bagaimana pengharapan dan standar bagi diri mereka sendiri.

Eipsten (dalam Calhoun, 1995:71) menyatakan dimensi ketiga dari konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri sendiri. Kita berkedudukan sebagai penilai tentang diri kita sendiri setiap hari, mengukur apakah kita bertentangan

dengan (1) “saya-dapat-menjadi apa”, yaitu pengharapan

kita bagi kita sendiri, dan (2) “saya-seharusnya-menjadi

apa”, yaitu standar kita bagi diri sendiri.

Dengan demikian, seberapa besar individu tersebut menyukai dirinya sendiri. Semakin besar ketidaksesuaian antara gambaran tentang seharusnya individu tersebut menjadi apa atau dapat menjadi apa semakin rendah rasa harga diri kita.

Dari teori dimensi konsep diri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi konsep diri terdiri dari pengetahuan atau


(37)

20 -

pemahaman terhadap diri sendiri, dimana kita bisa mengenal beberapa daftar dalam diri kita contohnya adalah usia, jenis kelamin, suku dan pekerjaan, dimensi selanjutnya yaitu bagaimana kita menghargai diri sendiri atau berharap sesuatu yang kita inginkan dalam diri kita di masa depan, dimensi ketiga adalah bagaimana kita menilai atau mengevaluasi diri kita, dimana kita bisa mengukur suatu standar yang tepat bagi diri kita.

4. Perkembangan Konsep Diri Tunarungu

Konsep diri tunarungu berkembang berdasarkan pengaruh dari diri sendiri dan

lingkungannya. Calhoun (1995:77) mengemukakan ada empat faktor yang dapat

mempengaruhi pembentukan konsep diri pada individu yaitu:

a. Orang tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami, dan yang paling kuat. Individu tergantung pda orang tuanya untuk makanannya, perlindungannya, dan kenyamanannya. Orang tua memberi kita informasi yang konstan tentang diri kita.

Coopersmith (dalam Calhoun, 1995:77) menyatakan perasaan nilai diri sebagai individu berasal dari nilai yang diberikan orang tua kepada individu tersebut.

Dengan demikian konsep diri pada individu dapat tumbuh berdasarkan nilai yang diberikan oleh orang tua individu tersebut. Orang tua memberikan informasi kepada kita mengenai diri kita sendiri, hal inilah yang membuat kita dapat mengenal diri kita


(38)

21 -

sendiri. Selain itu individu juga dapat membangun interaksi dengan orang lain.

b. Teman sebaya

Kelompok teman sebaya anak menempati kedudukan kedua setelah orang tuanya dalam mempengaruhi konsep diri. Untuk sementara mereka merasa cukup hanya mendapatkan cinta dari orang tua, tetapi kemudian anak membutuhkan penerimaan anak-anak lain dikelompoknya. Jika penerimaan ini tidak datang, anak digoda terus, dibentak atau dijauhi maka konsep diri ini akan terganggu. Disamping masalah penerimaan atau penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok sebayanya mungkin memiliki pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya sendiri.

c. Masyarakat

Anak-anak mulai terlalu mementingkan kelahiran mereka, kenyataan bahwa mereka hitam atau putih, orang Indonesia atau Belanda, anak direktur atau anak pemabuk. Tetapi masyarakat menganggap hal tersebut penting, fakta-fakta dan penilaian semacam itu akhirnya sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri.

d. Belajar

Konsep diri dapat diperoleh dengan belajar. Dengan kata lain konsep diri merupakan hasil belajar dari individu tersebut. Belajar ini berlangsung secara terus setiap harinya, biasanya tanpa kita sadari.


(39)

22 -

Hilgart dan Bower (dalam Calhoun, 1995:79) menyatakan bahwa konsep diri kita adalah hasil belajar, Belajar ini berlangsung setiap hari, biasanya tanpa kita sadari. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri kita sebagai akibat dari pengalaman.

Dengan demikian konsep diri tunarungu dapat diperoleh dari hasil belajar yang biasanya tanpa kita sadari, dan di dalam proses belajar tersebut terdapat pengalaman yang mengubah psikologis individu. Pengalaman-pengalaman individu dari hasil berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan

yang lebih luas akan menyebabkan perubahan pada diri individu dalam menilai

diri dan nantinya akan dapat merubah kearah mana konsep dirinya akan

dibawa.

Dari teori perkembangan konsep diri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

konsep diri tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh empat faktor yaitu,

orang tua, teman sebaya, masyarakat, dan belajar. Orang tua adalah kontak sosial

pertama yang sangat berpengaruh dalam perubahan konsep diri individu. Dimana

orang tua melindungi, memberi kenyamanan, pengalaman, nilai dan informasi

sehingga membangun interaksi individu tersebut terhadap orang lain. Faktor kedua

yaitu teman sebaya, individu membutuhkan penerimaan dari teman sebayanya, jika

penerimaan ini terganggu maka konsep diri juga akan terganggu. Selanjutnya yaitu

masyarakat, dimana fakta dan penilaian dari masyarakat tentang warna kulit, suku,

pekerjaan yang bisa mempengaruhi konsep diri. Faktor konsep diri terakhir adalah

belajar, dimana individu mendapatkan konsep dirinya dari belajar dan pengalaman


(40)

23 -

5. Peranan Konsep Diri Tunarungu

Konsep diri berperan dalam mempertahankan keselarasan batin, penafsiran pengalaman dan menentukan harapan individu. Konsep diri mempunyai peranan dalam mempertahankan keselarasan batin karena apabila timbul perasaan atau persepsi yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, ia akan mengubah perilakunya sampai dirinya merasakan adanya keseimbangan kembali dan situasinya menjadi menyenangkan lagi. Peran Konsep diri pada individu tunarungu sangat penting guna menanamkan pemahaman bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya dan mereka tetap bisa berkembang selaras dengan kemampuan yang mereka miliki.

Rakhmat (2005:104) memaparkan konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi dan interaksi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya.

Artinya individu akan berperilaku sesuai dengan konsep diri yang ia miliki. Misalnya bila seorang individu berpikir bahwa dia bodoh, individu tersebut akan benar- benar menjadi bodoh. Sebaliknya apabila individu tersebut merasa bahwa dia memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang dihadapinya pada akhirnya dapat diatasi. Oleh karena itu, individu tersebut berusaha hidup sesuai dengan label yang diletakkan pada dirinya. Dengan kata lain sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri seseorang,


(41)

24 -

apakah konsep diri positif atau negatif. Apabila pemahaman tunarungu tentang dirinya rendah maka kualitas komunikasi interpersonalnya rendah maka akan rendah konsep diri yang dimiliki, begitupun sebaliknya pada tunarungu yang memiliki kualitas interpersonal yang baik maka akan baik pula konsep diri yang dimiliki.

Kesimpulannya adalah konsep diri sangat berperan dalam mempertahankan dan menentukan harapan individu, menyeimbangkan perasaan dan persepsi yang bertentangan. Individu akan melakukan perilaku sesuai konsep dirinya. Jika konsep dirinya negatif maka ia akan berperilaku negatif dan sebaliknya jika individu memiliki konsep diri positif maka individu tersebut akan berperilaku positif. Individu tersebut kan berusaha sesuai dengan penilaian diri dan orang lain terhadap dirinya. C. Layanan Konseling Individu

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara Etimologi

berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasehat. konseling sebagai

kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Selanjutnya, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini:

1) Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien.


(42)

25 -

3) Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.

Rogers mengemukakan sebagai berikut: counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour. Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya. Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefenisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seseorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).

1. Karakteristik Konseling Individu

a. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor. Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate)

b. Bersifat afek. Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

c. Integrasi pribadi. Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien.

d. Persetujuan bersama. Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak.


(43)

26 -

e. Kebutuhan . Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhan nya.

f. Struktur. Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.

g. Kerjasama. Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

h. Konselor mudah didekati, klien merasa aman. Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

i. Perubahan. Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi didalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44)

jadi, kesimpulan dari karakteristik layanan konseling individu adalah terjadinya hubungan intrapersonal yang intim antara konselor dan konseli yang didalamnya terdapat unsure-unsur dan teknik layanan konseling individu guna memudahkan konseli untuk mendapat bantuan dan bisa memecahkan masalahnya sendiri.

3. Tahapan-tahapan dalam Konseling Individu

Ditinjau dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan


(44)

27 -

merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus

Strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru BK maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien. Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).

1) Tahap Awal.

Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :

a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.


(45)

28 -

b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.

c. Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai, untuk mengantisipasi masalah yang dihadapi klien.

d. Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi: (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.

2) Inti (Tahap Kerja)

Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :

a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.


(46)

29 -

b. Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.

c. Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara. Hal ini bisa terjadi jika :

a. Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling,

serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

b. Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.

c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.

3) Akhir (Tahap Tindakan)

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

a. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.

b. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.

c. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).


(47)

30 -

Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien;

(2) perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

4. Teknik-teknik dalam Konseling Individu

a. Attending (perhatian/menghampiri konseli)

Attending adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan terbina suasana yang kondusif sehingga klien bebas mengekspresikan / mengungkapkan tentang apa saja yang ada dalam pikiran, perasaan ataupun tingkah lakunya. Contohnya posisi badan termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka serta kontak mata.

b. Opening(pembukaan)

Opening adalah ketrampilan / teknik untuk membuka / memulai komunikasi dan hubungan konseling. Hal ini dapat berupa menyambut kehadiran klien dan membicarakan topic netral dan sebagainya.


(48)

31 -

c. Empati

Merupakan suatu cara untuk menyatakan perasaan konselor terhadap permasalahan konseli, konselor seperti merasakan terhadap apa yang di rasakan konseli.

d. Restatement (pengulangan)

Restatement adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengulang / menyatakan kembali pernyataan klien ( sebagian atau seluruhnya ) yang dianggap penting.

e. Refleksi

Adalah teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan perasaan / sikap yang terkandung dibalik pernyataan konseli.

f. Clarification (klarifikasi)

Clafication (klarifikasi) adalah teknik yang digunakan untuk mengungkapkan kembali isi pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata baru dan segar. Contohnya pada intinya, pada dasarnya dll.

g. Paraphrasing

Merupakan teknik konselor dalam menangkap pesan yang tersirat di balik pembicaraan konseli.


(49)

32 -

h. Eksplorasi

Adalah suatu teknik / cara bagi konselor dalam menggali permasahan konseli secara lebih mendalam.

i. Konfrontasi (pertentangan)

Konfrontasi ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor untuk menunjukan adanya kesenjangan, diskrepansi atau inkronguensi dalam diri klien kemudian konselor mengumpanbalikan kepada klien.

p. Interprestasi ( penafsiran )

Interprestasi adalah ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor dimana atau karena tingkah laku klien ditafsirkan / diduga dan dimengerti dengan dikomunikasikan pada klien. Selain itu didalam interpretasi konselor menggali dan makna yang terdapat dibelakang kata-kata klien atau dibelakang perbuatan / tindakannya yang telah diceritakannya. Bertujuan membantu klien lebih memahami didiri sendiri bila mana klien bersedia mempertimbangkannya dengan pikiran terbuka.

j. Termination (pengakhiran)

Termination ( pengakhiran ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk mengakhiri komunikasi berikutnya maupun mengakhiri karena komunikasi konseling betul-betul telah “berakhir”.


(50)

33 -

D. Konseling Individu untuk Meningkatkan Konsep Diri Tunarungu Dari pemahaman tentang tunarungu, permasalahan rendahnya konsep diri yang dihadapi oleh tunarungu adalah rendahnya kemampuan komunikasi yang menyebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh tunarungu, sulitnya tunarungu mengungkapkan perasaan, banyak permasalahan tunarungu yang tidak terungkap. Maka dari itu sangat dibutuhkan teman dengar yang mampu memahami tunarungu dan memberikan informasi dan membantu tunarungu. Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Anak dengan tunarungu sangat membutuhkan bimbingan berbeda dengan anak lainnya, baik proses belajar maupun proses sosialisasinya. Penyandang tunarungu mengalami hambatan pada komunikasi dan bahasa yang mengakibatkan mereka sulit untuk bergaul dan mendapatkan informasi. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Kita ketahui bahwa saat ini sangat sedikit orang normal yang menguasai bahasa isyarat maka dari itu banyak tunarungu yang hanya mau berkomunikasi dengan sesama tunarungu saja atau orang yang menguasai bahasa isyarat.


(51)

34 -

Pengertian konseling individual mempunyai makna spesifik dalam arti pertemuan konselor dengan klien secara individual, dimana terjadi hubungan konseling yang bernuansa rapport, dan konselor berupaya memberikan bantuan untuk pengembanagn pribadi klien serta klien dapat mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapinya.

Konseling individu adalah kunci semua kegiatan bimbingan dan konseling. Karena jika menguasai teknik-teknik konseling individual berarti akan mudah menjalankan proses bimbingan dan konseling yang lain seperti disebutkan di atas. Proses konseling Individual merupakan relasi antara konselor dengan konselee dengan tujuan agar tercapainya tujuan klien. Dengan kata lain tujuan konseling adalah tujuan konsele itu sendiri. Pengembangan potensi intelektual menunjang tumbuhnya kreativitas dan produktivitas. Perkembangan sosial berorientasi pada pengambangan relationship with other, yaitu agar klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain dikeluarga, sekolah, tempat pekerjaan, dan masyarakat. Sedangkan perkembangan emosional bertujuan agar terbentuk emosi yang stabil, dan sikap mental yang positif terhadap diri dan dunia luar. Jika aspek intelektual, sosial, dan emosional saja yang berkembang, sedang aspek moral-religius lemah, maka kepribadian klien tidak seimbang. Konsekuensinya, individu akan menjadi manusia duniawi yang takabur, sombong dengan kemampuannya, dan bahkan egoistic dan serakah. Jika klien dikembangkan juga iman dan taqwanya, maka dia akan menjadi manusia sukses yang bersyukur, suka membantu, dan toleransi.


(52)

35 -

Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Di era yang modern ini sangatlah penting bagi setiap individu untuk memahami maupun mengenal konsep diri. Namun bagaimana dengan mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Padahal hidup mestilah dihormati bagaimanapun wujud nya bagi setiap orang, pada dasar nya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat.

Corey (2001) menjelaskan bahwa konselor menangani klien yang mengalami apa yang dikatakan keberadaan terbatas (restricted existence). Klien seperti ini khususnya yang memiliki keterbatasan pendengaran dan bicara memiliki konsep diri yang rendah tentang dirinya sendiri dan biasanya tidak mampu melihat sifat problema yang dihadapinya secara jelas. Mereka mungkin hanya bisa melihat sedikit saja dari pilihan-pilihan terhadap cara yang terbatas untuk bisa menangani situasi hidup, dan mereka cenderung untuk merasa terjebak dan tak berdaya. Tugas sentral dari terapis adalah langsung mengkonfrontasikan klien ini dengan cara hidup mereka dalam keberadaan terbatas ini dan menolong mereka untuk bisa menyadari bahwa mereka sendiri ikut berperan dalam menciptakan kondisi semacam itu maka sangat dibutuhkan seorang konselor yang mampu berkomunikasi dengan mereka. Kemampuan bahasa yang mereka mengerti yang dipadukan dengan teknik-teknik konseling yang dikuasai konselor diharapkan mampu memperbaiki konsep diri tunarungu yang inferior dibanding anak normal lainnya.


(53)

36

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali (Sugiyono, 2010:10). Sedangkan untuk desain yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design, yaitu pelaksanaan eksperimen yang dilakukan dengan memberikan perlakuan X terhadap subjek. Sebelum diberikan perlakuan subjek diberikan pretest (O1) yakni uji coba sebelum perlakuan dan setelah perlakuan diberi posttest (O2) atau uji coba setelah diberikan perlakuan.

Berikut akan digambarkan dalam bentuk bagan:

Gambar 3.1 One Pre Test Post Test Design

Sebelum perlakuan Treatment Setelah perlakuan Keterangan :

O1 : Nilai sebelum diberikan perlakuan

X : Perlakuan

O2 : Nilai setelah diberikan perlakuan

O1 X O2


(54)

37

Dalam penelitian ini sebelum diberikan konseling individu, subjek diberi sebuah pretest dengan mengisi sebuah skala konsep diri dengan tujuan untuk menentukan perolehan skor sebelum perlakuan. Selanjutnya subjek tersebut diberikan konseling individu. Setelah diberikan konseling individu, peneliti akan memberikan deskripsi tentang perubahan yang terjadi terhadap diri klien baik secara intrapersonal maupun interpersonal.

B. Subjek Penelitian

Menurut Musfiqon (2012:97) subjek penelitian adalah individu yang terlibat dalam penelitian dan keberadaannya menjadi sumber data penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah tunarungu yang memiliki konsep diri rendah. Subjek ini didapat dari hasil observasi yang dilakukan oleh penulis selama 1 bulan di organisasi Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Penulis disini juga bertugas sebagai Interpreter (penerjemah bahasa isyarat) di organisasi ini dan banyak melakukan interaksi dengan penyandang tunarungu. Setelah memberikan pre-test terhadap 16 orang tunarungu, terdapat 5 orang yang memiliki skor terendah. Setelah itu peneliti memberikan surat persetujuan untuk menjadi subjek penelitian terhadap 5 orang tersebut tetapi hanya 2 orang yang menandatangani dan bersedia menjadi subjek penelitian.


(55)

38

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian dapat dinyatakan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Berdasarkan pengertian variabel di atas, maka penelitian ini mempunyai dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas penelitian ini adalah konseling individu. Sedangkan variabel terikatnya adalah konsep diri tunarungu.

2. Definisi Operasional Variabel

a. Konsep Diri

Konsep diri adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya sendiri, mampu bersikap terbuka, tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain, bahkan dalam situasi yang masih asing, cepat tanggap pada situasi di sekelilingnya, merasa setara dengan orang lain, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, perilaku yang kurang disetujui oleh lingkungan sosial, mampu memperbaiki diri karena sanggup untuk mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha merubahnya, serta menerima pujian tanpa rasa malu.


(56)

39

b. Konseling Individu

Konseling Individu adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi individu untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.

Konseling individual merupakan pelayanan bantuan secara profesional melalui hubungan khusus secara pribadi dalam wawancara antara seorang konselor dan seorang untuk mengentaskan masalah yang dihadapi individu dalam kehidupannya. Konseli mengalami kesukaran pribadi yang tidak dapat ia pecahkan sendiri, kemudian ia meminta bantuan konselor sebagai petugas yang profesional dalam jabatannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

D. Metode Pengumpulan Data

Suatu penelitian selalu terjadi proses pengumpulan data untuk memperoleh data yang sejelas-jelasnya. Menurut Arikunto (2006:149), metode pengumpulan data ialah cara memperoleh data. Peneliti akan menggunakan beberapa metode atau cara untuk memperoleh data-data yang diperlukan.

Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penelitian ini penulis menggunakan cara-cara sebagai berikut dalam mengumpulkan data:


(57)

40

1. Skala Konsep Diri

Menurut Sugiyono (2010:133) skala merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan skala model Likert untuk menjaring dan mengkategorikan subjek. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dengan pemberian skor untuk setiap jawaban.

Adapun pemberian skor tersebut untuk pernyataan favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = Skor 4, S (Sesuai) = Skor 3, TS (Tidak Sesuai) = Skor 2, STS (Sangat Tidak Sesuai = Skor 1, dan jika pernyataannya unfavorable maka skornya SS (Sangat Sesuai) = Skor 1, S (Sesuai) = Skor 2, TS (Tidak Sesuai) = Skor 3, STS (Sangat Tidak Sesuai) = Skor 4.


(58)

41

Tabel 3.1 Kriteria bobot nilai pada skala psikologi

No. Pernyataan

Sangat Sesuai (SS) Sesuai (S) Tidak Sesuai (TS) Sangat Tidak Sesuai (STS)

1. Pernyataan

favorable 5 4 2 1

2. Pernyataan

unfavorable 1 2 4 5

Skala yang penulis gunakan merupakan adaptasi dari Fitts yakni Tennessee Self Concept Scale dengan jumlah 70 pertanyaan.

Kriteria skala Konsep Diri siswa dikategorikan menjadi 3 yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mengkategorikannya, terlebih dahulu ditentukan besarnya interval dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: i : interval

: nilai tertinggi : nilai terendah : jumlah kategori

 

45 3 1 45 4 45      i


(59)

42

Tabel 3.2 Kriteria Konsep Diri Tunarungu

Interval Kriteria

136 – 180 Tinggi

91 – 135 Sedang

45 – 90 Rendah

Semakin besar skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi pula tingkat Konsep diri positif dan sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan tingkat konsep diri positif yang rendah pada diri tunarungu. Penilaian dalam Skala ini adalah sebagai berikut:

1. sangat setuju 2. setuju 3. kurang setuju 4. tidak setuju


(60)

43

Berikut ini adalah tabel kisi-kisi konsep diri: Tabel 3.3 Kisi-Kisi Konsep Diri

No. Aspek Nomor Item Jumlah Item yang Gugur

Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable 1. Identity Self

(diri identitas)

57 11, 21, 63 4 - 63

2. Behavioral Self (diri pelaku)

2, 8, 52, 53, 69 19, 23, 24, 28, 36, 46, 59, 68

13 2, 8, 69 23, 46, 3. Judging Self (

penerimaan diri)

7, 9, 27, 35, 51, 55, 62, 66

13, 18, 58 10 9, 27, 55, 66

-

4. Physical Self (diri fisik)

1, 17, 40, 47, 48

25 7 1 -

5. Moral-Ethical Self ( diri etik-moral)

6, 41, 49, 60, 64

26, 33, 38, 39 10 60, 64 33

6. Personal Self (diri pribadi)

4, 15, 20, 45, 56, 70

14, 29, 32, 50, 67

10 4, 20, 70 67

7. Family Self (diri keluarga)

3, 10, 12, 22, 42, 44, 54

30, 31, 43, 65 11 10, 12, 44, 54

30, 31 8. Social Self (diri

sosial)

5, 16, 37, 34, 61 5 - 61

Metode ini dimaksud untuk melihat dan meneliti perilaku klien baik di lingkungan bermain, lingkungan rumah, maupun kegiatan berorganisasi agar bisa dibandingkan secara cermat perubahan klien sebelum dengan sesudah


(61)

44

diberikan layanan konseling individu. Dokumentasi yang dikumpulkan berupa foto-foto dan video kegiatan klien.

F. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen

1. Uji Validitas Instrumen

Menurut Arikunto (2006: 144-145) validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah.

Pada penelitian ini, peneliti mengunakan validitas konstruk (Construck Validity). Azwar (2012: 53) menjelaskan validitas konstruk merupakan ketepatan yang menunjukan sejauh mana tes mengungkap suatu konstruk teoritik yang hendak diukur.

Selanjutnya analisis item yang dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total. Analisis item dilakukan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Science) 17 dengan rumus korelasi Pearson product moment. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:


(62)

45

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi antara X dan Y

N = Jumlah sampel X = jumlah skor item Y = jumlah skor total ∑X2

= jumlah kuadrat butir ∑Y2

= jumlah kuadrat total

∑X = jumlah skor butir, masing-masing item ∑Y = jumlah kuadrat butir

Berdasarkan hasil uji coba skala yang dilakukan oleh penulis maka didapatkan validitas sebanyak 45 item yang berkontribusi dan 25 item yang tidak berkontribusi pernyataan yang kemudian disusun menjadi skala dengan range angka validitas dari 0,31 sampai dengan 0,77 sehingga skala tersebut dapat digunakan untuk mengukur konsep diri. (Lihat lampiran II halaman 74)

2. Uji Reliabilitas

Menurut Arikunto (2006: 154) reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen itu sudah baik.


(63)

46

Teknik mencari reliabilitas dalam penelitian ini yaitu menggunakan rumus alpha, yaitu :                

2

1 2 1 1

b tt k k r Keterangan :

: Reliabilitas total

: Banyaknya butir pertanyaan 2

b

 : Jumlah varian butir 2

1

 : Varian Total

Untuk mengetahui tinggi rendahnya reliabilitas menggunakan kriteria reliabilitas sebagai berikut :

0,8-1,000 = sangat tinggi 0,6- 0,799 = tinggi

0,4- 0,599 = cukup tinggi 0,2- 0,399 = rendah

0<0,200 = sangat rendah

Berdasarkan hasil penghitungan reliabilitas diperoleh tingkat reliabilitas sebesar 0,941. Dengan demikian Skala ini memiliki reliabilitas skala sangat tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengukur konsep diri. (lihat lampiran III halaman 77)

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data


(64)

47

yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2010:208)

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengemukakan hasil pengukuran data penelitian berupa data kuantitatif yang akan dihitung dengan teknik deskriptif prosentase. Teknik analisis data deskriptif prosentase dimaksudkan untuk mengetahui status variabel, yaitu mendeskripsikan hasil perubahan sikap yang terjadi setelah pemberian layanan konseling individu pada tunarungu di organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2013-2014

P = F/N x 100%

P 1 = (92-83) x 100% = 10,84% 83

P 2 = (95-85) x 100% = 11,76% 85

Artinya, terjadi peningkatan skor konsep diri sebelum dan setelah diberikan layanan konseling Individu namun perubahan yang terjadi masih dibawah 50%. Martin and Pear (1992:285). Bisa disimpulkan bahwa konsep diri tunarungu tidak dapat ditingkatkan dengan konseling Individu di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2013/2014.


(65)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara statistik konsep diri tunarungu dapat ditingkatkan menggunakan konseling individu di Organisasi Gerkatin Bandar lampung. Hal ini terbukti dari peningkatan hasil pre-test dan post-test klien Ade sebanyak 10,48% dan klien Chandra sebanyak 11,76%. Dengan demikian Ha diterima dan Ho ditolak. Itu berarti konseling individu tidak dapat meningkatkan konsep diri di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung Tahun 2013-2014.

B. Saran

Setelah penulis menyelesaikan penelitian, membahas dan mengambil kesimpulan dari penelitian ini, maka dengan ini penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Kepada anggota organisasi Gerkatin Bandar Lampung, diharapkan dapat melakukan konseling individu jika memiliki suatu permasalahn atau hal yang harus diselesaikan agar bisa diberi layanan yang tepat oleh konselor sesuai kemampuan tunarungu.

2. Kepada guru bimbingan dan konseling yang ada di lingkungan pendidikan inklusi hendaknya juga melaksanakan konseling individu terhadap penyandang tunarungu, karena mereka juga butuh seorang konselor yang


(66)

68

mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalah dan membantu menigkatkan konsep diri tunarungu .

3. Kepada para peneliti lain hendaknya menggunakan teknik konseling keperilakuan dalam melaksanakan konseling individu khususnya terhadap penyandang tunarungu karena selain terkendala bahasa, sehingga konselor membutuhkan ahli bahasa isyarat (Interpreter). Konselor juga harus mengenal karakteristik penyandang tunarungu dengan baik agar kita bisa membantu mereka sesuai kebutuhan.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Burns, R. B, 1993. Konsep Diri (Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Prilaku.

Jakarta: Arcan

Calhoun, J. F, 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian Hubungan dan Kemanusiaan. IKIP Semarang Press: Semarang

Edward, L. 2008. Psychological Processes in Deaf Children with Complex Needs. London : British Library Cataloguing in Publication Data

Marteen, G. & Pear, J. 1992. Behaviour Modification : What It Is and How To Do It. Prentice-Hall: New Jersey

Musfiqon, H. M. 2012. Metodologi Penelitian. Prestasi Pustaka: Jakarta

Prayitno & Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta: Jakarta.

Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosda Karya: Jakarta Soemantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Rafika Aditama Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


(1)

45

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi antara X dan Y N = Jumlah sampel

X = jumlah skor item Y = jumlah skor total ∑X2

= jumlah kuadrat butir ∑Y2

= jumlah kuadrat total

∑X = jumlah skor butir, masing-masing item ∑Y = jumlah kuadrat butir

Berdasarkan hasil uji coba skala yang dilakukan oleh penulis maka didapatkan validitas sebanyak 45 item yang berkontribusi dan 25 item yang tidak berkontribusi pernyataan yang kemudian disusun menjadi skala dengan range angka validitas dari 0,31 sampai dengan 0,77 sehingga skala tersebut dapat digunakan untuk mengukur konsep diri. (Lihat lampiran II halaman 74)

2. Uji Reliabilitas

Menurut Arikunto (2006: 154) reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen itu sudah baik.


(2)

Teknik mencari reliabilitas dalam penelitian ini yaitu menggunakan rumus alpha, yaitu :                

2

1 2 1 1

b tt k k r Keterangan :

: Reliabilitas total

: Banyaknya butir pertanyaan 2

b

 : Jumlah varian butir 2

1

 : Varian Total

Untuk mengetahui tinggi rendahnya reliabilitas menggunakan kriteria reliabilitas sebagai berikut :

0,8-1,000 = sangat tinggi 0,6- 0,799 = tinggi

0,4- 0,599 = cukup tinggi 0,2- 0,399 = rendah

0<0,200 = sangat rendah

Berdasarkan hasil penghitungan reliabilitas diperoleh tingkat reliabilitas sebesar 0,941. Dengan demikian Skala ini memiliki reliabilitas skala sangat tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengukur konsep diri. (lihat lampiran III halaman 77)

3. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data


(3)

47

yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2010:208)

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengemukakan hasil pengukuran data penelitian berupa data kuantitatif yang akan dihitung dengan teknik deskriptif prosentase. Teknik analisis data deskriptif prosentase dimaksudkan untuk mengetahui status variabel, yaitu mendeskripsikan hasil perubahan sikap yang terjadi setelah pemberian layanan konseling individu pada tunarungu di organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2013-2014

P = F/N x 100%

P 1 = (92-83) x 100% = 10,84% 83

P 2 = (95-85) x 100% = 11,76% 85

Artinya, terjadi peningkatan skor konsep diri sebelum dan setelah diberikan layanan konseling Individu namun perubahan yang terjadi masih dibawah 50%. Martin and Pear (1992:285). Bisa disimpulkan bahwa konsep diri tunarungu tidak dapat ditingkatkan dengan konseling Individu di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung tahun 2013/2014.


(4)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara statistik konsep diri tunarungu dapat ditingkatkan menggunakan konseling individu di Organisasi Gerkatin Bandar lampung. Hal ini terbukti dari peningkatan hasil pre-test dan post-test klien Ade sebanyak 10,48% dan klien Chandra sebanyak 11,76%. Dengan demikian Ha diterima dan Ho ditolak. Itu berarti konseling individu tidak dapat meningkatkan konsep diri di Organisasi Gerkatin Bandar Lampung Tahun 2013-2014.

B. Saran

Setelah penulis menyelesaikan penelitian, membahas dan mengambil kesimpulan dari penelitian ini, maka dengan ini penulis mengajukan saran sebagai berikut:

1. Kepada anggota organisasi Gerkatin Bandar Lampung, diharapkan dapat melakukan konseling individu jika memiliki suatu permasalahn atau hal yang harus diselesaikan agar bisa diberi layanan yang tepat oleh konselor sesuai kemampuan tunarungu.

2. Kepada guru bimbingan dan konseling yang ada di lingkungan pendidikan inklusi hendaknya juga melaksanakan konseling individu terhadap penyandang tunarungu, karena mereka juga butuh seorang konselor yang


(5)

68

mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalah dan membantu menigkatkan konsep diri tunarungu .

3. Kepada para peneliti lain hendaknya menggunakan teknik konseling keperilakuan dalam melaksanakan konseling individu khususnya terhadap penyandang tunarungu karena selain terkendala bahasa, sehingga konselor membutuhkan ahli bahasa isyarat (Interpreter). Konselor juga harus mengenal karakteristik penyandang tunarungu dengan baik agar kita bisa membantu mereka sesuai kebutuhan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Burns, R. B, 1993. Konsep Diri (Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Prilaku.

Jakarta: Arcan

Calhoun, J. F, 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian Hubungan dan Kemanusiaan. IKIP Semarang Press: Semarang

Edward, L. 2008. Psychological Processes in Deaf Children with Complex Needs. London : British Library Cataloguing in Publication Data

Marteen, G. & Pear, J. 1992. Behaviour Modification : What It Is and How To Do It. Prentice-Hall: New Jersey

Musfiqon, H. M. 2012. Metodologi Penelitian. Prestasi Pustaka: Jakarta

Prayitno & Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Rineka Cipta: Jakarta.

Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosda Karya: Jakarta Soemantri, S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Rafika Aditama Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.