BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah diskriminasi gender dalam olahraga prestasi, utamanya olahraga yang mengundang citra laki-laki. Pada hal telah
banyak payung hukum yang dibuat terkait dengan kesetaraan gender, seperti: konsep diskriminasi discrimination gender dalam konvensi CEDAW yang menyuarakan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 Pasal 6 Bab IV tentang Sistem Keolahragaan Nasional SKN yang menegaskan
mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga.
Meskipun demikian aneka diskriminasi terhadap hak dan peranan kaum perempuan di Indonesia seperti dalam bidang sosial, ekonomi, dan lebih-lebih bidang politik masih merupakan
masalah yang sangat kompleks dengan akar sejarah yang cukup panjang, dan simptomnya jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ketimpangan sosial ini dapat diamati sejak
berlangsung proses sosialisasi terhadap anak bayi perempuan, dan semakin kentara tatkala mereka sudah menginjak usia remaja dan dewasa. Mereka sering diabaikan dalam kehidupan
bermasyarakat dan perlakuan itu semakin parah pada waktu mereka dilanda kesulitan ekonomi sehingga mereka semakin tidak berdaya. Akar masalah ketidak berdayaan itu ialah terutama
karena terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan, dan kalaupun ada, lebih mengarah pada pelatihan kecakapan hidup berupa keterampilan mengerjakan tugas-tugas
domestik seperti urusan rumah tangga. Di balik kesemua itu budaya merupakan faktor yang amat menentukan.
Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia menyebabkan sempitnya kesempatan mereka untuk berperan di masyarakat. Di lain pihak pemerintah Indonesia telah menunjukkan
komitmen bersama masyarakat internasional untuk mengatasi aneka diskriminasi tersebut dengan ikut serta meratifikasi konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap
perempuan atau CEDAW The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women pada tahun 1975 di markas besar PBB. Komitmen itu diperkuat pula dengan
diterbitkannya Undang-Undang RI no 7 tahun 1984 sebagai implementasi CEDAW yang berjalan 20 tahun lamanya, meski hanya segelintir orang tahu dan menjalankannya. Padahal
sebagai payung hukum baik CEDAW maupun UU RI no 7 tahun 1984 harus mampu melindungi perempuan dalam berbagai aktivitasnya. Namun
isi konvensi dan Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya diwujudkan, hingga berhasil mendudukkan perempuan setara dengan kaum
laki-laki. Bahkan potret popular yang ditampilkan wanita di Indonesia tak ubahnya dengan profil wanita di kawasan Asia Tenggara yakni sosok korban yang mengalami tingginya angka
buta huruf, kemiskinan, dan rendahnya harapan hidup Rena,1998:12. Masalah sosial inilah di antaranya yang ingin dituntaskan melalui program pengentasan kemiskinan, program penurunan
angka kematian akibat melahirkan, dan pemerataan pendidikan yang menjadi sasaran Millenium Development Goals 2015. Isu ini sangat relevan untuk menyoroti masalah sosial Indonesia.
Aspirasi untuk menghapus ketimpangan sosial dan menciptakan citra perempuan yang setara dengan kaum laki-laki sudah sejak lama dicetuskan oleh beberapa tokoh wanita sejak
masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarah nasional, tercatat beberapa tokoh wanita yang menunjukkan kepedulian besar bagi kemajuan bangsa, termasuk ikut
membela perjuangan melawan penjajah Belanda. Mereka melancarkan kegiatan pembebasan untuk melepas rantai yang membelenggu kaum perempuan yang diungkapkan dalam istilah
‘pingitan’. Beberapa tokoh yang dikenal oleh masyarakat luas seperti Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiah, dan khususnya Raden Ajeng Kartini, melancarkan
gerakan pembebasan kaum wanita melalui program pendidikan. Fakta sejarah ini terekam dalam surat-surat Kartini, seperti tertuang dalam naskah alih bahasa Sulastin Sutrisno 1981:IX dari
buku edisi Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang ditulis oleh keluarga Abendanon pada sekitar tahun 1911, adalah “ … lebih mirip artinya adalah memperlihatkan
gerak aktif melintasi kegelapan untuk sampai pada terang.” Melalui program yang bercorak non-formal education pendidikan luar sekolah, upaya
Kartini dinilai memberi inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia, dan secara langsung ikut memberi isi pada pertumbuhan nasionalisme awal proto-nationalisme. Boleh disebut kegiatan
Kartini, mengambil istilah yang pernah dipaparkan Azra 2008:10 sebagai “… dimensi sosial dan kultural” Ini berarti dibutuhkan upaya yang lebih giat terutama melalui penetapan dan
penerapan kebijakan publik dari pihak pemerintah untuk memberdayakan perempuan, didukung pula oleh upaya masyarakat luas untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
berbagai faset kehidupan. Kondisi yang menghambat kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan
formal, berawal dari budaya ‘pingitan’ dalam bentuk aneka pembatasan yang diperlakukan terhadap perempuan pada semua lapisan sosial di berbagai daerah di Indonesia. Budaya seperti
ini bermula dari kecenderungan masyarakat untuk mendidik anak perempuan dengan perlakuan yang berbeda dengan laki-laki seperti tercermin dalam pola asuhan di lingkungan keluarga dan
perlakuan ini merambah hingga pada kalangan masyarakat umum. Mengutip istilah Rusli Lutan 2004:90 fenomena ini disebut proses ’perambatan’, yakni proses yang menjalar dari keluarga
ke masyarakat luas yang terjadi pada semua faset kehidupan, seperti pemilihan jenis permainan,
warna pakaian, dan perilaku sehari-hari, hingga pada perolehan pendidikan dan aktivitas lainnya seperti keterlibatan dalam kegiatan berolahraga.
Selanjutnya dari tahun ke tahun, peringatan hari Kartini membangkitkan inspirasi untuk memberdayakan perempuan. Karena perempuan ini, ternyata tidak saja aktif dalam usaha
ekonomi, tetapi terus menerus memperbaiki posisinya. Mereka ini kata Ravana dalam risalahnya “Women as the leader, development … are not the submissive, sufferace for active players ,
projected by the media, but active players, within the limitation the face.”
Menanggapi pembedaan peranan perempuan ini pada sekitar tiga dasawarsa yang lalu pernah diungkap kembali, misalnya dalam risalah refleksi satu abad Kartini di antaranya
berbunyi: ”Meskipun wanita-wanita pada zaman sekarang sudah mengecap pendidikan tinggi dan juga menempati beberapa jabatan penting, tetapi kondisi itu sama sekali belum merata.”
Sinar Harapan, 1979:11. Di lain pihak memang ada kemajuan dan penonjolan di sana sini, tetapi cenderung merupakan kasus misalnya, berita dalam surat kabar tentang seorang
perempuan yang dididik sebagai Wanita Angkatan Udara WARA pada usia 24 tahun. Prestasi ini tentu dapat mengangkat derajat perempuan dengan menjadi pilot helikopter pertama di
Indonesia, sebuah profesi yang biasanya didominasi kaum laki-laki. Berkenaan dengan berita ini komentar media adalah, “kalau saja Raden Ajeng Kartini masih hidup, tentu ia akan bangga.”
Fariana, nama pilot itu, telah membuktikan bahwa sesungguhnya perempuan juga bisa memangku profesi yang dinilai memerlukan keahlian tinggi sebagai pilot helikopter yang
biasanya dianggap hanya cocok dan mampu diawaki pilot lelaki. Dari upaya itu sekilas dapat ditafsirkan bahwa ia memiliki semangat emansipasi sebagaimana dalam tahun silam sebelumnya
diperjuangkan Kartini Pikiran Rakyat, 2006:28 kolom 5 dan 7.
Kasus penonjolan prestasi wanita lainnya ialah terpilihnya Rukmini Hadihartini sebagai direktur wanita pertama di Pertamina. Dalam Harian Jawa Pos 18 April 2008 pada halaman
depan wartawan menulis, “Baru kali ini Pertamina punya direktur wanita” dan perihal pencapaian karirnya, ketika ditanya wartawan, Rukmini berkomentar, “… Ya, inilah
emansipasi.” Dalam kalimat lainnya Rukmini menjelaskan makna emansipasi yang sesungguhnya yaitu “…stereotipe kaum Hawa sebagai mahluk yang lemah dan tidak sekuat
kaum Adam harus dihilangkan.” Ilustrasi lainnya, dalam konteks masyarakat Asia yakni beberapa perempuan berhasil
memegang tampuk kekuasaan di bidang politik. Ketika Hillary Clinton, mantan ibu Negara Amerika Serikat, yang kemudian menjadi senator negara bagian New York dan dalam tahun
2008 ini berjuang untuk menjadi presiden wanita pertama di Amerika Serikat yang dikenal sebagai penganjur demokrasi, dan pada awal tahun 2009 diangkat mentri luar negri Amerika
Serikat. Sejak 1960-an tercatat 11 wanita Asia memegang kekuasaan tertinggi sebagai perdana mentri, termasuk jadi presiden diantaranya Megawati Sukarno Putri. Pola pemunculan mereka,
meskipun berbeda dalam budaya tapi menampilkan kesamaan ciri yakni: “Politically powerful parents and husbands” Newsweek, Oktober 2007. Dengan kata lain pemunculan mereka
berada dalam bayang-bayang kharisma orang tua atau suaminya. Mereka seperti penerus dinasti dan pewaris kepentingan politik, atau “These women share dynastic origins and inherited
political leadership” Newsweek, 22 Oktober 2007. Namun wanita yang tampil dalam politik jauh dari ambang yang seharusnya. Dalam artikel Johanna Son Asia Times; 21 Juni 2001 yang
berjudul Women far from critical mass in Asia Politics, tersingkap masalah tentang persentase wanita yang duduk dalam pemerintahan lokal di kawasan Asia-Pasifik dengan rentang antara 2
hingga 33 persen, karena kouta landasan hukum menetapkan untuk wanita, dan juga untuk
pemerintahan pusat seperti kuota 30 persen anggota DPR, untuk wanita di Indonesia, masih jauh dari harapan. Dalam olahraga tampil Rita Subowo sebagai wanita pertama di Indonesia menjabat
ketua umum Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI tahun 2007 dan selanjutnya Datuk Azelina menjadi menteri olahraga dan pemuda, tokoh wanita muda dari Malaysia.
Cuplikan data kecil ini memberi gambaran tentang struktur dasar sosial yang esensial yang mencerminkan masih sempitnya kesempatan bagi wanita sekarang untuk lebih leluasa
berperan di masyarakat atau untuk memangku jabatan struktural, termasuk jabatan tertinggi di bidang olahraga. Situasi ini terkait pula dengan perubahan sosial yang dipengaruhi oleh nilai-
nilai inti, terutama tentang nilai kesetaraan gender yang akhir-akhir ini dalam banyak perdebatan mencuat sebagai tema utama, baik pada tataran internasional maupun nasional. Isu inilah,
terutama tentang tata latar proses sosialisasi di lingkungan keluarga, dan pengaruhnya terhadap pilihan kegiatan wanita dalam olahraga prestasi, yang menjadi tema sentral penelitian ini.
A. Kesetaraan Gender dan Proses Sosialisasi