Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

(1)

1 I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu bagian dari pembangunan sektor pertanian yang terdiri dari komoditas buah-buahan, sayuran, tanaman obat, dan florikultur (bunga dan tanaman hias). Buah-buahan merupakan komoditas hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pertanian di Indonesia. Pada tahun 2010, nilai PDB komoditas buah-buahan diproyeksikan menempati urutan pertama di atas komoditas hortikultura lainnya yaitu mencapai Rp 88.851 triliun atau sekitar 52,6 persen dari total PDB hortikultura (PT Media Data Riset 2010).

Pengembangan buah-buahan khususnya buah-buahan tropis di Indonesia memiliki prospek yang bagus. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi dan potensi pasar yang besar. Jumlah produksi buah-buahan Indonesia tahun 2000-2009 cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 9,30 persen per tahun (Badan Pusat Statistik 2010). Peningkatan produksi tersebut terjadi diduga karena adanya pertambahan luas areal panen dan semakin berkembangnya teknologi produksi yang diterapkan petani serta semakin intensifnya bimbingan dan fasilitas yang diberikan kepada petani dan pelaku usaha, semakin baiknya manajemen yang dilakukan pelaku usaha dan adanya penguatan kelembagaan agribisnis petani. Tingginya produksi buah-buahan juga didukung oleh besarnya peluang atau potensi pasar yang dimiliki. Perkiraan permintaan buah-buahan Indonesia tahun 2000-2015 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Tahun 2000-2015

Tahun Populasi Penduduk (Juta)

Total Buah Konsumsi per kapita

(Kg)

Total konsumsi (Ribu ton)

2000 213.000 36,76 7.829,88

2005 227.000 45,70 10.373,90

2010 240.000 57,92 13.900,80

2015 254.000 78,74 19.999,96

Sumber : Pusat Kajian Buah Tropika, 1998

Berdasarkan Tabel 1, peningkatan jumlah permintaan buah-buahan terjadi akibat adanya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kecukupan gizi dari buah-buahan yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi buahan per kapita. Peluang pemasaran


(2)

buah-2 buahan Indonesia tidak hanya di dalam negeri, era perdagangan bebas membuat Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat memasarkan produk buah-buahan yang dihasilkannya ke mancanegara. Sentuhan perdagangan bebas di Indonesia ditandai dengan dilakukannya beberapa perjanjian internasional. Di tingkat regional, sebut saja ASEAN Free Trade Area (AFTA), Kerjasama Agribisnis Republik Indonesia-Singapura, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

(IJ-EPA), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), dan ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA). Adanya perjanjian-perjanjian tersebut menyebabkan akses perdagangan antar negara semakin mudah dan terbuka lebar sehingga produk buah-buahan dari negara lain dengan mudah masuk ke Indonesia dan juga sebaliknya. Namun, peluang pasar yang tercipta melalui kerjasama tersebut belum termanfaatkan secara optimal bagi komoditas buah-buahan Indonesia. Hal ini tercermin dari nilai neraca ekspor dan impor buah-buahan Indonesia yang masih defisit. Perkembangan volume ekspor dan impor buah di Indonesia tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Buah di Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun

Ekspor

Laju (%)

Impor

Laju (%) Volume

(Kg)

Nilai (US $)

Volume (Kg)

Nilai (US $)

2006 16.419.273 10.490.914 - 376.324.802 267.711.473 - 2007 13.786.858 8.874.054 -16,03 309.390.705 245.858.606 -17,79 2008 22.336.164 12.171.944 62,01 481.197.626 443.918.406 55,53 2009 19.465.596 11.976.235 -12,85 617.736.690 593.297.919 28,37 2010* 17.354.175 13.314.091 -10,85 522.166.073 512.622.468 -15,47

Laju Pertumbuhan Volume

Ekspor Rata-Rata 5,57

Laju Pertumbuhan

Volume Impor Rata-Rata 12,66 Sumber: Kementerian Pertanian, 2011 (Diolah)

Keterangan: * Data Januari – Oktober

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa volume dan nilai impor buah di Indonesia masih lebih besar dibandingkan volume dan nilai ekspornya. Komoditas buah-buahan yang dimaksud antara lain adalah pisang, nanas, alpukat, jambu, mangga, manggis, jeruk, belimbing, lemon, semangka, apel, durian, pir, ceri, leci, strawberi, dan rambutan yang diperdagangkan dalam bentuk segar maupun olahan. Rata-rata pertumbuhan impor buah di Indonesia meningkat sebesar 12,66 persen setiap tahun pada tahun 2006 sampai 2010, sedangkan rata-rata


(3)

3 pertumbuhan ekspor buah di Indonesia hanya sebesar 5,57 persen setiap tahun pada tahun 2006 sampai 2010. Sehingga neraca perdagangan buah-buahan Indonesia tahun 2006 sampai 2010 selalu bernilai negatif.

Melihat kondisi tersebut, maka Indonesia dituntut untuk dapat meningkatkan dayasaing produk buah-buahan yang dihasilkannya agar mampu bertahan menghadapi persaingan global serta memanfaatkan peluang pasar yang ada dengan meningkatkan volume dan nilai ekspor buah-buahan Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji mengenai kemampuan dayasaing komoditas buah-buahan Indonesia, khususnya buah-buahan tropis. Salah satu jenis buah tropis yang sedang dikembangkan dan memiliki prospek yang cukup bagus ialah belimbing.

Berdasarkan Lampiran 1, produksi belimbing di Indonesia dari tahun 2000-2009 memiliki trend (kecenderungan) positif dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan produksi rata-rata sebesar 5,30 persen per tahun. Namun, sampai saat ini volume dan nilai ekspor buah belimbing di Indonesia masih sangat kecil, Indonesia mengekspor belimbing ke Jepang dan Saudi Arabia. Di sisi lain, Indonesia juga masih mengimpor belimbing dari Malaysia dan Taiwan dengan volume dan nilai yang lebih tinggi dibandingkan ekspornya. Perkembangan volume ekspor dan impor belimbing di Indonesia tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Volume Ekspor dan Impor Belimbing Indonesia Tahun 2007-2010

Tahun

Ekspor

Laju (%)

Impor

Laju (%) Volume

(Kg)

Nilai (US $)

Volume (Kg)

Nilai (US $)

2007 25 104 - 8.521 2.333 -

2008 27 190 8,00 558 444 -93,45

2009 19 86 -29,63 3.656 1.017 555,20

2010* 383 182 1.915,79 3.202 6.914 -12,42

Sumber: Kementerian Pertanian, 2011 Keterangan: *Data Januari – Oktober

Sesungguhnya Indonesia memiliki peluang yang sangat baik untuk meningkatkan kemampuan ekspor belimbing yang dihasilkannya. Hal tersebut terlihat dari dukungan produksi belimbing yang cenderung terus meningkat dan potensi pasar internasional yang besar. Pengimpor buah tropika terbesar dari


(4)

4 ekspor buah dunia adalah negara-negara Uni Eropa sebanyak 43 persen, Amerika Serikat sebanyak 16 persen, negara-negara di sekitar Uni Eropa sebanyak 6 persen, Federasi Republik Rusia sebanyak 5 persen, Jepang sebanyak 4 persen, dan negara-negara di Afrika, Asia Barat, Timur Tengah, Kanada, China, dan Amerika Latin sebanyak 24 persen (Kementerian Pertanian 2011). Jika terjadi peningkatan kemampuan ekspor belimbing Indonesia, diharapkan mampu meningkatkan devisa negara dan eksistensi Indonesia di mata dunia sebagai negara agraris yang beriklim tropis.

Dilihat dari sisi produsen belimbing, tercatat sebanyak 33 provinsi di seluruh Indonesia merupakan daerah penghasil belimbing yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga Pulau Papua. Berdasarkan Lampiran 2, terlihat bahwa Pulau Jawa menempati urutan pertama sebagai penghasil belimbing terbanyak yaitu sebesar 67,66 persen dari total produksi belimbing di Indonesia. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang menjadi sentra penghasil belimbing terdiri dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Yogyakarta. Pada tahun 2009, Provinsi Jawa Barat menjadi sentra penghasil belimbing di Pulau Jawa karena mampu memberikan kontribusi produksi dan produktivitas tertinggi pertama di Pulau Jawa. Jawa Barat menghasilkan produksi belimbing sebesar 31,91 persen dari total produksi belimbing di Pulau Jawa serta memiliki nilai produktivitas sebesar 451,10 kuintal per hektar (lihat Lampiran 3). Nilai produktivitas ini berada diatas rata-rata nilai produktivitas belimbing secara nasional, dimana nilai produktivitas belimbing nasional hanya sebesar 249,13 kuintal per hektar (lihat Lampiran 4). Provinsi Jawa Barat memiliki 26 wilayah penghasil belimbing yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota. Kota Depok menjadi wilayah penghasil belimbing tertinggi pertama di provinsi tersebut, dengan kontribusi produksi sebesar 43,66 persen dari keseluruhan produksi belimbing di Jawa Barat pada tahun 2009 (lihat Lampiran 5). Dengan demikian, Kota Depok merupakan sentra produksi belimbing di wilayah Jawa Barat.

Belimbing di Kota Depok lebih dikenal dengan sebutan belimbing dewa. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 718/Kpts/TP.240/8/98, belimbing dewa merupakan salah satu komoditas buah unggulan Kota Depok yang berasal dari varietas dewa baru. Hal ini mendapat sambutan yang sangat baik


(5)

5 oleh pemerintah daerah Kota Depok. Pemerintah mencoba menjalankan perannya untuk membantu menguatkan citra belimbing dewa di Kota Depok dengan menjadikan belimbing sebagai icon Kota Depok sejak tanggal 21 Juli 2009. Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam membantu kemajuan agribisnis belimbing dewa di Kota Depok. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, maka penelitian mengenai analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Depok sebagai salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Belimbing dewa di Kota Depok telah lama diperdagangkan dalam bentuk buah segar ke beberapa wilayah di Indonesia, di antaranya ke wilayah Bandung dan Jabodetabek. Dalam rangka mengembangkan agribisnis belimbing di Kota Depok, pemerintah dan seluruh stakeholders belimbing dewa di Kota Depok mulai melirik pasar internasional untuk memasarkan produk unggulan serta icon

Kota Depok tersebut. Adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas membuat keinginan untuk dapat menembus pasar internasional semakin terbuka lebar. Namun, untuk dapat menembus pasar internasional atau melakukan ekspor maka komoditas belimbing dewa di Kota Depok harus memiliki dayasaing agar mampu bertahan dan bersaing dengan produk-produk sejenis yang ada di mancanegara.

Pembangunan dan pengembangan agribisnis belimbing dewa di Kota Depok tidak terlepas dari peran dan kebijakan pemerintah. Beberapa upaya dan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah di antaranya yaitu melakukan penguatan citra belimbing dengan menjadikan belimbing sebagai icon Kota Depok, meningkatkan produktivitas dan kualitas belimbing dengan memfasilitasi pembuatan Standard Operational Procedure (SOP) dan Good Agriculture Practice (GAP) belimbing dewa Depok serta melakukan pembinaan dan pelatihan kepada petani dalam menerapkan SOP dan GAP tersebut, melakukan pengembangan pasar dan pemasaran belimbing dengan mendukung dan


(6)

6 memfasilitasi pendirian Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) serta membantu pengembangan industri olahan belimbing dalam rangka meningkatkan nilai tambah yaitu dengan melakukan pelatihan-pelatihan mengenai produk-produk turunan (pengolahan) dari belimbing kepada masyarakat serta memfasilitasi pendirian pabrik pengolahan belimbing. Pemerintah juga telah memberikan insentif input produksi kepada para petani belimbing di Kota Depok berupa pemberian bibit tanaman belimbing dewa, pupuk, pestisida, pembungkus buah belimbing, pompa air serta menyalurkan dana bantuan program Peningkatan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang dikelola oleh kelompok tani.

Disamping itu, adanya Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar lima persen atas produk bahan baku pertanian seperti pupuk dan obat-obatan dapat menyebabkan harga pupuk dan obat-obatan ditingkat petani menjadi lebih tinggi sehingga biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani akan meningkat. Adanya Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar sepuluh persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan juga dapat menyebabkan harga-harga input produksi ditingkat petani menjadi lebih tinggi dan mengakibatkan biaya produksi meningkat. Selain itu, adanya inflasi dapat memengaruhi tingkat suku bunga dan membuat harga yang diterima petani menjadi berbeda dengan harga pada saat kondisi pasar persaingan sempurna (tidak ada distorsi pasar maupun intervensi pemerintah). Semua hal tersebut diduga akan memengaruhi tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani belimbing dewa di Kota Depok.

Perkembangan komoditas belimbing dewa di Kota Depok juga tidak terlepas dari kondisi pasar. Fluktuasi harga belimbing di pasar lokal dapat terjadi karena kualitas dan kuantitas belimbing yang ada di pasar. Pada saat jumlah belimbing melimpah maka harga belimbing di pasar cenderung akan menurun atau rendah dan sebaliknya ketika jumlah belimbing sedikit maka harga belimbing akan cenderung tinggi. Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan penerimaan dan keuntungan yang diperoleh oleh petani belimbing, termasuk petani belimbing di Kota Depok.


(7)

7 Input produksi merupakan faktor yang memengaruhi struktur biaya pengusahaan komoditas belimbing dewa. Input produksi yang digunakan dapat menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan. Salah satu input produksi yang memiliki proporsi kebutuhan biaya paling tinggi dalam sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok adalah input tenaga kerja. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian dapat diketahui bahwa proporsi kebutuhan biaya tenaga kerja adalah sebesar 42,92 persen dari keseluruhan input produksi dalam pengusahaan belimbing dewa. Upah tenaga kerja cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan upah tenaga kerja tersebut dapat meningkatkan biaya produksi yang dikeluarkan. Besarnya biaya yang dikeluarkan diduga berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh.

Selain tenaga kerja, input produksi yang memiliki proporsi kebutuhan yang cukup besar adalah pupuk. Pupuk anorganik (pupuk daun dan NPK) yang digunakan oleh petani di lokasi penelitian adalah pupuk nonsubsidi. Harga pupuk anorganik nonsubsidi cenderung tinggi. Untuk mengendalikan tingginya harga tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) baik untuk pupuk bersubsidi maupun nonsubsidi. Namun, kemungkinan penyelewengan harga yang diberlakukan kepada petani sangat mungkin terjadi. Sehingga harga pupuk anorganik yang dibeli oleh petani menjadi lebih tinggi dari HET. Perubahan harga pupuk anorganik tersebut akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Perubahan biaya produksi yang terjadi diduga akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

Sulitnya pengendalian organisme pengganggu tanaman belimbing, khususnya hama ulat penggerek buah dapat mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah produksi buah belimbing yang dihasilkan oleh petani belimbing dewa di Kota Depok. Penurunan jumlah produksi ini diduga akan berpengaruh terhadap penerimaan dan keuntungan dari sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(8)

8 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas

belimbing dewa di Kota Depok?

3. Bagaimana dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing belimbing dewa di Kota Depok?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

3. Menganalisis dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing belimbing dewa di Kota Depok.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan seperti :

1. Pemerintah, sebagai bahan masukan serta evaluasi bagi penetapan arah dan prioritas kebijakan pembangunan dayasaing komoditas belimbing dewa sebagai icon dan komoditas unggulan di Kota Depok.

2. Penulis, sebagai pengalaman dan wawasan baru yang berharga sekaligus sebagai media latihan dalam menerapkan ilmu yang diterima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Agribisnis (Mayor) dan Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (Minor).

3. Pihak akademis dan pembaca, sebagai informasi dan bahan referensi, baik untuk penelitian selanjutnya maupun bahan bacaan penambah wawasan. 1.5 Ruang Lingkup

Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta kendala yang ada, ruang lingkup penelitian ini terdiri dari : (1) analisis yang terbatas pada output belimbing dalam bentuk buah segar, bukan hasil olahannya. Karena di Kota


(9)

9 Depok, aktivitas pengolahan belimbing menjadi produk turunan masih sangat terbatas atau masih belum banyak dilakukan; (2) orientasi perdagangan yang dianalisis adalah kegiatan perdagangan belimbing pada wilayah lokal yaitu perdagangan belimbing mulai dari petani hingga sampai pada konsumen akhir yang ada di wilayah lokal, sehingga biaya angkut yang dianalisis dalam penelitian ini adalah biaya angkut mulai dari petani hingga konsumen akhir yang berada di wilayah lokal. Hal ini dilakukan mengingat belum adanya kegiatan ekspor belimbing yang dilakukan di lokasi penelitian atau Kota Depok.


(10)

10 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi pada pasar internasional kegiatan produksi tersebut tetap dapat menguntungkan (Simanjutak 1992). Dayasaing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep dayasaing dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor/bidang, wilayah dan negara. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dengan menganalisis perbedaan harga-harga finansial dan ekonomi maka dapat diketahui nilai dayasaing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap penerimaan petani secara ekonomi dan finansial. Jika kebijakan yang ada telah mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi suatu sistem usahatani berarti kebijakan tersebut harus tetap dipertahankan, sebaliknya jika suatu kebijakan menghambat atau mengurangi nilai kompetitifnya maka perlu ada penghapusan atau deregulasi kebijakan (Desianti 2002).

Faktor-faktor pemicu dayasaing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga biaya input, struktur industri, kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tesebut dapat dibedakan atas: (1) Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam (Feryanto 2010). Sementara itu, Handayani (2007) mengutarakan bahwa ada tujuh hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan dayasaing


(11)

produk-11 produk pertanian, yaitu kualitas produk, kontinuitas, waktu pengiriman, teknologi, sumberdaya manusia, negara pesaing Indonesia, dan insentif investasi. Apabila pemerintah dapat memperbaiki faktor-faktor pemicu dayasaing tersebut, maka komoditas agribisnis lokal dapat berkembang dan bersaing sehingga mampu meningkatkan ekspor, memenuhi kebutuhan dalam negeri serta sebagai substitusi impor.

Hasil penelitian Mudjayani (2008) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing buah-buahan tropis Indonesia adalah produktivitas dan nilai ekspor yang berpengaruh positif terhadap dayasaing, sedangkan harga ekspor dan dummy krisis berpengaruh negatif terhadap dayasaing. Salah satu strategi yang dikemukan oleh Mudjayani (2008) untuk meningkatkan dayasaing buah-buahan tropis Indonesia adalah dengan meningkatkan kinerja dan volume ekspor buah-buahan tropis Indonesia yang dapat meningkatkan nilai ekspor sehingga dapat meningkatkan dayasaing buah-buahan tropis Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Istiqomah (2008) yang mengungkapkan bahwa dayasaing nenas Indonesia dapat meningkat melalui peningkatan volume dan nilai ekspornya. Oleh karena itu, menurut penulis peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja ekspor komoditas tersebut.

2.2 Metode Analisis untuk Mengukur Dayasaing Suatu Komoditas

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix

(PAM). Indeks RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas dan Berlian Porter dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur tiga analisis sekaligus yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas yang sedang menjadi fokus penelitian.

Mudjayani (2008) dan Istiqomah (2008) menggunakan metode analisis RCA untuk menjelaskan kekuatan keunggulan komparatif dari komoditas yang


(12)

12 diteliti. Mudjayani (2008) mengemukakan bahwa buah-buahan tropis Indonesia (manggis, nenas, pepaya, dan pisang) memiliki keunggulan komparatif. Sementara itu, Istiqomah (2008) mengutarakan hasil penelitiannya bahwa keunggulan komparatif nenas Indonesia berada pada urutan kedua setelah Thailand, kemudian diikuti oleh Philipina dan Singapura. Selama tahun 1998-2004, Indonesia mengalami fluktuasi nilai RCA. Pada tahun 2005, Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terbukti dari nilai RCA kurang dari satu yaitu 0,93. Bahkan pada tahun 2006, Indonesia tidak mengekspor nenas ke Malaysia. Rendahnya nilai RCA diduga terjadi karena nenas Indonesia kalah bersaing dengan Thailand, Philipina dan Singapura baik dalam hal harga maupun kualitas. Selain itu, rendahnya dayasaing disebabkan munculnya pesaing baru di pasar Malaysia yaitu Philipina yang baru muncul pada tahun 2005 dan Singapura yang muncul pada tahun 2006. Hal tersebut juga membuktikan bahwa dengan adanya AFTA, Indonesia tidak dapat keuntungan dari diberlakukannya pengurangan tarif, bahkan Indonesia menjadi kalah bersaing dengan negara pengekspor nenas lainnya yang berada di kawasan ASEAN.

Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2008), Hidayat (2009), Pratama (2010), dan Feryanto (2010) memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu pada metode analisis yang digunakan. Keempat penelitian tersebut juga menggunakan analisis PAM dan analisis sensitivitas. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pada komoditas yang diteliti dan pada skenario yang digunakan pada saat melakukan analisis sensitivitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2008), selain menggunakan metode analisis PAM juga menggunakan analisis Berlian Porter untuk menghitung serta melihat keunggulan kompetitif pada dayasaing komoditas jagung, sedangkan penulis tidak menggunakan metode analisis tersebut didalam penelitian yang dilakukannya. Hal tersebut dikarenakan analisis PAM juga dapat mengidentifikasi keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif sebagai indikator dalam menentukan tingkat dayasaing komoditas sehingga tidak perlu melakukan dua kali penghitungan dengan menggunakan analisis Berlian Porter. Wibowo (2008) mengungkapkan bahwa pengusahaan komoditas jagung di Desa Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan menguntungkan secara


(13)

13 finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 4.808.446,79 dan Rp 5.151.488,69 serta nilai Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) lebih kecil dari satu yaitu 0,57 dan 0,55.

Hidayat (2009) mengemukakan bahwa pengusahaan kambing dengan skala usaha 80 ekor maupun 400 ekor untuk menghasilkan susu kambing di Kabupaten Bogor ternyata menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi serta memiliki dayasaing. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat yang positif untuk skala usaha 80 ekor dan 400 ekor yaitu sebesar Rp 228,16 juta dan Rp 1.061,80 juta per dua tahun serta keuntungan ekonomi yang juga positif yaitu sebesar Rp 387,72 juta per dua tahun untuk skala usaha 80 ekor dan Rp 2.366,89 juta per dua tahun untuk skala usaha 400 ekor. Nilai PCR dan DRC yang ditunjukkan kurang dari satu yaitu 0,51 dan 0,50 untuk skala usaha 80 ekor serta 0,37 dan 0,30 untuk skala usaha 400 ekor.

Hasil penelitian Pratama (2010) menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar oleh anggota Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) memiliki dayasaing meski dalam kondisi tarif impor susu sebesar nol persen. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 787,9 per liter dan Rp 1.706,5 per liter serta nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu yaitu 0,54 dan 0,72. Sementara itu, Feryanto (2010) mengungkapkan bahwa pengusahaan sapi perah untuk menghasilkan produk susu segar di Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu Kecamatan Lembang (Kabupaten Bandung Barat), Kecamatan Pangalengan (Kabupaten Bandung) dan Kecamatan Cikajang (Kabupaten Garut) secara umum menguntungkan dan efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal tersebut terlihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang positif serta nilai PCR dan DRC kurang dari satu untuk ketiga wilayah. Peternak di Kecamatan Lembang memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 609,90 dan Rp 1.351,60 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,79 dan 0,63. Peternak di Kecamatan Pangalengan memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 170,80 dan Rp 930,90 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,94 dan 0,75. Sedangkan peternak di Kecamatan Cikajang


(14)

14 memperoleh keuntungan privat dan sosial sebesar Rp 304,40 dan Rp 1.541,00 per liter susu yang dihasilkan serta nilai PCR dan DRC sebesar 0,89 dan 0,58.

Koerdianto (2008) juga menggunakan metode analisis PAM untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebjakan pemerintah terhadap komoditas sayuran unggulan di Kabupaten Bandung. Komoditas sayuran yang diteliti adalah tomat dan cabe merah. Perhitungan dengan metode PAM yang dilakukan oleh Koerdianto (2008) adalah perhitungan untuk satu musim tanam. Sedangkan, penulis melakukan perhitungan PAM multiperiode (times series sesuai dengan umur ekonomis tanaman dalam menghasilkan output). Hal ini dilakukan karena komoditas yang menjadi fokus penelitian penulis adalah belimbing yang termasuk dalam tanaman tahunan sehingga diperlukan perhitungan PAM multiperiode. Hasil penelitian Koerdianto (2008) menunjukkan bahwa usahatani tomat dan cabe merah di Kecamatan Ciwidey maupun Lembang memiliki dayasaing. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai keuntungan privat dan sosial yang positif yaitu sebesar Rp 16,089 juta dan Rp 69,869 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar Rp 18,976 juta dan Rp 67,187 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar Rp 29,274 juta dan Rp 37,727 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar Rp 36,194 juta dan Rp 35,575 juta per hektar per musim tanam untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang. Nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu untuk seluruh usahatani yang diteliti yaitu sebesar 0,65 dan 0,36 untuk usahatani tomat di Kecamatan Ciwidey, sebesar 0,63 dan 0,39 untuk usahatani tomat di Kecamatan Lembang, sebesar 0,44 dan 0,41 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Ciwidey, dan sebesar 0,45 dan 0,48 untuk usahatani cabe merah di Kecamatan Lembang.

2.3 Tinjauan Mengenai Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

Belimbing dewa merupakan salah satu varietas belimbing unggul di Indonesia. Yulistia (2009) mengutarakan bahwa teknik budidaya belimbing yang dilakukan oleh semua petani belimbing di Kota Depok hampir sama. Hal ini dikarenakan teknik budidaya belimbing sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) telah tersosialisasikan kepada para petani belimbing di Kota Depok. Hasil penelitian Zamani (2008) menunjukkan bahwa pendapatan usahatani belimbing


(15)

15 petani SOP atas biaya tunai dan biaya total untuk satu musim panen lebih besar dibandingkan petani non-SOP. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi (pupuk NPK, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja) pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non-SOP ternyata masih belum efisien. Sementara itu, Yulistia (2009) mengemukakan bahwa hadirnya Primatani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) di Kota Depok khususnya di Kelurahan Pasir Putih belum memberikan dampak yang terlalu besar terhadap tingkat pendapatan petani peserta Primatani dibandingkan petani non-peserta Primatani. Namun, usahatani belimbing dewa yang dijalankan oleh petani peserta maupun non-peserta Primatani sudah menguntungkan bagi petani.

Upaya lain dalam meningkatkan nilai tambah produk belimbing adalah pengolahan produk. Walaupun usaha pengolahan hortikultura di Kota Depok masih minim, kini mulai banyak pengusaha olahan di Kota Depok yang merintis untuk produk buah belimbing. Pengolahan produk belimbing di Kota Depok antara lain adalah sirup belimbing, jus belimbing, keripik belimbing, belimbing

instant, dodol belimbing, selai belimbing dan sari buah belimbing (Munigar 2009). Peluang pasar belimbing untuk kawasan Jabodetabek mencapai angka 6.000 ton per tahun (Nalurita 2006 dan Lubis 2009).

Nalurita (2006) menyatakan bahwa ada lima saluran pemasaran belimbing dewa di Kecamatan Pancoran Mas dan Lubis (2009) menyatakan ada empat saluran pemasaran belimbing dewa di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. Hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa saluran pemasaran belimbing dewa di Kota Depok yang paling efisien adalah saluran pemasaran dari petani ke Puskop kemudian Puskop menjualnya ke pedagang pengecer (toko buah) lalu ke konsumen akhir. Saluran pemasaran tersebut paling efisien karena memiliki nilai marjin pemasaran terendah yaitu sebesar 43,48 persen, farmer’s

share tertinggi yaitu sebesar 56,52 persen dan juga kegiatan pemasaran yang menguntungkan bagi setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Husen (2006) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa sistem penjualan belimbing dewa per kilogram lebih menguntungkan dibandingkan sistem penjualan belimbing dewa per buah.


(16)

16 Fauzi (2007) mencoba menentukan pilihan komoditas unggulan yang akan dikembangkan di Kota Depok dari enam alternatif komoditas potensial yang terdapat di Kota Depok, yaitu belimbing, anggrek, ikan hias, benih ikan patin, ayam ras pedaging, dan kambing. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas belimbing merupakan komoditas unggulan pertama yang terpilih. Kemudian disusul oleh ikan hias (neon tetra) dan tanaman hias (anggrek) sebagai komoditas unggulan kedua dan ketiga. Pemilihan komoditas unggulan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dianggap penting yaitu kondisi ekonomi, teknologi dan infrastruktur, agroekosistem, sumberdaya manusia serta sosial dan budaya. Dimana komponen (subfaktor) yang dianggap paling memengaruhi faktor-faktor tersebut adalah kondisi permintaan pasar (pemasaran), teknologi budidaya, produksi dan produktivitas, peran petani serta interaksi sosial dan etos kerja dari para pelaku sistem agribisnis. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Fuadri (2009) bahwa penetapan komoditas unggulan dalam suatu wilayah harus mempertimbangkan kondisi spesifik daerah yang bersangkutan. Fuadri (2009) juga mengutarakan bahwa penetapan komoditas unggulan merupakan langkah awal yang penting dalam upaya membangun agroindustri unggulan yang memiliki struktur kuat dan tangguh dalam bersaing.

Penelitian yang dilakukan oleh Fauzi (2007) membahas mengenai pemilihan komoditas unggulan di Kota Depok dan menghasilkan sembilan alternatif strategi pengembangannya, namun belum membahas mengenai bagaimana kondisi dayasaing komoditas unggulan terpilih tersebut. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Fauzi (2007). Selain itu, penelitian yang dilakukan penulis juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dampak kebijakan pemerintah yang telah dilakukan selama ini sehingga dapat menjadi bahan evaluasi bagi penetapan kebijakan pembangunan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok guna mempersiapkan kegiatan ekspor belimbing dewa.


(17)

17 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain apabila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut).

Smith dengan teorinya mengenai keunggulan absolut menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih kecil. Sebaliknya, negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar (Salvatore 1997). Dengan demikian, hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara 1) akan mengekspor suatu komoditas (komoditas x) ke negara lain (misal negara 2) apabila harga domestik di negara 1 (sebelum terjadi perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan harga domestik di negara 2. Kurva perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi keseimbangan dan harga berada pada P1. Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari negara 1. Ketika harga berada pada posisi P2, struktur harga yang relatif lebih tinggi ini menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 yaitu sebesar QA’QA”. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah, dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.


(18)

18 Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sebesar QB’QB” sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada keadaan ini, negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditas dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah. Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan 2, maka terjadi perdagangan antar kedua negara tersebut.

Supply di pasar internasional akan terjadi jika harga lebih besar dari P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari P3. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan akan sama besarnya dengan besarnya impor komoditas tersebut.

Panel A Panel B Panel C Pasar di negara 1 Hubungan Perdagangan Internasional Pasar di negara 2

untuk komoditas x untuk komoditas x untuk komoditas x

Gambar 1. Kurva Perdagangan Internasional (Sumber : Salvatore 1997)

Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan memengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan memengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan pada akhirnya akan memengaruhi harga dunia.

Baga et al. (2009) mengungkapkan bahwa terdapat lima manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional.

Pertama, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi yang berasal dari kegiatan yang berskala besar (economic of scale). Hal ini terjadi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan menunjang,

QB” QB QB’ Impor B’ A’ E’ S D QP1 E* C* A* B* Q Q P2 P3 Dx Sx Q Ekspor Dx Sx E A QA” QA QA’ B P1 P2 P3

Px/Py

Px/Py


(19)

19 sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, liberalisasi perdagangan menciptakan iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk mendapat fasilitas dari pemerintah.

Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Empat, perdagangan yang lebih luas memberikan signal harga yang “benar” sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Lima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbukanya pilihan-pilihan baru. Namun untuk berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang pratik monopoli.

Kebijakan perdagangan internasional (ekspor dan impor) diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan memengaruhi struktur, komposisi dan arah perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Menurut Hady (2004), kebijakan perdagangan internasional yang dijalankan oleh suatu negara bertujuan untuk : (1) melindungi kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh buruk atau negatif dan dari kondisi ekonomi/perdagangan internasional yang tidak baik atau tidak menguntungkan; (2) melindungi kepentingan industri dalam negeri; (3) melindungi lapangan kerja (employment); (4) menjaga keseimbangan dan stabilitas balance of payment (BOP) atau neraca perdagangan internasional; (5) menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil; dan (6) menjaga stabilitas nilai tukar/kurs valas.

3.1.2 Konsep Dayasaing

Dayasaing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar, komoditas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjutak 1992). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan


(20)

20 dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Kajian tentang dayasaing berawal dari pemikiran Adam Smith mengenai konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” melalui teori keunggulan absolut (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa sebuah negara dapat melakukan perdagangan jika relatif lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) dibanding negara lain, keuntungan akan diperoleh jika negara tersebut melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut tersebut. Selanjutnya pada tahun 1817, David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolut dengan teori keunggulan komparatif melalui bukunya yang berjudul “Principles of Political Economic and Taxation” (Salvatore 1997).

3.1.2.1 Keunggulan Komparatif

Istilah comparative advantage (keunggulan komparatif) mula-mula dikemukan oleh David Ricardo sewaktu membahas perdagangan antar kedua negara. Ricardo menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai harga relatif yang lebih murah (kerugian absolut lebih kecil) dan mengimpor komoditas yang memiliki harga relatif lebih mahal (kerugian absolut lebih besar) (Salvatore 1997). Negara atau wilayah yang dapat menghasilkan barang yang memiliki harga relatif yang lebih murah dari negara atau wilayah lain disebut memiliki keunggulan komparatif. Konsep keunggulan komparatif ini bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional.

Ricardo mendasarkan hukum keunggulan komparatif pada sejumlah asumsi yang disederhanakan, yaitu :


(21)

21 2. Perdagangan bersifat bebas

3. Terdapat mobilitas tenaga kerja 4. Biaya produksi konstan

5. Tidak terdapat biaya transportasi 6. Tidak ada perubahan teknologi 7. Menggunakan teori nilai tenaga kerja

Keenam asumsi di atas dapat diterima, namum asumsi ketujuh tidak berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif karena teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga sebuah komoditas tergantung dari jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksi. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model Ricardo karena tenaga kerja bukan satu-satunya faktor produksi dan penggunaannya juga tidak sama untuk setiap komoditas serta tenaga kerja tidak bersifat homogen karena adanya perbedaan pendidikan, produktivitas dan upah yang diterima. Keunggulan komparatif yang dikemukan oleh Ricardo hanya berdasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja tanpa menjelaskan alasan timbulnya perbedaan produktivitas tenaga kerja di antara berbagai negara. Teori ini juga tidak menjelaskan mengenai pengaruh perdagangan internasional terhadap pendapatan yang diperoleh faktor produksi. Hal ini menyebabkan konsep keunggulan komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo disempurnakan oleh Heckscher dan Ohlin pada tahun 1933 (Salvatore 1997).

Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukan oleh David Ricardo. Teori Heckscher dan Ohlin atau teori kelimpahan yang diekspresikan kedalam dua teorema yang saling berhubungan, yaitu teorema Heckscher dan Ohlin serta teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema Heckscher dan Ohlin, sebuah negara akan mengekspor komoditas yang padat faktor produksi yang ketersediaannya di negara tersebut melimpah dan murah, sedangkan disisi lain negara tersebut akan mengimpor komoditas yang padat dengan faktor produksi yang langka dan mahal. Menurut teorema penyamaan harga faktor produksi atau teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson, perdagangan internasional cenderung menyamakan harga-harga baik itu secara relatif maupun secara absolut dari berbagai faktor produksi yang


(22)

22 homogen atau sejenis di antara negara-negara yang terlibat dalam hubungan dagang. Pada intinya teori perdagangan Heckscher dan Ohlin menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara (Salvatore 1997).

Dayasaing suatu komoditas ditentukan oleh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari beberapa kelompok teknokrat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika kekayaan alam melimpah, tenaga kerja banyak (padat karya), muatan teknologi yang rendah sehingga faktor produksi murah, dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan maupun terhadap masuknya barang-barang sejenis dari luar negeri dalam jangka pendek. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keunggulan komparatif dibagi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar.

Keunggulan komparatif suatu komoditas diukur berdasarkan harga bayangan (shadow price) atau berdasarkan analisis ekonomi yang akan menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi sesungguhnya dari unsur biaya maupun hasil. Analisis ekonomi suatu proyek atau aktivitas ekonomi atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa memperhatikan siapa yang menyumbang dan menerima manfaat tersebut. Maka, suatu komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.

Asumsi perekonomian yang tidak mengalami distorsi atau hambatan sama sekali sulit ditemukan pada dunia nyata. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur dayasaing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Dari sudut badan atau orang yang berkepentingan langsung dalam suatu proyek, konsep yang lebih cocok digunakan untuk mengukur kelayakan secara finansial adalah keunggulan kompetitif.


(23)

23 3.1.2.2 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual atau harga pasar, dimana harga yang terjadi telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam dayasaing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan atau negara lain. Misalnya, suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditas tertentu (mempunyai keunggulan komparatif) namun tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditas tersebut tidak mampu bersaing di pasar dunia (tidak memiliki keunggulan kompetitif).

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari keunggulan komparatif yang diajukan oleh Micheal Porter sebagai kesuksesan suatu perusahaan dalam beroperasi pasar. Keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur dayasaing komoditas suatu wilayah dengan wilayah lain. Keunggulan ini dapat dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku atau berdasarkan analisis finansial, sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubstitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.

Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara agar mampu bersaing. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumberdaya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur dan strategi perusahaan (firm strategy, structure and rivalry). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan dayasaing, sistem tersebut dikenal dengan “The National Diamond”.

Keunggulan kompetitif dapat diciptakan antara lain melalui implementasi kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta efisiensi penggunaan sumberdaya. Suatu komoditas dapat mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif


(24)

24 sekaligus, yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi apabila komoditas yang diproduksi hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka dapat diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Hal sebaliknya juga dapat terjadi bila suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Kondisi ini akan terjadi apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti misalnya melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan dan kemudahan berbagai fasilitas lainnya.

Keunggulan kompetitif suatu komoditas diukur berdasarkan harga aktual (harga yang sebenarnya terjadi di pasar) atau berdasarkan analisis finansial yang akan menggambarkan manfaat suatu aktivitas dari sudut lembaga atau individu yang melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas ekonomi tersebut.

3.1.3 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan dayasaing komoditas pertanian termasuk produk buah seperti belimbing baik di pasar regional, domestik maupun pasar internasional. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri. Kebijakan diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga antara harga input dan output yang diterima produsen (harga aktual) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi persaingan sempurna (harga sosial). Terdapat dua bentuk kebijakan yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.

Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi dan pembayaran untuk pemerintah disebut pajak. Pada dasarnya kebijakan subsidi dan pajak bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Subsidi yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan


(25)

25 membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan menjadi lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum adanya kebijakan subsidi. Sedangkan, penerapan pajak akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga menjadi lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum diterapkannya pajak.

Adapun kebijakan perdagangan merupakan salah satu bentuk pembatasan yang diterapkan pemerintah pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan tersebut dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) maupun terhadap jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan harga internasional (harga dunia) dan harga domestik (harga dalam negeri). Kebijakan pajak impor (bea masuk) maupun pembatasan kuantitas diberlakukan untuk membatasi kuantitas yang diimpor (kuota impor), sementara pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah ekspor.

Menurut Monke dan Pearson (1989), tiga aspek yang membedakan kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan antara lain pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Kebijakan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah dan pajak akan menambah anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan perdagangan tidak memengaruhi anggaran pemerintah. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas. Delapan tipe alternatif kebijakan harga komoditas untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor dapat dilihat pada Tabel 4.


(26)

26 P P Pw S D A B C

Q1 Q2 Q3

Q P Pw P S D

Q2 Q1 Q3 Q4

A

B

F E G

H

Q Tabel 4. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditas

Instrumen Dampak pada

Produsen

Dampak pada Konsumen 1.Kebijakan Subsidi Subsidi pada Produsen Subsidi pada Konsumen a. Tidak merubah harga

pasar dalam negeri b. Merubah harga pasar

dalam negeri

a. Pada barang-barang substitusi impor (S+PI; S-PI)

b.Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE; S-PE)

a. Pada barang-barang substitusi impor (S+CI; S-CI)

b.Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S-CE)

2. Kebijakan perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Keterangan :

S+ : Subsidi CE: Konsumen Barang Orientasi Ekspor

S- : Pajak CI: Konsumen Barang Substitusi Impor

PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor TCE : Hambatan Barang Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor TPI : Hambatan Barang Impor 3.1.3.1 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Output

Kebijakan terhadap harga output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah. Diberlakukan subsidi positif pada produsen barang impor dan konsumen barang-barang impor dapat dilihat secara grafis pada Gambar 2.

(a) Kurva Subsidi untuk Produsen (b) Kurva Subsidi untuk Konsumen Barang Impor Barang Impor

Keterangan : P = Harga di dalam negeri S = Suplai Q = Kuota

Pw = Harga dunia D = Demand

Gambar 2. Dampak Subsidi pada Produsen dan Konsumen Barang Impor (Sumber : Monke dan Pearson 1989)


(27)

27 Gambar 2(a) adalah subsidi untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga di pasaran dunia (Pw ke Pd). Perubahan harga tersebut menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2, sementara konsumsi tetap di Q3. Harga yang diterima konsumen tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi dapat dilakukan jika produsen dan konsumen dapat dipisahkan berdasarkan wilayah ekonomi yang jauh dari kontrol administrasi yang ketat sehingga perbedaan harga antara produsen (karena diberi subsidi) dan konsumen (tanpa subsidi) dapat terjadi.

Subsidi ini menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pd -Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Pd AB Pw. Subsidi yang menyebabkan barang yang tadinya diimpor diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan sebesar Q1CBQ2, sehingga efisien yang hilang sebesar CAB.

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pd -Pw yang menyebabkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4. Impor meningkat dari Q3– Q1 menjadi Q4 – Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua yaitu transfer darti pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwA Pd. Di sisi produksi terjadi penurunan output dari Q2 ke Q1 dan terjadi kehilangan pendapatan sebesar Q2AFQ1, sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar AFB. Dari sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah sebesar Q1EGQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EGQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar EGH.

Selain kebijakan subsidi, kebijakan hambatan perdagangan pun dapat diterapkan pada output. Contoh dari diterapkannya kebijakan hambatan terhadap output adalah hambatan perdagangan terhadap barang impor. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 3.


(28)

28

E A

C G

S

D P

Pw Pd

Q B

Q1 Q2 Q4 Q3

F

E A

C G

Keterangan : Pd = Harga di dalam negeri S = Suplai Q = Kuota Pw = Harga dunia D = Demand

Gambar 3. Hambatan Perdagangan Pada Produsen untuk Barang Impor (Sumber : Monke dan Pearson 1989)

Gambar 3 menunjukkan adanya hambatan pada barang impor dimana terdapat tarif sebesar (Pd– Pw) sehingga meningkatkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4, sehingga impor turun dari Q3– Q1 menjadi Q4– Q2. Terjadi transfer pendapatan dari konsumen kepada produsen sebesar PdEFPw dan terjadi transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen adalah perbedaan antara

opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan willingness to pay Q4ACQ3, sehingga efisiensi yang hilang pada konsumen adalah sebesar daerah ABC dan pada produsen sebesar EFG.

3.1.3.2 Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Input

Kebijakan pemerintah bisa diterapkan pada input, baik input yang dapat diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan ( non-tradable). Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan tidak akan tampak pada input non-tradable, karena dalam input non-tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri saja.

Kebijakan subsidi (positif atau negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan dapat diaplikasikan pada input tradable. Kedua kebijakan ini dapat diterapkan karena input tradable yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri


(29)

29 P

Pw

S

D A

B

C

Q2 Q1

Q S’

Q S’ S P

Pw

A B

C

Q1 Q2

maupun di luar negeri. Dampak diterapkannya kebijakan pajak dan kebijakan subsidi dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b)

Keterangan : Pw = Harga dunia S = Supply D = Demand Q = Kuota Gambar 4. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Tradable

(Sumber : Monke dan Pearson 1989)

Pada Gambar 4(a), menunjukkan efek pajak terhadap input tradable. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat menyebabkan kurva supply bergeser ke kiri atas, sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q2 ke Q1. ABC adalah besarnya efisiensi ekonomi yang hilang, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1CAQ2) dengan biaya produksi output (Q2BC Q1).

Dampak dari subsidi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b). Kebijakan subsidi menyebabkan harga input menjadi murah yang berdampak pada penurunan biaya produksi. Penurunan biaya produksi tersebut menyebabkan kurva

supply bergeser ke bawah, sehingga output yang dihasilkan akan meningkat dari Q1 ke Q2. Besarnya efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang (Q1ACQ2) dengan biaya produksi output (Q1ABQ2).

Kebijakan input non-tradable dapat berupa kebijakan pajak dan subsidi. Dampak kebijakan pajak dan subsidi pada input non-tradable dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a), harga yang berlaku sebelum diberlakukannya pajak pada input non-tradable berada pada Pd dengan tingkat output Q1. Adanya pajak


(30)

30 P

Q Q1

Q2 Pp

Pd Pc

A

B C S

D D

A B

Pp’ Pp Pd Pc

P

S

D C

Q2 Q1

Q Q3

D

sebesar Pc-Pp menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga ditingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.

(a) (b) Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi

Pc : Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak

Gambar 5. Dampak Pajak dan Subsidi Pada Input Non-Tradable

(Sumber : Monke and Pearson 1989)

Dampak subsidi pada input non-tradable dapat dilihat pada Gambar 5(b). Sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi, tingkat harga keseimbangan yang terjadi adalah pada Pd dengan tingkat output keseimbangan Q1. Subsidi menyebabkan terjadinya perubahan harga di tingkat produsen menjadi Pp, sedangkan harga yang dibayarkan konsumen menjadi lebih rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABD.

3.1.4 Teori Matrik Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai tingkat dayasaing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter dan Policy Analysis Matrix

(PAM). Indeks RCA digunakan untuk melihat keunggulan komparatif suatu komoditas. Kelemahan indeks RCA adalah tidak dapat membedakan antara


(31)

31 peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan serta lemah dalam mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dan mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, ukuran pasar domestik dan perkembangannya. Suatu negara tidak dapat lagi hanya menggantungkan keunggulannya pada keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai endowment factors, tapi juga harus didukung adanya keunggulan kompetitif yang kuat. Teori Berlian Porter menganalisis faktor internal dan eksternal yang memengaruhi keunggulan kompetitif suatu komoditas. Faktor internal mencakup faktor fisik dan manusia, sedangkan faktor eksternal mencakup peluang yang terjadi pada pasar dalam negeri maupun internasional.

Policy Analysis Matrix (PAM) atau matrik kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke dan Pearson, 1989). Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis dayasaing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah yang memengaruhi sistem komoditas. Sehingga PAM dinilai sebagai metode analisis yang paling efisien karena dalam satu metode dapat mengidentifikasi tiga analisis sekaligus. Namun, kelemahan PAM yaitu bersifat statis (hanya dapat menghitung pada satu tingkat harga), sedangkan dalam kenyataannya harga dapat bervariasi.

Metode PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Matrik ini terdiri dari tiga baris dan empat kolom, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan harga privat atau harga aktual untuk mengestimasi keuntungan privat. Keuntungan privat dihitung berdasarkan selisih antara pendapatan dan biaya berdasarkan harga aktual yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio merupakan indikator keuntungan atau dayasaing (keunggulan kompetitif) dari usahatani berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.


(32)

32 Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi berdasarkan harga sosial atau harga bayangan yaitu harga yang menggambarkan divergensi. Divergensi akan menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial, divergensi dapat disebabkan oleh adanya kegagalan pasar atau kebijakan pemerintah. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu

competitive outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah monopoli, externality dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Kebijakan pemerintah adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya. Kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan divergensi antara lain pajak/subsidi, hambatan perdagangan atau regulasi harga, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya kebijakan pemerintah (Pearson et al 2005).

Matrik PAM memiliki empat kolom, kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable), kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non-tradable) dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan dari selisih antara penerimaan dan biaya. Penggunakan harga privat dan sosial dalam analisis PAM menggambarkan bahwa metode tersebut mengandung analisis finansial dan ekonomi. Dalam analisis ekonomi akan meninjau aktivitas dilihat dari sudut masayarakat secara keseluruhan. Sedangkan analisis finansial dilihat dari individu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yaitu petani.

3.1.5 Harga Bayangan (Harga Sosial)

Menurut Pearson et al. (2005), penentuan harga bayangan (sosial) hanya bisa dilakukan dengan pendugaan (approximation). Harga bayangan (harga sosial) untuk input maupun output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable), yakni harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Harga bayangan (sosial opportunity cost) untuk memproduksi satu komoditas impor adalah sama dengan jumlah devisa yang dihemat karena tidak mengimpor komoditas tersebut. Sedangkan harga bayangan (sosial opportunity cost) untuk memproduksi satu komoditas ekspor adalah jumlah devisa yang dapat diperoleh dengan mengekspor komoditas tersebut.


(33)

33 Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga paritas ekspor atau Free on Board (FOB) untuk barang exportable dan harga paritas impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) untuk barang yang

importable. FOB merupakan syarat penyerahan barang dimana penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai pelabuhan muat penjual, sisanya ditanggung oleh pembeli. Sedangkan CIF adalah syarat penyerahan barang dimana penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu komoditas. Monke dan Pearson (1989) juga mengemukakan bahwa ada empat cara dalam menentukan harga paritas (harga internasional) dari suatu barang (input/output) yang tradable, yaitu : (1) nilai FOB atau CIF yang implisit, yakni dengan membagi total nilai ekspor/impor dengan total kuantitas. Tetapi nilai ini bias karena perusahaan umumnya tidak akan melaporkan yang sebenarnya untuk meminimalisir pajak; (2) nilai FOB atau CIF di negara tetangga yang sudah diketahui secara jelas; (3) nilai FOB atau CIF berdasarkan informasi yang diperoleh dari industri, agensi pemerintah atau organisasi internasional; dan (4)

world price indirectly yakni dengan mengurangkan efek dari kebijakan pemerintah (menambahkan subsidi atau mengurangkan pajak).

Sedangkan untuk barang-barang non-tradable, penentuan harga bayangannya ditentukan berdasarkan langkah-langkah berikut (Monke dan Pearson 1989) : (1) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah atau kegagalan pasar, (2) apabila dampak divergensi tidak dapat diestimasi maka gunakan harga substitusinya, (3) jika langkah tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang/substitusinya di negara tetangga, (4) mendekomposisikan biaya produksi input non-tradable tersebut kedalam unsur input tradable dan non-tradable, (5) menggunakan matriks input-output pendapatan nasional untuk mengalokasikan pangsa tenaga kerja dan modal dari input non-tradable pada tingkat harga privat. Sesuaikan biaya privat untuk mendapatkan nilai sosial, dan (6) apabila tabel input output tidak tersedia maka alokasikan sepertiga biaya non-tradable kedalam biaya modal, tenaga kerja dan input tradable.


(34)

34 1) Harga Bayangan Tenaga Kerja

Menurut Pearson et al. (2005), dalam mengestimasi harga bayangan tenaga kerja adalah dengan melihat apakah ada kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan yang terjadi pada pasar tenaga kerja. Ada dua jenis kegagalan pasar yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang, yaitu monopsoni atau oligopsoni (dimana satu atau beberapa pengguna tenaga kerja berkolusi untuk menekan upah) dan kekuatan serikat buruh (ketika kelompok serikat buruh memberikan tekanan yang menyebabkan naiknya upah). Apabila buruh mudah untuk masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja, maka hal itu merupakan bukti tidak efektinya kekuatan yang memengaruhi pasar, baik yang dimiliki oleh pengguna tenaga kerja (perusahaan) maupun serikat buruh.

Dua jenis distorsi kebijakan yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja pedesaan di negara berkembang adalah peraturan upah minimum serta tunjangan (pajak) pensiun dan kesehatan (dimana pemerintah mengharuskan perusahaan atau pengguna tenaga kerja untuk berkontribusi pada program kesehatan dan pensiun yang dengan sendirinya akan meningkatkan biaya upah tenaga kerja). Kebijakan seperti ini berkembang baik di negara berkembang maupun negara maju, namun umumnya tidak bisa diterapkan di pasar tenaga kerja pertanian kecuali di perkebunan besar dan pabrik pengolahan hasil pertanian. Kebijakan yang tidak memengaruhi biaya tenaga kerja, karena tidak bisa diterapkan adalah kebijakan yang tidak efektif dan dengan sendirinya bisa diabaikan pada analisis PAM.

2) Harga Bayangan Bunga Modal

Sebelum mengestimasi harga bayangan bunga modal, terlebih dahulu harus mengetahui mengenai sumber kredit atau sumber modal serta tingkat bunga yang harus dibayar untuk setiap sumber kredit atau sumber modal yang digunakan oleh pelaku usaha dalam sistem komoditas yang diteliti. Menurut Pearson et al. (2005), ada empat sumber kredit dan tingkat bunga yang umum ditemukan di negara berkembang, yaitu :

a. Tabungan keluarga, baik yang bersumber dari kegiatan usaha pertanian maupun nonpertanian, umumnya merupakan sumber modal yang paling banyak digunakan karena paling murah biayanya. Tabungan bisa diartikan


(35)

35 sebagai hilangnya kesempatan untuk mengkonsumsi atau investasi.

Opportunity cost yang membiayai sendiri kegiatan usahatani dengan sumber tabungan keluarga adalah bunga tabungan yang hilang.

b. Lembaga perkreditan formal, seperti bank pemerintah, bank komersial atau lembaga keuangan lainnya, umumnya menyalurkan kredit kepada petani, usaha kecil dan pedagang dengan tingkat bunga yang moderat. Lembaga seperti ini masih belum banyak berkiprah di pedesaan, serta memerlukan agunan yang besar dan mahal.

c. Pemilik kios/toko/warung serta pedagang yang menjual pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya seringkali merupakan sumber kredit yang amat penting bagi petani meskipun dengan tingkat bunga yang cukup tingi.

d. Pelepas uang (rentenir) umumnya merupakan sumber kredit dengan tingkat bunga tertinggi. Karena tingkat bunga yang dibebankan bisa diatas 10 persen per bulan, petani umumnya menghindari sumber kredit seperti ini kecuali untuk kebutuhan keluarga yang mendesak.

Biaya modal dalam analisis PAM diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu modal kerja dan modal investasi. Modal kerja adalah biaya produksi (tunai) yang harus dibayar petani seperti pembelian input, upah tenaga kerja dan penyimpanan dalam kurun waktu satu tahun produksi. Modal investasi adalah pengeluaran atas aset yang memberikan kegunaan lebih dari satu tahun.

Kegagalan pasar finansial atau perkreditan kerap terjadi di negara-negara berkembang dan biasanya karena kurang tersedianya lembaga keuangan (perkreditan) di pedesaan. Pada prinsipnya, pendapatan sosial untuk modal (social return to capital) adalah pendapatan atas investasi public atau privat yang akan dilakukan seandainya ada dana untuk melakukan investasi tersebut. Pada pratiknya, untuk mengestimasi tingkat bunga sosial modal kerja dan modal investasi dapat dilakukan dengan menggunakan pengalaman dari negara berkembang atau negara maju lainnya pada saat negara tersebut berada pada tingkat pembangunan yang sama dengan negara yang sedang menjadi fokus penelitian.


(1)

163

Lampiran 11. Rekapitulasi Budget Sosial Terdiskonto pada Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

Tahun Penerimaan Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan DR Penerimaan Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan

Tingkat Bunga 12,84%

0 - 139.600 31.864.185 (32.003.785) 1,0000 - 139.600 31.864.185 (32.003.785)

1 - 3.378.763 34.843.051 (38.221.814) 0,8862 - 2.994.295 30.878.280 (33.872.575)

2 - 4.270.845 40.171.801 (44.442.646) 0,7854 - 3.354.190 31.549.694 (34.903.884)

3 270.600.000 5.904.471 186.352.873 78.342.656 0,6960 188.338.263 4.109.527 129.702.056 54.526.680

4 270.600.000 9.827.776 221.771.866 39.000.358 0,6168 166.907.358 6.061.819 136.789.934 24.055.605

5 432.600.000 9.827.776 348.088.220 74.684.004 0,5466 236.467.319 5.372.048 190.271.586 40.823.685

6 432.600.000 10.777.472 349.483.287 72.339.241 0,4844 209.559.836 5.220.817 169.296.487 35.042.532

7 432.600.000 11.396.355 350.784.290 70.419.356 0,4293 185.714.141 4.892.428 150.590.853 30.230.860

8 432.600.000 12.633.747 359.811.344 60.154.908 0,3804 164.581.833 4.806.485 136.889.530 22.885.818

9 432.600.000 12.633.747 359.480.754 60.485.498 0,3372 145.854.159 4.259.558 121.201.487 20.393.115

10 562.800.000 14.187.829 460.333.414 88.278.757 0,2988 168.160.238 4.239.212 137.544.024 26.377.002

11 562.800.000 14.187.829 459.725.471 88.886.699 0,2648 149.025.379 3.756.835 121.731.988 23.536.557

12 562.800.000 16.087.222 463.725.909 82.986.869 0,2347 132.067.866 3.775.062 108.818.925 19.473.878

13 562.800.000 16.087.222 464.061.938 82.650.840 0,2080 117.039.938 3.345.500 96.506.361 17.188.076

14 562.800.000 16.087.222 463.721.330 82.991.448 0,1843 103.722.029 2.964.818 85.462.184 15.295.027

15 562.800.000 16.087.222 464.334.711 82.378.068 0,1633 91.919.558 2.627.453 75.837.671 13.454.434

16 562.800.000 16.087.222 463.721.330 82.991.448 0,1447 81.460.083 2.328.476 67.119.364 12.012.243

17 562.800.000 16.087.222 463.724.049 82.988.729 0,1283 72.190.786 2.063.520 59.482.238 10.645.028

18 562.800.000 16.087.222 464.063.798 82.648.980 0,1137 63.976.237 1.828.713 52.752.409 9.395.115

19 562.800.000 16.087.222 463.724.049 82.988.729 0,1007 56.696.417 1.620.625 46.715.516 8.360.277

20 562.800.000 16.087.222 464.331.991 82.380.787 0,0893 50.244.964 1.436.215 41.454.059 7.354.690

NPV 2.383.926.404 71.197.195 2.022.458.830 290.270.380


(2)

164

Lampiran 12. Proporsi Biaya Input Terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok

INPUT

Proporsi pada

Budget Privat (%)

Proporsi pada

Budget Sosial (%)

Pupuk (Anorganik dan Organik) 12,86 12,23

Obat-Obatan 6,40 5,55

Bibit Belimbing Dewa 0,69 0,74

Peralatan Kebun 0,32 0,60

Peralatan Pengolahan 0,03 0,05

Tenaga Kerja 42,92 39,05

Modal Kerja 6,00 10,58

Modal Investasi 0,09 0,25

Lahan 5,36 5,36

Tataniaga (Penanganan dan Biaya Angkut) 25,32 25,59

Total 100,00 100,00


(3)

165

Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian

Perkebunan Belimbing Dewa Milik Salah Seorang Petani Responden Tahun 2011

Kegiatan Puskop (Melakukan Pengemasan Belimbing Dewa untuk Dipasarkan)

Pabrik Pengolahan Belimbing (Belum Beroperasi)


(4)

166

Lampiran 13. Lanjutan

Patung Belimbing Blangko Pencatatan SOP untuk Petani

Kumpul Bersama Anggota Kelompok Tani “Layungsari”

Produk-Produk Puskop (Pesanan dari Sekolah Taman Kanak-Kanak)


(5)

ii

RINGKASAN

EKA PUSPITASARI. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANNA FARIYANTI).

Indonesia memiliki potensi dan peluang yang sangat baik untuk menjadi salah satu negara eksportir buah-buahan tropis di dunia. Salah satu jenis buah tropis yang sedang dikembangkan dan memiliki prospek yang cukup bagus adalah belimbing. Kota Depok merupakan salah satu wilayah sentra produksi belimbing di Indonesia, khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Belimbing di Kota Depok lebih dikenal dengan belimbimg dewa. Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 718/Kpts/TP.240/8/98, belimbing dewa merupakan salah satu komoditas buah unggulan Kota Depok yang berasal dari varietas dewa baru. Pemerintah Kota Depok pun telah menjadikan belimbing sebagai icon kota sejak tanggal 21 Juli 2009. Dalam rangka mengembangkan agribisnis belimbing di Kota Depok serta memanfaatkan peluang pasar yang tercipta karena adanya era perdagangan bebas maka belimbing dewa di Kota Depok mulai dipersiapkan untuk dapat menembus pasar internasional. Namun, untuk dapat menembus pasar internasional maka komoditas belimbing dewa di Kota Depok dituntut untuk memiliki dayasaing agar mampu bertahan dan bersaing dengan produk-produk sejenis yang terdapat di mancanegara. Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam membantu kemajuan agribisnis dan peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai analisis dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas belimbing dewa di Kota Depok penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini antara lain (1) menganalisis dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok, dan (3) menganalisis dampak perubahan harga buah belimbing, upah tenaga kerja, harga pupuk dan jumlah output belimbing yang dihasilkan terhadap dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok, tepatnya di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan bahwa Kota Depok merupakan salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia khususnya untuk wilayah Jawa Barat serta pemilihan Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Pancoran Mas merupakan sentra produksi utama belimbing di Kota Depok dan Kecamatan Cipayung merupakan wilayah hasil pemekaran Kecamatan Pancoran Mas yang juga merupakan sentra produksi belimbing di Kota Depok. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 hingga Juni 2011. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap pedagang input pertanian, kelompok tani, lembaga pemasaran dan lembaga penunjang secara purposive serta pengambilan sampel terhadap petani yang dilakukan dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengukur tingkat dayasaing melalui indikator keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem komoditas.


(6)

iii Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas belimbing dewa di Kota Depok memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang merupakan indikator dayasaing. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan nilai keuntungan privat dan sosial yang bernilai positif yaitu Rp 494.503.965,00 per hektar dan Rp 290.270.380,00 per hektar serta nilai Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) yang lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,88 dan 0,87. Dengan demikian, komoditas belimbing dewa di Kota Depok diindikasi memiliki peluang ekspor yang cukup besar serta mampu bersaing dengan komoditas sejenis dari produk impor yang ada di dalam negeri maupun komoditas sejenis di mancanegara ketika dilakukan kegiatan ekspor.

Kebijakan pemerintah terhadap output mampu mendukung peningkatan keunggulan kompetitif (dayasaing) komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Hal ini terlihat dari nilai transfer output yang positif yaitu Rp 1.774.828.921,00 per hektar dan Nominal Protection Coefficient on Tradable Output(NPCO) 1,74. Namun kebijakan pemerintah terhadap input justru menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas belimbing dewa, sehingga kebijakan pemerintah terhadap input produksi sejauh ini belum mampu mendorong peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari nilai transfer input dan transfer faktor yang positif yaitu Rp 70.221.969,00 per hektar dan Rp 1.500.373.367,00 per hektar serta Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) lebih dari satu yaitu 1,99. Sedangkan, kebijakan pemerintah terhadap input-output pada sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok telah dapat melindungi petani belimbing dewa di Kota Depok secara efektif. Sehingga kebijakan pemerintah terhadap input-ouput mampu mendukung pengembangan dan peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Hal ini terlihat dari nilai transfer bersih yang bernilai positif yaitu Rp 204.233.586,00 per hektar serta Effective Protection

Coefficient (EPC) sebesar 1,74, nilai Profitability Coefficient (PC) sebesar 1,70

dan nilai Subsidy Ratio to Produsers (SRP) sebesar 0,05.

Jika terjadi penurunan jumlah produksi sebesar 10 persen, peningkatan harga tenaga kerja sebesar 20 persen dan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen dapat menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif (dayasaing) komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Sedangkan penurunan harga output sebesar 15 persen dapat membuat komoditas belimbing dewa di Kota Depok tidak lagi memiliki dayasaing.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peningkatan dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas belimbing, pemerintah membantu kredit modal kerja kepada Puskop sebagai lembaga pemasaran resmi yang dapat menjaga kestabilan harga belimbing di tingkat petani, menambah personil penyuluh pertanian agar penyuluhan kepada petani dapat dilakukan secara intensif dan efektif, memberi stimulus agar pabrik pengolahan belimbing yang telah dibangun menggunakan dana bantuan Program Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM) dapat segera beroperasi. Selain itu, Puskop sebaiknya memperbaiki sistem pembayaran kepada para petani serta membentuk unit usaha pengadaan input produksi dan memberikan kredit input produksi kepada petani.