Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat

(1)

3

ABSTRAK

MERISTA WIKANDARI. Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes

spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUSI SOVIANA.

Kasus penyakit chikungunya yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus di kota Bogor cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Studi tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang meliputi jenis, bahan dan warna wadah baik di dalam maupun di luar rumah pada bulan Desember 2010 – Maret 2011 telah dilakukan dengan mengukur indeks larva meliputi container index (CI), house index (HI) dan Breteau index (BI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 591 wadah berisi air yang diperiksa sebanyak 65,99% wadah di dalam rumah dijadikan tempat perindukan dan sebanyak 34,01% adalah wadah di luar rumah. Larva nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan pada wadah di dalam rumah (82%), sedangkan larva Ae. albopictus lebih banyak ditemukan pada wadah di luar rumah (68,29%). Bak mandi dari bahan semen berwarna biru paling disukai untuk perkembangbiakan larva Aedes spp. Ketiga indeks larva yaitu CI, HI dan BI selama empat bulan berturut-turut menunjukkan pola menunjukkan kecenderungan menurun. Berdasarkan standar WHO angka CI di Kelurahan Pasir Kuda menunjukkan kepadatan larva nyamuk (density figure) kategori tinggi, sedangkan HI dan BI termasuk kategori sedang. Angka CI Ae. albopictus memiliki korelasi nyata dengan suhu lingkungan.

Kata kunci: Aedes aegypti, Aedes albopictus, chikungunya, faktor cuaca, kontainer air


(2)

4

ABSTRACT

MERISTA WIKANDARI. Study on the Breeding Sites of Vector Chikungunya (Aedes spp.) in Pasir Kuda Village, Bogor Barat District, Bogor, West Java. Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI and SUSI SOVIANA.

Prevelance of chikungunya infectious disease transmitted by Aedes aegypti and Ae. albopictus vectors at Bogor is quite high and tend to become an extraordinary outbreak. Study on the breeding site of Ae. aegypti and Ae. albopictus that includes the type of material, colours, form and shape of the container both inhouse and outside house on December 2010 – March 2011 had been conducted by measuring larval index which were container index (CI), house index (HI) and Breteau Index (BI). The results showed that as much as 65,99% indoor water containers were used as breeding site and 34,01% was found at outdoor house water containers. Occurrence of Ae. aegypti was found as much as 82% indoor, while Ae. albopictus were found in outdoor house containers as much as 68,29%. Aedes aegypti was preferable water bath container made of cement with blue colour for breeding site. The three larval indeces i.e CI, HI and BI showed similiar decline changing pattern during period of the survey. Container index (CI) in Pasir Kuda village was catagorized by WHO as high density figure, while as HI and BI were catagorized as medium density figure. Number of CI of Ae. albopictus was significantly correlated with ambient temperature.


(3)

1

TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR CHIKUNGUNYA

(

Aedes

spp.) DI KELURAHAN PASIR KUDA, KECAMATAN

BOGOR BARAT, KOTA BOGOR, JAWA BARAT

MERISTA WIKANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

2

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya yang berjudul Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat merupakan gagasan atau hasil penelitian skripsi saya sendiri, dengan arahan Dosen Pembimbing. Skripsi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Oktober 2012

Merista Wikandari B04080053


(5)

3

ABSTRAK

MERISTA WIKANDARI. Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes

spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUSI SOVIANA.

Kasus penyakit chikungunya yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus di kota Bogor cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Studi tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang meliputi jenis, bahan dan warna wadah baik di dalam maupun di luar rumah pada bulan Desember 2010 – Maret 2011 telah dilakukan dengan mengukur indeks larva meliputi container index (CI), house index (HI) dan Breteau index (BI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 591 wadah berisi air yang diperiksa sebanyak 65,99% wadah di dalam rumah dijadikan tempat perindukan dan sebanyak 34,01% adalah wadah di luar rumah. Larva nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan pada wadah di dalam rumah (82%), sedangkan larva Ae. albopictus lebih banyak ditemukan pada wadah di luar rumah (68,29%). Bak mandi dari bahan semen berwarna biru paling disukai untuk perkembangbiakan larva Aedes spp. Ketiga indeks larva yaitu CI, HI dan BI selama empat bulan berturut-turut menunjukkan pola menunjukkan kecenderungan menurun. Berdasarkan standar WHO angka CI di Kelurahan Pasir Kuda menunjukkan kepadatan larva nyamuk (density figure) kategori tinggi, sedangkan HI dan BI termasuk kategori sedang. Angka CI Ae. albopictus memiliki korelasi nyata dengan suhu lingkungan.

Kata kunci: Aedes aegypti, Aedes albopictus, chikungunya, faktor cuaca, kontainer air


(6)

4

ABSTRACT

MERISTA WIKANDARI. Study on the Breeding Sites of Vector Chikungunya (Aedes spp.) in Pasir Kuda Village, Bogor Barat District, Bogor, West Java. Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI and SUSI SOVIANA.

Prevelance of chikungunya infectious disease transmitted by Aedes aegypti and Ae. albopictus vectors at Bogor is quite high and tend to become an extraordinary outbreak. Study on the breeding site of Ae. aegypti and Ae. albopictus that includes the type of material, colours, form and shape of the container both inhouse and outside house on December 2010 – March 2011 had been conducted by measuring larval index which were container index (CI), house index (HI) and Breteau Index (BI). The results showed that as much as 65,99% indoor water containers were used as breeding site and 34,01% was found at outdoor house water containers. Occurrence of Ae. aegypti was found as much as 82% indoor, while Ae. albopictus were found in outdoor house containers as much as 68,29%. Aedes aegypti was preferable water bath container made of cement with blue colour for breeding site. The three larval indeces i.e CI, HI and BI showed similiar decline changing pattern during period of the survey. Container index (CI) in Pasir Kuda village was catagorized by WHO as high density figure, while as HI and BI were catagorized as medium density figure. Number of CI of Ae. albopictus was significantly correlated with ambient temperature.


(7)

5

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

6

TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR CHIKUNGUNYA

(

Aedes

spp.) DI KELURAHAN PASIR KUDA, KECAMATAN

BOGOR BARAT, KOTA BOGOR, JAWA BARAT

MERISTA WIKANDARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

7

Judul Skripsi : Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat

Nama : Merista Wikandari NIM : B04080053

Disetujui

drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D Dr. drh. Susi Soviana, M.Si

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(10)

8

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah Tempat Perindukan Vektor Chikungunya (Aedes spp.) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberi bimbingan, saran dan kritik selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada seluruh staf Entomologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, rekan-rekan satu penelitian (Yuliana, Faradisyah dan Sumayanti) serta petugas jumantik Kelurahan Pasir Kuda yang telah membantu selama pengumpulan data. Dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, mama, mbak Resti serta seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk pengembangan sains kedokteran hewan.

Bogor, Oktober 2012

Merista Wikandari


(11)

9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 2 Agustus 1990 dari ayah Ir. H. Suharyanto MS, MM dan ibu Ir. Hj. Naniek Soetartini MM. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 68 Jakarta Pusat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Kedokteran Hewan. Pada tahun 2009 penulis mengikuti pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sub bidang pangan hewani di Bogor. Penulis terpilih secara kompetitif mengikuti 61st International Veterinary Students Association (IVSA) Congress di Oslo, Norwegia 15 – 27 Juli 2012. Pada semester ganjil 2012/2013 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Parasitoogi Veteriner: Ektoparasit.


(12)

10

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB 1 PENDAHULAN 1 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

1.4 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Taksonomi Aedes aegypti ... 4

2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp. ... 4

2.3 Vektor Penyebaran Penyakit Chikungunya ... 7

2.4 Indeks Larva... 8

BAB 3 METODE PENELITIAN 9

3.1 Lokasi dan Waktu ... 9

3.2 Pengamatan Larva... 9

3.2.1 Pengumpulan Larva ... 9

3.2.2 Identifikasi Larva ... 10

3.2.3 Pengukuran Indeks Larva ... 10

3.2.4 Pengumpulan Data Sekunder... 10

3.3 Analisis Data... 10

3.3.1 Analisis Kepadatan Larva... 10

3.3.2 Analisis Korelasi Kepadatan Larva dengan Cuaca... 11

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

4.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 12

4.2 Jenis Larva Nyamuk ... 12

4.3 Indeks Larva... 13

4.3.1 Container Index ... 13

4.3.2 House Index ... 15

4.3.3 Breteau Index... 15

4.4 Jenis, Bahan dan Warna Wadah Tempat Perindukan Larva... 16

4.4.1 Jenis-jenis wadah yang ditemukan ... 16

4.4.2 Bahan wadah yang ditemukan ... 17

4.4.3 Warna wadah yang ditemukan ... 18

4.5 Pengaruh Curah Hujan dan Suhu Terhadap Kepadatan Larva ... 20

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 23

5.1 Simpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24


(13)

11

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Lokasi pengambilan sampel larva di RW 03 dan RW 04 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat... 3 2 Comb scales pada Aedes aegypti dan Aedes albopictus ... 10 3 Kondisi lapang di lokasi penelitian yang kotor dan bersemak serta kolam

taman yang tidak terawat menjadi tempat perindukkan nyamuk Aedes. (A: bagian depan halaman rumah; B:bagian belakang halaman rumah)... 12 4 Persentase jenis larva nyamuk pada wadah di lokasi penelitian di Kelurahan

Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor (N=591) periode bulan Desember 2010 – Maret 2011... 13 5 Angka CI pada jenis wadah TPA dan bukan TPA pada lokasi penelitian di

Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011... 14 6 Indeks larva (angka CI, HI dan BI) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan

Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010 – Maret 2011... 16 7 Jenis wadah dan angka CI wadah pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir

Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011... 17 8 Bahan wadah yang diperiksa dan angka CI pada lokasi penelitian di Kelurahan

Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011... 18 9 Warna wadah dan angka CI pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda,

Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011... 19 10 Angka CI Ae. aegypti dan Ae. albopictus dan data curah hujan di Kelurahan

Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010-Maret 2011... 21 11 Angka CI Ae. aegypti dan Ae. albopictus dan data suhu udara di Kelurahan

Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010 – Maret 2011... 21


(14)

12

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972... 11 2 Kesukaan warna wadah untuk bertelur nyamuk Aedes spp. di

Kelurahan Pasir Kuda pada bulan Desember 2010 – Maret 2011 20


(15)

13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit chikungunya merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV) yang termasuk dalam famili Togaviridae, genus Alphavirus (Powers & Logue, 2007). Menurut Ziegler et al. (2007) chikungunya berasal dari bahasa Swahilli yang berarti nyeri pada persendian dan pertama kali terisolasi di Tanzania pada tahun 1952.

Penularan pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah penderita chikungunya dan selanjutnya menginfeksi darah manusia yang sehat. Gejala yang ditimbulkan pada penderita adalah demam, nyeri sendi (arthalgia) pada pergelangan tangan dan kaki, nyeri otot (myalgia), muntah dan menggigil. Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Ziegler et al., 2007).

Kasus chikungunya di Bogor cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Kejadian kasus chikungunya pada tahun 2008 sebanyak 1328 orang, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus hanya 260 orang, tetapi pada bulan Januari - Oktober 2010 terjadi peningkatan penderita chikungunya, yaitu 331 penderita. Kasus terakhir terjadi di kelurahan Pasir Kuda, yaitu sebanyak 41 penderita pada bulan September 2010. Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit chikungunya di daerah tersebut, studi tentang perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. sebagai vektor penyakit chikngunya perlu dilakukan. (Dinkes Kota Bogor, 2010)

Pengendalian vektor merupakan strategi penanggulangan penyakit chikungunya yang paling efektif. Pengamatan terhadap sifat-sifat dan perilaku nyamuk, cara berkembang biak dan tempat perkembangbiakan di setiap daerah endemik penyakit chikungunya perlu diketahui dengan baik (Hadi & Koesharto, 2006). Tingkat kerawanan penyebaran penyakit chikungunya di suatu wilayah dipengaruhi oleh ketersediaan habitat dan kepadatan nyamuk Aedes spp. Daerah yang mempunyai habitat potensial perkembangbiakan nyamuk dapat memicu


(16)

14

tingginya angka kepadatan populasi nyamuk sehingga kemungkinan kejadian kasus chikungunya juga akan tinggi pula (Freitas et al., 2007)

Larva Ae. aegypti dapat ditemukan di dalam tempayan, bak mandi, kaleng dan ban bekas di sekitar rumah dan tempat-tempat lain yang berisi air jernih. Untuk meminimumkan terjadinya transmisi virus melalui nyamuk, penyuluhan tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN 3M) yaitu menguras, menutup, dan mengubur wadah penampung air perlu dilakukan. Menurut Widagdo et al. (2008) keberhasilan PSN 3M dipengaruhi oleh karakteristik sosial seperti pendidikan, pekerjaan, jumlah penghuni rumah dan pendapatan rata-rata. Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. albopictus dan Ae. aegypti yang sering ditemukan meliputi ban bekas, kaleng bekas dan wadah plastik, onderdil mobil bekas, rongga tembok, ketiak daun, lubang pohon, dan kolam yang berbatu (Simardabc et al., 2005). Penduduk di Indonesia menyediakan wadah-wadah penampungan air dari bahan yang beragam antara lain kaca, semen, logam, keramik, tanah dan plastik, sedangkan bentuk wadah dapat berupa ember plastik, bak semen, drum kaleng, akuarium dan tempayan tanah. Air yang ditampung dapat berupa air hujan, air tanah, atau air PAM yang disimpan dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Wadah-wadah penampungan air tersebut dapat menjadi tempat perindukan larva. Di Korea Selatan, nyamuk Aedes spp. memiliki preferensi tertentu terhadap jenis wadah TPA, non TPA maupun tempat wadah alamiah sebagai tempat perindukan (Akram & Jin 2004). Vezzani & Schweigmann (2002) melaporkan bahwa warna wadah juga mempengaruhi nyamuk Aedes spp. betina untuk bertelur.

Studi di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor menunjukkan bahwa wadah berbahan semen lebih banyak dijumpai larva nyamuk Aedes spp. (Hadi et al 1., 2006). Kajian tempat perindukan nyamuk Aedes spp. penyebab penyakit chikungunya di daerah endemik perlu dilakukan sebagai informasi dasar dalam pelaksanaan PSN 3M.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada berbagai jenis, bahan dan warna wadah di dalam maupun di luar rumah, berdasarkan indeks larva serta hubungannya dengan faktor suhu dan


(17)

15

curah hujan di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor selama bulan basah Desember 2010 – Maret 2011.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan bermanfaat untuk membantu pemberantasan vektor nyamuk chikungunya dan demam berdarah, khususnya dalam mengarahkan gerakan PSN 3M.

1.4 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran

Sasaran penelitian adalah daerah endemik penyakit chikungunya (Dinkes Kota Bogor 2010) dengan data kependudukan sebagai berikut:

Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan tersebut termasuk wilayah kerja dari Puskesmas Pancasan dengan luas wilayah 116,5 ha. Kelurahan Pasir Kuda berbatasan dengan:

Sebelah Barat : Kelurahan Ciomas, Sebelah Timur : Kelurahan Pasir Mulya

Sebelah Selatan : Kelurahan Cikaret dan Mekar Jaya Sebelah Utara : Kelurahan Pasir Jaya.

Penduduk Kelurahan Pasir Kuda berjumlah 13.832 jiwa (7037 laki-laki dan 6759 perempuan) dengan jumlah Kepala Keluarga 3624 KK, yang tersebar di 11 RW dan 54 RT. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, buruh, dan sebagian kecil terdiri atas petani dan pedagang.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel larva di RW 03 dan RW 04 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat


(18)

16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Aedes aegypti

Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus berperan dalam penularan penyakit demam chikungunya. Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Kedua spesies Aedes spp. ini termasuk dalam subgenus Stegomya.

2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp.

Telur

Telur Aedes spp. memiliki bentuk oval dengan salah satu ujung lebih tumpul daripada bagian ujung lainnya, berwarna hitam, berukuran 1 mm. Telur diletakkan satu persatu oleh induknya di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur tahan sampai berbulan-bulan pada suhu 2o- 42oC. Dalam keadaan kering, telur tahan sampai enam bulan. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya selama sembilan hari. Tiga hari sesudahnya, nyamuk betina yang menghisap darah manusia dapat bertelur hingga 100 butir. Telur dapat menetas menjadi larva setelah dua hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa setelah enam sampai delapan hari (Soedarmo, 2009).

Menurut Clements (1963) nyamuk Ae. albopictus memiliki kecenderungan meletakkan telurnya pada wadah air yang terbuka dengan permukaan dasar yang kasar. Saat meletakkan telur, nyamuk ini lebih menyukai wadah air yang berwarna gelap. Peletakan telur biasanya dilakukan pada siang hari disaat intensitas cahaya matahari yang rendah (Gubler, 1971). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hadi & Koesharto (2006) yang menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti berkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di dalam rumah, sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih banyak berkembang biak pada wadah-wadah air di luar rumah.


(19)

17 Larva

Menurut Hadi & Koesharto (2006) larva Ae. aegypti memiliki bentuk silindris dengan kepala membulat, dilengkapi dengan antena pendek yang halus. Abdomen terdiri atas delapan segmen dan pada segmen terakhir terdapat pekten yang bergerigi serta sifon sebagai alat untuk bernapas. Bagian kepala dilengkapi dengan rambut yang berbentuk sikat yang berfungsi sebagai alat untuk mengambil makanan. Perbedaan antara kedua jenis larva nyamuk Aedes spp. hanya dapat dilihat dibawah mikroskop dengan melihat bentuk pekten sifon dan comb pada ruas terkahir abdomen. Larva nyamuk akan tumbuh menjadi pupa setelah 6-8 hari.

Tempat perindukan nyamuk ini biasanya ada di dalam atau sekitar rumah dalam radius 100 m dari rumah. Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae. aegypti adalah pada bejana buatan manusia berisi air jernih yang berada di dalam rumah dan tidak terkena cahaya matahari langsung serta tidak berhubungan langsung dengan tanah (Hadi & Koesharto, 2006). Umumnya Ae. albopictus lebih menyukai tempat perindukan berup wadah non TPA contohnya yaitu pada potongan-potongan pangkal bambu, tempurung kelapa dan wadah-wadah air seperi kaleng bekas dan ban bekas di lapang ataupun tempat perindukan alamiah seperti ketiak daun yang dibuktikan pada penelitian yang pernah dilakukan di Brazil. Penelitian dilakukan dengan meletakkan ovitrap di daerah perkotaan dan pedesaan. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan daripada perkotaan yang pada umumnya tidak memiliki pekarangan atau kebun di sekitar rumah (Braks et al., 2003). Tempat perindukan nyamuk Ae. albopictus di Cina yang memiliki iklim sub tropis pun sama dengan daerah tropis diantaranya terdapat di kolam-kolam ukuran kecil, bak mandi, guci, kaleng bekas, pecahan botol, ban bekas, drum bekas, vas bunga dan talang air di luar rumah (Pan et al., 2005).

Pupa

Menurut Hadi & Koesharto (2006) pupa Aedes spp. merupakan stadium tidak makan dan berbentuk seperti koma yaitu abdomen melengkung ke bawah


(20)

18

dan mengarah ke anterior, juga memiliki sefalotoraks yang dilengkapi dengan kutikula yang tebal dan dilengkapi dengan terompet pernapasan. Pupa yang baru menetas berwarna keputihan, kemudian secara bertahap akan menjadi kecokelatan dan sesaat sebelum menjadi imago, pupa berubah warna menjadi kehitaman. Gerakan yang dihasilkan adalah gerakan vertikal setengah lingkaran. Pupa jantan lebih kecil dibandingkan pupa betina. Di dalam air pupa masih bisa aktif bergerak, dan memerlukan waktu 1-2 hari untuk menjadi nyamuk dewasa.

Nyamuk yang baru muncul dari pupa akan mencari pasangan. Setelah perkawinan, nyamuk betina akan segera mencari darah untuk perkembangan telurnya. Nyamuk betina yang sudah menghisap darah akan bertelur setelah menghisap darah.

Dewasa

Menurut Gubler (1971) pupa jantan tumbuh dan berkembang lebih cepat dari pada pupa betina. Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa akan berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya. Nyamuk dewasa memiliki dua pasang sayap. Pasangan sayap yang pertama tipis dan terletak pada mesothorax. Pasangan sayap kedua berukuran kecil terdapat di metothorax dan disebut halter yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh pada waktu serangga terbang. Serangga ini memiliki antena yang lebih panjang daripada kepala dan thoraxnya. Antena terdiri atas delapan ruas, yang hampir sama besarnya kecuali ruas yang pertama dan kedua yang dekat dengan kepala. Struktur tubuh nyamuk Ae. aegypti memiliki dua strip putih keperakan pada bagian dorsal skutum membentuk garis sejajar di bagian dorsal tengah dan diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih, sedangkan nyamuk Ae. albopictus hanya memiliki satu garis putih tebal pada bagian dorsal skutumnya.

Perilaku nyamuk Aedes spp. sama seperti perilaku nyamuk pada umumnya, yaitu mempunyai dua cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu sebelum dan sesudah mencari darah. Tempat-tempat istirahat yang disukainya yaitu tempat yang lembab, teduh dan aman.


(21)

19

Perilaku nyamuk untuk beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Ada nyamuk masuk ke rumah hanya untuk menghisap darah lalu beristirahat di luar rumah ada pula nyamuk yang sebelum maupun sesudah mengisap darah hinggap di dinding untuk beristirahat. Menurut Marisa (2007) tempat yang lebih disukai Ae. aegypti untuk beristirahat adalah pada barang-barang yang menggantung dan memiliki permukaan licin seperti pakaian, gorden, tas atau alat-alat rumah tangga, tempat yang gelap, berbau apek dan lembab. Nyamuk Ae. albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak terpapar sinar matahari, tanaman hias di halaman rumah (Chan et al., 1971).

Menurut Hadi & Koesharto (2006) nyamuk yang telah kenyang darah tidak memerlukan darah lagi hingga saat peletakkan telurnya. Nyamuk Aedes aktif menggigit pada pukul 07.30 dan pukul 17.30 - 18.30 WIB. Nyamuk betina menghisap darah sebanyak 12 kali dengan selang waktu tiga hari. Aktivitas menghisap darah pada sore hari lebih tinggi 2,4 kali dari pada pagi hari.

2.3 Vektor Penyebaran Penyakit Chikungunya

Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Virus chikungunya (CHIKV) termasuk dalam kelompok famili Togaviridae (kelompok A arbovirus) genus Alphavirus dan tergolong genom RNA positif. Selain menyerang manusia dalam berbagai umur, juga dapat menyerang burung, orang utan, dan jenis mamalia lainnya. Penyebaran penyakit ini tersebar luas di daerah tropis terutama di Afrika, India, dan Asia Tenggara (Powers & Logue, 2007). Menurut Soedarmo (2009) gejala awal penderita chikungunya mirip dengan DBD yaitu ruam (bintik-bintik merah pada kulit), sakit kepala yang parah, kedinginan, demam dengan suhu tubuh di atas 40oC, sakit pada persendian, mual, dan muntah-muntah, Gejala chikungunya dibedakan dengan DBD, yaitu pada DBD terjadi pendarahan pada gusi, melena (berak darah) dan shock, sedangkan pada penderita penyakit chikungunya tidak pernah terjadi pendarahan

Laju penyebaran penyakit ini ditentukan oleh jenis dan populasi nyamuk. Penyebaran penyakit ini akan semakin cepat. Distribusi geografi virus


(22)

20

chikungunya telah meluas hampir di seluruh dunia meliputi benua Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia (De Lamballerie et al., 2008). Dengan demikian strategi yang menentukan dalam penyebaran penyakit chikungunya adalah dengan pengendalian vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya yaitu secara kimiawi atau biotik. Pengendalian secara kimiawi yaitu dengan penggunaan insekitisida sedangkan pengendalian biotik dilakukan dengan menggunakan predator pemakan larva nyamuk. Penelitian Taviv et al., (2010) yang melaporkan bahwa pengendalian vektor chikungunya adalah melakukan pengendalian biotik dengan pemanfaatan ikan cupang (Ctenops vittatus) di suatu wadah TPA yang diikuti dengan peningkatan frekuensi kunjungan juru pemantau jentik dapat menurunkan indeks CI, HI dan BI di suatu wilayah.

2.4 Indeks Larva

Indeks larva digunakan sebagai indikator penilaian untuk mengetahui angka kepadatan larva di suatu wilayah. Populasi larva dapat diukur dengan pemeriksaan terhadap semua tempat air (TPA) baik di dalam dan luar rumah terhadap jumlah rumah yang diamati (Soedarmo, 2009). Menurut WHO (1992) terdapat tiga indeks larva yaitu Container Index (CI) atau indeks kontainer yaitu persentase kontainer yang positif larva Aedes spp. dari total kontainer yang diperiksa; House Index (HI) atau indeks rumah menggambarkan persentase rumah yang ditemukan larva Aedes dari sejumlah rumah yang diperiksa dan Breteau Index (BI) atau indeks Breteau adalah jumlah kontainer yang positif mengandung larva dalam sejumlah rumah yang diperiksa.


(23)

21

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lapangan dan laboratorium. Pengambilan sampel larva nyamuk dilakukan di RW 03 (RT 02, 04, 06); RW 04 (RT 01, 02, 04) Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor dengan target minimal 30 sampel rumah untuk setiap RT. Adapun untuk identifikasi jenis larva dilakukan di Laboratorium Entomologi, FKH IPB. Waktu Penelitian berlangsung sejak bulan Desember 2010 hingga Maret 2011.

3.2 Pengamatan Larva

3.2.1 Pengumpulan Larva

Pengumpulan larva dilakukan dengan melakukan survei dan penangkapan atau lokasi larva di setiap rumah dan di lingkungan sekitar rumah pada semua tempat penampungan air (TPA) seperti bak mandi, ember dan wadah non TPA seperti potongan bambu, ketiak tanaman, ban bekas, dll. Pengumpulan larva dilakukan mulai pukul 06.00 – 18.00 WIB. Larva dikumpulkan dari setiap wadah menggunakan pipet plastik kemudian dimasukkan ke dalam plastik bening ukuran 15x4 cm dan diberi label keterangan untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

3.2.2 Identifikasi Larva

Identifikasi spesies Aedes spp. dilakukan di laboratorium dengan pengamatan di bawah mikroskop stereo perbesaran 20x. Ciri utama morfologi larva Aedes adalah tidak berkaki, bentuk dadanya lebih lebar dari kepalanya terdapat sepasang hair tuft pada anterior sifon, segmen perut terdiri atas sembilan ruas dengan batas garis yang tegas dan ruas terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) berbentuk silinder. Kunci identifikasi spesies larva menggunakan pedoman Hadi & Koesharto (2006) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.


(24)

22

(A) (B)

Gambar 2 Comb scales larva Ae. aegypti berbentuk trisula (A) dan Ae. albopictus berbentuk gerigi halus atau fringe (B) (Hadi & Koesharto, 2006)

3.2.3 Pengukuran Indeks Larva

Data larva yang telah terkumpul sejak bulan Desember 2010-Maret 2011 selanjutnya ditabulasi kemudian digolongkan pada setiap kategori jenis, bahan dan warna wadah untuk selanjutnya dihitung dengan rumus-rumus pengukuran CI, HI dan BI.

3.2.4 Pengumpulan Data Sekunder

Data curah hujan dan suhu di Kota Bogor pada saat pengambilan sampel, diambil dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Pengamatan Darmaga. Data cuaca dari lembaga ini telah mencakup wilayah Kota Bogor termasuk wilayah Kelurahan Pasir Kuda.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Analisis Kepadatan Larva

Jumlah populasi larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus dari setiap sampel digunakan untuk perhitungan data angka kepadatan larva. Analisis data kepadatan larva meliputi Container index (CI), House Index (HI) dan Breteau Index (BI) mengikuti formula perhitungan yang digunakan oleh Hadi et al. (2008) sebagai berikut:

Container Index (CI)

x

100%

House Index (HI)

x 100%


(25)

23

Breteau Index (BI)

x

100%

Data indeks larva selama pengamatan disajikan dalam bentuk grafik poligon, sedangkan jenis, bahan dan warna wadah disajikan berdampingan dengan data indeks larva dalam bentuk histogram. Menurut kategori WHO (1972) kepadatan populasi nyamuk (Density Figure, DF) diperoleh dari gabungan dari HI, CI dan BI dinyatakan dalam skala 1-9 (Tabel 1), dengan 3 kategori yaitu DF=1: kepadatan rendah, DF= 2-5: kepadatan sedang dan DF= 6-9: kepadatan tinggi.

Tabel 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972 Tingkat

kepadatan

House Index

Container Index

Breteau Index

1 1-3 1–2 1–4

2 4-7 3–5 5–9

3 8–17 6–9 10–19 4 18–28 10–14 20–34 5 29–37 15–20 35–49 6 38–49 21–27 50–74 7 50–59 28–31 75–99 8 60–76 32–40 100–199

9 77 + 41 + 200 +

3.3.2 Analisis Korelasi Kepadatan Larva dengan cuaca

Angka CI yang didapat pada bulan Desember 2010 hingga Maret 2011 selanjutnya dihubungkan dengan data indeks curah hujan dan suhu pada selang waktu yang sama dengan menggunakan uji korelasi.


(26)

24

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Secara umum RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda memiliki pemukiman yang padat dan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Jumlah sampel rumah yang diambil dalam penelitian kali ini yaitu berjumlah 483 rumah dengan jumlah wadah yang diperiksa sebanyak 591 wadah. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kondisi air di dalam rumah relatif lebih bersih dibandingkan kondisi air di luar rumah. Kondisi lapang umumnya kotor, bersemak dan banyak kolam yang tidak terawat sehingga menjadi tempat perindukan yang cocok untuk nyamuk Ae. albopictus (Gambar 3).

(A) (B)

Gambar 3 Kondisi lapang di lokasi penelitian yang kotor dan bersemak serta kolam taman yang tidak terawat menjadi tempat perindukkan nyamuk Aedes. (A: bagian depan halaman rumah; B: bagian belakang halaman rumah)

4.2 Jenis Larva Nyamuk

Hasil pengamatan terhadap 591 wadah baik di dalam maupun luar rumah di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada periode musim hujan bulan Desember 2010 – Maret 2011 ditemukan 147 wadah atau 24,87% yang positif mengandung larva nyamuk. Wadah yang positif tersebut sebanyak 65,99% berada di dalam rumah dan 34,01% di luar rumah. Jenis larva nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan pada wadah di dalam rumah yaitu sebanyak 82%, sedangkan larva Ae. albopictus dan larva campuran (Ae. aegypti


(27)

25

Gambar 4 Persentase jenis larva nyamuk pada wadah di lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor (N=591) periode bulan Desember 2010 – Maret 2011.

dan Ae. albopictus) lebih banyak ditemukan di luar rumah yaitu berturut-turut 68,29% dan 66,67% (Gambar 4).

Aedes albopictus di Thailand juga lebih banyak dijumpai pada habitat di luar rumah baik pada wadah TPA maupun non TPA (Chareonviriyahap et al., 2009). Ae. aegypti lebih suka meletakkan telurnya pada air yang jernih yang berada di dalam rumah dan tidak terlalu terkena sinar matahari atau berada di bawah naungan. Sebaliknya Ae. albopictus lebih suka bertelur di luar rumah pada wadah non TPA seperti ban bekas, tempat minum burung dan penyiram bunga.

4.3 Indeks Larva

4.3.1 Container Index

Hasil pengukuran Container Index (CI) yang menggambarkan tingginya wadah yang mengandung larva nyamuk dari total wadah yang diperiksa dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan bahwa angka CI wadah non TPA secara umum lebih tinggi dari pada angka CI pada wadah-wadah TPA. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada wadah non TPA selalu dapat ditemukan larva Aedes dibandingkan dengan wadah TPA yang tidak selalu ditemukannya larva Aedes. Kedua angka CI ini memiliki angka kepadatan populasi larva nyamuk yang tinggi berdasarkan angka density figure (WHO, 1972).

Tingginya CI pada wadah non TPA, berarti bahwa wadah tersebut menjadi tempat perindukan yang paling baik bagi nyamuk Aedes spp. Rendahnya angka CI

82,00

31,71 33,33

18

68,29 66,67

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Ae. aegypti Ae. albopictus Campuran

D e n s ita s L a rv a N y a m u k (% ) Jenis Nyamuk

Dalam Rumah Luar Rumah


(28)

26

pada wadah TPA tersebut kemungkinan disebabkan penduduk lebih sering membersihkan wadah penampungan air (wadah TPA) yang berhubungan langsung dengan aktivitas sehari-hari di dalam rumah dibanding dengan wadah penampungan air di luar rumah (wadah non TPA) seperti vas bunga, kaleng bekas, ban bekas dan tempat minum burung.

Gambar 5 Angka CI pada jenis wadah TPA, non TPA pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011.

Angka CI pada wadah TPA selama periode pengamatan bulan Desember 2010 - Maret 2011 cenderung menurun, sedangkan angka CI pada wadah non TPA perubahannya berfluktuatif. Penurunan angka CI wadah TPA selama periode pengamatan tersebut kemungkinan terkait rutinitas pengurasan wadah TPA dan respon penduduk yang muncul akibat seringnya kunjungan kami (tim penelitian) saat mengambil sampel larva di wadah TPA. Angka CI wadah non TPA selama periode pengamatan pun mengalami penurunan meskipun berfluktuatif. Angka yang berfluktuatif ini disebabkan pada wadah non TPA yang mengandung larva, tidak sepenuhnya hanyut saat hujan mengguyur deras karena terdapat banyak pula wadah non TPA yang terletak di sebuah naungan atap rumah yang saling berdempetan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 120 140 160

Desember Januari Februari Maret

C o n t a in e r i n d e x % Ju m la h w a d a h Jumlah TPA Jumlah non TPA CI TPA


(29)

27 4.3.2 House Index

House index (HI) menggambarkan jumlah rumah yang mengandung larva dari pengamatan larva yang berada pada wadah-wadah baik wadah di dalam rumah maupun di luar rumah. Dengan demikian, angka HI menunjukkan luas penyebaran nyamuk dalam masyarakat. Angka HI pada bulan Desember 2010 yaitu sekitar 30% kemudian cenderung menurun menjadi 17,59% pada akhir pengamatan (Maret 2011) (Gambar 6). Pada musim hujan, air untuk rumah tangga tersedia melimpah sehingga penduduk cenderung tidak menampung air dalam waktu yang lama. Selain itu, ketersediaan air yang melimpah pada musim hujan menyebabkan wadah non TPA yang berada di luar rumah ikut terkuras.

Pola perubahan angka HI tersebut mirip dengan pola perubahan angka CI wadah TPA. Angka HI yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan angka HI yang diperoleh di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Bogor yaitu 73,27% (Hadi 2 et al. 2008). Namun dari angka HI yang tertinggi pada bulan Desember 2010 yaitu sebesar 30,17% termasuk ke dalam kepadatan populasi larva nyamuk (density figure) yang sedang menurut WHO (1972).

4.3.3 Breteau Index

Angka BI menggambarkan jumlah wadah di dalam maupun di luar rumah yang mengandung larva dari total rumah yang diamati. Menurut Soedarmo (2009) angka BI merupakan indikator terbaik untuk menyatakan kepadatan nyamuk dan di Indonesia rata-rata angka BI adalah 50%. Angka BI tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini adalah 42,86%. Angka ini termasuk dalam tingkat kepadatan populasi larva nyamuk yang sedang menurut WHO (1972), meskipun angka ini tergolong dalam tingkat kepadatan yang sedang namun masih dapat berpotensi menimbulkan KLB. Angka BI ini lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh di Thailand baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan, yaitu 99 – 190 (Chareonviriyaphap et al., 2009). Pola perubahan angka BI hampir mirip dengan angka CI dan HI, tetapi dengan angka yang lebih tinggi (Gambar 6). Hal ini disebabkan dalam satu rumah dapat memiliki lebih dari satu wadah. Pada


(30)

28

bulan Februari – Maret angka BI menurun karena air dalam wadah yang ada di luar rumah sering mengalami pergantian oleh curah hujan yang terus menerus.

Gambar 6 Indeks larva (angka CI, HI dan BI) di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010 – Maret 2011.

4.4 Jenis, Bahan dan Warna Wadah Tempat Perindukan Larva

4.4.1 Jenis-jenis wadah yang ditemukan

Hasil penelitian ditemukan sembilan jenis wadah non TPA yaitu kaleng bekas, vas bunga, aquarium, kubangan, dispenser, tempat minum burung, tempat siram bunga, talang air dan penutup sumur, empat wadah TPA yaitu bak mandi/WC, ember, drum, tempayan dan satu cekungan air alamiah yaitu ketiak tangkai daun tanaman hias. Jumlah wadah yang sering teramati adalah wadah TPA terutama ember dan bak mandi yaitu berturut-turut 182 unit dan 333 unit sedangkan wadah lainnya yang meliputi wadah TPA maupun non TPA secara umum sangat sedikit yaitu antara 2 – 11 unit. Oleh karena itu dalam penelitian ini hanya disampaikan data angka CI yang berasal dari wadah yang paling banyak ditemukan yaitu bak mandi dan ember.

Angka CI pada wadah TPA berupa ember dan bak mandi secara umum mengalami penurunan selama periode penelitian (Gambar 7). Angka CI ember dan bak mandi pada bulan Februari mengalami penurunan yang tajam daripada angka CI bak mandi. Hal ini disebabkan pergantian air pada ember relatif lebih sering dilakukan dibandingkan dengan pergantian air pada bak mandi yang

33,86 30,17

17,59 42,86

19,84

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Desember Januari Februari Maret

In

d

e

k

s

lar

v

a

(%

)

Waktu pengamatan


(31)

29

volume air lebih banyak. Faktor kunjungan survei dan petugas jumantik berpengaruh terhadap respon warga untuk melakukan PSN 3M. Angka CI tertinggi baik pada ember maupun bak mandi yaitu sekitar 25% kemudian menurun pada akhir periode pengamatan yaitu berturut-turut sebesar 11 dan 13%.

Gambar 7 Jenis wadah dan angka CI wadah pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011.

4.4.2 Bahan wadah yang ditemukan

Wadah yang umumnya digunakan oleh penduduk adalah berbahan semen, plastik, dan keramik. Ketiga jenis bahan wadah tersebut pada awal penelitian (Desember 2010) memiliki CI yang tinggi yaitu semen sekitar 28%; keramik sekitar 32% dan plastik sekitar 38% (Gambar 8).

Pada pengamatan bulan selanjutnya angka CI cenderung mengalami penurunan. Penurunan angka CI yang paling tajam yaitu pada bahan wadah dari plastik, sedangkan penurunannya yang landai adalah bahan dari semen. Penurunan angka CI bahan wadah plastik yang umumnya berupa ember tersebut disebabkan karena ember memiliki volume relatif kecil sehingga lebih sering mengalami penggantian air yang berpotensi terkurasnya larva-larva yang berada di dasar ember.

Penurunan angka CI wadah dari semen yang relatif lebih rendah dibandingkan bahan plastik dan keramik kemungkinan terkait dengan karakter

0 5 10 15 20 25 30 0 20 40 60 80 100 120

Desember Januari Februari Maret

C o n t a in e r i n d e x % Ju m la h w a d a h

Jumlah bak mandi Jumlah ember CI Bak mandi CI Ember


(32)

30

dari bahan semen itu sendiri. Bahan wadah dari semen yang memiliki permukaan relatif kasar dan berongga menyebabkan larva masih dapat bersembunyi saat bak mandi dikuras, sehingga angka CI yang didapat pun cenderung lebih tinggi dibandingkan angka CI keramik. Larva masih dapat ditemukan pada wadah TPA berbahan keramik. Wadah dari bahan keramik walaupun memiliki permukaan yang licin dan halus, sambungan antar ubin membentuk celah yang dapat menjadi tempat perlindungan larva sehingga dapat berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan larva.

Selain itu, bahan wadah bak semen umumnya dimiliki oleh warga dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah dibanding dengan warga yang memiliki bak dari bahan keramik. Hal tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap respon warga untuk melakukan PSN 3M. Hasil penelitian di Thailand juga menunjukkan bahwa TPA dari bahan semen merupakan habitat yang disukai larva Ae. aegypti (Chareoviriyaphap et al., 2009).

Gambar 8 Bahan wadah yang diperiksa dan angka CI pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011.

4.4.3 Warna wadah yang ditemukan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dijumpai delapan jenis warna wadah sebagai penampungan air yaitu biru, cokelat, putih, abu-abu, hijau, merah, merah jambu dan hitam. Warna wadah yang paling sering dijumpai yaitu warna abu-abu, putih dan biru. Oleh sebab itu dalam penelitian ini hanya disajikan angka kepadatan jentik (CI) dari ketiga jenis bahan tersebut. Angka CI wadah berwarna

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Desember Januari Februari Maret

C o n t a in e r i n d e x % Ju m la h w a d a h Semen Plastik Keramik Semen Plastik Keramik


(33)

31

Gambar 9 Warna wadah dan angka CI pada lokasi penelitian di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor periode bulan Desember 2010 – Maret 2011.

abu-abu dan biru yang umumnya adalah TPA di dalam rumah mengalami penurunan selama periode pengamatan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kunjungan survei dan petugas lapangan. (Gambar 9). Wadah berwarna putih umumnya dijumpai pada wadah non TPA di luar rumah seperti kaleng bekas cat tembok yang relatif jarang diperhatikan dibandingkan wadah dalam rumah sehingga angka CI cenderung turun-naik.

0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100 C o n t a in e r i n d e x % Ju m la h w a d a h

Wadah berwarna abu CI

0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 C o n t a in e r i n d e x % ju m la h w a d a h

Wadah berwarna biru CI

0 20 40 60 80 0 10 20 30 40 50 C o n t a in e r i n d e x % Ju m la h w a d a h


(34)

32

Bila dinyatakan dalam persentase, kesukaan nyamuk Aedes spp. terhadap warna wadah untuk bertelur tertinggi berturut-turut adalah wadah berwarna biru (38,4%), abu-abu (31,8%) dan putih (25%) (Tabel 2). Lounibos et al. (1993) dalam penelitiannya menggunakan ketiak daun Heliconia caribaea dan Aechmea yang diberi genangan air untuk mengetahui kesukaan warna wadah yang sering digunakan nyamuk bertelur menyimpulkan bahwa nyamuk tidak mempunyai kesukaan khusus pada jenis warna tertentu dalam meletakkan telur (ovoposition). Perbedaan hasil yang diperoleh kemungkinan karena penelitian Lounibos et al. (1993) dilakukan di luar rumah (outdoor) pada semua jenis nyamuk, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pengamatan baik di luar maupun di dalam rumah dan khusus terhadap jenis nyamuk Aedes spp.

Tabel 2 Kesukaan warna wadah untuk bertelur nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda pada bulan Desember 2010 – Maret 2011.

Warna wadah

Jumlah wadah diamati

Jumlah wadah dengan larva

Kesukaan nyamuk terhadap warna wadah

untuk bertelur (%)

Abu-abu 85 27 31,8

Biru 125 48 38,4

Putih 108 27 25

4.5 Pengaruh Curah Hujan dan Suhu Terhadap Kepadatan Larva

Menurut Bentley & Day (1989) peletakan telur nyamuk Aedes spp. dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti curah hujan, kelembaban, suhu, dan kecepatan angin. Fluktuasi angka CI pada Ae. aegypti dan Ae. albopictus selama bulan Desember 2010 – Maret 2011 memiliki pola yang berbeda (Gambar 10).


(35)

33

Gambar 10 Angka CI Ae. aegypti dan Ae. albopictus dan data curah hujan di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010 – Maret 2011.

Gambar 11 Angka CI Ae. aegypti dan Ae. albopictus dan data suhu udara di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor pada bulan Desember 2010 – Maret 2011.

Angka CI pada Ae. aegypti mula-mula cukup tinggi pada bulan Desember 2010 yaitu 22,05% sedikit meningkat pada bulan Januari 2011 yaitu sebesar 25,88%, kemudian menurun tajam pada bulan Februari – Maret 2011 yaitu

0 10 20 30 40 50 60 70 0 5 10 15 20 25 30

Desember Januari Februari Maret

In d e x C u ra h H u ja n (m m ) C o n ta in e r In d e x (% ) Waktu Pengamatan

Ae. aegypti Ae. albopictus ICH

25,4 25,6 25,8 26 26,2 26,4 26,6 26,8 27 27,2 0 5 10 15 20 25 30

Desember Januari Februari Maret

S u h u U d a ra ( °C) C o n ta in e r In d e x (% ) Waktu Pengamatan


(36)

34

berturut-turut 11,54% dan 7,25%. Grafik hubungan antara curah hujan dan angka CI pada kedua jenis nyamuk tersebut (Gambar 10) berfluktuasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa antara curah hujan dan angka CI pada nyamuk Ae. aegypti memiliki koefisen korelasi Spearman (ρ) = 0,6 dan tidak berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Tempat perkembangbiakan larva Ae aegypti yang umumnya berada di dalam rumah tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Pola perubahan CI pada Ae. albopictus terlihat sejalan dengan pola perubahan curah hujan. Hal ini kemungkinan disebabkan tempat perkembangbiakan larva Ae. albopictus lebih banyak terdapat di luar rumah dan di bawah sehingga larva relatif mudah hanyut karena air hujan. Namun, uji statistik menunjukkan bahwa angka koefisien korelasi Spearman antara curah hujan dan angka CI pada Ae. albopictus tersebut, yaitu 0,8 yang tidak berkorelasi nyata (P < 0,01).

Grafik suhu dan angka CI pada kedua jenis nyamuk (Gambar 11) menujukkan pola yang berfluktuasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI pada nyamuk Ae. aegypti memiliki koefisen korelasi Spearman (ρ) = 0 dan tidak berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Suhu dalam penelitian ini adalah suhu makro Kota Bogor yang diperoleh dari BMKG Darmaga sehingga kemungkinan dapat berbeda dengan suhu aktual di lokasi penelitian. Menurut Akram & Jin (2004) secara umum kisaran suhu udara pada 19 – 27oC merupakan suhu lingkungan yang sangat disenangi nyamuk Ae. albopictus untuk bertelur sehingga masih merupakan suhu ideal bagi nyamuk untuk bertelur yang diperlihatkan oleh angka CI yang cukup tinggi. Namun, hasil uji statistik Spearman menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI pada Ae. albopictus memiliki koefisien korelasi negatif (ρ) yang kuat, yaitu -1. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Hal tersebut berarti semakin tinggi suhu di atas 25,5oC angka CI Ae. albopictus makin menurun.


(37)

35

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Ketiga indeks larva di dearah Pasir Kuda yaitu CI, HI dan BI menunjukkan pola perubahan yang mirip dengan kecenderungan menurun selama periode pengamatan. Angka CI di daerah tersebut termasuk dalam kategori DF= 6-9: kepadatan populasi larva nyamuk tinggi (density figure), sedangkan untuk angka HI dan BI tergolong dalam kategori DF = 2-5: kepadatan sedang. 2. Bak mandi dari bahan semen berwarna biru lebih disukai sebagai

perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp.

3. Kedua jenis nyamuk tidak memiliki korelasi terhadap curah hujan. Nyamuk Ae. albopictus berkorelasi nyata dengan suhu, sedangkan Ae aegypti tidak berkorelasi nyata.

5.2 Saran

Bak mandi berbahan semen sebaiknya dilapisi dengan pelapis yang licin misalnya keramik berwarna cerah yang celah antar ubin disemen secara merata. Gerakan PSN dan 3M plus dan aktivitas petugas jumantik perlu lebih digiatkan baik untuk TPA maupun non TPA. Kebersihan lingkungan perlu ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup bersih.


(38)

36

DAFTAR PUSTAKA

Akram W, Jin LJ. 2004. Effect of habitat characteristics on the distribution

and behavior of Aedes albopictus [Scientific Note]. J Vec Ecol December: 379-382.

Bentley MD, Day JF. 1989. Chemical ecology and behavioral aspects of mosquito oviposition. Ann Rev Entomol 34: 401-421.

Braks MA, Nildimar H, Honóriob A, Lourenço-De-Oliveirab R, Steven A, Julianoc L, Lounibos P. 2003. Convergent habitat segregation of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) in Southeastern Brazil and Florida. J Med Entomol 40 (6):785-794.

Chan KL, Ho BC, Chan YC. 1971. Aedes aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skuse) in Singapore City. Bull Wld Hlth Org 4: 629-633.

Clements AN. 1963. The Physiology of Mosquitoes. Di dalam: Widi Rumini, Beberapa aspek biologi Aedes (S) albopictus (Skuse) laboratorium dan pemencarannya di lapangan. Bogor.

Chareonviriyaphap T, Akratanakul P, Nettanomsak S, Huntamai S. 2009. Larval habitats and distribution patterns of Aedes aegypti (linnaeus) and Aedes albopictus (skuse), in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 34 (3): 529-535.

Christopher, SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure of Aedes aegypti (L). The Yellow Fever Mosquito. Cambridge at the University Pr. De Lamballerie X, Leroy E, Charrel RN, Ttsetsarkin K, Higgs S, Gould EA. 2008.

Chikungunya virus adapts to tiger mosquito via evolutionary convergence: a sign of things to come. Virology Journal 5: 33.

[DINKES]. 2010. Data distribusi kasus penyakit chikungunya di Bogor tahun 2008-2009, Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Freitas M de, Marques WA, Peres RC, Cunha SP, de Oliveira RL. 2007. Variation in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) container productivity in a slum and a suburban district of Rio de Janeiro during dry and wet seasons. Mem Inst Oswaldo Cruz 102 (4): 489-496.

Gubler DJ. 1971. Studies on the comparative oviposition behavior of Aedes (stegomyia) albopictus and Aedes (stegomyia) polynesiensis marks. J Med Entomol 8 (6): 675-682.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Hama Pemukiman Indonesia. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama dan Pemukiman (UKPHP).


(39)

37

Hadi UK, Agustina E, Sigit SH. 2006. Sebaran jentik nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. [terhubung berkala]. [1 Agustus 2012].

Hadi UK, Sigit SH, Gunandini DJ, Soviana S, Sugiarto FX. 2008. Pengaruh penggunaan repelen masal jangka panjang pada suatu pemukiman terhadap keberadaan nyamuk Aedes aegypti (L). J Entomol Indonesia 5 (1): 27-35.

Lounibos LP, Mavhado-Allison CE. 1993. Field test of mosquito ovipositional cues from venezuelan phytotelmata. Florida Ento 76 (4): 594-599.

Marisa 2007. Toleransi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap temefos dan malation di wilayah endemik Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Pan ZM, Yan ZQ & Tang XM. 2005. Study of the breeding state of the natural mosquito population in guangzhou. J Vector Bio Control 13: 2003-2005. Powers AM & Logue CH. 2007. Changing patterns of chikungunya virus:

re-emergence of a zoonotic arbovirus. J Gen Viro 88: 2363–2377. Sembel DT. 2009. Entomologi Kedokteran. Andi Offset: Yogyakarta.

Simardabc F, Nchoutpouenab E, Totoab JC, Fontenille D. 2005. Geographic distribution and breeding site preference of Aedes albopictus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Cameroon, Central Africa. J Med Entomol 42 (5): 726-731.

Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (dengue) pada Anak. Jakarta, UI Pr. Taviv Y, Saikhu A, Sitorus H. 2010. Pengendalian DBD melalui pemanfaatan

pemantau jentik dan ikan cupang di Kota Palembang. Bul Penelit Kesehat. 38 (4): 215 -224.

Vezzani D, Schweigmann N. 2002. Suitability of Container from Different Sources as Breeding Sites of Aedes aegypti (L.) in a Cemetery of Buenos Aires City, Argentina. Bioline International 6 : 789-792.

[WHO]. World Health Organization. 1972. Vector control in international health. Geneva. 26-28.

Widagdo L, Husodo BT, Bhinuri. 2008. Kepadatan jentik Aedes aegypti sebagai indikator keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk (3M plus): di Kelurahan Srondol Wetan, Semarang. Makara Kesehatan 12 (1): 13 – 19.


(40)

38

Ziegler SA, Lu L, da Rosa AP, Shu-Yuan X, Tesh RB. 2007. An Animal model for studying the pathogenesis of chikungunya virus infection. J Trop Med Hyg 79 (1): 133-139.


(41)

13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit chikungunya merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV) yang termasuk dalam famili Togaviridae, genus Alphavirus (Powers & Logue, 2007). Menurut Ziegler et al. (2007) chikungunya berasal dari bahasa Swahilli yang berarti nyeri pada persendian dan pertama kali terisolasi di Tanzania pada tahun 1952.

Penularan pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah penderita chikungunya dan selanjutnya menginfeksi darah manusia yang sehat. Gejala yang ditimbulkan pada penderita adalah demam, nyeri sendi (arthalgia) pada pergelangan tangan dan kaki, nyeri otot (myalgia), muntah dan menggigil. Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Ziegler et al., 2007).

Kasus chikungunya di Bogor cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Kejadian kasus chikungunya pada tahun 2008 sebanyak 1328 orang, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kasus hanya 260 orang, tetapi pada bulan Januari - Oktober 2010 terjadi peningkatan penderita chikungunya, yaitu 331 penderita. Kasus terakhir terjadi di kelurahan Pasir Kuda, yaitu sebanyak 41 penderita pada bulan September 2010. Untuk mengantisipasi penyebaran penyakit chikungunya di daerah tersebut, studi tentang perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. sebagai vektor penyakit chikngunya perlu dilakukan. (Dinkes Kota Bogor, 2010)

Pengendalian vektor merupakan strategi penanggulangan penyakit chikungunya yang paling efektif. Pengamatan terhadap sifat-sifat dan perilaku nyamuk, cara berkembang biak dan tempat perkembangbiakan di setiap daerah endemik penyakit chikungunya perlu diketahui dengan baik (Hadi & Koesharto, 2006). Tingkat kerawanan penyebaran penyakit chikungunya di suatu wilayah dipengaruhi oleh ketersediaan habitat dan kepadatan nyamuk Aedes spp. Daerah yang mempunyai habitat potensial perkembangbiakan nyamuk dapat memicu


(42)

14

tingginya angka kepadatan populasi nyamuk sehingga kemungkinan kejadian kasus chikungunya juga akan tinggi pula (Freitas et al., 2007)

Larva Ae. aegypti dapat ditemukan di dalam tempayan, bak mandi, kaleng dan ban bekas di sekitar rumah dan tempat-tempat lain yang berisi air jernih. Untuk meminimumkan terjadinya transmisi virus melalui nyamuk, penyuluhan tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN 3M) yaitu menguras, menutup, dan mengubur wadah penampung air perlu dilakukan. Menurut Widagdo et al. (2008) keberhasilan PSN 3M dipengaruhi oleh karakteristik sosial seperti pendidikan, pekerjaan, jumlah penghuni rumah dan pendapatan rata-rata. Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. albopictus dan Ae. aegypti yang sering ditemukan meliputi ban bekas, kaleng bekas dan wadah plastik, onderdil mobil bekas, rongga tembok, ketiak daun, lubang pohon, dan kolam yang berbatu (Simardabc et al., 2005). Penduduk di Indonesia menyediakan wadah-wadah penampungan air dari bahan yang beragam antara lain kaca, semen, logam, keramik, tanah dan plastik, sedangkan bentuk wadah dapat berupa ember plastik, bak semen, drum kaleng, akuarium dan tempayan tanah. Air yang ditampung dapat berupa air hujan, air tanah, atau air PAM yang disimpan dalam waktu kurang lebih satu minggu.

Wadah-wadah penampungan air tersebut dapat menjadi tempat perindukan larva. Di Korea Selatan, nyamuk Aedes spp. memiliki preferensi tertentu terhadap jenis wadah TPA, non TPA maupun tempat wadah alamiah sebagai tempat perindukan (Akram & Jin 2004). Vezzani & Schweigmann (2002) melaporkan bahwa warna wadah juga mempengaruhi nyamuk Aedes spp. betina untuk bertelur.

Studi di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor menunjukkan bahwa wadah berbahan semen lebih banyak dijumpai larva nyamuk Aedes spp. (Hadi et al 1., 2006). Kajian tempat perindukan nyamuk Aedes spp. penyebab penyakit chikungunya di daerah endemik perlu dilakukan sebagai informasi dasar dalam pelaksanaan PSN 3M.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kepadatan larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada berbagai jenis, bahan dan warna wadah di dalam maupun di luar rumah, berdasarkan indeks larva serta hubungannya dengan faktor suhu dan


(43)

15

curah hujan di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor selama bulan basah Desember 2010 – Maret 2011.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan bermanfaat untuk membantu pemberantasan vektor nyamuk chikungunya dan demam berdarah, khususnya dalam mengarahkan gerakan PSN 3M.

1.4 Gambaran Umum Masyarakat Sasaran

Sasaran penelitian adalah daerah endemik penyakit chikungunya (Dinkes Kota Bogor 2010) dengan data kependudukan sebagai berikut:

Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan tersebut termasuk wilayah kerja dari Puskesmas Pancasan dengan luas wilayah 116,5 ha. Kelurahan Pasir Kuda berbatasan dengan:

Sebelah Barat : Kelurahan Ciomas, Sebelah Timur : Kelurahan Pasir Mulya

Sebelah Selatan : Kelurahan Cikaret dan Mekar Jaya Sebelah Utara : Kelurahan Pasir Jaya.

Penduduk Kelurahan Pasir Kuda berjumlah 13.832 jiwa (7037 laki-laki dan 6759 perempuan) dengan jumlah Kepala Keluarga 3624 KK, yang tersebar di 11 RW dan 54 RT. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, buruh, dan sebagian kecil terdiri atas petani dan pedagang.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel larva di RW 03 dan RW 04 di Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat


(44)

16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Aedes aegypti

Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus berperan dalam penularan penyakit demam chikungunya. Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Kedua spesies Aedes spp. ini termasuk dalam subgenus Stegomya.

2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp.

Telur

Telur Aedes spp. memiliki bentuk oval dengan salah satu ujung lebih tumpul daripada bagian ujung lainnya, berwarna hitam, berukuran 1 mm. Telur diletakkan satu persatu oleh induknya di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur tahan sampai berbulan-bulan pada suhu 2o- 42oC. Dalam keadaan kering, telur tahan sampai enam bulan. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya selama sembilan hari. Tiga hari sesudahnya, nyamuk betina yang menghisap darah manusia dapat bertelur hingga 100 butir. Telur dapat menetas menjadi larva setelah dua hari, kemudian larva akan berubah menjadi pupa setelah enam sampai delapan hari (Soedarmo, 2009).

Menurut Clements (1963) nyamuk Ae. albopictus memiliki kecenderungan meletakkan telurnya pada wadah air yang terbuka dengan permukaan dasar yang kasar. Saat meletakkan telur, nyamuk ini lebih menyukai wadah air yang berwarna gelap. Peletakan telur biasanya dilakukan pada siang hari disaat intensitas cahaya matahari yang rendah (Gubler, 1971). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hadi & Koesharto (2006) yang menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti berkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air hujan di dalam rumah, sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih banyak berkembang biak pada wadah-wadah air di luar rumah.


(45)

17 Larva

Menurut Hadi & Koesharto (2006) larva Ae. aegypti memiliki bentuk silindris dengan kepala membulat, dilengkapi dengan antena pendek yang halus. Abdomen terdiri atas delapan segmen dan pada segmen terakhir terdapat pekten yang bergerigi serta sifon sebagai alat untuk bernapas. Bagian kepala dilengkapi dengan rambut yang berbentuk sikat yang berfungsi sebagai alat untuk mengambil makanan. Perbedaan antara kedua jenis larva nyamuk Aedes spp. hanya dapat dilihat dibawah mikroskop dengan melihat bentuk pekten sifon dan comb pada ruas terkahir abdomen. Larva nyamuk akan tumbuh menjadi pupa setelah 6-8 hari.

Tempat perindukan nyamuk ini biasanya ada di dalam atau sekitar rumah dalam radius 100 m dari rumah. Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae. aegypti adalah pada bejana buatan manusia berisi air jernih yang berada di dalam rumah dan tidak terkena cahaya matahari langsung serta tidak berhubungan langsung dengan tanah (Hadi & Koesharto, 2006). Umumnya Ae. albopictus lebih menyukai tempat perindukan berup wadah non TPA contohnya yaitu pada potongan-potongan pangkal bambu, tempurung kelapa dan wadah-wadah air seperi kaleng bekas dan ban bekas di lapang ataupun tempat perindukan alamiah seperti ketiak daun yang dibuktikan pada penelitian yang pernah dilakukan di Brazil. Penelitian dilakukan dengan meletakkan ovitrap di daerah perkotaan dan pedesaan. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan daripada perkotaan yang pada umumnya tidak memiliki pekarangan atau kebun di sekitar rumah (Braks et al., 2003). Tempat perindukan nyamuk Ae. albopictus di Cina yang memiliki iklim sub tropis pun sama dengan daerah tropis diantaranya terdapat di kolam-kolam ukuran kecil, bak mandi, guci, kaleng bekas, pecahan botol, ban bekas, drum bekas, vas bunga dan talang air di luar rumah (Pan et al., 2005).

Pupa

Menurut Hadi & Koesharto (2006) pupa Aedes spp. merupakan stadium tidak makan dan berbentuk seperti koma yaitu abdomen melengkung ke bawah


(46)

18

dan mengarah ke anterior, juga memiliki sefalotoraks yang dilengkapi dengan kutikula yang tebal dan dilengkapi dengan terompet pernapasan. Pupa yang baru menetas berwarna keputihan, kemudian secara bertahap akan menjadi kecokelatan dan sesaat sebelum menjadi imago, pupa berubah warna menjadi kehitaman. Gerakan yang dihasilkan adalah gerakan vertikal setengah lingkaran. Pupa jantan lebih kecil dibandingkan pupa betina. Di dalam air pupa masih bisa aktif bergerak, dan memerlukan waktu 1-2 hari untuk menjadi nyamuk dewasa.

Nyamuk yang baru muncul dari pupa akan mencari pasangan. Setelah perkawinan, nyamuk betina akan segera mencari darah untuk perkembangan telurnya. Nyamuk betina yang sudah menghisap darah akan bertelur setelah menghisap darah.

Dewasa

Menurut Gubler (1971) pupa jantan tumbuh dan berkembang lebih cepat dari pada pupa betina. Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa akan berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya. Nyamuk dewasa memiliki dua pasang sayap. Pasangan sayap yang pertama tipis dan terletak pada mesothorax. Pasangan sayap kedua berukuran kecil terdapat di metothorax dan disebut halter yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh pada waktu serangga terbang. Serangga ini memiliki antena yang lebih panjang daripada kepala dan thoraxnya. Antena terdiri atas delapan ruas, yang hampir sama besarnya kecuali ruas yang pertama dan kedua yang dekat dengan kepala. Struktur tubuh nyamuk Ae. aegypti memiliki dua strip putih keperakan pada bagian dorsal skutum membentuk garis sejajar di bagian dorsal tengah dan diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih, sedangkan nyamuk Ae. albopictus hanya memiliki satu garis putih tebal pada bagian dorsal skutumnya.

Perilaku nyamuk Aedes spp. sama seperti perilaku nyamuk pada umumnya, yaitu mempunyai dua cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu sebelum dan sesudah mencari darah. Tempat-tempat istirahat yang disukainya yaitu tempat yang lembab, teduh dan aman.


(47)

19

Perilaku nyamuk untuk beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Ada nyamuk masuk ke rumah hanya untuk menghisap darah lalu beristirahat di luar rumah ada pula nyamuk yang sebelum maupun sesudah mengisap darah hinggap di dinding untuk beristirahat. Menurut Marisa (2007) tempat yang lebih disukai Ae. aegypti untuk beristirahat adalah pada barang-barang yang menggantung dan memiliki permukaan licin seperti pakaian, gorden, tas atau alat-alat rumah tangga, tempat yang gelap, berbau apek dan lembab. Nyamuk Ae. albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak terpapar sinar matahari, tanaman hias di halaman rumah (Chan et al., 1971).

Menurut Hadi & Koesharto (2006) nyamuk yang telah kenyang darah tidak memerlukan darah lagi hingga saat peletakkan telurnya. Nyamuk Aedes aktif menggigit pada pukul 07.30 dan pukul 17.30 - 18.30 WIB. Nyamuk betina menghisap darah sebanyak 12 kali dengan selang waktu tiga hari. Aktivitas menghisap darah pada sore hari lebih tinggi 2,4 kali dari pada pagi hari.

2.3 Vektor Penyebaran Penyakit Chikungunya

Penyebab penyakit chikungunya adalah virus chikungunya yang tergolong dalam grup arbovirus. Virus chikungunya (CHIKV) termasuk dalam kelompok famili Togaviridae (kelompok A arbovirus) genus Alphavirus dan tergolong genom RNA positif. Selain menyerang manusia dalam berbagai umur, juga dapat menyerang burung, orang utan, dan jenis mamalia lainnya. Penyebaran penyakit ini tersebar luas di daerah tropis terutama di Afrika, India, dan Asia Tenggara (Powers & Logue, 2007). Menurut Soedarmo (2009) gejala awal penderita chikungunya mirip dengan DBD yaitu ruam (bintik-bintik merah pada kulit), sakit kepala yang parah, kedinginan, demam dengan suhu tubuh di atas 40oC, sakit pada persendian, mual, dan muntah-muntah, Gejala chikungunya dibedakan dengan DBD, yaitu pada DBD terjadi pendarahan pada gusi, melena (berak darah) dan shock, sedangkan pada penderita penyakit chikungunya tidak pernah terjadi pendarahan

Laju penyebaran penyakit ini ditentukan oleh jenis dan populasi nyamuk. Penyebaran penyakit ini akan semakin cepat. Distribusi geografi virus


(48)

20

chikungunya telah meluas hampir di seluruh dunia meliputi benua Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia (De Lamballerie et al., 2008). Dengan demikian strategi yang menentukan dalam penyebaran penyakit chikungunya adalah dengan pengendalian vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya yaitu secara kimiawi atau biotik. Pengendalian secara kimiawi yaitu dengan penggunaan insekitisida sedangkan pengendalian biotik dilakukan dengan menggunakan predator pemakan larva nyamuk. Penelitian Taviv et al., (2010) yang melaporkan bahwa pengendalian vektor chikungunya adalah melakukan pengendalian biotik dengan pemanfaatan ikan cupang (Ctenops vittatus) di suatu wadah TPA yang diikuti dengan peningkatan frekuensi kunjungan juru pemantau jentik dapat menurunkan indeks CI, HI dan BI di suatu wilayah.

2.4 Indeks Larva

Indeks larva digunakan sebagai indikator penilaian untuk mengetahui angka kepadatan larva di suatu wilayah. Populasi larva dapat diukur dengan pemeriksaan terhadap semua tempat air (TPA) baik di dalam dan luar rumah terhadap jumlah rumah yang diamati (Soedarmo, 2009). Menurut WHO (1992) terdapat tiga indeks larva yaitu Container Index (CI) atau indeks kontainer yaitu persentase kontainer yang positif larva Aedes spp. dari total kontainer yang diperiksa; House Index (HI) atau indeks rumah menggambarkan persentase rumah yang ditemukan larva Aedes dari sejumlah rumah yang diperiksa dan Breteau Index (BI) atau indeks Breteau adalah jumlah kontainer yang positif mengandung larva dalam sejumlah rumah yang diperiksa.


(1)

34

berturut-turut 11,54% dan 7,25%. Grafik hubungan antara curah hujan dan angka CI pada kedua jenis nyamuk tersebut (Gambar 10) berfluktuasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa antara curah hujan dan angka CI pada nyamuk Ae. aegypti memiliki koefisen korelasi Spearman (ρ) = 0,6 dan tidak berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Tempat perkembangbiakan larva Ae aegypti yang umumnya berada di dalam rumah tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Pola perubahan CI pada Ae. albopictus terlihat sejalan dengan pola perubahan curah hujan. Hal ini kemungkinan disebabkan tempat perkembangbiakan larva Ae. albopictus lebih banyak terdapat di luar rumah dan di bawah sehingga larva relatif mudah hanyut karena air hujan. Namun, uji statistik menunjukkan bahwa angka koefisien korelasi Spearman antara curah hujan dan angka CI pada Ae. albopictus tersebut, yaitu 0,8 yang tidak berkorelasi nyata (P < 0,01).

Grafik suhu dan angka CI pada kedua jenis nyamuk (Gambar 11) menujukkan pola yang berfluktuasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI pada nyamuk Ae. aegypti memiliki koefisen korelasi Spearman (ρ) = 0 dan tidak berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Suhu dalam penelitian ini adalah suhu makro Kota Bogor yang diperoleh dari BMKG Darmaga sehingga kemungkinan dapat berbeda dengan suhu aktual di lokasi penelitian. Menurut Akram & Jin (2004) secara umum kisaran suhu udara pada 19 – 27oC merupakan suhu lingkungan yang sangat disenangi nyamuk Ae. albopictus untuk bertelur sehingga masih merupakan suhu ideal bagi nyamuk untuk bertelur yang diperlihatkan oleh angka CI yang cukup tinggi. Namun, hasil uji statistik Spearman menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI pada Ae. albopictus memiliki koefisien korelasi negatif (ρ) yang kuat, yaitu -1. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan antara suhu dan angka CI berkorelasi secara nyata (P < 0,01). Hal tersebut berarti semakin tinggi suhu di atas 25,5oC angka CI Ae. albopictus makin menurun.


(2)

35

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Ketiga indeks larva di dearah Pasir Kuda yaitu CI, HI dan BI menunjukkan pola perubahan yang mirip dengan kecenderungan menurun selama periode pengamatan. Angka CI di daerah tersebut termasuk dalam kategori DF= 6-9: kepadatan populasi larva nyamuk tinggi (density figure), sedangkan untuk angka HI dan BI tergolong dalam kategori DF = 2-5: kepadatan sedang. 2. Bak mandi dari bahan semen berwarna biru lebih disukai sebagai

perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp.

3. Kedua jenis nyamuk tidak memiliki korelasi terhadap curah hujan. Nyamuk Ae. albopictus berkorelasi nyata dengan suhu, sedangkan Ae aegypti tidak berkorelasi nyata.

5.2 Saran

Bak mandi berbahan semen sebaiknya dilapisi dengan pelapis yang licin misalnya keramik berwarna cerah yang celah antar ubin disemen secara merata. Gerakan PSN dan 3M plus dan aktivitas petugas jumantik perlu lebih digiatkan baik untuk TPA maupun non TPA. Kebersihan lingkungan perlu ditingkatkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup bersih.


(3)

1

TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR CHIKUNGUNYA

(

Aedes

spp.) DI KELURAHAN PASIR KUDA, KECAMATAN

BOGOR BARAT, KOTA BOGOR, JAWA BARAT

MERISTA WIKANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

36

DAFTAR PUSTAKA

Akram W, Jin LJ. 2004. Effect of habitat characteristics on the distribution

and behavior of Aedes albopictus [Scientific Note]. J Vec Ecol December: 379-382.

Bentley MD, Day JF. 1989. Chemical ecology and behavioral aspects of mosquito oviposition. Ann Rev Entomol 34: 401-421.

Braks MA, Nildimar H, Honóriob A, Lourenço-De-Oliveirab R, Steven A, Julianoc L, Lounibos P. 2003. Convergent habitat segregation of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) in Southeastern Brazil and Florida. J Med Entomol 40 (6):785-794.

Chan KL, Ho BC, Chan YC. 1971. Aedes aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skuse) in Singapore City. Bull Wld Hlth Org 4: 629-633.

Clements AN. 1963. The Physiology of Mosquitoes. Di dalam: Widi Rumini, Beberapa aspek biologi Aedes (S) albopictus (Skuse) laboratorium dan pemencarannya di lapangan. Bogor.

Chareonviriyaphap T, Akratanakul P, Nettanomsak S, Huntamai S. 2009. Larval habitats and distribution patterns of Aedes aegypti (linnaeus) and Aedes albopictus (skuse), in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 34 (3): 529-535.

Christopher, SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure of Aedes aegypti (L). The Yellow Fever Mosquito. Cambridge at the University Pr. De Lamballerie X, Leroy E, Charrel RN, Ttsetsarkin K, Higgs S, Gould EA. 2008.

Chikungunya virus adapts to tiger mosquito via evolutionary convergence: a sign of things to come. Virology Journal 5: 33.

[DINKES]. 2010. Data distribusi kasus penyakit chikungunya di Bogor tahun 2008-2009, Dinas Kesehatan Kota Bogor.

Freitas M de, Marques WA, Peres RC, Cunha SP, de Oliveira RL. 2007. Variation in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) container productivity in a slum and a suburban district of Rio de Janeiro during dry and wet seasons. Mem Inst Oswaldo Cruz 102 (4): 489-496.

Gubler DJ. 1971. Studies on the comparative oviposition behavior of Aedes (stegomyia) albopictus and Aedes (stegomyia) polynesiensis marks. J Med Entomol 8 (6): 675-682.

Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Hama Pemukiman Indonesia. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama dan Pemukiman (UKPHP).


(5)

37

Hadi UK, Agustina E, Sigit SH. 2006. Sebaran jentik nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. [terhubung berkala]. [1 Agustus 2012].

Hadi UK, Sigit SH, Gunandini DJ, Soviana S, Sugiarto FX. 2008. Pengaruh penggunaan repelen masal jangka panjang pada suatu pemukiman terhadap keberadaan nyamuk Aedes aegypti (L). J Entomol Indonesia 5 (1): 27-35.

Lounibos LP, Mavhado-Allison CE. 1993. Field test of mosquito ovipositional cues from venezuelan phytotelmata. Florida Ento 76 (4): 594-599.

Marisa 2007. Toleransi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap temefos dan malation di wilayah endemik Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Pan ZM, Yan ZQ & Tang XM. 2005. Study of the breeding state of the natural mosquito population in guangzhou. J Vector Bio Control 13: 2003-2005. Powers AM & Logue CH. 2007. Changing patterns of chikungunya virus:

re-emergence of a zoonotic arbovirus. J Gen Viro 88: 2363–2377. Sembel DT. 2009. Entomologi Kedokteran. Andi Offset: Yogyakarta.

Simardabc F, Nchoutpouenab E, Totoab JC, Fontenille D. 2005. Geographic distribution and breeding site preference of Aedes albopictus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Cameroon, Central Africa. J Med Entomol 42 (5): 726-731.

Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (dengue) pada Anak. Jakarta, UI Pr. Taviv Y, Saikhu A, Sitorus H. 2010. Pengendalian DBD melalui pemanfaatan

pemantau jentik dan ikan cupang di Kota Palembang. Bul Penelit Kesehat. 38 (4): 215 -224.

Vezzani D, Schweigmann N. 2002. Suitability of Container from Different Sources as Breeding Sites of Aedes aegypti (L.) in a Cemetery of Buenos Aires City, Argentina. Bioline International 6 : 789-792.

[WHO]. World Health Organization. 1972. Vector control in international health. Geneva. 26-28.

Widagdo L, Husodo BT, Bhinuri. 2008. Kepadatan jentik Aedes aegypti sebagai indikator keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk (3M plus): di Kelurahan Srondol Wetan, Semarang. Makara Kesehatan 12 (1): 13 – 19.


(6)

38

Ziegler SA, Lu L, da Rosa AP, Shu-Yuan X, Tesh RB. 2007. An Animal model for studying the pathogenesis of chikungunya virus infection. J Trop Med Hyg 79 (1): 133-139.