Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

(1)

126

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anoraga, Pandji dan Ninik Widyanti. Dinamika Koperasi. Jakarta: Rineka Citra, 2007.

Asshiddiqie, Jimly. Kostitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Baswir, Revirisond. Koperasi Indonesia. Yogyakarta: BPPE, 1997.

Farida Hatta Swasono, Meutia. Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Rinneka Cipta, 2012.

Hendrojogi. Koperasi: Asas-Asas, Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Kartasapoetra, G dan A.G. Kartasapoetra. Koperasi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Koermen. Manajemen Koperasi Terapan. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2003. Mulhadi. Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia. Medan:

Galia Indonesia, 2010.

Mutis, Thobi. Pengembangan Koperasi. Jakarta: Gramedia Widasarana Indonesia, 1992.

Mahadi, Filsafah Hukum Suatu pengantar. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Pachta W, Andjar dan Myra Rosana Bachtiar. Hukum Koperasi Indonesia.

Jakarta: Kencana, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2003.

Suggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed.

Pertama, Cet. Kedu.. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Sutantya Rahardja Hadhikusuma, R.T. Hukum Koperasi Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Sudarsono, Edilius. Koperasi dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.


(2)

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

_____________________. Dinamika Koperas. Jakarta: Bina Adiaksara, 2010.

B. Peraturan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) Undang-Undang Dasar Indonesia Serikat No.7 Tahun 1950 Tentang Perubahan

Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

C. Makalah dan Artikel

Suroto, “Jatidiri Koperasi dan Undang-Undang Perkoperasian Baru,” Makalah, presentasi di depan DPD RI, 2015.

M.Hatta, “Makalah Seminar Penjabaran Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945,” 1977.

Suroto, “Artikel Meluruskan Pemikiran Hatta Tentang Koperasi,” Jakarta 3 September 2012.

D. Skripsi

Yance Arizona, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33 UUD 1945, “Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air”, Skripsi, Fakultas Hukum


(3)

128

E. Naskah

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid Pertama, 1959

F. Majalah.

Undang-undang Koperasi Warisan Kolonial. Suroto. Kompas, 24 November 2012.

Nasib Koperasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Saksono. Tribun Nasional, 7 Juni 2014.

Dekopin Minta Pemerintah Keluarkan Kebijakan Soal Koperasi. Siprianus Edi Hardum, Kompas, 30 Mei 2014.

G. Jurnal

A. Mukhtie Fadhjar, “Pasal 33 UUD 1945, HAM, dan UU SDA,” Jurnal Konstitusi, Volume II, No.2, September 2005.

H. Website

http://www.academia.edu (diakses tanggal 9 September 2015). https://fani4.wordpress.com (diakses tanggal 20 September 2015).

http://edwinpatimoeraya.blogspot.co.id/ (diakses tanggal 07 Oktober 2015). http://www.pengertianpakar.com/ (diakses tanggal 07 Oktober 2015).

http://www.jimlyasshidiqe.wordpress.com/ (diakses tanggal 14 September 2015).


(4)

REPBULIK INDONESIA TAHUN 1945

A. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan Perekonomian Indonesia

Dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social

constitution). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai

sebuah konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konstitusi tertulis yang dimiliki Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sistem ketatanegaraan bangsa ini, tercatat telah di lakukan pengamandemenan dalam empat tahap, di tahun 1999 sampai dengan 2002. Berangkat dari sebuah tuntutan reformasi, amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diarahkan pada sebuah nuansa demokrasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat yang lebih baik demi kepentingan rakyat itu sendiri. Dalam segala aspek


(5)

58

konstitusi telah mengatur berbagai sendi kehidupan, politik, keamanan, budaya, hukum, sosial, dan ekonomi. Namun dalam gagasan kekinian letupan konstitusi ekonomi menjadi sangat baru secara implementatif, ekonomi menjadi basic problem yang dijadikan berbagai kajian namun belum memiliki kejelasan dalam konstitusi. Perkembangan pemikiran hingga aplikasi dari kebijakan ekonomi dalam konstitusi perlu menjadi fokus dalam pembangunan ekonomi nasional.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pasal yang mengatur tentang kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam atau mengatur tentang kebijakan pengelolaan perekonomian Indonesia. Sebelum terlalu jauh membahas mengenai implementasi atas Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berikut isi pasal yang dilahirkan dari pemikiran Bungkarno, dan Bung Hatta sebelum di amandemen, yaitu :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.52

Pasal 33 ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, tanpa mengabaikan kemakmuran individu. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, yang tepat untuk permasalahan ini adalah membangun koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Oleh sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang

52 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen)


(6)

menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau semua ini tidak dapat terlaksanakan, maka tampuk kepemimpinan produksi akan dikuasai oleh para penguasa dan rakyat akan menjadi sasaran tindasan mereka. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-perorang. Pada ayat 3 dari pasal ini dijelaskan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh sebab itu bumi dan kekayaan alam harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Seperti penafsiran Mohammad Hatta yang kemudian diadopsi oleh seminar penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dibidang pembiayaan perusahaan negara dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam maupun luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing.53

Tuntutan dari berbagai kalangan untuk kembali dalam bentuk susunan Negara Kesatuan memaksa Pemerintah Indonesia untuk mengeikuti peraturan Federal yaitu menghendaki agar berbagai daerah bagian RIS dilebur dan digabungkan dengan Republik Indonesia. Pada akhirnya hanya ada tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur, dan juga merubah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

53

A. Mukhtie Fadhjar, “Pasal 33 UUD 1945, HAM, dan UU SDA, ”Jurnal Konstitusi,


(7)

60

Tahun 1945 menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 (selanjutnya disebut Undang Dasar Sementara). Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga ikut berubah seiring berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara yang berisi :

“Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”.54 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 bersifat mengganti, bukan merubah, sehingga isinya pun tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949, tetapi mengganti naskah Konstitusi RIS dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.55 pembuatan Undang-Undang Dasar Sementara tersebut dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan perubahan bentuk susunan federal ke dalam bentuk susunan negara kesatuan, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan sangat tergesa-gesa.

Menurut Undang-Undang Dasar Sementara ini, di kemudian hari masih akan dibentuk sebuah Badan Konstituante yang bersama-sama dengan pemerintah akan membuat Undang-Undang Dasar yang tetap, yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali

54 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Indonesia Serikat No.7 Tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

55 Jimly Asshiddiqie, Kostitusi dan Konstitualisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 30.


(8)

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia selanjutnya.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali di amandemen, berikut isi Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah mengalami amandemen yang ke empat :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.56

Berdasarkan bunyi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatas maka sudah jelas bahwa Pasal ini mengatur tentang kebijakan pola pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Penjelasan Pasal 33 menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, dan kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorangan. Selanjutnya dikatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk

56 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen)


(9)

62

melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada asas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.57

Adanya ketentuan baru dalam Pasal 33 ini, terutama dimaksudkan untuk melengkapi “asas kekeluargaan” yang tercantum dalam pasal ini tepatnya ayat 4, yang mengatakan “dengan prinsip-prinsip kebersamaa, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkngan, kemandirian, serta dengna menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Asas kekeluargaan dan prinsip perekonomian nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu yang sangat penting dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi Indonesia. Hal tersebut dipandang sangat penting agar seluruh sumber daya ekonomi nasional digunakan sebaik-baiknya. Yang ada harus dialokasikan

57 Yance Arizona, Penafsiran MK Terhadap Pasal 33 UUD 1945, (Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), Skripsi, (Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2007), hlm. 11.


(10)

secara efisiensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara sehat dan sekaligus untuk mencapai keadilan. Kemajuan ekonomi diseluruh tanah air harus diperhatikan keseimbangannya dan dalam pelaksanaan otonomi daerah harus pula dijaga kesatuan ekonomi nasional.

Pada dasarnya perubahan ini dalam rangka mendukung dan mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur bagi semua. Pelaksanaan pasal ini selanjutnya diatur dalam undang-undang sehingga tidak dirumuskan dalam kepentingan jangka panjang dan sesuai dengan kebutuhan bangsa.

Berdasarkan data diatas, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di bawah judul “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan ujian untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.


(11)

64

Harus disadari bahwa, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, dimana usaha bersama dan asas kekeluargaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

B. Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Penjamin Hak Konstitusional Untuk Melakukan Usaha Koperasi

Hak konstitusional (constitutional right) menurut JImly Asshiddiqie adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945.58 Dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara . Pengakuan hak konstitusional yang menjadi subyek adalah warga Negara Indonesia sehingga siapa pun yang diakui serta disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara Indonesia maka ia mempunyai hak yang sama dalam bidang apa pun, entah mungkin sebelumnya ia adalah warga negara asing yang tinggal di Indonesia dengan masa tertentu dan mengusulkan untuk menjadi warga negara Indonesia maka ia akan memperoleh hak yang sama dengan bangsa Indonesia asli. Terkait dengan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai penjamin hak konstitusional untuk melakukan usaha koperasi. Hal ini bermaksud bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama termasuk dalam berorganisasi maupun sebuah badan usaha, karena dasar dari sistem perekonomian Indonesia itu sendiri adalah Pasal 33 ayat 1 yaitu; perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.


(12)

Ketentuan tersebut jelas-jelas menjadikan kepentingan orang perseorangan sebagai salah unsur yang membentuk koperasi. Jati diri koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan didirikan dengan paham kolektif/kolektivisme.59 Dengan demikian tidak mungkin kepentingan orang seorang mendirikan koperasi, seharusnya sekelompok orang mendirikan koperasi. Dengan demikian akan konsisten dengan pengaturan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkoperasian yang menentukan bahwa koperasi primer didirikan oleh paling sedikit 20 (dua puluh) orang perseorangan dengan memisahkan sebagian kekayaan pendiri atau anggota sebagai modal awal koperasi.

Founding Father Indonesia memimpikan sebuah prinsip kebersamaan dalam membangun ekonomi nasional dengan mendasar pada kemajemukan bangsa. Koperasi bukanlah konsep murni pemikirang bangsa Indonesia, koperasi Rochdale sebagai koperasi pertama di dunia tercatat lahir di negara Inggris. Pergulatan Bung Hatta dalam pemikiran ekonomi yang membawa koperasi sampai ke Indonesia bermula saat berkunjung ke negeri Jerman saat sedang melanjutkan studi di negara Belanda. Bung Hatta beranggapan bahwa kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan sehari-hari yang bercorak kolektivisme.60 Beliau menyatakan bahwa cita-cita perjuangan Indonesia adalah menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Koperasi adalah bagian integral dari sistem perekonomian nasional tidak menjadi sub-bagian tersendiri.

59

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, 1959, hlm. 423.

60


(13)

66

Hampir disetiap masa pemerintahan koperasi menjadi jawatan prioritas yang dimandulkan. Berkoperasi tidaklah selesai hanya karena pemerintah menciptakan satu juta koperasi di Indonesia, sejarah mencatat zaman orde baru Koperasi Unit Desa (KUD) hanya menjadi candu bagi masyarakat marginal dan saat ini hanya tinggal papan nama. Koperasi bukan hanya mencari profit dan membagikan sisa hasil usaha kepada anggota, hal ini dijabarkan dalam pemikiran atau kerangka dimensi koperasi sebagai mana yang dikemukakan oleh Sri Edi Swasono yang terdiri dari 4 (empat) fase antara lain :61

1. Melihat koperasi sebagai badan usaha ekonomi atau unit produksi yang tunduk pada hukum-hukum ekonomi. Disini kita berbicara masalah profesionalisme, manajemen, kewirakoperasian dan lain-lain.

2. Secara makro melihat koperasi sebagai sistem ekonomi nasional, sebagai sistem koperasi, dimana seluruh badan-badan usaha termasuk usaha non koperasi harus tersusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan yang berjiwa dan bersemangat koperasi sebagai perwujudan dari demokrasi ekonomi kita.

3. Dimensi gerakan keswadayaan (mandiri) dan kesetiakawanan (solidaritas), yaitu koperasi sebagai movement untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi, terutama demokrasi ekonomi melalui asas dan sendi-sendi dasar koperasi. 4. Dimensi manusia, koperasi dilihat sebagai lembaga pembentukan

kepribadian (individualitas), sebagai lembaga guana meningkatkan swadaya dan swakarsa.

61


(14)

Koperasi dilakukan secara bottom-up dengan memberi kesempatan kesadaran masyarakat yang dibantu oleh pemerintah melaksanakan dan memilih ekonominya (koperasi). Pemerintah menjadi fasilitator dan regulator dalam menjalani ekonomi kerakyatan dengan wujud koperasi, peran pemerintah adalah membuka market atas karya bangsa, bukan menentukan dan diskriminatif. Sehingga sejarah KUD pada bangsa ini tidak lagi terulang, karena konsepsi yang digunakan oleh KUD adalah top down dan ketidakmandirian, sehingga pemerintah harus meluruskan pemaknaan koperasi bukan hanya membantu dan mencukupi materi rakyat, namun pendidikan. Itulah yang menjadi corak mimpi Bapak Koperasi Indonesia dalam prinsip kebersamaan dan kedaulatan rakyat.

Memberikan porsi yang sama dalam asas demokrasi ekonomi di Indonesia menjadi tuntutan besar bagi negara. Tidak hanya ekonomi swasta dan pemerintah yang berjalan namun juga ekonomi (milik) rakyat yang memiliki kedaulatan. Sehingga dibutuhkan good will untuk menjadikan koperasi berjalan dengan baik. Koperasi masih mewarnai di Indonesia, namun hanya beberapa saja yang menjalankan prinsip-prinsip dan jati diri koperasi secara benar, hal inilah yang harus menjadi kontrol agar tidak ada pelaku sandiwara ekonomi berkedok koperasi. Fungsi fasilitator dan regulator dari negara diperlukan dengan membuat produk hukum yang sesuai dengan tujuan kesejahteraan sosial. Namun UU 17/2012 tentang Perkoperasian yang terbilang baru terbentuk telah mulai diujikan kepada Mahkamah Konstitusi karena melanggar hak konstitusional warga negara. Undang-undang tersebut tidak disusun dengan melihat praktik terbaik dari anggaran dasar dan rumah tangga koperasi yang berhasil dan mandiri, kemudian


(15)

68

membuat perlindungan bagi mereka. Campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar masih terlihat kental.62

Kondisi tersebut mensyaratkan kompleksitas perekonomian nasional, konstitusi ekonomi yang diturunkan langsung pada sebuah peraturan perundang-undangan dibawahnya dan hingga pada praktiknya masih memiliki banyak evaluasi. Falsafah ekonomi pancasila masih belum signifikan digambarkan dalam praktik ekonomi Indonesia, norma serta konstitusi ekonomi juga masih belum terwujud dalam produk hukum yang sempurna. Sehingga diperlukan sebuah kemauan keras, dan kerjasama seluruh elemen membangun.

Moh Hatta pernah menyebutkan bahwa cita–cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan. Ia menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah yang bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya dan masyarakat seluruhnya, tetapi menolak pertentangan dan persaingan dalam bidang yang sama pada koperasi, sebagai badan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam keadaan harmonis kepentingan orang seorang dengan kepentingan umum.

Pendefinisian koperasi sebagai sebuah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan jelas menunjukkan bahwa semangat (legal policy) pembentuk


(16)

undang-undang ini adalah merubah paradigma keberadaan koperasi yang sebelumnya merupakan usaha bersama menjadi usaha pribadi. Dimaksud demikian karena koperasi bukanlah didirikan oleh sekelompok orang tapi oleh orang perorangan. Secara gramatikal definisi koperasi dimaksud juga tidak tepat. Koperasi berasal dari bahasa latin yaitu cum yang berarti dengan, dan aperari yang berarti bekerja. Aadapun dalam bahasa Inggris dikenal istilah co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut cooperatieve vereneging yang berarti bekerja bersama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan prinsip usaha koperasi yaitu dari oleh dan untuk anggota.63

Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama. Jadi makna koperasi didirikan bukan untuk kepentingan seorang individu untuk menyejahterakan dirinya dengan cara mendirikan koperasi kemudian merekrut orang lain dalam usahanya sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 17/2012 tentang Perkoperasian.

Pendirian koperasi oleh orang perseorangan sebagaimana definisi koperasi dalam UU 17/2012 tentang Perkoperasian sebagai unsur koperasi tidak disinggung sama sekali oleh para ahli maupun International Co-operative

Alliance (ICA) atau International Labour Organization (ILO). ICA dan ILO

justru sangat jelas menegaskan bahwa Koperasi adalah perkumpulan orang–orang. Dengan demikian salah besar bila definisi koperasi dititikberatkan pada pendirian koperasi yang dilakukan oleh orang perseorangan. Dengan banyaknya bukti nyata dari beberapa sumber yang ada, terlihat jelas peran dari Pasal 33 ayat (1)


(17)

70

Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai penjamin hak konstitusional untuk melakukan usaha koperasi khususnya terhadap pertentangan aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dengan frasa yang ada pada UU 17/2012 tentang Perkoperasian Pasal 1 angka 1 yang memuat tentang pendirian badan hukum yang didirikan oleh orang-perseorangan.

Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tidak langsung melindungi hak konstitusional masyarakat dalam mendirikan usaha ataupun masyrakat yang sedang menjalankan usaha dalam bidang koperasi. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah menjamin hak-hak konstitusional masyarakat terlindungi termasuk didalam bidang perkoperasian. Secara tersirat Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hal-hal yang menyangkut usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dijamin hak konstitusionalnya termasuk dalam bidang perkoperasian.

C. Penerapan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Di Bidang Perkoperasian

Penerapan pasal ini dalam kehidupan sehari-hari ternyata masih perlu banyak berbenah. Sebagaimana telah disinggung pada bagian latar belakang, bahwasannya Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penerapannya oleh perusahaan dilapangan, menimbulkan polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Apalagi jargon ‘demi kepentingan umum’ dan atau ‘demi pembangunan’ seolah-olah menjadi cara sah untuk menggusur rakyat dengan cara yang halus, ditambah lagi dengan perkembangan


(18)

ekonomi global yang telah menganut liberalisme secara perlahan menggusur aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan secara perlahan.

Penerapan dari Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sangat dirasakan oleh masyarakat sebagai subjek hukum, Pasal 33 ayat 1 pun telah terimplementasi, tersirat maupun tersurat didalam banyak Undang-undang di Indonesia dan juga terkhususnya dibidang Perkoperasian. Penerapan dari Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dibidang Perkoperasian antara lain adalah:

1. Pengertian perkoperasian

Undang-Undang Perkopersian Pasal 1 memberikan pengertian bahwa “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang – seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.64 Pasal 1 Undang-Undang Perkoperasian tidak hanya mengimplementasikan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 namun mencatutkan secara tersurat makna utama dari Pasal 33 tersebut yaitu asas kekeluargaan.

Penerapan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan pemahaman pengaturan perkoperasian dengan pengertian/definisi koperasi telah memberikan pemahaman secara jelas. khususnya terkait dengan definisi koperasi sebagai subyek hukum yang berstatus badan hukum. Dengan status badan hukum yang dimiliki, koperasi dapat berperan dalam lalu lintas hukum. Sejalan dengan pendapat Hans Munkner definisi hukum


(19)

72

koperasi harus cukup tegas dan ketat untuk menghindarkan kesalahan penggunaan bentuk organisasi ini untuk tujuan selain koperasi.

Fungsi koperasi ialah sebagai penunjang aktivitas ekonomi rumah tangga angota sedemikian rupa, sehingga posisi ekonomi anggota menjadi lebih kuat, lebih efisien dan lebih mampu memanfaatkan berbagai sumber daya ekonomi yang secara individu tidak bisa dimannfaatkannnya. Selain itu koperasipun berfungsi sebagai sarana untuk memanfaatkan berbagai peluang ekonomi dengan atau tanpa adanya keterkaitan dengan usaha/ekonomi rumah tangga anggota. Apabila dipadu, kedua fungsi tersebut akan menjadi tunggal yaitu untuk meningakatkan kemajuan ekonomi anggota yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup anggota dan masyarakat pada umumnya. Sosok badan usaha kopearsi tersebut diuraikan sebagi berikut:65

a. Suatu perkumpulan/himpunan orang orang-orang dengan paling tidak satu kepentingan ekonomi yang sama dan dengan keanggotaan yang berubah-ubah.

b. Tujuan kumpulan dan tujuan setiap individu anggota dari kumpulan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan bersama dengan tindakan bersama yang didasarkan pada saling menolong.

c. Sarana untuk mencapai tujuan ini adalah dengan mendirikan suatu usaha bersama (Usaha Koperasi).

d. Tujuan usaha bersama ini adalah menyelenggarakan jasa untuk peningkatan situasi ekonomi anggota-anggota kelompok (lebih tepatnya

65 Muhammad Yamin, “Draft naskah akademik RUU Perkoperasian.” (Makalah,


(20)

peningkatan situasi ekonomi usaha-usaha anggota atau rumah-rumah tangga).

2. Pembentukan koperasi

Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Koperasi mendapat misi untuk menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan yang mengutamakan kemakmuran masyarakat. Terkait dengan misi tersebut koperasi harus berusaha secara terus menerus mengembangkan dan memberdayakan diri agar tumbuh kuat dan mandiri, untuk dapat mensejahterakan anggotanya serta dalam menghadapi perkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan.

Sejalan dengan pekembangannya untuk mendirikan koperasi, sebagai badan hukum pendiriannya dliakukan dengan akta otentik. Ketentuan pendirian koperasi dengan akta otentik atas pertimbangan:66

a. Menjamin kepastian hukum terhadap akta-akta perkoperasian melalui penggunaan akta otentik/akta notaris.

b. Meningkatkan mutu pelayanan hukum dalam bidang perkoperasian khususnya yang berkaitan dengan proses, prosedur dan tata cara pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi.

c. Meningkatkan kualitas akta perkoperasian dan sisi hukum.

Terdapat dua kemungkinan untuk menentukan suatu badan menjadi badan hukum, seperti dikemukakan oleh Man S. Sastrawijaya, pertama apabila dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. kedua apabila


(21)

74

tidak dinyatakan secara tegas dalm peraturan perundang-undangan. Penetapan koperasi sebagai suatu badan hukum dinyatakan secara tegas dalam rancangan undang-undang ini bahwa pendirian koperasi Koperasi memperoleh pengesahan sebagai badan hukum yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan permohonan pengesahan badan hukum Koperasi dimaksud diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

Pada intinya status badan hukum yang dimaksud oleh Undang-undang adalah berupa registrasi atau pencatatan di lembaga pemerintahan dan pengumuman dalam Berita Lembaran Negara RI. Pengajuan tersebut dilakukan secara tertulis disertai akta pendiriannya. Apabila akta pendirian koperasi telah disahkan oleh pejabat yang berwenang maka sejak saat itu koperasi berstatus sebagai badan hukum. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah tersirat didalam Undang-Undang Perkoperasian dalam hal pembentukannya.

3. Pengelolaan koperasi

Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah tersirat didalam pengelolaan koperasi. Hal ini tercermin didalam fungsi pengelolaan koperasi itu sendiri. Fungsi koperasi adalah untuk mempromosikan ekonomi anggota, artinya koperasi sebagai bagian integral dari usaha anggota bertugas meningkatkan kemajuan ekonomi anggotanya. Dengan demikian terdapat dua dimensi fungsional yang diemban koperasi yaitu, 1 dimensi ke dalam kepada anggota dan 2 dimensi keluar yaitu ke berbagai sumber daya ekonomi. Ke dalam koperasi berkewajiban meningkatkan mutu sumber daya anggota (rasional,


(22)

efisiensi, serta produktivitas usaha anggota). Kewajiban ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan anggota yang dilakukan secara terus menerus. Keluar kopeasi harus berusaha memiliki akses ke berbagai sumber daya ekonomi, yaitu akses ke SDM/manajemen, akses ke sumber modal, akses kearah inovasi teknologi, akses kepasar, bahkan ke bidang politik. Terobosan tersebut harus diusahakan dalam rangka menciptakan nilai tambah (added value) bagi anggotanya. Kesemua itu harus menjadi bahan pertimbangan di dalam mengatur kemitraaan usaha antar koperasi dengan badan usaha lainnya. Usaha yang dirintis harus sesuai dengan kebutuhan anggotanya.

4. Permodalan Koperasi .

Masalah pemupukan modal berkaitan dengan dasar-dasar sistem ekonomi koperasi. Kebanyakan ide-ide dan nilai-nilai dasar, dengan satu dan lain cara, terkait atau terpengaruh oleh pemupukan modal. Perkumpulan koperasi dihadapkan pada banyak masalah dalam mencari dan memilih penerapan yang efisien secara ekonomis yang sekaligus juga konsisten dengan nilai dan prinsip koperasi. Pertimbangan pragmatis tampaknya telah menandai penerapan pemupukan modal, paling tidak menjaga watak utama koperasi untuk jangka panjang. Umumnya koperasi mempunyai masalah dalam pemupukan modal. Banyak organisasi koperasi menganggap sistem permodalan tersebut perlu demi kondisi koperasi yang stabil dan sehat, karena anggota akan tetap menjadi pemilik modal utama dan ikut bertanggungjawab untuk jangka panjang. Hal ini telah ditekankan dengan peraturan khusus, dan suplemen pada prinsip-prinsip ICA menyatakan:


(23)

76

“Harus dipupuk dan dicatat sedemikian rupa, sehingga kemandirian dan stabilitas organisasi koperasi dapat dipelihara”.67

Aspek penting dari pemupukan modal (“prinsip esensial”) untuk masa depan adalah ketidak ketergantungan, otonomi dan kestabilan dari koperasi untuk memberikan pelayanan kepada anggota dan untuk mempertahankan koperasi. Koperasi selain menghimpun dana yang bersumber dari anggota dalam bentuk modal sendiri, koperasi pun dapat memperkuat permodalan untukpengembnagan usahanya melalui modal yang bersumber dari luar koperasi/modal pinjaman. Selain itu untuk menanggulangi masalah kebutuhan modal, mengemukakan bahwa melalui kebijakan pendanaan dari anggota yang diberikan berdasarkan asas proportionalitas dalam permodalan yang dihadapi oleh koperasi akan mendorong para calon anggota koperasi yang mempunyai modal/kaya untuk bergabung dalam koperasi. Berdasarkan asas pro portionalitas tersebut besarnya kontribusi modal anggota disesuaikan dengan besarnya usaha atau rencana pelangganan.

Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terimplementasi didalam permodalan koperasi yang diatur dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Perkoperasian, dalam permodalan koperasi bersumber dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan dan hibah. Dapat disimpulkan bahwa koperasi tidak menitik beratkan kepada siapapun hal permodalan ini sendiri. Hal ini tercermin dari Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berisi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bertujuan untuk kemakmuran anggota koperasi.


(24)

5. Pendidikan Koperasi

Pendidikan angota koperasi hedaknya dilihat sebagai suatu learning process dalam koperasi yang dilaksanakan dari waktu ke waktu, serta perlu disesuai dengan kebutuhan yang dirasakan dan diperlukan anggota koperasi, serta tantangan zaman. Sebagaimana sering ditekankan oleh para penggerak koperasi (cooperative animator), karena koperasi adalah participatory organanization yang ingin menggerkan mutu kerja sama atau mutu coopertivism yang dapat memacu sinergi/perpaduan yang dapat memberikan hasil lebih, dalam lingkungan ekonomis dan menguatkan ikatan pemersatuan dalam lingkungan solidaritas anggota koperasi. Pendidikan dan pelatihan menurut Yuyun Wirasamita merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas SDM bagi koperasi yang menjadi salah satu prinsip koperasi, yang berarti harus selalu dilakukan secara berkesinambungan. Pendidikan diartikan dalam arti luas dan spesifik. Dalam arti luas dengan memahami mekanisme koperasi yaitu bagaimana koperasi dapat menghasilkan manfaat bagi anggota, apa yang harus dikerjakan oleh anggota, pengurus, pengelola dan karyawan. Sedangkan dalam arti spesifik ialah pendidikan dan pelatihan dalam bidang tertentu yang relevan atau potensial untuk meningkatkan efisiensi atau untuk mengatasi masalah-masalah tertentu dalam koperasi. Dampak pendidikan jelas akan membawa pengaruh yang positif yaitu penurunan biaya manjemen, operasionalisasi, dan menciptakan peluang-peluang baru bagi koperasi.

6. Kerjasama Koperasi

Penerapan sistem kerjasama sebagai salah satu prinsip koperasi merupakan unsur penting dalam pengembangan koperasi. Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang


(25)

78

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dasar filosofi dari kerjasama yang diterapkan didalam koperasi. Kerjasama koperasi dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu kerjasama horisontal, kerjasama vertikal dan kerjasama diagonal. Kerjasama vertikal dilakukan antar tingkat organisasi sejenis atau antara organisasi koperasi sejenis dan setingkat. Kerjasama vertikal dilakukan antar tingkat organisasi sejenis atau antar anggota dengan koperasi primernya, sedangkan kerjasama diagonal dilakukan antar jenis koperasi. Fungsi kerjasama horisontal adalah menekan/menghilangkan persaingan selakigus memperkuat sikap saling membantu yang bermanfaat dan memperbesar skala usaha. Kerjasama vertikal sebagai sarana pencipta efisiensi sekaligus sebagai akses ke berbagai sumber daya ekonomi dan informasi yang tidak terjangkau atau tidak mampu dimanfaatkan oleh anggota secara indivuidual atau oleh koperasi-koperarsi tingkat bawah. Kerjasama ini diikat oleh subsidiaritas, yaitu asas saling memperkuat secara vertikal dan bukan saling melemahkan. Sedangkan kerjasama diagonal berfungsi sebagai sarana penunjang/pelengkap baik dalam aktivitas mikro maupun didalam peranan makro. Dalam kerjasama diagonal antara lain dalam bentuk kerjasama di bidang keuangan/perbankan, dalam bidang asuransi, di bidang akutansi, informasi, bidang tenolog, dan lain lain.68

Pengembangan koperasi salah satu aspek yang menyebabkan belum mantapnya peranan koperasi sebagai pelaku ekonomi yang kuat dan berdaya guna dalam masyarakat adalah dalam memperkuat jaringan kerjasama antara koperasi. Sejalan dengan ketentuan undang-undang atau secara hukum jaringan kerjasama antar koperasi perlu dikembangkan sesuai dengan konteks setiap koperasi, dalam


(26)

hal ini perlunya pengarahan dan pembinaan dari pihak pemerintah. Penataan jaringan kerjasama bila diatur dengan baik akan menghasilkan satu tatanan pembagian kerja yang pada dasarnya akan dapat memacu efisiensi teknis dan efisiensi sosial. Seperti halnya jaringan kerjasama antar koperasi primer dan sekunder, dikemukan oleh Thoby Mutis, bahwa apabila jaringan antara koperasi primer dan sekunder tersebut didekati melalui pendekatan sistem, maka dapat dikatakan koperasi primer menjadi focal system, dan koperasi sekundernya menjadi related system dan dalam kaitan ini merupakan symbiotic interdependence atau saling bergantung yang simbiotik.

7. Pengawasan dan Pemeriksaan Koperasi

Penerapan sistem pengawasan dan pemeriksaan koperasi dalam rangka memberikan pemahaman mengenai fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam koperasi. Perbedaan penggunaan istilah pengawasan dan pemeriksaan sangat penting dalam koperasi. Dalam sistem koperasi, pengawasan internal/internal audit yang dilaksanakan oleh Pengawas merupakan faktor yang sangat esensial karena menyangkut masalah keuangan terutama yang berasal dari anggota. Anggota sebagai pemilik dan sebagai pengguna jasa koperasi akan lebih leluasa dan dapat memantau dari berbegai aspek, dan sifat pengawasan tersebut tidak bersifat teknis operasional. Sedangkan istilah pemeriksaan lebih bersifat teknis operasional.69

Peranan Pengawas dalam melaksanakan fungsi pengawasan yang demikian penting tersebut adalah merupakan pencerminan wajah demokrasi dalam tubuh organisasi koperasi. Pengawas harus dapat benar-bebar dapat


(27)

80

mewakili kepentingan anggota dengan baik-baiknya, terutama dalam menjalankan tugas pengawasan tersebut, Pengawasan tidak ditujukan untuk mencari kesalahan, tetapi yang lebih utama adalah merupakan upaya yang sistematis unutuk mencegah terjadinya penyimpangan dan sekaligus, apabila terjadi penyimpangan dapat secepatnya dilakukan penyempurnaann /perbaikan.

Fungsi pemeriksaan/audit koperasi untuk kepentingan koperasi diarahkan baik atas prakarsa koperasi sendiri maupun oleh pemerintah atau pihak lembaga perbankan yang dilakukan oleh audit ekternal kompeten danindepedrn shg lap akandipercaya.akuntan publik. Sebagaimana dicantumkan dalam rancangan undang-undang perkoperasian yang mencantumkan :”Dalam keadaan tertentu, Pengawas dapat meminta bantuan Akuntan Publik untuk melakukan audit khusus terhadap Koperasi.”

Dampak dan manfaat pengawasan antara lain:

- Akan memberikan kepastian kepada anggota, bahwa pengelolan koperasi dapat memberikan manfaat dan keamanan terhadap harta kakayaan koperasi yang benar-beran digunakan untuk kepentingan pelayan kepada anggota.

- Sebagai pedoman dalam penyusuan perencanaan koperasi masa yang akan datang.

- Sebagai penilai terhadap kinerja pengurus, serta memperkuat posisi pengurus terhadap anggota maupun pihak lainnya.

- Bagi pihak ketiga memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak serta hubungan dengan koperasi serta memumbuhkan rasa kepercayaan pihak ketiga.


(28)

- Bagi pihak pemerintah dalam rangka pembinaan dan pengambilan kebijakan, serta perlindungan pihak terkait liannya.

Berdasarkan data diatas, Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sangat berpengaruh didalam pengertian, pembentukan, pengelolaan, permodalan, kerjasama serta pengawasan di bidang perkoperasian. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di bawah judul “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan ujian untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.


(29)

BAB IV

ASPEK USAHA BERSAMA BERDASARKAN ASAS KEKELUARGAAN DALAM PEMBATALAN UU No. 17 TAHUN 2012 TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 28/PUU-XI/2013

A. Pertimbangan Hukum Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

Koperasi sebagai salah satu pelaku kegiatan perekonomian memiliki peran penting dalam perkembangan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang diselenggarakan dengan prinsip saling tolong-menolong menyebabkan masyarakat tidak mampu memiliki akses untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Di Indonesia, koperasi mendapatkan perhatian yang cukup serius. Sejak masa orde baru koperasi telah diatur dalam Undang-undang. Pengaturan tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap koperasi.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian untuk menggantikan Undang-Undang Perkoperasian. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak memiliki kapasitas untuk membangun koperasi yang benar dan kuat. Kebijakan pemerintah dan pelanggaran oleh koperasi sendiri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi itu sendiri. Sehingga dalam reformasi dan perkembangan yang ada dibutuhkan pembaharuan Undang-Undang Perkoperasian yang baru.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian diharapkan dapat menambah kapasitas dan membangun koperasi yang lebih baik lagi, tapi sayangnya Undang-Undang ini ternyata tidak dapat menangkap aspirasi menuju koperasi yang lebih baik lagi. Sehingga susunannya


(30)

tidak menciptakan ruang bagi pertumbuhan gerakan dari jati diri koperasi karena pengertian koperasi menjadi kabur. Koperasi adalah sebagai perkumpulan orang, sedangkan menurut UU 17/2012 tentang Perkoperasian adalah Asosiasi berbasis modal. Karena Undang-Undang ini telah melanggar jati diri koperasi oleh karena itu jelas Undang-Undang ini telah melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dimana telah ditegaskan bawah sistem ekonomi kekeluargaan adalah sistem dari koperasi itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dapat dikatakan telah merusak otonomi dan jati diri koperasi Indonesia. Yang merupakan organisasi perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal. UU 17/2012 tentang Perkoperasian yang baru saja diundangkan 30 Oktober masih mewarisi tradisi kolonial. Koperasi diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari Undang-Undang ini adalah asas perorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan seperti persero.

Perkembangan ekonomi yang semakin besar juga berpengaruh pada Undang-Undang Perkoperasian yang baru ini yang mana lebih memandang sebagai organisasi usaha seperti halnya perusahaan swasta yang dikelola untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.

Uraian yang telah disampaikan sebelumnya Undang-Undang Nomor 17 diberi pengertian badan hukum yang sesungguhnya hanya kontinum dari pengertian Undang-Undang yang menyebutkan pengertian koperasi sebagai badan usaha. Hal inilah yang akhirnya oleh beberapa pihak mengajukan Judicial Review


(31)

84

ke Mahkamah Konstitusi dan menghasil beberapa pertimbangan hukum yang telah diputuskan oleh hakim Mahkamah Konstitasi.

Pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Koperasi. Perubahan Undang-Undang-undang tersebut terkadang membawa perubahan paradigma koperasi. Terakhir, Undang-undang yang mengatur koperasi adalah UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Undang-undang tersebut membawa perubahan mendasar pada Koperasi karena menyebabkan koperasi sudah tidak lagi menganut prinsip asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar tersebutlah, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan permohonan dari Gerakan Koperasi Jawa Timur untuk membatalkan UU 17/2012 tentang Perkoperasian.

Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu suatu susunan ekomomi sebagai usaha bersama bersdasr atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi dekmokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan.

Menurut Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”, dapat diartikan bahwa nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi dekmokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan.


(32)

Ketidak selarasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan UU 17/2012 tentang Perkoperasian adalah alasan utama Gerakan Koperasi Jawa Timur mengajukan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi. Berikut alasan-alasan pengujian Undang-Undang Perkoperasian oleh Gerakan Koperasi Jawa Timur:

2. Dasar Filosofis UU 17/2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pembukaan dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak konstitusional para Pemohon atas kesejahteraan umum dan melakukan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Seharusnya dasar filosofis UU 17/2012 tentang Perkoperasian mempertimbangkan dan sesuai dengan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertentangan tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut. Bahwa dasar filosofis dari UU 17/2012 tentang Perkoperasian ini adalah kapitalisme. Menurut Warner Sombart, kapitalisme adalah sebuah sistem pemikiran ekonomi ditandai oleh semangat tiga hal: pemilikan, persaingan, dan rasionalitas. Dengan demikian kapitalisme adalah sebuah bangunan sistem ekonomi yang diletakkan pada sebuah dasar pemikiran bahwa modal adalah sebagai penentu di atas kepentingan kemanusiaan. Sebagai sistem ekonomi, kapitalisme dicirikan adanya: kegiatan ekonomi dan kontrol keuangan oleh usaha-usaha besar milik privat dalam arti orang seorang maupun keluarga, akumulasi laba sebesar-besarnya dalam motif profit (profit oriented).


(33)

86

3. Pasar persaingan dominan yang ditopang dengan konsumerisme, penentuan harga tenaga kerja yang mengikuti mekanisme pasar. (Suroto, Makalah: Koperasi di Tengah Kapitalisme) Sri Edi Swasono secara rinci menguraikan ciri-ciri kapitalisme meliputi: modal sebagai penentu, berorientasi pada keuntungan pribadi, persaingan, pasar bebas, kepentingan orang seorang, orang lain sebagai kompetitor, dan self interest. Ciri-ciri kapitalisme tersebut menurutnya bertentangan secara vis a vis dengan jati diri koperasi yang meliputi: manusia sebagai penentu, berorientasi pada kesejahteraan sosial, kerja

4. Koperasi adalah antitesa dari kapitalisme. Kapitalisme menyandarkan pada konsep organisasi berbasiskan modal (capital base association), maka koperasi dilandaskan pada konsep organisasi yang berbasiskan orang (people

base association), dimana kalau sistem kapitalis modal bersifat sebagai

penentu, maka berbeda dalam sistem koperasi, modal hanyalah berfungsi sebagai pembantu. Kalau kapitalisme menyandarkan pada filosofi dasar persaingan (competition), maka bertolak belakang dengan koperasi yang dilandaskan pada filosofi mempertinggi nilai kerjasama (cooperation). Sementara, logika pasar yang dikembangkan oleh koperasi adalah pasar yang adil (fair market) yang berbeda dengan gagasan kapitalisme yang menghendaki pasar bebas (free market). Dominasi pasar yang diakibatkan oleh persaingan bebas dimana yang besar memakan yang kecil dalam sistem kapitalis digantikan dengan sistem pasar yang adil berdasarkan besaran partisipasi. Kalau sistem kapitalis membangun sistem tanggungjawab sosialnya dalam bentuk karitas, maka koperasi membangun hubungan sosial


(34)

masyarakat dalam jalinan solidaritas setara. Pertentangan buruh dan majikan diselesaikan dalam konsep integrasi perusahaan koperasi pekerja (worker

co-op). Dalam koperasi, organisasi-organisasi buruh dan organisasi pembela

kepentingan konsumen yang seringkali bersifat reduktif terhadap kepentingan yang diwakilinya tidaklah diperlukan karena justru mereduksi kepentingan masyarakat itu sendiri. Dalam sistem koperasi, buruh adalah juga pemilik dari perusahaan. Sementara konsumen dalam model perusahaan koperasi konsumen (consumer co-op) juga adalah pemilik. Walaupun sama-sama menggunakan instrumen perusahaan, koperasi sama/sinergi, pasar dikendalikan, kepentingan bersama, orang lain sebagai saudara/brother, dan

mutual interest.

5. UU 17/2012 tentang Perkoperasian secara masif mengandung ciri-ciri kapitalisme tersebut sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

b. UU Perkoperasian Menempatkan Modal sebagai Penentu

UU 17/2012 tentang Perkoperasian menitikberatkan pada modal sebagai fondasi utama koperasi. Hal ini tampak berdasarkan ketentuan BAB VII Modal Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Pengaturan Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi menggantikan simpanan pokok dan simpanan wajib sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela sebagaimana diatur UU 12/1967, menandakan bahwa tidak ada lagi konsep “simpanan” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata benda berarti sesuatu yang disimpan (uang, barang, dsb). Sedangkan kata kerjanya adalah menyimpan yang berarti


(35)

88

menaruh di tempat yang aman supaya jangan rusak, hilang, dsb. Sedangkan “Setoran” merupakan kata benda yang maknanya adalah hasil menyetorkan; apa-apa yang disetorkan dan kata kerjanya menyetor yang berarti membayar; memasukkan; menyerahkan. Dengan demikian, UU 17/2012 tentang Perkoperasian yang menggunakan nomenklatur “Setoran Pokok” lebih menekankan pada penyerahan sejumlah uang oleh anggota untuk menjadi milik koperasi sebagai modal sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Hal ini berbeda dengan konsekwensi makna dari “Simpanan Pokok” yang maknanya anggota menaruh sejumlah uang di tempat yang aman (koperasi) supaya jangan hilang sehingga suatu saat apabila yang bersangkutan keluar dari koperasi maka bisa diambil lagi. Dalam konsep “Simpanan Pokok”, uang yang disimpan anggota tidak semata-mata menjadi modal koperasi tetapi juga berfungsi sebagai tabungan dari anggota yang bersangkutan.

c. UU 17/2012 tentang Perkoperasian Berorientasi pada Keuntungan (profit

oriented)

Pasal 78 ayat (2) UU 17/2012 tentang Perkoperasian yang melarang koperasi membagikan kepada anggota Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi dengan non-anggota mengindikasikan bahw 17/2012 tentang Perkoperasian berorientasi pada keuntungan pribadi (profit

oriented). Anggota koperasi tidak bisa menikmati hasil usaha dari koperasi

yang mereka bangun sehingga keuntungan atas adanya koperasi hanya dinikmati langsung oleh non-anggota koperasi. Memang, koperasi juga ingin mencapai keuntungan, tetapi keuntungan itu bukan tujuan baginya.


(36)

Tujuannya ialah usaha bersama dengan jalan usaha yang semurah-murahnya. Keuntungan yang didapat dalam perusahaan harus dipandang sebagai barang tersambil. Jadinya keuntungan yang diperoleh bukan tujuan, melainkan akibat dari pada pekerjaan berjual-beli yang mesti dikerjakan untuk membela keperluan bersama tadi. Yang diutamakan oleh koperasi ialah supaya sekutunya dapat membeli barang dengan harga murah. Menurut Bung Hatta, dahulu banyak perusahaan yang diberi nama “koperasi”, tetapi keadaannya yang sebenarnya adalah kongsi biasa yaitu persekutuan dagang mencari keuntungan. Koperasi di waktu itu troef, sebab itu orang suka memakai merk koperasi sebagai topeng. Itulah yang menjadi sebab, maka banyak sekali perusahaan yang patah. Manakala koperasi mulai dihinggapi oleh semangat mencari keuntungan, ia memutar lehernya sendiri. Siapa yang akan mendirikan badan koperasi, harus tahu membedakan mana yang koperasi dan mana yang bukan. Persekutuan yang ujudnya mengejar keuntungan bukanlah koperasi, tetapi persekutuan sero (perseroan) atau persekutuan andil. Perseroan itu, sekalipun memakai merk “koperasi” adalah lebih dekat pada Firma atau pada Persekutuan Terbatas (P.T).

d. UU 17/2012 tentang Perkoperasian Berbasis Kepentingan Orang Seorang Pasal 1 angka 1 UU 17/2012 tentang Perkoperasian mengatur bahwasannya Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan…dst. Ketentuan tersebut jelas-jelas menjadikan kepentingan orang perseorangan sebagai salah unsur yang membentuk koperasi. Jati diri koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan


(37)

90

didirikan dengan paham kolektif/kolektivisme. Dengan demikian tidak mungkin kepentingan orang seorang mendirikan koperasi, seharusnya sekelompok orang mendirikan koperasi. Dengan demikian akan konsisten dengan pengaturan dalam Pasal 7 Undang-Undang Perkoperasian yang menentukan bahwa Koperasi primer didirikan oleh paling sedikit 20 (dua puluh) orang perseorangan dengan memisahkan sebagian kekayaan pendiri atau anggota sebagai modal awal Koperasi.

e. UU 17/2012 tentang Perkoperasian Menjadikan Orang Lain sebagai Kompetitor

Pasal 55 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian menentukan bahwa pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik anggota maupun non-anggota. Dengan demikian maka sangat nyata Undang-Undang a quo menjadikan orang lain yang dalam hal ini non-anggota sebagai kompetitor dari anggota untuk menjadi pengurus koperasi. Seharusnya dalam nilai koperasi, orang lain dijadikan saudara/brother.

1. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebenamya mengandung pengertian sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi (perekonomian) yang disusun sebagai usaha bersama (bukan usaha perorangan), dan usaha bersama itu harus berdasar atas asas kekeluargaan. Ada empat perkataan kunci pada ayat (1) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini: Perekonomian, disusun, usaha

bersama, dan asas kekeluargaan. Apa yang dimaksud dengan perekonomian

tentulah bukan hanya usaha koperasi saja, tetapi meliputi usaha-usaha non koperasi seperti PT, Firma, CV, dan lain-lain. Dari sinilah muncul konsepsi


(38)

Triple-Co (prinsip co-ownership/pemilikan bersama, co-determination/penentuan atau keputusan bersama, dan co-responsibility/tanggung jawab bersama) sebagai wujud kebersamaan. Disusun

artinya tidak dibiarkan tersusun sendiri oleh mekanisme pasar bebas atau pun kehendak dan selera pasar. Secara imperatif negara menyusun, negara mendesain (lebih dari sekedar mengintervensi). Wujud ketersusunan jelas, yaitu tersusun sebagai usaha bersama (sebagai mutual endeavour) berdasar mutualisme atau kepentingan bersama. Dalam usaha bersama itu berlaku asas kekeluargaan (brotherhood) yang bukan kindship atau kekerabatan), kegotongroyongan kooperatif. Dengan demikian Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menolak pasar bebas

(laissez-faire) yang mengemban paham liberalisme dan individualisme.

Dengan pokok permohonan dari Gerakan Koperasi Jawa Timur dan dengan alasan yang jelas tertera didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan seluruh pokok permohonan beserta alasan-alasan yang jelas. Berikut hasil pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang berbentuk pendapat dan telah dianalisis, antara lain: 1. Pengertian koperasi dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2012

Gerakan Koperasi Jawa Timur mendalilkan bahwa frasa “orang perseorangan” dalam pengertian koperasi yang termuat dalam pasal 1 angka 1UU 17/2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan alasan bahwa rumusan pengertian tersebut mengarah ke individualisme. Dengan demikian, meski tidak mengandung norma, namun suatu pengertian memiliki posisi penting


(39)

92

dalam undang-undang, terlebih manakala pengertian tersebut dikaitkan dengan pasal lain.

Pasal 1 angka 1 UU 17/2012 tentang Perkoperasian selengkapnya menyatakan,

”koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi”. Menurut Mahkamah, koperasi pada hakikatnya merupakan bagian dari tata susunan ekonomi indonesia yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.70

Mahkamah perlu mengutip pengertian koperasi dalam berbagai Undang-Undang yang pernah berlaku sebagai bahan perbandingan:

Pertama, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi:

“Koperasi ialah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal”.71

Kedua, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian:

“Koperasi adalah organisasi ekonomi dan alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insan masyarakat serta wahana menuju Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila” .72

Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian:

“Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum Koperasi yang

70Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian

71Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan

Koperasi


(40)

merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.73

Keempat, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian:

“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang –seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”. Dengan membandingkan beberapa pengertian dalam berbagai Undang-Undang tersebut, menurut Mahkamah, jelas bahwa hal yang ditonjolkan dalam perumusan pengertian koperasi adalah mengenai siapa koperasi itu, atau dengan perkataan lain, rumusan yang mengutamakan koperasi dalam perspektif subjek atau sebagai pelaku ekonomi, yang merupakan sebagian dari sistem ekonomi. Untuk maksud tersebut dirumuskan dengan kata atau frasa, perkumpulan,organisasi ekonomi,atau organisasi ekonomi rakyat.”74

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.mendalilkan koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi”, frasa orang perorangan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud koperasi yang berlandaskan kebersamaan dan kegotong-royongan, dapat ditinjau dari undang-undang koperasi pertama hingga keempat menunjukan kebersamaan dan kekeluargaan.

2. Gaji Pengurus dan Imbalan Pengawas (Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.) Pasal 37 ayat (1)

Huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

73 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian


(41)

94

Tahun 1945. Terhadap isu tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut:

Pasal 37 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. pada pokoknya memuat norma bahwa dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi. maka RAT tersebut memiliki kewenangan, antara lain, untuk meminta keterangan dan mengesahkan pertanggungjawaban pengawas dan pengurus dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Demikian pula pengurus juga bertugas, antara lain, menyusun laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas untuk diajukan kepada RAT. Khusus untuk pengurus, dalam laporan pertanggungjawaban dimaksud pengurus menyampaikan pelaksanaan tugasnya, termasuk laporan keuangan yang antara lain, mengenai besar imbalan bagi pengawas serta gaji dan tunjangan lain bagi pengurus. Menurut Mahkamah, materi muatan laporan keuangan sebagai bagian dari laporan pertanggungjawaban adalah hal yang wajar manakala pengawas dan pengurus memang benar-benar mendapatkannya. Oleh karena itu, sepanjang mengenai hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Adapun khusus tentang apakah pengawas secara konstitusional dapat diberikan imbalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (3) UU 17/2012 tentang Perkoperasian, demikian pula bagi pengurus dapat diberikan gaji dan tunjangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU 17/2012 tentang Perkoperasian.

Idealnya, yang melekat pada koperasi adalah bahwa pengurus koperasi tidak mendapat gaji. Pengurus koperasi hanya mendapat uang transport setiap kali menghadiri sidang. Pada koperasi yang mendapat gaji adalah mereka yang terus


(42)

menerus bekerja sebagai direktur dan buruh-buruhnya dari satu perusahaan koperasi yang gajinya tidak boleh lebih rendah dari perusahaan swasta biasa.

Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, gaji dan tunjangan bagi pengurus, termasuk imbalan bagi pengawas sebagaimana diuraikan di atas, bukanlah persoalan konstitusionalitas. Sebab, koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan dinamis.

Pasal 37 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian pada pokoknya memuat norma bahwa dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai perangkat organisasi koperasi yang memegang kekuasaan tertinggi, Adapun khusus tentang apakah pengawas secara konstitusional dapat diberikan imbalan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (3) UU 17/2012 tentang Perkoperasian, demikian pula bagi pengurus dapat diberikan gaji dan tunjangan sebagaimana ditentukan, dalam Pasal 57 ayat (2) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Idealnya, yang melekat pada koperasi adalah bahwa pengurus koperasi tidak mendapat gaji. Pengurus koperasi hanya mendapat uang transport setiap kali menghadiri sidang.Pada koperasi yang mendapat gaji adalah mereka yang terus menerus bekerja sebagai direktur dan buruh-buruhnya dari satu perusahaan koperasi yang gajinya tidak boleh lebih rendah dari perusahaan swasta biasa.)

3. Pasal 50 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Isu spesifik dari pasal-pasal tersebut adalah tugas pengawas mengusulkan pengurus, kewenangan pengawas menerima dan menolak anggota baru serta


(43)

96

memberhentikan anggota, dan kewenangan pengawas memberhentikan pengurus untuk sementara waktu. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Mengenai tugas dan kewenangan pengawas tersebut, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, haruslah dikaitkan dengan hakikat koperasi sebagai salah satu entitas penting pelaku dalam sistem ekonomi yang berkarakter demokrasi. Sesuai dengan karakter yang demikian maka anggota koperasi adalah pemegang kedaulatan dalam koperasi. Sebagai pemegang kedaulatan anggota memiliki hak untuk memilih dan dipilih Pasal 29 ayat (2) huruf c UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Artinya, terkait dengan pengurus koperasi, anggota berhak memilih anggota yang mana untuk menjadi pengurus dan bersamaan dengan itu anggota juga berhak untuk dipilih sebagai pengurus. RAT, terkait dengan pengurus koperasi, adalah mekanisme demokratis yang merupakan forum bagi setiap anggota dalam melaksanakan kedaulatannya dengan menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, terdapat kontradiksi antara Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan huruf e, serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian, yang masing-masing memberikan tugas kepada pengawas mengusulkan pengurus, memberikan kewenangan kepada pengawas menerima dan menolak anggota baru, memberhentikan anggota, serta memberhentikan pengurus untuk sementara waktu, dengan Pasal 5 ayat (1) huruf d dan huruf e serta Pasal 29 ayat (2) huruf c UU 17/2012 tentang Perkoperasian, yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi serta hak bagi anggota untuk memilih dan dipilih. Dengan demikian maka berarti pula


(44)

bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Mengenai tugas dan kewenangan pengawas tersebut, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi haruslah dikaitkan dengan hakikat koperasi sebagai salah satu keberadaan penting pelaku dalam sistem ekonomi yang berkarakter demokrasi. Sesuai dengan karakter yang demikian maka semua anggota koperasi adalah pemegang kendali dalam koperasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, terdapat kontradiksi antara Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan huruf e, serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian, masing-masing memberikan tugas kepada pengawas mengusulkan pengurus, pemberian kewenangan pengawas menerima dan menolak anggota baru, pemberhentian anggota, pemberhentian pengurus untuk sementara waktu, dengan Pasal 5 ayat (1) huruf d dan huruf e serta Pasal 29 ayat (2) huruf c UU 17/2012 tentang Perkoperasian, yang menjadikan demokrasi dan persamaan tugas dan kewajiban sebagai nilai dasar kegiatan koperasi serta hak bagi anggota untuk memilih dan dipilih. Dengan demikian maka berarti pula bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang menentukan bahwa pengurus koperasi dipilih dari non-anggota (frasa non-non-anggota), bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Terhadap dalil tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut, Untuk mempertimbangkan isu pengurus koperasi dipilih dari


(45)

non-98

anggota yang dihadapkan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, pertimbangan hukum tentang dalil koperasi sebagai subjek atau pelaku dalam susunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi, mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan terhadap isu dalam Pasal 55 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Secara khusus ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan hak anggota koperasi untuk menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih serta nilai kekeluargaan, bertanggung jawab, demokrasi, dan persamaan yang menjadi dasar koperasi serta nilai keterbukaan dan tanggung jawab yang diyakini anggota koperasi yang kesemuanya itu merupakan derivasi dari demokrasi ekonomi Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Terkait dengan pengurus dipilih dari non-anggota dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian pertimbangan hukum tentang dalil koperasi sebagai pelaku dalam tatanan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi, perubahan yang penting telah dilakukan dan berlaku sebagai pertimbangan terkait isu dalam pasal 55 ayat (1) UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Ketentuan tersebut menghalangi bahkan menyampingkan hak anggota koperasi untuk mengemukakan pendapat, memilih dan dipilih serta nilai kekeluargaan, bertanggung jawab, demokrasi, dan persamaan yang menjadi dasar koperasi serta nilai keterbukaan dan tanggung jawab yang diyakini anggota yang kesemuanya itu merupakan pembentukan keputusan yang terbaik dari demokrasi ekonomi Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.


(46)

5. Pasal 66 sampai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tentang Modal Koperasi, yaitu bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Terhadap dalil tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut, Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 75 yang mengatur modal penyertaan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena membuka intervensi pihak luar, termasuk pemerintah dan pihak asing, melalui permodalan tanpa batas, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 tersebut di atas mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan terhadap Pasal 75, karena pasal-pasal tersebut secara substansial mengatur tentang modal penyertaan, hanya bedanya yang diatur dalam Pasal 75 ini berasal dari pihak diluar anggota koperasi. Oleh karena itu, terkait dengan modal penyertaan dalam pasal a quo, Mahkamah mempertimbangkan secara khusus bahwa koperasi sebagai perkumpulan orang dengan demikian menjadi tidak berbeda dengan Perseroan Terbatas sebagai kumpulan modal, atau bahkan sebagai Perseroan Terbatas terbuka yang go public yang menghimpun modal sebanyak-banyaknya dengan tanpa batas dengan resiko terbukanya peluang intervensi dari pihak di luar koperasi.

Mengenai modal koperasi berdasarkan Pasal 66 UU 17/2012 tentang Perkoperasian adalah terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal. Selain itu, modal koperasi dapat berasal dari hibah, modal penyertaan, modal pinjaman yang berasal dari anggota, koperasi lainnya dan/atau anggotanya, bank, dan lembaga keuangan lainnya, penerbitan obligasi dan surat


(47)

100

hutang lainnya, dan/atau Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan tentang penggunaan istilah setoran pokok. Istilah setoran pokok, menurut Mahkamah, lebih menekankan pada pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi. Berbeda dengan penggunaan istilah simpanan pokok yang maknanya bahwa anggota koperasi menyimpan sejumlah uang sebagai modal. Koperasi adalah tempat, yang menurut anggota, aman karena pengurus yang sesungguhnya adalah sesama anggota sepertinya bersifat amanah. Dengan demikian setiap anggota yang membayar simpanan pokok sebagai modal koperasi memercayai simpanan tersebut aman, sehingga manakala yang bersangkutan keluar atau berhenti karena suatu alasan maka simpanan tersebut dapat diambil kembali.

Istilah setoran pokok, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, lebih menekankan pada pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal, sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi. Sehingga memunculkan pandangan bahwa koperasi memiliki sifat yang lebih mengutamakan keuntungan dari anggotanya)

6. Larangan Pembagian Surplus Hasil Usaha Yang Berasal Dari Transaksi Dengan Non-Anggota (Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.


(48)

Gerakan Koperasi Jawa Timur mendalilkan bahwa Pasal 78 ayat (2) UU 17/2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) danPasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut, Pasal tersebut termuat dalam Bab VIII Selisih Hasil Usaha Dan Dana Cadangan. Pasal 1 angka 12 UU 17/2012 tentang Perkoperasian menyatakan, “Selisih Hasil Usaha adalah Surplus Hasil Usaha atau Defisit Hasil Usaha yang diperoleh dari hasil usaha atau pendapatan Koperasi dalam satu tahun buku setelah dikurangi dengan pengeluaran atas berbaga beban usaha”. Selisih hasil usaha, berdasarkan pasal tersebut terdiri atas dua macam, yaitu surplus hasil usaha dan defisit hasil usaha. Pasal 78 ayat (2) melarang pembagian surplus hasil usaha yang berasal dari transaksi dengan non-anggota kepada anggota manakala koperasi mengalami surplus hasil usaha. Sementara itu, Pasal 80 mewajibkan kepada anggota menyetor sertifikat modal koperasi manakala koperasi mengalami defisit hasil usaha. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) dan Pasal 80 tersebut, terdapat ketidakadilan terkait dengan hak dan kewajiban, yaitu ketika koperasi mengalami surplus hasil usaha anggota tak berhak atas surplus – meski hanya yang berasal dari transaksi dengan non-anggota-tapi ketika koperasi mengalami defisit hasil usaha, baik disebabkan oleh transaksi dengan anggota atau non-anggota, anggota wajib menyetor sertifikat modal koperasi sebagai tambahan modal.

Ketentuan dalam Pasal 78 ayat (2) dan Pasal 80 dinilai tidak adil terkait dengan hak dan kewajiban, yaitu ketika koperasi mengalami surplus hasil usaha anggota tak berhak atas surplus– meski hanya yang berasal dari transaksi dengan non-anggota-tapi ketika koperasi mengalami defisit hasil usaha, baik disebabkan


(49)

102

oleh transaksi dengan anggota atau non-anggota, anggota wajib menyetor sertifikat modal koperasi sebagai tambahan modal.

7. Penambahan Sertifikat Modal Koperasi (pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Gerakan Koperasi Jawa Timur mendalilkan bahwa Pasal 80 perihal kewajiban menyetor tambahan sertifikat modal koperasi jika terjadi defisit hasil usaha khusus pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang didalilkan pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap dalil Gerakan Koperasi Jawa Timur tersebut oleh karena Mahkamah telah mempertimbangkan tentang modal koperasi yang pada pokoknya dalil para Pemohon beralasan menurut hukum maka dalil tersebut dianggap telah dipertimbangkan.

Ketentuan yang menetukan apabila terjadi defisit pada Koperasi Simpan Pinjam, anggota wajib menyetor tambahan Sertifikat Modal Koperasi tersebut merupakan bentuk eksploitasi.

8. Jenis Koperasi Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Gerakan Koperasi Jawa Timur mendalilkan Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 UU 17/2012 tentang Perkoperasian. bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1)dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut, Pasal 82 pada pokoknya memerintahkan supaya setiap koperasi dalam Anggaran Dasarnya (AD) menentukan jenis koperasi, yang didasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/atau kepentingan ekonomi anggota. Pasal 83 dan Pasal 84


(50)

pada pokoknya menentukan dalam merumuskan kegiatannya jenis koperasi terdiri dari koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam.

Ketentuan dalam tiga pasal tersebut, menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, mengandung pengertian pembatasan jenis kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh koperasi. Dengan adanya pembatasan tersebut maka pengertian ikutannya secara normatif adalah bahwa kegiatan usaha koperasi hanya ada empat jenis yang ditentukan dan koperasi hanya boleh memilih salah satu dari empat jenis kegiatan usaha yang telah ditentukan.

Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, membatasi jenis kegiatan usaha koperasi hanya empat jenis telah memasung kreativitas koperasi untuk menentukan sendiri jenis kegiatan usaha, yang bisa jadi, berseiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan ekonomi, berkembang pula jenis kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomis manusia. Terlebih lagi, manakala ketentuan tersebut dimaknai bahwa satu koperasi harus memilih satu jenis kegiatan usaha.

Ketentuan pasal tersebut mengandung pengertian pembatasan jenis kegiatan koperasi. Membatasi jenis kegiatan usaha koperasi hanya empat jenis telah memasung kreativitas koperasi untuk menentukan sendiri jenis kegiatan usaha, yang bisa jadi, berseiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan ekonomi, berkembang jenis kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia.


(51)

104

B. Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan Dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

Aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan merupakan sebuah intisari dari Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan adalah hasil pemikiran yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.

Harus disadari bahwa, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu kesatuan, dimana usaha bersama dan asas kekeluargaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar dalam pembatalan UU 17/2012 tentang Perkoperasian, setelah beberapa kali diajukannya permohonan terhadap Mahkamah Konstitusi pada tahun 2013 akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk membatalkan UU 17/2012 tentang Perkoperasian dikarenakan tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013.

Dasar filosofis UU 17/2012 tentang Perkoperasian adalah kapitalisme yang ciri utamanya adalah pengutamaan modal dan individualisme yang secara jelas diuraikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013. Berbeda dengan koperasi, yang ciri utamanya mengutamakan kumpulan orang dan


(1)

mungkin penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat, dan memberikan kontribusi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Medan, 17 Desember 2015 Penulis


(2)

DAFTAR ISI Kata Pengantar

Daftar Isi Abstrak

BAB I PENDAHULUAN

A....Lat ar Belakang ... 1 B....Ru

musan Masalah... 6 C...Tuj

uan dan Manfaat Penelitian... 7 D...Kea

slian Penelitian ... 8 E...Tinj

auan Pustaka... 8 F....Met

ode Penelitian ... 14 G....Sist

ematika Penulisan... 17` BAB II Perkoperasian Menurut Hukum Positif Di Indonesia

A....Kop erasi sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat ... 20

B...Fun


(3)

C....Pe mbentukan Koperasi sebagai Badan Usaha ... 42

D...Pen

geloloaan Organisasi Koperasi ... 52

BAB III Penerapan Pasal 33 Ayat 1 Undang–Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

A...Pas

al 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Landasan Perkonomian Indonesia ... 57

B...Pas

al 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Penjamin Hak Konstitusional untuk Melakukan Usaha Koperasi ... 64

C....Pen erapan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 di Bidang Perkoperasian ... 70

BAB IV Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan Dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013

A...Pert

imbangan Hukum Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 ... 82


(4)

B....Asp ek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 ... 104

C...Kon

sekuensi Hukum terhadap Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 .... 117

BAB V PENUTUP

A...Kes

impulan ... 122 B....Sar

an ... 124 Daftar Pustaka ... 126


(5)

(6)

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan Dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013 SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RIANDA DIRKARESHZA NIM: 110200431

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum ekonomi

Windha S.H.,M.Hum. NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum Windha, S.H., M.Hum NIP : NIP. 1970020120002122001 NIP : 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


Dokumen yang terkait

Implementasi Permenkes RI No. 1096/Menkes/Per/ VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga Terhadap Kelayakanan Fisik Jasaboga di Kota Sibolga tahun 2014

9 206 86

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Putusan No. 93/Puu-X/2012 Mahkamah Konstitusi)

0 6 168

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28 PUU-XI 2013

0 0 10

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28 PUU-XI 2013

0 0 1

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28 PUU-XI 2013

0 0 19

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28 PUU-XI 2013

0 0 37

Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28 PUU-XI 2013

0 0 3