Volatility Analysis of Crude Palm Oil Price and Cooking Oil.

ANALISIS VOLATILITAS HARGA MINYAK SAWIT DAN
HARGA MINYAK GORENG

EFRI JUNAIDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Volatilitas Harga
Minyak Sawit dan Harga Minyak Goreng adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Efri Junaidi
NIM H451100161

RINGKASAN
EFRI JUNAIDI. Analisis Volatilitas Harga Minyak Sawit dan Harga Minyak
Goreng. Dibimbing oleh HARIANTO dan SUHARNO.
Industri minyak sawit memiliki prospek yang cerah dalam persaingan
dengan minyak nabati lainnya. Minyak sawit merupakan minyak nabati terbesar
yang dikonsumsi maupun diproduksi saat ini. Indonesia adalah eksportir minyak
sawit terbesar dengan kontribusi mencapai 46.2 persen dari total suplai dunia pada
tahun 2011. Salah satu industri hilir berbasis minyak sawit yang penting di
Indonesia adalah industri minyak goreng. Minyak goreng termasuk salah satu dari
sembilan kebutuhan bahan pokok yang penting bagi masyarakat. Jumlah
konsumsi minyak goreng terus meningkat dan konsumsi tersebut telah terpenuhi
dari industri minyak goreng domestik karena Indonesia telah mengalami surplus
minyak goreng. Tetapi, kondisi surplus minyak goreng serta posisi penting
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia tidak serta merta
menjamin harga minyak goreng yang rendah dan stabil di dalam negeri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis volatilitas harga minyak sawit
dan minyak goreng, menganalisis dampak kebijakan bea ekspor minyak sawit

terhadap volatilitas harga minyak sawit dan minyak goreng dan menganalisis
dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP)
terhadap volatilitas minyak goreng Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yaitu data time series harian periode januari 2005 sampai
maret 2012. Volatilitas harga minyak sawit dan harga minyak goreng dalam
penelitian ini dibangun menggunakan aplikasi model Autoregressive Conditional
Heteroscedasticity/Generalized Autoregressive Conditional Heteroschedasticity
(ARCH-GARCH).
Hasil analisis terhadap volatilitas harga minyak sawit dan volatilitas harga
minyak goreng menunjukkan pola yang berbeda. Volatilitas harga minyak sawit
dipengaruhi oleh volatilitas pada dua periode sebelumnya, sedangkan volatilitas
harga minyak goreng dipengaruhi oleh volatilitas dan varian pada satu periode
sebelumnya. Volatilitas harga minyak sawit lebih tinggi dibandingkan volatilitas
harga minyak goreng.
Hasil analisis terhadap pelaksanaan kebijakan bea ekspor minyak sawit
secara progresif dan kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah
(PPN-DTP) pada industri minyak goreng memberikan dampak yang berbeda
terhadap volatilitas harga. Pelaksanaan kebijakan bea ekspor minyak sawit
menyebabkan volatilitas harga minyak sawit dan volatilitas harga minyak goreng
sesudah kebijakan tersebut menjadi konstan sampai akhir periode analisis,

sehingga kebijakan bea ekspor berhasil menjaga stabilisasi harga minyak sawit
dan harga minyak goreng. Sementara itu, pelaksanaan kebijakan PPN-DTP
terhadap industri minyak goreng menyebabkan volatilitas harga minyak goreng
sesudah kebijakan PPN-DTP menjadi tidak stabil hingga akhir periode analisis,
sehingga kebijakan PPN-DTP tidak berhasil menjaga stabilisasi harga minyak
goreng.
.
Kata kunci: arch-garch, stabilisasi harga, volatilitas

SUMMARY
EFRI JUNAIDI. Volatility Analysis of Crude Palm Oil Price and Cooking Oil.
Supervised by HARIANTO and SUHARNO.
Crude palm oil industry has bright prospect in vegetables oil competition.
Nowadays crude palm oil is the most produced and consumed.. Indonesia is the
biggest crude palm oil exporter contributing 46.2 percent of world’s total supply
in 2011. One of palm oil based downstream industry which is important in
Indonesia is cooking oil industry. Cooking oil is one of the important nine basic
needs for people. Cooking oil consumption tends to increase and this condition
has been fullfiled by domestic industry. This because Indonesia has surplus
condition in cooking oil. Unfortunately this surplus condition doesnot guarantee

low and stable price domestically.
The aims of this research are to analyze volatility of crude palm oil price
and cooking oil, to analyze effect of crude palm oil export policy to the volatility
of palm oil price and cooking oil and to analyze effect of value added tax borne by
government to the cooking oil volatility. Data used in this research is secondary
data which is daily time series data, period January 2005 to March 2012.
Volatility of palm oil price and cooking oil in this research is built on the basis of
time series econometric methods called autoregressive conditional
heteroscedasticity/ generalized autoregressive conditional eteroschedasticity
(ARCH GARCH)
Analysis results to price volatility of crude palm oil and cooking oil show
different pattern. Volatility of crude palm oil is influenced by volatility of two
previous periods, meanwhile volatility of cooking oil is influenced by volatility
and variance last period. Volatility of cooking oil price is higher than volatility of
cooking oil.
Analysis results to progressive export tax policy of crude palm oil and
value added tax borne by government towards cooking oil industry give different
effect to price volatility. Implementation of Export tax policy to crude palm oil
leads to constant price volatility of crude palm oil and cooking palm oil price until
the end of analysis period, with the result that export tax policy can stabilize crude

palm oil price and cooking oil. On the other hand value added tax borne by
government towards cooking oil price leads to unstable price volatility of cooking
oil until the end of analysis period. It can be concluded that value added tax borne
by government cannot stabilize of cooking oil price
Key words: arch-garch, price stabilization, volatility

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

ANALISIS VOLATILITAS HARGA MINYAK SAWIT DAN
HARGA MINYAK GORENG


EFRI JUNAIDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

Penguji Wakil Komisi Pendidikan


: Dr Ir Netty Tinaprilla, MM

iii
Judul Tesis : Analisis Volatilitas Harga Minyak Sawit dan Harga Minyak
Goreng
Nama
: Efri Junaidi
NIM
: H451100161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Harianto, MS
Ketua

Dr Ir Suharno, MAdev
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 06 Mei 2013

Tanggal Lulus:

iv

v

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah volatilitas harga, dengan judul Analisis
Volatilitas Harga Minyak Sawit dan Minyak Goreng. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada :
1. Dr Ir Harianto MS sebagai selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Suharno
M Adev selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, motivasi, saran dan perhatian yang sangat berarti bagi penulis
hingga penyusunan tesis ini selesai.
2. Dr Ir Nunung Kusnadi MS sebagai dosen penguji utama dalam ujian tesis
yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan tesis ini.
3. Dr Ir Netti Tinaprilla MM sebagai dosen penguji wakil komisi pendidikan
yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan dalam
penyusunan tesis ini.
4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina MS sebagai Ketua Program Studi S2 Agribisnis
5. Istri tercinta, Ratna Mega Sari SE M Si M.Sc atas doa dan motivasi yang
diberikan pada penulis
6. Orang tua dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan, memberikan motivasi
dan kasih sayang pada penulis.
7. Seluruh dosen dan staf sekretariat Departemen Agribisnis yang telah
membantu penulis.

8. Teman-teman S2 Agribisnis angkatan pertama atas segala bantuan dan
kebersamaan selama ini
9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, Juli 2013
Penulis

vi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN


ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Batasan Penelitian

1
1
5
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Volatilitas Harga Komoditas Pertanian
Tinjauan Kebijakan Tentang Volatilitas Harga Komoditas Pertanian
Metode dan Model dalam Analisis Volatilitas

8
8
9
10

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Keseimbangan Pasar
Volatilitas Harga
Kebijakan Pajak Ekspor
Kebijakan Pajak Pertambahan nilai
Pemodelan Volatilitas
Kerangka Pemikiran Operasional

12
12
13
12
16
18
20
21

4 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Identifikasi Efek ARCH
Estimasi Model
Evaluasi Model
Perhitungan Nilai Volatilitas Harga

Error! Bookmark not defined.3
23
Error! Bookmark not defined.3
24
24
25
26

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT
Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa sawit
Industri Hilir Kelapa Sawit
Industri Pengolahan Minyak Sawit
Industri Pengolahan Minyak Goreng

27
27
29
30
32

6 VOLATILITAS HARGA MINYAK SAWIT DAN HARGA MINYAK
GORENG
Deskripsi data
Harga Minyak Sawit

33
33
33

vii
Harga Minyak Goreng
Hubungan Harga Minyak sawit dan Minyak Goreng
Analisis ARCH-GARCH
Identifikasi Efek ARCH
Estimasi Model
Evaluasi Model
Volatilitas Harga Minyak Sawit Periode Januari 2005-Maret 2012
Volatilitas Harga Minyak Goreng Periode Januari 2005-Maret 2012
Dampak Kebijakan Bea Ekspor Minyak Sawit Terhadap Volatilitas
Harga Minyak Sawit
Dampak Kebijakan Bea Ekspor Minyak Sawit Terhadap Volatilitas
Harga Minyak Goreng
Dampak Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah
(PPN-DTP) Terhadap Volatilitas Harga Minyak Goreng

34
36
36
36
37
41
42
43
45
46
47

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

52

RIWAYAT HIDUP

85

viii

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan nilai ekspor dan pangsa ekspor komoditas unggulan
2 Luas areal dan produksi kelapa sawit menurut provinsi tahun 2011
3 Pangsa pasar 10 perusahaan minyak goreng terbesar di indonesia
4 Perkembangan Harga Minyak Sawit Periode 2005-2012
5 Deskripsi harga minyak goreng periode 2005-2012
6 Analisis korelasi harga minyak sawit dengan harga minyak goreng
7 Hasil uji autokorelasi kuadrat harga minyak sawit dan minyak goreng
8 Hasil uji ADF harga minyak sawit dan harga minyak goreng
9 Model ARIMA terbaik harga minyak sawit dan minyak goreng
10 Hasil uji efek arch model arima minyak sawit dan minyak goreng
11 Model ARCH-GARCH terbaik harga minyak sawit dan minyak goreng
12 Hasil uji kecukupan model ARCH-GARCH terbaik

2
28
32
34
35
36
37
38
39
40
40
41

DAFTAR GAMBAR
1 Pangsa konsumsi minyak nabati dunia
2 Pangsa produksi minyak nabati dunia
3 Pergerakan harga bulanan minyak sawit dan minyak goreng indonesia
4 Kurva Keseimbangan Pasar
5 Siklus model cobweb yang menuju titik keseimbangan (konvergen)
6 Siklus model cobweb yang menjauhi titik keseimbangan (diveregen)
7 Siklus model cobweb dengan fluktuasi yang jaraknya tetap
8 Dampak kebijakan pajak ekspor
9 Volatilitas harga minyak sawit setelah kebijakan bea keluar
10 Pergeseran kurva penawaran dengan adanya pajak
11 Dampak kebijakan pajak
12 Dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah
terhadap harga minyak goreng
13 Kerangka pemikiran operasional
14 Perkembangan luas areal kelapa sawit Indonesia. Tahun 2011 adalah
angka sementara dan tahun 2012, 2013, 2014 adalah angka estimasi
15 Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia. Tahun 2011 adalah
angka sementara dan tahun 2012, 2013, 2014 adalah angka estimasi
16 Pohon industri hilir kelapa sawit
17 Perkembangan harga minyak sawit dunia dan harga minyak mentah dunia
18 Ramalan harga minyak sawit dunia
19 Perkembangan harga minyak sawit periode Januari 2005-Maret 2012
20 Perkembangan harga minyak goreng periode Januari 2005-Maret 2012
21 Volatilitas harga minyak sawit periode Januari 2005-Maret 2012
22 Volatilitas harga minyak goreng periode Januari 2005-Maret 2012
23 Volatilitas harga minyak sawit periode sebelum dan sesudah kebijakan
bea ekspor sawit
24 Volatilitas harga minyak goreng sebelum dan sesudah kebijakan bea
ekspor sawit
25 Volatilitas harga minyak goreng sebelum dan sesudah kebijakan PPN-DTP

2
3
5
12
14
15
15
16
17
18
19
20
22
27
28
30
31
32
33
35
43
44
46
47
48

ix

DAFTAR LAMPIRAN
1

Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak sawit periode
3 Januari 2005-30 Maret 2012
2 Hasil Pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak goreng periode
3 Januari 2005 - 30 Maret 2012
3 Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak sawit sebelum
kebijakan bea ekspor minyak sawit (periode 3 Januari 2005-30 Maret
2010)
4 Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak sawit sesudah
kebijakan bea ekspor minyak sawit (periode 1 April 2010-30 Maret
2012)
5 Hasil Pengujian Autokorelasi Kuadrat Harga Minyak Sawit Sesudah
Kebijakan Bea Ekspor Minyak Sawit (Periode 1 April 2010-30 Maret
2012)
6 Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak goreng sesudah
kebijakan bea ekspor minyak sawit (periode 1 April 2010-30 Maret
2012)
7 Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak goreng sebelum
kebijakan PPN-DTP (periode analisis 3 Januari 2005-24 September
2007)
8 Hasil pengujian autokorelasi kuadrat harga minyak goreng sesudah
kebijakan PPN-DTP (periode analisis 25 September 2007-30 Maret
2012)
9a Hasil uji ADF harga minyak sawit periode 3 Januari 2005-30 Maret
2012 pada data level
9b Hasil uji ADF harga minyak sawit periode 3 Januari 2005 - 30 Maret
2012 pada data first difference
10a Hasil uji adf harga minyak goreng periode 3 Januari 2005 -30 Maret
2012 pada data level
10b Hasil uji ADF harga minyak goreng periode 3 Januari 2005 - 30 Maret
2012 pada data first difference
11a Hasil uji ADF harga minyak sawit sebelum kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data level
11b Hasil uji ADF harga minyak sawit sebelum kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data first difference
12a Hasil uji ADF harga minyak sawit sesudah kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data level
12b Hasil uji ADF harga minyak sawit sesudah kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data first difference
13a Hasil uji ADF harga minyak goreng sebelum kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data level
13b Hasil uji ADF harga minyak goreng sebelum kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data first difference
14a Hasil uji ADF harga minyak goreng sesudah kebijakan bea ekspor

53
54

55

56

57

58

59

60
61
61
61
62
62
62
63
63
63
64

x
minyak sawit pada data level
14b Hasil uji ADF harga minyak goreng sesudah kebijakan bea ekspor
minyak sawit pada data first difference
15a Hasil uji ADF harga minyak goreng sebelum kebijakan ppn-dtp
pada data level
15b Hasil uji ADF harga minyak goreng sebelum kebijakan ppn-dtp
pada data first difference
16a Hasil uji ADF harga minyak goreng sesudah kebijakan ppn-dtp
pada data level
16b Hasil uji ADF harga minyak goreng sesudah kebijakan ppn-dtp
pada data first difference
17 Model ARIMA terbaik harga minyak sawit periode Januari 2005-Maret
2012
18 Model ARIMA terbaik harga minyak goreng periode Januari 2005Maret 2012
19 Model ARIMA terbaik harga minyak sawit sebelum kebijakan bea
ekspor sawit
20 Model ARIMA terbaik harga minyak sawit sesudah kebijakan bea
ekspor sawit
21 Model ARIMA terbaik harga minyak goreng sebelum kebijakan bea
ekspor sawit
22 Model ARIMA terbaik harga minyak goreng sesudah kebijakan bea
ekspor sawit
23 Model ARIMA terbaik harga minyak goreng sebelum kebijakan
PPN-DTP
24 Model ARIMA terbaik harga minyak goreng sesudah kebijakan
PPN-DTP
25 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik minyak sawit
Januari 2005-Maret 2012
26 Hasil uji efek ARCH Model ARIMA terbaik harga minyak goreng
periode Januari 2005-Maret 2012
27 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak sawit
sebelum kebijakan bea ekspor sawit
28 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak sawit
sesudah kebijakan bea ekspor sawit
29 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak goreng
sebelum kebijakan bea ekspor sawit
30 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak goreng
sesudah kebijakan bea ekspor sawit
31 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak goreng
sebelum kebijakan PPN-DTP
32 Hasil uji efek ARCH model ARIMA terbaik harga minyak goreng
sesudah kebijakan PPN-DTP
33 Model ARCH-GARCH untuk minyak sawit periode Januari 2005Maret 2012
34 Model ARCH-GARCH untuk minyak goreng periode Januari 2005Maret 2012
35 Model ARCH-GARCH untuk minyak sawit periode sebelum

64
64
65
65
65
66
66
67
67
68
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81

xi
kebijakan bea ekspor sawit
36 Model ARCH-GARCH untuk minyak goreng periode sebelum
kebijakan bea ekspor sawit
37 Model ARCH-GARCH untuk minyak goreng periode sesudah
kebijakan PPN-DTP

82
81
82

1
 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Paradigma baru pembangunan pertanian adalah adanya perubahan dari
orientasi produksi kearah orientasi bisnis untuk peningkatan nilai tambah.
Paradigma baru tersebut mengarahkan pembangunan pertanian dimasa depan
tidak lagi melalui pendekatan usaha tani melainkan melalui pendekatan agribisnis.
Meningkatnya persaingan pada era globalisasi ekonomi saat ini, mendorong
pertanian di Indonesia untuk dapat bertransformasi menjadi suatu bidang yang
tidak hanya berkembang dalam peningkatan produksi tetapi juga dalam
pengembangan industri pertanian sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan
daya saing komoditas pertanian Indonesia.
Agribisinis sebagai suatu sistem dibangun oleh subsistem-subsistem yang
melibatkan usaha dibidang pertanian meliputi subsistem agribisnis hulu,
subsistem usaha tani, subsistem hilir, dan subsistem penunjang. Subsistem hulu
mencakup usaha bisnis yang menghasilkan sarana produksi pertanian, subsistem
usaha tani adalah proses menghasilkan komoditas pertanian, dan subsistem hilir
merupakan usaha yang mengolah dan memasarkan komoditi pertanian sampai
kepada konsumen. Subsistem tersebut bekerja dalam suatu mata rantai yang saling
berkaitan satu sama lain yang didukung oleh subsistem penunjang melalui
kebijakan, permodalan, penelitian dan pengembangan, serta penyuluhan dan
pelatihan. Pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem memerlukan adanya
sinergi antar subsistem yang terlibat sehingga dapat bekerja secara terkoordinasi
dan tidak bekerja secara parsial.
Pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem memprioritaskan pada
peningkatan dan penciptaan nilai tambah komoditas petanian. Salah satu
komoditas pertanian Indonesia yang penting dalam rangka pengembangan sistem
agribisnis untuk penciptaan nilai tambah adalah komoditas kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia yang memiliki
peranan penting sebagai sumber devisa negara yang berasal dari sektor pertanian.
Kelapa sawit sebagai salah satu komoditas utama subsektor perkebunan
memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan devisa negara diantara 15
komoditas unggulan Kementerian Pertanian. Besaran nilai ekspor kelapa sawit
melebihi setengah dari total nilai ekpsor komoditas unggulan pertanian pada
beberapa tahun terakhir. Ekspor kelapa sawit tersebut sebagian besar berupa
minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan sisanya berupa produk turunannya
yaitu olein dan biodiesel.
Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia
saat ini. Kontribusi Indonesia terhadap suplai minyak sawit dunia tahun 2011
adalah 46.2 persen dari total suplai dunia, lebih tinggi dari Malaysia yang
kontribusinya sebesar 43.0 persen. Negara penyuplai minyak sawit lainnya adalah
Papua New Guinea 1.3 persen, Thailand 1.1 persen dan sisanya 8.4 persen dari
negara-negara lainnya (USDA, 2012). Suplai minyak sawit Indonesia dan
Malaysia mencapai 89 persen terhadap suplai dunia. Kondisi ini memperlihatkan
pentingnya posisi Indonesia dalam perdagangan minyak sawit dunia.

 
 

2
 

Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor dan pangsa ekspor komoditas unggulana
2009
Komoditas

Nilai ekspor
(000 US$)

Daging sapi
Jahe
Kakao

21.0
3 391.0
1 413 441.2

Karet
Kelapa sawit
Kopi
Mangga
Manggis

3 195 324.2
11 628 125.2
824 015.3
2 071.9
6 451.9

2011b

2010
%

Nilai ekspor
(000 US$)

0.0001
0.02
8.22

0.6
3 467.4
1 643 648.5

18.57 7 178 782.4
67.59 15 463 742.3
4.79
814 310.7
0.01
1 674.9
0.04
8 754.4

Nilai ekspor
(000 US$)

%
0.000003
0.01
6.51

%

13.7
1 050.5
1 042 362.6

0.00005
0.004
3.72

28.42 10 213 064.3
61.22 15 706 804.9
3.22
894 641.2
0.01
1 823.3
0.03
5 736.5

36.45
56.06
3.19
0.01
0.02

Pisang
Susu
Kunyit
Ubi kayu
Beras

199.8
76 893.9
69.8
31 470.6
596.5

0.001
0.45
0.0004
0.18
0.003

48.3
72 269.0
235.9
49 291.1
578.4

0.0002
0.29
0.001
0.20
0.002

792.4
56 813.6
34.8
74 301.5
428.4

0.003
0.20
0.0001
0.27
0.002

Jagung
Kedelai

14 285.9
7 691.2

0.08
0.04

11 908.0
9 898.0

0.05
0.04

8 826.5
9 261.8

0.03
0.03

a

Sumber: Diolah dari Ditjen PPHP Kementerian Pertanian (2012); bData sampai Oktober.

Industri minyak sawit memiliki prospek yang cerah dalam persaingan
dengan minyak nabati lainnya. Terdapat 14 jenis minyak nabati lainnya yang
masing-masing saling bersubstitusi dengan minyak sawit (Pahan, 2008). Minyak
sawit merupakan minyak nabati terbesar yang dikonsumsi dan diproduksi saat ini,
diikutiminyak kedelai, minyak kanola dan minyak biji bunga matahari. Data
Kementerian Peridustrian (2009) memperlihatkan konsumsi minyak sawit mulai
menggeser konsumsi minyak kedelai sejak periode 2003-2007 dan terus berlanjut
hingga saat ini. Pangsa konsumsi minyak sawit adalah 22.5 persen dari konsumsi
minyak nabati dunia, dikuti konsumsi minyak kedelai sebesar 19 persen.

Gambar 1 Pangsa konsumsi minyak nabati dunia
(Sumber: Kementerian Perindustrian, 2009)
 
 

3
 

Pertumbuhan produksi minyak sawit dunia juga mengalami kenaikan dan
mulai menggeser produksi minyak kedelai sejak periode tahun 1998-2002. Pangsa
produksi minyak sawit pada periode tersebut mencapai 12.4 persen dari total
produksi minyak nabati, sedangkan minyak kedelai sebesar 11.9 persen.
Kementerian Peridustrian (2009) memperkirakan kondisi demikian masih akan
terus berlanjut hingga tahun 2020.

Gambar 2 Pangsa produksi minyak nabati dunia
(Sumber: Kementerian Perindustrian, 2009)
Terjadinya pergeseran konsumsi dan produksi minyak nabati dunia dari
minyak kedelai ke minyak sawit disebabkan karena terjadinya perubahan iklim
global yang mengakibatkan kekeringan di negara produsen utama kedelai
sehingga produksi kedelai mengalami penurunan. Akibatnya terjadi
ketidakseimbangan suplai dan permintaan minyak kedelai sehingga harganya
semakin meningkat. Hal ini mendorong konsumen beralih mengkonsumsi minyak
sawit sebagai produk substitusi minyak kedelai untuk memenuhi kebutuhan
minyak nabati. Selain itu, harga minyak sawit relatif lebih rendah dibandingkan
minyak kedelai karena minyak sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi
serta biaya produksi yang lebih efisien dibandingkan minyak kedelai. Kondisi
demikian ikut mendorong pergeseran konsumsi minyak nabati dari minyak
kedelai ke minyak sawit.
Potensi yang cukup besar di sektor hulu industri minyak sawit serta prospek
industri minyak sawit yang cukup cerah menjadi faktor pendorong tumbuh dan
berkembangnya sistem agribisnis sawit di Indonesia. Pengembangan sistem
agribisnis sawit memprioritaskan pada penciptaan dan peningkatan nilai tambah
berbasis komoditas sawit yang lebih berdaya saing. Salah satu industri hilir
berbasis minyak sawit yang penting dan dominan di Indonesia adalah industri
minyak goreng. Industri minyak goreng menggunakan minyak sawit sebagai
bahan baku utama dalam proses produksi. Menurut KPPU (2010), sebesar 87
persen biaya produksi pengolahan minyak goreng merupakan biaya bahan baku
minyak sawit.
Minyak goreng memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian
nasional karena termasuk salah satu dari sembilan kebutuhan bahan pokok yang
penting bagi masyarakat. Minyak goreng sebagian besar digunakan sebagai media
pengolahan makanan yang akan dikonsumsi. Seiring bertambahnya jumlah
 
 

4
 

penduduk Indonesia, konsumsi minyak goreng untuk memasak cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari BPS (2011), jumlah
konsumsi minyak goreng masyarakat Indonesia pada tahun 2008 sebesar 9.6
kg/kapita/tahun, dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan mencapai 10.7
kg/kapita/tahun.
Pertumbuhan jumlah penduduk juga mendorong semakin berkembangnya
industri makanan yang menggunakan minyak goreng. Data Kementerian
Perindustrian (2011) menyebutkan bahwa secara nasional jumlah konsumsi
minyak goreng pada tahun 2011 sebesar 5.22 juta ton. Sebesar 62.10 persen di
antaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen rumah tangga, dan
sisanya 37.90 persen untuk memenuhi kebutuhan konsumen industri makanan.
Konsumsi pada tahun 2011 meningkat 63.12 persen dari konsumsi tahun 2008
yang hanya sebesar 3.2 juta ton. Konsumsi tersebut telah terpenuhi dari industri
minyak goreng domestik karena Indonesia telah berswasembada minyak goreng,
bahkan mengalami surplus yang secara konsisten meningkat terus dari tahun ke
tahun (Sumaryanto dan Rantetana, 1996). Surplus produksi minyak goreng pada
tahun 2008 mencapai 4.5 juta ton dan surplus tersebut diekspor ke negara lain.
Kondisi surplus minyak goreng serta posisi penting Indonesia sebagai
produsen minyak sawit terbesar di dunia tidak serta merta menjamin harga yang
rendah dan stabil pada komoditas minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak
goreng berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Gejolak yang terjadi
dapat menimbulkan dampak sosial, politik, dan ekonomi secara nasional. Oleh
sebab itu, minyak goreng menjadi salah satu komoditas yang penting untuk
dikendalikan pemerintah karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Terkait dengan posisi strategis yang dimiliki industri berbasis komoditas
sawit Indonesia, maka penting untuk memberi perhatian kebijakan holistik pada
keseluruhan sistem agribisnisnya. Koordinasi dan keterhubungan antar bagian
dalam keseluruhan sistem perlu mendapat perhatian, demi keberlanjutan sistem.
Secara lebih khusus, keterhubungan yang dimaksud adalah sebuah mekanisme
organisasional yang memungkinkan subsistem mendapatkan insentif dan bekerja
sinergis membantu subsistem lain sehingga menghasilkan kinerja sistem yang
memberi manfaat bagi semua stakeholder pelaku bisnis di sektor ini.
Berdasarkan konteks itulah diperlukan informasi ekonomi yang terkait
dengan kinerja sistem agribisnis minyak sawit Indonesia. Informasi ekonomi yang
dimaksud diantaranya adalah, struktur rantai nilai, efisiensi rantai pasokan, sistem
harga dan kinerja pasar. Salah satu informasi tentang kinerja pasar yang penting
adalah tingkat volatilitas harga, yakni informasi tentang besaran variasi
perkembangan harga antar waktu. Informasi tentang volatilitas bisa menjadi input
penting bagi lahirnya kebijakan yang efektif dan relevan dengan sistem ekonomi
yang berlaku.
Hingga saat ini, pemerintah telah melakukan intervensi melalui berbagai
kebijakan terhadap komoditas minyak goreng serta bahan bakunya yaitu minyak
sawit. Salah satu tujuan dari kebijakan-kebijakan ini adalah untuk melakukan
stabilisasi harga minyak goreng. Kebijakan yang pernah dilakukan antara lain
kebijakan pada sisi input (minyak sawit) meliputi Domestic Market Obligation
(DMO) dan pajak ekspor progresif, serta kebijakan pada sisi output (minyak
goreng) mencakup kebijakan operasi pasar, pajak pertambahan nilai ditanggung
pemerintah, dan kebijakan minyakita (KPPU, 2010).

 
 

5
 

Terkait dengan hal di atas maka sangat penting dilakukan analisis yang
menyangkut kebijakan yang telah diambil pemerintah. Kajian ini diperlukan untuk
memberi masukan apakah kebijakan yang telah diambil telah sesuai, tepat sasaran,
atau tidak. Konsekuensi dari itu, analisis kebijakan akan memberi landasan
tentang pentingnya atau perlu tidaknya opsi baru penggunaan instrumen kebijakan
untuk menggantikan kebijakan yang ada.
Paparan di atas menjelaskan pentingnya studi volatilitas harga dan relevansi
analisis kebijakan terkait. Dua alasan ini menjadi landasan yang menunjukkan
pentingnya arti penelitian dimaksud bagi agribisnis kelapa sawit Indonesia.

Perumusan Masalah
Pergerakan harga minyak sawit dan minyak goreng di dalam negeri dalam
beberapa tahun terakhir semakin tak menentu dan cenderung volatil. Volatilitas
harga minyak goreng maupun harga minyak sawit terlihat dari harga yang tidak
stabil. Harga meningkat dengan cepat dan sangat tajam khususnya pada periode
krisis finansial global, dan tidak berselang lama harga tersebut turun dengan
drastis.
Harga minyak sawit relatif rendah dan stabil sampai dengan pertengahan
tahun 2007. Kondisi demikian berubah memasuki akhir tahun 2007 yang
memperlihatkan adanya peningkatan harga. Harga minyak sawit kian meningkat
dengan sedikit variasi sepanjang tahun 2008 dan mencapai puncaknya pada bulan
maret 2008. Harga tertinggi minyak sawit terjadi pada tanggal 4 Maret 2008 yang
mencapai Rp 11 969 per kilogram. Meskipun terjadi penurunan harga pada awal
tahun 2009, namun harga kembali meningkat tajam dan fluktuatif pada periode
berikutnya.
Fluktuasi harga yang sangat tajam pada periode krisis global tahun 2007 dan
2008 belum menemukan tingkat keseimbangan baru pada harga minyak sawit.
Pasca krisis global, harga minyak sawit terlihat lebih rentan dibandingkan
sebelum terjadinya krisisi global. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini.

Gambar 3 Pergerakan harga bulanan minyak sawit dan
minyak goreng indonesia
( Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012)
 
 

6
 

Fenomena gejolak harga minyak sawit secara langsung mempengaruhi
terjadinya gejolak harga minyak goreng di Indonesia. Pergerakan harga yang
terjadi pada komoditas minyak sawit, diikuti pula oleh harga minyak goreng
dengan pola yang hampir sama. Jika harga minyak sawit mencapai level tertinggi
pada bulan maret 2008, hal yang sama juga terjadi pada harga minyak goreng.
Harga minyak goreng tertinggi terjadi pada tanggal 10 maret 2008 yang mencapai
Rp 13 131 per kilogram. Hal ini dapat terjadi karena minyak sawit merupakan
bahan baku utama dalam memproduksi minyak goreng sehingga menjadi
komponen terbesar dalam menentukan harga minyak goreng.
Berbagai pihak seperti pemerintah, petani sawit, produsen minyak sawit,
produsen minyak goreng, serta konsumen minyak goreng, berkepentingan
terhadap harga minyak sawit maupun harga minyak goreng yang stabil. Bagi
pemerintah, stabilisasi harga minyak sawit dan minyak goreng dapat mencegah
terjadinya gejolak sosial, politik, dan ekonomi secara nasional. Sementara itu bagi
petani kelapa sawit, produsen minyak sawit, dan produsen minyak goreng, gejolak
harga minyak sawit merupakan faktor risiko yang harus dihadapi yang akan
mempengaruhi pengambilan keputusan.
Di sisi lain, stabilisasi harga minyak goreng tentunya juga penting bagi
konsumen. Stabilisasi harga minyak goreng akan berpengaruh secara langsung
pada struktur pengeluaran rumah tangga konsumen. Dampaknya akan terasa
semakin signifikan oleh masyarakat miskin ataupun industri kecil yang banyak
menggunakan minyak goreng.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menciptakan harga yang
stabil. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan di sisi input (minyak sawit) dan
kebijakan di sisi output (minyak goreng). Salah satu kebijakan disisi input adalah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011l/2010 tentang penetapan bea
keluar untuk minyak sawit secara progresif mengikuti harga minyak sawit
internasional. Kebijakan ini dimaksudkan dalam rangka menjamin ketersediaan
bahan baku minyak sawit untuk industri minyak goreng dalam negeri dalam
rangka stabilisasi harga bahan baku yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap stabilisasi harga minyak goreng.
Selanjutnya, salah satu kebijakan stabilisasi harga di sisi output/minyak
goreng yaitu kebijakan pembebasan pajak pertambahan nilai atau pajak
pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP) yang diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 188/011/2007. Kebijakan PPN-DTP adalah
pajak terutang suatu perusahaan, baik swasta maupun BUMN yang ditanggung
pemerintah melalui penyediaan anggaran dalam subsidi pajak. Kebijakan tersebut
dilaksanakan pemerintah dalam rangka mendorong investasi di sektor hilir
khususnya industri minyak goreng sehingga dapat menjaga stabilisasi harga
minyak goreng. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut menjadi menarik
untuk menganalisis bagaimana pola volatilitas harga minyak sawit dan minyak
goreng sebelum dan sesudah adanya kebijakan tersebut.
Secara ringkas perumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana volatilitas harga minyak sawit dan minyak goreng Indonesia?
2. Bagaimana dampak kebijakan bea ekspor minyak sawit terhadap volatilitas
harga minyak sawit dan minyak goreng?

 
 

7
 

3. Bagaimana dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah
(PPN-DTP) terhadap volatilitas minyak goreng?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis volatilitas harga minyak sawit dan minyak goreng.
2. Menganalisis dampak kebijakan bea ekspor minyak sawit terhadap volatilitas
harga minyak sawit dan minyak goreng.
3. Menganalisis dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung
pemerintah (PPN-DTP) terhadap volatilitas minyak goreng.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain:
1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk
mengatasi masalah penelitian.
2. Bagi dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi dalam
melakukan analisis yang terkait dengan volatilitas harga.
3. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pengambilan kebijakan strategis untuk stabilisasi pasar minyak
goreng dan meredam gejolak harga yang terjadi pada komoditas minyak
goreng.

Batasan Penelitan
Batasan dan ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Minyak goreng yang dianalisis dalam penelitian ini difokuskan pada minyak
goreng sawit.
2. Minyak goreng sawit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah minyak
goreng curah karena tingginya konsumsi minyak goreng curah di Indonesia.

 
 

8
 

2 TINJAUAN PUSTAKA
Volatilitas Harga Komoditas Pertanian
Karakteristik komoditas pertanian pada umumnya memiliki tingkat
volatilitas yang tinggi. Menurut Tangerman (2011) ada tiga alasan yang dapat
menjelaskan hal ini yaitu: (1) produksi pertanian bervariasi dari waktu ke waktu
akibat faktor alam seperti cuaca dan hama, (3) elastisitas harga pada permintaan
dan penawaran relatif kecil, khusus pada sisi penawaran terjadi dalam jangka
pendek, dan (3) produksi sangat bergantung pada waktu sehingga penawaran tidak
dapat terlalu merespon perubahan harga dalam jangka pendek, walaupun hal itu
dapat dilakukan disaat siklus produksi telah tercapai. Selain faktor alami dan
kondisi elastisitas permintaan dan penawaran tersebut, Jordaan et al (2007)
menambahkan bahwa tingkat volatilitas harga produk pertanian juga dapat
disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume perdagangan, saham
perdagangan, dan nilai tukar.
Volatilitas harga komoditas pertanian cenderung meningkat dalam beberapa
dekade terakhir. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Matthews (2010) dan
Gilbert (2006). Matthews (2010) menemukan bahwa volatilitas harga pada
komoditas pertanian meningkat sepanjang waktu. Kemudian Gilbert (2006)
menunjukkan bahwa volatilitas harga komoditas pertanian yang rendah pada
periode 1960-an, namun terjadi peningkatan pada 1970-an dan paruh pertama
1980-an. Meskipun volatilitas harga ditemukan turun pada paruh kedua 1980-an
dan 1990-an, akan tetapi tetap masih berada jauh di atas tingkat volatilitas pada
tahun 1960-an. Komoditas pertanian yang mengalami peningkatan volatilitas yang
signifikan pada periode tahun 2007-2009 menurut penelitian Gilbert (2006) adalah
komoditas minyak kacang tanah, kacang kedelai, dan minyak kacang kedelai.
Volatilitas harga komoditas pertanian juga dipengaruhi oleh situasi politik
yang terjadi di suatu negara sehingga volatilitas harga yang terjadi pada suatu
waktu dapat berbeda dengan waktu yang lain. Hal ini terungkap dari hasil
penelitian Sumaryanto (2009) yang menemukan bahwa volatilitas harga eceran
beberapa komoditas pertanian di Indonesia lebih volatil pada periode setelah
reformasi tahun 1998 dibandingkan periode sebelum reformasi. Komoditas
tersebut diantaranya beras, tepung terigu, dan gula pasir. Namun, pada komoditas
cabai merah dan bawang merah, perbedaan volatilitas harga antara kedua periode
tersebut tidak nyata.
Sumaryanto (2009) juga menjelaskan bahwa untuk komoditas beras, kondisi
yang sangat tidak stabil (sangat volatil) terjadi pada periode krisis ekonomi yang
melanda Indonesia yaitu Desember 1997 sampai Februari 1999 (14 bulan), dan
puncaknya terjadi pada Juni 1998 sampai Desember 1998. Sementara itu, puncak
volatilitas harga untuk beberapa komoditas pangan lainnya juga terjadi pada
periode krisis ekonomi, yaitu tepung terigu pada Februari 1998-Juni 1999 (16
bulan) dan puncaknya terjadi bulan April 1998-Januari 1999 (9 bulan), gula pasir
pada Februari 1998-November 1998 (9 bulan) dan puncaknya terjadi bulan
Februari 1998-Agustus 1998 (6 bulan), cabai merah terjadi pada Juni 1998 - Mei
1999 (11 bulan) dan puncaknya terjadi pada Desember 1998-Maret 1999 (3
bulan), dan bawang merah terjadi pada Januari 1998-Maret 1999 (14 bulan) dan
 
 

9
 

mencapai puncaknya pada April 1998-November 1998 (7 bulan). Hal yang
menarik dari hasil penelitian tersebut adalah secara empiris terbukti bahwa sejak
reformasi harga komoditas pangan semakin volatil, sehingga kondisi tersebut
menunjukkan adanya pengaruh stabilitas sosial politik terhadap volatilitas harga
komoditas pangan. Di samping itu perubahan sistem perdagangan dan kebijakan
yang mengarah ke sistem pasar yang lebih liberal sejak reformasi juga berdampak
pada volatilitas harga komoditas pangan.

Tinjauan Kebijakan Tentang Volatilitas Harga Komoditas Pertanian
Pemerintah memiliki peranan yang besar dalam menetapkan kebijakan yang
mampu mengatasi masalah volatilitas harga pada komoditas pertanian. OECDFAO (2011) menjelaskan bahwa kebijakan yang koheren diperlukan untuk upaya
mengurangi volatilitas dan membatasi dampak negatifnya. kebijakan tersebut
terdiri atas: (1) mitigasi volatilitas melalui peningkatan transparansi pasar,
perbaikan informasi global dan nasional serta peningkatan sistem pengawasan
terhadap prospek pasar, dan (2) pengelolaan volatilitas melalui mekasnisme jaring
pengaman sosial untuk membantu konsumen yang paling rentan ketika harga
pangan naik. Lebih lanjut, Achsani et al. (2011) menguraikan bahwa kebijakan
yang dapat diterapkan untuk mengurangi efek volatilitas harga adalah melalui
pengadaan persediaan barang, ketentuan terkait barang-barang publik,
pengumpulan cadangan modal yang bukan merupakan bantuan luar negeri. Jenis
kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengatasi volatilitas harga adalah
kebijakan gabungan dan mengurangi hambatan ekspor, dan selanjutnya juga
dibutuhkan stabilitas pada pasar berjangka di setiap negara (pasar jangka
regional).
Bagi negara berkembang, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam mengatasi volatilitas harga menurut Jordaan et al (2007) adalah
berusaha meminimalisasi campur tangan secara langsung karena hal ini
menyebabkan beberapa kerugian. Kerugian yang dimaksud yaitu kemungkinan
tujuan yang tidak tercapai, tingginya biaya, permasalahan di pasar internasional.
Komunitas donor internasional dapat menciptakan kontribusi yang penting dalam
mempersiapan negara berkembang dalam merespon volatilitas harga khususnya
pangan dengan cara membantu produsen pada saat krisis bahan bangan,
mendirikan infrastruktur dan institusi yang memungkinkan pemerintah dan
produsen untuk mengatur risiko, misalnya melalui pasar berjangka yang bisa
meminimalisasi akibat dari risiko. Untuk mendukung kebijakan pemerintah terkait
upaya mengatasi fluktuasi harga maka tingkat pengetahuan terhadap pola
volatilitas menjadi faktor penting dalam mempengaruhi tingkat keberhasilan.
Menurut Tangerman (2011) upaya perlindungan pasar domestik terhadap
fluktuasi harga internasional melalui kebijakan stabilisasi oleh pemerintah hanya
akan memperburuk volatilitas di pasar internasional. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa tidak ada cara yang efektif dalam menanggulangi prilaku harga pasar
komoditas pertanian. Cara yang mungkin dilakukan adalah meminimalisasi
volatilitas. Alternatif kebijakan yang dapat diterapkan adalah dengan menciptakan
peraturan pasar berjangka yang lebih baik.

 
 

10
 

Jika ditinjau pada ruang lingkup Indonesia, Arifin (2011) dan Daryanto
(2010) memiliki pendapat yang berbeda, yaitu bahwa keterlibatan pemerintah
melalui berbagai instrumen kebijakan perlu dilakukan untuk mengatasi volatilitas
harga. Arifin (2011) menjelaskan bahwa untuk mengurangi volatilitas harga
pangan tersebut, Indonesia memerlukan kebijakan yang mampu meningkatkan
keberfungsian dari sistem ekonomi yang dijalankannya serta memperkuat
ketahanan negara dalam menanggulangi berbagai dampak buruk yang ditimbulkan
karena volatilitas harga pangan yang ekstrem. Sementara itu, Daryanto (2010)
menjelaskan untuk mengatasi fluktuasi harga yang akan terus berulang maka
penting dilakukan upaya pengelolaan logistik yang efektif, perbaikan infrastruktur
pemasaran, perbaikan saluran pemasaran, perbaikan informasi pasar, dan
pengembangan agroindustri yang menciptakan nilai tambah berbasis perubahan
bentuk (form utility).

Metode dan Model dalam Analisis Volatilitas
Volatilitas pada umumnya berhubungan dengan suatu perubahan yang cepat
dalam setiap periode. Beberapa ukuran volatilitas dan risiko didasarkan pada
penilaian ragam, standar deviasi, dan koefisien variasi (Anderson et al., 1977).
Berbagai model telah dikembangkan dalam penelitian analisis volatilitas. Salah
satunya adalah model autoregressive conditional heteroscedasticity/generalized
autoregressive conditional heteroscedasticity (ARCH-GARCH). Model ARCHGARCH telah digunakan dalam beberapa penelitian di berbagai bidang
diantaranya keuangan dan pertanian.
Penelitian volatilitas dengan menggunakan model ARCH-GARCH di
bidang keuangan telah dilakukan oleh Nastiti dan Suharsono (2012). Penelitian ini
ini menganalisis return saham dan volatilitas lima saham perusahaan go public
yang termasuk dalam LQ 45 dengan kapitalisasi besar di Indonesia selama periode
Februari 2011 sampai Januari 2012. Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan
karakteristik return saham dan model volatilitas return saham dengan metode
ARCH-GARCH. Hasil penelitian menunjukkan return harian saham lima
perusahaan go public menunjukkan keadaan yang berfluktuasi selama periode
pengamatan Februari 2011 sampai dengan Januari 2012. Berdasarkan pemodelan
volatilitas saham, hanya terdapat dua saham perusahaan yang memiliki model
ARCH-GARCH yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Semen Gresik
Tbk. ANTM memiliki model volatilitas GARCH (1,1) sedangkan SMGR
memiliki model volatilitas ARCH (1).
Penelitian yang dilakukan Engel (2001) menerapkan metode ARCH dan
GARCH dalam analisis time series. Engel menyimpulkan bahwa penerapan
ARCH-GARCH terbukti sukses terutama dalam analisis volatilitas bidang
keuangan. Implikasi metode ARCH-GARCH terhadap pengambilan keputusan
akhir adalah berdasarkan pada risiko dan penerimaan sehingga dapat dijadikan
bahan pertimbangan untuk membuat sebuah keputusan ekonomi.
Analisis volatilitas terhadap variabel ekonomi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan model ARCH-GARCH seperti dalam penelitian Asmara (2011).
Penelitian ini menganalisis tingkat volatilitas harga minyak dunia, harga ekspor
industri, suku bunga riil dan devaluasi riil. Hasil yang diperoleh menunjukkan

 
 

11
 

bahwa sejumlah variabel ekonomi yang dianalisis menunjukkan tingkat volatilitas
yang bervariasi antar waktu (time varying). Volatilitas harga minyak dunia
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Sementara itu, volatilitas
harga ekspor industri menunjukkan pola yang beragam. Harga ekspor industri besi
baja menunjukkan tingkat volatilitas yang lebih besar dibandingkan harga ekspor
industri lainnya. Adapun variabel suku bunga riil, tingkat volatilitas yang dicapai
relatif berfluktuasi pada nilai rataan volatilitasnya. Model volatilitas yang
diperoleh adalah GARCH (1,1) untuk harga minyak bumi, ARCH (1) untuk harga
ekspor industri minyak dan lemak, GARCH (1,1) untuk harga ekspor industri besi
dan baja, ARCH (1) untuk harga ekspor industri tekstil dan GARCH (1,1) untuk
suku bunga riil
Model ARCH-GARCH tidak hanya diaplikasikan pada bidang keuangan
dan ekonomi. Model ARCH-GARCH saat ini juga umum digunakan untuk
menganalisis volatilitas di bidang pertanian. Penggunaan model ARCH-GARCH
di bidang pertanian diantaranya dilakukan melalui penelitian Sumaryanto (2009),
Sari (2009) dan Fariyanti (2008)
Penelitian Sumaryanto (2009) menggunakan model ARCH-GARCH untuk
melakukan analaisis volailitas beberapa komoditas pangan. Model ini dipilih
dengan alasan ragam (variance) harga eceran terdeflasi untuk komoditas beras,
gula pasir, terigu, cabai merah, dan bawang merah bersifat heterosketastik
sehingga model persamaan yang lebih sesuai adalah ARCH-GARCH. Model
terbaik untuk harga eceran beras, cabai merah, dan bawang merah adalah ARCH
(1), sedangkan untuk harga eceran tepung terigu dan gula pasir adalah GARCH
(1.1).
Sari (2009) menggunakan model ARCH/GARCH untuk menghitung risiko
harga cabai merah keriting dan cabai merah besar. Model ARCH/GARCH dipilih
karena data deret waktu harga cabai mempunyai ragam sisaan (variance) yang
tidak konstan (heteroskedastisitas). Model terbaik pada cabai merah keriting
adalah ARCH (1) GARCH (2), artinya pola pergerakan harga cabai merah
keriting dipengaruhi oleh volatilitas satu hari sebelumnya dan variance pada dua
hari sebelumnya. Adapun model terbaik pada cabai merah besar adalah ARCH (1)
GARCH (1), artinya pola pergerakan harga cabai merah besar dipengaruhi oleh
volatilitas pada satu hari sebelumnya dan variance pada satu hari sebelumnya.
Selnjutnya, penelitian Fariyanti (2008) menggunakan metode ARCHGARCH dalam menentukan risiko produksi yang didasarkan pada nilai ragam
(variance) produksi yang diperoleh dari hasil pendugaan persamaan produksi dan
variance produksi. Model terbaik yang ditemukan adalah model GARCH (1.1).
Model tersebut dipilih karena dapat mengakomodasi dalam menghadapi
permasalahan risiko produksi.
Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian tersebut, maka model ARCHGARCH merupakan model yang sesuai untuk melakukan analisis volatilitas harga
menggunakan data time series. Karena itu, penelitian ini dilakukan menggunakan
model tersebut untuk menghitung volatilitas harga minyak sawit dan volatilitas
harga minyak goreng.

 
 

12
 

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Keseimbangan Pasar
Menurut Baye (2010), pembentukan harga keseimbangan pasar ditentukan
oleh interaksi antara pemintaan dan penawaran pasar. Harga keseimbangan adalah
harga ketika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Secara
matematis, keseimbangan pasar dapat dituliskan sebagai berikut:
Qd (Pe) = Qs (Pe)
dimana Qd adalah jumlah barang yang diminta pada tingkat harga P
Qs adalah jumlah barang yang ditawarkan pada tingkat harga P
Pe adalah harga keseimbangan
Proses terbentuknya harga keseimbangan pasar yaitu adanya interkasi kurva
permintaan dan kurva penawaran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Jika P
adalah harga barang dan Q adalah jumlah barang, maka untuk melihat bagaimana
harga ditentukan dijelaskan sebagai berikut. Misalkan harga barang adalah PL.
Pada harga ini konsumen berharap membeli Q1 unit barang (titik B). Sementara
itu, pada harga PL produsen hanya bersedia memproduksi di titik Q0 (titik A),
sehingga ketika harga PL terdapat kekurangan barang (shortage) yang berarti
barang yang ditawarkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada
kondisi terjadinya kekurangan terdapat kecenderungan peningkatan harga. Oleh
karena terjadinya peningkatan harga dari PL ke Pe, produsen memiliki insentif
untuk meningkatkan output dari Q0 ke Qe. Jika harga meningkat konsumen akan
membeli dalam jumlah yang lebih sedikit. Ketika harga meningkat menjadi Pe,
jumlah barang yang diminta menjadi Qe. Pada harga ini, jumlah permintaan sama
dengan jumlah penawaran.
Harga
S

Surplus
PH

G

F

Pe
PL

O

A
Q0

B
Shortage
Qe

D
Q1

Kuantitas

Gambar 4 Kurva Keseimbangan Pasar
(Sumber: Baye, 2010)

 
 

13
 

Selanjutnya, jika harga berada pada tingkat yang lebih tinggi yaitu PH,
menunjukkan bahwa konsumen bersedia untuk membeli Q0 jumlah barang (titik
F). Namun produsen bersedia memproduksi pada Q1 unit pada tingkat harga ini
(titik G), sehingga ketika harga PH terdapat kelebihan barang (surplus) karena
perusahaan memproduksi lebih banyak dari yang dapat mereka jual. Jika terjadi
kelebihan (surplus) terdapat kecenderungan harga untuk turun. Oleh karena harga
turun dari PH ke Pe, produsen memiliki insentif untuk mengurangi jumlah yang
ditawarkan menjadi Qe. Pada kondisi harga ini konsumen bersedia untuk membeli
lebih banyak barang sehingga jumlah pe