Perjalanan Karir Jenderal Soedirman

jambore dan perkemahan. Melalui jambore ini, ia ingin benar-benar membina fisik, mental, serta uji ketakwaan bagi setiap anggota HW. Dalam rangkaian kegiatan jambore, ia sering memberikan ceramah-ceramah, pengajian, dan nasihat-nasihat yang sesuai dengan ajaran Islam dan etika kepanduan.

B. Perjalanan Karir Jenderal Soedirman

Setelah lulus dari MULO, Soedirman sempat melanjutkan ke HIK Muhammadyah Surakarta. Tidak sampai dari satu tahun Soedirman keluar. Ia kembali ke Cilacap dan menjadi guru dan aktif di gerakan Muhammadyah. Ia berdakwah dan mengajarkan tentang Islam. Pada tahun 1933-1937, Soedirman sangat aktif di dalam organisasi pergerakan Muhammadyah di Cilacap. Ia memulai aktivitasnya di organisasi Pemuda Muhammadyah. Selain itu, Soedirman juga pandai berpidato. Ia selalu menggunakan bahasa-bahasa yang santun dan sederhana. Cara bicaranya jelas dan perlahan. Isi dari pidato Soedirman tidak muluk-muluk. Pidato adalah salah satu kelebihan lain dari Soedirman. Pada tahun 1937 diadakan pemilihan Pimpinan Pemuda Muhammadyah. Soedirman terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadyah WMPM wilayah Banyumas. Dengan jabatan itu, maka Soedirman memiliki posisi tertinggi di dalam organisasi Pemuda Muhammadyah di Banyumas. Soedirman sangat paham apa yang menjadi keinginan dari para anggota. Keinginan itu misalnya kegiatan olahraga, kesenian, dan kegiatan kepanduan. Tidak hanya itu, kegiatan kursus-kursus untuk menambah wawasan, keterampilan, dan pengetahuan para anggota pun juga diperhatikan. Dengan kegiatan itu, maka di bawah kepemimpinan Soedirman organisasi Pemuda Muhammadyah Banyumas berkembang pesat. Tahun 1934 Soedirman lulus dari MULO Wiworotomo. Sebagai lulusan MULO ia belum berkompeten untuk menjadi guru. Padahal Soedirman sangat ingin menjadi seorang pendidik. Pada saat itu memang tidak banyak guru yang memiliki kualifikasi ijazah sekolah guru. Guru biasa pun boleh asal yang bersangkutan mau belajar dan menyempurnakan pengetahuan dalam bidang keguruan. Kebijakan ini memang tepat diambil sesuai dengan kondisi wilayah Cilacap, mengingat waktu itu sedang dalam perjuangan melawan kolonial. Kebetulan HIS Muhammadyah Cilacap sedang membutuhkan guru. Soedirman memberanikan diri untuk mengikuti les privat kepada guru-guru yang pernah mengajar di Wiworotomo. Semua itu dilakukan agar keinginannya untuk menjadi pendidik. Usaha Soedirman didukung olehn R. Moh. Kholil sebagai pihak pimpinan Muhammadyah. Dengan keseriusan dan ketekunannya, ia menguasai teori-teori dan praktek sebagai layaknya seorang guru . bahkan tanpa ragu-ragu pimpinan Muhammadyah Cilacap menetapkan secara resmi dan mengangkat Soedirman sebagai guru di HIS Muhammadyah. Selain sebagai guru di HIS Muhammadyah, Soedirman juga bekerja di Koperasi Wijayakusuma Cilacap. Bahkan dia juga pernah menjadi Ketua Perkoperasian Bangsa Indonesia. Meskipun begitu, Soedirman tetap memiliki komitmen yang tinggi sebagai guru. Dia pandai membagai waktu, meskipun dia juga sibuk sebagai pimpinan HW dan anggota Pemuda Muhammadyah. Soedirman dikenal sebagai guru yang tertib, disiplin, dan bertanggung jawab. Mengingat prestasi, penampilan, wawasan, dan kepemimpinannya maka Soedirman dipilih sebagai Kepala Sekolah di HIS Muhammadyah. Soedirman menjadi Kepala Sekolah yang moderat, demokratis, dan akomodatif. Inilah Soedirman sebagai guru yang teladan. Ia selalu memegang prinsip kepemimpinannya yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa , dan tut wuri handayani . Arti dari prinsip itu adalah “Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan” Sardiman, 2008: 83. Pada tahun 1936, Soedirman mulai melakukan kegiatan dakwah. Soedirman banyak minta bimbingan dengan R. Moh. Kholil seorang perintis perkembangan Muhammadyah di Cilacap. Mereka bertukar pikiran seputar dakwah . Selain itu, Soedirman juga belajar dari Kiai Markhum, yaitu seorang Imam Besar Masjid Cilacap saat itu. Dalam dakwahnya Soedirman sangat memperhatikan keadaan kehidupan masyarakat. Ia menekankan pentingnya kehidupan beragama bagi masyarakat. Untuk itu para anggota masyarakat perlu berpedoman pada tali agama. Soedirman selalu memberikan contoh tentang hubungan antara anak dan orang tua. Lebih luas lagi bagaimana hubungan antar manusia di dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan Tuhan Dinas Sejarah TNI AD, 1985:19. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, tidak begitu memperhatikan sistem pertahanan rakyat. Hal itu dikarenakan pihak Belanda sangat curiga dengan adanya pertahanan rakyat yang dibentuk kaum bumiputera. Namun pada masa Perang Dunia II berkobar, hal itu sangat mengancam kawasan Asia khususnya tanah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda mulai berpikir perlu adanya pasukan pertahanan oleh bumiputera. Tahun 1940 tercapai persetujuan Tripartie Pact antara Jerman, Italia, dan Jepang. Persetujuan itu menunjukkan bahwa perang akan meluas ke daerah selatan seperti Indocina, Birma, Thailand, Jepang, Indonesia, dan Filiphina. Hal itu terbukti setelah Jepang berhasil menggempur pangkalan Amerika Serikat di kepulauan Hawai. Itu semua membuat pecahnya Perang Pasifik. Tentara Jepang melakukan ofensif ke daerah-daerah selatan, termasuk Indonesia. Berkaitan dengan itu, Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia mulai sadar pentingnya pertahanan rakyat. Untuk menghadapi keadaan itu, pada tahun1941 dibentuklah Inheemse Militer . Rakyat mulai diberi penerangan serta latihan cara menghadapi serangan udara. Untuk menertibkan masyarakat menghadapi bahaya udara itu, maka dibentuklah Luch Bischermen Diens LBD atau Penjagaan Bahaya Udara Solichin Salam, 1963:23 Soedirman sebagai tokoh masyarakatikut terjun ke dalam LBD Cilacap. Mengingat ketokohan dan aktivitasnya, ia ditunjuk sebagai kepala LBD Sektor Cilacap. Sebagai kepala LBD maka Soedirman bertanggung jawab atas keamanan masyarakat. Ia berkeliling ke berbagai tempat untuk memberikan penerangan tentang cara menyelamatkan diri apabila terjadi serangan udara. Soedirman sebagai tokoh di Cilacap selalu berupaya membela rakyat. Ia mulai mewaspadai tindakan Jepang. Mengingat Jepang telah berhasil mendarat di Jawa sejak 1 Maret 1942 yang dipimpin Jenderal Immamura. Memasuki tahun 1942-1943, perkembangan Perang Pasifik menunjukkan titik balik. Di beberapa tempat, Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Hal itu juga mengancam kedudukan Jepang di Indonesia. Jepang meningkatkan usahanya untuk menarik simpati rakyat untuk mempertahankan kedudukannya di Indonesia. Kaitannya dengan itu Jepang mulai mendirikan organisasi pergerakan seperti Seinendan dan Keibodan. Selain itu Jepang juga mendirikan Chuo Sangi In Dewan Penasihat yang berada di Jakarta. Dewan Penasihat ini diketuai oleh Soekarno. Di daerah karesidenan, mulai didirikan Syu Sangi Kai . Di daerah karesidenan Banyumas yang terpilih sebagai anggota dari daerah Cilacap adalah Soedirman dan Efendi Sardiman, 2008: 105. Bagi Soedirman kedudukan sebagai anggota dewan ini merupakan suatu kepercayaan. Namun demikian Soedirman tetap waspada dan berhati-hati. Jepang mengharapkan agar Soedirman dengan pengaruhnya dapat menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menyerahkan hasil bumi. Namun dalam hati nuraninya, Soedirman menolak kebijakan Jepang. Pada tahun 1944 dibentuklah Jawa Hokokai oleh Jepang di Banyumas. Soedirman juga terpilih sebagai anggota. Pada saat masuk organisasi ini, Soedirman tetap memikirkan nasib rakyat. Soedirman mengurangi upaya-upaya pemerintah Jepang untuk merampas kekayaan bumiputera. Jepang juga membentuk pasukan inti penggerak rakyat, sebagai bentuk pasukan yang mempertahankan daerahnya masing-masing secara regional. Pasukan itu disebut dengan Pembela Tanah Air PETA yang dibentuk pada tahun 1943. Banyak dari pemuda Indonesia masuk sebagai anggota PETA. Hal itu dikarenakan rakyat dan para tokoh Indonesia menghendaki untuk ikut serta secara aktif membela bangsanya. Salah seorang yang ikut sebgai anggota PETA adalah Soedirman. Soedirman pada waktu itu terpilih sebagai calon Daidancho komandan batalyon. Untuk menjadi calon Daidancho memang tidak memandang latar belakang pendidikan. Akan tetapi yang paling penting adalah memiliki kecakapan memimpin dan mengatur rombongan. Soedirman adalah figur yang tepat untuk itu. Ia harus meninggalkan Cilacap untuk dilatih di Bogor. Tempat pendidikan PETA di Bogor itu dikenal dengan Bogor Renseitai N.S.S. Tarjo, 1984:5. Dalam pendidikan PETA, Soedirman merasa mendapatkan wadah yang tepat untuk mengembangkan jiwa kemiliterannya. Setelah kurang lebih empat bulan, pendidikan PETA di Bogor diakhiri. Sesampainya di Cilacap, Soedirman ditugasi untuk membentuk Daidan Batalyon PETA. Sedangkan Soedirman sendiri menempati Daidan III yang berada di Kroya. Setelah kemerdekaan Indonesia, maka segera dibentuk pasukan Badan Keamanan Rakyat BKR. Badan ini terdiri dari bekas para anggota PETA. Soedirman dipilih sebagai ketua BKR Banyumas. Organisasi BKR mempunyai peranan penting dalam rangka melucuti senjata Jepang. Perjuangan bangsa Indonesia untuk menegakkan pemerintahan belum lengkap. Hal itu dikarenakan belum memiliki tentara sebagai perangkat penting dalam perjuangan fisik. Oleh karena itu, timbullah pikiran perlunya badan ketentaraan. Sehubungan dengan itu, maka dekeluarkanlah maklumat pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945. Maklumat itu berisi tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat TKR. Di Jawa Tengah waktu itu ada empat Divisi Jahja Muhaimin, 1971:29. Dalam perkembangannya, TKR itu dibentuk di daerah-daerah. Begitu juga di Banyumas mulai dibentuk TKR. Para pemuda yang aktif di BKR kemudian lebur dan masuk sebagai anggota TKR. Di wilayah Karesidenan Banyumas, TKR dijadikan dua resimen. Yakni Resimen Banyumas dan Purwokerto,dengan pangkat Kolonel. Langkah pertama yang diambil Soedirman selaku komandan adalah menertibkan susunan organisasi TKR, termasuk melengkapi personel pimpinan TKR di wilayah Purwokerto. Sudirman mulai memberikan wejangan kepada anak buahnya dalam rangka meningkatkan disiplin dan mempertebal semangat juangnya. Tidak berapa lama masuk sebagai anggota TKR, Soedirman terpilih sebagai pimpinan TKR. Sambil menunggu pengesahan dan pelantikan dari Pemerintah Pusat, Kolonel Sudirman melanjutkan tugas-tugasnya sebagai Komandan Divisi V Purwokerto. Ia terus melakukan koordinasi dengan para anggota TKR setempat, mengingat situasi negara semakin memanas. Di samping persoalan pelucutan senjata tentara Jepang yang belum tuntas, menyusul kedatangan tentara Sekutu. Ini semua memerlukan penanganan yang tegas dan arif, termasuk menyempurnakan organisasi ketentaraan Sardiman, 2008:135.

C. Pertempuran Ambarawa