Epidemologi Manifestasi Klinis TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3. Daur hidup T trichiura Dikutip dari: http:www.dpd.cdc.gov.

II.3. Epidemologi

Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi dan secara geografis, untuk Sumatera Utara angka prevalensi T trichiura didapati sampai dengan 78,6 Margono, 2003. Infeksi T trichiura didasari dengan sanitasi yang inadekuat dan populasi yang padat, umumnya ini dijumpai di daerah kumuh dengan tingkat sosioekonomi yang rendah. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi T trichiura. Umur yang paling rentan untuk mendapatkan infeksi T trichiura adalah 5 sampai 15 tahun Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap infeksi T trichiura. Infeksi terjadi setelah tertelan telur infektif dari kontaminasi tangan, makanan sayuran atau buah Albendazol Mebendazol Universitas Sumatera Utara yang dipupuk dengan tinja manusia, atau minuman yang terkontaminasi serta melalui alat permainan, binatang peliharaan dan debu, bahkan di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi Dent dkk, 2007.

II.4. Manifestasi Klinis

Pada kebanyakan penderita hanya mengandung jumlah cacing yang sedikit dan tidak menunjukkan gejala Dent dkk, 2007. Manifestasi klinis yang bisa muncul termasuk disentri kronik, tenesmus, pucat, gangguan tumbuh-kembang dan kognitif serta gangguan nutrisi lainnya Jong, 2002; Dent dkk, 2007; Pasaribu dkk, 2008; Donkor dkk, 2009. Gejala ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun. Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare berdarah disertai prolapsus recti Trichuris Dysentry Syndrome=TDS Gambar 4, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30 di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perharicacing Beaver dkk, 1984; WHO, 1996; Onggowaluyo dkk, 1998; Strickland, 2000 Universitas Sumatera Utara Gambar 4. Prolapsus rectum

II.5. Diagnosis