Kasus HIV-AIDS HASIL ANALISIS

Jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk telah dipikirkan Pemerintah Orde Baru melalui pembangunan puskesmas dan rumah sakit dengan tarif murah. Setelah krisis, di ta- hun 1998 Pemerintah menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan JPS-BK tahun 1998 –2001 yang didanai dari pinjaman Bank Pembangunan Asia. Peng- gantian pemerintahan mengubah nama program dan sum- ber dana dari pengurangan subsidi BBM menjadi program Dampak Pengurangan Subsidi Energi PDPSE di tahun 2001. Kemudian program berubah lagi menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak PKPS –BBM tahun 2002–2004. Di Tahun 2005, program serupa diberi nama Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin Askeskin karena untuk pertama kalinya dikelola secara Nasional oleh PT Askes. Tahun 2008, program ini diubah lagi menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyara- kat Jamkesmas dan pengelolaannya ditangani oleh Ke- menterian Kesehatan, sampai sekarang. Di jaman Orde Baru, tarif layanan Puskesmas ditetapkan sama secara Nasional, yaitu sebesar Rp 100 per kunjun- gan termasuk obat, agar terjangkau oleh seluruh rakyat. Begitu juga tarif RS Publik ditetapkan sangat rendah agar semua rakyat dapat menjangkau layanan kesehatan. Na- mun demikian, tarif RS tidak sama dengan tarif Puskesmas yang sudah termasuk biaya obat. Tarif RS masih dibedakan antara biaya karcis, biaya pemeriksaan dokter, biaya laboratorium, biaya pemeriksaan radiologi, biaya obat dll. Hal ini merupakan konsep dagang layanan kesehatan. Alhasil, rakyat tidak pernah tahu biaya berobat yang harus dibayarnya sampai ia selesai berobat. Tidak jarang mereka harus meminjam uang, membayar obat sebagian, atau meminta keringanan dari pihak RS. Tentu saja, model pentarifan RS Publik semacam ini tidak akan menjamin tarif yang terjangkau. Tarif terjangkau hanya terjadi jika sebelum berobat rakyat sudah tahu pasti berapa yang harus dibayar seperti di Malaysia. Di Malaysia, semua layanan Puskesmas tetap gratis sam- pai sekarang, termasuk bersalin oleh dokter atau bidan. Tarif layanan rawat jalan oleh dokter spesialis di RS Publik, termasuk pemeriksaan laboratorium dan obat hanya RM 1 setara hampir Rp 3.000 sekali berobat. Sementara jika penduduk Malaysia memerlukan rawat inap, ia hanya membayar RM 3 sekitar Rp 8.000-9.000 per hari rawat. All in. Meskipun ia mendapat operasi atau harus dirawat di ruang perawatan intensif, tarif yang harus dibayar penduduk Malaysia tetap RM 3. Dengan tarif seperti itu, yang diketahui oleh seluruh penduduk, karena sudah ber- langsung puluhan tahun. Sejak Malaysia merdeka di tahun 1957, belum pernah terjadi pentarifan model di RS Publik di Indonesia. Maka tarif layanan kesehatan di Malaysia sudah pasti terjangkau semua rakyat. Pemerintah Malaysia menyadari bahwa kesehatan adalah hak dasar penduduk dan Pemerintah berkewajiban melayani rakyatnya. Di Indo- nesia, pola pikir Pemerintah dan Pemda bukan melayani rakyat, tetapi berjualan kepada rakyat. Liberalisasi Layanan Kesehatan Tarif Puskesmas dan tarif RS Publik di Indonesia ber- tambah mahal sejak tahun 1990-an atas desakan lembaga keuangan internasional dan donor asing yang menganjur- kan liberalisasi layanan kesehatan. Konsep pemulihan biaya cost recovery diperkenalkan di tahun 1990an untuk mengurangi “subsidi” RS. Rumah Sakit Publik juga diberi- kan kewenangan untuk membangun fasilitas privat dengan layanan swasta di sore hari dan membangun kamar perawatan berkelas-kelas sampai ruang VVIP yang sangat mahal. Konsep tarif dan layanan berkelas ini memang konsep pasar, konsep jualan yang tidak terjadi di Malaysia, Sri Lanka, Hong Kong, Inggris, dan negara-negara kese- jahteraan lain. Pemerintah Indonesia tidak menghitung dengan cermat akibat jangka panjang dari kebijakan libe- ralisasi yang pada akhirnya menyulitkan rakyat banyak di masa sekarang. Untuk melindungi penduduk miskin, pemerintah menyediakan layanan kelas III yang murah. Namun, dalam praktiknya ketika itu, pernah terjadi dan mungkin masih terjadi banyak dokter spesialis tidak mau melayani pasien kelas III karena mereka tidak mendapat “jasa medik”. Padahal mereka sudah mendapat gaji dan fasilitas yang memungkinkan mereka menjadi spesialis yang laku dalam praktik swastanya. Dokter pun diberi kewenangan untuk menambah penghasilannya dengan 26 praktik sore, yang sering dilakukan di RS yang sama. Me- mang sebagian kecil rakyat Indonesia mampu membeli layanan rumah sakit publik yang mahal. Tetapi, semakin banyak rakyat yang tidak miskin tidak mampu menjangkau layanan kesehatan. Maka program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan hampir miskin dikembangkan. Program Jaminan Kesehatan bagi penduduk miskin, baik Jamkesmas, Askeskin, Jamkesda, maupun Medicaid di Amerika, tidak pernah menyelesaikan masalah. Berbagai masalah kepesertaan, paket manfaat dan pendanaan, pelayanan dan fasilitas kesehatan maupun masalah kelem- bagaan selalu muncul. Banyak kritik dan keluhan disam- paikan masyarakat, pemerintah, bahkan pejabat pemerintah sendiri. Setelah ribut-ribut soal Askeskin, Jamkesmas dilaksanakan dengan tekad mencukupi dana yang tersedia. Sebagian peserta dialihkan kepada Pemda yang kemudian berkembang dengan nama Jamkesda. Masalah tidak selesai karena kita salah memahami kebu- tuhan dasar layanan kesehatan. Jaminan Kesehatan Bukan Hanya Bagi Penduduk Miskin Pola pikir mind set yang berkembang di kalangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah adalah, bahwa tanggung-jawab pemerintah hanyalah pada penduduk miskin. Hal ini memang diterapkan di masa lalu di Amerika. Diantara negara maju, hanya di Amerika konsep ini dit- erapkan. Padahal, di Amerika sendiri terjadi gejolak refor- masi kesehatan yang menuntut jaminan kesehatan seluruh penduduknya sejak setelah Perang Dunia II. Puncak keberhasilannya adalah tahun 2010 ketika Obama menjadi Presiden Amerika. Obama menunda kunjungan ke Indone- sia di bulan Maret 2010 hanya untuk meyakinkan Kongres DPR Amerika untuk menyetujui rencana Obama menye- diakan jaminan kesehatan bagi semua penduduk, atau yang dikenal dengan Cakupan Universal. Di Indonesia, Amandemen UUD 45 yang pertama di tahun 1999 telah mengamanatkan negara menyediakan, baik langsung ataupun melalui sistem asuransi, layanan kesehatan untuk seluruh penduduk. Hal ini tertuang dalam amandemen pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “setiap penduduk berhak atas layanan kesehatan”. Namun imple- mentasi perubahan UUD 45 tersebut sampai saat awal tahun 2011 masih belum tampak. Konsep yang diterapkan hanya menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin sebagaimana dijalankan dalam program Jamkesmas. Hal tersebut terjadi karena kesalahan faham pimpinan negeri ini yang menganggap bahwa tanggung-jawab Pemerintah hanyalah bagi penduduk miskin. Mereka hanya memahami pasal 34 UUD 45 yang lama, yaitu “fakir miskin dipelihara negara”. Padahal UUD 45 sudah diamandemen dengan pasal 34 ayat 2, 3, dan 4. Pasal 34 ayat 1 memang masih dipertahankan dengan “fakir miskin dan anak telan- tar dipelihara negara. Tetapi, pasal itu tidak berlaku untuk jaminan kesehatanjaminan sosial dan layanan kesehatan. Pasal itu hanya berlaku untuk kebutuhan hidup yang bersi- fat pasti, yang bisa dianggarkan, seperti pangan, sandang dan papan. Untuk kesehatan tidak bisa digunakan rujukan pasal 34 ayat 1. Pasal 34 ayat 2 UUD 45 mengharuskan Negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Bunyi pasal itu jelas, untuk seluruh rakyat. Praktik umum di dunia, jaminan sosial paling tidak mencakup ja- minan kesehatan dan jaminan hari tua. Atas perintah pasal 34 ayat 2 itulah kemudian UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional SJSN No. 40 tahun 2004 dikeluarkan. Sayangnya, sampai sekarang UU tersebut belum dil- aksanakan oleh Pemerintah. Masalah utamanya, keliru faham tentang tanggung-jawab Pemerintah. Kriteria Miskin Tidak Relevan untuk Layanan Kesehatan Program untuk segmentasi penduduk berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin selalu bermasalah. Di seluruh dunia, program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin saja tidak pernah bebas dari masalah. Sebab, kriteria miskin sangat relatif. Batas antara yang miskin dan yang tidak miskin sangat tipis sehingga di lapangan selalu timbul berbagai masalah elijibilitas berhak tidaknya suatu keluar- ga mendapatkan kartu Jamkesmas atau mendapat pem- bebasan biaya berobat. Sebagai contoh, atas dasar krite- ria rumah tangga miskin RTM yang kini digunakan Badan Pusat Statistik BPS tahun 2011, misalnya, sebesar Rp 234.000 dibulatkan per orang per bulan. Bagaimana dengan RT yang memiliki penghasilan sebesar Rp 250.000 per orang per bulan? Jelas menurut kriteria itu, keluarga ini tidak tergolong miskin. Maka keluarga ini tidak berhak mendapat kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Akan tetapi, perbedaan penghasilan yang hanya berbeda Rp 10.000 tidak ada artinya. Ketika satu anggota keluarga ini terkena musibah sakit dan perlu biaya berobat sebesar Rp 100.000 saja, maka tidak ada beda kemampuan membayar keluar- ga miskin dan keluarga tidak miskin tersebut. Bagaimana jika biaya berobat mencapai jutaan rupiah? Semantara Tuhan sudah mengatur jenis penyakit dan karenanya biaya berobat yang dibutuhkan tidak pernah terjadi dengan pili- han yang miskin hanya dikenai penyakit ringan yang murah biaya berobatnya dan yang kaya ter-kena penyakit berat. Inilah kekeliruan mendasar bangsa kita. Kajian yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Pe- nanggulangan Kemiskinan TNP2K menunjukkan bahwa kesalahan memasukan inclusion, yang memiliki kartu 27