Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit

EKSTRAKSI OLEORESIN CAPSAICIN DARI CABAI MERAH,
CABAI KERITING, DAN CABAI RAWIT

LARAS WAHYU SETYANINGRUM

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekstraksi Oleoresin
Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Laras Wahyu S
NIM F34090149

ABSTRAK
LARAS WAHYU SETYANINGRUM. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai
Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit. Dibimbing oleh CHILWAN PANDJI.
Cabai memiliki berbagai kandungan yang berguna bagi tubuh. Zat aktif
pada cabai disebut capsaicin. Zat ini yang berperan utama dalam memberi rasa
pedas pada cabai. Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan cabai dalam bentuk
oleoresin. Ekstraksi dilakukan pada tiga jenis cabai dan tiga perlakuan. Yaitu
cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit dengan perlakuan perulangan
ekstraksi sebanyak satu kali, dua kali, dan tiga kali pada masing-masing cabai.
Sebanyak 100 gram bahan ditambahkan kedalam pelarut etanol dengan
perbandingan 1:5. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi berpengaduk
dengan kecepatan pengadukan 200 rpm, suhu 50oC, selama 4 jam. Analisis yang
dilakukan adalah pengujian mutu oleoresin cabai yaitu penghitungan rendemen,
kadar capsaicin, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan dan nilai warna. Hasil
penelitan menunjukan bahwa interaksi antara jenis cabai dan jumlah perulangan

ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil yang diperoleh. Namun cabai
rawit menunjukan tingkat kepedasan, kadar capsaicin, dan rendemen yang sesuai
dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh EOA.
Kata kunci: Oleoresin, cabai, capsaicin

ABSTRACT
LARAS WAHYU SETYANINGRUM. Capsaicin Oloerasin Extraction form Red
Pepper, Curly Pepper and Cayenne Pepper. Supervised by CHILWAN PANDJI.
The chili has a variety of content that is useful to the body. The active
substance in chili peppers called capsaicin. This substance that plays a key role in
giving a sense of the spicy. In this research, in the form of oleoresin chili
processing. Extraction performed on three types of chili and three treatments. Red
chili, curly chili, and cayenne pepper with looping leaching treatment, one-time,
two times, and three times on each chili. Material preparation is done before the
study began. Chili washed, then dried to achieve moisture content of 8-10%.
Peppers that have been dried in the ground, and sieved with a sieve of 50 mesh.
The study begins with the proximate test to determine the content of the chili.
Extraction is done by using 96% ethanol. A total of 100 grams of material was
added into ethanol with a ratio of 1:5. Extraction is done by maceration method
stirred with a stirring speed of 200 rpm, temperature 50 ° C, for 4 hours. Results

maceration then filtered and the filtrate evaporated by using a rotary evaporation
at 70 ° C to form a viscous liquid. Analysis is conducted quality testing of chilli
oleoresin is counting yield, capsaicin content, residual solvent levels, the level of
spiciness and color values.
Keywords: Chilli, oleoresin, capsaicin

EKSTRAKSI OLEORESIN CAPSAICIN DARI CABAI MERAH,
CABAI KERITING, DAN CABAI RAWIT

LARAS WAHYU SETYANINGRUM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi: Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting,
dan Cabai Rawit
: Laras Wahyu S
Nama
: F34090149
NIM

Disetujui oleh

Drs Chilwan Pandii Apt MSc
Pembimbing

L)

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting,

dan Cabai Rawit
Nama
: Laras Wahyu S
NIM
: F34090149

Disetujui oleh

Drs Chilwan Pandji Apt MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Ekstraksi
Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit” berhasil
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama Mei
sampai Agustus 2013 ini adalah proses ekstraksi oleoresin.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Drs Chilwan Pandji Apt MSc selaku Pembimbing Akademik atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi
2. Dr Endang Warsiki STP MSi dan Dr Dwi Setyaningsih STP MSi selaku
dosen penguji
3. Ibu Rini Purnawati STP MSi selaku laboran yang telah banyak membantu
4. Seluruh keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya
5. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah tak terlupakan
6. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013
Laras Wahyu

DAFTAR ISI


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Oleoresin

2

Capsaicin

4

METODE

4


Waktu dan Tempat

4

Bahan

5

Alat

5

Metode Penelitian

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

7


Uji Proksimat

7

Rendemen Oleoresin

8

Kadar Sisa Pelarut

9

Tingkat Kepedasan

10

Nilai Warna

11


Analisis Kandungan Capsaicin

12

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

16

DAFTAR TABEL
1 Hasil Uji Proksimat
2 Standar minimum residu pelarut

7
9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Struktur Kimia Capsaicin
Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi 2012)
Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap rendemen
Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar sisa
pelarut
5 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat
kepedasan
6 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna

4
6
8
9
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Metodologi analisis proksimat serbuk cabai
2 Metodologi analisis kualitas mutu oleoresin
3 Data hasil penelitian
4 Foto Hasil Ekstraksi Oleoresin
5 Tabel anova respon rendemen oleoresin (α = 1%)
6 Tabel anova respon kadar sisa pelarut (α = 1%)
7 Tabel anova respon nilai warna (α = 1%)
8 Contoh tabel uji tingkat kepedasan
9 Hasil uji Kandungan Capsaicin dengan metode GCMS

16
18
20
21
22
24
26
28
29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu bahan pangan yang mudah
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Cabai berasal dari Peru, namun
penyebarannya bermula dari Benua Amerika, kemudian ke Benua Asia, Afrika,
dan Eropa. Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman dari suku terungterungan (Solanaceae atau Nightshade). Tanaman ini merupakan tanaman
semusim yang mudah tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi.
Kebutuhan akan cabai ini semakin meningkat setiap tahunnya. Pada umumnya
masyarakat luas menggunakan cabai sebagai bahan masakan yang dapat
memberikan rasa pedas dan pembangkit selera makan. Selain sebagai bahan
pangan, cabai dapat pula dijadikan sebagai baahan baku pembuatan herbal. Sejak
dahulu cabai telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan di seluruh dunia.
Tingginya kebutuhan akan cabai ini menyebabkan harga cabai melambung
pada saat-saat tertentu. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan bahan rempah
tersebut yang terbatas di luar musim panen. Sedangkan ketika musim panen tiba,
kelebihan pasokan menyebabkan harga jual cabai jatuh. Selain itu kerusakan juga
banyak terjadi pada cabai-cabai yang tidak terjual. Sejauh ini sudah terdapat
beberapa teknologi untuk menambah umur simpan komoditas cabai. Salah
satunya adalah dengan mengolah rempah segar menjadi serbuk. Dengan proses
pengolahan tersebut, cabai segar dikeringkan hingga kadar air tertentu kemudian
dihaluskan menjadi serbuk. Dengan dilakukan pengolahan ini maka penyimpanan
cabai tidak akan memakan banyak tempat. Selain itu kadar air yang rendah akan
menyebabkan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan pada cabai tidak
tumbuh. Namun kelemahan sistem penyimpanan berupa serbuk adalah stabilitas
kelembaban ruang penyimpanan yang dapat menyebabkan perubahan kadar air
pada serbuk cabai dan menyebabkan tumbuhya mikroorganisme perusak.
Capsaisin adalah zat utama yang mengakibatkan rasa pedas pada cabai.
Capsaisin yang telah diekstraksi dari cabai akan diperoleh dalam bentuk oleoresin.
Oleoresin adalah suatu ekstrak berbentuk gel atau pasta yang memiliki kandungan
utama dari bahan yang diekstrak. Selain digunakan sebagai bahan pangan yaitu
sebagai flavour, oleoresin capsaicin juga dapat dimanfaatkan dibidang farmasi
dalam pembuatan berbagai obat-obatan. Penggunaan oleoresin dapat mengurangi
biaya transportasi karena volum per satuan berat akan berkurang dan
penyimpanannya lebih mudah. Sehingga dalam kurun satu tahun terjadi
peningkatan permintaan oleoresin dalam jumlah tinggi di berbagai negara
termasuk di Eropa dan Amerika Serikat. Sebagai negara agraris yang memiliki
jumlah produksi cabai tinggi, potensi pengolahan cabai menjadi oleoresin perlu
ditindak lajuti. Oleh sebab itu diperlukan suatu penelitian untuk menemukan
bahan serta metode terbaik untuk dapat menghasilkan oleoresin cabai sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh EOA (The Essential Oil Association).

2
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh jenis cabai, jumlah perulangan ekstraksi, dan
interaksinya terhadap respon rendemen, nilai warna, kadar sisa pelarut,
tingkat kepedasan, dan kadar capsaicin yang terkandung?
2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu oleoresin terbaik dari respon
penurunan rendemen, nilai warna, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan, dan
kadar capsaicin yang terkandung?
3. Bagaimanakah sifat oleoresin hasil ekstraksi pada kondisi perlakuan terbaik?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis cabai serta metode
terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin tertinggi. Selain itu juga untuk
mengetahui kualitas mutu oleoresin yang dihasilkan disesuakan dengan standar
mutu yang telah ditentukan oleh EOA.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai proses pengolahan cabai segar menjadi oleoresin cabai
secara sederhana.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui kandungan oleoresin capsaicin yang
terkandung pada bahan. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi proses
persiapann bahan baku, ekstraksi, dan pengujian kualitas mutu oleoresin.
Pengujian terdiri atas uji kadar sisa pelarut, nilai warna, kadar kepedasan, dan uji
kandungan oleoresin dengan menggunakan metode GCMS.
Faktor yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jenis cabai yang
digunakan sebagai bahan baku, yang terdiri atas cabai merah, cabai keriting, cabai
rawit, dan perulangan ekstraksi dengan taraf satu kali pengulangan, dua kali
pengulangan, dan tiga kali pengulangan. Respon yang diukur adalah rendemen
hasil, jumlah kadar sisa pelarut, nilai warna, tingkat kepedasan, dan kandungan
oleoresing dengan meggunakan metode GCMS.

TINJAUAN PUSTAKA
Oleoresin
Oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang
memiliki aroma dan pembawa rasa yang tidak mudah menguap. Oleoresin
merupakan kumpulan senyawa kimia dengan susunan yang cukup komplek.

3
Oleoresin ini berwujud cairan kental yang mengandung kadar minyak atsiri 1530% (Abubakar 2005).
Oleoresin rempah-rempah memiliki banyak manfaat. Misalnya saja dalam
industri makanan, kosmetik, dan farmasi. Semakin meluasnya penggunaan
oleoresin maka dibutuhkan proses produksi yang terus meningkat. Menurut
Somaatmadja, kelebihan penggunaan oleoresin adalah:
1. Kualitas makanan yang tercampur oleoresin lebih terkontrol, hal ini terjadi
karena kandungan kimia yang ada di oleoresin tidak terlalu banyak dibanding
kandungan bahan aslinya.
2. Penggunaan oleoresin lebih ekonomis, karena oleoresin merupakan ekstrak
dari rempah-rempah. Sehingga untuk mendapatkan rasa yang diinginkan akan
memerlukan lebih sedikit oleoresin dibanding serbuk rempah-rempah aslinya.
Selain itu dibandingkan dengan minyak atsiri, oleoresin memiliki
kelebihan yaitu tahan panas. Pada proses ekstraksi, pada umumnya dibutuhkan
proses pemanasan. Zat volatil yang banyak terkandung dalam minyak atsiri akan
menguap dan hilang pada suhu tinggi. Sedangkan oleoresin mengandung bahan
tidak menguap dalam jumlah besar dan akan terus memberikan rasa, walaupun
minyak atsirinya sudah menguap (Cripps 1973).
Komposisi bahan yang terlarut dalam oleoresin berbeda tergantung jenis
pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dan tergantung jenis bahan yang diekstrak
(Farrel 1985). Disamping mengandung resin dan minyak sebagai komponen
utama, oleoresin terdiri atas campuran kompleks senyawa organik yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit
ispropen. Meskipun jumlahnya signifikan, namun terpen hanya memiliki nilai
citarasa yang kecil bila dibandingkan dengan oxygenated derivates.
2. Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehidehid,
keton, dan ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada
perbedaan citarasa.
3. Senyawa aromatic dengan gugus fungsi yang bervariasi.
4. Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur.
Menurut Purseglove et al. (1981), EOA telah mengeluarkan standar
perdagangan oleoresin yang meliputi :
Intensitas warna
Kepedasan
Sisa pelarut

: max 4000 (EOA No. 239)
: min 480 000 SHU
: sesuai FDA (30 ppm untuk etanol)

Menurut Bombardelli (1991) ekstraksi senyawa aktif dari tanaman obat
adalah proses pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan
atau padatan dari bahan padat. Menurut Ravindarn et al (2007), pada dasarnya
ektraksi oleoresin terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah proses kontak
bahan baku dengan pelarut sehingga terjadi perpindahan komponen aktif dari
bahan baku kedalam pelarut. Tahap selanjutnya adalah pemisahan larutan dengan
bahan baku, sehingga dihasilkan larutan ekstrak dan ampas. Tahap terakhir adalah
proses distilsi pelarut, sehingga menjadi oleoresin.

4
Capsaicin
Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga
melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang
akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit
sekunder (Herbert 1995). Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah
cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa
yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997).
Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses
oksidasi. Capsaisin memiliki rumus molekul C18H27NO3 dengan nama IUPAC
8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide, terdiri dari unit vanillamin dengan asam
dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam.
Struktur molekul capsaicin disajikan pada Gambar 1 (Andrew and Ternay 1979
dalam Sigit 2007).

Gambar 1 Struktur kimia capsaicin
Lingga (2012) menyatakan, umumnya cabai segar mengandung 0.1-1.0%
capsaisin. Capsaisin terdapat pada biji, kulit, dan daging buah cabai. Zat ini
banyak digunakan sebagai biological pesticide dalam melawan serangga dan
rodent. Sebagai pestisida, capsaisin digunakan di dalam ruangan (karpet dan
furniture) dan juga di luar ruangan (lahan buah dan sayur). Selain itu capsaisin
digunakan dalam pembuatan gas air mata.
Derajat kepedasan cabai dinyatakan dalam ppm atau ppb. Di dalam dunia
industri, ukuran standar untuk mengukur kekuatan cabai yaitu Scouville Unit.
Capsaisin murni memiliki Scouville Unit 16 juta.(pepper 2012)

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan sejak tanggal 10 Mei – 30 Juli
2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Kimia, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

5
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cabai merah, cabai
keriting, dan cabai rawit.. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut
etanol teknis 96%. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian adalah
aseron teknis dan sirup gula.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, alat pengering (blower),
alat pengecil ukuran (hammer mill), saringan 50 mesh, peralatan maserasi,
vacuum evaporator. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian adalah oven 50oC,
cawan aluminium, peralatan gelas, tabung ulir, spectrofotometri, dan alat GCMS.
Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan proses persiapan bahan baku. Cabai segar
dipisahkan dari benda asing yang tercampur dan dipisahkanan antara tangkai dan
buahnya. Kemudian cabai dicuci hingga bersih dan dikeringkan. Pengeringan
dilakukan pada green house selama satu minggu atau hingga mencapai kadar air
antara 8-10%. Cabai yang telah kering digiling dengan menggunakan hammer
mill, kemudian di ayak hingga diperoleh bubuk cabai berukuran 50 mesh.
Serbuk ketiga jenis cabai yang diperoleh diuji kandungannya dengan
menggunakan uji proksimat. Uji proksimat dilakukan dengan stadar SNI 01 –
2891 – 1992. Uji yang dilakukan adalah uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar
protein, uji kadar serat kasar, uji kadar abu dan uji kadar karbohidrat. Metode uji
yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi. Sebanyak 100 gram bahan
dimasukkan kedalam erlenmeyer 2000 ml. Kedalam erlenmeyer dimasukan
pelarut etanol sebanyak 500 ml. Pengadukan dilakukan menggunakan magnetic
stirer dengan kecepatan pengadukan 200 rpm. Pemanasan dilakukan dengan
menggunakan hot plate dengan suhu 50oC. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam.
Selanjutnya, larutan hasil ekstraksi dipisahkan antara ampas dan filtratnya
dengan menggunakan penyaring vakum. Ampas yang tersisa kembali diekstrak
dengan kondisi ekstraksi yang sama. Jumlah perulangan ekstraksi yang menjadi
taraf penelitian adalah perulangan ekstraksi satu kali, perulangan ekstraksi dua
kali, dan perulangan ekstraksi tiga kali. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan sesuai
kelompok jumlah ekstraksi yang dilakukan kemudian dipisahkan pelarutnya
dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu 70oC hingga terbentuk
oleoresin yang pekat. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 2.

6
Cabai
Segar
Ekstraksi dengan etanol
( 1:5 b/v )

Pengadukan
4 jam, 200 rpm, 50oC

Penyaringan

Ampas

Filtrat

Penyaringan

Oleoresin
Gambar 2 Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi
2012)
Dari hasil ektraksi, tiap sampel oleoresin yang diperoleh diuji kualitas
mutunya sesuai dengan standar perdagangan amerika atau EOA. Uji kualitas mutu
yang dilakukan adalah uji rendemen, uji kadar sisa pelarut, uji nilai warna, uji
tingkat kepedasan, dan uji analisa dengan menggunakan metode GCMS. Metode
uji kualitas mutu dilampirkan pada Lampiran 2.
Respon yang diamati pada penelitian ini meliputi hasil rendemen, kadar sisa
pelarut, nilai warna, tingkat kepedasan dan analisis kandungan. Hasil rendemen
disajikan dalam satuan persen (%). Setelah melalui proses ekstraksi pemisahan,
hasil oleoresin ditimbang. Bobot total oleoresin dibagi bobot kering jumlah bahan
yang digunakan. Kadar sisa pelarut diukur dengan menimbang sejumlah bahan
kemudian memanaskan dalam oven bersuhu 50oC hingga dicapai bobot tetap.
Jumlah bobot yang hilang dihitung sebagai jumlah etanol tersisa. Nilai warna
dihitung dengan metode spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm.
Tingkat kepedasan diuji dengan uji organoleptik ambang batas rasa sesuai
modifikasi yang dilakukan Farrel (1985). Analisis kandungan oleoresin diuji
dengan menggunakan metode GCMS dengan pelarut methanol. Metode pengujian
secara lengkap terlampir (Lampiran 2).
Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil ekstraksi
oleoresin adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan.
Faktor yang diamati terdiri atas dua faktor yang masing-masing faktor terdiri atas

7
tiga taraf, yaitu (A) jenis cabai (merah, keriting, rawit) dan (B) perulangan
ekstraksi (satu kali, dua kali, tiga kali). Model matematika RAL Faktorial dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εk(ij)
dengan : Yijk
µ
Ai
Bj
(AB)ij
ε kij

nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j
dan ulangan ke k
nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A
pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B
pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari
faktor B
pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij.

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis ragam (anova) dan analisis
deskriptif. Apabila hasil analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan
uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Proksimat
Bahan baku berupa serbuk cabai diuji kandungan bahan bakunya dengan uji
proksimat sesuai dengan standar SNI tahun 1992 (Lampiran 1). Uji yang
dilakukan adalah uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar serat, uji kadar abu, uji
kadar protein, dann uji kadar karbohidrat by difference. Hasil uji proksimat
disajikan pada tabel 1.
Tabel 1 Hasil uji proksimat
Cabai Merah
Kadar Air (%)
8,31
Kadar Abu (%)
8,31
Kadar Lemak (%)
14,79
Kadar Protein (%)
28,06
Kadar Serat (%)
28,31
Kadar Karbohidrat (%)
12,22

Cabai Keriting
9,06
6,15
16,40
27,09
24,31
16,99

Cabai Rawit
8,37
7,59
9,98
30,08
24,57
19,41

Kadar air bubuk cabai diperoleh sesuai dengan ketentuan perdagangan
bubuk cabai yaitu sebesar 8-10% b/w (Hasbullah 2005). Direktorat gizi
Departemen Kesehatan (1992) menyatakan, Secara umum cabai kering dengan
kadar air 10% memiliki kandungan lemak yang terdeteksi berkisar antara 6-8%
dengan kandungan protein sebesar 16%. Jumlah kadar lemak akan berpengaruh
pada hasil rendemen oleoresin yang diperoleh. Hasil uji proksimat dari sampel
menunjukan angka yang cukup berbeda dengan literatur. Perbedaan lokasi tanam,

8
kondisi tanah, cuaca, umur pemanenan, dan varietas akan menghasilkan
kandungan yang berbeda pada masing-masing jenis cabai.
Rendemen Oleoresin
Rendemen oleoresin merupakan oleoresin yang diperoleh setelah melalui
proses ekstraksi dan pemisahan pelarut. Bobot oleoresin yang diperoleh dibagi
bobot kering sampel dikalli 100%. Rendemen oleoresin yang diperoleh terdiri atas
berbagai komponen seperti minyak atsiri, resin, komponen bumbu, pigmen,
vitamin, karbohidrat, dan sterol. Jenis dan jumlah komponen oleoresin yang
terekstraksi bergantung pada jenis pelarut yang digunakan. Selain jenis pelarut,
ukuran partikel, lama ekstraksi, suhu, dan kecepatan pengadukan. Hasil ekstraksi
oleoresin terlampir pada Lampiran 4.
Hasil analisis ragam (anova) menunjukan bahwa F hitung lebih kecil dari F
tabel (Lampiran 5). Yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
setiap perlakuan yang diberikan. Uji Duncan untuk pembuktian lanjutan tidak
perlu dilakukan. Hasil rendemen oleoresin disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hubungan jenis cabai dan pengulangan pencucian terhadap rendemen
Jumlah rendemen oleoresin meningkat seiring jumlah perulangan
pencucian. Semakin lama ekstraksi dilakukan maka waktu kontak antara bahan
dengan pelarut akan semakin panjang, sehingga konsentrasi larutan akan semakin
tinggi hingga pelarut akan mencapai titik jenuh. Setelah titik jenuh pelarut
tercapai, maka penambahan waktu tidak akan memberikan penambahan yang
nyata terhadap jumlah oleoresin yang terlarut (Wirakartakusumah 1990).
Setelah mencapai titik jenuh, maka oleoresin yang masih terkandung
dalam bahan tidak dapat larut dan terjebak diantara ampas sehingga tidak dapat
melalui screen penyaringan. Salah satu solusi untuk meminimalisir kehilangan
maka dilakukan perulangan pencucian untuk melarutkan oleoresin yang masih
terikat pada bahan yang belum terambil ketika pencucian sebelumnya dilakukan.
Semakin lama ekstraksi dilakukan maka waktu kontak antara bahan
dengan pelarut akan semakin panjang, sehingga konsentrasi larutan akan semakin
tinggi hingga pelarut akan mencapai titik jenuh. Setelah titik jenuh pelarut
tercapai, maka penambahan waktu tidak akan memberikan penambahan yang
nyata terhadap jumlah oleoresin yang terlarut (Wirakartakusumah 1990).

9

Kadar Sisa Pelarut
Kadar sisa pelarut merupakan salah satu karakteristik mutu dalam
perdagangan oleoresin. FDA (Food and Drug Administration) telah menetapkan
aturan yang ketat mengenai jumlah maksimum pelarut yang tertinggal dalam
bahan. Adanya sisa pelarut dalam jumlah tinggi akan berpengaruh pada flavor
serta aroma oleoresin yang dihasilkan serta menurunkan mutu oleoresin tersebut.
Moestafa (1981) menyatakan ekstraksi oleoresin sebaiknya menggunakan
pelarut organik yang mudah menguap. European Medicines Agency (2009)
menyebutkan, capsaicin larut bebas dalam aseton, asetonitril, diklorometana,
etanol, etil asetat, methanol, 2-propanol dan metal atil. Faktor penting yang harus
diperhatikan dalam ekstraksi oleoresin adalah pemilihan pelarut. Pelarut yang
dapat digunakan adalah yang tidak berbahaya dan bersifat racun. Jenis pelarut
yang biasa digunakan, disajikan pada tabel dibawah ini sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh FDA (Komara 1991).
Tabel 2. Standar Minimum Residu Pelarut
Jenis Pelarut
Titik Didih (oC)
Aseton
56,5
Metanol
64,7
Heksana
69,0
Isopropil alkohol
82,3
Etilen diklorida
83,5
Etil alkohol
78,3

Residu (ppm)
30
50
25
50
30
30

Berdasarkan analisis ragam (anova), baik jenis cabai maupun perulangan
ekstraksi dan interaksinya tidak memberikan pengaruh yang sangat signifikan
pada α = 1%. Sehingga uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Analisis uji ragam
terlampir pada Lampiran 5. Hasil pengujian kadar sisa pelarut dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 4

Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap
kadar sisa pelarut

10
Pemisahan pelarut dari oleoresin dilakukan berdasar perbedaan titik didih
antara antara dua bahan tersebut. Titik didih suatu larutan akan turun apabila
kedalam sistem tersebut tekanan diperkecil. Menurut Chang (1987) penurunan
titik didih akibat penurunan tekanan dijelaskan pada persamaan berikut :
Δτ = 0,0010 (760 – ρ) (τ+273)
Δτ = perubahan titik didih
ρ = tekanan yang digunakan
τ = titik didih pada tekanan 1 atm
Oleoresin mudah mengalami kerusakan pada suhu 90o sedangkan titik didih
etanol pada tekanan 1 atm mencapai 80oC. Untuk menghindari kerusakan
oleoresin, pemisahan pelarut dilakukan dalam kondisi vakum dimana dalam
tekanan dalam sistem menjadi lebih rendah dibanding tekanan pada atmosfer,
sehingga pelarut etanol dapat tertarik keluar pada suhu 70 oC.
Nilai kadar pelarut terkecil dimiliki oleh sampel cabai keriting dengan
ekstraksi satu kali yaitu 6,4%. Kadar sisa pelarut yang diperoleh masih jauh
melampaui batas yang ditetapkan oleh FDA yaitu sebesar 30 ppm yang setara
dengan 0,03%. Tingginya kadar sisa pelarut ini disebabkan oleh adanya
kandungan triterpenoid yang merupakan saponin dalam tumbuhan dikotil
(Hardiansyah, 2010). Menurut Szabo (1970), oleoresin cabai mengandung
komponen yang dapat tersabunkan. Yaitu lemak, lilin, dan phospatides.
Keberadaan komponen tersebut menyebabkan terjadinya saponifikasi yang
menghasilkan gelembung yang stabil sehingga titik pemberhentian proses
evaporasi sangat sulit dilakukan karena tidak terdapatnya perbedaan yang
signifikan secara visual ketika oleoresin mulai berbentuk pasta.
Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menurunkan kandungan sisa
pelarut oleoresin adalah dengan melewatkan gas nitrogen yang akan mengikat
etanol yang tersisa dalam sampel oleoresin (Dewi 2012)
Tingkat Kepedasan
Tingkat kepedasan oleoresin termasuk dalam salah satu syarat perdagangan
oleoresin. Tingkat kepedasan ditentukan dengan uji organoleptik berdasar ambang
batas pengenalan rasa pedas (recognition threshold) yang dinyatakan dalam
satuan Scoville Heat Unit (SHU). Nilai SHU merupakan kebalikan nilai
pengenceran yang memberikan pengenalan rasa pedas. Pengujian ambang batas
dikatakan valid ketika lebih dari 75% panelis menyatakan merasakan rasa pedas
pada sampel. Contoh tabel uji organoleptik terlampir pada Lampiran 8.
Dalam penelitian, uji organoleptik tidak dilakukan oleh panelis ahli. Dari
hasil uji diperoleh tingkat kepedasan tertinggi adalah cabai rawit sebesar 720.000
SHU baik untuk ekstraksi satu kali, dua kali, dan tiga kali. Sedangkan untuk cabai
merah berkisar antara 240.000 dan 360.000, dan cabai keriting memiliki nilai
360.000 untuk ekstraksi satu kali, 480.000 untuk ekstraksi dua kali, dan 600.000
untuk ekstraksi tiga kali. EOA menetapkan standar minimum kepedasan oleoresin
dalam perdagangan adalah sebesar 480.000. Dari hasil penelitian diperoleh cabai

11
rawit dan cabai keriting memenuhi mutu yang ditetapkan oleh EOA. Interaksi
jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat kepedasan dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat
kepedasan
Tingkat kepedasan pada cabai dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antara lain,
tingkat kematangan saat pemanenan, cuaca, penanganan pasca panen, serta
kultivar cabai tersebut (purseglove et al. 1985). Komponen yang mempengaruhi
kepedasan pada cabai adalah kandungan capsinoid yang terdiri atas 12 analogi.
Komponen capsinoid yang umum adalah capsaicin, dihidrocapsaicin,
nordihidrocapsaicin, homodihidrocapsaicin, homocapsaicin, dan decanoic.
Kandungan kapsinoid pada bahan meningkat seiring kematangan cabai.
Nilai Warna
Penentuan nilai warna oleoresin dilakukan dengan metode spektrofotometri
sesuai aturan yang di buat oleh EOA. Warna oleoresin tersebut dinyatakan dalam
satuan ASTA (Farrel 1985). Uji nilai warna dilakukan dengan metode
spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm. Dimana panjang gelombang
640 nm dapat mendeteksi spectrum warna merah (Thomas 2005). Hubungan jenis
cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna dijelaskan pada Gambar 6.

12

Gambar 6. Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna
Standar yang ditentukan oleh EOA adalah sebesar 4000 ASTA. Hasil
analisa uji ragam (anova) pada α=0,1 menunjukan nilai F hitung yang lebih kecil
daripada F tabel (Lampiran 7). Yang artinya tidak ada pengaruh terhadap
perlakuan dan interaksi yang diberikan. Karena tidak adanya perbedaan nyata dari
interaksi perlakuan, makan uji Duncan tidak dilanjutkan.
Pada sampel oleoresin cabai merah dengan tiga kali pencucian, nilai warna
yang diperoleh adalah sebesar 3379,22 ASTA. Dimana nilai tersebut telah sesuai
dengan ketentuan perdagangan FDA yaitu dibawah 4000 ASTA. Sedang kan
untuk cabai keriting, nilai yang diperoleh masih cukup jauh. Namun hasil yang
sangat berbeda ditunjukan oleh nilai warna dari cabai rawit. Pada sampel
oleoresin cabai rawit pencucian satu kali, nilai warna diperoleh sebesar 776,48
ASTA. Rendahnya nilai warna ini diduga akibat kematangan yang tidak
menyeluruh. Beberapa bahan cabai rawit yag digunakan masih berwarna hijau,
sehingga adanya pingmen warna lain dapat mempengaruhi nilai warna oleoresin
yang dihasilkan.
Pigmen warna yang berpengaruh pada buah cabai adalah klorofil dan
karotenoid. Pada buah cabai yang masih muda, pigmen klorofil lebih
mendominasi sehingga warna cabai akan hijau. Sedangkan ketika buah cabai
sudah mulai menua, perlahan klorofil akan berkurang dan digantikan oleh
karotenoid.
Selain itu, jenis pelarut juga berpengaruh pada warna oleoresin yang
dihasilkan. Menurut Purseglove (1981), etanol merupakan pelarut yang tidak
efisien dalam melarutkan warna. Sehingga penggunaan etanol dalam ekstraksi
tidak dapat melarutkan semua pigmen wana yang terkandung dalam bahan.
Analisis Kandungan Capsaicin
Pada analisis GCMS hanya diperoleh data kualitatif mengenai keberadaan
senyawa capsaicin. Diperlukan uji yang lebih spesifik untuk mengetahui secara
kuantitatif jumlah masing-masing kandungan capsaicin. uji kadar capsaicin dengan
menggunakan GC-MS. Dalam uji kadar capsaicin dengan menggunakan GCMS
digunakan pelarut methanol. Menurut European Medicines Agency (2009) capsaicin

13
larut bebas dalam methanol, asetonitril, diklorometana, etanol, etil asetat, methanol,
2-propanol dan metal atil keton.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat kromatografi
gas type Unican series 204 dengan recorder type PN-8250. Kondisi yang digunakan
adalah sebagai berikut : kolom gelas dengan panjang 2 meter dan diameter dalam 4
mm; isi kolom Porapak Q; suhu 150oC isothermal; suhu injektor 200oC, suhu detektor
200oC; detektor jenis FID; gas pembawa N2 dengan kecepatan alir 40ml/menit;
kecepatan alir gas H250 ml/menit; kecepatan alir udara tekan 500 ml/menit; dan
ukuran contoh 2,5 ml.
Capsaicin merupakan komponen senyawa nonvolatil yang memberikan
karakteristik rasa pedas pada cabai. Capsaicin juga merupakan komponen
penyusun utama dari oleoresin cabai. Untuk mengetahui kadar capsaicin pada
oleoresin digunakan uji dengan metode GCMS.
Pengujian GCMS dilakukan pada masing-masing jenis cabai dengan
perulangan pencucian tiga kali. Dimana pada perulangan pencucian tiga kali
diperoleh nilai rendemen, warna, dan rasa teringgi dari masing-masing perlakuan
pengulangan pencucian.
Hasil analisis GCMS terhadap ketiga sampel sampel oleoresin dengan
perulangan pencucian tiga kali dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada pelaksanaan
analisa dengan menggunakan GCMS, oleoresin memiliki konsistensi yang sangat
kental sehingga harus dilakukan pengenceran sebelum analisis dilaksanakan.
Pengenceran dilakukan sebanyak 10 kali dengan menggunakan pelarut metanol.
Pada hasil analisis GCMS untuk sampel oleoresin cabai merah diperoleh
kandungan capsaicin pada menit ke-17,893. Pada sampel cabai keriting dengan
pencucian tiga kali, capsaicin terdeteksi pada menit ke-17,884. Uji analisa juga
dilakukan pada sampel cabai rawit. Hasil analisa menunjukan adanya kandungan
capsaicin yang terdeteksi pada menit ke-17,95.
Capsaicin yang terkandung dalam capsinoid akan diproduksi pada hari ke20 setelah pembungaan. Produksi capsinoid ini akan terus meningkat hingga 3040 hari setelah pembungaan. Setelah periode tersebut, kandungan capsinoid
dalam cabai akan menurun.
Selain kandungan capsaicin, dalam hasil uji analisa kandungan oleoresin
dengan menggunakan metode GCMS juga menganalisis beberapa kandungan lain
yang terdapat dalam oleoresin. Hasil analisa terhadap ketiga sampel menunjukan
hasil yang sama untuk kandungan tertingginya yaitu metil ester. Pada sampel
oleoresin cabai merah, metil ester muncul pada menit ke-13,764 dengan
presentase sebesar. Sedangkan untuk sampel oleoresin cabai keriting, metil ester
terdeteksi pada menit ke-13,755 dengan presentase sebesar. Demikian pula pada
sampel oleoresin cabai rawit, dimana metil ester muncul pada menit ke-13,781
dengan presentase sebesar. Metil ester yang terdapat pada oleoresin dalam jumlah
tinggi merupakan hasil esterifikasi methanol yang digunakan sebagai pengencer.
Disamping metil ester, pada ketiga bahan juga terdeteksi kandungan vitamin
E yang tinggi. Walaupun tidak termasuk dalam sumber vitamin E unggul, namun
cabai memiliki kandungan vitamin E yang patut diperhitungkan. Vitamin E larut
dalam lemak dengan nama generic tokoverol ini dibutuhkan tubuh dalam berbagai
macam aktivitas fisiologi dan metabolisme tubuh.
Secara umum paprika mengandung vitamin E lebih banyak daripada cabai
pedas. Semakin tua, kandungan vitamin E akan meningkat semakin tinggi.
Vitamin E pada cabai terkonsentrasi pada bagian biji. Ketika cabai mencapai

14
tingkat kematangan sempurna, maka kandungan vitamin dalam biji akan ikut
mencapai jumlah optimum.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstraksi dengan menggunakan metode pencucian berulang dapat
meningkatkan rendemen oleoresin. Rendemen oleoresin tertinggi diperoleh oleh
oleoresin yang mengalami perlakukan pencucian tiga kali. Meningkatnya
rendemen berkaitan jengan meningkatnya niai warna, tingkat kepedasan, dan
kandungan capsaicin. Hasil rendemen oleoresin tertinggi diperoleh sampel cabai
rawit dengan tiga kali pencucian. Hasil rendemen oleoresin yang diperoleh adalah
sebesar 29,74%. Cabai rawit dengan tiga kali pencucian memiliki tingkat
kepedasan tertinggi yaitu sebesar 720.000 SHU dengan kandungan capsaicin yang
juga tinggi sebesar 28,80%. Namun nilai warna dari cabai rawit justru sangat
rendah yaitu sebesar akibat masih tingginya jumlah pigmen klorofil dalam
kandungan warna cabai rawit.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama dalam proses penguapan
untuk menghasilkan oleoresin dengan kadar etanol sesuai dengan standar
perdagangan oleoresin yang ditentukan oleh EOA. Selain itu perlu juga
dilakukankannya penelitian mengenai aplikasi dari oleoresin tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1962. Farmakope Indonesia. Depkes RI, Jakarta
Abubakar, Edy Mulyono, Yulianingsih. 2005. Prospek Oleoresin dan
Penggunaannya di Indonesia. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian,
Bogor
Afifah, Evi dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak; Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Agro Media,, Jakarta
AOAC. 1980. Official Methods of Analysis of the Association of Official
Analytical Chemist. Washington
Bombardelli, E. 1991. Technologies for The Processing of Medical Plant. CRC
Press, Florida
Cripps, M.H. 1973. Spice Oleoresin : The Process, The Market and The Future.
Di dalam Proceesing of Conference on Spice. Tropical Product Institut,
London.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992. http://pphp.deptan.go.id. Diakses
pada tanggal 7 November 2013.

15
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. 2009. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pengolahan Cabe. Jakarta
Dewi T, Khasanah L, Kawiji. 2012. Optimasi Ekstraksi Oleoresin Cabai Rawit
Hijau (Capsicum frutescens L.) [thesis]. Solo (ID) : Universitas Sebelas
Maret
Djubaedah, E. 1978. Pemisahan Oleoresin dari Daun, Kulit, dan Bubuk Kulit
Kayu Manis di dalamProceeding Seminar Minyak Atsiri III. 13-14 Juni
1978. Departemen Perindustrian, Jakarta
European Medicines Agency. 2009. CHMP Asswssment Report For Qutenza
Capsaicin. www.ema.europa.eu. Diakses pada tanggal 25 mei 2012
Ferrel, Kenneth T. 1985. Spices, Condiments, and Seasoning. Van Nostrand
Reinhold, New York
Guenther, Ernest. 1952. Essential Oil Vol.IV. Robert, E. Kringer Publishing Co.,
Connecticut
Harborne, JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed Ke-2. Terjemahan Kosasih
Padmawinata. ITB, Bandung
Hardiansyah, Agung Dwi. 2010. Analysis of Capsicum Level of Various Capsicum
Fruit from Bandung Indonesia. Skripsi. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hasbullah, 2005. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatra Barat.
Dewan Ilmu Pengetahuan, Padang
Ketaren, S. 1988. Penentuan Komponen Utama Minyak Atsiri Temulawak
(Curcuma xanthoriza Roxb). [Tesis]. Bandung (ID) : ITB
Komara, Ahmad. 1991.Mempelajari Ekstraksi Oleoresin dan Karakteristik Mutu
Oleoresin dari Bagian Cabai Rawit. [Skripsi]. Bogor (ID) : IPB
Moestafa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-Rempah Menjadi Oleoresin
dan Minyak Rempah-Rempah. Balai Besar Hasil Pertanian, Bogor
Purseglove, J. W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R J. Robins. 1981. Spices. Vol I.
Longman Inc., New York
Ravindran, P. N, Babu, K. Nirmal, dam Sivarman, K. 2007. Turmeric: The Genus
Curcuma. CRC Press, New York
Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru,
Bandung
Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia.
Makalah di dalam Hasil Perumusan dan kumpulan kertas Kerja Pekan
Pengembangan Ekspor Rempah-Rempah Olahan. Tanjung Karang,
Lampung
Zang. 1999. WHO Monographs on Selected Medicinal Plants. WHO. Genewa.

16
Lampiran 1. Metodologi analisis proksimat serbuk cabai (SNI 01 – 2891 – 1992)
1. Kadar Air
Sebanyak 5 g bahan dimasukkan ke dalam labu asah 250 ml kemudian
ditambahkan 200 ml toluen. Labu suling dipanaskan perlahan-lahan sampai toluen
mendidih. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama
15 menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan dan alat dibiarkan dingin. Jika air
dan toluen telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air dalam bahan
dihitung.
2. Kadar Abu
Bahan sebanyak 2 g atau 3 g yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan dalam
cawan porselin yang telah dipijarkan dan ditera kemudian diratakan. Zat
kemudian dipijarkan perlahan-lahan sampai arang habis kemudian didinginkan
dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka
ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa zat dan
kertas saring dipijarkan kembali dalam cawan yang sama. Filtrat dimasukkan
dalam cawan dan diuapkan kemudian dipijarkan hingga bobot tetap dan
ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3. Kadar Lemak
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung
ditimbang sebanyak ± 5 g dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke
dalam alat ekstraksi yang telah berisi pelarut (heksana). Reflux dilakukan selama
5 jam dan pelarut yang ada dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai
beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

4. Kadar Protein
Sebanyak 0.1-0.5 g sampel dimasukkan ke dalam labu kjedahl dan ditambahkan
1.9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam
sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil
air secara perlahan-lahan. Isi tabung dipindahkan ke alat destilat dan labu dibilas
5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilat dan didestilasi
sampai diperoleh ± 15 ml destilat yang berwarna hijau. Destilasi dilakukan
dengan meletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator

17
(campuran 2 bagian merah methil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue
0.2% dalam alkohol) dan ditambahkan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml. Isi
erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02
N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan.

5. Kadar Serat Kasar
Sebanyak 2-4 g sampel yang telah dihilangkan kadar lemak dan kadar airnya
ditimbang. Sebanyak 50 ml larutan H2SO4 1,25% ditambahkan kemudian
didihkan selama tiga puluh menit. Sampel ditambahkan 50 mL NaOH 3,25 % dan
didihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas saring dengan corong
Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54, 41, atau 541 yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring
dicuci berturut-turut dengan H2SO4 1,25 % panas, air panas dan etanol 96 %.
Angkat kertas saring beserta isinya, masukkan kedalam kotak timbang yang telah
diketahui bobotnya, keringkan pada suhu 105°C dinginkan dan timbang sampai
bobot tetap.

Wo : berat kertas saring
Wi : berat kertas saring + residu setelah dikeringkan
Ws : berat contoh
8. Kadar Karbohidrat by difference
Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)

18
Lampiran 2. Metodologi Analisa kualitas mutu oleoresin
1. Rendemen Oleoresin
berat oleoresin yang dapat diperoleh dari setiap satuan berat bahan bubuk rimpang
temulawak yang diekstrak.
Perhitungan :

Keterangan :
BK : Berat kering
Ka : Kadar air
2. Nilai Warna Oleoresin (Farrel, 1985)
Nilai warna oleoresin diukur dengan spektrofotometer pada 460 nm. Caranya
adalah 70-100 mg sampel diencerkan menjadi 100 ml dengan aseton, lalu
dibiarkan selama 5 menit. Kemudian 10 ml larutan diencerkan lagi menjadi 100
ml dengan aseton. Larutan yang diperoleh diuji absorbansinya pada 460 nm
dengan blanco aseton. Nilai warna dapat diukur dengan satuan ASTA (American
Spice Trade Association) dengan rumus berikut :

Keterangan = A = Absorbansi larutan pada panjang gelombang 460 nm
3. Uji Kepedasan (Farrel, 1985)
Prinsip :
Capsaicin dalam oleoresin cabe akan menimbulkan rasa pedas. Panelis diminta
secara organoleptik menentukan ambang pengenalan (recognition threshold) rasa
pedas dalam oleoresin.
Prosedur :
Oleoresin ditimbang sebanyak 0,2 gram, dimasukan kedalam labu ukur 50
ml, ditambah etanol 95% sampai tanda tera. Larutan dikocok, bagian yang tidak
larut dibiarkan mengendap.
Larutan standar disiapkan dari 22 ml sirup gula yang diencerkan dengan
air sampai menjadi 140 ml dan ditambah 0.15 filtrat larutan diatas. Larutan
pengencer disiapkan dari 22 ml sirup gula yang diencerkan dengan air sampai
140 ml. Larutan standar diencerkan dengan menggunakan larutan pengencer.
Tingkat pengencerannya yaitu 20 ml larutan standar ditambah 0 ml larutan
pengencer, 20 ml larutan standar ditambah 10 ml larutan pengencer, 20 ml larutan

19
standar ditambah 20 ml larutan pengencer, begitu hinggan penambahan 100 ml
larutan pengencer.
Larutan standar yang telah diencerkan dengan tingkat pengenceran tertentu
tersebut diuji secara organoleptik oleh lima penelis, pengujuian dilakukan dari
tingkat pengenceran terendah. Apabila tiga dari lima panelis belum merasa pedas,
uji organoleptik diteruskan pada tingkat pengenceran yang lebih rendah, sampai
threshold rasa pedas dapat dirasakan oleh minimal tiga panelis
Tingkat pengenceran dan nilai scoville Heat Unit pada uji kepedasan oleoresin
cabai
Larutan
Standard (ml)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20

Larutan
pengencer (ml)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100

Total volume
larutan uji (ml)
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120

Scoville Heat
Unit
240 000
360 000
480 000
600 000
720 000
840 000
960 000
1 080 000
1 200 000
1 320 000
1 440 000

4. Sisa Pelarut
Oleoresin sebanyak 1 gram ditempatkan pada cawan aluminium yang sudah
diketahui bobotnya, kemudian dimasukan kedalam oven vakum. Oven
dioperasikan pada suhu 40oC dan tekanan 0,75 ATM selama 3 jam. Setelah
penguapan, bahan dalam cawan detmpatkan dalam desikator selama 15 menit.
Bobot akhir ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.
Perhitungan :

Keterangan :
ba
= Bobot akhir (g)
c
= bobot cawan
bo
= Bobot oleoresin

20
Lampiran 3. Data ha sil penelitian

Rendemen Oleoresin (%)
Cabai Merah
Cabai Keriting
Cabai Rawit

Pencucian satu kali
20
16,02
14,10

Nilai warna (ASTA)
Pencucian satu kali
Cabai Keriting 1355,27
Cabai Merah
2844,78
Cabai Rawit
776,48

Tingkat kepedasan (SHU)
Pencucian satu kali
Cabai Merah
360.000
Cabai Keriting 360.000
Cabai Rawit
720.000

Pencucian dua kali
23,44
21,88
24,69

Pencucian dua kali
2156,12
3328,61
817,80

Pencucian dua kali
240.000
480.000
720.000

Pencucuian tiga kali
25,20
24,78
29,74

Pencucian tiga kali
2197,62
3379,22
2060,89

Pencucuian tiga kali
360.000
600.000
720.000

Kadar sisa pelarut (%)
Pencucian satu kali
Pencucian dua kali Pencucian tiga kali
Cabai Keriting 8,05
6,40
6,50
Cabai Merah
7,21
8,03
7,00
Cabai Rawit
7,94
8,00
5,86

21

Lampiran 4. Foto Hasil Ekstraksi Oleoresin

(a) Hasil ekstraksi oleoresin cabai keriting pencucian satu kali, dua kali dan tiga
kali

(b) Hasil ekstraksi oleoresin cabai merah pencucian satu kali, dua kali dan tiga
kali

(c) Hasil ekstraksi oleoresin cabai rawit pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali

22
Lampiran 5. Tabel anova respon rendemen oleoresin (α = 1%)
Analisis Ragam
Rancangan Acak Lengkap Faktorial

Vj

Pencucian Satu
Kali
Pencucian Dua
Kali
Pencucian Tiga
Kali

Cabai
Merah
19,93

Ei
Cabai
Keriting
15,43

Cabai
Rawit
14,03

20,07

16,62

14,18

40,00

32,05

28,21

26,91

21,36

23,66

19,97

22,40

25,73

46,88

43,76

49,39

28,77

25,88

25,54

21,64

23,69

33,95

50,41

49,57

59,49

159,47

137,29

125,38

137,09

399,76

Tj

100,26

140,03

Anova: Two-Factor With Replication
SUMMARY
Pencucian satu kali

Count
Sum
Average
Variance

Cabai Merah

Cabai Keriting Cabai Rawit

Total

2,0000
40,0000
20,0000
0,0098

2,0000
32,0500
16,0250
0,7081

2,0000
6,0000
28,2100 100,2600
14,1050 16,7100
0,0113
7,3776

2,0000
46,8800
23,4400
24,0818

2,0000
43,7600
21,8800
0,5408

2,0000
6,0000
49,3900 140,0300
24,6950 23,3383
2,1425
6,9441

2,0000
50,4100
25,2050
25,4185

2,0000
49,5700
24,7850
2,3981

2,0000
6,0000
59,4900 159,4700
29,7450 26,5783
35,3640 18,6881

6,0000
137,2900
22,8817
15,5075

6,0000
125,3800
20,8967
16,6571

Pencucian dua kali

Count
Sum
Average
Variance
Pencucian tiga kali

Count
Sum
Average
Variance
Total

Count
Sum
Average
Variance

6,0000
137,0900
22,8483
58,4716

23
ANOVA
Source of Variation
Sample
Columns
Interaction
Within

SS
303,6328
15,5007
58,8730
90,6747

Total

468,6812

df
MS
2,0000 151,8164
2,0000
7,7503
4,0000 14,7182
9,0000 10,0750
17,0000

F
15,0687
0,7693
1,4609

P-value
0,0013
0,4916
0,2917

F crit
3,0065
3,0065
2,6927

24
Lampiran 6. Tabel anova respon kadar sisa pelarut (α = 1%)
Analisis Ragam
Rancangan Acak Lengkap Faktorial
Vj
Pencucian Satu
Kali
Pencucian Dua
Kali
Pencucian Tiga
Kali

Cabai Keriting
7,7
8,17
15,87
10
6
16,00
6,42
5,3
11,72
43,59

Ei
Cabai Merah
10,28
5,81
16,09
7,48
5,31
12,79
6,75
6,25
13,00
41,88

Anova: Two-Factor With Replication
Cabai
Cabai
SUMMARY
Keriting
Merah

Cabai Rawit
6,65
7,78
14,43
5,65
10,42
16,07
4,92
9,08
14,00
44,50

Cabai
Rawit

Total

Pencucian Satu
Kali

Count
Sum
Average
Variance

2
15.87
7.94
0.11

2
16.09
8.05
9.99

2
6
14.43 46.39
7.22 7.73
0.64 2.31

2
16.00
8.00
8.00

2
12.79
6.40
2.35

2
6
16.07 44.86
8.04 7.48
11.38 5.05

2
11.72
5.86
0.63

2
13.00
6.50
0.13

2
6
14.00 38.72
7.00 6.45
8.65 2.14

6
43.59
7.27
2.93

6
41.88
6.98
3.18

6
44.50
7.42
4.37

Pencucian Dua Kali

Count
Sum
Average
Variance
Pencucian Tiga
Kali

Count
Sum
Average
Variance
Total

Count
Sum
Average
Variance

Tj

46,39

44,86

38,72
129,97

25

ANOVA
Source of
Variation
Sample
Columns
Interaction
Within
Total

SS

df

MS

5.49
0.59
5.04
41.88

2.00
2.00
4.00
9.00

53.00

17.00

2.75
0.29
1.26
4.65

F
0.59
0.06
0.27

PF
value crit
0.57 3.01
0.94 3.01
0.89 2.69

2