dibandingkan dengan hasil produksi lain dalam jangka waktu tertentu.” Winardi, 1992: 16
Menurut Onong Uchjana Effendy, efektifitas dalam komunikasi adalah
“komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang
ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.” Effendy, 1989: 14. Maka bisa ditarik benang merahnya bahwa efektivitas yang
dimaksud disini adalah ketika komunikator berhasil mencapai tujuan komunikasinya, menyamakan pemahaman dan merubah komunikannya,
dengan menggunakan sumber daya berupa media, waktu, dan personil yang telah direncanakan paling tepat untuk mendukung usaha
komunikasi tersebut.
2.1.4.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Efektivitas Komunikasi
Fiske dan Hartley menunjukkan faktor-faktor umum yang mempengaruhi efektivitas suatu komunikasi, antara lain:
1. Semakin besar monopoli sumber komunikasi terhadap penerima,
semakin besar kemungkinan penerima akan menerima pengaruh atau pesan tersebut.
2. Pengaruh komunikasi yang paling besar adalah pada saat pesan
yang disampaikan sesuai dengan pendapat, kepercayaan dan watak penerima.
3. Komunikasi dapat menyebabkan perubahan yang efektif atas
masalah yang tidak dikenal, dianggap ringan, dan bukan inti, yang tidak terletak pada pusat sistem nilai penerima itu.
4. Komunikasi akan lebih efektif jika sumber dipercaya memiliki
keahlian, status yang tinggi, obyektif, atau disukai, tetapi yang paling utama adalah sumber memiliki kekuasaan dan dapat
diidentifikasikan. 5.
Konteks sosial, kelompok atau kelompok referensi akan menjadi penengah dalam komunikasi dan mempengaruhi apakah
komunikasi akan diterima ataukah ditolak. Devito, 2011: 209.
2.1.4.3 Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Devito menjelaskan
mengenai efektivitas
komunikasi interpersonal dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu
“Keterbukaan openness, empati empathy, sikap mendukung supportiveness,
sikap positif
positiveness, dan
kesetaraan equality
.” Devito, 2011: 259. 1.
Keterbukaan Openness Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya
berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini
mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi.
Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan,
asalkan pengungkapan diri ini dirasa patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada
kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak
tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap
apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan
ketidaksependapatan jauh
lebih menyenangkan.
Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara
spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan
pikiran. Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik
anda dan anda bertanggungjawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang
menggunakan kata Saya kata ganti orang pertama tunggal. 2.
Empati empathy Henry Backrack mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan
seseorang untuk mengetahui “apa yang sedang dialami orang
lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu,
melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih.
Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan
perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang
lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mend atang. Pengertian empatik ini akan
membuat seseorang
lebih mampu
menyesuaikan komunikasinya. Misalnya menyesuikan apa yang kita katakan
atau bagaimana kita mengatakannya. Kita dapat menghindari topik tertentu atau memperkenalkan orang tertentu.
Langkah pertama dalam mencapai empati ini adalah menahan godaan untuk mengevaluasi atau menilai, menafsirkan,
dan mengkritik. Bukankarena reaksi ini “salah”, melainkan semata-mata karena reaksi-reaksi seperti ini sering kali
menghamobat pemahaman. Sedangkan fokusnya adalah ada pada pemahaman itu.
Kedua, makin dekat anda mengenal seseorang baik itu keinginannya, pengalamannya, kemampuannya, ketakutannya,
maka akan semakin mampu kita melihat apa yang dilihat orang itu dan merasakan seperti apa yang dirasakannya. Cobalah
mengerti alasan yang membuat orang itu merasa seperti yang
dirasakannya. Jika anda mengalami kesulitan dalam memahami seudut pandang orang lain, ajukanlah pertannyaan, carilah
kejelasan, dan doronglah orang untuk berbicara. Ketiga, cobalah merasakan apa yang sedang dirasakan
orang lain menurut sudut pandangnya. Mainkanlah peran orang lain dalam diri anda. Ini dapat membantu kita melihat dunia
lebih dekat dengan apa yang dilihat orang itu. Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara
verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan 1
keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; 2 konsentrasi terpusat meliputi
komtak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta 3 sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
3. Sikap mendukung supportiveness
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung supportiveness. Suatu konsep yang
perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung
dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap 1 deskriptif, bukan
evaluatif, 2 spontan, bukan strategic, dan 3 provisional, bukan sangat yakin.
Suasana yang bersifat deskriptif dan bukan evaluatif membantu
terciptanya sikap
mendukung. Bila
anda mempersepsikan suatu komunnikasi sebagi permintaan akan
informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu, anda umumnya tidak merasakan sebagai ancaman. Anda tidak
ditantang dan tidak perlu mebela diri. Dipihak lain, komunikasi yang bernada menilai sering kali membuat kita bersikap
defensif. Ini tidak berartibahwa semua komunikasi evaluatif menimbulkan reaksi defnsif. Orang sering kali bereaksi terhadap
evaluasi positif tanpa sikap defensif. Dalam hal ini bahwa pada kenyataannya ada orang yang mempunyai kewenangan untuk
mengevaluasi kita dengan cara apapun dapat membuat kita merasa tidak enak dan mungkin membuat anda bersikap defnsif.
Mungkin anda menduga evaluasi berkutnya tidak akan sangat positif. Begitu juga, evaluasi negatif tidak selalu menimbulkan
reaksi defensif. Tetapi pada umumnya, suasana evaluatif membuat orang
lebih defensif daripada dalam suasana deskriptif. Spontanitas juga dapat membantu menciptakan suasana
mendukung. Orang yang spontan dalam komunikasinya dan terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya
biasanya bereaksi dengan cara yang sama yaitu terus terang dan terbuka, bila kita merasa bahwa orang menyembunyikan
perasaan yang sebenarnya atau dia mempunyai rencanastrategi maka kita bisa bereaksi secara defensif.
4. Sikap positif positiveness
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: 1 menyatakan sikap
positif dan 2 secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya
dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif
terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk
interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati
interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
Sikap positif dikenal dengan istilah stroking dorongan. Dorongan adalah istilah yang berasal dari kosa kata umum, yang
dipandang sangat penting dalam analisis transaksional dan dalam interaksi antarmanusia secara umum. Perilaku mendorong
menghargai keberadaan dan pentingnya orang lain, perilaku ini bertentangan dengan ketidakacuhan.
Dorongan dapat berupa 1 dorongan verbal seperti dengan mengatakan “Saya menyukai anda”, atau “Saya senang
bisa berbincang- bincang dengan anda”. 2 Dorongan nonverbal
seperti senyuman, tepukan dibahu, atau tamparan muka. Dorongan positif umumnya berbentuk pujian dan penghargaan,
dan terdiri dari atas perilaku yang biasanya kita harapkan, kita nikmati, dan kita banggakan. Dorongan positif ini mendukung
citra pribadi kita dan membuat kita merasa lebih baik. Sebaliknya, dorongan negatif bersifat menghukum dan
menimbulkan kebencian. 5.
Kesetaraan Equality Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah
seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada
dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih
efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan
berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidaksependapatan dan konflik lebih dillihat
sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak
lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan
menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau
menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang
lain.
2.1.5 Tinjauan Bidan 2.1.5.1 Pengertian Bidan