Analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao (Kasus : PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Bandung)

(1)

ANALISIS DAYASAING

PEMERINTAH TERHADAP

(KASUS : PTPN VIII

AFDELING RA

FITRIYA

DEPARTE

FAKULTAS EKO

INSTITU

DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

TERHADAP KOMODITAS KAKAO

KASUS : PTPN VIII KEBUN CIKUMPAY

RAJAMANDALA BANDUNG)

SKRIPSI

ANI MIR’AH ALIYATILLAH H34050643

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ABSTRACT

This study identifies competitiveness of cacao. The objectives of this study are to analyze competitiveness of cacao in PTPN VIII Cikumpay Rajamandala, to analyze government policy effect in competitiveness of cacao in PTPN VIII Cikumpay Rajamandala, and to analyze the change effect of productivity, cacao price, and exchange rate of rupiah to competitiveness of cacao in PTPN VIII Cikumpay Rajamandala. This research uses Policy Analysis Matrix (PAM) to analyze the data. The results suggest that cacao from PTPN VIII Rajamandala have competitiveness. Value of PCR (0.92) and DRC (0.95) reveal that cacao have comparative and competitive advantages. The value of NPCO indicates that government policy (basic price for PTPN) is support competitiveness of cacao, but the value of NPCI shows that governnment policy (removal of fertilizer subsidies for PTPN) is not support competitiveness of cacao. Sensitivity analysis indicates that productivity, price of cacao and exchange rate of rupiah influence the competitiveness of cacao in PTPN VIII Cikumpay Rajamandala West Java. Key word: Cacao, Competitiveness, Policy Analysis Matrix, government policy


(3)

RINGKASAN

FITRIYANI MIR’AH ALIYATILLAH. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia yang potensial sebagai penghasil devisa negara. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi ekspor sehingga akan menghadapi persaingan di pasar internasional. Sistem perdagangan internasional menghadapkan dunia pada banyak pilihan. Produk atau komoditas yang memiliki dayasainglah yang akan terpilih oleh konsumen dunia. Dayasaing sangat identik dengan kualitas sedangkan harga merupakan indikator utama dari kualitas. Oleh karena itu, komoditas yang berkualitas tinggi akan dinilai dengan harga yang tinggi dan begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, komoditas kakao Indonesia harus memiliki dayasaing agar dapat tetap diterima oleh konsumen dunia.

Kakao Indonesia di pasar dunia dinilai rendah karena dianggap tidak terfermentasi dengan sempurna (unfermented). Kakao tersebut dihasilkan oleh perkebunan rakyat yang luas arealnya mencapai 92.8 persen dari total keseluruhan areal kakao Indonesia. Di sisi lain, perkebunan negara ternyata mampu menghasilkan kakao dengan kualitas yang tinggi dengan produktivitas per luas lahan yang tinggi juga. PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat merupakan salah satu perkebunan negara yang mampu menghasilkan kakao berkualitas dengan produktivitas yang juga tinggi. Berdasarkan fakta tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah 1). Menganalisis dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat sebagai produsen kakao berkualitas, 2). Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas kakao PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat, dan 3). Mempelajari pengaruh perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs rupiah terhadap dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat

Penelitian dilaksanakan di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala. Waktu penelitian dari bulan 11 Mei sampai dengan 13 Juni 2009 setelah sebelumnya melakukan studi pustaka dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan April 2009. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap mandor-mandor, pengawas perkebunan yaitu Bapak Yanto Ariyanto, dan pakar budidaya kakao yaitu Bapak Endang Tohir, serta melihat langsung proses budidaya dan pengolahan kakao di Perkebunan kakao Afdeling Rajamandala Jawa Barat. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perkebunan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), United Nations Commodity Trade Statistics Database (COMTRADE), International Cocoa Organization (ICCO). Penelitian ini menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM).


(4)

Dayasaing komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala dapat dilihat dari analisis keunggulan kompetitif dan komparatifnya. Analisis keunggulan kompetitif terdiri dari analisis keuntungan privat (Privat Profit/PP) dan Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/PCR). Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol menunjukkan bahwa perkebunan Afdeling Rajamandala memperoleh profit di atas normal sedangkan nilai PCR yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa untuk menambah nilai output satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Oleh karena itu, pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Analisis keunggulan komparatif terdiri dari analisis keuntungan sosial (Social Profit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Nilai keuntungan sosial yang positif menunjukkan pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala menguntungkan secara ekonomi sedangkan nilai DRC yang positif menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas kakao di lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif dan efisien secara ekonomi.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/EPC), Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/PC), Transfer Bersih (TB), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Berdasarkan nilai EPC yang positif dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input kakao efektif melindungi perkebunan Afdeling Rajamandala. Nilai TB yang lebih dari nol menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output kakao akan meningkatkan surplus perkebunan Afdeling Rajamanda. Nilai PC yang lebih dari satu mengindikasikan kebijakan pemerintah yang ada dapat meningkatkan produksi kakao di lokasi penelitian karena keuntungan privat lebih besar dari keuntungan sosialnya. Nilai SRP yang positif menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan perkebunan afdeling Rajamandala mengeluarkan biaya lebih rendah dari opportunity cost untuk berproduksi. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah yang ada menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala.

Perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs mata uang sangat berpengaruh terhadap dayasaing komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala tidak berdayasaing baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifnya sedangkan depresiasi dan apresiasi mempengaruhi dayasaing kakao dalam segi keunggulan komparatifnya.


(5)

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KAKAO

(KASUS : PTPN VIII KEBUN CIKUMPAY

AFDELING RAJAMANDALA BANDUNG)

FITRIYANI MIR’AH ALIYATILLAH H34050643

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(6)

Judul Skripsi : Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao

(Kasus : PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Bandung)

Nama : Fitriyani Mir’ah Aliyatillah

NRP : H34050643

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1002

Mengetahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1002


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

Fitriyani Mir’ah A. H34050643


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 September 1987. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Maman Karliman dan Ibunda Fatmah Setiawati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Cangkuang 2 Bandung pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 3 Rancaekek. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Cicalengka diselesaikan pada tahun 2005.

Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005.

Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus DKM Al-Hurriyah periode tahun 2005-2006, Pengurus Forum Mahasiswa Islam Fakultas Ekonomi dan Manajemen periode 2006-2007, dan Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa FEM Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia periode 2007.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi banyak rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat”.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama untuk menganalisis dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat sebagai produsen kakao yang berkualitas. Tujuan kedua untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas kakao PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat. Tujuan ketiga adalah untuk menganalisis perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs rupiah terhadap dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan dayasaing kakao yang dihasilkannya. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk semua pihak terutama masyarakat akademik, para pengambil keputusan, dan para pelaku ekonomi dalam sektor perkebunan khususnya komoditas kakao sebagai upaya untuk merekomendasikan konsep pengembangan dayasaing komoditas kakao dalam menghadapi pasar internasional.

Bogor, Agustus 2009 Fitriyani Mir’ah A.


(10)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Ayahanda Drs. Maman Karliman dan Ibunda Patmah Setiawati serta keluarga tercinta untuk setiap dukungan berupa kasih sayang dan doa yang diberikan. Semoga skripsi ini bisa menjadi persembahan yang terbaik

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai Dosen Pembimbing atas semua bimbingan, arahan, waktu, motivasi, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Dwi Rachmina, MSi dan Eva Yolynda Aviny, SP.MM sebagai dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Ir. Narni Farmayanti, MS yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh staf Departemen Agribisnis.

5. Bapak Yanto Ariyanto yang telah bersedia memberikan waktu, kesempatan, informasi, dan pengetahuan dengan penuh kasih sayang kepada penulis selama melakukan penelitian di perkebunan Rajamandala.

6. Bapak Endang Tohir yang telah bersedia membimbing dan memberikan ilmu dengan penuh kesabaran dan kasih sayang kepada penulis selama melakukan penelitian di perkebunan Rajamandala.

7. Bapak Enday beserta keluarga yang telah bersedia memberikan dukungan berupa bantuan dan kasih sayang kepada penulis selama melakukan penelitian di perkebunan Rajamandala.

8. Segenap staf dan karyawan PTPN VIII Afdeling Rajamandala atas seluruh bantuan dan kerjasama yang diberikan.

9. Renny Afifah, Kartika Musbyarini, dan Diar Yuniarti sebagai sahabat terbaik yang telah memberikan dukungan berupa waktu dan semangat kepada penulis selama melakukan studi di almamater IPB tercinta.

10.Wiyanto Sudarsono, Donny Zepriana, dan Yunita Rahma Fauziah sebagai teman satu bimbingan atas masukan dan dukungan berupa semangat dan diskusi bersama sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.


(11)

11.Dian Lestari, Indriyani, dan Nedia Septiyorini sebagai teman terbaik yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berbagi cerita dan pengalaman sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Arlisda Febriana, Ela Elawati, Teguh Purwadi, dan Janry Wolden sebagai teman gladikarya yang telah bersedia bekerja sama dengan optimisme dan semangat kekeluargaan.

13.Teman-teman seperjuangan dan teman-teman Agribisnis 42 atas semangat dan persaudaraan yang terjalin selama melakukan studi di departemen Agribisnis tercinta.

14.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Dayasaing ... 11

2.2. Penelitian Terdahuli Mengenai Dampak Kebijakan Pemerintah .... 15

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 19

3.1.1. Konsep Dayasaing ... 19

3.1.2. Konsep Kebijakan Pemerintah ... 21

3.1.3. Matriks Kebijakan Pemerintah ... 28

3.1.4. Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) ... 33

3.1.5. Analisis Sensitivitas ... 34

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 35

IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

4.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 39

4.3. Metode Analisis Data ... 40

4.4. Metode Alokasi Komponen Biaya Asing dan Domestik ... 40

4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan ... 43

4.5.1 Harga Bayangan Output Kakao ... 43

4.5.2 Harga Bayangan Input ... 44

4.6. Tabulasi dan Analisis Indikator Matriks Kebijakan ... 48

4.6.1 Analisis Dayasaing ... 48

4.6.2 Analisis Dampak kebijakan Pemerintah ... 50

4.7. Metode Analisis Sensitivitas ... 55

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 56

5.1. Sejarah Perkebunan Afdeling Rajamandala ... 56

5.2. Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan ... 57

5.3. Kondisi Umum Perkebunan Afdeling Rajamandala ... 59

5.4. Luas Areal dan Tata Guna Lahan ... 60


(13)

5.5.1. Aktivitas Budidaya ... 64

5.5.2. Aktivitas Pengolahan ... 73

VI ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KAKAO AFDELING RAJAMANDALA ... 79

6.1. Analisis Dayasaing ... 82

6.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ... 85

6.2.1. Kebijakan Output ... 85

6.2.2. Kebijakan Input ... 85

6.2.3. Kebijakan Output-Input ... 86

6.3. Analisis Sensitivitas ... 88

6.3.1. Apresiasi Nilai tukar Rupiah sebesar 10 persen ... 88

6.3.2. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah sebesar 10 persen ... 90

6.3.3. Penurunan Produksi Sebesar 10 persen ... 91

6.3.4. Peningkatan Produksi Sebesar 10 persen ... 92

6.3.5. Penurunan Harga Kakao Sebesar 5 persen ... 92

6.3.6. Peningkatan Harga Kakao Sebesar 15 persen ... 93

VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

7.1. Kesimpulan ... 96

7.2. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(14)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Neraca Ekspor Beberapa Komoditas Perkebunan Indonesia

Tahun 2003-2005 (juta Ton) ... 2

2. Produsen Kakao Dunia Tahun 2003-2006 ... 3

3. Negara Produsen Kakao ... 3

4. Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2001-2005 ... 4

5. Harga Rata-rata Kakao Dunia dan Indonesia 2001-2007 ... 6

6. Luas Lahan dan Luas Tanaman Menghasilkan Perkebunan Kakao Indonesia ... 7

7. Kualitas Kakao Berstandar Internasional ... 8

8. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ... 22

9. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) ... 29

10. Alokasi Biaya Produksi Komoditas Kakao di Afdeling Rajamandala terhadap Komponen Domestik dan Asing ... 41

11. Komposisi dan Jumlah Karyawan di Perkebunan Afdeling Rajamandala ... 58

12. Curah Hujan di Perkebunan Afdeling Rajamandala 2004-2009 ... 60

13. Luas Areal Tanaman Kakao Perkebunan Afdeling Rajamandala .... 61

14. Luas Areal Konsesi Perkebunan Afdeling Rajamandala 2009 ... 62

15. Dosis Pemupukan Tanaman Menghasilkan Semester Pertama di Afdeling Rajamandala ... 69

16. Kelas Mutu Biji Kakao di Pabrik Pengolahan Afdeling Rajamandala ... 77

17. Tabulasi PAM Komoditas Kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala ... 80

18. Indikator Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao Afdeling Rajamandala ... 83

19. Perbandingan Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala ... 84

20. Perubahan Indikator Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah pada Analisis Sensitivitas ... 88

21. Tabulasi PAM Skenario Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 persen (Skenario 1) ... 89


(15)

22. Tabulasi PAM Skenario Pelemahan Nilai Tukar Rupiah 10 persen (Skenario 2) ... 90 23. Tabulasi PAM Skenario Penurunan Produksi 10 persen

(Skenario 3) ... 91 24. Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Produksi 10 persen

(Skenario 4) ... 92 25. Tabulasi PAM Skenario Penurunan Harga Kakao 5 Persen

(Skenario 5) ... 93 26. Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Kakao 15 Persen


(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2002-2006 ... 5

2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor ... 24

3. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable ... 27

4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Domestik ... 28

5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 39


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Nilai Tukar Rupiah Rata-rata terhadap Dollar Amerika

Tahun 1989-2008 ... 102 2. Produksi Kakao Afdeling Rajamandala Tahun 2001-2007 ... 103 3. Tabel Input-Output Pengusahaan Komoditas Kakao Perkebunan

Rajamandala Jawa Barat ... 104 4. Perhitungan Harga Nilai Tukar Bayangan ... 108 5. Harga Privat dan Sosial Input-Output Pengusahaan Komoditas

Kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala ... 109 6. Rekapitulasi Budget Privat Terdiskon pada Pengusahaan

Komoditas Kakao di perkebunan Rajamandala Jawa Barat ... 110 7. Rekapitulasi Budget Sosial Terdiskon pada Pengusahaan

Komoditas Kakao di perkebunan Rajamandala Jawa Barat ... 111 8. Proporsi Biaya Input terhadap Biaya Input Total Pengusahaan


(18)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Pentingnya sektor pertanian tersebut dapat dilihat dari lima alasan utama. Pertama, sektor pertanian merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia karena hampir 75 persen angkatan kerja tergantung kepada sektor agribisnis. Kedua, sektor pertanian merupakan pengha-sil bahan makanan pokok, sementara itu ketahanan pangan merupakan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi maupun ketahanan sosial. Ketiga, besarnya nilai investasi di sektor pertanian. Keempat, sektor pertanian masih me-nempati posisi penting sebagai penyumbang terhadap pendapatan nasional (PDB). Kelima, sektor pertanian merupakan penyumbang devisa yang relatif besar dan cukup lentur dalam menghadapi gejolak moneter dan krisis ekonomi (Gumbira 2001).

Sektor pertanian mencakup subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan hasil-hasilnya. Masing-masing dari subsektor tersebut berperan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor yang berperan dalam menyumbang devisa negara.

Subsektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional salah satunya adalah perkebunan. Peranan penting perkebunan diantara-nya adalah sebagai penyedia lapangan kerja, penghasil devisa negara, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan menjadi sumber penghidupan bagi 17,1 juta tenaga kerja1. Komoditas perkebunan juga menjadi andalan ekspor Indonesia di pasar internasional. Tabel 1 menunjuk-kan volume perdagangan beberapa komoditas perkebunan Indonesia.


(19)

Tabel 1. Neraca Ekspor Beberapa Komoditas Perkebunan Indonesia Tahun 2003- 2005 (Juta Ton)

Komoditas

2003 2004 2005

Volume (Kg) Nilai (USD) Volume (Kg) Nilai (USD) Volume (Kg) Nilai (USD)

Kelapa 773.119.288 221.608.141 823.315.967 329.686.546 1.246.962.298 513.734.614 Karet 1.650.398.733 1.465.444.557 1.866.025.028 2.164.565.135 2.024.745.437 2.584.079.896 Kelapa

Sawit 7.821.442.953 2.764.474.150 10.967.882.167 4.030.764.321 13.131.028.547 4.430.920.909 Kopi 323.903.645 259.106.580 344.076.860 294.114.392 445.929.794 504.407.211 Teh Hijau 88.175.532 95.815.624 98.571.840 116.017.816 102.293.988 121.495.666 Lada 51.545.619 93.444.579 32.363.776 55.636.738 34.530.847 58.437.362 Tembakau 40.639.089 62.873.486 46.462.369 90.617.970 49.711.610 107.281.764

Kakao 357.737.269 623.933.553 368.757.742 549.347.769 465.161.610 667.993.359

Cengkeh 15.688.103 24.929.394 9.059.868 16.037.087 7.682.658 14.916.386

Vanili 6.363.127 19.275.235 740.993 16.501.698 277.650 5.346.612

Total 11,129,013,358 5,630,905,299 14,557,256,610 7,663,289,472 17,508,324,439 9,008,613,779

Sumber: Departemen Pertanian (2006)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa volume dan nilai ekspor komoditas perkebunan mayoritas mengalami peningkatan selama periode 2003-2005. Ekspor komoditas perkebunan didominasi oleh kelapa sawit, karet, kakao, kopi dan kelapa. Volume dan nilai ekspor komoditas perkebunan yang menga-lami penurunan selama periode tersebut adalah lada, cengkeh dan vanili.

Komoditas perkebunan Indonesia yang cukup potensial adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional. Peranan tersebut terutama sebagai penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber devisa negara terbesar ketiga dari subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US Dollar 667 juta pada tahun 2005.

Dalam konteks dunia, kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Secara umum produsen kakao dunia yang terbagi dalam tiga wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.


(20)

Tabel 2. Produsen Kakao Dunia Tahun 2003-2006

Produsen

2003 2004 2005 2006

Pro-duksi rata-rata Prod. (Ribu Ton) % Prod. (Ribu Ton) % Prod. (Ribu Ton) % Prod. (Ribu Ton) %

Afrika 2231 70.4 2550 72.1 2379 70.3 2577 71.8 71.2 Amerika 428 13.5 462 13.1 443 13.1 447 12.4 13.0 Asia &

Oceania 510 16.1 525 14.8 560 16.6 568 15.8 15.8

Total

Dunia 3169 100 3537 100 3382 100 3592 100

Sumber: International Cocoa Organization (2007)

Produsen terbesar kakao dunia berada di benua Afrika yang menghasilkan rata-rata 71.2 persen per tahun selama tahun 2003 sampai 2006 dari total keseluruhan kakao yang diproduksi oleh dunia. Diikuti oleh benua Asia dan Oceania yang menyumbangkan rata-rata 15.8 persen per tahun kakao dunia, serta benua Amerika yang memberikan proporsi terkecil yaitu rata-rata 13.0 persen per tahun. Adapun negara produsen kakao dunia secara spesifik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Negara Produsen Kakao

Produsen Produksi Biji Kakao Dunia ( ribu ton )

% Produksi rata-rata

2003 % 2004 % 2005 % 2006 %

Kamerun 160 5.05 162 4.58 184 5.44 168 4.68 4.94 P.Gading 1352 42.66 1407 39.78 1286 38.02 1387 38.61 39.77 Ghana 497 15.68 737 20.84 599 17.71 741 20.63 18.72 Nigeria 173 5.46 180 5.09 200 5.91 170 4.73 5.30 Brazil 163 5.14 163 4.61 171 5.06 162 4.51 4.83 Ekuador 86 2.71 117 3.31 116 3.43 115 3.20 3.16 Indonesia 410 12.94 430 12.16 460 13.60 470 13.08 12.95 Malaysia 36 1.14 34 0.96 29 0.86 30 0.84 0.95 P. Nugini 43 1.36 39 1.10 48 1.42 48 1.34 1.31 Lainnya 249 7.86 268 7.58 289 8.55 301 8.38 8.09 Total 3169 100 3537 100 3382 100 3592 100


(21)

Indonesia merupakan Negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pemasok utama kakao dunia adalah Pantai Gading dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 39.77 persen, Ghana sebesar 18.72 persen dan Indonesia 12.95 persen. Pemasok lainnya adalah Kamerun 4.94 persen, Nigeria 5.30 persen, Brasil sebanyak 4.83 persen, dan Ekuador sebanyak 3.16 persen.

Produksi kakao yang relatif meningkat dari tahun ke tahun didorong oleh adanya peningkatan konsumsi kakao dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk dunia dan pengaruh perbaikan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat. Data konsumsi kakao dunia secara kumulatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2001-2005

Negara Volume Konsumsi (ton)

2002 % 2003 % 2004 % 2005 %

Eropa 1,489,600 50.8 1,520,400 50.7 1,589,700 49.7 1,606,700 49.6 Afrika 68,000 2.3 74,900 2.5 75,900 2.4 85,200 2.6 Amerika 1,004,900 34.3 1,029,000 34.3 1,126,500 35.2 1,118,700 34.5 Asia &

Oceania 358,900 12.2 377,700 12.6 407,000 12.7 429,000 13.2

Total 2,930,000 100 3,002,000 100 3,199,000 100 3,240,000

Sumber : Asosiasi Kakao Indonesia (2006)

Konsumsi kakao dunia didominasi oleh Negara Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara industri dengan pendapatan per kapita jauh di atas US dollar 1.000. Eropa mengkonsumsi kakao rata-rata 49.6 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara Amerika Serikat rata-rata konsumsinya 34.55 persen walaupun konsumsi kakao di Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar satu persen pada tahun 2005 yaitu dari 34.3 persen menjadi 35.2 persen. Adapun konsumsi rata-rata kakao negara Asia adalah 13.2 persen dan Afrika 2.6 persen.

Adapun perbedaan pertumbuhan produksi dan konsumsi kakao di tingkat dunia dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2002-2006 Sumber : ICCO (International Cocoa Organization)

Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa pertumbuhan produksi kakao dunia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi kakao dunia. Pertumbuhan produksi kakao dunia rata-rata sebesar 6.2 persen per tahun sedangkan pertumbuhan konsumsi kakao dunia rata-rata sebesar 4.0 persen per tahun. Walaupun kondisi pertumbuhan konsumsi kakao dunia saat ini relatif lebih rendah dari pertumbuhan produksinya, namun pertumbuhan konsumsi kakao dunia diikuti oleh kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi kakao dunia pada tahun 2011 akan mencapai 4.05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4.10 juta ton, sehingga akan terjadi kekurangan supply sekitar 50 ribu ton per tahun2. Hal ini diperkirakan akan terus berlangsung pada tahun-tahun berikutnya. Dari perkiraan ICCO tersebut, pasar kakao dunia dapat dikatakan masih terbuka lebar yang diperkuat oleh tingkat harga kakao dunia yang cenderung mengalami peningkatan walaupun senantiasa berfluktuasi.

Kondisi perkakaoan nasional pun menarik untuk diperhatikan. Kakao Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut diantaranya adalah kualitas biji kakao yang rendah yang bermula dari subsistem usahatani sampai dengan subsistem penunjang. Kualitas dan harga memiliki korelasi yang positif. Oleh karena itu, rendahnya kualitas kakao Indonesia secara


(23)

otomatis akan menyebabkan harga kakao Indonesia di pasar internasional juga relatif rendah. Tabel 5 menunjukkan tingkat harga rata-rata kakao dunia dan Indonesia.

Tabel 5. Harga Rata-rata Kakao Dunia dan Indonesia Tahun 2001-2007 Tahun Harga Rata-rata Kakao

(US $ per ton)

Harga Rata-rata Kakao Indonesia

(US $ per ton)

2001 1088.7 979.2

2002 1778.0 1600.2

2003 1754.9 1578.6

2004 1548.4 1393.2

2005 1538.1 1384.2

2006 1590.1 1431.0

2007 1934.6 1740.6

Sumber: International Cocoa Organization (2007)

Kualitas sebagai indikator dayasaing sangat memengaruhi tingkat harga. Oleh karena itu, ketika kakao Indonesia dinilai berkualitas rendah secara otomatis harga yang ditetapkannya pun akan berada di bawah harga kakao yang berlaku di tingkat dunia. Rendahnya kualitas kakao Indonesia yaitu 85 persen dari total produksi adalah kakao yang tidak terfermentasi. Kualitas yang rendah dicirikan oleh kandungan asam yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavour, dan rendahnya kadar lemak3. Hal ini juga yang menjadi alasan utama mengapa harga biji kakao Indonesia dikenakan potongan yang cukup tinggi yaitu sekitar 10 sampai dengan 15 persen dari harga pasar dunia atau terkena diskon sampai USD 200 per ton.

Dalam hal produksi, luas areal perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun. Pada tahun 2006, perkebunan kakao Indonesia luas arealnya mencapai 1,19 juta hektar dan 92,8 persen bagiannya merupakan perkebunan rakyat dengan rata-rata pertumbuhan lahan selama empat tahun terakhir sebesar 7,4 persen per tahun. Sebanyak 7,2 persen bagian lainnya merupakan perkebunan negara dan swasta4.


(24)

Walaupun demikian, dari luas areal 1,19 juta hektar perkebunan rakyat tersebut hanya 70 persennya saja yang dapat menghasilkan. Rendahnya produktivitas lahan tersebut dikarenakan oleh banyaknya tanaman kakao yang berusia lebih dari 25 tahun dan belum merupakan Tanaman Menghasilkan (TM). Produktivitas per luas lahan tertinggi ternyata dicapai oleh perkebunan negara karena memiliki persentase TM terhadap luas lahan tertinggi dibandingkan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Luas lahan dan luas tanaman menghasilkan (TM) perkebunan kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Lahan dan Luas Tanaman Menghasilkan Perkebunan Kakao Indonesia

2003 2004 2005 2006

(Ribu ha) % Luas

TM

(Ribu ha) % luas TM

(Ribu ha) % luas TM

(Ribu ha) % luas TM Luas Areal Luas TM Luas Areal Luas TM Luas Areal Luas TM Luas Areal Luas TM

PR 861.1 583.1 67.7 1003.3 704.9 70.3 1081.1 747.8 69.2 1105.7 773.2 69.9 PN 49.9 38.0 76.2 38.7 33.7 87.1 38.3 33.7 88.0 38.5 34.4 89.4 PS 50.2 35.0 69.7 49.0 31.6 64.5 47.6 31.1 65.3 47.6 31.7 66.6

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2007, diolah)

Persentase tertinggi luas tanaman menghasilkan dicapai oleh perkebunan negara yaitu 89 persen sehingga produktivitas tertinggi terhadap luas lahan pun dicapai oleh perkebunan negara. Perkebunan rakyat dan perkebunan swasta memiliki jumlah TM yang lebih rendah yaitu 69 dan 66 persen walaupun jika dilihat dari segi luas areal, perkebunan negara memiliki luas areal lebih rendah dibandingkan perkebunan rakyat.

1.2. Perumusan Masalah

Sistem perdagangan internasional menghadapkan dunia pada banyak pilihan. Produk atau komoditas yang memiliki dayasainglah yang akan terpilih oleh konsumen dunia. Dayasaing sangat identik dengan kualitas sedangkan harga merupakan indikator utama dari kualitas. Oleh karena itu, komoditas yang berkualitas tinggi akan dinilai dengan harga yang tinggi dan begitu juga sebaliknya.


(25)

Berdasarkan fakta tersebut, komoditas-komoditas Indonesia yang berorientasi ekspor harus memiliki dayasaing agar dapat diterima oleh konsumen dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas Indonesia yang berorientasi ekspor sehingga akan menghadapi persaingan di pasar internasional. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian mengenai dayasaing kakao Indonesia.

Pengusahaan kakao di Indonesia dilaksanakan oleh tiga pihak yaitu Perkebunan rakyat, Perkebunan Negara, dan Perkebunan Swasta. Perkebunan rakyat merupakan perkebunan penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan luas lahan mencapai 92 persen dari total keseluruhan luas areal perkebunan Indonesia, sedangkan sisanya merupakan perkebunan swasta dan perkebunan Negara. Perkebunan rakyat sebagai produsen kakao dengan luas lahan terbesar dibandingkan perkebunan Negara dan swasta tentu akan menghasilkan kakao dalam jumlah yang paling besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kakao Indonesia yang dinilai berkualitas rendah di pasar dunia karena tidak terfermentasi secara sempurna (unfermented) berasal dari perkebunan rakyat.

Di sisi lain, kakao Indonesia ternyata tidak keseluruhannya berkualitas rendah. Kakao yang telah terfermentasi dengan sempurna bahkan memiliki kualitas berstandar internasional mampu dihasilkan oleh produsen kakao Indonesia yaitu perkebunan negara. Hal ini tidak terlepas dari teknik budidaya kakao yang benar serta adanya teknologi pengolahan terutama fermentasi yang sempurna. Tabel 7 menunjukkan kualitas kakao yang berstandar Internasional.

Tabel 7. Kualitas Kakao Berstandar Internasional

No Karakteristik Mutu A Mutu B Standar

1 Jumlah Biji/100 gr maks 100 110 >120

2 Kadar air, %(b/b) 7.5 7.5 >7.5

3 Berjamur, %(b/b) maks 3 4 >4

4 Tak terfermentasi %(b/b) maks 3 8 >8

5 Berserangga, hampa, berkecambah, % (b/b) maks 3 6 >6

6 Biji pecah, % (b/b) maks 3 3 3

7 Benda asing, % (b/b) maks 0 0 0

8 Kemasan kg, netto/karung 62.5 62.5 62.5


(26)

PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala merupakan salah satu perkebunan negara penghasil kakao berkualitas terbaik di Jawa Barat. Teknologi pengolahan pun telah tersedia dan mampu menghasilkan kakao berkualitas standar internasional sesuai dengan Tabel 7. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai dayasaing pengusahaan komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala. Jika terbukti memiliki dayasaing, perkebunan kakao rakyat yang berdayasaing lemah di pasar internasional dapat mengadopsi teknologi pengolahan terutama fermentasi maupun aktivitas budidaya yang telah diterapkan oleh perkebunan Afdeling Rajamandala.

Mengingat kakao merupakan komoditas perkebunan Indonesia yang berorientasi ekspor, perdagangannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah seperti tarif, kuota, subsidi, dan pajak. Kebijakan tersebut erat kaitannya dengan output dan input pengusahaan komoditas kakao. Kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan komoditas kakao diantaranya adalah penetapan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen5. Pajak ini ditetapkan untuk setiap kakao yang dibeli oleh pabrik dalam negeri sedangkan untuk tujuan ekspor tidak dikenakan pajak. Kebijakan ini tentunya akan mengakibatkan produsen kakao dalam negeri lebih memilih untuk melakukan kegiatan ekspor. Dampak lain yang terjadi adalah industri pengolah kakao domestik kekurangan pasokan bahan baku kakao.

Kebijakan pemerintah yang ada juga akan memengaruhi dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala. Kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap input dan output pengusahaan komoditas kakao di Afdeling Rajamandaka. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan dayasaing komoditas kakao, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan juga dayasaing. Oleh karena itu, maka diperlukan analisis kebijakan pemerintah yang memengaruhi dayasaing pengusahaan komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala.

Berdasarkan pemaparan tersebut, yang menjadi pertanyaan penelitian adalah:


(27)

1. Bagaimana dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat sebagai produsen kakao yang berkualitas? 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas

kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat? 3. Bagaimana pengaruh perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs rupiah

terhadap dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat sebagai produsen kakao yang berkualitas. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas

kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat. 3. Menganalisis pengaruh perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs

rupiah terhadap dayasaing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat?

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan dayasaing kakao.

2. Bagi Penulis sebagai wahana penerapan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah.

3. Bagi para pengambil keputusan dan para pelaku ekonomi dalam sektor perkebunan khususnya komoditas kakao sebagai upaya untuk merekomendasikan konsep pengembangan dayasaing komoditas kakao dalam menghadapi pasar internasional.

4. Bagi masyarakat akademik, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk meneliti lebih lanjut mengenai kondisi perdagangan kakao Indonesia di pasar domestik maupun internasional.


(28)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Dayasaing

Penelitian mengenai dayasaing telah dilaksanakan oleh banyak pihak. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian terkait dengan dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao, studi mengenai penelitian terdahulu penting untuk dilakukan. Adapun penelitian terdahulu yang relevan dengan research question tersebut diantaranya adalah:

1) Irnawati (2008) yang membahas analisis dayasaing kakao di pasar internasional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan internasional. Namun, keunggulan komparatif komoditas kakao Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan komoditas kakao Kamerun dan Nigeria yang produksi kakaonya di bawah Indonesia. Selain itu, Indonesia masih tergolong sebagai negara yang menerima harga (price taker) bukan penentu harga (price maker) kakao. Menurut Irnawati (2008) hal tersebut terjadi karena Indonesia belum tergabung ke dalam organisasi kakao internasional (International Cocoa Organization) sehingga Indonesia mendapatkan informasi yang lebih sedikit dalam melakukan kerjasama perdagangan. Berbeda dengan Kamerun dan Nigeria yang produksinya lebih rendah tetapi mampu menentukan harga jual kakao karena sudah tergabung dalam organisasi kakao internasional tersebut.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, kakao Indonesia dinilai masih berdayasaing lemah karena adanya berbagai kendala. Kendala tersebut diantaranya adalah rendahnya kualitas kakao karena belum memenuhi standar internasional, bibit bermutu rendah, penanganan pascapanen yang tidak memadai terutama fermentasi, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur, dan kurangnya peran industri terkait. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao juga telah diupayakan namun belum dapat dilihat dampaknya terkait dengan masih berjalannya program kebijakan tersebut. Kebijakan pemerintah dalam rangka mendukung dayasaing komoditas kakao nasional baik dari keunggulan komparatif maupun kompetitifnya antara lain peningkatan produktivitas melalui program intensifikasi tanaman terutama dalam


(29)

pengadaan bibit dan penggunaan bibit kakao unggul, pelatihan dan pendampingan petani dalam rangka pencegahan meluasnya serangan hama PBK, dan kebijakan pemantapan infrastruktur di wilayah pengembangan kakao.

Penelitian tentang kakao yang dilakukan oleh Irnawati (2008) belum dapat menjelaskan alasan Indonesia yang masih belum tergabung dalam organisasi kakao internasional. Dayasaing komoditas kakao juga dinilai lemah karena kualitas kakao Indonesia yang dinilai rendah utamanya disebabkan oleh bibit yang berkualitas rendah padahal rendahnya kualitas kakao Indonesia terutama disebabkan oleh budidaya dan pascapanen yang kurang memadai terutama dalam kegiatan fermentasi. Kegiatan fermentasi inilah yang masih dilakukan kurang sempurna oleh perkebunan rakyat sebagai mayoritas produsen kakao Indonesia. Fermentasi menentukan kualitas karena dalam kegiatan fermentasi inilah kakao dibentuk cita rasa yang khas. Oleh karena itu, tinggi rendahnya kualitas kakao identik dengan fermentasi.

2) Arleen (2006) yang membahas mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kakao Indonesia.

Kakao merupakan komoditas perkebunan yang diunggulkan sebagai produk ekspor. Peningkatan nilai ekspor kakao setiap tahunnya merupakan suatu peluang yang sangat besar yang dapat membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik terkait dengan sumber devisa negara. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebesar 86,5 persen perubahan volume ekspor kakao Indonesia dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang diamati yaitu ketersediaan produk kakao, harga domestik kakao, harga dunia kakao, dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar. Ketersediaan produk kakao berpengaruh positif terhadap ekspor kakao, yang berarti peningkatan yang terjadi terhadap ketersediaan produk kakao akan meningkatkan ekspor kakao. Peningkatan harga domestik kakao akan menurunkan volume ekspor kakao. Dengan kata lain, ketika harga domestik kakao naik maka minat produsen untuk menjual kakao pada pasar dalam negeri akan meningkat sedangkan ekspor menurun. Berbeda dengan harga domestik, harga dunia justru memiliki pengaruh yang positif terhadap volume ekspor kakao Indonesia. Faktor nilai tukar pun berpengaruh positif terhadap ekspor kakao yang berarti


(30)

peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar akan meningkatkan volume ekspor kakao.

Terkait dengan perdagangan kakao di pasar internasional, kebijakan pemerintah sangat diperlukan. Jika kebijakan pemerintah yaitu pungutan ekspor kakao dikelola dengan baik, banyak manfaat yang dapat diperoleh. Pungutan ekspor tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki lahan tanaman kakao, pengadaan bibit unggul, pemberantasan hama, penanganan pascapanen, serta program riset dan pengembangan lainnya yang dapat meningkatkan kualitas kakao.

Penelitian yang dilakukan oleh Arleen (2008) ini masih belum dilakukan secara komprehensif mengingat faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap ekspor kakao masih belum menyeluruh. Faktor kualitas kakao dalam negeri dan jumlah permintaan pasar domestik ataupun dunia juga merupakan faktor yang sebaiknya juga dianalisis karena akan memengaruhi volume ekspor kakao Indonesia. Penelitian ini berkaitan dengan dayasaing karena pangsa pasar merupakan salah satu dari indikatornya. Jika pangsa pasar suatu komoditas meningkat berarti dayasaing komoditas itu meningkat.

3) Yunita (2006) membahas mengenai analisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan biji kakao Indonesia.

Produksi kakao Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya luas areal perkebunan kakao. Biji kakao merupakan produk kakao yang volume ekspornya paling besar setiap tahunnya. Namun, perkembangan volume dan nilai ekspor biji kakao Indonesia masih berfluktuasi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang berasal dari dalam dan luar negeri.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia, diantaranya adalah populasi negara tujuan, jarak negara tujuan dengan Indonesia, nilai tukar negara tujuan terhadap US Dollar, dan kualitas biji kakao Indonesia.

Pada dasarnya volume ekspor biji kakao Indonesia akan meningkat dan diterima oleh negara Improtir kakao jika kualitas kakao Indonesia terjamin. Akhirnya aliran pergadangan maupun kegiatan ekspor suatu komoditas khususnya


(31)

kakao akan bermuara pada bagaimana dayasaing komoditas tersebut dipandang dalam segi keunggulan komparatif maupun kompetitifnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Yunita berkaitan dengan dayasaing karena aliran perdagangan kakao terutama ekspor berkaitan dengan pangsa pasar yang merupakan salah satu indikator dayasaing. Selain itu, volume perdagangan dapat melihat dayasaing dari sisi keunggulan komparatifnya.

4) Meryana (2007) menganalisis dayasaing kopi Robusta Indonesia di pasar kopi Internasional.

Perkebunan merupakan subsektor pertanian yang berperan penting dalam perekonomian negara. Berdasarkan hasil penelitian, kopi Robusta Indonesia memiliki keunggulan komparatif walaupun dayasaingnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda. Keunggulan kompetitif industri kopi Robusta Indonesia menunjukkan bahwa faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dan struktur kopi domestik mendukung komoditas ini untuk berkembang terutama dengan adanya dukungan oleh pemerintah dan adanya faktor kesempatan. Permasalahan yang terjadi adalah masih rendahnya kualitas kopi, produktivitas lahan, sumberdaya modal, sumberdaya infrastrukrur, dan tidak insentifnya harga.

Keunggulan komparatif kopi Robusta nasional perlu ditingkatkan melalui peningkatan nilai ekspor sehingga dapat memperbesar kontribusi terhadap penerimaan devisa. Salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan adalah berupaya untuk keluar dari predikat negara pengekspor biji kopi menjadi negara pengekpor kopi olahan. Keunggulan kompetitif ditingkatkan melalui perbaikan budidaya dan penggunaan infrastuktur yang pada akhirnya dapat menghasilkan biji kopi berkualitas terbaik.

Kopi robusta merupakan komoditas perkebunan andalan. Penelitian menge-nai dayasaing kopi robusta penting untuk dikaji karena ada asumsi bahwa dayasaing komoditas kakao sebagai komoditas perkebunan Indonesia lainnya tidak akan jauh berbeda dengan dayasaing kopi robusta.


(32)

2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Dampak Kebijakan Pemerintah

Selain mengkaji penelitian terdahulu yang berkaitan dengan dayasaing, perlu juga mengkaji penelitian terdahulu yang terkait dengan dampak kebijakan pemerintah sebagai pertanyaan penelitian kedua. Adapun penelitian terdahulu yang relevan diantaranya adalah:

1). Sinaga (2007), membahas mengenai dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor.

Permintaan akan protein semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Salah satu sumber protein yang permintaannya cenderung meningkat adalah kedelai. Salah satu alasan yang mendasarinya adalah harganya yang terjangkau. Namun, permintaan kedelai yang tinggi tidak diikuti oleh jumlah produksi dalam negeri yang justru relatif rendah. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai, pemerintah kemudian melakukan kegiatan impor. Sebanyak 60-65 persen kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi oleh kedelai impor, dan sisanya yaitu 35-40 persen dipenuhi dari kedelai dalam negeri. Kegiatan impor tersebut berpotensi untuk mengurangi devisa negara.

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata impor kedelai Indonesia pada tahun 2000-2005 mencapai 1,218 juta ton dengan nilai USD 358.366 juta. Kedelai impor tersebut sebagian besar menjadi bahan baku industry olahan kedelai, salah satunya industri tempe. Citeureup merupakan sentra produksi tempe di Bogor yang telah banyak menyerap tenaga kerja. Bahan baku kedelai sebagian besar adalah dari kedelai impor, oleh karena itu dilakukan analisis nilai tambah, keunggulan komparatif dan kompetitif, serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Citeureup Bogor.

Untuk menganalisis ketiga hal tersebut, dilakukan analisis menggunakan metode PAM (Policy Analisys Matriks). Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa industri tempe di daerah penelitian yaitu Citeureup Bogor, memiliki nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai dengan faktor konversi 1,6. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang dioleh, mampu menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri tempe di Citeureup Bogor memiliki keunggulan komparatif yang terlihat dari nilai keuntungan sosial sebesar Rp 263,69 dan Rasio biaya sumberdaya domestik.


(33)

Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di daerah penelitian pada sisi output dilihat pada nilai Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal. Hasil analisis mengindikasikan bahwa harga privat tempe lebih kecil dibandingkan dengan harga ekonominya. Analisis kebijakan pada sisi input dilihat dari nilai Transfer Input, Koefisien Proteksi Input Nominal, dan Transfer Faktor. Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemerintah memproteksi produsen input tradable dan menetapkan pajak input asing pada produsen tempe di lokasi penelitian. Analisis kebijakan input-output didekati dengan indikator Koefisien Proteksi Efektif, Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Sumberdaya Produsen. Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui bahwa industri tempe di daerah penelitian tidak dilindungi oleh pemerintah dan keuntungan yang dihasilkan pada tingkat harga privat lebih rendah dari keuntungan pada harga ekonominya.

Penelitian mengenai dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor ini tidak diinterpretasikan dengan baik. Pembahasan hanya menunjukkan angka yang diperoleh tanpa penjelasan secara mendalam bagaimana dayasaing dan dampak kebijakan yang menjadi pertanyaan utama pada penelitian tersebut.

2) Sunandar (2007) melakukan penelitian mengenai analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditas karet alam.

Karet merupakan salah satu komoditas unggulan sektor perkebunan yang menyumbang devisa terbesar kedua setelah kelapa sawit. Salah satu sentra tanaman karet alam adalah Sumatera Selatan. Hasil analisis pada matriks kebijakan pemerintah, menunjukkan bahwa pengusahaan karet alam di Sumatera Selatan mempunyai dayasaing yang tercermin dari nilai Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/PCR) dan keuntungan privat (Privat Profit/PP) sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Nilai PCR yang kurang dari satu menunjukkan bahwa karet alam memiliki keunggulan kompetitif dan secara privat menguntungkan. Keunggulan komparatif tercermin dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (Domestic Resouces Ratio/DRC) yang kurang dari satu dan keuntungan sosial (Social Profit/SP) yang bernilai positif yaitu Rp 2.791,39 per kilogram.


(34)

Dampak kebijakan pemerintah dalam bidang input pengusahaan karet di Sumatera Selatan ditunjukkan oleh indikator Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient on Tradable Input/NPCI). Berdasarkan nilai kedua indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada pengusahaan komoditas karet di Sumatera Selatan terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable. Kebijakan tersebut menguntungkan produsen karet dan merugikan produsen input tradable. Kebijakan output terlihat dari indikator Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Hasil analisis menunjukkan bahwa harga output karet di pasar domestik pada lebih rendah dibandingkan harga yang berlaku di pasar internasional.

Kebijakan input-output ditunjukkan oleh nilai koefisien proteksi efektif (EPC), Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen. Berdasarkan analisis dari nilai indikator yang dihasilkan dapat diketahui bahwa petani karet memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah yang kurang melindungi petani. Di samping itu, petani karet di Sumatera Selatan mendapatkan keuntungan lebih tinggi dengan adanya kebijakan pemerintah.

Penelitian mengenai dayasaing karet penting untuk dikaji sebagai tinjauan pustaka karena karet merupakan komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang menyumbang devisa terbesar kedua dari subsektor perkebunan. Kondisi perkebunan Indonesia yang hampir mirip mendasari asumsi bahwa dayasaing kakao Indonesia sebagai komoditas perkebunan tidak akan jauh berbeda.

3) Rahmiati (2007) menganalisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi di Kecamatan Sukamakmur Bogor.

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati yang sangat melimpah karena berada pada iklim yang tropis. Manggis merupakan komoditas pertanian khas daerah tropis yang potensial untuk dikembangkan. Selain meningkatkan devisa negara, manggis juga berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan petani. Permintaan manggis dari luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun


(35)

namun karena kualitas manggis Indonesia yang rendah hanya sebagian kecilnya saja yang layak diekspor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi tidak memiliki dayasaing. Hal ini tercermin dari nilai keuntungan privat dan ekonomi yang bernilai negatif. Salah satu penyebabnya adalah dari 2000 pohon manggis yang ada, hanya 10 persennya saja yang telah berbuah. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada penerimaannya. Indikator lain yang mencerminkan pengusahaan manggis di lokasi penelitian tidak berdayasaing baik dari keunggulan komparatif maupun kompetitifnya adalah rasio biaya privat dan rasio biaya sumberdaya domestik. Hasil analisis mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah lebih meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi manggis.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dianalisis dari indikator transfer input, transfer faktor, dan Koefisien nominal proteksi input efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable menguntungkan produsen manggis yang menggunakan input tersebut. Begitu juga dangan input domestik, tidak ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik. Kebijakan input dan output mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi produsen manggis berjalan dengan efektif. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ada menyebabkan produsen manggis membayar biaya produksi lebih rendah dari harga ekonominya.

Berdasarkan tinjauan pustaka dari penelitian terdahulu, diperoleh kesimpulan bahwa dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah merupakan hal yang penting dan dapat dianalisis. Kesimpulan sementara berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, dayasaing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak terlepas dari peranan pemerintah di dalamnya. Untuk menunjukkan hal tersebut, maka penelitian mengenai dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditas kakao ini penting dilakukan.


(36)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Dayasaing

Dayasaing akan menentukan posisi suatu komoditas di pasar persaingan. Salah satu indikator dayasaing adalah pangsa pasar (Martin et al. 1991). Jika pangsa pasar suatu komoditas meningkat berarti dayasaing komoditas itu meningkat. Oleh karena itu, dayasaing secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pangsa pasar dan pertumbuhan pasar.

Menurut Tarsono (2006), dayasaing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada tingkat harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditas tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

a. Konsep Keunggulan Komparatif

Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan mengekspor sejumlah barang, jasa, dan faktor produksi untuk ditukarkan dengan impor barang, jasa, dan faktor produksi lain yang hanya dapat diproduksi dengan cara yang kurang efisien atau tidak diproduksi sama sekali. Dengan demikian akan berkembang hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan menjadi penting. Konsep keunggulan komparatif sering kali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu, konsep ini dapat juga dilakukan untuk wilayah yang lebih kecil seperti provinsi. Konsep ini pertama kali ditetapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (The law of comparative advantage) atau juga disebut sebagai model Ricardian (Salvatore 1994).


(37)

Dalam model disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas yang memiliki keunggulan absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvatore 1994).

Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Teori tenaga kerja menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditas dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi komoditas. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi yang digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditas, (2) tenaga kerja homogen.

Pada tahun 1933, Heekscher dan Ohlin (H-O) melakukan pengembangan terhadap konsep keunggulan komparatif. Hal ini didasarkan pada pengaruh timbal balik perbedaan sumberdaya antara negara-negara atau daerah-daerah. Melalui model ini dinyatakan bahwa perdagangan internasional atau daerah dipengaruhi oleh perbedaan sumberdaya antar negara. Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditas yang secara relatif mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah, serta mengimpor komoditas faktor produksi yang relatif langka dan mahal. Penggunaan teori Ricardian dan H-O biasanya didasarkan pada model sederhana dengan asumsi (1) Hanya ada dua negara, dua komoditas, dan menggunakan satu atau dua faktor produksi, (2) tidak ada mobilitas faktor produksi, (3) penawaran faktor tetap, (4) keseimbangan dalam pembayaran (balance of payment), (5) tidak ada barang antar dan barang yang tidak diperdagangkan (Salvatore, 1994).

b. Konsep Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif (Competitive Advantege) merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa


(38)

perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata serta merupakan keunggulan komparatif suatu aktifitas ekonomi dari sudut pandang individu yang berkepentingan langsung.

Secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun internasional pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing untuk memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar saat ini. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keadaan pasar tersebut, usaha komoditas pertanian harus lebih berorientasi kepada keinginan konsumen atau lebih berwawasan menjual (Simatupang 1995).

3.1.2. Konsep Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kouta.

Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Adapun beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 8.


(39)

Tabel 8. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas

Instrumen Dampak Pada

Produsen

Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi Subsidi kepada

Produsen

Subsidi kepada Konsumen a. Tidak merubah harga

pasar dalam negeri b. Merubah harga pasar

dalam negeri

a. Pada barang impor (S + PI ; S – PI) b. Pada Barang ekspor (S + PE ; S – PE)

a. Pada barang impor (S + CI ; S – CI) b. Pada barang ekspor (S + CE ; S – CE) Kebijakan perdagangan

(merubah harga pasar dalam negeri).

Hambatan pada barang-barang impor (TPI)

Hambatan pada barang-barang ekspor (TPE)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Keterangan :

S + : Subsidi S - : Pajak

PE : Produsen untuk barang ekspor PI : Produsen untuk barang impor CE : Konsumen untuk barang ekspor CI : Konsumen untuk barang impor

TPE : Hambatan kepada produsen untuk barang ekspor TPI : Hambatan kepada produsen barang impor

Penjelasan dari delapan alternatif kebijakan akan dibagi menjadi dua bagian yang besar, yaitu kebijakan pemerintah dalam subsidi (poin a sampai poin f), dan intervensi pemerintah yaitu hambatan perdagangan (poin g sampai poin h). a. Subsidi positif kepada produsen barang impor (S + PI)

b. Subsidi positif kepada produsen barang ekspor (S + PE) c. Pajak negatif kepada produsen barang impor (S – PI) d. Pajak negatif kepada produsen barang ekspor (S – PE) e. Subsidi positif kepada konsumen barang impor (S + CI) f. Subsidi negatif kepada konsumen barang impor (S – CI) g. Subsidi positif kepada konsumen barang ekspor (S + CE) h. Pajak negatif kepada konsumen barang ekspor (S – CE)


(40)

Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah quota yang diterapkan dengan tujuan supaya produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradable sedangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (Tradable).

3.1.2.1 Kebijakan Ouput

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2.

P P

S S

Pd H B

Pw G E F A Pp A

Pw C B

D D

Q Q

Q1 Q2 Q3 Q2 Q1 Q3 Q4


(41)

P P S

S

Pw C B Pc A Pw A F E G

Pd B H

Q Q

Q2 Q1 Q3 Q4 Q1 Q2 (c) S + CI (d) S + CE Keterangan :

Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik

Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor

S + CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor

Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor

Sumber : Monke and Pearson (1989)

Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Harga yang

diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per

output sebesar (Pp – Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah

kepada produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) atau PpABPw. Subsidi menyebabkan

barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika

barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut,


(42)

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi

menurun dari Q1 keQ2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat

subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH.

Gambar 2(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari

Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri

menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3

-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari

pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwAPd. Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada

sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1

menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2 – Q1),

sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar

Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga

terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH.

Gambar 2(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost

sebesar Pw x (Q2 – Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar

konsumen yaitu Q1CAQ2, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA.

3.1.2.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non tradable. Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya


(43)

berlaku pada input tradable karena input domestik hanya diterapkan pada kompditas yang doproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.

a. Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable ditunjukkan pada Gambar 3 berikut ini.

P P S

S’ S’

S C

Pw C A Pw A

B B

D D

Q Q

Q2 Q1 Q1 Q2

(a) S – PI (b) S + PI

Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber : Monke and Pearson (1989)

Gambar 3(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply)

bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya

produksi output sebesar Q2BCQ1.

Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar

ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah setelah meningkatnya output dengan peningkatan nilai output.


(44)

b. Kebijakan Input Non Tradable

Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

P

C S

Pc S Pp C

B A A B

Pd Pd

Pp E Pc E

D D

Q Q

Q2 Q1 Q1 Q2

(a) S – N (b) S + N

Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi

Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi

Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada input domestik Sumber : Monke and Pearson (1989)

Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan

produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga yang diterima produsen turun

menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BCA dan dari konsumen hilang sebesar DBA.

Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Subsidi akan menyebabkan produksi meningkat

dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan naik menjadi Pp


(45)

yang hilang dari produsen adalah sebesar ACB dan dari konsumen adalah sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara penongkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

3.1.3. Matriks Kebijakan Pemerintah (Policy Analisis Matriks)

Menurut Monke dan Pearson (1989), PAM (Policy Analisis Matriks) adalah alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas yaitu aktivitas usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak kebijakan pemerintah.

PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi atau dayasaing dalam keunggulan komparatif. Istilah ekonomi mengacu pada peneimaan dan biaya berdasarkan harga efisien dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang

benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.


(1)

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 69.14 0.00 0.00 0.00 0.00 34.57 0.00 0.00 0.00 0.00 17.28 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 7.96 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 2.31 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 6.53 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 2.81 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.88 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9.91 9.91 9.91 9.91 9.91 9.91 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.60 3.60 3.60 3.60 3.60 3.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.60 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65 2.65

1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 6.64 7.47 8.30 9.96 10.79 12.44 13.12 14.58 17.60 19.75 18.72 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 9.88 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 12.27 0.27 0.30 0.33 0.40 0.43 0.50 0.52 0.58 0.70 0.79 0.75 6.08 6.84 7.61 9.13 9.89 11.41 12.02 13.36 16.13 18.10 17.16 6.08 6.84 7.61 9.13 9.89 11.41 12.02 13.36 16.13 18.10 17.16 6.08 6.84 7.61 9.13 9.89 11.41 12.02 13.36 16.13 18.10 17.16 1.59 1.79 1.99 2.39 2.59 2.99 3.15 3.50 4.22 4.74 4.49

162 96 99 106 109 164 132 138 150 159 172


(2)

Lampiran 4. Perhitungan Harga Nilai Tukar Bayangan

Uraian Jumlah (US $)

Total Ekspor (Xt) 137,020,424,402.0

Total Impor (Mt) 129,197,306,224.0

Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 453,000,000,000.0

Penerimaan Pajak impor (TMt) 14,417,000,000,000.0

Nilai Tukar Rupiah/ USD (OERt) 10,179.6

SCFt = Xt + Mt (Xt – TXt) + (Mt + TMt)

SCFt = 2,709,976,699,793,900.0

(1,394,353,261,221,380.0) + (1,329,587,438,572,520.0) SCFt = 0.9948736

SERt = OERt = 10,232.00 SCFt


(3)

Lampiran 5. Harga Privat dan Sosial Input-Output Pengusahaan Komoditas Kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala

INPUT Satuan

Harga Privat Sosial

Pupuk dan Obat-obatan

Urea Rp/Kg 7,277 5,646.97

TSP Rp/Kg 11,952 9,453.89

KCl Rp/Kg 11,374 4,824.93

Herbisida Rp/Liter 86,350 69,080.00

Fungisida Rp/Kg 114,400 97,240.00

Insektisida

Dithan Rp/liter 57,475 45,980.00

Methindo Rp/Liter 92,400 73,920.00

Ripcord Rp/Liter 93,500 74,800.00

Sumialva Rp/Liter 114,950 91,960.00

Bibit Kakao Rp/buah 3,000 3,000.00

Bibit Pelindung (Glaricydia) Rp/buah 250 250.00

Bibit Pelindung (Moghania) Rp/Kg 45,000 45,000.00

Bio-Fertilizer Rp/Kg 4,400 4,400.00

Pupuk kandang Rp/Liter 43,890 43,890.00

Kayu Bakar Rp/M3 85,000 85,000.00

Karung Rp/buah 6,000 6,000

Cat Rp/Kg 30,000 27,000

Batu pecah Rp/m3 70,000 70,000

Bambu untuk ajir Rp/unit 6,000 6,000.00

Peralatan Kebun

Hand spayer Rp/unit 50,000 50,000

Gunting Stek Rp/unit 50,000 50,000

Gunting Dahan Rp/unit 50,000 50,000

Pisau Pangkas Rp/unit 15,000 15,000

Gerjaji pangkas Rp/unit 30,000 30,000

Pisau panen Rp/unit 20,000 20,000

Pisau wiwil Rp/unit 20,000 20,000

Ember Rp/unit 15,000 15,000

Peralatan Pengolahan

Sekop Rp/unit 30,000 30,000

Tampah Rp/unit 6,000 6,000

Ayakan Rp/unit 5,000 5,000

Tenaga Kerja tidak terdidik : Rp/HOK 22,600.00 19,210.00

Land Rp/Ha


(4)

Lampiran 6. Rekapitulasi Budget Privat Terdiskon Pada Pengusahaan Komoditas Kakao di Pekebunan Rajamandala Jawa Barat

Tahun

analisis Penerimaan

Input Tradable

Input

Domestik Keuntungan

-1 0.0 948,408.5 7,196,980.0 -8,145,388.5

0 0.0 1,638,192.5 1,146,265.7 -2,784,458.2

1 0.0 1,244,563.5 2,855,865.5 -4,100,429.0

2 0.0 1,664,934.4 2,373,829.7 -4,038,764.1

3 0.0 2,862,231.8 2,358,170.8 -5,220,402.7

4 0.0 5,003,457.0 2,619,432.5 -7,622,889.5

5 7,410,000.0 4,733,981.9 4,652,825.8 -1,976,807.7

6 7,569,450.0 4,388,384.4 3,600,274.1 -419,208.6

7 7,638,000.0 3,998,120.0 3,316,110.8 323,769.2

8 8,323,200.0 3,653,384.3 3,095,138.7 1,574,677.0

9 8,188,050.0 3,328,155.7 2,848,693.2 2,011,201.0

10 8,579,250.0 3,040,950.4 3,119,650.3 2,418,649.2

11 8,211,465.6 2,738,719.7 2,554,360.6 2,918,385.3

12 8,285,068.8 2,472,918.9 2,365,162.2 3,446,987.7

13 9,085,507.2 2,245,429.5 2,238,696.6 4,601,381.1

14 9,257,010.0 2,034,630.8 2,090,232.6 5,132,146.6

15 7,969,320.0 1,820,327.6 2,031,120.8 4,117,871.6

16 7,142,630.4 1,632,583.0 1,688,417.1 3,821,630.3

17 5,336,616.0 1,447,046.2 1,461,527.0 2,428,042.8

18 4,542,193.2 1,293,296.2 1,306,208.7 1,942,688.3

19 3,865,482.0 1,159,001.0 1,170,786.8 1,535,694.2

20 3,262,776.0 1,033,485.8 1,131,009.3 1,098,281.0

21 2,749,824.0 923,155.2 933,511.4 893,157.4

22 2,309,274.0 825,084.7 834,984.5 649,204.8

23 1,930,143.6 737,194.3 746,899.8 446,049.5

24 1,604,553.6 658,466.4 668,073.8 278,013.4

25 1,325,448.0 587,921.6 646,926.8 90,599.6

26 1,185,336.0 526,213.8 540,089.7 119,032.4

27 1,060,272.0 471,095.2 488,461.0 100,715.8

28 948,326.4 426,433.0 442,531.2 79,362.2

29 819,400.8 376,860.6 397,790.0 44,750.2

30 695,970.0 337,250.3 386,306.0 -27,586.3


(5)

Lampiran 7. Rekapitulasi Budget Sosial Terdiskon Tahun

analisis Penerimaan

Input Tradable

Input

Domestik Keuntungan

-1 0.0 948,408.5 6,225,841.9 -7,174,250.4

0 0.0 1,477,867.4 1,122,232.5 -2,600,099.9

1 0.0 957,030.9 2,812,749.6 -3,769,780.6

2 0.0 1,200,972.8 2,304,248.2 -3,505,221.0

3 0.0 2,020,533.1 2,231,927.6 -4,252,460.7

4 0.0 3,503,256.9 2,394,413.0 -5,897,670.0

5 6,119,245.9 3,453,327.1 4,396,365.3 -1,730,446.5

6 6,250,921.2 3,233,945.3 3,361,365.4 -344,389.5

7 6,307,530.4 2,949,562.7 3,092,432.9 265,534.8

8 6,873,374.9 2,700,935.1 2,879,919.5 1,292,520.3 9 6,761,766.7 2,463,121.9 2,647,768.7 1,650,876.1

10 7,084,823.3 2,255,218.9 2,927,233.8 1,902,370.6

11 6,781,103.6 2,033,433.9 2,377,222.9 2,370,446.7

12 6,841,885.8 1,840,072.6 2,198,243.2 2,803,569.9

13 7,502,895.1 1,677,186.3 2,074,512.5 3,751,196.3

14 7,644,523.7 1,524,822.5 1,933,339.7 4,186,361.5

15 7,644,523.7 1,363,106.3 1,893,188.2 4,388,229.2

16 5,898,449.7 1,363,106.3 1,564,867.4 2,970,476.0

17 4,407,026.4 1,079,674.8 1,564,867.4 1,762,484.2

18 3,750,984.8 964,124.0 1,217,370.6 1,569,490.3

19 3,192,150.5 863,277.9 1,092,842.8 1,236,029.8

20 2,694,430.3 769,157.5 1,063,003.2 862,269.7

21 2,270,829.9 686,434.9 874,112.4 710,282.6

22 1,907,019.6 613,010.0 783,113.0 510,896.7

23 1,593,930.3 547,251.9 701,636.3 345,042.1

24 1,325,055.1 488,393.2 628,618.6 208,043.3

25 1,094,567.1 435,703.8 612,581.3 46,282.0

26 978,861.3 390,045.8 509,371.4 79,444.1

27 875,582.3 349,256.4 460,977.7 65,348.2

28 783,136.6 312,702.7 417,236.0 53,197.9

29 676,668.7 279,398.1 376,051.6 21,219.0

30 574,738.4 249,932.6 367,159.6 -42,353.8


(6)

Lampiran 8. Proporsi Biaya Input terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Komoditas Kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala

INPUT Proporsi pada

Budget Privat

Proporsi pada Budget Sosial Tradable Input

Pupuk dan Obat-obatan 48.86 43.31

Herbisida 1.21 1.40

Fungisida 0.69 0.70

Insektisida 0.65 0.68

Bibit Kakao 0.14 0.16

Bibit Tanaman Pelindung tetap 0.07 0.04

Bibit Tanaman Pelindung Sementara 0.22 0.26

Kayu Bakar 1.39 1.66

Karung 0.52 0.63

Cat 0.25 0.26

Batu pecah 0.15 0.18

Bambu untuk ajir 0.05 0.06

Peralatan Kebun 1.03 1.23

Peralatan Pengolahan 3.56 4.24

Domestik Faktor

Tenaga Kerja tidak terdidik : 18.32 20.43

Land 3.54 4.22

Modal 6.28 7.48

Pembebanan Biaya Direksi 13.04 13.04