Mekanisme penularan kusta Imunopatogenesis kusta

Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga 13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30 o C hingga 33 o C. Pemeriksaan mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars globi yang terletak intraseluler dan ekstraseluler Rees dan Young, 1994. Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M IgM yang ditemukan pada 60 kusta tipe TT dan 90 kusta tipe LL Mahapatra et al, 2008.

2.1.4 Mekanisme penularan kusta

Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama dibandingkan tipe pausi basiler PB, namun semua kasus kusta aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial. Saluran pernafasan terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting. Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang lama nara kontak serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko Thorat et al, 2010. Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen HLA-DR2 dan gen non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB Thorat et al, 2010. Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air susu ibu ASI. Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak Thorat et al, 2010.

2.1.5 Imunopatogenesis kusta

Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor patogen M. leprae, faktor host usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik, lingkungan kelembaban, daerah endemis, dan sosial lingkungan padat, pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang. Faktor patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis Sekar, 2010. Komponen imunogenik M. leprae yaitu polisakarida yang menginduksi respon imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan antigen yang disekresikan oleh sel mikobakteri Bryceson, 1990. Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas respon imunitas seluler host. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 Th 1 pada kulit dan saraf, menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th 2 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae Modlin, 2010. Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae diawali masuknya patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik, kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga sistem fagositosis makrofag merupakan barier pertama untuk melawan M. leprae Modlin, 2010. Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang melibatkan aktivasi TRLs, TGF- , jalur regulasi TNF-, dan jalur yang diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 Lastoria, 2014. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1CD35, CR3 CD11bCD18, dan CR4 CD11cCD18, serta diregulasi oleh protein kinase. Sistem fagositosis makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 IL-12 dan IL-10. Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon imun seluler dan humoral terhadap M. leprae, sehingga muncul perkembangan penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau lepromatosa. Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1- - hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba katelisidin untuk membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu aktivasi nuclear transcription factor  NF yang berperan dalam proses transkripsi berbagai gen pada respon imun Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000. Sitokin proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF-  yang berperan mempertahankan toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi, diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit. Aktivasi TGF-  ini mengontrol inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap patogen. Aktivasi TGF-  memicu protein SMAD3 yang berfungsi sebagai koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti Lastoria, 2014. Makrofag teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF-  yang dapat menginduksi inducible nitric oxide species iNOS dan nitric oxide NO yang berperan untuk membunuh M. leprae Lastoria, 2014. Gambar 2.1 Jalur metabolik respon imun pada kusta Lastoria, 2014

2.1.6 Penegakan diagnosis dan klasifikasi kusta