Kinerja Aparatur Dinas Sosial Membina Anak Jalanan Di Kota Bandung

(1)

12 2.1 Tinjauan Pustaka

Penyelenggraan pemerintahan merupakan usaha dalam rangka mewujudkan ketertiban, keamanan, kesejahteranaan, dan kebahagiaan hidup warga masyarakat. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan selalu diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsinya akan terlihat secara nyata dari segi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pemerintah harus mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin dinamis.

2.1.1 Pengertian Kinerja

Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi.

“Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut” (Bastian,2001:329).

Pegawai adalah orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapatkan imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari pemerintah. Unsur manusia sebagai pegawai maka tujuan badan (wadah yang telah ditentukan) kemungkinan besar akan tercapai sebagaimana yang diharapkan. Pegawai inilah yang mengerjakan segala pekerjaan atau kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengertian kinerja pegawai adalah hasil


(2)

kerja perseorangan dalam suatu organisasi. Definisi kinerja diatas menjelaskan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh seluruh pegawai yang ada disuatu organisasi atau instansi pemerintah. Meningkatkan kinerja dalam sebuah organisasi atau instansi pemerintah merupakan tujuan atau target yang ingin dicapai oleh organisasi dan instansi pemerintah dalam memaksimalkan suatu kegiatan.

Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan. Suatu kinerja yang maksimal tidak akan terlepas dari faktor kepemimpinan dalam memotivasi bawahannya agar melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan efisien. Menurut Harbani Pasolong dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Birokrasi definisi kinerja adalah sebagai berikut:

“Kinerja adalah hasil dari pengaruh antara motivasi kerja, kemampuan dan peluang” (Pasolong, 2008:141).

Definisi tersebut bermakna bahwa kinerja merupakan suatu aktivitas yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur seperti motivasi kerja. Motivasi tersebut yaitu alasan yang mendasari seseorang melakukan suatu perbuatan, dalam hal ini berkaitan dengan suatu pekerjaan. Apabila seseorang memiliki suatu motivasi dalam melakukan setiap pekerjaannya maka individu tersebut akan berusaha optimal untuk mencapai tujuannya tersebut.

Motivasi kerja dapat dibentuk dari dua unsur yaitu Pertama, unsur internal yaitu timbul dari dalam diri seorang individu seperti mendapatkan gaji, ingin


(3)

mendapatkan penghargaan sesuai dengan hak dan kewajiban nya sebagai seorang yang melakukan aktivitas kerja. Kedua, unsur eksternal yaitu faktor kepemimpinan yang ada dalam suatu organisasi untuk memotivasi bawahan nya agar mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Seseorang yang memiliki kinerja baik apabila individu tersebut memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tepat waktu. Apabila individu sudah memiliki kemampuan yang cukup, individu tersebut harus dapat menangkap peluang yang ada agar program yang telah direncanakan oleh suatu lembaga negara dapat diketahui oleh masyarakat.

Definisi kinerja menurut Buku Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yaitu:

“Kinerja adalah keluaran atau hasil dari kegiatan atau program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur” (LAKIP, 2011:1).

Definisi tersebut bermakna bahwa yang dinamakan kinerja adalah gambaran dari suatu aktivitas mengenai tingkat pencapaian yang dilakukan suatu organisasi yang dituangkan dalam program-program untuk mencapai suatu tujuan sesuai dengan visi dan misi organisasi dalam memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat. Artinya bahwa rancangan program-program tersebut akan berkualitas apabila ada anggaran biaya yang cukup yang akan mempengaruhi pencapaian hasil berdasarkan kuantitas atau jumlah yang telah ditargetkan.

Kinerja dalam suatu organisasi merupakan berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Poin penting dari suatu organisasi yaitu mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya maka informasi mengenai kinerja sangatlah penting. Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat


(4)

ukur kinerja yang sesuai bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik.

Kinerja merupakan aktivitas yang terikat oleh tanggung jawab individu yang ada dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu tujuan. Karena organisasi merupakan satu kesatuan yang sistematis untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien maka keberadaan sumber daya manusia, struktur organisasi dan kepemimpinan berperan bagi keberhasilan tercapainya suatu kinerja yang baik.

2.1.2. Aparatur

Istilah aparatur negara (pemerintah) pada prinsipnya sama dengan istilah pegawai negeri. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian RI menyebutkan sebagai berikut:

Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD 1945, negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Definisi pegawai negeri atau aparatur diatas, bahwa pegawai negeri itu merupakan unsur aparatur negara yang memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada Negara dan masyarkat. Menurut Widjaja (2004:22), mengatakan bahwa: “Kita menyadari bahwa aparatur itu adalah sebagai aparatur pemerintah, abdi negara dan abdi masyarakat. Seorang administrator adalah seorang abdi (servant) bukan sebagai tuan (master)”. Istilah pegawai juga sering disamakan dengan


(5)

istilah personil, personalia, aparat, dan tenaga kerja. Menurut Wursanto (2005: 12) mengemukakan pengertian pegawai yaitu “Orang yang menyumbangkan tenaga dan jasanya dan bentuk usaha pemerintah ataupun swasta dan sebagai imbalan atas jasanya itu ia memperoleh upah atau gaji”. Pakar manajemen yang tidak sependapat dengan penggunaan istilah pegawai sebagai sesuatu yang sama dengan personil, aparat dan sebagainya, seperti yang dikemukakan Atmosudirdjo (2009: 56), bahwa:

Pengertian Personil adalah setiap orang yang menjadi salah satu pekerjaan (job), kewajiban (duty), tugas (task), jabatan (position) di dalam rumah tangga atau kerangka organisasi. Sedangkan pengertian pegawai, buruh, dan aparat adalah semua tenaga kerja yang secara yuridis tersebut kepada organisasi untuk berprestasi sesuai dengan tugas masing masing. Pengertian personal berarti urusan personil atau berkaitan dengan personil, pegawai, buruh, tenaga kerja dan sebagainya”.

Istilah pegawai negeri dalam artian normatif di Indonesia, dijumpai dalam Undang Nomor:18 Tahun 1961 dan diperbaharui dengan Undang Nomor 8 Tahun 1974 serta terakhir diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pada pasal 1 disebutkan bahwa:

Pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Undang-Undang


(6)

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian).

Empat faktor yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri, yakni :1). Memenuhi syarat yang ditentukan; 2). Diangkat oleh pejabat yang berwenang; 3). Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri; 4). Digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 terdiri dan 1). Pegawai Negeri Sipil; 2). Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan 3). Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.1.3. Kinerja Aparatur

Konsepsi kinerja aparatur selalu berkembang dari berbagai sudut pandang pendekatan, tetapi akan selalu mengarah kepada peningkatan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. Pegawai Negeri sebagai aparatur negara yang bekerja keras dan berhak mendapatkan reward (hadian). Sedangkan sebagian dari PNS yang cenderung tidak bisa mempertanggunjawabkan aktivitas kerja yang ditugaskannya, dipandang perlu untuk dievaluasi mengenai remunerasi yang didapatkannya. Dalam konsepsi kinerja aparatur yang perlu digarisbawahi adalah perlu ada upaya untuk menciptakan keseimbangan dalam reward atau remunerasi di semua lembaga-lembaga pemerintah. Agar tidak terjadi hanya lembaga-lembaga-lembaga-lembaga tertentu yang didahulukan remunerasinya, tetapi perlunya keadilan dan keseimbangan dalam pendapatan secara proporsional dan profesional.


(7)

Kinerja aparat pemerintah dalam birokrasi pemerintahan, padahal kinerja bagi aparat pemerintah merupakan salah satu syarat penting bagi pencapaian tujuan organisasi pemerintahan saat ini. Kinerja individu aparat pemerintah dikategorikan baik jika aparat memiliki keahlian tinggi dalam melaksanakan tugas dan penuh rasa tanggung jawab, serta bersedia digaji atau diupah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Individu aparat pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, maka harus menunjukkan kinerja tinggi. Kinerja aparat dinilai tinggi, ditandai dengan kemampuan dalam menciptakan kinerja pemerintahan secara keseluruhan dengan nilai yang tinggi juga.

Kinerja aparat pemerintah harus sejalan dengan etika,, karena “Etika dan hubungan kerja dapat diartikan sebagai terciptanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara pelaku dalam proses produksi ke arah peningkatan produksi dan produktivitas”. (Simorangkir, 2008: 135). Kinerja aparatur merupakan sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing berdasarkan moral dan etika tidak melanggar hukum dalam mencapai tujuan organisasi, maka kinerja aparatur pemerintah dipengaruhi berbagai faktor yaitu:

a. Fasilitas kerja, yaitu semua peralatan dan perlengkapan kerja tidak termasuk mesin utama yang diperlukan dan diisyaratkan.

b. Teknologi. Yang dimaksudkan dengan teknologi adalah mesin utama, baik mesin listrik ataupun manual yang diperlukan atau diisyaratkan untuk pelaksanaan tugas pemangku jabatan.


(8)

c. Praktek manajemen, yaitu pelaksanaan keputusan manajemen tentang pengelolaan pegawai pada suatu unit kerja dalam rangka pelaksanaan tugas unit. Termasuk dalam pengertian faktor ini adalah pemberian insentif, penyediaan peraturan kerja yang jelas dan pelaksanaan sanksi.

d. Gaya manajemen, yakni tipe kepemimpinan den pimpinan unit kerja yang ditampilkan berdasarkan kombinasi orientasi kepada tugas (task) dan orang

(people).

e. Keterampilan yang dimaksudkan dengan variabel ini adalah pendidikan, latihan dan pengalaman.

f. Motivasi kerja. Faktor ini merupakan penggerak yang membangkitkan, menimbulkan dan memulai perilaku pemangku jabatan dalam melakukan pekerjaan. Faktor ini meliputi ‘motif prestasi’ dan ‘tingkat kebutuhan manusia’.

g. Kepuasaan jabatan. Faktor ini merupakan sikap yang lebih diwarnai oleh perasaan terhadap situasi dan lingkungan kerja. Kepuasaan jabatan merupakan pencerminan dan kepuasaan seorang pegawai terhadap kondisi yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

(Hidayat dan Surcherly, 2006: 91).

Pendapat mengenai faktor yang mempengaruhi kinerja aparat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa yang menjadi indikator dari faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur negara terdiri dari fasilitas kerja, teknologi, praktek manajemen, gaya manajemen, keterampilan, motivasi kerja, serta kepuasan jabatan. Faktor yang mempengaruhi kinerja aparat tersebut akan mampu


(9)

membangkitkan semangat kerja yang disertai dengan etika kerja. Aparat akan merasa tidak puas dalam bekerja jika hasil kerjanya tidak sesuai target, merupakan bentuk aparat yang memiliki etika. “Etika kerja menandakan bahwa watak dan nilai dari individu-individu diungkapkan atau dinyatakan dalam pekerjaan yang mereka lakukan”. (Munandar dalam Ravianto, 2006: 52). Lebih lanjut yang dimaksud dengan etika tersebut akan berkaitan dengan nilai kerja keras untuk mencapai hasil yang ditargetkan yaitu:

Nilai bekerja keras adalah baik, akan terungkapkan dalam berbagai pola perilaku yang diterima sebagal pedoman atau teladan, misalnya perilaku semut hitam dengan Tridarmanya: melu handarbeni (merasa ikut serta memiliki), melu

hangrungkebi (merasa ikut serta bertanggung jawab) dan Mulad saliro

hangrosowani(senantiasa mawas diri). (Ravianto, 2006: 53) bahwa:

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa etika sangat berparan dalam membangun aparat untuk bereja keras. Berkenaan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, kinerja yang dimaksud adalah kinerja organisasi yang menyelenggarakan urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga sendiri yaitu dinas-dinas daerah, lembaga-lembaga teknis daerah serta sekretariat daerah secara keseluruhan. Penilaian kinerja organisasi itu penting bagi setiap organisasi karena seperti dikatakan Sedermayanti (2005 : 101) bahwa “Penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat juga dijadikan input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja dalam organisasi selanjutnya”. Dalam organisasi


(10)

pemerintahan, penilaian kerja sangat berguna dan sangat penting dilakukan dengan alasan sebagai berikut:

Penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan, memotivasi para birokrat pelaksana, memonitor para kontraktor, melakukan penyesuaian target, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani dan menuntun perbaikan dalam pelayanan publik (masyarakat). (Sedarmayanti (2005: 101).

Kinerja aparat sangat penting untuk dilakukan evaluasi agar diketahui dan dipahami mengenai kelebihan dan kekurangannya dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Indikator yang menjadi tolok ukur penilaian kinerja pada organisasi pemerintah. ada beberapa variabel kinerja yang terdiri dari komponen-komponen yaitu “Mutu pekerjaan, kejujuran aparat, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama, kendala, ketepatan dan efisiensi pelayanan pemerintah kepada masyarakat”. (Umar, 2008: 260). Kemudian yang menjadi indikator kinerja adalah seperti “…volume pelayanan, kualitas pelayanan dan kemampuan sumber daya bagi pelaksanaan program”. (Wibawa, 2004: 64).

Pemerintah merupakan lembaga atau badan-badan publik yang mempunyai fungsi untuk melakukan upaya guna untuk mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan adalah kegiatan dari lembaga-lembaga atau badan-badan publik tersebut dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Kinerja aparatur pemerintah berarti hasil kerja pemerintah yang dapat disefinisikan sebagai berikut:


(11)

“kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi”. (Bastian 2006:274)

Pendapat tentang kinerja diatas merujuk pada efektivitas dan efisiensi.

Performancesebagai "Effective and efficient work, which also considers personal

data such as measures of accidents, turnover, absence, and tardines". (David A.

De Cenzo dan Stephen P.Robins, 2006: 326). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa bekerja yang efektif dan efisien, dapat dipertimbangkan dari data pribadi sebagai ukuran kecelakaan, perputaran, ketidakhadiran, dan serta keluar/masuk pegawai. Efektivitas kerja dari sudut pandangan individu pekerja, maka akan jelas terlihat pentingnya prestasi kerja, sehingga prestasi kerja pegawai dapat dianggap sebagai hasil yang ditargetkan secara efektivitas. Prestasi kerja individu maksudnya merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor penting: (1) kemampuan perorangan dan minat seorang pekerja; (2) kejelasan dan penerimaan atas peranan seorang pekerja; (3) tingkat motivasi pekerja.

Kinerja di dalam sebuah organisasi sangat luas, masing-masing tingkatan mempunyai ukuran kinerja yang berbeda-beda. Untuk menganalisis kinerja terlebih dahulu ditetapkan tingkatan kinerja yang akan diukur. Tingkatan kinerja tersebut meliputi tiga tingkatan (targeted levels of performance), yaitu tingkatan

organizational, process dan individual (job/performer). Tapi masing-masing


(12)

The organization level "emphasizes the organization's relationship with its market and the basic 'skeleton' of the major function that comprise the organization". For the process level, the analyst must go "beyond the cross functional boundaries that make up the organization chart (to) see the work flow-how the work gets done". At this level "one must ensure that processes work effectivelly and efficiently, and that the process goals and measures are driven by the costumers' and the organization' requirements". At individual level, it is recognized that processes "are performed and managed by individuals doing

various jobs. (Rummler and Branche dalam Swanton 2004: 49)

Pernyataan diatas bahwa tingkatan organisasi menekankan hubungan organisasi tersebut dengan pasarnya dan dasar dalam rangka melakukan fungsi utama yang menjadi anggota organisasi. Proses mengukur, analis harus berada diluar batasan fungsional yang menyusun melengkapi struktur organisasi untuk lihat pekerjaan yang dilaksanakan. Pengukuran seseorang harus memastikan bahwa pekerjaan proses yang keefektivan dan secara efisien, dan bahwa/hasil proses dan ukuran dikemudikan pelaksana tugas dan kebutuhan organisasi. Tingkatan individu, dikenali dengan proses dilakukan dan diatur individu yang melakukan berbagai pekerjaan. Setelah menentukan pada tingkatan mana kinerja akan diukur, selanjutnya adalah melakukan pengukuran kinerja dari kelima dimensinya, yaitu:

1. Tujuan 2. Disain Sistem 3. Kapasitas


(13)

4. Motivasi

5. Keahlian (Swanton,2004: 253)

Kinerja organisasi dapat dikur dari kelima dimensi tersebut. Dimensi tujuan menjelaskan tentang tujuan atau misi suatu organisasi telah sesuai dengan kondisi lingkungan eksternal seperti factor ekonomi, politik dan budaya. Dimensi disain sistem menjelaskan mengenai struktur dan kebijakan organisasi mendukung kinerja yang diinginkan. Dimensi kapasitas menjelaskan tentang organisasi memiliki kepemimpinan, modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya. Dimensi motivasi menjelaskan mengenai kebijakan, budaya dan sistim insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan. Dimensi keahlian menjelaskan mengenai organisasi menciptakan serta memelihara kebijakan seleksi dan pelatihan sumber daya manusianya.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Aparatur

Tinggi atau rendahnya kinerja aparat akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga kinerja tidak bersifat tunggal. Faktor yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut satu sama lain saling berkaitan, sehingga jika satu faktor tidak berjalan, maka akan mempengaruhi juga faktor lainnya. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja sebagai berikut:

1) Manusia meliputi kualtitas (intelektual dan skill teknis operasional; tingkat keahlian; latar belakang kebudayaan dan pendidikan lingkungan/ pergaulan; kemampuan, sikap dan prilaku; bakat dan minat kerja; struktur pekerjaan, keahlian, dan umur (kadang-kadang jenis kelamin) dari angkatan kerja.


(14)

2) Modal meliputi modal tetap (mesin, gedung, alat-alat, volume dan strukturnya); teknologi R dan D (Research dan Development = Litbang); bahan baku (volume dan standar); metode/proses; tata ruang tugas; penanganan bahan baku penolong dan mesin; perencanaan dan pengawasan produksi; pemeliharaan melalui pencegahan; teknologi yang memakai cara alternatif.

3) Produksi meliputi kuantitas, kualitas, ruangan produksi, struktur campuran, spesialisasi produksi.

4) Lingkaran organisasi (internal) meliputi organisasi dan perencanaan, sistem manajemen, kondisi kerja (fisik), iklim kerja (sosial), tujuan organisasi dan hubungannya dengan tujuan lingkungan, sistem insentif, kebijakan personalia, gaya kepemimpinan, ukuran organisasi (ekonomi skala).

5) Lingkungan negara (eksternal) meliputi kondisi ekonomi dan perdagangan, struktur sosial dan politik, struktur industri, tujuan pengembangan jangka panjang, pengakuan atau pengesahan, kebijakan ekonomi pemerintah (perpajakan dan lain-lain), kebijakan tenaga kerja, kebijakan R dan D (Penelitian dan Pengembangan), kebijakan energi, kebijakan pendidikan dan latihan, kondisi iklim dan geografis, kebijakan perlindungan lingkungan.

6) Lingkungan internasional (regional) meliputi kondisi perdagangan dunia, masalah-masalah perdagangan internasional, NMK, investasi, usaha bersama, spesialisasi internasional, kebijakan migrasi tenaga kerja, fasilitas latihan internasional (regional), bantuan internasional, dan standar tenaga kerja dan teknik internasional.

7) Umpan balik meliputi aspek yang menjadi masukan untuk evaluasi yang tindakan yang telah dilakukan dan untuk perbaikan pada program yang akan datang.

(Sinungan, 2003: 56-58).

Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu sumber daya yang meliputi manusia, modal, produksi, lingkaran organisasi secara internal, lingkungan eksternal, lingkungan internasional, serta umpan balik. Kemudian J. Ravianto (2006:12) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparat sebagai berikut:

a. Pendidikan dan ketrampilan b. Disiplin


(15)

d. Motivasi

e. Tingkat penghasilan f. Lingkungan dan iklim g. Gizi dan kesehatan

h. Hubungan antara anggota keluarga i. Teknologi

j. Manajemen

k. Kesempatan berprestasi

Pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengruhi kinerja aparat yang menjadi pritoritas utama adalah pendidikan, pengalaman, serta keterampilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Kemudian yang tidak kalah pentingannya disiplin kerja, karena semuanya itu tidak mungkin bisa berjalan tanpa disertai dengan disiplin kerja. Hal ini membuktikan bahwa disiplin kerja sangat berpengaruh besar terhadap kinerja aparat sebagaimana seluruh pendapat pakar menyatakan bahwa disiplin kerja merupakan faktor penentu yang dapat membangun kinerja aparat. Rutinitas pekerjaan yang bersifat menantang dan penuh dengan keanekaragaman sifatnya akan menjadi dasar untuk membangkitkan karyaan dalam menigkatkan kinerjanya. “Kualitas dan kuantitas hasil kerja aparat merupakan wujud dari hasil dari kinerja aparat”. (Sedarmayanti, 2007: 109).

A. Dale Timple mengemukakan terdapat beberapa faktor dalam kinerja yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan sebagai berikut:


(16)

“Faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi” (dalam Mangkunegara, 2009:15).

Faktor internal dan faktor eksternal di atas merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat oleh para pegawai memiliki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada tindakan. Seorang pegawai yang mengangap kinerjanya baik berasal dari faktor-faktor internal seperti kemampuan atau upaya. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu mempunyai tipe pekerja keras. Sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

Sedangkan dalam Pasolong (2010:186) Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kemampuan

Pada dasarnya kemampuan menurut Robbins adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari dua segi (1) kemampuan intelektual yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental dan (2) kemampuan fisik yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan.

2. Kemauan

Kemauan atau motivasi menurut Robbins adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi. Kemauan atau motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, (a) pengaruh lingkungan fisik, yaitu setiap pegawai menghendaki lingkungan fisik yang baik untuk bekerja, lampu yang terang, ventilasi udara yang


(17)

nyaman, sejuk, bebas dari gangguan suara berisik. (b) pengaruh lingkungan sosial yaitu sebagai mahluk sosial dalam melaksanakan pekerjaan tidak semata-mata hanya mengejar penghasilan saja, tetapi juga mengharapkan penghargan oleh pegawai lain.

3. Energi

Tanpa adanya energi psikis dan fisik yang mencukupi, perbuatan kreatif pegawai terhambat. Melalui sebuah riset menunjukan bahwa orang-orang menjadi sukses dalam melakukan tugas jika mampu mencapai suatu keadaan yang disebut Flow atau mengalir. Ketika berada dalam keadaan mengalir, tingkat energi menjadi tinggi dan ketajaman mental serta mengelola pekerjaan lebih tinggi. Orang yang mengalir energinya jarang terhenti atau ragu pikirannya dan sangat tanggap terhadap tugas sehingga tindakannya hampir bersifat naluri.

4. Teknologi

Teknologi menurut Gibson adalah tindakan fisik dan mental oleh seseorang untuk mengubah bentuk atau isi dari objek atau ide. Jadi teknologi dapat dikatakan sebagai tindakan yang dikerjakan oleh individu atau suatu objek dengan atau tanpa bantuan alat atau mekanikal, untuk membuat beberapa perubahan terhadap objek tersebut.

5. Kompensasi

Kompensasi adalah sesuatu yang diterima oleh pegawai sebagai balas jasa atas kinerja dan bermanfaat baginya. Jika pegawai mendapatkan kompensasi yang setimpal dengan hasil kerjanya, maka pegawai dapat bekerja dengan tenang dan tekun. Akan tetapi bila pegawai merasa kompensasi yang diterima jauh dari memadai, maka pegawai berpikir mendua yaitu berusaha mancari penghasilan tambahan diluar, sehingga menyebabkan pegawai sering mangkir.

6. Kejelasan Tujuan

Kejelasan tujuan merupakan salah satu faktor penentu dalam pencapaian kinerja. Oleh karena pegawai yang tidak mengetahui dengan jelas tujuan pekerjaan yang hendak dicapai, maka tujuan yang tercapai tidak efisien dan atau kurang efektif.

7. Keamanan

Keamanan pekerjaan menurut George Strauss & Leonard Sayles adalah sebuah kebutuhan manusia yang fundamental, karena pada umumnya orang menyatakan lebih penting keamanan pekerjaan daripada gaji atau kenaikan pangkat. Seseorang yang merasa aman dalam melakukan pekerjaan berpengaruh terhadap kinerjanya.


(18)

Berdasarkan teori Pasolong diatas, faktor-faktor yang memepengaruhi terjadinya suatu kinerja adalah pertama Kemampuan, kemampuan yang dimiliki oleh aparatur Dinas Sosial untuk membina anak jalanan, apakah dia mampu secara fisik maupun mental. Kedua adalah Kemauan, apakah para aparatur tersebut memiliki kemauan atau motivasi dalam membina anak jalanan tersebut atau tidak. Ketiga yaitu Energi, energi dibutuhkan saat para aparatur akan memberikan arahan atau pembinaan terhadap anak jalanan, karena bila tidak ada energi meskipun secara fisik dan mental siap maka tidak akan maksimal. Keempat Teknologi, para aparatur harus mampu memaksimalkan teknologi yang ada dalam memberdayakan anak-anak jalanan di Kota Bandung. Kelima yaitu Kompensasi, kompensasi positif dari Kepala Dinas diharapkan akan melipat gandakan semangat para aparatur untuk bekerja sesuai bagian tugasnya masing-masing. Keenam adalah Kejelasan Tujuan, para aparatur tentunya mengharapkan kejelasan tujuan atau kejelasan tugas yang diberikan oleh atasannya. Ketujuh adalah Keamanan, keamanan dalam melakukan sebuah pekerjaan atau tugas tentunya sangat diharapkan oleh para aparatur dalam melakukan pekerjaannya sehari, hari.

2.1.5 Indikator Kinerja

Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun setelah kegiatan selesai dan


(19)

berfungsi. Indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi atau unit kerja yang bersangkutan menunjukan kemampuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan (Sedarmayanti,2010:198).

Menurut Kumorotomo dalam Pasolong, (2010:180) menggunakan beberapa indikator kinerja untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja birokrasi publik,antara lain:

1. Efisiensi yaitu menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik dalam memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.

2. Efektivitas yaitu apakah tujuan yang didirikan organisasi pelayanan publik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis,nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.

3. Keadilan yaitu mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini eratkaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan.

4. Daya Tanggap yaitu organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap Negara atau pemerintah akan kebutuhan masyarakat yang mendesak. Karena itu organisasi secara keseluruhan harus dapat di pertanggung jawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini.

(Kumorotomo dalam Pasolong, 2010:180)

Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan negatif mengenai birokrasi publik muncul karena ketidak puasan masyarakat terhadap kualitas layanan. Maka dari itu pelayanan publik harus diperbaharui hari demi harinya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu kemampuan birokrasi publik untuk menampung dan mengelola aspirasi masyarakat haruslah ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.


(20)

2.1.6 Pengukuran Kinerja Aparatur

Pengukuran kinerja aparat dalam suatu organisasi dapat digunakan sebagai sarana manajemen untuk menganalisa dan mendorong efisiensi produksi. Manfaat lainnya adalah untuk menentukan target, dan kegunaan praktis sebagai patokan dalam pembayaran upah aparat. Kriteria yang dipakai untuk melakukan suatu pengukuran kinerja aparat mudah dilakukan apabila diketahui jenis bidang pekerjaan yang akan diukur produktivitasnya. Secara umum jenis bidang pekerjaan dapat dibagi menjadi dua yaitu; (a) Production Job dan (b) Non

Production Job. Selanjutnya dijelaskan bahwa production job merupakan suatu

bidang pekerjaan yang hasilnya dengan segera dapat dilihat dan dapat dihitung secara langsung yaitu dengan menghitung jumlah produksi yang dicapai dalam satuan waktu tertentu. Sedangkan non production job merupakan suatu bidang pekerjaan yang hasilnya tidak dapat dilihat dan dihitung pada saat itu karena faktor pendukungnya sangat kompleks. Pengukuran kinerja merupakan sesuatu yang menarik, sebab mengukur hasil tenaga kerja dengan segala masalah yang bervariasi. Pengukuran kinerja aparat dihitung dengan melihat kuantitas produk yang dihasilkan tiap aparat persatuan waktu. Tujuan diadakannya pengukuran kinerja adalah untuk membandingkan hasil:

a. Pertambahan produksi dari waktu ke waktu b. Jangkauan wilayah pasar

c. Kualitas dan kuantitas pelanggan potensial d. Pertambahan pendapatan dari waktu ke waktu e. Pertambahan kesempatan kerja dari waktu ke waktu f. Jumlah hasil sendiri dengan orang lain

g. Komponen prestasi sendiri dengan komponen prestasi utama orang lain.


(21)

Pendapat diatas dapat diartikan bahwa yang menjadi tujuan utama dari pengukuran untuk meningkatkan kuantitas produk disetiap waktu, kemampuan perluasan jangkauan wilayah pasar, kualitas dan kuantitas pelanggan yang memiliki potensi, peningkatan kuantitas pendapatan disetiap kurun waktu, peningkatan jumlah kesempatan kerja, jumlah hasil kerja sendiri dengan yang lain, serta komponen prestasi sendiri dengan komponen prestasi orang lain. Pengukuran kinerja aparat pemerintah, maka organisasi akan menggunakan dua cara yang umum dilakukan sebagai berikut:

a. Physical Productivity ialah pengukuran produktivitas dengan

menggunakan cara kuantitatif seperti ukuran (size) panjang, berat, banyak unit, waktu dan banyak tenaga kerja.

b. Value Produktivity adalah pengukuran produktivitas dengan

menggunakan nilai mata uang yang dinyatakan dalam bentuk rupiah, yen dan dolar. (J.Ravianto, 1986:21).

Kedua cara umum pengukuran kinerja aparat pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui pengukuran kinerja aparat, maka dapat diketahui mengenai penurunan atau peningkatan target organisasi sebagai bahan dalam menentukan kebijakan yang tepat apabila kinerja aparat menurun maupun memberikan penghargaan apabila kinerja aparat meningkat secara intensif. Dasar teoritis mengenai disiplin kerja dan kinerja aparat diatas, sangat terlihat jelas bahwa seseorang yang memiliki disiplin kerja tinggi akan meningkat kinerjanya.

Sementara Sedarmayanti (2001 : 51) menyatakan bahwa kinerja meliputi beberapa aspek yang dapat dijadikan ukuran dalam mengadakan pengkajian tingkat kinerja seseorang. Aspek-aspek tersebut adalah :

1. Kualitas Kerja 2. Ketepatan Waktu 3. Inisiatif


(22)

4. Kemampuan 5. Komunikasi

Dimensi kinerja diatas dapat diartikan bahwa dalam setiap aktivitas kerja yang telah diprogramkan harus mampu dilaksanakan dengan indikator sebagai berikut:

a. Kualitas kerja yaitu hasil kerja sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Definisi dari kualitas kerja yaitu “Quality of activity totality of fitru-fitur characteristics and of service or product having an in with ability to fulfill

certain requirement or requirement of between the line”.(Mitchell, 2007: 61)

Definisi tersebut dapat diartikan bahwa kualitas kerja adalah totalitas fitru-fitur dan karakteristik-karakteristik dari produk atau layanan yang berpengaruh pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu atau kebutuhan yang tersirat. Adapun yang menjadi indikator dari kualitas kerja yaitu “appearance, power

durability, reliability, conformance to specifications, and aesthetic”. (Mitchell,

2007: 61). Pendapat mengenai indicator dari kualitas kerja tersebut dapat dijelaskan bahwa yang menjadi indicator kualitas kerja yaitu penampilan, daya tahan, kehandalan, kesesuaian dengan spesifikasi, serta daya seni dalam bekerja.

b. Ketepatan waktu yaitu tepat jadwal kerja yang telah ditentukan. Waktu kerja dapat didefinisikan The long execution of activity to reach result which have

been targeted. (Mitchell, 2007: 62). Waktu kerja merupakan lama pelaksanaan

kerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah ditargetkan. Indikator dari waktu kerja yaitu “Schedule, old, speed, accuracy. (Mitchell, 2007: 64).


(23)

Indikator tersebut dapat diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan indicator waktu kerja yaitu jadwal, lama, kecepatan, dan ketepatan.

c. Inisiatif adalah tindakan untuk mencari kemudahkan dan kecepatan dalam pelaksanaan kerja. Action to look for the way of quickest;fastest and easiest

activity. (Mitchell, 2007: 64). Inisitaif adalah tindakan untuk mencari cara

kerja yang paling mudah dan paling cepat. Adapun yang menjadi indicator dari inisiatif adalah “Feel to wish can, feel to wish easy know,more, quicker,

caring”. (Mitchell, 2007: 65). Indikator yaitu memiliki rasa ingin bisa, rasa

ingin tahu,lebih mudah, lebih cepat, kepedulian.

d. Kemampuan kerja yaitu melaksanakan pekerjaan sesuai keahliannya. Definisi dari kemampuan kerja yaitu “Ability of the job is someone readyness in

working by konsepsional and is technical of operational”. (Mitchell, 2007: 67).

Definisi kemampuan kerja tersebut adalah kesanggupan seseorang untuk melakukan pekerjaan secara konsepsional dan teknik operasiaonal. Kemdian yang menjadi indikator adalah “Indicator is knowledge, attitude, skill, and

discipline. (Mitchell, 2007: 68). Indikator kemampuan kerja tersebut dapat

diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan kerja ditandai dengan pengetahunan, sikap, keterampilan, dan disiplin kerja.

e. Komunikasi kerja yaitu keharmonisan hubungan kerja dengan unit kerja terkait. Komunikasi dapat didefinisikan “Communications of wrok is relation of work between superior with superior, superior with subordinate and subordinate

with subordinate to facilitate activity process”. (Mitchell, 2007: 69).


(24)

komunikasi kerja adalah hubungan kerja antara atasan dengan atasan, atasan dengan bawahan dan bawahan dengan bawahan untuk memudahkan proses kerja. Kemudian yang menjadi indikator dari komunikasi kerja adalah “The commucation of work is comprehending each other work, cooperation,

harmonious, merger of work, convert experience, and each other suggestion.

(Mitchell, 2007: 71). Indikator dari komunikasi kerja adalah Saling memahami pekerjaan, kerjasama, harmonis, penggabungan pekerjaan, tukar pengalaman, dan saling memberi saran.

Penilaian terhadap kinerja aparat sangat dibutuhkan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penyusunan program pembinaan dan pelaksanaan pembinaan aparat. Evaluasi terhadap kinerja aparat dapat dilihat dari tindakan kerja aparat sebagaimana dikemukakan Raymond J. Stone (2005: 285) yaitu:

The evaluation of employee performance is done the immediate supervisor in most organisastions. However, performance appraisal can be done by anyone who:

a. is falimiar with the job’s responsibilities and performance objective. b. Has sufficient opportunity to observe the employee’s job performance.

c. Has the know-how to distinguish between beheviors that produce

effective or ineffective job performance.

Evaluasi terhadap kinerja akan menjadi pertanggungjawaban dan kinerja karaywan dengan objektif. Kemudian dapat dijadikan pengulang untuk meninjau kemballi mengenai kinerja aparat. Hal ini untuk menjamin dalam peningkatan efektivitas atau tidak efektif kinerja aparat. Evaluasi terhadap kinerja aparatur dilaksanakan dengan meneliti kondisi di dalam pencapaian pelaksaanaan program kerja organisasi. Penimbangan prestasi bisa dilakukan kepada aparat yang dekat secara secara psikologis dengan sasaran capaian dan tanggung-jawab pekerjaan.


(25)

Kemudian yaitu mengenai kesempatan cukup untuk mengamati capaian pekerjaan aparat. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana cara mengetahui untuk membedakan antara pendekatan hasil yang efektif dengan pencapaian hasil pekerjaan tidak efektif.

Pengukuran kinerja merupakan suatu langkah yang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Melalui pengukuran ini, tingkat capaian kinerja dapat diketahui. Pengukuran merupakan upaya membandingkan kondisi riil suatu objek dan alat ukur. Pengukuran kinerja merupakan suatu yang telah dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tetentu, baik yang terkait dengan input,

proces, output, outcome, benefit maupunimpact.

Young mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut :

“Pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahan. Hasil pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian” (dalam Mangkunegara, 2009:42).

Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan guna mewujudkan visi dan misi Dinas Sosial. Pengukuran kinerja merupakan hasil dari penelitian yang sistematis. Sesuai dengan suatu rencana yang telah ditetapkan dalam penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian.

Arkinson mengemukakan ciri-ciri pengukuran kinerja sebagai berikut : a. Merupakan suatu aspek dari strategi perusahaan.

b. Menetapkan ukuran kinerja melalui ukuran mekanisme komunikasi antar tingkatan manajemen.


(26)

c. Mengevaluasi hasil kinerja secara terus menerus guna perbaikan pengukuran kinerja pada kesempatan selanjutnya.

(dalam Mangkunegara, 2009:42).

Dalam kerangka pengukuran kinerja terdapat strategi perusahaan mengenai penetapan, pengumpulan data kinerja, evaluasi dan cara pengukuran kinerja.

2.1.7 Evaluasi Kinerja

Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian pelaksanaan tugas seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam suatu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih dulu. Evaluasi kinerja disebut juga “performance evaluation”

atau“performance appraisal”.Appraisal berasal dari kata latin “appratiare“ yang

berarti memberikan nilai atau harga. Dengan demikian, evaluasi kinerja berarti memberikan nilai atas pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dan untuk itu diberikan imbalan, kompensasi atau penghargaan. Evaluasi kinerja merupakan cara yang paling adil dalam memberikan imbalan atau penghargaan kepada pekerja.

Setiap orang pada umumnya ingin berprestasi dan mengharapkan prestasinya diketahui dan dihargai orang lain. Orang yang berprestasi dan memperoleh penghargaan dari atasan atau masyarakat, cenderung untuk mempertahankan bahkan meningkatkan prestasi tersebut. Untuk itu perlu standar pengukuran, supaya dapat secara objektif dan adil dalam membedakan


(27)

pekerja yang berprestasi tinggi dan pekerja yang mempunyai kinerja rendah. Memang masih banyak pekerja yang enggan menghadapi evaluasi kinerja, karena mereka melihatnya sebagai alat pimpinan untuk memberikan hukuman. Namun evaluasi kinerja sekarang ini merupakan keharusan dan sudah terus menerus dilakukan.

Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas keberhasilan/ kegagalan pelaksanaan kegiatan/ program/ kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Karenanya sudah merupakan suatu hal yang mendesak untuk menciptakan sistem yang mampu untuk mengukur kinerja dan keberhasilan organisasi. Kinerja sebuah organisasi juga ditunjukan oleh bagaimana proses berlangsungnya kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut. Di dalam proses pelaksanaan aktifitas harus selalu dilakukan monitoring penilaian dan peninjauan ulang terhadap kinerja sumber daya manusia. Melalui monitoring dilakukan pengukuran dan penilaian secara periodik untuk mengetahui pencapaian kemajuan kinerja dilakukan prediksi apakah terjadi deviasi pelaksanaan terhadap rencana yang dapat mengganggu pencapaian tujuan. Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat deviasi antara progres yang direncanakan dengan kenyataan. Deviasi berupa progres yang lebih rendah dari pada rencana perlu dilakukan langkah-langkah untuk memacu kegiatan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai. Seberapa jauh tujuan tersebut dapat dicapai mencerminkan hasil kerja atau prestasi kerja dan sering kali dikatakan sebagai kinerja organisasi. Terhadap hasil kerja organisasi dilakukan evaluasi


(28)

untuk mengetahui seberapa jauh hasil kerja yang dicapai terhadap tujuan yang di inginkan. Hasil kerja organisasi dapat sama dengan tujuan yang ditetapkan, namun dapat pula lebih besar atau bahkan lebih kecil dari harapan. Selain itu pengukuran atau penilian kinerja menurut Megginson Perfomance Appraisal adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai denganyang dimaksudkan (Mangkunegara, 2008:69). Kinerja juga sangat bermanfaat untuk membantu kegiatan manajerial keorganisasian. Berikut manfaat pengukuran kinerja baik untuk internal maupun eksternal organisasi sektor publik (BPKP, 2000):

1. Memastikan pemahaman para pelaksana akan ukuran yang digunakan untuk pencapaian kinerja.

2. Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati. 3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan

membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja.

4. Memberikan penghargaan dan hukuman yang objektif atas prestasi pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati.

5. Menjadi alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi.

6. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. 7. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.

8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.

9. Menunjukan peningkatan yang perlu dilakukan. 10. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.

(BPKP, 2000)

Berdasarkan pendapat diatas penilaian prestasi pegawai/aparatur adalah suatu proses penilaian prestasi kerja pegawai/aparatur yang dilakukan pemimpin


(29)

dalam suatu organisasi secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.

2.1.8 Definisi Organisasi

Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk hidup bermasyarakat serta mengatur dan mengorganisasi kegiatannya dalam mencapai sautu tujuan tetapi karena keterbatasan kemampuan menyebabkan mereka tidak mampu mewujudkan tujuan tanpa adanya kerjasama. Hal tersebut yang mendasari manusia untuk hidup dalam berorganisasi. Organisasi adalah suatu proses perencanaan yang meliputi penyusunan, pengembangan, dan pemeliharaan suatu struktur atau pola hubunngan kerja dari orang-orang dalam suatu kerja kelompok. Menurut Koontz & Donnel dalam Malayu S.P (2010:25) tentang pengertian Organisasi adalah :

“Organisasi adalah pembinaan hubungan wewenang dan dimaksudkan untuk mencapai koordinasi yang struktural, baik secara vertical, maupun secara horizontal diantara posisi – posisi yang telah diserahi tugas – tugas khusus yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama. Jadi organisasi adalah hubungan structural yang mengikat / menyatukan perusahaan dan kerangka dasar tempat individu – individu berusaha, dikoordinasi”.

(Koontz & Donnel dalam Malayu S.P, 2010:25)

Berdasarkan teori diatas, suatu organisasi yaitu memiliki tugas dan wewenang untuk memeberikan pembinaan atau pembelajaran kepada masyarakat, dalam hal ini kepada anak jalanan. Dinas Sosial harus berusaha merangkul anak jalanan agar mereka mau berkoordinasi dan bersahabat saat dilakukannya pemberdayaan.


(30)

2.1.9 Definisi Kinerja Organisasi

Sebuah organisasi dapat berjalan karena ada orang-orang yang menjalankannya, karena itu manusia merupakan elemen utama yang dibutuhkan sebuah organisasi untuk dapat menjalankan visi misinya. Begitu juga sebaliknya orang-orang membutuhkan organisasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Untuk mencapai tujuan yang maksimal diperlukan orang-orang yang mampu bekerja dengan baik. Seorang pegawai dapat dikatakan baik apabila kinerjanya dapat sesuai dengan target dan tanggung jawab yang diembannya. Kinerja seseorang dapat dikembangkan setiap saat seiring dengan perkembangan zaman yang terus maju. Kualitas kinerja sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan organisasi, oleh karena itu diperlukan sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan dan keahlian tinggi sehingga dapat mendukung peningkatan kinerja organisasi.

Kinerja organisasi pada dasarnya merupakan tanggung jawab setiapindividu yang bekerja dalam organisasi. Apabila dalam organisasi setiap individu bekerja dengan baik, berprestasi, bersemangat dan memberikan kontribusi terbaik mereka terhadap organisasi, maka kinerja organisasi secara keseluruhan akan baik. Kinerja organisasi merupakan cermin dari kinerja individu (Mahmudi, 2005:22). Nasucha, mengemukakan bahwa kinerja organisasi adalah sebagai efektifitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus mencapai kebutuhan secara efektif (Pasolong,2010:177). Selain itu menurut Armstrong dan


(31)

Baron kinerja disebut juga sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja mempunyai makna lebih luas bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung.

Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengantujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi (Wibowo, 2008:7). Sehubungan dengan itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu masukannya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.

Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi olehketerampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu (Sedarmayanti,2010:259).

2.1.10 Pemberdayaan

Pemberdayaan merujuk pada kemampuan seseorang maupun kelompok-kelompok rentan dan lemah, untuk memiliki akses terhadap sumber-sumber kehidupan yang produktif, untuk meningkatkan pendapatan guna memperoleh barang dan jasa yang diperlukan, serta mampu berpartisipasi dalam proses


(32)

pembangunan dan keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya. Menurut Widjaja dalam bukunya yang berjudul Administrasi

Kepegawaian Suatu Pengantar, menyatakan pemberdayaan sebagai berikut:

“Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri dibidang ekonomi, sosial, agama, dan budaya” (Widjaja, 1995:54)

Pemberdayaan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan kemampuan, potensi dan kemandirian masyarakat baik di bidang sosial, agama maupun budaya. Dengan pemberdayaan seseorang dapat memilah suatu hal yang dapat mempengaruhi kehidupannya, karena sebagian orang tidak memiliki kemamuan untuk menolak dan bertahan dari ajakan-ajakan yang dapat merugikan dirinya sendiri dari orang-orang yang berada dalam di lingkungannya.

Prijono dan Pranaka dalam bukunya Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan

dan Implementasi menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai berikut:

“Pemberdayaan sebagai proses belajar mengajar yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan, baik bagi individu maupun kolektif, guna mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu dan kelompok.” (Prijono dan Pranaka, 1996:72).

Pemberdayan merupakan suatu kegiatan belajar mengajar maupun suatu pelatihan guna mengembangkan daya atau potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang maupun sekumpulan orang (kolektif) yang dilakukan dengan terencana dan sistematis secara berkesinambungan, agar orang yang mendapatakan pemberdayaan tersebut dapat mengarahkan kehidupannya ke arah yang lebih baik.


(33)

Empowerment is viewed as a process: the mechanism by which people,

organizations, and communities gain mastery over their lives”. (Rappaport

1984:3).

Pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak yang tidak memiliki tujuan yang mulia terhadap kehidupan seseorang, tetapi pemberdayan memiliki tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan seseorang untuk kepentingan hidupnya di masa yang akan datang. Pemberdayaan merupakan suatu hal yang perlu untuk dilaksanakan, mengingat pemberdayaan itu sendiri merupakan suatu bagian dalam rangka pembagunan nasional.

Kartasasmita dalam bukunya Pembangunan Untuk Rakyat menyatakan pemberdayaan sebagai berikut:

“Pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengangkatnya”. (Kartasasmita, 1996:144)

Berdasarkan teori tersebut berarti upaya Dinas Sosial Kota Bandung untuk memberikan dorongan dan motivasi ke anak jalanan agar mereka mau dibina untuk kebaikan anak jalanan itu sendiri supaya mereka mendapatkan keahlian dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah di kasih pembinaan di rumah singgah atau oleh para aparatur pemerintah kota bandung dan Dinas Sosial.

Pemberdayaan kepada seseorang bertujuan untuk membantu, meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta pemberdayaan dapat mengangkat seseorang dari kelemahan-kelemahan dan ketidak beruntungan yang dimiliki oleh seseorang, baik itu ketidak beruntungan mendapat pendidikan


(34)

karena faktor ekonomi maupun ketidak beruntungan karena faktor-faktor ketidak lengkapan fisik yang dimiliki.

2.1.11 Anak Jalanan

Anak merupakan mahluk sosial sama halnya dengan orang dewasa. Anak juga membutuhkan orang lain untuk bisa membantu mengembangkan kemampuannya, karena pada dasarnya anak lahir dengan segala kelemahannya sehinggga tanpa orang lain anak tidak mungkin mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak-anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak-anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak-anak biasanya terbentuk dari lingkungannya hal ini dikarenakan anak-anak lebih mudah belajar dari lingkungan dan prilaku orang-orang sekitarnya sehingga untuk membentuk pribadi yang baik anak-anak perlu di jauhkan dari lingkungan atau keadaan yang membawa dampak negatif atau hal-hal yang menimbulkan traumatik karena trauma yang berlebihan dapat terbawa sampai dewasa. Seperti halnya anak jalanan yang umumnya berasal dari keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga


(35)

memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif maka dari itu anak jalanan di golongkan ke dalam salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial merupakan seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunasusilaan, keterbelakangan, keterasingan/ ketertinggalan dan bencana alam maupun bencana sosial.

Berdasarkan data dari departemen sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial terbagi atas 22 jenis diantaranya yaitu anak balita terlantar, anak terlantar, anak nakal, anak jalanan, wanita rawan sosial ekonomi, keluarga berumah tidak layak huni, keluarga bermasalah sosial psikologis, komunitas adat terpencil, korban bencana alam, korban bencana sosial atau pengungsi, pekerja migran terlantar, orang dengan HIV/AIDS, keluarga rentan. Berikut ini adalah definisi mengenai Anak jalanan yaitu, anak yang berusia 5 sampai 18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalan-jalan maupun tempat-tempat umum.

Dengan kriteria sebagai berikut:

1. anak (laki-laki/perempuan) usia 5 sampai 18 tahun.

2. melakukan kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun


(36)

waktu 1 bulan yang lalu seperti: pedagang asongan, pengamen ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar dan pekerjaan lainnya.

3. kegiatannya dapat membahayakan diri sendiri atau mengganggu ketertiban umum.

Menurut peraturan daerah kota Bandung nomor 10 tahun 2012 tentang perlindungan anak adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti jalanan umum, terminal, pasar, stasiun dan taman kota.

Banyak faktor penyebab seorang anak pada akhirnya menjadi anak jalanan, diantaranya: kemiskinan keretakan keluarga, keinginan sendiri, akibat kekerasan keluarga, hingga kecenderungan ingin hidup bebas. Selain terdapat faktor penyebab juga terdapat beberapa resiko yang dihadapi anak jalanan dengan kehidupan di jalan diantaranya rawan mendapatkan pelecehan, berpotensi tidak melanjutkan pendidikan, rawan kesehatan dikarenakan banyak menghirup polusi udara, berpotensi menjadi mengkonsumsi minuman keras dan narkoba, berpotensi melakukan tindak kekerasan dan kriminal.

Ada berbagai faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah anak jalanan, antara lain, faktor kemiskinan (structural dan

peribadi ), faktor keterbatasan kesempatan kerja (factor intern dan ekstern),

faktor yang berhubungan dengan urbanisasi, faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan keinginannya sendiri, Ciri-ciri anak jalanan dilihat dari sudut pandang secara psikologisnya, yakni sebagai berikut:

1. Anak jalanan mudah tersinggung perasaannya.


(37)

dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya. 3. Anak jalanan Tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya yang selalu

menginginkan kasih sayang.

4. Anak jalanan biasanya tidak mau bertatap muka dalam arti bila mereka diajak bicara, mereka tidak maumelihat orang lain secara terbuka.

5. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak mereka sangatlah labil, tetapi keadaan ini sulit berubah meskipun mereka telah diberi pengarahan yang positif.

6. Mereka memiliki suatu ketrampilan, namun ketrampilan ini tidak selalu sesuai bila diukur dengan ukuran normative masyarakat umumnya.

Berdasarkan penjelasan mengenai anak jalanan di atas, maka definisi anak jalanan yang digunakan dalam penelitian ini dan relevan dengan permasalah an penelitian dan lokus penelitian yang digunakan adalah definisi anak jalanan dari dinas sosial kota Bandung yang menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun yang menjalankan aktifitasnya dijalanan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sehingga mereka kehilangan masa kanak-kanaknya dan hal ini dapat mengganggu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dirinya.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan alur berfikir peneliti dalam penelitian, untuk mengetahui bagaimana alur berfikir peneliti dalam menjelaskan permasalahan penelitian maka dibuatlah kerangka berfikir sebagai berikut:


(38)

Anak merupakan karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Untuk memahami anak jalanan secara utuh, perlu diketahui definisi anak jalanan. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.

Anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada dijalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Secara psikologis, mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan kehidupan jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya, sehingga membentuk persepsi negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang di identikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Padahal anak jalanan juga merupakan bagian dari masyarakat yang juga memerlukan kehidupan yang layak namun karena keadaan yang memaksa mereka bekerja dalam keadaan yang kurang menguntungkan.


(39)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Kinerja Aparatur Sedarmayanti yang mana menurut Sedarmayanti membagi kinerja menjadi beberapa dimensi yakni Kualitas Kerja, Ketepatan Waktu, Kemampuan Kerja, Inisiatif dan Komunikasi. Setiap dimensi terdapat beberapa indikator pada dimensi Kualitas Kerja indikatornya adalah Penampilan, Kehandalan, Kekuatan, dan Daya Seni. Dimensi Ketepatan Waktu indikatornya adalah Jadwal Kerja dan Lama Penyelesaian. Kemudian Kemampuan Kerja indikatornya adalah Pengetahuan, Sika, dan Keterampilan. Dimensi Iinisiatif indikatornya adalah Kepedulian, Tanggung jawab dan Kemauan. Dimensi Komunikasi indikatornya adalah Kerja Sama, Hubungan Kerja dan Keharmonisan.

Dimana Kualitas Kerja yang dimaksud adalah kemampuan Dinas Sosial dalam menjalankan tugas membina anak jalanan dengan baik menggunakan kehandalan aparatur dan mengerahkan seluruh kekuatan serta memakai daya seni untuk pendekatan kepada anak jalanan. Ketepatan Waktu yang dimaksud yaitu pencapaian tujuan program pembinaan anak jalanan yang sesuai dengan Jadwal Kerja yang sudah ditetapkan. Kemudian Kemampuan Kerja yaitu Pengetahuan aparatur Dinas Sosial harus kompeten untuk membina anak jalanan disertai dengan sikap yang baik dan adil ke semua anak jalanan dan Keterampilan yang cukup. Inisiatif yaitu Kepedulian aparatur Dinas Sosial kepada anak jalanan untuk menjalankan program pembinaan dengan penuh rasa Tanggung jawab dan kemauan yang kuat untuk menyelesaiakan masalah. Komunikasi yaitu kemampuan Dinas Sosial dalam menjalin kerja sama dan Hubungan Kerja dengan RPA, LSM, Masyarakat untuk membina anak jalanan di Kota Bandung.


(40)

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka definisi operasional Kinerja Aparatur Dinas Sosial dalam membina anak jalanan di Kota Bandung, dalam penelitian ini adalah:

1. Kinerja adalah suatu tindakan atau kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan di Kota Bandung.

2. Kinerja Pembinaan adalah suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Bandung untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan terkait pelaksanaan program pembinaan anak jalanan. Terdapat lima dimensi dalam kinerja aparatur sebagai berikut:

1) Kualitas Kerja adalah kemampuan Dinas Sosial dalam menjalankan tugas membina anak jalanan dengan baik menggunakan kehandalan aparatur dan mengerahkan seluruh kekuatan serta memakai daya seni untuk pendekatan kepada anak jalanan.

2) Ketepatan Waktu adalah pencapaian tujuan program pembinaan anak jalanan yang sesuai dengan Jadwal Kerja yang sudah ditetapkan.

3) Kemampuan Kerja adalah Pengetahuan aparatur Dinas Sosial harus kompeten untuk membina anak jalanan disertai dengan Sikap yang baik dan adil ke semua anak jalanan dan disertai Keterampilan yang cukup.

4) Inisiatif adalah Kepedulian aparatur Dinas Sosial kepada anak jalanan menjalankan program pembinaan dengan penuh rasa


(41)

Tanggung Jawab dan kemauan yang kuat untuk menyelesaikan masalah.

5) Komunikasi adalah kemampuan Dinas Sosial dalam menjalin kerja sama dan Hubungan kerja dengan RPA, LSM, serta masyarakat untuk membina anak jalanan di Kota Bandung.

Berdasarkan definisi operasional di atas, peneliti membuat model kerangka pemikiran yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Kinerja Aparatur Dinas Sosial Membina Anak Jalanan di Kota Bandung

Komunikasi KINERJA APARATUR DINAS

PERHUBUNGAN

Kemampuan Kerja

Inisiat if Ket epat an

Wakt u Kualit as Kerja

 Penampilan  Kehandalan  Kekuatan  Daya seni

 Jadwal kerja  Lama

Penyelesaian

Penget ahuan

Sikap

Ket erampilan

 Kepedulian  Tanggung

jawab  Kemauan

 Kerja sama  Hubungan

kerja

 Keharmonisan

Tuntasnya masalah anak jalanan di Kota Bandung


(42)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Keberhasilan suatu bangsa pada masa yang akan datang, tentunya ditentukan oleh kualitas anak pada masa sekarang, di tengah-tengah kondisi bangsa Indonesia saat ini, tidak semua anak menikmati kehidupan yang baik, banyak anak berada dalam kondisi yang memprihatikan baik secara fisik, sosial maupun secara psikologis, salah satunya adalah anak jalanan. Minimnya pemenuhan kesejahteraan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya, menjadi salah satu penyebab hadirnya para anak jalanan di Indonesia, karena secara umum anak jalanan terlahir dari keluarga kurang mampu dengan pendidikan moral yang rendah didalam keluarga, dan dari tingginya kesenjangan sosial yang terjadi didalam lingkungan masyarakat.

Negara berkembang seperti Indonesia, secara berkelanjutan melakukan pembangunan, baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan Negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Agar tujuan negara dapat terlaksana dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu melaksanakannya dengan baik, sehingga perlu dipersiapkan sejak dini. Maka dariitu perkembangan anak telah menjadi perhatian yang penting. Mulai dari usia dini anak perlu dididik agar kelak mampu bersaing dengan dunia internasional.


(43)

Setiap anak pada dasarnya memiliki hak yang sama, termasuk anak jalanan. Mereka juga berhak atas hak pendidikan, kesehatan dan hak perlindungan. Menjamin hak-hak tersebut maka pemerintah menuangkannya pada suatu kebijakan berupa Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 yang menjelaskan bahwa setiap anak merupakan tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi Bangsa dan Negara pada masa depan. Dengan demikian setiap anak di Indonesia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial. Adanya upaya perlindungan anak bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Selain itu dibentuk pula Komisi Nasional Perlindungan Anak dengan tujuan memantau, mamajukan dan melindungi hak-hak anak serta mencegah berbagai kemungkinan pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan oleh Negara, perorangan atau lembaga.

Setiap anak seharusnya hidup dengan gembira apalagi di masa pertumbuhan. Namun tidak semua anak-anak Indonesia hidup dengan penuh kegembiraan dan layak, masih banyak anak-anak yang keadaan ekonomi keluarganya tidak memadai sehingga dengan terpaksa mencari nafkah di jalanan seperti mengemis, mengamen dan memulung barang bekas. Anak jalanan juga memiliki konotasi negatif di mata sebagian masyarakat, karena dianggap meresahkan atau menganggu ketertiban umum. Mereka yang masih


(44)

kanak-kanak terkadang sudah terlibat di dalam aktifitas-aktifitas yang berbau kriminal seperti pencopetan, penodongan dan tindak kriminal lainnya. Tetapi tidak semua anak jalanan melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau kriminal, dengan sedikit uang yang diperoleh, mereka dapat bertahan hidup ditengah arus kehidupan kota yang sulit serta untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pekerjaan yang dilakukan anak jalanan ini seharusnya perlu mendapat penangan khusus dari pemerintah daerah dan dinas terkait, karena anak-anak usia dini yang seharusnya berada di sekolah malah berada di jalanan untuk bekerja.

Perkembangan Kota Bandung yang cepat memicu peningkatan pusat keramaian. Menurut pengamatan peneliti pada tahun 2014 di setiap lampu merah terdapat 2 sampai 5 orang anak jalanan mulai dari Cicaheum, Dago, Cicadas, dan Laswi. Mereka tidak memperhatikan keselamatan jiwa, hanya untuk mendapatkan sedikit rupiah dari pengendara. Menurut data yang peneliti peroleh dari Dinas Sosial Kota Bandung, jumlah anak jalanan pada tahun 2013 mencapai 2.537 anak, dan dari jumlah tersebut tidak semua anak jalanan merupakan warga asli Kota Bandung melainkan para pendatang yang berasal dari beberapa daerah disekitar Kota Bandung.

Banyaknya anak jalanan di Kota Bandung saat ini bukanlah karena adanya trend di kalangan anak muda melainkan karena himpitan ekonomi keluarga yang memaksa keterlibatan seluruh anggota keluarga untuk turut bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Namun selain himpitan ekonomi yang semakin mencekik masih ada beberapa faktor lain yang membuat seorang anak


(45)

memilih untuk turun ke jalanan seperti karena kekerasan dalam keluarga, keinginan untuk bebas, ingin memiliki uang sendiri, pengaruh teman dan yang paling dominan adalah karena adanya faktor perpecahan dalam keluarga. Karena ketika seorang anak sudah merasa tidak nyaman di dalam rumah maka dengan sendirinya mereka akan mencari kenyamanan di tempat lain. Oleh karena itu kenyamanan dan ketenangan dalam keluarga merupakan faktor yang sangat penting untuk tumbuh kembang seorang anak. Jangan sampai rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling nyaman untuk anak justru malah menjadi tempat yang tidak nyaman bagi anak itu sendiri. Hal ini dirasa memprihatinkan karena berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 20 menjelaskan bahwaa negara pemerintah dan masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertaggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Kebijakan yang diambil oleh Dinas Sosial Kota Bandung, tentunya akan menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan di Kota Bandung, sesuai dengan tugas pokok yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Bandung yaitu melaksanakan kewenangan daerah di bidang sosial, juga terdapat pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 29 Tahun 2002 tentang “Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial”, dan fungsi yang meliputi:

1. Perumusan Kebijakan Teknis di bidang sosial.

2. Penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang sosial


(46)

sosial dan masyarakat, rehabilitasi sosial,pelayanan sosial dan pembinaan rawan sosial.

4. Pelaksanaan Pelayanan teknis lainnya yang diberikan oleh walikota sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Pembinaan adalah proses, pembuatan, cara pembinaan, pembaharuan, usaha dan tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan baik. Dalam pelaksanaan konsep pembinaan hendaknya didasarkan padahal bersifat efektif dan pragmatis dalam aryi dapat memberikan pemecahan persoalan yang dihadapi dengan sebaik-baiknya, dan pragmatis dalam arti mendasarkan fakta-fakta yang ada sesuai dengan kenyataan sehingga bermanfaat karena dapat diterapkan dalam praktek. Pembinaan menurut Masdar Helmi adalah hal usaha, ikhtiar dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan dan pengorganisasian serta pengendalian segala sesuatu secara teratur dan terarah. Sedangkan Membina adalah usaha kegiatan pendidikan baik secara teori maupun praktek agar kegiatan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Pemerintah Daerah yang membina nak jalanan ditanggulangi secara khusus pada unit kerja dinas adalah Pemerintah Daerah Kota Bandung. Pembinaan anak jalanan secara operasional di Kota Bandung dilaksanakan oleh Dinas Sosial, sehingga sangat berpengaruh terhadap kinerja aparatur Dinas Sosial dalam pembinaan secara menyeluruh. Jumlah anak jalanan yang semakin banyak merupakan tantangan besar bagi Dinas Sosial Kota Bandung dalam mempertahankan dan meningkatkan kinerja secara nyata. Kehadiran sejumlah anak jalanan yang berprilaku kurang baik cenderung menggangu ketertiban umum, merupakan wujud nyata dari kelemahan kinerja Dinas Sosial Kota


(47)

Bandung.

Pembinaan para anak jalanan di Kota Bandung memiliki input pada proses kegiatannya. Input tersebut berupa suatu pengawasan dan pendekatan yang berguna untuk mengetahui dan mengenali berbagai macam karakteristik dari setiap anak jalanan demi memberikan kemudahan bagi Dinas Sosial Kota Bandung dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang akan diambilnya.

Dinas Sosial Kota Bandung dalam melaksanakan kegiatan pengawasan dan pendekatan, perlu kembali memaksimalkan posko pemantauan yang telah didirikan sebelumnya, karena pendirian posko pematauan tersebut merupakan suatu langkah tepat untuk mengenali berbagai macam aktifitas dari para anak jalanan di Kota Bandung. Posko pemantauan yang telah diirikan tersebut meliputi: 1. Posko Pasteur yang meliputi: Cipaganti, Cihampelas, Cikapayang, Taman

Sari, Gasibu.

2. Posko Dago yang meliputi: Simpang Dago; Sulanjana, Lembong, Aceh. 3. Posko Asia Afrika yang meliputi: Otista, Simpang Lima, Dalem Kaum,

Sudirman.

4. Posko Riau yang meliputi: Gatot Subroto, Martanegara, Jalan Jakarta, Antapani, Cicaheum dan Tegal Lega.

5. Posko Pasir Koja yang meliputi: Jamika, Caringin, Cibaduyut, Kopo, Moh Toha, buah Batu, Samsat.

Hasil observasi yang beberapa kali peneliti lakukan, posko pengawasan yang telah dibangun dilima titik di Kota Bandung untuk mengawasi para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti, gelandangan dan pengemis (Gepeng), Wanita Tuna Susila (WTS), Wanita Pria (waria), dan


(48)

tentunya anak jalanan, disayangkan belum dapat dimaksimalkan, karena posko pengawasan tersebut telah beralih fungsi menjadi tempat berteduh dan tempat beristirahat bagi para pedagang asongan maupun para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Dinas Sosial Kota Bandung mengalami kesulitan dalam membina anak jalanan karena minimnya fasilitas yang ada di kantor Dinas Sosial. Selama ini Dinas Sosial hanya bekerjasama dengan pihak swasta yaitu dengan Rumah Singgah untuk kegiatan pembinaan anak jalanan di Kota Bandung.

Pelaksanaan tugas dari Kepala Dinas Sosial Kota Bandung dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan, perlu untuk memperhatikan masalah pisikologis anak yang bertujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak yang dimiliki oleh setiap anak. Hak-hak anak tersebut sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The

Child) tahun 1989 dan Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi pada

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yaitu: Hak terhadap kelangsungan hidup, hak terhadap perlindungan, hak untuk tumbuh berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.

Dinas Sosial Kota Bandung perlu meningkatkan kembali hubungan kerjasama antara Dinas Sosial Kota Bandung dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung. Kerjasama ini untuk melaksanakan penjaringan anak jalanan di Kota Bandung, karena penjaringan anak jalanan yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung tidak dilakukan secara rutin dan terjadwal, yang berakibat pada minimnya pelaksanaan kegiatan pembinaan yang dilakukan.


(49)

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa; “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pembinaan bagi para anak jalanan di Kota Bandung perlu dilakukan secara satu paket penuh, tidak cukup bila Dinas Sosial Kota Bandung hanya melakukan pengawasan, serta menitipkan para anak jalanan yang sebelumnya diserahkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung kepada rumah-rumah perlindungan anak yang menjadi mitra kerjanya.

Dinas Sosial Kota Bandung melalui bagian kerjanya perlu untuk ikut ambil bagian dalam setiap proses kegiatan pembinaan yang dilaksanakan oleh rumah-rumah pelindungan anak yang menjadi mitra kerjanya. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh Dinas Sosial Kota Bandung, yang bertujuan agar pelaksanaan program pembinaan dapat berjalan secara maksimal.

Dinas Sosial Kota Bandung, saat ini mengalami masalah dalam melaksanakan program pembinaan bagi para anak jalanan yang masuk ke dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), masalah tersebut yaitu tidak adanya panti rehabilitasi sosial (Rehabsos) yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota Bandung untuk menampung dan membina anak jalanan. Dinas Sosial Kota Bandung dinilai untuk melakukan lobi-lobi kepada Pemerintah Daerah Kota Bandung menyangkut pembangunan suatu tempat rehabilitasi sosial bagi para anak jalanan di Kota Bandung.

Program pembinaan bagi para anak jalanan di Kota Bandung saat ini dilakukan dilembaga-lembaga sosial masyarakat yang berupa suatu rumah


(50)

singgah atau Rumah Perlindungan Anak (RPA) yang bertempat di Kota Bandung maupun diluar Kota Bandung, yang sebelumnya telah memiliki hubungan kerjasama dengan Dinas Sosial Kota Bandung. Hadirnya pihak-pihak swasta tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Pasal 72 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang menjelaskan bahwa:

1. Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.

2. Peran masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dilakukan oleh perseorangan, lembaga perlindungan anak, sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, keagamaan, badan usaha dan media masa.

Program pembinaan bagi para anak jalanan di Kota Bandung yang dilaksanakan di Rumah Perlindungan Anak (RPA) umumnya berupa suatu pendidikan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung, maupun berupa program pelatihan baik itu dibidang elektronik, otomotif, seni musik, kerajinan tangan, menjahit dan memasak, yang disesuaikan dengan minat dan bakat yang dimiliki oleh para anak jalanan.

Dinas Sosial Kota Bandung melalui bagian kerjanya belum memaksimalkan kerjasama dengan Satpol PP untuk menjaring anak jalanan dan mensosialisasikan kepada masyarakat Kota Bandung, mengenai pentingnya untuk tidak memberikan uang secara cuma-cuma kepada para anak jalanan. Dinas Sosial Kota Bandung melakukan sosialisasi terbatas dengan memasang papan himbauan di tempat-tempat vital di Kota Bandung. Sesuai dengan misi dari Dinas Sosial Kota Bandung untuk mewujudkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan


(1)

124

Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

B. Dokumen-dokumen

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 tahun 2007 tentang pembentukan dan susunan dinas di lingkungan daerah kota Bandung

Undang-Undang Nomor 23 Pasal 9 ayat 1 tahun 2002 tentang perlindungan anak Undang-Undang Nomor 23 Pasal 72 tahun 2002 tentang perlindungan anak Keputusan Presiden Nomor 36 th 1990, tentang perlindungan hak-hak anak. Arsip data Dinas Sosial Kota Bandung tahun 2013

C. Rujukan Elektronik

http://www.scribd.com/doc/131061020/Definisi-Kinerja http://bandung.go.id/rwd/index


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kehidupan dan anugerah yang tak terhingga, atas rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kinerja Aparatur Dinas Sosial Membina Anak Jalanan Di Kota Bandung”.

Maksud dari Usulan Penelitian ini adalah sebagai syarat awal untuk penelitian skripsi di program studi Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia Bandung.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan selalu peneliti harapkan sebagai masukan yang berguna bagi kesempurnaan karya selanjutnya.

Dalam skripsi ini, peneliti mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik berupa moril maupun berupa materil. Dengan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.

2. Dr. Dewi Kurniasih, S.IP., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Komputer Indonesia.


(3)

3. Nia Karniawati, S.IP., M.Si, dan Dr. Aos Kuswandi, Drs., M.Si selaku penguji peneliti, yang telah memberikan masukan, saran serta motivasinya kepada Peneliti.

4. Bu Ecih selaku Kepala Bidang PRS dan seluruh staff di Dinas Sosial Kota Bandung Bu Dewi, Pa Akhmad, Pa Asep yang telah berkenan menerima peneliti untuk melakukan penelitian disana.

5. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Komputer Indonesia.

6. Kedua Orang Tua Saya, yang selalu memberi semangat kepada peneliti, juga kepada adik saya Legi dan Dzikri .

7. Teman-teman seperjuangan Agus Deni, Panji Maulana, Anjar, Hery Adam, Kisfendi, Jamain, Alten, Arti, Thedy.

8. Seluruh teman-teman peneliti di Program Studi Ilmu Pemerintahan

Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya untuk membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, Agustus 2014


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Ahli Madya, Sarjana, Master dan Doktor) baik di Universitas Komputer Indonesia maupun perguruan tinggi lainnya di Kota Bandung.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dan jelas ditentukan sebagai acuan dalam naskah yang disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyatan ini maka saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta sangsi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi.

Bandung, Agustus 2014

Okie Sandi Pratama NIM. 41710019


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Dibuat khusus oleh mahasiswa yang akan ujian sidang :

1.Nama : Okie Sandi Pratama

2. Tempat dan Tanggal Lahir: Bandung, 13 Oktober 1991 3. Nomor Induk Mahasiswa : 41710019

4. Program Studi : Ilmu Pemerintahan 5. Jenis Kelamin : Laki-laki

6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Agama : Islam

8. Alamat : Jl. Sukamiskin No 50, Arcamanik, Bandung

9. Status Marital :Belum Kawin 10. Orang Tua

1. Nama Ayah : Heri Suryana., S.Sos Pekerjaan : PNS

2. Nama Ibu : Tina Dwi Martina., S.Pdi Pekerjaan : Guru

3. Alamat Orang Tua: Jl. Bojongsari Rt 02/Rw 13, Maleber, Ciamis. 11. E-mail : pokiepratama@yahoo.com


(6)

143

PENDIDIKAN FORMAL

No Tahun Uraian Keterangan

1 2010-Sekarang Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia

-2 2007-2010 SMA Negeri 1 Ciamis Berijazah

3 2004-2007 SMP Terpadu Ar-Risalah Berijazah

4 1998-2004 MI Bojongsari Berijazah

Bandung, Agustus 2014

Okie Sandi Pratama NIM.41710019