Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

(1)

RINGKASAN

YUNIA DEVIA. D14080150. 2012. Kandungan Nutrisi dan Asam Lemak Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering. Skripsi. Program Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, MSi

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Permintaan daging yang terus meningkat, menjadikan kerbau lokal memiliki peran dalam melengkapi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan komponen asam lemak dan kandungan nutrisi daging kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan menggunakan pakan konsentrat yang di-suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Technopark SEAFAST dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berjumlah enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan selama proses pemeliharaan dengan perbandingan 60:40. Jenis perlakuan adalah konsentrat tanpa CGKK dan ksonsentrat + CGKK 45gr/kg konsentrat. Kedua jenis ternak diberi perlakuan selama dua setengah bulan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktoial 2x2. Faktor pertama adalah jenis ternak (kerbau dan sapi) sedangkan faktor kedua adalah penambahan pakan suplemen (konsentrat tanpa CGKK dan konsentrat + CGKK 45 gr/kg konsentrat atau 4,5%). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi, sebagai ulangan. Peubah yang diukur meliputi: kandungan nutrien (kadar air, abu, lemak dan protein) dan komponen asam lemak daging.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau Rawa dan sapi PO yang digemukkan dengan suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK menghasilkan daging dengan kandungan nutrisi relatif sama. Sementara, terjadi interaksi antara perbedaan jenis ternak dan perlakuan terhadap komponen asam lemak pada daging kerbau. Penambahan suplemen minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam bentuk CGKK mampu menurunkan (p<0,05) asam lemak jenuh dan meningkatkan (p<0,05) asam lemak tidak jenuh dalam daging kerbau. Sedangkan, komponen asam lemak di dalam daging sapi tidak dipengaruhi oleh pemberian suplemen CGKK.

Kata-kata kunci : Kerbau Rawa, Sapi Peranakan Ongole (PO), Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK), Karakteristik Kimia daging


(2)

ABSTRACT

The Fatty Acids Composition And Chemical Caharacteristics Of Meat From Cattle And Buffalo Fatten On Feedlot Ration Supplemented By Protected

Lemuru Fish Oil In The Form Of Dried Carboxylate Salt Mixture

Y. Devia, R. Priyanto, and H. Nuraini

Buffalo is a potential meat producing animal. There is an increasing demand of buffalo meat in Indonesian. The study was aimed to examine the fatty acids composition and chemical characteristic of meat from cattle and buffalo fatten on feedlot ration supplemented by protected lemuru fish oil in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). The research used six swamp buffalo and eight Ongole grade cattle. They were assigned to 2x2 factorial model with two animal species (cattle and buffalo) and two level ration (suplemented and not supplemented ration with dried carboxylate salt).The results of this study showed that swamp buffalo and Peranakan Ongole cattle fatten on feedlot ration using protected lemuru fish oil in the form of DCM, produced meat with similar chemical characteristic. Meanwhile, they were significant interaction between ruminant species and ration on fatty acid composition. In buffaloes the addition of the protected lemuru fish oil could significantly decreased (p<0,05) the saturated fatty acid but significantly (p<0,05) increased the unsaturated fatty acid in meat. However, this was not the case for cattle.

Keywords : Swamp Buffalo, Ongole Grade Cattle, Dried Carboxylate Salt Mixture (DCM), Chemical Characteristic


(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kerbau Rawa (Bubalus bubalis) merupakan salah satu komoditas usaha peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena memiliki persentase karkas cukup tinggi yaitu 50-55% serta mampu mengubah makanan yang berkualitas rendah menjadi pertumbuhan otot (Yurleni, 2010). Pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia masih dilakukan secara ekstensif dengan pakan berasal dari hijauan tanpa adanya pemberian konsentrat. Umumnya, ternak kerbau dipelihara sebagai ternak kerja, sehingga dipotong pada umur yang sudah tua. Hal ini menyebabkan daging yang dihasilkan menjadi keras dan alot.

Usaha penggemukan ternak pedaging semakin berkembang seiring dengan meningkatnya konsumsi daging di Indonesia dari tahun ketahun. Jenis ternak yang umum digunakan dalam usaha penggemukan adalah sapi potong. Sapi yang umum digunakan dalam usaha penggemukan adalah sapi bakalan impor (Brahman Cross) dan sapi Peranakan Ongole. Kerbau Rawa memiliki prospek yang baik dalam usaha penggemukan. Daging kerbau sangat diminati di beberapa daerah di Indonesia. Penampilan produksi kerbau sebagai penghasil daging dapat ditingkatkan melalui perbaikan pakan dan sistem pemeliharaan secara intensif. Penggemukan kerbau dengan sistem feedlot diharapkan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan kerbau dalam waktu yang singkat, serta dapat memperbaiki kualitas daging yang dihasilkan.

Strategi pemberian pakan akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat gizi, yang digunakan dalam pembentukan jaringan karkas. Ternak harus diberi Pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi ternak. Umumnya hijauan dan konsentrat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia dalam proses penggemukan. Beberapa usaha penggemukan ternak menambahkan pakan suplemen untuk melengkapi kebutuhan nutrisi ternak. Hal ini bertujuan agar produksi ternak menjadi lebih optimal. Penelitian ini menggunakan pakan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK.

Minyak ikan lemuru (Sardinella longiseps) merupakan limbah dari industri pengalengan ikan lemuru. Kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru yaitu sekitar 85,61 %. Asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak


(4)

ikan lemuru adalah asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic Acid C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic Acid, C22:6(n-3)). Minyak ikan lemuru merupakan bahan pakan yang tidak dapat diberikan kepada ternak secara langsung, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, minyak ikan lemuru dihidrolisis dengan asam melalui proses kimiawi, sehingga menghasilkan CGKK agar dapat diberikan kepada ternak secara langsung (Tasse, 2010).

Metode proteksi terhadap minyak ikan lemuru dilakukan karena bertujuan untuk menghindari terjadinya proses biohidrogenasi di dalam rumen ternak ruminansia, yang dapat mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Daging kerbau dan sapi banyak mengandung asam lemak jenuh, disebabkan oleh adanya proses biohidrogenasi di dalam rumen ternak, sehingga terdapat perbedaan kualitas daging ruminansia dan monogastrik. Asam lemak jenuh daging ruminansia dikenal tinggi sehingga dinilai memiliki kandungan nutrisi yang rendah dan men-dapat sorotan negatif bagi kesehatan manusia. Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK pada ternak kerbau dan sapi diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi daging yang dihasilkan.

Selain meningkatkan nilai nutrisi dan kandungan EPA dan DHA dalam daging, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perbedaan kualitas daging kerbau dan sapi yang digemukkan secara feedlot dengan penambahan suplemen pakan minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang teknik budidaya kerbau secara intensif untuk menghasilkan daging yang memiliki kandungan asam lemak omega-3 tinggi.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak pada daging kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongole (PO) yang digemukkan dengan pakan konsentrat yang disuplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK).


(5)

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Kerbau

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau Rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau Sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus: Bubaline Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau Sungai (river buffalo) biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Kerbau Sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau Rawa (swamp bufallow) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Kerbau Rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja. Kerbau sungai di beberapa Negara, dikembangbiakkan untuk produksi susu. Peran dan fungsi lain dari ternak kerbau adalah sebagai penghasil pupuk, sehingga ternak ini sering dijuluki dengan ternak multiguna (Muthalib, 2006).

Karakteristik Ternak Kerbau

Karakteristik dari ternak kerbau antara lain memiliki kulit tebal dengan warna kulit dan rambut hitam keabu-abuan, memiliki tanduk besar mengarah kebelakang serta memiliki sedikit kelenjar keringat, sehingga kurang tahan terhadap cuaca panas. Kerbau sering berendam atau melumuri tubuhnya dengan lumpur (berkubang pada lumpur). Hal ini bertujuan untuk mengurangi cekaman panas sehingga fungsi fisiologis tubuhnya dapat berjalan dengan normal. Umumnya pertambahan bobot


(6)

badan pada ternak kerbau sangat dipengaruhi oleh kesempatannya dalam berkubang (Zulbardi et al., 1982; Fahimuddin, 1975).

Kelemahan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be-berapa kelemahan seperti rendah tingkat reproduksinya. Rendahnya tingkat reproduksi pada ternak ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat seperti proses deteksi estrus lebih sulit dan memiliki masa kebuntingan lebih lama dibandingkan dengan ternak sapi, serta ternak kerbau memiliki kemampuan terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Keterbatasan ternak kerbau dalam mengubah kelebihan energi/tenaga di dalam tubuhnya, me-nyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan kerbau meskipun diberi pakan yang berkualitas bagus (Gunawan dan Romjali, 2010).

Kelemahan lain yang terdapat pada ternak kerbau adalah memiliki sistem perkawinan berulang. Sistem perkawinan sering berulang diantara spesies ternak kerbau menyebabkan terjadinya penurunan terhadap produktivitas dan juga populasinya, sehingga peningkatan terhadap populasi ternak kerbau akan sulit untuk ditingkatkan (Darminto et al., 2010; Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Kelebihan Ternak Kerbau

Kerbau merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang memiliki be-berapa kelebihan dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya. Kelebihan ternak kerbau antara lain yaitu mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan kering serta memiliki kemampuan cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim (Gunawan dan Romjali, 2010; Darminto et al., 2010).

Ternak kerbau dapat mengkonsumsi pakan berkualitas rendah yang tidak dimakan oleh sapi dan mampu memanfaatkannya untuk menghasilkan produksi daging. Hal ini dinyatakan karena kerbau mampu mencerna pakan berserat kasar tinggi secara lebih baik dibandingkan dengan sapi (Adiwinarti et al., 2010). Daya cerna kerbau terhadap selulosa mencapai dua kali lipat lebih tinggi daripada sapi. Kemampuan ternak kerbau dalam mencerna pakan berserat kasar tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan spesifik mikroba rumen antara ternak kerbau dan sapi. Jumlah protozoa yang dimiliki ternak kerbau adalah ± 213.400/ml sedangkan sapi


(7)

hanya memiliki ± 94.600/ml protozoa, pada pH rumen 5,05-7,6, sehingga pencernaan pada kerbau dianggap lebih baik. Tingginya jumlah mikroba pada rumen kerbau menunjukkan bahwa lingkungan di dalam rumen kerbau diduga sangat baik untuk tempat tumbuh dan berbiak mikroorganisme rumen seperti protozoa, sehingga membantu proses pencernaan di dalam tubuh ternak (Chalmers dan White, 1993).

Pakan Ternak Kerbau

Pakan ternak kerbau umumnya tidak jauh berbeda dengan pakan sapi yang terdiri atas hijauan dan juga limbah hasil pertanian. Jerami padi, rumput lapang dan daun ubi jalar diberikan pada ternak kerbau sebagai pakan hijauan. Umumnya pakan tambahan jarang diberikan kepada ternak kerbau sehingga kebutuhan gizinya belum terpenuhi secara optimal. Faktor utama untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau adalah memberikan pakan hijauan berkualitas baik (Utomo dan Prawirodigdo, 2010).

Hijauan merupakan pakan utama ternak kerbau, terutama bagi ternak yang digembalakan. Pakan limbah pertanian digunakan sebagai pakan ternak kerbau pada saat proses pemeliharaan secara intensif (digemukkan). Limbah hasil pertanian me-miliki kandungan protein tinggi. Pakan penggemukan dapat memanfaatkan limbah hasil pertanian karena mampu memenuhi kebutuhan ternak, sehingga pertambahan bobot badan ternak mencapai target yang diinginkan dalam waktu relatif singkat. Umumnya beberapa peternak belum mengetahui bahwa limbah hasil per-tanian/perkebunan dapat digunakan sebagai pakan ternak (Indraningsih et al., 2006). Menurut Mayunar (2006), pemilihan pakan hijauan dan konsentrat untuk ternak dapat disesuaikan dengan ketersediaan bahan yaitu mudah dan murah untuk men-dapatkannya, serta sesuai dengan syarat kebutuhan dasar bagi ternak yang dipelihara.

Kualitas Pakan Ternak

Ternak diberikan pakan berkualitas baik dan memenuhi kebutuhan ternak agar dapat memproduksi daging secara optimal. Limbah pertanian dapat dimanfaat-kan sebagai padimanfaat-kan ternak ruminansia. Menurut Indraningsih et al. (2006), per-masalahan umum dalam menggunakan pakan limbah pertanian adalah faktor pengetahuan peternak, kualitas pakan limbah pertanian, faktor lingkungan (cemaran) dan pola penggembalaan ternak kerbau. Kualitas pakan ternak tergantung pada


(8)

komposisi dan kandungan nutrisi di dalamnya, terutama terhadap protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan tingkat kecernaan. Produktivitas sapi potong tergantung pada pemberian pakan, oleh sebab itu ketersediaan, jumlah dan mutu harus diperhatikan dalam pemilihan pakan sebelum diberikan kepada ternak. Tabel 1 menunjukkan perbandingan nutrisi pakan limbah hasil pertanian terhadap standar mutu pakan untuk ternak dewasa.

Tabel 1. Perbandingan Nutrisi Limbah Pertanian/Perkebunan dengan Mutu Standar Pakan Untuk Sapi

No Parameter

Limbah

pertanian/perkebunan Kisaran nilai standar (%) Padi Jagung

1 Bahan kering (%) 66,0 21,0 80-90 2 Protein kasar (%) 3,9 3,3 12-15

3 Lemak kasar (%) 0,9 - 2-3

4 Serat kasar (%) 33,0 20,2 15-21

5 TDN 38,1 16,3 58-65

Sumber : Indraningsih et al. (2006)

Limbah hasil pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak, meskipun kandungan nutrisinya relatif rendah dibandingkan standar mutu pakan untuk sapi dewasa. Pakan limbah hasil pertanian digunakan sebagai pakan suplementasi hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Suplementasi dilakukan karena umumnya limbah hasil pertanian mengandung protein lebih baik daripada hijauan pakan ternak. Limbah tanaman dapat digunakan sebagai pakan, namun perlu dilakukan pemilihan (seleksi), karena bertujuan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan nutrisi pakan limbah pertanian, kandungan toksin/kandungan zat antinutrisi di dalam tanaman.

Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak kerbau oleh peternak masih sederhana, yakni dikandangkan dan digembalakan (semi intensif). Penggembalaan dilakukan ketika


(9)

lahan sawah tidak ditanami padi dan di lapangan penggembalaan. Saat sore hari ternak kerbau dikandangkan dan biasanya dimandikan terlebih dahulu (Rusdiana dan Herawati, 2009). Pemeliharaan ternak secara ekstensif apabila ditinjau dari segi usaha maka dinilai tidak merugikan, hal ini disebabkan karena hampir semua biaya produksi tidak ada. Sistem pemeliharaan dilakukan secara ekstensif sangat tidak diharapkan, jika bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging secara nasional. Hal ini disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan untuk penggemukan sangat lama. Sistem pemeliharaan terhadap ternak kerbau secara ekstensif sangat bergantung pada ketersediaan dan penggunaan rumput alam sebagai pakan utama bagi ternak (Muthalib, 2006).

Penerapan pemeliharaan secara sistem intensif mampu menghasilkan produksi lebih efisien. Sistem pemeliharaan secara intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum berkualitas baik, memanfaatkan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tambahan, mempermudah pengawasan kesehatan ternak serta penggunaan lahan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sistem ekstensif. Peningkatan dalam usaha perkembangan ternak kerbau dapat dilakukan dengan perbaikan pola pemeliharaanya ke arah yang lebih intensif (Parakkasi, 1999; Muthalib, 2006).

Kendala Pemeliharaan Ternak Kerbau

Pemeliharaan ternak kerbau dilakukan oleh sebagian kecil petani-petani di Indonesia dengan metode yang masih sangat sederhana, yaitu menerapkan sistem semi intensif (Dania dan Poerwoto 2006). Kendala dalam melakukan usaha pemeliharaan ternak kerbau adalah keterbatasan dalam ketersediaan pakan saat musim kemarau dan keterbatasan lahan, sehingga kepemilikan ternak kerbau di wilayah pedesaan masih relatif sedikit. Menurut Indraningsih et al. (2006), kendala lain dalam memelihara ternak kerbau adalah keterbatasan bibit unggul, kesehatan ternak kurang diperhatikan, mutu pakan ternak masih relatif rendah, terjadinya perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak.


(10)

Perkembangan Ternak Kerbau

Secara umum populasi ternak kerbau mengalami penurunan (Tabel 2), hal ini disebabkan oleh perkembangbiakan ternak kerbau masih relatif lambat sehingga tingkat produktivitasnya rendah.

Tabel 2. Populasi Ternak (000) Ekor 2007-2010 Jenis ternak

Tahun

2007 2008 2009 2010*)

Sapi potong 11.515 12.257 12.760 13.633

Sapi perah 374 458 475 495

Kerbau 2.086 1.931 1.933 2.005

Kuda 401 393 399 409

Kambing 14.470 15.147 15.815 16.821

Domba 9.514 9.605 10.199 10.932

Babi 6.711 6.338 6.975 7.212

Ayam buras 272.251 243.423 249.964 268.957 Ayam petelur 111.489 107.955 99.768 103.841 Ayam pedaging 891.659 902.052 991.281 1.249.952

Itik 35.867 38.840 42.318 45.292

Keterangan : *Angka Sementara

Sumber : Direktorat Jendral Peternakan (2011)

Salah satu faktor penyebab utama dalam penurunan populasi ternak kerbau adalah penampilan reproduksinya relatif rendah karena ternak kerbau memiliki dewasa kelamin, periode birahi, masa kebuntingan panjang dan gejala birahi yang sulit untuk dideteksi (Putu et al., 1994). Faktor lain sebagai penyebab rendahnya populasi ternak kerbau adalah masalah perkembangbiakan, pakan, kesehatan ternak, tatalaksana pemeliharaan, serta perhatian peternak yang kurang baik dalam


(11)

manajemen pemeliharaannya (Lubis dan Sitepu, 1999; Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kondisi tersebut diperlu-kan usaha peningkatan produksi dan mutu genetik ternak melalui berbagai upaya penerapan teknologi.

Penggemukan Ternak Kerbau

Usaha penggemukan ternak kerbau pada saat ini belum banyak dilakukan oleh peternak maupun oleh pihak swasta. Usaha ini memiliki prospek sangat baik apabila diikuti dengan perbaikan manajemen pemeliharaan, penggunaan sumberdaya lokal secara optimal dan teknologi tepat guna. Usaha penggemukan ternak kerbau telah dilakukan pada beberapa daerah salah satunya di Jawa Barat. Usaha peng-gemukan tersebut dilakukan selama 62 hari dengan menggunakan inovasi teknologi dan memanfaatkan jerami padi fermentasi. Proses penggemukan kerbau ini meng-gunakan empat macam perlakuan yaitu pemberian pakan basal berupa jerami segar dan jerami fermentasi, serta ditambahkan pakan penguat berupa konsentrat (Priyanti dan Saptati, 2006). Penggemukan ternak merupakan usaha untuk mempercepat dan meningkatkan bobot potong ternak ruminansia dalam waktu relatif singkat, karena ternak dipelihara pada suatu lokasi kandang dengan sistem pemberian pakan yang lebih baik (Dania dan Poerwoto, 2006).

Usaha penggemukan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas karkas/daging. Deposit lemak dalam karkas dapat mempengaruhi kualitas karkas/daging. Lama penggemukan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar lemak pada otot ternak. Semakin lama proses penggemukan maka jumlah kadar air pada otot ternak akan semakin menurun sedangkan kadar lemak akan semakin meningkat (Parakkasi, 1999). Menurut Hasinah dan Handiwirawan (2006), usaha penggemukan dilakukan untuk mengetahui keragaman produksi dan produk-tivitas ternak kerbau. Kemampuan produksi kerbau dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan dan sifat-sifat karkas (persentase karkas dan juga kualitas karkas).


(12)

Produksi Daging Kerbau

Produksi daging kerbau di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (2011), pada tahun 2010 hanya sebesar 37.299 ton, angka ini sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi daging sapi yang sebesar 435.299 ton (Tabel 3). Kebutuhan ternak pedaging sebagai sumber daging (halal) utama, meningkat setiap tahunnya terutama di Indonesia. Kebutuhan daging sapi terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh populasi dan pendapatan yang juga meningkat setiap tahunnya, akan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan populasi ternak sebagai penghasil daging (Tabel 2). Besarnya peran ternak sapi sebagai penghasil daging disebabkan oleh pelaku industri dan pemerintah hanya memfokuskan kepada ternak ini saja sehingga potensi ternak lain sebagai sumber daging seperti kerbau menjadi kurang mendapat peluang untuk dioptimalkan. Agar dapat memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri serta mengurangi impor daging dari luar negeri dapat dilakukan dengan menentukan ternak alternatif sebagai penghasil daging seperti kerbau dan juga ternak ruminansia lainnya. Kerbau merupakan salah satu alternatif ternak untuk dikembangkan karena memiliki potensi sebagai ternak penghasil daging (Indraningsih et al., 2006).

Tabel 3. Produksi Daging (ton) di Indonesia Tahun 2009-2010

Pulau Sapi Kerbau

2009 2010 2009 2010

Sumatera 78.529 82.035 16.338 17.336

Jawa 256.439 273.959 10.318 11.803

Bali 6.383 6.325 16 17

Nusa 13.053 13.909 3.015 3.040

Kalimantan 21.806 22.691 1.402 1.440

Sulawesi 27.414 30.217 3.205 3.294

Maluku 1.561 1.659 290 308

Papua 4.123 4.504 61 61

Indonesia 409.308 435.299 34.645 37.299 Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Daging Kerbau

Daging kerbau belum popular, karena ternak ini dipotong pada umur tua (8-10 tahun) dan sering digunakan untuk membajak sawah serta menarik barang


(13)

(kendaraan). Akibatnya, menghasilkan daging kerbau tidak empuk, juiceness rendah, flavour kurang enak sehingga tidak memenuhi syarat sebagai daging yang bermutu baik (Direktorat Jendral Peternakan, 2005). Menurut Darminto et al. (2010), perbaikan kualitas daging kerbau dari ternak pekerja dapat dilakukan dengan me-nerapkan sistem pemeliharaan baru yaitu secara intensif. Daging berkualitas baik dapat dihasilkan apabila selama proses pemeliharaan ternak kerbau diberikan pakan yang baik, yaitu kombinasi antara hijauan dan konsentrat serta perbaikan dalam manajemen pemeliharaan.

Karakteristik Daging Kerbau dan Daging Sapi

Kerbau Lumpur menurut Darminto et al. (2010), digunakan sebagai ternak pekerja dan setelah itu dijual sebagai sumber daging. Karakteristik daging kerbau Menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), yaitu lebih merah dibanding daging sapi karena memiliki pigmentasi lebih banyak dan memiliki lemak intramuskular yang rendah, sehingga daging yang dihasilkan menjadi lebih keras dan alot daripada daging sapi. Kelebihan daging kerbau daripada daging sapi yaitu memiliki kandung-an lemak daging ykandung-ang rendah. Hal ini dapat disebabkkandung-an oleh kemampukandung-an ternak kerbau yang terbatas dalam mengubah kelebihan energi atau tenaga menjadi jaringan lemak. Karakteristik daging kerbau tersebut menyebabkan beberapa konsumen ter-tentu yang memiliki masakan tradisional unik lebih menyukai daging kerbau, seperti masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dll.

Penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin et al. (2002) terhadap tingkat kesukaan daging kerbau membuktikan bahwa konsumen kurang menyukai daging kerbau disebabkan oleh dagingnya yang keras dan alot. Menurut Williamson dan Payne (1993), daging kerbau dengan karakteristik alot bukan disebabkan oleh pengaruh intrinsik, akan tetapi karena hewan ini dipotong pada umur tua.

Kandungan Nutrisi Daging Kerbau dan Daging Sapi

Daging adalah bahan pangan yang dilengkapi dengan komposisi protein seimbang namun terkadang bermasalah karena memiliki kadar lemak tinggi. Daging merupakan salah satu bahan pangan sebagai sumber protein hewani. Komposisi kimia daging sangat menentukan nilai nutrisi atau kualitas dari daging yang


(14)

dihasil-kan. Komposisi kimia daging kerbau dan sapi diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti yang berbeda disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Daging Kerbau dan Sapi dengan Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Kerbau Sapi

Kadar Air (%) 74-78 77,64

Kadar Protein (%) 20,2-24,1 19,81

Kadar Abu (%) 1,00 1,08

Kadar Lemak (%) 0,9-1,8 5,98

Sumber : Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006)

Tabel 4 diatas menunjukkan hasil analisa kandungan nutrisi daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif dan sapi yang dipelihara secara intensif (digemukkan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara dengan manajemen yang ber-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi memiliki persentase hampir sama, meskipun kedua jenis ternak tersebut berada pada sistem pemeliharaan yang berbeda. Kadar air, kadar protein dan kadar abu dari daging sapi hampir sama dengan daging kerbau. Berbeda terhadap kadar lemak daging yang menunjukkan bahwa kadar lemak daging sapi yang digemukkan lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan pada lahan pastura).

Ternak kerbau umumnya dipelihara secara ekstensif (digembalakan) sedang-kan ternak sapi lebih sering dipelihara secara intensif (digemuksedang-kan). Kedua jenis ternak tersebut dipelihara pada sistem berbeda, sehingga tingkat asupan gizi dan juga nutrisi yang diperoleh juga berbeda. Menurut Rebak et al. (2010), perbedaan kandungan nutrisi daging kerbau dan sapi dari hasil penelitian tersebut, dapat di-sebabkan oleh perbedaan sistem pemberian pakan dan juga manajemen pemeliharaan dari kedua jenis ternak tersebut.

Otot pada mamalia umumya memiliki kadar air sekitar 75% dengan kisaran 68-80%, kadar protein sekitar 19% dengan kisaran antara 16-22%, dan kadar lemak sekitar 2,5% dengan kisaran 1,5-13% (Lawrie, 2003). Kerbau menghasilkan daging dengan kualitas serupa dengan daging sapi, namun daging kerbau lebih disukai di beberapa daerah karena kadar lemak daging kerbau relatif rendah. Daging


(15)

ruminansia memiliki kandungan nutrisi yang sedikit dipengaruhi oleh perbedaan spesies. Pada dasarnya Otot mamalia memiliki komposisi kimia yang sangat ber-variasi. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging dari ternak ruminansia memiliki variasi komposisi kimia atau kandungan nutrisi yang tergantung dari jenis spesies ternak, umur, jenis kelamin dan letak serta fungsi daging di dalam tubuh.

Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi

Muchtadi et al. (2002), menyatakan bahwa lemak tersusun atas asam-asam lemak yang meliputi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbon-nya tidak memiliki ikatan rangkap dan dijenuhi oleh hidrogen. Sedangkan asam lemak tak jenuh yaitu apabila rantai hidrokarbonnya tidak dijenuhi oleh hidrogen sehingga memiliki satu atau lebih ikatan rangkap. Tabel 5 berikut menunjukkan kandungan asam lemak pada daging kerbau dan daging sapi yang dihasilkan oleh peneliti yang berbeda.

Tabel 5. Komponen Asam Lemak Daging Kerbau dan Daging Sapi pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda

Parameter Daging sapi* Daging kerbau**

Asam lemak jenuh (%) 36,37 54,60

Asam lemak tak jenuh (%) 63,83 45,25

C20:5n-3 (%) - 0,04

C22:6n:3 (%) - 0,10

Sumber : Setiyono et al. (2006)* dan Juarez et al. (2010)**

Kadar asam lemak daging sapi dan kerbau diteliti oleh Setiyono et al. (2006) dan Juarez et al. (2010) menunjukkan bahwa dengan manajemen pemeliharaan secara intensif (digemukkan) menghasilkan daging dengan kandungan asam lemak jenuh lebih rendah dan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi. Hal ini berbeda terhadap ternak kerbau yang dipelihara secara ekstensif (digembalakan pada lahan pastura) yang menghasilkan daging dengan kandungan asam lemak jenuh lebih tinggi dan kandungan asam lemak tak jenuh lebih rendah.


(16)

Hasil penelitian yang diperoleh dari beberapa peneliti tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan kandungan asam lemak jenuh dan tak jenuh pada daging sapi dan kerbau (Tabel 5). Hal ini disebabkan oleh perbedaan manajemen pe-meliharaan yang diberikan pada ternak selama proses penelitian. Perbedaan asam lemak jenuh dan tak jenuh yang terkandung di dalam daging sapi dan kerbau menurut Setiyono et al. (2006), dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik antara kedua daging yang berasal dari spesies ternak yang berbeda.

Daging kerbau memiliki struktur komposisi kimia, nilai nutrisi, palatabilitas dan bagian karkas yang dapat dikonsumsi hampir sama dengan daging sapi. Daging kerbau dianggap oleh masyarakat memiliki kandungan kolesterol yang rendah, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan hewani yang sehat. Daging kerbau mengandung kadar kolesterol yang rendah, hal ini disebabkan oleh keter-batasan ternak kerbau dalam mengubah energi/tenaga menjadi jaringan lemak. Lemak daging kerbau terpusat di bawah kulit dan rongga tubuh sedangkan sedikit diantara daging. Daging kerbau memiliki jumlah lemak yang sedikit sehingga tingkat kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (Usmiati dan Priyanti, 2006; Darminto et al., 2010; Gunawan dan Romjali, 2010). Menurut Muctadi et al. (2002), asam-asam lemak adalah komponen penyusun lemak. Rendahnya asam-asam lemak dapat disebabkan karena kadar lemak yang sedikit terdapat pada daging.

Pencernaan dan Penyerapan Lemak

Proses pencernaan dan penyerapan lemak pada ternak ruminansia dibantu oleh mikroba di dalam rumen. Semua lemak di dalam pakan akan dihidrolisis atau diuraikan menjadi lebih sederhana yaitu menjadi asam lemak bebas dan gliserol, sehingga dapat diserap oleh tubuh ternak. Pencernaan dan penyerapan lemak terjadi di dalam rumen. Penyerapan lemak dari usus halus di dalam plasma darah tidak dalam keadaan bebas karena sifat lemak yang tidak larut dalam air, sehingga membutuhkan zat pengangkut khusus seperti lipoprotein. Kadar lemak daging merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas atau komposisi kimia daging. Daging memiliki kadar lemak yang sangat dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam lemaknya (Tillman et al., 1991).


(17)

Teknologi Perlindungan Lemak

Proses perlindungan pakan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti proses saponifikasi (sabun kalsium), meng-gunakan formalin, melalui hidrolisis basa dan hidrolisis asam. Pembuatan Campuran Garam Karboksilat kering dilakukan secara kimiawi melalui hidrolisis asam. Minyak ikan lemuru diolah dengan proses hidrolisis asam karena memiliki waktu lebih singkat dibandingkan dengan hidrolisis basa, sehingga lemak tidak banyak ter-oksidasi. Pembuatan garam karboksilat dengan cara hidrolisis asam diawali dengan mereaksikan bahan lemak dengan larutan asam klorida (HCl). Minyak ikan merupa-kan lemak terhidrolisis oleh larutan HCl (Asam). Agar dapat memperoleh garam karboksilat, maka minyak ikan lemuru terhidrolisis dengan asam harus ditambah dengan larutan KOH. Campuran antara minyak ikan terhidrolisis dengan asam kemudian ditambah larutan KOH sehingga menghasilkan garam karboksilat. Setelah terbentuk menjadi garam karboksilat maka dicampurkan dengan onggok. Perbandingan antara jumlah onggok dan minyak ikan adalah 1 : 5 b/b. Kemudian campuran onggok garam karboksilat tersebut dikeringkan pada oven dengan suhu 320C, sehingga diperoleh Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Proses pengeringan dilakukan bertujuan untuk memperoleh CGKK dengan kadar air 15% (Tasse, 2010).

Proses penyerapan campuran garam karboksilat oleh ternak ruminansia, yaitu terjadi pemisahan antara onggok dan garam karboksilat di dalam rumen atau abomasal. Garam karboksilat akan terionisasi menjadi karboksilat dan kalium. Proses selanjutnya yaitu karboksilat akan diserap oleh sel intestinal (usus halus) kemudian berikatan dengan gliserol (diesterifikasi) sehingga membentuk lipid (lemak) dan kemudian bergabung dengan chilomikron dan VLDL. Kemudian dibawa ke jaringan tubuh dan asam lemak akan dilepaskan dari lemak dalam kapiler darah lalu asam lemak akan diabsorbsi dan disimpan menjadi lemak daging terutama asam lemak EPA dan DHA (Tasse, 2010).

Mekanisme proteksi asam lemak tidak jenuh di dalam minyak ikan lemuru tidak didasari oleh titik cair asam lemaknya melainkan berdasarkan level keasaman atau pH rumen dan usus halus di dalam tubuh ternak. Garam kalsium akan tetap utuh pada lingkungan rumen dengan pH netral (pH 6-7), tetapi akan terurai pada


(18)

lingkungan asam (pH 2-3). pH rumen normal menyebabkan garam kalsium tidak dapat terdegradasi atau terurai. Namun, pada lingkungan asam garam kalsium akan terpisah dalam bentuk lemak dan kalium. Pemisahan antara kalium dan lemak menyebabkan asam lemak akan terbebas sehingga mudah dipecah serta dapat diserap di dalam tubuh ternak (Tasse, 2010).

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru (Sardinella longiseps), merupakan limbah industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensi sebagai sumber asam lemak tak jenuh, dengan kandungan sekitar 85,61% (Maryana, 2002). Minyak ikan lemuru dapat dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak dan dapat dijadikan pakan ternak, karena ketersediannya yang tinggi dan juga memiliki kandungan asam lemak tak jenuh (Tabel 6) berupa EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) (Lubis, 1993). Hasil penelitian Dewi (1996) membuktikan bahwa minyak ikan lemuru memiliki kandungan EPA sebesar 15 % sedangkan DHA sebesar 11 %.

Beberapa pakan ternak ruminansia mengandung asam-asam lemak, sehingga apabila diberikan pada ruminansia akan terhidrogenasi di dalam rumen. Kualitas lemak ruminan dan monogastrik berbeda disebabkan oleh adanya proses hidrogenasi di dalam tubuh ternak ruminansia. Proses hidrogenasi merupakan suatu proses yang mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Ternak ruminansia dapat memproduksi daging dengan kandungan asam lemak jenuh tinggi, sehingga memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan manusia (Parakkasi, 1999). Minyak ikan lemuru mengandung asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA yang berperan untuk menurunkan kadar kolesterol dan mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah serta mampu meningkatkan kecerdasan otak dan mempercepat pertumbuhan serta perkembangan anak (Simopaulus, 2002).


(19)

Tabel 6. Komposisi Asam Lemak yang Terkandung pada Minyak Ikan Lemuru Asam lemak % komposisi g/100 g contoh

C14:0 12,5 6,20

C16:0 9,5 1,05

C16:1 3,8 0,65

C17:1 0,8 0,20

C18:0 0,8 0,34

C18:1 3,9 1,62

C18:2 1,1 0,45

C18:3n-6 0,1 0,04

C18:3n-3 0,6 0,24

C20:0 1,6 0,68

C20:1n-4 0,1 0,01

C20:2n-6 0,1 0,01

C20:3n-3 1,3 0,21

C20:5n-3 (EPA) 34,7 8,67

C22:n-4 0,5 0,2

C22:3n-3 0,4 0,16

C22:6n-3 (DHA) 27,1 6,77

Sumber : Lubis (1993)

Sapi Peranakan Ongole

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah salah satu ternak penghasil daging yang merupakan sumberdaya genetik dari sapi lokal. Pelestarian sumber daya genetik terhadap ternak sapi PO bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi lokal. Karakteristik sapi PO secara fisiologis antara lain, baik dalam menanggapi perubahan maupun perbaikan pakan dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis. Sapi Peranakan Ongole merupakan sapi dari hasil persilangan sapi Sumba Ongole dan sapi Jawa. Ciri-ciri sapi PO yaitu memiliki ukuran tubuh yang besar dan panjang, berwarna putih (namun punuk hingga leher berwarna putih keabu-abuan dan lututnya berwarna hitam), memiliki kepala yang panjang dan telinga agak tergantung, tanduknya pendek dan tumpul yang pada bagian pangkalnya berukuran


(20)

besar, selain itu sapi PO juga memiliki gelambir yang lebar, bergantung dan belipat yang umbuh sampai tali pusar (Payne dan Hodges, 1997).

Tampilan bobot hidup dan ukuran tubuh ternak sapi PO bervariasi karena dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan yang beragam, seperti perbedaan umur, manajemen pemeliharaan serta jumlah dan jenis pakan yang diberikan (Hartati et al., 2010). Sapi PO memiliki kelemahan yaitu sulit untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Hal ini disebabkan mikroba rumen pada ternak sapi memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan ternak kerbau. Tingkat konsumsi pakan pada sapi PO akan semakin menurun, apabila pakan yang diberikan mengandung serat kasar tinggi. Konsentrat biasanya diberikan untuk melengkapi pakan utama ternak. Konsentrat rendah akan kandungan serat kasarnya, sehingga daya cerna ternak terhadap konsentrat relatif tinggi (Adiwinarti et al., 2010; Anggorodi, 1994).


(21)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juni hingga September 2011. Pemeliharaan Kerbau Rawa dan sapi Peranakan Ongole (PO) dilaksanakan selama dua setengah bulan, di Laboratorium lapang Blok A, Fakultas Peternakan. Pem-buatan suplemen Campuran Garam Karboksilat Kering di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan dan Technopark SEAFAST, Fakultas Teknologi Pertanian. Analisis komponen asam lemak dan kandungan nutrisi daging di Laboratorium Terpadu Baranangsiang dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak

Penelitian ini menggunakan enam ekor ternak kerbau Rawa jantan dengan rataan bobot hidup 218,66 ± 16,28 kg dan delapan ekor ternak sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan rataan bobot hidup 217,37 ± 15,44 kg yang ditempatkan pada kandang individu. Daging yang digunakan untuk dianalisa (uji proksimat dan uji komponen asam lemak) adalah daging kerbau dan sapi yang terdapat di bagian otot Longisimus dorsi pada rusuk ke-12 dan 13.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ternak kerbau dan sapi adalah kandang individu. Peralatan yang digunakan untuk masa pemeliharaan adalah tempat pakan, tempat minum, timbangan badan ternak, timbangan pakan, tongkat ukur, meteran, dan thermometer ruang untuk mengukur suhu dan kelembaban kandang. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan CGKK meliputi kompor, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, pipet, dan thermometer. Peralatan yang digunakan dalam analisis kualitas daging adalah timbangan digital untuk menimbang sampel daging, blender, kertas saring, oven, cawan porselen, Bunsen, ruang asam, gelas piala, Erlenmeyer, pipet volumetrik, pipet tetes, tanur, labu soxhlet, labu kjedhal, corong buncher, pisau, piring, gelas, dan alat tulis.


(22)

Pakan dan Air Minum

Pakan yang diberikan berupa hijauan yang terdiri atas rumput gajah dan rumput lapang yang dicampur dengan tongkol jagung. Konsentrat yang digunakan merupakan konsentrat komersial. Konsentrat komersial tersebut dicampur dengan kulit ari kedelai dari limbah pembuatan tempe. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak kerbau dan sapi berdasarkan bahan kering. Penambahan Campuran Garam Karboksilat Kering dilakukan dengan mencampur-kannya ke dalam konsentrat yang diberikan. Air minum ternak selalu tersedia di dalam bak air minumnya. Berikut pada Tabel 7 disajikan komposisi dan kandungan nutrien ransum penelitian yang diberikan terhadap ternak kerbau dan sapi.

Tabel 7. Komposisi dan Kandungan Nutrien Pakan Perlakuan Berdasarkan Bahan Kering Komposisi zat-zat makanan (%) R1 (Hijauan + Konsentrat) R2

(Hijauan + Konsentrat + CGKK) Berat Kering* Abu* Lemak Kasar* Protein Kasar* Serat kasar* BETN** TDN** 33,33 7,42 2,25 13,65 35,80 40,87 57,79 33,58 7,25 2,91 13,82 35,93 40,09 58,87 *Hasil analisa Proksimat

**Berdasarkan perhitungan

TDN (Hartadi et al., 1980) = (92,64 – 0,338(SK)) – (6,945(LK) – 0,762(BETN)) + (1,115(PK) + 0,031(SK)2)– (0,133(LK)2 + 0,036(SK)(BETN)) + (0,207(LK)(BETN) + 0,100(LK)(PK)) – (0,022(LK)2(PK))

Prosedur

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK), tahap pemeliharan ternak kerbau dan sapi selama dua setengah bulan secara feedlot, tahap pemotongan, tahap analisis kandungan nutrisi dan komponen asam lemak daging.

Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Proses pembuatan Campuran Garam Kering Karboksilat Kering (CGKK) dilakukan pada awal penelitian sebelum tahap pemeliharaan ternak dan dilakukan


(23)

beberapa kali sesuai dengan ketersediaan CGKK saat pemeliharaan. Seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Proses Pembuatan CGKK Persiapan Bahan

Penimbangan Bahan-Bahan seperti HCl, KOH dan onggok

HCl dan KOH dilarutkan terpisah dengan menggunakan aquades

Minyak ikan + larutan HCl (0,2M) dikocok Dimasukkan aquadest lalu dipanaskan dan diaduk sampai berbusa hingga suhu mencapai

700C selama 30 menit

Larutan KOH ditambahkan (konsentrasi berdasarkan

angka asam/0,2M) Diaduk dan didinginkan

Dicampur kedalam onggok dan diaduk hingga rata

Dikeringkan di dalam oven pada suhu 320C

Siap diberikan kepada ternak dengan di campur dengan


(24)

Pembuatan CGKK dimulai dengan persiapan bahan-bahan kimia yaitu KOH, dan HCl yang ditimbang, kemudian diencerkan. Apabila semua bahan sudah siap, maka proses awal yang dilakukan adalah minyak ikan lemuru dipanaskan, Kemudian dicampur dengan HCl (0,2M), minyak ikan sebagai lemak yang terhidrolisis oleh larutan HCl tersebut dikocok lalu ditambah dengan aquades dan adonan diaduk hingga suhunya 700C, bila sudah mencapai suhu tersebut maka ditambahkan dengan larutan KOH dengan konsentrasinya berdasarkan angka asam (0,2M), kemudian aduk hingga rata. Adonan yang telah tercampur rata kemudian didinginkan lalu di-campur dengan onggok dan diaduk hingga halus dan merata serta sampai di-campuran adonan tersebut tidak ada yang menggumpal. Jumlah onggok yang digunakan berdasarkan perbandingan antara minyak ikan dengan onggok 1:5 b/b. Adonan yang sudah halus dan rata kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 320C. Hasil pengeringan campuran tersebut merupakan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Pengeringan dilakukan agar CGKK awet dan tidak berjamur. Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) yang telah dikeringkan dapat dicampur dengan konsentrat dengan kadar yaitu 4,5% atau 45 gr/kg konsentrat dan siap untuk di-konsumsi oleh ternak.

Persiapan dan Pemeliharaan Kerbau dan Sapi

Ternak yang dipelihara dan digemukkan selama dua setengah bulan di-kandangkan secara individu. Penimbangan bobot badan ternak kerbau dan sapi dilakukan diawal sebelum proses pemeliharaan. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui keseragaman bobot badan Kerbau Rawa dan sapi PO. Ternak percobaan sebanyak enam ekor Kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO. Kerbau dan Sapi tersebut dikandangkan sesuai dengan perlakuannya sehingga memudahkan pem-berian perlakuan CGKK. Mekanisme pempem-berian pakan yaitu 3 % dari bobot badan yang ingin dicapai sampai tahap akhir proses penggemukan. Bobot badan yang ingin dicapai yaitu 250 kg selama pemeliharaan dua stengah bulan dengan target peningkatan bobot badan perhari adalah 1 kg. Jumlah pemberian pakan perekor dalam satu hari adalah hijauan sebanyak 20 kg dan konsentrat sebanyak 12 kg. Konsentrat terdiri atas campuran konsentrat komersial ditambah dengan kulit ari kedelai yang berasal dari limbah pembuatan tempe dengan perbandingan antara konsentrat dan kulit ari kedelai adalah 1:2.


(25)

Pemberian pakan dibagi menjadi tiga tahap yaitu pagi, siang dan sore. Mekanisme pemberian konsentrat untuk kerbau dan sapi yang diberi perlakuan penambahan CGKK dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah sebagian kecil dari total konsentrat dicampur dengan CGKK, kemudian diberikan kepada ternak. Tahap kedua adalah pemberian sisa konsentrat yang tidak dicampur CGKK, setelah konsentrat yang diberikan pada tahap pertama telah habis dikonsumsi. Apabila total konsentrat yang diberikan telah habis dimakan maka diberikan minum dan juga hijauan sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat.

Pemotongan Ternak

Penyembelihan dilakukan di RPH (Rumah Potong Hewan) Fakultas Peternakan. Ternak yang akan disembelih ditimbang bobot potongnya terlebih dahulu, kemudian dimandikan dan diberi tanda (berupa nomor) dengan meng-gunakan spidol marker agar mudah dalam mengidentifikasi. Ternak digiring masuk ke ruang pemingsanan (knocking box) lalu dipingsankan (stunning) dengan meng-gunakan alat cash knocker yang dipukulkan tepat dipertengahan dahi di antara kedua kelopak mata. Penyembelihan dilakukan dengan memotong vena jugularis, oesophagus dan trachea, lalu didiamkan sebentar sampai pengeluaran darah sempurna, setelah ternak mati, salah satu kaki belakang diikatkan dengan rantai pada ujung katrol listrik dan kemudian secara perlahan ditarik ke atas sampai meng-gantung sempurna pada rel pengmeng-gantung (roller dan shackling chain). Peng-gantungan dilakukan pada tendon Achilles. Kepala, keempat kaki, ekor dan kulit dipisahkan dari tubuh ternak, Kaki belakang dilepas dengan gunting listrik. Kepala dilepas dari tubuh pada sendi occipito-atlantis (heading). Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi Carpo-metacarpal dan sendi Tarso-metatarsal. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari anus sampai leher melewati bagian perut dan dada, juga dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal dan punggung.

Pengeluaran isi rongga perut dan dada dilakukan dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Karkas segar kemudian dibelah simetris (splitting) dengan menggunakan gergaji listrik besar (power saw) pada sepanjang tulang belakang dari sacral (Ossa vertebrae sacralis) sampai leher (Ossa vertebrae cervicalis). Karkas diberi label dan ditimbang dengan timbangan sebagai bobot karkas segar/panas


(26)

sebelah kiri dan kanan. Karkas disimpan dalam chilling room pada suhu 2-5oC selama ±24 jam.

Sebelum dilakukan pembentukan potongan komersial karkas (wholesale cuts), bobot setengah karkas ditimbang sebagai bobot karkas dingin/layu. Karkas yang diamati potongan komersialnya adalah karkas sebelah kiri, setengah karkas sebelah kiri ini dibelah menjadi dua bagian terlebih dahulu sebelum dideboning, yaitu pada ruas tulang rusuk 12 dan 13. Seperempat bagian depan (forequarter) meliputi chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin. Seperempat bagian belakang (hindquarter) meliputi striploin atau sirloin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank. Semua potongan komersial karkas kemudian ditimbang dan dicatat sebagai bobot potongan komersial karkas.

Analisa Sifat Kimia Daging

Analisa sifat kimia daging dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pengujian komponen asam lemak daging dilakukan di laboratorium Terpadu Baranangsiang Institut Pertanian Bogor. Analisa pada daging kerbau dan sapi dengan pemberian suplemen berupa minyak ikan lemuru terproteksi dalam Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) bertujuan untuk mengetahui serta melihat peningkatan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak pada produk daging. Analisa kandungan nutrien pada daging meliputi kadar air, kadar protein kasar, kadar abu serta kadar lemak. Analisa komponen asam lemak meliputi komponen asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) pada daging.

A. Analisa Proksimat 1. Kadar Air

Analisa proksimat terhadap kadar air dilakukan dengan cara pemanasan langsung. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung seberapa besar air yang hilang melalui proses pemanasan. Proses pemanasan mengguna-kan alat yaitu oven. Langkah awal yaitu cawan dibersihmengguna-kan dan dicuci terlebih dahulu kemudian botol dikeringkan selama 1 jam dengan suhu 105oC di dalam eksikator. Sampel sebanyak 1 gram ditimbang dalam


(27)

cawan dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1500C selama 8 jam kemudian ditimbang. Adapun persamaan untuk mencari kadar air pada sampel daging yang telah diuji, adalah sebagai berikut:

Kadar Air (%) =

2. Kadar Protein Kasar

Metode Kjeldahl dilakukan untuk mengetahui kadar protein pada daging. Metode ini terdiri dari beberapa tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Langkah awal yang dilakukan adalah sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dimasukkan kedalam labu kjeldahl 100 ml dan ditambahkan selenium 0,25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Proses awal yang dilakukan setelah penimbangan sampel yaitu proses destruksi (pemanasan dalam keadaaan mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih. Sampel yang telah didestruksi dan telah dingin kemudian ditambahkan 50 ml aquadest dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung di dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Volume hasil tampungan (destilat) yang menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiru-an, maka proses destilasi dihentikan dan hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Metode diatas yang telah dilakukan sehingga di-peroleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus :

%N =

Kadar Protein Kasar (%) = 6,25 x %N Keterangan :

S = volume titran sampel (ml) B = volume titran blanko (0.15 ml) W = bobot sampel (mg)


(28)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen. Faktor perkalian yang umum digunakan untuk berbagai bahan pangan berkisar antara 5,18 – 6,38.

3. Kadar Lemak Kasar

Uji kadar lemak diperoleh dengan cara metode Soxhlet. Metode ini dilakukan dengan cara lemak diekstraksi terlebih dahulu. Langkah pertama yang dilakukan adalah sebanyak 2 gram sampel disebar di atas kapas yang telah diberi alas kertas saring dan kemudian digulung mem-bentuk thimble lalu dimasukkan kedalam labu soxhlet. Proses selanjutnya adalah melakukan ekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak yang berupa heksan sebayak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian di-keringkan di dalam oven pada suhu 1000C selama 1 jam. Cara mem-peroleh kadar lemak kasar pada sampel yang telah diuji, dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:

Kadar Lemak Kasar (%) =

4. Kadar Abu

Kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat pada sampel yang di analisa. Langkah awal dalam uji kadar abu adalah sebanyak 1 gram sampel ditempatkan di dalam cawan porcelain lalu dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan di dalam tanur dengan suhu 6000C selama 2 jam dan setelah itu ditimbang. Cara memperoleh kadar abu dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:

Kadar Abu (%) =

B. Analisis Komponen Asam Lemak

Bahan yang digunakan untuk menganalisis komposisi asam-asam lemak adalah daging has luar dalam bentuk segar maupun rebus. Analisis komposisi asam-asam lemak dari masing-masing sampel yang telah diekstrak akan di-lakukan menurut prosedur laboratorium yang telah ditetapkan.


(29)

Langkah awal yang dilakukan dalam melakukan analisa asam lemak adalah lemak atau minyak dihidrolisis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk ester yang bersifat lebih mudah menguap. Proses transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak (FAME), selanjutnya FAME dianalisis dengan alat kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membanding-kan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan. Penentuan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik internal standar. Teknik standar internal dilakukan Untuk meminimal-kan kesalahan akibat volume injeksi, preparasi sampel, pengenceran, dan sebagainya.

Tahap awal yang dilakukan dalam proses analisa asam lemak ini adalah melakukan proses preparasi contoh atau sampel (hidrolisis dan esterifikasi) dengan cara yaitu 20-30 mg contoh lemak atau minyak yang berada di dalam tabung bertutup Teflon ditimbang, lalu ditambahkan 1ml NaOH 0,5 N dalam methanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Proses selanjutnya setelah hidrolisis sampel, maka ditambahkan 2 ml BF3 20% dan dipanaskan kembali selama 20 menit kemudian didinginkan dan ditambahkan 2 ml NaCl jenuh serta 1 ml isooctane, lalu dikocok dengan baik setelah itu lapisan isooctane dipindahkan dengan bantuan pipet tetes kedalam tabung yang berisi sekitar 0,1 gram Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit dan yang terakhir adalah dipisahkan antara fasa cair kemudian diinjeksikan ke kromatografi gas.

Tahap berikutnya adalah proses analisis komponen asam lemak sebagai FAME, dengan cara yang pertama yaitu kondisi alat dilakukan pengaturan sebagai berikut :

(1) keadaan kolom : Cyanoprofil methyl sil (capillary column),

(2) dimensi kolom : p = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm, 025µm Film Tickness,


(30)

(4) laju alir H2 : 30 ml/menit

(5) laju alir udara : 200 – 250 ml/menit (6) suhu injector : 2200C,

(7) suhu detector : 2400C,

(8) suhu kolom : program temperature, (9) kolom temperature :

(a) rate (0C/menit) = 0, temperature (0C) = 125, hold time (menit) =5, (b) rate (0C/menit) =10, temperature (0C) = 185, hold time (menit) =5, (c) rate (0C/menit) = 5, temperature (0C) = 205, hold time (menit) =10, (d) rate (0C/menit) =3, temperature (0C) = 225, hold time (menit) =7, (10) split ratio :1 : 80,

(11) inject volum : 1 µ L,

(12) linier velocity : 23,6 cm/sec.

Proses selanjutnya setelah pengaturan terhadap alat adalah 1 µ L campuran standar FAME diinjeksikan, bila semua puncak sudah keluar maka diinjeksikan 1 µ L sampel yang telah dipreparasi kemudian diukur waktu retensi dan puncak masing-masing komponen. Waktu retensi yang diperoleh dari alat yang digunakan untuk analisa komponen asam lemak tersebut kemudian dibandingkan dengan standar. Informasi mengenai jenis dari komponen – komponen dalam sampel dan jumlah kandungan komponen dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

Kandungan Asam Lemak =

Keterangan : Ax = Area Sampel As = Area Standar

V = Volume Contoh (Isooctane 1 ml) C = Konsentrasi Standar


(31)

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktoial 2x2. Faktor pertama adalah jenis ternak (kerbau dan sapi) dan faktor kedua adalah pemberian pakan suplemen (konsentrat tanpa CGKK dan konsentrat yang ditambah dengan CGKK 45 gr/kg konsentrat atau 4,5%). Tiap perlakuan terdiri atas tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi, sebagai ulangan. Model rancangan yang digunakan untuk percobaan ini adalah :

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + ijk Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan kandungan nutrisi dan komponen asam lemak daging pada jenis ternak ke-i, dan pemberian pakan suplemen ke-j, dan dengan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

Ai Pengaruh jenis ternak pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor jenis ternak pada taraf ke-i dengan pemberian pakan suplemen pada taraf ke-j

εijk = Pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor jenis ternak ke-i dan perlakuan pemberian pakan suplemen ke-j pada ulangan ke-k

Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam atau Analysis Of Variance (ANOVA). Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Least Square Means. Peubah yang diamati adalah kandungan nutrisi daging meliputi kadar air, kadar lemak, kadar abu dan kadar protein serta komponen asam lemak meliputi asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) yang terkandung dalam daging.


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

Ternak percobaan yang digunakan adalah ternak jantan berjumlah 14 ekor, terdiri dari enam ekor kerbau Rawa dan delapan ekor sapi PO (Gambar 2 dan Gambar 3). Ternak tersebut dibedakan menjadi dua kelompok. Tiga ekor kerbau dan empat ekor sapi diberi pakan dengan penambahan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan tiga ekor dan empat ekor lainnya tidak (sebagai kontrol). Suplemen pakan berupa CGKK ini berbahan dasar minyak ikan lemuru yang berasal dari limbah pengalengan ikan. Pemanfaatan limbah minyak ikan lemuru dilakukan karena minyak ikan lemuru memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan kandungan nutrisi di dalam daging. Minyak ikan lemuru merupakan bahan pakan yang tidak dapat diberikan kepada ternak secara langsung, karena memiliki palatabilitas yang rendah. Oleh sebab itu, minyak ikan lemuru dihidrolisis dengan asam melalui proses kimiawi, sehingga menghasilkan CGKK agar dapat diberikan kepada ternak secara langsung.

Menurut Tasse (2010), hidrolisis asam dilakukan karena memiliki waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan hidrolisis basa. Asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak ikan lemuru mudah teroksidasi, sehingga perlu dilakukan proteksi kedalam bentuk CGKK. Campuran Garam Karboksilat Kering merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memproteksi asam lemak tak jenuh agar tidak terhidrogenasi di dalam rumen, sehingga asam lemak tak jenuh tersebut tidak terurai menjadi asam lemak jenuh dan dapat by pass ke dalam usus serta dibawa oleh darah ke jaringan otot dalam bentuk asam lemak tak jenuh. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa, proses hidrogenasi yang terjadi di dalam rumen menyebabkan perubahan asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh, sehingga sering mendapat sorotan negatif bagi kesehatan manusia. Metode pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK ini adalah dengan cara dicampurkan kedalam konsentrat sehingga dapat dikonsumsi oleh ternak. Pemberian konsentrat dilakukan terlebih dahulu kemudian baru diberikan hijauan. Hal ini dilakukan agar ternak tidak terlalu kenyang, sehingga suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK yang diberikan dikonsumsi habis oleh ternak.


(33)

Gambar 2. Kondisi Kandang Sapi Penelitian

Gambar 3. Kondisi Kandang Kerbau Penelitian Nilai Nutrisi Daging

Daging kerbau merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006),


(34)

daging kerbau memiliki struktur kimia, nilai nutrisi dan palatabilitas yang hampir sama dengan daging sapi. Konsumen dibeberapa daerah cenderung menyukai daging kerbau, karena kadar lemaknya relatif rendah. Namun, masyarakat umumnya lebih mengenal daging sapi dibanding daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh karakteristik daging kerbau yang keras dan alot. Darminto et al. (2010) menyatakan bahwa daging kerbau memiliki karakteristik yang keras dan alot karena umumnya kerbau digunakan sebagai ternak kerja dan dipotong pada umur yang tua (5-7) tahun. Adapun hasil pengukuran nilai nutrisi daging dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Kandungan Nutrisi Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Parameter Perlakuan Jenis ternak Rataan (%) Kerbau Sapi

Kadar air (%)

NON CGKK 74,70±0,60 73,69±0,56 74,12±0,75 CGKK 74,53±1,42 74,20±1,82 74,34±1,54 Rata-rata 74,61±0,98 73,95±1,28

Kadar abu (%)

NON CGKK 0,29±0,21 0,88±0,13 0,63±0,35 CGKK 0,28±0,02 0,76±0,25 0,56±0,32 Rata-rata 0,29b±0,14 0,82a±0,20

Kadar lemak (%)

NON CGKK 0,35±0,17 0,77±0,45 0,59±0,40 CGKK 0,99±0,70 1,03±0,44 1,01±0,51 Rata-rata 0.67±0,57 0,90±0,43

Kadar protein (%)

NON CGKK 18,90±0,27 20,94±0,40 20,06±1,13 CGKK 18,55±0,78 21,14±0,40 20,03±1,49 Rata-rata 18,72b±0,56 21,04a±0,38

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kadar Air

Kandungan air dalam bahan pangan dinyatakan dengan kadar air. Air me-miliki peranan penting dalam bahan pangan, antara lain menentukan kandungan nutrisi, sifat organoleptik, tingkat kesegaran, keawetan serta sebagai media untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Beberapa produk pangan memiliki kadar air tinggi, sehingga produk pangan tersebut menjadi lebih mudah rusak dan tidak awet. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan secara mikrobiologis akibat tingginya aktivitas mikroba (Kusnandar, 2010).


(35)

Hasil penelitian yang disajikan oleh Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK dan perbedaan jenis ternak, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air daging yang dihasilkan. Daging kerbau menghasilkan rataan kadar air sebesar 74,61 % dan daging sapi sebesar 73,95 %. Ternak yang diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK menghasilkan daging dengan kadar air sebesar 74,34 % dan kadar air daging tanpa suplemen sebesar 74,21 %. Kadar air daging relatif sama disebabkan oleh tingkat asupan air serta bahan kering dari pakan antar perlakuan relatif sama. Kadar air daging yang diperoleh dalam penelitian ini masih berada pada kisaran kadar air daging pada umumnya yaitu antara 68-80 persen (Soeparno, 2005).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menghasilkan rataan kadar air daging kerbau berkisar antara 74-78 %, pada ternak kerbau yang dipelihara secara ekstensif, sedangkan kadar air daging diperoleh sebesar 77,64 %, pada ternak sapi yang digemukkan (Tabel 4). Penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan air dalam daging relatif sama meskipun kedua jenis ternak dipelihara pada sistem yang berbeda. Ternak kerbau yang dipelihara secara tradisional (Tabel 4) dan secara feedlot (Tabel 8) meng-hasilkan daging dengan kadar air yang sama. Kadar air daging kerbau dan sapi tidak berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purbowati et al. (2000) yang melihat komposisi kimia daging domba dan membuktikan bahwa kadar air daging tidak berbeda antara spesies ternak. Manajemen pemeliharaan yang berbeda tidak mempengaruhi kadar air daging yang dihasilkan, karena daging yang dianalisis berasal dari ternak muda sehingga kadar airnya relatif konstan yaitu sekitar 75 %. Penelitian ini menggunakan ternak muda yang berumur 2-2,5 tahun. Menurut Parakkasi (1999), variasi kadar air di dalam tubuh atau karkas umumnya dipengaruhi beberapa hal antara lain umur, banyak lemak dalam tubuh dan tingkat pemberian pakan. Hewan yang diberi pakan dalam jumlah yang tinggi selama proses pe-meliharaan, akan meningkatkan perlemakan pada karkas sehingga kadar air tubuhnya relatif menurun.

Kadar Abu

Kadar abu merupakan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pakan maupun bahan pangan. Kadar abu atau kandungan bahan anorganik didalam daging


(36)

adalah mineral. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dijadikan sumber mineral. Daging mengandung mineral kalsium, tetapi dalam jumlah sedikit. Sumber mineral berupa kalsium lebih banyak terdapat pada tulang dan gigi (Andarwulan et al., 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pem-berian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK tidak mem-pengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Rataan kadar abu daging yang di-peroleh dari pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK sebesar 0,56 %, sedangkan rataan kadar abu daging tanpa pemberian suplemen sebesar 0,63 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar abu daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki kadar abu dengan rataan sebesar 0,82 % dan daging kerbau sebesar 0,29 %. Daging sapi memiliki kadar abu lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Kadar abu daging merupakan mineral daging. Menurut Purbowati et al. (2000), variasi kadar abu di dalam daging relatif kecil.

Menurut Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), daging kerbau memilki kadar abu sebesar 1 % yang dipelihara secara tradisional, sedangkan daging sapi memiliki kadar abu sebesar 1,08 % pada saat digemukkan (Tabel 4). Kadar abu daging kerbau yang digembalakan dan sapi yang digemukkan memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Hal ini disebabkan oleh per-bedaan sumber mineral yang diperoleh dari kedua jenis ternak tersebut. Daging kerbau memiliki kadar abu lebih rendah pada saat ternak dipelihara dengan di-gembalakan, karena sumber mineral yang diberikan hanya berasal dari rumput. Ber-beda dengan kerbau, daging sapi memiliki kadar mineral lebih tinggi pada ssat digemukkan, hal ini disebabkan oleh pemberian sumber mineral terhadap ternak sapi yang digemukkan tidak hanya berasal dari hijauan namun ditambah dengan konsentrat. Menurut Setiyono et al. (2006), umumnya daging memiliki kadar abu yang relatif sama dan rata-rata kadar abu yang dimiliki tersebut masih berkisar hanya 1%.

Hasil analisa kadar abu daging kerbau dan sapi memiliki perbedaan terhadap ternak yang digemukkan. Daging sapi memiliki kadar abu lebih tinggi dari pada daging kerbau (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian Kandeepan et al. (2009)


(37)

dan Setiyono et al. (2006), yang membuktikan bahwa kadar abu daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau. Penelitian ini menggunakan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK. Suplemen yang ditambahkan adalah garam yang berasal dari asam dan basa kuat yang direaksikan secara kimiawi. Penambahan suplemen ini mengakibatkan peningkatan kadar abu (mineral) daging yang dihasilkan. Menurut Usmiati dan Priyanti (2006), daging merupakan sumber pangan hewani yang mengandung mineral dan tidak mudah berubah meskipun telah melewati proses pengolahan, kecuali adanya penambahan garam mineral pada saat dilakukan pemeliharaan ternak atau pengolahan daging.

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu senyawa organik komplek yang mengandung asam amino dan terikat antara satu dengan lainnya melalui ikatan peptida. Asam amino merupakan komponen penyusun protein, jumlah asam amino yang terdapat dalam suatu bahan pangan dinyatakan dengan kadar protein. Kandungan asam amino dalam daging menentukan mutu protein daging yang dihasilkan. Daging merupakan salah satu sumber protein utama yang dapat dijadikan sebagai sumber asam amino esensial. Protein dalam bahan pangan dapat berfungai sebagai pengental, peng-emulsi, pembentuk gel, pembentuk buih dan sebagainya (Kusnandar, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian perlakuan suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK tidak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Rataan kadar protein daging diperoleh sebesar 20,03 % dengan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK, sedangkan rataan kadar protein daging tanpa pemberian suplemen sebesar 20,06 %. Perbedaan jenis ternak mempengaruhi kadar protein daging yang dihasilkan. Daging sapi memiliki rataan kadar protein sebesar 21,04 % dan daging kerbau sebesar 18,72 %. Daging sapi memiliki kadar protein lebih tinggi (P<0,05) daripada daging kerbau. Perbedaan kadar protein daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak. Meskipun kadar protein daging yang dihasilkan oleh kedua jenis ternak tersebut berbeda, namun kadar protein daging masih berada pada kisaran kadar protein normal yaitu 16-22 % (Soeparno, 2005).

Kandeepan et al, (2009) dan Setiyono et al. (2006), melakukan penelitian mengenai kandungan nutrisi daging kerbau dan daging sapi membuktikan adanya


(38)

perbedaan kadar protein yang dihasilkan dari kedua jenis ternak tersebut (Tabel 4). Kadar protein daging kerbau yang diperoleh dari hasil penelitiannya berkisar antara 20,2-24,1 % sedangkan daging sapi sebesar 19,81 %. Hasil tersebut membuktikan bahwa kadar protein daging kerbau lebih tinggi daripada daging sapi. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, kadar protein daging sapi dan kerbau yang digemuk-kan secara feedlot, serta dengan jenis dan jumlah pemberian perlakuan yang sama, menunjukkan kadar protein daging sapi lebih tinggi daripada daging kerbau (Tabel 8). Menurut Setiyono et al. (2006), perbedaan kadar protein yang terkandung dalam daging disebabkan oleh perbedaan spesies ternak dalam mencerna protein pakan yang diberikan serta sistem manajemen pemeliharaan.

Kadar Lemak

Jumlah lemak yang terdapat di dalam daging disebut dengan kadar lemak. Ternak penggemukan mampu memproduksi lemak berlebih dari kebutuhan konsumen, sehingga harus di trim. Komposisi lemak di dalam tubuh atau karkas ruminan tidak mudah berubah, apabila hanya diberi ransum normal dengan kadar 5-10 % asam lemak jenuh atau tak jenuh. Cadangan energi dalam tubuh ternak ruminansia dapat diperoleh dari lemak (Parakkasi, 1999). Lemak dan minyak yang terdapat di dalam bahan pangan berfungsi sebagai pembentuk tekstur, meningkatkan mutu sensori dan pelarut bagi vitamin esensial seperti vitamin A, D, E dan K karena vitamin ini bersifat larut dalam lemak (Kusnandar, 2010).

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK dan perbedaan jenis ternak tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak daging yang di-hasilkan. Daging kerbau mengandung kadar lemak dengan rataan 0,67 % dan daging sapi 0,90 %, sedangkan pemberian suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK mampu menghasilkan daging dengan kadar lemak sebesar 1,01 % dan daging tanpa pemberian suplemen menghasilkan kadar lemak sebesar 0,59 %. Kadar lemak daging yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh umur ternak yang relatif sama yaitu I1 (berumur 2-2,5 tahun), ternak yang berumur 2-2,5 tahun merupakan ternak muda sehingga lemak yang terdeposisi belum maksimal. Menurut Soeparno (2005) ternak muda memproduksi lemak daging dalam jumlah yang relatif rendah, karena perkembangan tubuhnya lebih terkonsentrasi pada otot dan tulang.


(39)

Hasil penelitian Kandeepan et al. (2009) dan Setiyono et al. (2006), menunjukkan bahwa kadar lemak daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif atau tradisional berkisar antara 0,9 -1,8 %, sedangkan daging sapi yang digemukkan secara intensif memiliki kadar lemak sebesar 5,98 % (Tabel 4). Ternak sapi digemukkan mampu memproduksi daging dengan kadar lemak lebih tinggi daripada daging kerbau yang dipelihara secara ekstensif. Kadar lemak daging kerbau yang digembalakan dan daging sapi yang digemukkan berbeda dengan kadar lemak daging kerbau dan sapi yang sama-sama digemukkan. Kadar lemak daging kerbau dan daging sapi relatif sama, jika keduanya sama-sama digemukkan. Hal ini disebabkan oleh manajemen pemeliharaan, pemberian perlakuan serta pemberian nutrisi tidak berbeda meskipun spesies dari kedua jenis ternak tidak sama. Berdasarkan hasil penelitian Purbowati et al. (2000), yang meneliti tentang komposisi kimia daging domba dengan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang sama membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar lemak yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh jenis pakan yang dikonsumsi relatif sama sehingga konsumsi energi dan protein juga sama.

Komponen Asam Lemak

Asam lemak merupakan komponen penyusun lemak (Muchtadi et al., 2002). Asam lemak umumnya berasal dari pakan yang diberikan kepada ternak. Komponen asam lemak daging kerbau dan sapi yang diamati pada bagian Longisimus dorsi atau bagian otot loin pada rusuk ke-12 dan 13 yang telah diberi suplemen minyak ikan lemuru terproteksi dalam CGKK dan tanpa pemberian suplemen dalam ransum adalah pengamatan kadar asam jenuh, asam lemak tak jenuh, EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid). Hasil analisis komponen asam lemak daging kerbau dan sapi pada bagian Longsismus dorsi atau bagian otot loin pada rusuk ke-12 dan 13 sesuai peubah yang diamati, disajikan pada Tabel 9 berikut:


(40)

Tabel 9. Rataan Komponen Asam Lemak Daging Berdasarkan Jenis Ternak dengan Suplemen Pakan CGKK dan Non CGKK

Komponen Asam

Lemak Perlakuan

Jenis ternak

Rataan (%) Kerbau Sapi

Asam Lemak Jenuh (%)

NON CGKK 43,64a±1,76 40,63ab±0,85 41,92±1,99 CGKK 35,09c±1,06 38,29bc±3,40 36,92±3,01 Rata-rata 39,37±4,86 39,46±2,61

Asam Lemak Tak Jenuh (%)

NON CGKK 20,63c±2,28 23,70bc±0,83 22,39±2,18 CGKK 30,96a±3,18 27,13ab±2,80 28,77±3,38 Rata-rata 25,80±6,17 25,42±2,64

EPA (%)

NON CGKK 0,05±0,03 0,07±0,13 0,06b±0,09 CGKK 0,39±0,16 0,30±0,13 0,34a±0,14 Rata-rata 0,22±0,21 0,18±0,17

DHA (%)

NON CGKK 0,02±0,01 0,02±0,01 0,02b±0,01 CGKK 0,05±0,02 0,08±0,04 0,07a±0,03 Rata-rata 0,04±0,02 0,05±0,04

Keterangan : superskrip yang berbeda pada peubah yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Asam Lemak Jenuh (Saturated Fatty Acid) dan Asam Lemak Tak Jenuh (Unsaturated Fatty Acid)

Asam lemak merupakan komponen penyusun lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak dinyatakan jenuh apabila rantai hidrokarbonnya tidak memiliki ikatan rangkap atau dijenuhi oleh hidrogen. Asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak dengan rantai hidrokarbon tidak dijenuhi oleh hidrogen dan memiliki satu atau lebih ikatan rangkap (Muchtadi et al., 2002). Sifat lemak dapat ditentukan oleh panjang rantai hidrokarbon dan derajat kejenuhan yang dimiliki oleh asam lemak. Umumnya asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh (Wirahadikusumah, 1985).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara perlakuan dan perbedaan jenis ternak terhadap asam lemak


(1)

Muthalib, H. A. 2006. Potensi sumberdaya ternak kerbau di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau mendukung kecukupan daging sapi. Sumbawa, 04-05 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Payne, W. J. A. & J. Hodges. 1997. Tropical Cattle ; Origins, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Science ltd., London.

Priyanti, A & R.A. Saptati. 2006. Analisis ekonomi dan tata niaga usaha ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau mendukung kecukupan daging sapi. Sumbawa, 04-05 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Purbowati. E., C.I. Sutrisno, E. Baliarti, S.P.S. Budhi & W. Lestriana. 2000. Komposisi kimia otot longisimus dorsi dan biceps femoris domba local jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 25 (2) : 1-7.

Putu, I.G., M.Sabrani, M. Winugroho, T.Chaniago, Santoso, Tarmudzi, A.A.Supriyadi & P. Oktapiana. 1994. Peningkatan produksi dan reproduksi kerbau kalang pada agroekosistem rawa di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bogor Bekerjasama dengan P4N.

Rebak. G., S. Sanchez, A. Capellari, J. Cedres & E. patino. 2010. Characterization of buffalo meat in Corrientes, Argentina. J. Meat Product. Rev. Vet. 21 (1) : 498-500.

Rusdiana, S & T. Herawati. 2009. Pemeliharaan ternak kerbau dalam system usaha tani terhadap pendapatan keluarga di Kecamatan Ciemas Kabupaten Sukabumi. Pros. Seminar Dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja, 24-26 Oktober 2008. Puslitbang Peternakan Bekerjasama Dengan Direktorat Perbibitan, Dinas Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan Dan Dinas Pertanian Dan Pangan Kabupaten Tana Toraja. 84-90.

Setiyono, Soeparno, K. Soenaryo & E. Suryanto. 2006. Physical characteristics, chemical composition and organoleptical properties of bali cattle and ongole cross breed meat as affected by fattening and rearing system. Proceedings of the 4th ISTAP Animal Production and Suistainable Agriculture in The Tropic. Faculty Of Animal Science, Gadjah Mada University, 8-9 November 2006. Simopoulus, A.P. 2002. Omega-3 fatty acids in wild plant, nut and seeds. Asia Pac J.

Clin. Nutr. 11:163-173.

Soeparno. 2005. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah mada university press, Yogyakarta.

Sumardi. 2008. Jumlah mikroba dan pH rumen serta efisiensi produksi susu sapi frisien Holstein akibat penambahan tepung daun katu (Sauropus androgynus, L. Merr) dalam ransum. J. Agromedia. 26 (01) : 27-36.


(2)

Tasse, A.M. 2010. Tampilan asam lemak dalam susu sapi hasil pemberian ransum mengandung campuran garam karboksilat atau metil ester kering. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tillman A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Usmiati. S & A. Priyanti. 2006. Sifat fisikokimia dan palatabilitas bakso daging kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau mendukung kecukupan daging sapi. Sumbawa, 04-05 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Utomo. B & S. Prawirodigdo. 2010. Karakteristik pemeliharaan kerbau (Bubalus bubalis) di Kabupaten Boyolali. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Brebes, 11-13 November 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Williamson, G & W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ke-3. Diterjemahkan Oleh : Darmadja, S.G.N. Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta.

Wirahadikusumah, M. 1985. Metabolisme Energi, Karbohidrat Dan Lipid (BIOKIMIA). Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Yurleni. 2010. Produktivitas ternak kerbau di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Brebes, 11-13 November 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Zulbardi, M., A. Djajanegara & M. Rangkuti. 1982. Pengaruh pelepasan terhadap konsumsi jerami padi. Dalam: M. Rangkuti, P. Sitorus, M. E. Siregar, T. D. Soedjana, Sutiyono, NG. Ginting, C. Sirait, A. R. S. Siregar, E. Djamaluddin & A. Setiadi (ed.). Proc. Seminar Penelitian Peternakan. P4. BP3. Deptan., Bogor.


(3)

(4)

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Asam Lemak Jenuh Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,0307 0,0307 0,01 0,9361

PLK 1 101,6659 101,6659 22,41 0,0008

JTER*PLK 1 33,1171 33,1171 7,30 0,0223

ERROR 10 45,3727 4,5372

Corrected Total 13 166,0705

Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Asam Lemak Tak Jenuh Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,4940 0,4940 0,09 0,7728

PLK 1 162,0732 162,0732 28,88 0,0003

JTER*PLK 1 40,7593 40,7593 7,26 0,0225

ERROR 10 56,1118 5,6111

Corrected Total 13 239,9582

Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Eicosapentaenoic Acid (EPA) Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,0049 0,0049 0,32 0,5847

PLK 1 0,2777 0,2777 17,97 0,0017

JTER*PLK 1 0,0093 0,0093 0,60 0,4558

ERROR 10 0,1545 0,1545


(5)

Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Dosahexaenoic Acid (DHA) Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,0005 0,0005 0,84 0,3803

PLK 1 0,0079 0,0078 13,25 0,0045

JTER*PLK 1 0,0007 0,0007 1,23 0,2939

ERROR 10 0,0059 0,0006

Corrected Total 13 0,0159

Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Kadar Air Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 1,5257 1,5257 0,97 0,3478

PLK 1 0,0957 0,0957 0,06 0,8101

JTER*PLK 1 0,3973 0,3973 0,25 0,6260

ERROR 10 15,7207 1,5721

Corrected Total 13 17,8066

Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Kadar Abu Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,9844 0,9844 28,13 0,0003

PLK 1 0,0141 0,0141 0,40 0,5396

JTER*PLK 1 0,0088 0,0088 0,25 0,6258

ERROR 10 0,3510 0,0350


(6)

Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Kadar Lemak Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 0,1787 0,1787 0,81 0,3891

PLK 1 0,6968 0,6968 3,16 0,1058

JTER*PLK 1 0,1184 0,1184 0,54 0,4805

ERROR 10 2,2052 0,2205

Corrected Total 13 3,1324

Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Kadar Protein Berdasarkan Jenis Ternak (JTER), Perlakuan Garam Karboksilat Kering (PLK) dan Interaksi Kedua Faktor Tersebut

Source DF Sum Of

Squares

Mean Square

F Value Pr > F

JTER 1 18,3943 18,3943 79,37 < ,0001

PLK 1 0,0191 0,0191 0,08 0,7801

JTER*PLK 1 0,2728 0,2728 1,18 0,3034

ERROR 10 2,3175 0,2318


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI Enterococus casseliflavus ASAL SEKUM KERBAU RAWA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN TOTAL DIGESTIBLE NUTRIENT TERNAK SAPI PERANAKAN ONGOLE

0 5 20

Hubungan Antara Luas Uat Daging Mata Rusuk Dengan Bobot Karkas Pada Sapi Peranakan Ongole, Sapi Bali Dan Kerbau

0 5 150

Komposisi asam lemak dan kandungan lemak pelvis serta kandungan kholesterol energi daging pada sapi peranakan brahman dan kerbau dengan sumber energi ransum yang berbeda

2 49 310

Tampilan asam lemak dalam susu sapi hasil pemberian ransum mengandung campuran garam karboksilat atau metil ester kering

0 3 89

Komposisi asam lemak dan kandungan lemak pelvis serta kandungan kholesterol energi daging pada sapi peranakan brahman dan kerbau dengan sumber energi ransum yang berbeda

0 8 150

Tampilan asam lemak dalam susu sapi hasil pemberian ransum mengandung campuran garam karboksilat atau metil ester kering

3 12 149

Komponen Karkas dan Sifat Fisik Daging Sapi PO dan Kerbau Rawa yang Digemukkan Menggunakan Ransum yang Disuplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

0 4 107

Perdagingan dan Distribusi Daging Kerbau Rawa dan Sapi Peranakan Ongole yang Digemukkan Menggunakan Ransum dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering

0 3 102

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

0 3 104

Pertumbuhan Dan Morfometrik Tubuh Ternak Sapi Peranakan Ongole Dan Kerbau Jantan Dengan Pencitraan Digital

1 16 58