Kesetaraan Gender dan Proses Sosialisasi

pemerintahan pusat seperti kuota 30 persen anggota DPR, untuk wanita di Indonesia, masih jauh dari harapan. Dalam olahraga tampil Rita Subowo sebagai wanita pertama di Indonesia menjabat ketua umum Komite Olahraga Nasional Indonesia KONI tahun 2007 dan selanjutnya Datuk Azelina menjadi menteri olahraga dan pemuda, tokoh wanita muda dari Malaysia. Cuplikan data kecil ini memberi gambaran tentang struktur dasar sosial yang esensial yang mencerminkan masih sempitnya kesempatan bagi wanita sekarang untuk lebih leluasa berperan di masyarakat atau untuk memangku jabatan struktural, termasuk jabatan tertinggi di bidang olahraga. Situasi ini terkait pula dengan perubahan sosial yang dipengaruhi oleh nilai- nilai inti, terutama tentang nilai kesetaraan gender yang akhir-akhir ini dalam banyak perdebatan mencuat sebagai tema utama, baik pada tataran internasional maupun nasional. Isu inilah, terutama tentang tata latar proses sosialisasi di lingkungan keluarga, dan pengaruhnya terhadap pilihan kegiatan wanita dalam olahraga prestasi, yang menjadi tema sentral penelitian ini.

A. Kesetaraan Gender dan Proses Sosialisasi

Lawan dari kesetaraan adalah diskriminasi. Konsep diskriminasi discrimination gender dalam konvensi CEDAW yang dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi 45 Munti, 2006:23 dijabarkan secara rinci yakni: Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas`dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Substansi deklarasi ini dapat ditelusuri yakni merujuk kepada payung besar, Universal Declaration of Human Rights, yang diadopsi dan dicanangkan dalam Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa PBB no 217 A III 10 Desember 1948, yang di antaranya dalam mukadimah berbunyi: ”Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.” Realisasi dari prinsip kesetaraan itu juga dapat disimak dalam penyelenggaraan pendidikan yang bersifat inklusif di Indonesia seperti tersurat dalam Bab 3 UU Sisdiknas tentang hak warga untuk memperoleh pendidikan. Dalam pasal 5, 6, dan 7 UU SISDIKNAS, 1984:21 disebutkan bahwa ”Setiap warga negara berhak untuk mengikuti pendidikan.” Seterusnya ditegaskan bahwa, ”Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi.” 1989:4-5. Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas menegaskan prinsip demokratisasi dalam pendidikan, sehingga pendidikan merupakan hak azasi semua warga Indonesia, tanpa terkecuali, yang berimplikasi bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Karena itu pengaturan pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengurangi arti keadilan bagi setiap warga untuk memperoleh pendidikan, selain sangat menekankan prinsip persamaan, yang memang sejak lama menjadi isu nasional, seperti dituangkan dalam kebijakan pemerataan pendidikan. Prinsip demokrasi juga ditegaskan dalam olahraga. Untuk menjamin hak berolahraga yang sama di Indonesia, telah diterbitkan payung hukumnya berupa Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang bertujuan untuk membangun dan menata sistem, di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Dalam Pasal 6 Bab IV ditegaskan hak semua orang untuk berolahraga, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berolahraga Menpora, 2008. Yang menjadi persoalan ialah sejauh mana implementasi payung hukum tersebut, sama hal nya dengan realisasi penerapan beberapa butir deklarasi dalam bidang olahraga, seperti Deklarasi Paris 1978 yang dirumuskan oleh UNESCO perihal International Charter of Physical Education and Sport. Dalam pasal satu ditegaskan tentang hak azasi manusia untuk berolahraga. Dapat juga disimak secara seksama isi Olympic Charter yang melarang “Any form of discrimination with regard to a person on grounds of race, religion, politics, sex or otherwise in compatible which belonging to Olympic movement.” Kesenjangan antara komitmen dalam dokumen dengan praktek sesungguhnya masih terjadi. Sejak diterbitkannya Resolusi 1092 1996 oleh sidang umum Dewan Eropah tentang diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga, dan lebih khusus dalam olympiade, diungkapkan adanya diskriminasi dalam hal akses untuk berolahraga, baik sebagai amatir maupun professional. Diskriminasi ini, seperti dalam dokumen rekomendasi Dewan Eropah 1701 yaitu masih terdapat stereotipe yang melekat, kurangnya dukungan bagi olahragawan wanita untuk mewujudkan prestasinya, kesulitan rekonsiliasi kerjaolahraga dan kehidupan keluarga, masalah integrasi kembali dalam dunia kerja dan terbatasnya liputan media terhadap olahraga wanita, di samping terbatas pula dana yang disediakan. Selanjutnya dijelaskan perlunya upaya yang meluas melalui tindakan nyata ini untuk memerangi diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga, seperti dalam Brightown Declaration 1994, Wind Lock dan Paris Call for Action 1994 dan 2004 dan memorandum Berlin 2002. Olahraga modern, termasuk lembaga olahraga elit kompetitif telah melalaikan peranannya sebagai pelestarian budaya yang membentuk “masculine cultural”, budaya dominasi laki-laki. Dalam kaitan ini Guilianotti 2005:80 menjelaskan bahwa “Sport, institution at elite and gross roots levels still typically harbour formal and informal restrictions on woman’s full participations.” Sebaliknya karena dipengaruhi oleh sistem sosial seperti di Cina yang diinspirasi oleh Red Sport Movement Gerakan Olahraga Merah yang didirikan tahun 1932 para wanita ditempa “to produce moral active identities, iron bodies and fresh duty responsibilities for women Hong, 1997; dalam Giulianotti, 2005:85. Keadaan serupa dijumpai dalam era Uni Sovyet, yakni para atlet wanita digembleng agar memiliki “courage, skill, even stereographic,” dan dalam olahraga “ winning, prestige for club, fantacy, farm region, ethnic group and republic.” Riordan, 1991;1999; dalam Guilianotti, 2005:85. Pembatasan patokan rekor prestasi dan batas lawan bertanding, yang berbeda antara atlet pria dan wanita sering didasarkan pada alasan biologis. Dalam ukuran absolut memang laki-laki 50 persen lebih kuat dari perempuan, dan 25 persen lebih kuat relatif pada ukuran tubuh;lebih kuat pada bagian tubuh atas yang membantu laki-laki untuk memilih dan didukung pada olahraga angkat besi Guilianotti, 2005:87. Namun perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki lebih diperkuat oleh persepsi individu dalam masyarakat bahwa seseorang pada kodratnya terlahir sebagai anak laki-laki atau perempuan dan pembedaan itu dipandang menjadi penting dalam kehidupan masing-masing di kemudian hari. Meutia Hatta Saswono dalam Suara Pembaharuan Daily 2008:2 menegaskan bahwa “Kodrat yang dikhususkan oleh Tuhan bagi kaum perempuan adalah haid, hamil, dan menyusui. Di luar dari itu tidak ada perbedaan wilayah minat dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan.” Jadi jelas bahwa pembedaan antara pria dan wanita yang terjadi di masyarakat itu cenderung dibentuk di masyarakat oleh nilai budaya, sehingga masyarakat memberi peran dan kesempatan yang berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan. Nilai budaya yang melandasi perlakuan terhadap masing-masing anak semacam itu diwariskan atau diawetkan dari generasi tua ke generasi berikutnya, dimulai dari lingkungan keluarga. Para orang tua mengalihkan nilai-nilai yang diusung oleh masyarakat melalui proses sosialisasi dalam bentuk pemberian peran kepada keturunannya, masing-masing sebagai laki-laki dan peran sebagai perempuan, dan masyarakat ikut serta menggiringnya tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki dan perempuan bersikap atau berbuat. Lambat laun sikap, pandangan, dan perlakuan seperti itu melekat menjadi stereotip gender. Nelien 2005:04 menjelaskan bahwa “makna-makna sosial yang diberikan atas perbedaan jenis kelamin secara biologis ini tercakup dalam istilah gender.” Selanjutnya Jivka Marinova dalam pertemuan kelompok ahli tentang “The role of men and boys in achieving gender equility” yang dikoordinir oleh PBB khusunya “Division for Advancement of Women” DAW menjelaskan konsep gender yang terkait dengan stereotipe. Jivka menjelaskan persamaan itu telah dan masih dipahami di kalangan masyarakat sebagai sesuatu yang hanya berkenaan dengan wanita atau “as something concerning only women,” dan bahkan hanya untuk wanita dan dilaksanakan untuk wanita. Ia juga mengungkapkan ihwal stereotipe berkenaan dengan masing-masing laki-laki dan perempuan, yang tertanam begitu mendalam dalam benak masyarakat. Gagasan tentang persamaan gender itu pada gilirannya secara tidak sadar disisihkan oleh “stereotypical thinking” atau pikiran stereotipe. Rumusan ke arah persamaan gender itu telah dimulai di Konferensi Vienna 1993, disusul UN International Conference on Population and Development CPD di Cairo tahun 1994 dan di Beijing tahun 1995 yang berisi platform tindakan nyata yang memberi tenaga bagi perjuangan hak wanita dan persamaan gender untuk beberapa tahun mendatang. Platform tindakan nyata tersebut menemukan prinsip umum kekuasaan power antara wanita dan pria di rumah, di tempat bekerja, dan di dalam lingkup masyarakat nasional dan internasional yang lebih luas. Gagasan penting lainnya ialah tentang “the principal of equility of women and man had to be integral to the socialization process.” Dengan kata lain persamaan derajat antara pria dan wanita itu harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses sosialisasi. Pertanyaan penting di mana proses sosialisasi dimulai, dijelaskan oleh Jivka 1993 bahwa proses itu berlangsung di keluarga, sekolah, dan tempat bekerja. Di keluarga proses sosialisasi dimulai sejak usia dini atau “it starts with the opening of the eyes of the small baby.” Karena sejak itu kata Jivka 1993 dalam konteks budaya yang berbeda-beda, terhadap anak laki- laki dan perempuan dengan nuansa yang berbeda pula, sering kali diajarkan sejak awal yakni anak perempuan harus patuh dan anak laki-laki harus jadi pemimpin dan kuat. Karena itu, peran keluarga merupakan awal dari proses sosialisasi peranan gender, termasuk penghapusan stereotipe yang membedakan pria dan wanita. Lingkungan sosialisasi berikutnya ialah sekolah, karena dalam lingkungan ini berlangsung proses pengalihan nilai secara sadar untuk mengikis stereotipe di lingkungan sekolah. Karena itu perlu lebih diperhatikan pengajaran nilai-nilai persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam ungkapan yang khas Jivka 1993 menjelaskan “Boys also can cry, and girls need to be strong.” Tidak kalah penting ialah sosialisasi di lapangan kerja. Hal ini berkenaan dengan pemberian status dan jabatan tanpa membedakan gender, kecuali berdasarkan prestasi dan kompetensi. Di Indonesia, misalnya, tindakan nyata sebenarnya sudah dimulai dikampanyekan di lembaga-lembaga seperti, alokasi 30 kursi di DPR untuk wanita. Selain itu mulai diupayakan jatah untuk wanita sebagai pengurus federasi olahraga lokal dan nasional. Bagaimana peran wanita masih terbentur dengan atribut yang melekat pada dirinya, seperti dipaparkan dalam rekaman ceramah Fan Hong 2005 yakni meliputi, 1 women are mothers and wives; 2 women do the cooking, mending, sewing and washing; 3 women take care of men and are subordinate to male authority; 4 women are largely excluded from high-status occupations and from positions of power. Paparan Fan Hong tersebut lebih menilik perempuan yang cenderung untuk mengerjakan aktivitas domestik dalam lingkungan keluarganya, dari mulai sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan seperti memasak, mencuci, menjahit, mengasuh, yang keseluruhannya itu terbatas pada pelayanan kebutuhan seluruh anggota keluarga. Dalam dua butir terakhir lebih spesifik lagi diungkapkannya tentang status wanita yang lebih rendah dari pada laki-laki karena sepenuhnya mengurus keperluan laki-laki. Selanjutnya status perempuan selalu di nomor duakan dalam hal otoritas yang membuat kelompok perempuan terkucilkan dari kesempatan untuk memangku jabatan tinggi atau memegang tampuk kekuasaan. Norma gender berupa sifat, peran, dan kedudukan laki-laki dan perempuan yang diatur dalam budaya etnis maupun agama, cenderung dilestarikan dan bahkan disosialisasikan secara turun temurun dengan alasan klasik yakni untuk menjaga harmoni. Karena itu ’budaya pingitan’ yang lazim dijumpai pada berbagai suku bangsa di Indonesia diawetkan dari waktu ke waktu, yang pada intinya menempatkan perempuan pada sifat dan peran yang lebih rendah dari pada laki-laki. Dalam penafsiran yang berbeda mengenai pendapat ini Soekarno 1963:9 sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, misalnya menjelaskan maknanya sebagai berikut: ... terlihat dari perilaku suami pada istrinya dan orang tua pada anak perempuannya, yang senantiasa diibaratkan bak mutiara yang disimpan dalam kotak pingitan. Pingitan semacam ini prinsipnya sama sekali bukan bertujuan untuk memperbudak, menghina, atau merendahkan kaum perempuan, akan tetapi lebih pada upaya untuk menjaga, menghormati dan memuliakannya. Agak bertentangan dengan pendapatnya di atas, Bung Karno 1963:9 malah menyatakan bahwa ”... penjagaan yang cukup ketat yang diibaratkan pundi-pundi dewi itu menjadikan setiap wanita tidak pernah dianggap akil-balig sampai mati.” Kemudian istilah sangat mencintai, sangat menyayangi, menghargai, menjaga, menghormati bahkan memuliakan para perempuan, bukankah perilaku dari pola pemingitan. Bahkan Sukarno mengistilahkan sebagai ”Suatu blasteran antara seorang dewi dan seorang tolol.” Rasionalisasi budaya pingitan seperti itu juga dijumpai dalam praktek meringkus kaki dalam sepatu sempit sejak kecil atau ’footbinding’ di kalangan perempuan di Cina yang menurut laki-laki di Cina, perempuan dengan kaki cacat dan kecil yang berjalan tertatih-tatih itu terlihat lebih seksi Fan Hong, 2005. Selain itu meskipun belum dijumpai penelitian yang serupa itu di Indonesia, perempuan bangsawan Madura memakai hiasan gelang kaki yang disebut ”penggel” yang beratnya bisa mencapai 3 kg dari bahan perak atau emas. Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura TMI, 2008:4, atau anting-anting besar di kuping perempuan Suku Dayak di Kalimantan Timur, seluruhnya dapat dilihat sebagai wujud budaya pingitan. Ketika budaya ‘pingitan’ mulai terkikis, artinya dikhotomi sifat, peran, dan posisi gender mulai memudar, secara perlahan-lahan peluang perempuan untuk melakukan aktivitas di luar rumah tangga sudah mulai tampak. Berkaitan dengan fenomena ini Muthali’in 2001:65 menjelaskan bahwa ”Perempuan sudah menunjukkan kecenderungan untuk berperan di sektor publik, meski yang dipilih masih peran-peran feminin, dan sektor domestik masih menjadi tanggung jawabnya, sehingga muncul peran ganda pada perempuan.” Dengan kata lain pemberian peran atau pilihan peran lebih disesuaikan pada struktur tugas dengan sifat yang lazim di masyarakat, karena sebagian besar warga masyarakat masih terperangkap pada pandangan stereotip yang sudah mengakar. Dalam konteks pembangunan bangsa, rumusan Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN Thn 1983, menempatkan peranan wanita, yang jika dicermati sepenuhnya merupakan praktik diskriminasi yang boleh jadi dipengaruhi oleh mitos kodrat wanita. Di dalamnya dinyatakan: 1 istri pendamping suami, 2 ibu pengelola rumah tangga, 3 ibu penerus keturunan, pendidik anak, dan pembina generasi muda, 4 sebagai pekerja untuk menambah penghasilan suami, dan 5 sebagai anggota organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya organisasi perempuan. Rumusan GBHN seperti ini mengundang kritik yang mengharapkan perempuan berperan sejajar dengan laki-laki, jangan hanya sebagai objek, tetapi mestinya juga sebagai subjek pembangunan Soetanto, 1991:13. Mudah dipahami pada masa itu, semua program berada di bawah paradigma ”Pembangunan nasional” yang dipandu oleh Trilogi Pembangunan, di antaranya stabilitas nasional, meskipun intervensi pemerintah terasa ke semua bidang, termasuk peranan wanita. Kemajuan yang dicapai dalam ekonomi, tetapi imbalannya, mengutip paparan Nina Herlina 2008:6 ”... negara betul-betul menguasai rakyat, hingga menarik hak aktif mereka yang juga diinginkan oleh negara.” Dalam perkembangan lebih lanjut pada GBHN 1993 dalam BP 7 Pusat 1993:228 sudah terlihat keinginan untuk mewujudkan kesetaraan gender, yakni “Wanita sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan merupakan mitra sejajar pria dan mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang.” Niat baik untuk mendudukkan wanita setara dengan pria dinyatakan oleh Presiden Soeharto dalam sambutan pada peringatan Hari Ibu ke-22 Desember 1995: ”Pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria.” Isi pidato itu kemudian ditegaskan kembali dengan diterbitkannya Instruksi Presiden no 5 tahun 1995. Sosialisasi tentang gender ini sebenarnya telah masuk secara rasional, tetapi masih lemah dalam politik, sebuah proses yang mirip dengan hasil kajian Ollenburger dan Moore 1996:145- 192 terhadap sekolah di Amerika, yang menunjukkan bahwa awalnya dalam praktik, diskriminasi para perempuan telah berkembang melalui masyarakat, memperoleh pendidikan pada jenjang tertentu. Meski diskriminasi itu belakangan berkurang, namun dalam wujud lain masih tampak. Tuntutan peran persamaan di antara laki-laki dan perempuan kesetaraan gender sering dicetuskan oleh kaum perempuan, sebagai upaya untuk memperoleh persamaan kesempatan untuk berhasil dalam hidup. Kesetaraan gender yang dimaksudkan adalah kesetaraan antara laki- laki dan perempuan yang merujuk pada kesamaan hak, tanggung jawab, kesempatan, perlakuan, dan penilaian Nelien:2005. Namun pada kenyataannya, hasil perjuangan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. Meski terjadi perubahan, yang relatif lambat dalam kesetaraan yang diinginkan, perempuan hanya disiapkan untuk mampu melakukan aktivitas pada sektor-sektor yang lembut saja soft-sector, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, perawatan, dan jasa, tetapi tidak untuk sektor yang keras hard-sector seperti kegiatan yang terhambat dengan kebijakan makro ekonomi, mesin, konstruksi dan pengambil keputusan dalam politik, termasuk sebagai atlet dalam cabang olahraga keras atau Masculine Sport Nelien, 2005:28. Selanjutnya Nelien 2005:29 mengemukakan beberapa bukti ketidakadilan gender sebagaimana hasil pengamatannya dari beberapa literatur seperti dalam Bhasin 1996, Mosse 1996, Prasetyio dan Marzuki 1997, Ihromi 1990 yaitu meliputi: “ 1 marginalisasi perempuan, 2 subordinasi perempuan, 3 stereotip jenis kelamin, 4 beban kerja lebih berat, dan 5 kekerasan terhadap perempuan.” Kesetaraan gender dianggap akan bisa dicapai manakala sesuatu yang kecil dan ekstra khusus dapat dilakukan oleh anak perempuan. Artinya hal-hal yang tadinya dianggap sepele dan selalu menjadi kebiasaan laki-laki juga dibiasakan untuk anak perempuan. Misalnya, aktivitas naik turun kursi, memanjat pohon, dan lainnya yang sejenis meskipun kelihatan sepele yang biasanya cocok untuk anak laki-laki, dapat juga dilakukan oleh anak perempuan, dan hal itu perlu disertai restu orang tuanya. Jika gagasan penyetaraan gender tidak dimulai dari keluarga sebagai tempat pendidikan pertama anak, maka cita-cita tentang kesetaraan gender dalam praktiknya sukar diwujudkan, karena ketidak setaraan gender telah dimantapkan secara mendalam dalam struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik di masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa perbedaan gender, utamanya dalam kuantitas dan jenjang pendidikan masih tetap ada. Sebagai contoh; semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Rajab 2002:24 mengungkapkan bahwa ”Jenjang pendidikan menunjukkan perbedaan gender yang signifikan.” Lebih jauh diungkapkan oleh Rajab untuk kasus Indonesia misalnya, tingkat pendidikan perempuan secara umum lebih rendah dibanding laki-laki. Berdasarkan proporsi gender dari siswa yang bersekolah, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah rasio gendernya. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sedikit proporsi anak perempuan yang bersekolah. Data tahun 1990 Rajab, 2002:24 menggambarkan bahwa rasio gendernya perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang memasuki sekolah untuk tingkat Sekolah Dasar SD 100:95; untuk SLTP 100:89; untuk SLTA 100:84; dan untuk Perguruan Tinggi 100: 69. Sebaliknya, imbasnya dari ketimpangan gender itu ialah munculnya prestasi dari kalangan kaum perempuan. Dari agenda wisudawan di Universitas Pendidikan Indonesia, kebanyakan wisudawan wanita mencapai predikat cum-laude, jauh melebihi proporsi wisudawan pria. Pemilihan pendidikan juga dipandang sebagai upaya pembedaan gender, karena tidak saja terlihat dari sisi kualitas, akan tetapi secara kuantitas sungguh tidak berimbang pula. Ini dapat dilihat dari anak perempuan yang hanya tamat SD jumlahnya jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Dalam ulasan kualitatif Nelien 2005:21 dengan jelas mengungkapkan bahwa ” Di antara anak-anak yang tidak bersekolah di seluruh dunia 60 adalah anak perempuan.” Demikian pula Wille 2002 dan Nelien 2005:21 menggali hasil studi tentang latar belakang pekerja anak dan menyimpulkan bahwa ”Anak perempuan memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dari pada anak laki-laki.”

B. Partisipasi Wanita dalam Berolahraga