Karakterisasi Komponen Aroma Aktif Pada Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Dan Produk Fermentasinya

KARAKTERISASI KOMPONEN AROMA AKTIF PADA
BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) DAN PRODUK
FERMENTASINYA

EREN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Komponen
Aroma Aktif pada Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) dan Produk
Fermentasinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Eren
NIM F251130526

RINGKASAN
EREN. Karakterisasi Komponen Aroma Aktif pada Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L.) dan Produk Fermentasinya. Dibimbing oleh HANNY WIJAYA dan
DIDAH NUR FARIDAH.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah. Aceh salah satu
provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara Pulau Sumatra memiliki bumbu
tradisional yang dikenal dengan nama asam sunti. Asam sunti banyak digunakan
dalam kuliner Aceh karena rasa dan aromanya yang khas. Asam sunti terbuat dari
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang dijemur, diberi garam, dan dibiarkan
mengalami fermentasi secara spontan. Penelitian ini merupakan penelitian
pertama yang mengkaji mengenai komponen aroma aktif pada belimbing wuluh
dan asam sunti.
Tahapan penelitian ini terdiri dari: penentuan sampel yang representatif;
karakterisasi secara fisik, kimia, dan sensori; analisis komponen volatil
menggunakan gas kromatografi-spektroskopi massa (GC-MS); analisis komponen

aroma aktif dengan gas kromatografi-olfaktometri (GC-O) dan perhitungan odor
active value (OAV); dan rekonstitusi komponen aroma aktif menggunakan
senyawa standar. Belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
warna hijau, tekstur keras, dan tidak bercacat. Asam sunti yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki rasa asam dan asin yang dominan, aroma asam, berwarna
coklat, berbentuk oval pipih, dan tidak berjamur.
Pengukuran karakteristik fisik menunjukkan belimbing wuluh memiliki
nilai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan asam sunti. Belimbing wuluh
memiliki warna dominan kuning dan hijau, sedangkan asam sunti memiliki warna
dominan kuning dan merah. Analisis proksimat menunjukkan belimbing wuluh
memiliki 94.78% kadar air, 0.35% lemak, 1.37% protein, 0.30% abu, dan 3.19%
karbohidrat. Asam sunti memiliki 62.16% kadar air, 1.27% lemak, 4.24% protein,
11.38% abu, dan 20.94% karbohidrat.
Analisis sensori QDA dengan 10 panelis terlatih menyimpulkan bahwa
belimbing wuluh memiliki aroma green yang lebih kuat dari asam sunti secara
signifikan, sedangkan asam sunti memiliki aroma rancid dan rasa asin yang lebih
kuat dari belimbing wuluh secara signifikan. Hasil analisis GC-MS menunjukkan
belimbing wuluh terdeteksi memiliki 35 komponen volatil, sedangkan asam sunti
memiliki 82 komponen volatil. Analisis GC-O menunjukkan 4 komponen aroma
aktif untuk belimbing wuluh dan 22 komponen aroma aktif untuk asam sunti.

Alpha-pinena (OAV=3.33) dan etil (2E)-3-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-2propenoat (OAV=2) merupakan komponen volatil yang berperan dalam
pembentukan aroma belimbing wuluh. (E)-2-tetradekanal (OAV=49000), (E,Z)2,4-dekadienal (OAV=18428), nonanal (OAV=4850), metil isoheksadekanoat
(OAV=3970), alpha-metil ionon (OAV=1301), (E)-2-oktenol (OAV=1040), etil
benzoat (OAV=17.33), asam pentanoat(OAV=14), asam heptadekanoat
(OAV=3.39), vanilin (OAV=3.35), asam 2-furankarboksilat (OAV=1.15), dan
asam dekanedioat (OAV=1.13) merupakan komponen volatil yang berperan
dalam pembentukan aroma pada asam sunti. Asam sunti memiliki komponen
volatil yang lebih kompleks serta membentuk aroma yang lebih kuat
dibandingkan dengan belimbing wuluh.
Kata kunci : asam sunti, belimbing wuluh, bumbu,komponen aroma aktif, OAV

SUMMARY
EREN. Aroma Active Components of Bilimbi (Averrhoa Bilimbi L.) and Its
Fermented Product. Supervised by HANNY WIJAYA and DIDAH NUR
FARIDAH.
Indonesia is very rich with its natural resources. Every region and island in
Indonesia has its unique culture, include taste. Aceh is one of Indonesia province
located at northern end of Sumatra that has traditional seasoning called asam
sunti. Asam sunti was used for Acehnese culinary for its unique taste and flavor.
Asam sunti was made from dried, salted, and spontaneous fermented bilimbi

(Averrhoa bilimbi L.). The aroma active compound of bilimbi and asam sunti was
firstly systematically evaluated.
The research consist of: selection of the representative sample; physical,
chemical, and sensory characterization of bilimbi and asam sunti; analysis of
volatile compounds with gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS);
analysis of aroma active compounds with gas chromatography-olfactometry (GCO) and odor active value (OAV); and reconstitution of the aroma active
compounds using standard compounds. Bilimbi that was used in this research had
green color, hard texture, and no defective. Asam sunti that was used in this
research had sour and salty dominant taste, sour aroma, brown color, flat oval
shape, and no moldy.
Physical characterization showed that bilimbi had a lighten color than
asam sunti with yellow and green dominant color, whereas asam sunti had a
yellow and red dominant color. The proximate analysis showed that bilimbi had
94.78% moisture, 0.35% fat, 1.37% protein, 0.30% ash, and 3.19% carbohydrate
content. While, asam sunti had 62.16% moisture, 1.27% fat, 4.24% protein,
11.38% ash, and 20.94% carbohydrate content.
Quantitative descriptive analysis (QDA) by 10 trained panelists concluded
that green odor was significantly higher in bilimbi, while asam sunti exhibited
significantly higher in rancid odor, salty and umami taste. GC-MS result showed
35 and 82 volatile compounds for bilimbi and asam sunti, respectively. In addition,

GC-O analysis revealed 4 and 22 odor active compounds for bilimbi and asam
sunti, respectively. Alpha-pinene (OAV=3.33) and ethyl (2E)-3-(4-hydroxy-3methoxyphenyl)-2-propenoate (OAV=2) were volatiles that play important role in
bilimbi aroma. (E)-2-tetradecanal (OAV=49000), (E,Z)-2,4-decadienal
(OAV=18428), nonanal (OAV=4850), methyl isohexadecanoat (OAV=3970),
alpha-methyl ionone (OAV=1301), (E)-2-octenol (OAV=1040), ethyl benzoate
(OAV=17.33), pentanoic acid (OAV=14), heptadecanoic acid (OAV=3.39),
vanillin (OAV=3.35), 2-furancarboxylic acid (OAV=1.15), and decanedioic acid
(OAV=1.13) were volatiles that play important role in asam sunti aroma. Asam
sunti had more complex volatiles and exhibited a stronger aroma than bilimbi.
Keywords: aroma active compounds, asam sunti, bilimbi, OAV, seasoning

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMPONEN AROMA AKTIFPADA BELIMBING WULUH
(Averrhoa bilimbi L.) DAN PRODUK FERMENTASINYA

EREN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sukarno, M.Sc

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah komponen
flavor, dengan judul Karakterisasi Komponen Aroma Aktif pada Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan Produk Fermentasinya. Publikasi ilmiah hasil
penelitian ini telah dikirimkan ke Jurnal Internasional “Food Chemistry” dengan
judul “Characterization of Aroma Active Compounds in Bilimbi (Averrhoa bilimbi
L.) and Its Fermented Product”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof.Dr.Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr dan Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si
sebagai komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberikan
arahan selama perkuliahan, penelitian, dan penulisan publikasi ilmiah.
2. Dr.Ir. Sukarno, M.Sc sebagai dosen penguji atas waktu dan masukan yang
membangun dalam pembahasan tesis ini.
3. Prof.Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Pangan yang telah menyediakan watunya untuk memimpin ujian tesis dan
memberikan masukan yang berharga.
4. Seluruh dosen dan pegawai di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah
Pascasarjana IPB yang telah membagikan banyak hal selama kegiatan
perkuliahan.

5. Bakti Kumara S.TP, M.Sc (PT. Indesso Aroma) yang telah menyediakan
tempat untuk penulis dapat melakukan ekstraksi; Daisy Irawan S.TP dan Dr.Ir.
Bram Kusbiantoro, M.Si (BB Padi) yang telah memberikan masukan mengenai
metode ekstraksi; dan para panelis yang telah membantu penulis selama
pengumpulan data.
6. PT. Ogawa Indonesia yang telah membantu menyediakan aroma standar untuk
uji rekonstitusi.
7. Pemerintah Republik Indonesia khususnya Direktur Jendral Pendidikan Tinggi
yang telah memberikan beasiswa fresh graduate selama perkuliahan dan
mendanai penelitian ini dalam program Hibah Kompetitif dengan judul
“Pelestarian dan Pendayagunaan Potensi Kimiawi Sumber Daya Alam Lokal
Indonesia dalam Pengembangan Pangan Fungsional dan Ingredien Pangan
Alami Seri-3”.
8. Sahabat, kerabat,para responden in-depth interview dan Juhadi Sunaryo atas
segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.
Karya ilmiah ini saya dedikasikan kepada keluarga tercinta Papa (Alm),
Mama, Cici. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Eren


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian


1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Asam Sunti
In-depth Interview
Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
Komponen Volatil pada Buah
Analisis Komponen Aroma Aktif

2
2
3
4
5
5

6

3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

11
11
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan asam sunti yang representatif
Karakteristik fisik, kimia, dan sensori
Identifikasi komponen volatil dan komponen aroma aktif

19
19
20
23

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

48

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Tingkatan mutu asam sunti.
Tahapan penelitian.
Senyawa uji intensitas ranking.
Senyawa uji untuk segitiga rasa dan aroma.
Senyawa referensi untuk pelatihan panelis.
Hasil in-depth interview asam sunti.
Analisis warna belimbing wuluh dan asam sunti.
Komposisi asam sunti dan belimbing wuluh.
Komponen volatil belimbing wuluh dan asam sunti.
Komponen aroma aktif belimbing wuluh.
Komponen aroma aktif asam sunti.
Senyawa aroma aktif pada belimbing wuluh berdasarkan perhitungan
OAV.
Senyawa aroma aktif pada asam sunti berdasarkan perhitungan OAV.
Deskripsi aroma ekstrak dan senyawa rekonstitusi.

4
12
14
15
16
20
20
21
24
29
29
31
31
32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Belimbing wuluh.
Asam sunti.
Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti.
Perbedaan aroma ekstraksi

3
3
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Kuisioner uji in-depth interview.
ANOVA seleksi panelis: uji ranking.
Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti.

40
41
45

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga
menjadikannya sebagai negara yang beriklim tropis dan memiliki kekayaan alam
yang berlimpah ruah. Nusantara merupakan istilah yang menunjukkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari
Pulau Sumatera sampai Pulau Papua. Luas dan suburnya tanah Indonesia ini
menjadikannya sebagai negara agraris yang dikenal memiliki sumber daya hayati
terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 28.000 spesies tanaman. Setiap
pulau dan daerah di Indonesia memiliki kekhasannya masing-masing termasuk
dalam hal cita rasa.
Di Aceh terdapat bumbu dapur yang khas dikenal dengan nama asam sunti.
Asam sunti berasal dari belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang dikeringkan,
diberi garam, dan dibiarkan mengalami fermentasi secara spontan. Asam sunti
memiliki aroma yang unik sehingga memberikan cita rasa yang khas pada
masakan. Asam sunti umumnya ditambahkan dalam masakan, seperti tongkol
asam sunti, asam keueng, sayur asam sunti, dan lain-lain.
Belimbing wuluh merupakan salah satu buah tropika yang tumbuh subur di
Indonesia. Belimbing wuluh teridentifikasi dalam jenis Averrhoa bilimbi L. suku
oxalidaceae, memiliki rasa asam yang disebabkan oleh kandungan asam asetat,
asam format, asam laktat, asam malat, asam oksalat, dan asam sitrat yang ada di
dalamnya (Subhadrabandhu 2001).
Beberapa penelitian telah mengkaji mengenai asam sunti, hasil penelitian
Hayati (2002) menyatakan bahwa proses penggaraman awal sebelum pengeringan
akan menghasilkan asam sunti dengan kualitas yang lebih baik dari pada proses
penggaraman akhir setelah proses pengeringan. Muzaifa (2013) telah mengkaji
perubahan karakteristik fisik dari belimbing wuluh menjadi asam sunti selama
fermentasi. Namun, informasi dan penelitian mengenai komponen aroma aktif
yang berperan dalam memberikan aroma khas pada belimbing wuluh dan asam
sunti belum pernah dilakukan. Identifikasi komponen volatil umumnya dilakukan
dengan gas kromatografi-spektroskopi massa (GC-MS), namun tidak semua
komponen volatil yang terdeteksi berperan terhadap aroma yang terbentuk dan
mempengaruhi persepsi aroma. Metode terbaik untuk mengidentifikasi komponen
aroma aktif adalah dengan gas kromatografi-olfaktometri (GC-O) („sniffing‟),
dimana pengaruh aroma pada sampel dianalisis oleh olfaktori panelis yang sensitif
(Kirshinbaum et al.2012).
Penelitian akan difokuskan untuk mendapatkan komponen volatil yang
berperan dalam memberikan aroma yang khas pada asam sunti dan mempelajari
perubahan komponen volatil yang ada pada belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) menjadi asam sunti. Penelitian ini penting dilakukan melihat potensi asam
sunti sebagai bahan pemberi cita rasa dalam masakan sangat besar. Komponen
volatil yang ada pada asam sunti dapat dijadikan sebagai standar mutu bagi asam
sunti.

2
Perumusan Masalah
Asam sunti banyak digunakan sebagai bumbu penyedap dalam masakan
Indonesia, khususnya masakan Aceh, karena memiliki aroma yang unik. Namun,
informasi mengenai komponen volatil yang terkandung dalam belimbing wuluh
dan asam sunti belum pernah dilakukan. Selain itu, tidak semua komponen volatil
yang ada pada belimbing wuluh dan asam sunti berperan memberikan aroma yang
khas. Oleh karena itu, penelitian mengenai komponen aroma aktif yang berperan
dalam memberikan aroma khas dari belimbing wuluh menjadi asam sunti perlu
dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah karakterisasi komponen aroma aktif yang
berperan dalam memberikan aroma unik pada belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) dan asam sunti.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai komponen
aroma aktif yang berperan dalam memberikan aroma yang khas pada asam sunti
sehingga dapat dijadikan sebagai standar mutu dalam pembuatan perisa yang
memimik aroma asam sunti.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Belimbing wuluh (Gambar 1) merupakan tanaman yang tumbuh bebas di
Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Myanmar, dan Malaysia. Di Indonesia, belimbing
wuluh dikenal dengan berbagai nama, misalnya di Aceh dikenal dengan nama
limeng ungkot, di Nias dikenal dengan nama malimbi, di Bali dikenal dengan
nama blingbing buloh, di Makasar dikenal dengan nama bainang, dan di Jawa
dikenal dengan nama belimbing wuluh.
Belimbing wuluh teridentifikasi dalam jenis Averrhoa bilimbi L. suku
oxalidaceae. Menurut Dalimartha (2007) belimbing wuluh berbentuk bulat
lonjong, panjangnya 4-6.5 cm, berwarna hijau kekuningan, berair banyak jika
sudah masak, dan rasanya asam. Rasa asam disebabkan oleh kandungan asam
asetat, asam format, asam laktat, asam malat, asam oksalat, dan asam sitrat yang
ada di dalamnya (Subhadrabandhu 2001).

3

Gambar 1 Belimbing wuluh.
Analisis komponen volatil pada belimbing wuluh masih sangat terbatas,
Pino et al. (2004) telah mengisolasi komponen volatil dari belimbing wuluh yang
ada di Cuba dan berhasil mengidentifikasi 62 komponen volatil yang ada dengan
nonanal and (Z)-3-heksenol sebagai komponen yang dominan. Wong dan Wong
(1995) juga telah mengisolasi komponen volatil yang ada pada Averrhoa bilimbi
L. dengan menggunakan distilasi uap dan berhasil mengidentifikasi 53 komponen
volatil, terdiri dari 47.8% asam alifatik yang didominasi oleh asam heksadekanoat
dan (Z)-9-asam oktadekanoat.
Asam Sunti
Asam sunti merupakan produk yang sudah sangat dikenal di daerah Aceh.
Asam sunti merupakan produk fermentasi belimbing wuluh yang banyak
digunakan sebagai bumbu penyedap pada masakan Aceh. Saat ini, pemasaran
asam sunti baru dilakukan di pasar-pasar tradisional. Menurut Muzaifa (2013)
asam sunti memiliki penampakan berwarna coklat, berasa asam sedikit asin, dan
memiliki tekstur lembut agak kenyal (Gambar 2). Asam sunti digunakan sebagai
bumbu, khususnya pemberi rasa dan aroma spesifik dalam masakan Aceh.

Gambar 2 Asam sunti.
Proses pembuatan asam sunti menurut Muzaifa (2013) dilakukan dengan
cara menjemur belimbing wuluh segar yang masih berwarna hijau (belum masak)
selama 2 hari, kemudian dipindahkan ke baskom, dilakukan penggaraman,
didiamkan semalaman dan dijemur kembali keesokan harinya. Penggaraman
dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah penambahan garam sebanyak 30% dari
berat belimbing wuluh (Muzaifa 2013). Kemudian diperam selama 1 minggu
sampai 1 bulan. Belimbing wuluh yang terbaik adalah belimbing wuluh yang
dipanen pada hari ke-34 setelah buah mekar dengan ciri-ciri buah yang berwarna
hijau merata, keras, dan tidak cacat (Hayati 2002). Menurut Hayati (2002) proses
penggaraman belimbing wuluh akan menghasilkan asam sunti dengan kualitas
yang lebih baik jika penggaraman dilakukan sebelum proses pengeringan. Hasil

4
penelitian Risna (2013) menunjukkan bahwa proses pengeringan asam sunti
dengan penjemuran matahari menghasilkan asam sunti dengan kadar air yang
lebih rendah, pH lebih tinggi, total asam yang lebih rendah, tekstur yang lebih
lembut, dan warna yang lebih cerah dibandingkan dengan pengeringan dengan
cabinet dryer.Menurut Hayati (2002) tingkatan mutu asam sunti yang berkembang
di masyarakat Aceh adalah sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1 Tingkatan mutu asam sunti.
Tingkatan
mutu

Warna

Penampakan
permukaan

Tekstur

Kotoran (sisa
tangkai)

I
II

Cokelat muda
Cokelat muda coklat tua
Coklat tua kehitam-hitaman

Tidak berkeriput
Sedikit
berkeriput
Sangat berkeriput

Lunak
Lunak - agak
liat
Agak liat sangat liat

Tidak ada
Sedikit

III

Banyak

Penelitian Irhami (2012) telah mengkaji proses pembuatan asam sunti
menjadi asam sunti bubuk sehingga lebih praktis untuk digunakan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pengeringan dengan spray dryer 180 0C dengan konsentrasi
dekstrin 30% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bubuk asam sunti
dengan kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10%, dan
kelarutan 96.47%.
In-depth Interview
In-depth interview merupakan sebuah metode kualitatif yang bertujuan
untuk mendapatkan pendapat, perasaan, dan perspektif responden terhadap suatu
subyek. Menurut Boyce dan Neale (2006) terdapat enam tahapan dalam
melakukan in-depth interview, yaitu perencanaan, pengembangan instrumen,
pelatihan pengumpul data, pengumpulan data, analisis data, dan merangkum hasil.
Pada tahap perencanaan, beberapa hal yang perlu dipersiapkan adalah
identifikasi siapa stakeholder yang berkaitan dengan subjek dan identifikasi
informasi apa saja yang ingin didapat. Tahap selanjutnya adalah pengembangan
instrumen. Tahap ini bertujuan untuk mengembangkan peraturan dan pedoman
selama interview serta meningkatkan reprodusibilitas interview. Beberapa
pertanyaan yang dapat membantu pengembangan instrumen adalah apa yang
sebaiknya dikatakan saat mengatur jadwal pertemuan interview, saat memulai
interview, dan apa yang perlu dilakukan selama interview berlangsung (mencatat,
menggunakan tape recorder, atau keduanya). Pada tahap pelatihan pengumpul
data perlu memperhatikan siapa interviewer yang akan digunakan, sebaiknya yang
dapat menggunakan bahasa lokal setempat. Pelatihan meliputi pemaparan tujuan
interview, teknik pengumpulan data, membangun keahlian interview, dan praktek
melakukan interview. Tahap berikutnya adalah pengumpulan data dengan
melakukan interview dan mencatat hasil interview. Tahap selanjutnya adalah
analisis data. Hasil interview yang memiliki jawaban sama kemudian
dikelompokkan dan diidentifikasi. Tahap terakhir adalah merangkum semua hasil
interview agar mudah dibaca.

5
Metode in-depth interview memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
metode ini adalah dapat menggali secara mendalam mengenai informasi yang
sebenarnya, responden akan lebih terbuka dengan interviewer karena wawancara
dilakukan satu per satu, memperoleh kualitas data yang lebih baik, dan waktu
yang digunakan lebih singkat. Kekurangan metode ini adalah memerlukan analisis
data yang lebih menantang, interviewer memerlukan pelatihan dan kemampuan
yang mempuni, jumlah responden yang digunakan cenderung dalam jumlah kecil.
Menurut Dworkin (2012), jumlah responden in-depth interview yang
direkomendasikan adalah 25-30 responden.
Quantitative Descriptive Analysis (QDA)
QDA® (Quantitative Descriptive Analysis) merupakan salah satu metode uji
deskriptif yang dikembangkan oleh Tragon Corporation untuk mengatasi
ketidakpuasan metode analisis sensori sebelumnya, seperti metode Flavor Profile
(Meilgaard et al. 1999). Menurut Stone dan Sidel (2004) metode QDA® dapat
digunakan untuk menilai semua sifat sensori produk, penggunaan subjek yang
terbatas dan terlatih, pengujian bersifat kuantitatif dengan pengulangan, dan data
dapat dianalisis dengan analisis statistika.
Tahap-tahap uji QDA® (Quantitative Descriptive Analysis) menurut ASTM
(1981) adalah seleksi panelis, pelatihan panelis, dan analisis sampel. Seleksi
panelis bertujuan untuk mendapatkan 6-10 panelis yang memiliki sensitivitas baik
untuk mengenali serta membedakan aroma dan rasa. Seleksi panelis terdiri dari
pemilihan panelis, skrining tes, dan penentuan panelis yang lolos seleksi. Skrining
tes untuk uji deskriptif dilakukan dengan beberapa uji, yaitu uji rasa dasar, uji
pengenalan aroma, uji intensitas ranking, dan uji segitiga. Uji rasa dasar bertujuan
untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan untuk membedakan rasa
dasar di atas tingkatan ambang rasa. Uji pengenalan aroma bertujuan untuk
mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi dan
mendeskripsikan aroma. Uji intensitas ranking bertujuan untuk mendapatkan
panelis yang memiliki kemampuan untuk mengurutkan intensitas rasa dasar dari
konsentrasi paling kecil ke besar atau sebaliknya. Uji segitiga bertujuan untuk
menilai keakuratan dan kemampuan panelis untuk menilai sampel yang
diduplikasi.
Pelatihan panelis bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas dan konsistensi
panelis dalam memberikan penilaian. Pelatihan calon panelis untuk analisis
kuantitatif deskriptif dilakukan dengan memberikan beberapa sampel untuk
dideskripsikan atribut sensorinya dan melatih panelis dengan teknik sniffing untuk
mencium aroma pada sampel. Hasil uji QDA® dianalisis secara statistik dan
dilaporkan secara umum dalam bentuk spider web dengan suatu cabang dari satu
titik pusat untuk tiap-tiap atribut (Meilgaard et al. 1999).
Komponen Volatil pada Buah
Buah memproduksi sejumlah komponen volatil yang berperan dalam
pembentukan aroma yang khas. Beberapa komponen volatil diproduksi dalam
jumlah kecil, kurang dari limit deteksi instrumen analitik, namun dapat terdeteksi

6
oleh olfaktori manusia (Goff dan Klee 2006). Komponen volatil pada buah
umumnya terdiri dari senyawa ester, alkohol, aldehid, keton, lakton, terpenoid,
dan apokarotenoid. Menurut Hadi et al. (2013) banyak faktor yang dapat
mempengaruhi komposisi komponen volatil pada buah seperti genetik, tingkat
kematangan, kondisi lingkungan, penanganan setelah panen, dan penyimpanan.
Strawberi adalah salah satu buah yang memiliki aroma kompleks dengan
lebih dari 350 komponen volatil penyusunnya (Schwab et al. 2008). Furanon, 2,5
dimetil-4-hidroksi-3(2H)-furanon (furaneol) dan turunannya 2,5 dimetil-4metoksi-3(2H)-furanon (mesifuran) merupakan komponen yang mendominasi
aroma tersebut (Jetti et al. 2007). Komponen-komponen tersebut memberikan
aroma seperti karamel, manis, daun, dan aroma buah.
Pisang diketahui memiliki lebih dari 250 komponen volatil dengan
kelompok senyawa ester sebagai top note, yaitu isoamil asetat dan isobutil asetat
(Wendakoon et al. 2006).
Mangga memiliki aroma yang sangat atraktif mengandung lebih dari 270
komponen volatil pada varietas yang berbeda-beda (Shibamoto dan Tang 1990).
Aplikasi teknologi ekstraksi destilasi dan odor active value (OAV) menunjukkan
bahwa monoterpen seperti alpha-pinena, miresena, α-feladrena, σ-3-carene, pcymene, limonena, danterpinolena; ester termasuk etil-2-metil propanoat, etil
butanoat, (E,Z)-2,6-nonadienal, (E)-2-nonenal, metil benzoat, (E)-β-ionon,
dekanal, dan 2,5-dimetil-4-metoksi-3(2H)-furanon adalah komponen utama yang
membentuk aroma mangga (Pino dan Mesa 2006).
Analisis Komponen Aroma Aktif
Setiap tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan komponen
organik volatil dengan jumlah dan komposisi yang berbeda-beda tergantung pada
variasi genotip dan fenotip yang dihasilkan (Maffei 2010). Identifikasi komponen
aroma aktif yang membawa karakter unik pada buah penting dalam menyediakan
identitas sensori dan karakteristik aroma pada buah (Cheong et al. 2010). Analisis
komponen volatil yang memberikan aroma aktif pada penelitian ini meliputi
beberapa tahap, yaitu ekstraksi komponen volatil, identifikasi dan kuantifikasi
komponen volatil dengan GC-MS, penentuan komponen aroma aktif dengan GCO, penentuan odor active value (OAV), dan uji rekonstitusi.
Ekstraksi komponen volatil
Proses ektraksi sangat penting karena akan menentukan komponen yang
terekstrak. Menurut Ormeno et al. (2011) sampai saat ini tidak ada konsesus yang
menyatakan metode ekstraksi paling baik dalam mengekstrak suatu komponen
volatil, karena tidak ada metode ekstraksi yang dapat mengekstrak seluruh
komponen volatil yang ada pada sampel. Metode ekstraksi yang banyak
digunakan untuk mengekstrak komponen volatil diantaranya adalah sebagai
berikut:
Headspace
Metode headspace merupakan metode ekstraksi yang bekerja secara
langsung menjerap komponen volatil pada bagian headspace dari produk. Metode
ini banyak digunakan untuk mengekstrak komponen aroma yang paling volatil

7
dari produk, seperti aroma off-flavor (Schirack et al. 2006). Kelebihan metode ini
adalah cepat, mudah dilakukan, dan mendapatkan aroma ekstrak yang sesuai
dengan yang diterima oleh indera penciuman. Namun metode ini memiliki
beberapa kekurangan, yaitu kurang sensitif terhadap komponen aroma volatil
yang jumlahnya sedikit, reprodusibilitas analisis rendah, tidak dapat digunakan
untuk mengekstrak komponen volatil minor, ekstrak yang dihasilkan tidak dapat
menggambarkan seluruh komponen volatil yang ada pada produk, dan sulit untuk
mengkuantifikasi komponen volatil yang terekstrak pada produk.
Distilasi
Metode distilasi dikenal dengan hidrodistilasi, bekerja dengan melepaskan
komponen volatil yang ada pada material menjadi bentuk gas. Metode ini
dilakukan dengan merebus sampel dalam air dengan suhu yang dapat
menghancurkan material sampel namun masih di bawah titik didih komponen
volatil sampel. Komponen volatil tersebut kemudian akan menguap dan
terkondensasi pada bagian kondensor. Kelebihan metode ini adalah hasil ekstraksi
tidak meninggalkan residu. Kekurangan metode ini adalah berpotensi kehilangan
sebagian besar komponen terpen polar dan komponen aktif akibat teroksigenasi,
kehilangan komponen volatil, dan rendahnya efisiensi ekstraksi (Rezazadeh et al.
2008).
Ekstrasi dengan pelarut organik (maserasi)
Maserasi merupakan metode ekstraksi sederhana dan murah yang dilakukan
dengan merendam sampel di dalam larutan organik. Efisiensi metode ini sangat
tergantung dari penggunaan pelarut yang digunakan, agitasi, dan suhu yang
digunakan. Menurut Ormeno et al. (2008) ekstraksi 1 gram daun pada suhu
kurang dari 25-30 0C dengan agitasi selama 20-30 menit menghasilkan
pengembalian komponen volatil terbaik. Metode ini baik untuk komponen volatil
dan bahan pangan yang sensitif terhadap suhu tinggi, seperti monoterpen yang
banyak hilang pada ekstraksi dengan distilasi (Ormeno et al. 2011). Namun
memiliki kelemahan, yaitu terikutnya komponen non-volatil pada saat ekstraksi
dan memerlukan waktu yang lama untuk ekstraksi (semalaman) (Matich et al.
2003).
Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi ultrasonik telah diinvestigasi
sebagai teknologi alternatif menggantikan proses termal karena dapat mengurangi
dampak negatif dari proses konvensional, seperti kerusakan komponen pangan
(komponen bioaktif), enzimatis, dan aktivitas mikrobiologi (Rawson et al. 2011,
Fonteles et al. 2012, dan Chandrapala et al. 2012). Teknologi ultrasonik dengan
intensitas panjang gelombang yang tinggi akan menghasilkan perbedaan tekanan,
perbedaan getaran, dan perbedaan suhu sehingga memicu kerusakaan fisik pada
struktur material (McClemments 1995). Baik dinding sel maupun dinding
membran akan mengalami kerusakan akibat adanya kavitasi yang menyebabkan
perubahan suhu dan tekanan pada waktu yang singkat (Knorr 2004). Efek kavitasi
adalah pengecilan ukuran partikel sehingga meningkatkan luas permukaan antara
fase solid dan likuid. Oleh karena itu, teknologi ultrasonik dapat membantu
meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam material seluler sehingga meningkatkan
laju penetrasi masa dalam jaringan dan memfasilitasi perpindahan komponen dari
sel ke pelarut yang mempercepat proses ekstraksi (Wang dan Weller 2006) dan
meningkatkan rendemen ekstraksi. Kekurangan metode ini adalah terbentuknya

8
radikal bebas pada sampel yang dapat mengganggu komposisi komponen volatil
pada sampel (Vilkhu et al. 2008).
Simultaneous distillation extraction Likens-Nickerson
Metode simultaneous distillation extraction merupakan gabungan metode
ekstraksi dengan pelarut dan distilasi. Aparatus ekstraksi simultaneous distillation
extraction pertama kali dideskripsikan oleh Likens dan Nickerson, terdiri dari
sebuah labu yang mengandung sampel ditaruh pada water-bath dan sebuah labu
lain yang mengandung pelarut. Pelarut yang digunakan umumnya memiliki titik
didih yang rendah. Metode ini umum digunakan untuk menganalisis komponen
volatil flavor dengan medium yang memiliki titik didih tinggi (Kang dan Baek
2014), namun tidak cocok digunakan untuk bahan pangan yang termolabil karena
dapat mengakibatkan kerusakan komponen flavor. Kelebihan metode ini adalah
cepat, ekstrak bebas dari komponen non-volatil, dan tidak menggunakan pelarut
dalam jumlah besar (Teixeira et al. 2007). Namun, menurut Ortega et al. (2002)
metode ini juga akan menyebabkan degradasi komponen volatil dan pembentukan
komponen aromatik selama proses ekstraksi sehingga mempengaruhi hasil
analisis.
Supercritical fluid extraction
Supercritical fluid extraction merupakan metode ekstraksi yang tidak
menggunakan pelarut. Metode ini menggunakan CO2 untuk mengekstrak
komponen volatil, dimana CO2 di bawah tekanan yang tinggi akan berubah fase
menjadi cair dan mengekstrak komponen volatil dan jika tekanan diturunkan CO2
akan kembali ke fase gas. Kelebihan metode ini adalah menggunakan suhu rendah,
tidak meninggalkan residu pelarut, dan memiliki efisiensi yang tinggi. Namun,
metode ini tidak cocok untuk mengekstrak monoterpen (Stashenko et al. 2004),
karena keterbatasan CO2 yang bersifat polar tidak dapat mengekstrak komponen
non polar (Dawidowickz et al. 2008).
Solid-phase Microextraction (SPME)
Solid-phase Microextraction (SPME) merupakan metode ekstraksi tanpa
pelarut dengan prinsip dasar kesetimbangan partisi analit antara lapisan fiber dan
larutan sampel. Lapisan fiber dapat dilapisi oleh cairan (polimer), padatan
(absorben), atau campuran keduanya. Lapisan tersebut akan mengadsorpsi analit
dari sampel, analit yang ada di dalam fiber akan didesorpsi secara termal pada saat
diinjeksikan ke dalam gas kromatografi untuk analisis selanjutnya (Somenath
2003). Metode ini menggunakan fase solid yang memiliki kesamaan dengan
komponen yang akan diisolasi. Menurut Yan et al. (2008) kelebihan metode ini
adalah cepat, bebas dari pelarut, dan mudah dilakukan. Kekurangan metode ini
adalah tingginya selektivitas fiber SPME terhadap senyawa yang dianalisis
sehingga tidak dapat mengekstrak seluruh komponen, rendahnya reprodusibiltas
analisis berkaitan dengan usia fiber yang digunakan, dan terbatas pada analisis
semikuantitatif.
Identifikasi dan kuantifikasi komponen volatil dengan GC-MS
Analisis komponen volatil dengan instrumen GC-MS merupakan suatu
teknik analisis kualitatif dan kuantitatif untuk komponen volatil (Pavia et al.
2001). Dalam rangkaian GC-MS, setiap komponen volatil akan dipisahkan
berdasarkan titik didihnya pada unit GC. Berikutnya, komponen tersebut akan
terbagi dua ke unit spektroskopi massa yang disebut ion chamber, komponen akan

9
diionisasi hingga senyawa tersebut akan terpecah menjadi fragmen-fragmen
bermuatan dengan massa yang spesifik. Fragmen yang terbentuk selanjutnya akan
melewati mass analyzer. Ion-ion yang berhasil melewati mass analyzer akan
terdeteksi oleh detektor. Dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi komponen
volatil yang terdeteksi diperlukan standar internal dan standar eksternal. Standar
internal adalah komponen yang tidak ada pada sampel, yang diketahui jumlahnya
dan ditambahkan ke dalam sampel (Cachet 2011). Standar eksternal adalah
sejumlah analit yang diketahui dan dianalisis terpisah dari sampel menghasilkan
area peak-peak yang akan digunakan sebagai response factor. Identifikasi
komponen volatil dilakukan dengan menyocokan spektrum masa komponen target
dengan spektrum masa referensi GC-MS, setelah itu nilai LRI (Linear Retention
Index) komponen target dibandingkan dengan LRI referensi. Nilai LRI dapat
dihitung dengan persamaan Kratz.
LRIx = {

-

+ n} x100 (i)

Keterangan:
LRIx : indeks retensi linear komponen x
Rt(x) : waktu retensi komponen x (menit)
Rt(n): waktu retensi n-alkana standar yang muncul sebelum komponen x (menit)
Rt(n+1): waktu retensi n-alkana standar yang muncul setelah komponen x (menit)
Kuantifikasi komponen volatil yang ada pada sampel dapat dihitung dengan
persamaan di bawah ini:
(ii)
[A] =
Keterangan:
A : Konsentrasi komponen tertentu dalam sampel (μg/g)
B : Komponen tertentu pada kromatogram sampel
C : Volume standar internal pada kromatogram sampel (ml)
Identifikasi Aroma Aktif dengan GC-O
Analisis menggunakan GC dapat menetukan komponen volatil yang ada
pada sampel. Namun, karena tingginya keragaman pada ambang batas dan fungsi
psikometrik dari odor-aktif maka detektor fisik tidak dapat merepresentasikan
komponen yang berperan terhadap aroma sampel. Gas kromatografi-olfaktometri
adalah metode yang menggunakan manusia sebagai detektor dan panelis yang
sensitif untuk menentukan senyawa odor-aktif. Metode ini dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis, yaitu deteksi frekuensi, pengenceran dengan treshold, dan
intensitas langsung (Delahunty et al. 2006).
Metode GC-O dengan deteksi frekuensi menggunakan 6-12 asssesors pada
ekstrak yang sama. Masing-masing panelis mencatat durasi untuk setiap odor
yang terdeteksi dengan menggunakan tape recorder. Komponen yang terdeteksi
oleh semakin banyak panelis dinyatakan sebagai komponen yang berperan penting
terhadap pembentukan aroma (Etievant et al. 1999). Kelebihan metode ini adalah
kesederhanaannya dan panelistidak memerlukan banyak pelatihan (Le Guen et al.
2000). Namun, kelemahannya jika konsentrasi meningkat, intensitas odor dapat
terus meningkat, sedangkan deteksi frekuensi tidak bisa ditingkatkan.
Metode GC-O dengan pengenceran threshold digunakan untuk mengukur
potensi senyawa odor, berdasarkan rasio konsentrasi pada batas threshold di udara.
Metode dilusi yang paling sering digunakan adalah AEDA (Aroma Extract

10
Dilution Analysis) (Grosch 1994). Satu ekstrak dengan beberapa pengenceran
kemudian dinilai oleh GC-O. Panelis akan merekam ketika mendeteksi odor dan
mendeskripsikan odor yang tercium. Metode ini tidak mengukur intensitas odor.
Dilusi maksimum ekstrak yang odornya dapat dicium disebut sebagai faktor dilusi
(FD). Kelemahan metode ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan analisis pengenceran pada masing-masing ekstrak. Namun hanya
menggunakan jumlah panelis yang sedikit dan sangat rentan dengan keragaman
kepekaan individu (Van Ruth dan O‟connor 2001, Debonneville et al. 2002).
Metode GC-O dengan intensitas langsung, panelis diminta untuk mengukur
intensitas yang dirasakan dari komponen tertentu menggunakan skala. Panelis
yang digunakan pada metode ini hanya 4 orang dengan memberikan intensitas
odor yang terdeteksi pada skala garis horizontal 15 cm, dimana pada 0 cm tidak
terdeteksi odor dan 15 cm odor terdeteksi secara ekstrim.
Di Indonesia, penelitian mengenai flavor telah banyak menggunakan
instrumen GC-O untuk menentukan komponen yang berperan dalam memberikan
aroma aktif. Wijaya et al. (2002) menggunakan GC-O dengan pengenceran
AEDA untuk menentukan komponen aroma aktif pada buah andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC), Apriyantono dan Kumara (2004)
menggunakan GC-O dengan AEDA untuk menentukan komponen aroma yang
mempengaruhi karakter buah kawista (Feronia limonia), Wijaya et al. (2005)
menggunakan GC-O dengan deteksi frekuensi untuk menentukan komponen
aroma aktif pada beberapa kultivar buah salak (pondoh hitam, pondoh super, dan
gading).
Penentuan Nilai Aroma Aktif (OAV)
Metode Odor Active Value (OAV) digunakan untuk menentukan komponen
volatil yang berperan dalam memberikan aroma khas. Metode ini pertama kali
diperkenalkan oleh Rothe dan Thomas (1963). Menurut Kiefl et al. (2013) metode
ini digunakan untuk melengkapi dan memverifikasi hasil analisis dengan GC-O.
Nilai odor active value (OAV) dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:
OAV=

(iii)

Keterangan:
OAV: nilai aktivitas aroma
c : total konsentrasi setiap komponen di dalam sampel (μg/L)
t
: nilai ambang batas aroma di dalam air (μg/L)
Menurut Guth (1997) hanya komponen dengan nilai OAV lebih dari 1 yang
berperan terhadap aroma aktif sampel. Namun, tidak hanya satu komponen yang
berperan dalam pembentukan aroma yang khusus. Setiap komponen akan
berinteraksi satu sama lain untuk membentuk aroma tertentu sehingga perlu
dilakukan percobaan rekombinasi komponen untuk menentukan konsentrasi
sampel dalam mempengaruhi aroma khas yang dihasilkan (Kiefl et al. 2013).
Setiap kombinasi komponen aroma kemudian dianalisis secara sensori dengan uji
segitiga oleh panelis terlatih untuk membedakan aroma (Tokitomo et al. 2005).
Kombinasi yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan sampel segar
itulah yang mewakili pembentukan aroma khas pada sampel.

11
Uji Rekonstitusi
Uji rekonstitusi merupakan suatu teknik untuk memverifikasi komponen
aroma aktif yang berperan dalam membentuk aroma secara signifikan (Grosch
2001). Uji rekonstitusi dilakukan dengan mencampurkan semua komponen volatil
yang terdeteksi secara analitik. Aroma yang dihasilkan dari campuran tersebut
kemudian dibandingkan dengan aroma aslinya (Dharmawan et al. 2009).

3 METODE
Penelitian ini diawali dengan menetapkan sampel belimbing wuluh dan
asam sunti. Pemilihan belimbing wuluh didasarkan pada ciri-ciri belimbing wuluh
yang digunakan dalam pembuatan asam sunti. Menurut Hayati (2002), belimbing
wuluh yang digunakan dalam pembuatan asam sunti berwarna hijau merata, keras,
dan tidak cacat. Pemilihan sampel asam sunti dilakukan berdasarkan hasil
wawancara dengan metode in-depth interview.
Setelah mendapatkan sampel yang representatif, sampel tersebut akan
dikarakterisasi secara fisik (warna), kimia (proksimat), dan sensori (QDA). Isolasi
dan identifikasi komponen aroma aktif sampel (belimbing wuluh dan asam sunti)
diawali dengan pemilihan proses ekstraksi. Metode ekstrak yang terpilih
kemudian dianalisis dengan instrumen GC-MS untuk mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi komponen volatil yang ada pada sampel, dan menentukan
komponen aroma aktif dengan GC-O. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Tabel
2.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah belimbing wuluh
segar yang dipanen di pada bulan Juni 2014 di Bogor, asam sunti yang diperoleh
dari pasar tradisional di Desa Lamreung (Aceh), dietil eter, aroma standar (etil
butirat, etil 2-metilbutirat, furanol, vanilin, Z-3-heksenol, dan metil pirazin), dan
standar hidrokarbon C7-C23.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca, hand mixer,
labu bergoyang, seperangkat alat ekstraksiLicken-Nickerson, kolom vigreux, gas
kromatografi-spektroskopi massa (7890A-5975C, Agilent Technologies, Inc.),
sniffing port olfaktometri (Gertsel ODP 2), dan kolom DB-5 (Agilent
Technologies).
Prosedur Analisis Data
Penentuan asam sunti yang representatif
Penentuan asam sunti yang representatif dilakukan dengan metode in-depth
interview (Boyce dan Neale 2006) kepada pedagang kuliner Aceh, warga Aceh
yang tinggal di kota/kabupaten Bogor, dan penduduk Aceh. Wawancara atau

12
interview dilakukan untuk menggali informasi mengenai apa yang mereka ketahui
tentang asam sunti, bagaimana kriteria asam sunti yang baik, darimana biasanya
responden mendapatkan asam sunti, untuk apa saja asam sunti diaplikasikan, dan
bagaimana kriteria asam sunti yang jelek (Lampiran 1). Wawancara dilakukan
secara langsung. Tahapan wawancawara dilakukan dengan meminta persetujuan
responden untuk dilakukan wawancara. Setelah responden setuju untuk
diwawancara kemudian dijadwalkan untuk wawancara. Jumlah responden yang
digunakan dalam penelitian adalah 27 responden sesuai dengan rekomendasi
Dworkin (2012).
Tabel 2 Tahapan penelitian.
Tahapan penelitian
Menetapkan sampel
yang representatif

Mengkarakterisasi
sampel

Pemilihan metode
ekstraksi terbaik

Tools yang
digunakan
Studi pustaka dan
in-depth interview
(Boyce dan Neale
2006)
Fisik dengan
analisis derajat
warna (Hutching
1999), kimia
dengan proksimat
(AOAC 2012),
dan sensori
denganQDA®
(ASTM 1981)
Ekstraksi Maserasi
dan LikensNickerson

Variabel yang
diamati
Hasil hasil studi
pustaka dan
wawancara

Analisis

Hasil yang
diharapkan
Terpilih sampel
representatif untuk
analisis

Hasil pengukuran

Analisis fisik,
kimia, dan
sensori

Sampel yang
digunakan untuk
analisis
terkarakterisasi
dengan baik

Perbedaan aroma
masing-masing
ekstrak dengan
sampel segar (belum
diekstrak) secara
organoleptik
RT (retention time)
LRI (Linier Retention
Index) dan spektra
massa

Analisis
sensori: uji
beda dari
kontrol
(Meilgaard et
al. 1999)
Analisis RT
dan LRI:
menentukan
komponen
volatil pada
sampel
Menentukan
komponen
volatil yang
memberikan
aroma khas
Menetukan
komponen
aroma aktif

Terpilih metode
ekstraksi yang
terbaik

Identifikasi dan
kuantifikasi
komponen volatil

GC-MS

Identifikasi aroma
aktif pada sampel

GC-O
(Kirshinbaum et
al. 2012)

NIF (Nasal Impact
Frequency)

Penentuan nilai
aroma aktif

OAV (Hellin et al.
2010)

OAV setiap
komponen volatil

Uji rekonstitusi
komponen volatil

Uji rekonstitusi
(Dharmawan et al.
2009)

Aroma sampel
rekonstitusi

Sensori

Mengetahui
komponen volatil
yang ada pada
sampel secara
kualitatif dan
kuantitatif
Mengetahui aroma
aktif yang
mempengaruhi
aroma sampel
Mengetahui
komponen volatil
yang memiliki aroma
aktif
Mendapatkan sampel
rekonstitusi yang
mirip dengan
ekstrak belimbing
wuluh dan asam
sunti

13
Karakterisasi fisik, kimia, dan sensori
Analisis warna (Hutching 1999)
Pengukuran sampel dilakukan pada 3 titik permukaan sampel dengan
meletakkan measuring head pada sampel yang akan diukur dan tekan tombol
„measure‟ pada kromameter Minolta CR 300. Nilai L, a, b pengukuran merupakan
parameter warna pada sampel. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel,
semakin tinggi nilai L warna sampel semakin cerah, nilai 100 menunjukkan warna
putih. Nilai a menunjukkan warna merah-hijau, dimana +a dari 0-80 menunjukkan
warna merah, sedangkan –a dari 0-(-80) menunjukkan warna hijau. Nilai b
menunjukkan warna biru-kuning, dimana +b dari 0-70 menunjukkan warna
kuning, sedangkan -b dari 0-(-70) menunjukkan warna biru.
Analisis proksimat
Analisis proksimat terdiri dari kadar air dengan metode pengeringan oven
vakum (AOAC 2012), kadar abu dengan metode pengabuan kering (AOAC 2012),
kadar lemak dengan metode hidrolisis soxhlet (AOAC 2012), kadar protein
dengan metode Kjeldahl (AOAC 2012), dan kadar karbohidrat dengan metode by
difference.
Analisis Quantitatif Deskriptif (QDA®)
Analisis kuantitatif deskriptif dilakukan oleh panelis terlatih yang telah lolos
seleksi dan mengikuti pelatihan. Seleksi dan pelatihan panelis menggunakan
metode ASTM (1981). Prosedur analisis kuantitatif deskriptif mengikuti tahapan
di bawah ini:
1. Seleksi panelis (ASTM 1981)
Seleksi panelis terdiri dari pemilihan panelis, skrining tes, dan penentuan
panelis yang lolos seleksi. Pemilihan panelis dilakukan dengan memberikan
kuisioner untuk mengetahui latar belakang calon panelis. Kuisioner tersebut berisi
pertanyaan mengenai minat (interest) untuk mengikuti seleksi panelis,
ketersediaan waktu calon panelis, kesehatan calon panelis (ada atau tidaknya
alergi terhadap produk yang akan diuji dan sedang tidak menderita flu atau batuk
selama pengujian), dan kesediaan untuk mencicipi sampel dengan objektif.
Skrining tes bertujuan untuk mendapatkan 6-10 panelis yang memiliki
sensitivitas baik untuk mengenali serta membedakan aroma dan rasa. Skrining
untuk uji deskriptif dilakukan dengan beberapa uji, yaitu:
Uji rasa dasar
Panelis yang berpotensi menjadi panelis terlatih adalah panelis
yang memiliki kemampuan untuk membedakan rasa dasar di atas tingkatan
ambang rasa. Sampel yang digunakan akan merepresentasikan empat rasa
dasar, yaitu manis (2% konsentrasi sukrosagula rafinasi), asam (0.07%
konsentrasi asam sitrat CICA), asin (0.2% konsentrasi NaCl garam meja),
dan pahit (0.07% konsentrasi kafein Fluka). Penyajian sampel dilakukan
dengan 4 rasa dasar ditambah 2 sampel replikasi untuk menghindari bias.
Jumlah sampel yang digunakan untuk uji adalah 30 ml. Panelis yang lolos
skrining ini adalah panelis yang dapat mengidentifikasi seluruh rasa dasar
dengan benar.

14
Uji pengenalan aroma
Uji pengenalan aroma diberikan untuk menunjukkan kemampuan
panelis dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan 20 aroma yang
berbeda terdiri dari 15 aroma yang sering ditemui dan 5 aroma yang jarang
ditemui. Aroma yang digunakan untuk aroma yang sering ditemui adalah
coklat, peppermint, fruity, merica, pandan, strawberi, roasted, chicken,
guava, jeruk, susu, cola, tamarin, kacang, dan anggur. Sedangkan untuk
aroma yang jarang ditemui digunakan aroma green, eugenol, alkoholic,
spicy, burnt. Panelis diminta untuk mendeskripsikan setiap aroma atau
menggunakan istilah yang berhubungan dengan aroma tersebut. Untuk
menghindari bias, maka setiap sesi penyajian dibatasi 5 aroma. Penilaian
hasil identifiaksi aroma dilakukan dengan memberikan skor. Skor 5
diberikan pada panelis yang dapat menyebutkan dengan tepat komponen
aroma tersebut atau menggunakan asosiasi yang tepat. Skor 3 diberikan
pada panelis yang menyebutkan karakteristik aroma tersebut. Skor 1
diberikan pada panelis yang mencoba memberikan deskripsi. Panelis yang
lolos skrining ini adalah panelis yang memiliki total skor 70.
Uji intensitas ranking
Panelis yang mendeskripsikan flavor harus memiliki kemampuan
untuk mengurutkan intensitas rasa dasar dari paling kecil ke besar atau
sebaliknya. Konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Setiap
seri rasa dasar minimal diuji sebanyak tiga kali. Hasil uji ranking setiap
panelis kemudian dianalisis dengan ANOVA dan dibandingkan dengan
nilai rata-rata sebenarnya. Panelis yang memiliki nilai-p kurang dari 0.05
tidak lolos skrining (Lampiran 2).
Tabel 3 Senyawa uji intensitas ranking.
Rasa
Pahit (kafein)

Sumber
Fluka

Manis (sukrosa)

Gula rafinasi

Asin (NaCl)

Garam meja

Asam (asam sitrat)

CICA

Konsentrasi (%)
0.035
0.07
0.14
1.00
2.00
4.00
0.10
0.20
0.40
0.035
0.07
0.14

Uji segitiga
Uji segitiga bertujuan untuk menilai keakuratan analisis panelis
dengan melihat kemampuan panelis untuk menilai sampel yang
diduplikasi. Panelis diminta untuk menguji segitiga 12 seri sampel terdiri
dari 6 seri segitiga rasa dan 6 seri segitiga aroma, setiap sampel diduplikasi
dua kali. Panelis yang lolos uji skrining ini adalah panelis yang mampu
menjawab dengan benar paling sedikit 66-75% jawaban benar dari total 24

15
uji. Senyawa uji yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 dengan
deskripsi aroma yang diperkirakan ada pada sampel.
Tabel 4 Senyawa uji untuk segitiga rasa dan aroma.
Deskripsi
Manis

Senyawa uji
Larutan gula pasir

Sumber
Gula rafinasi

Asam

Larutan asam sitrat

CICA

Asin

Larutan garam

Garam meja

Pahit

Larutan kafein

Fluka

Fruity

Green

Etil butirat
Etil 2-metilbutirat
Furanool
Vanilin
Z-3-heksenol

PT. Indesso Aroma
PT. Indesso Aroma
PT. Indesso Aroma
PT. Indesso Aroma
PT. Indesso Aroma

Roasted

Metilpirazin

PT. Indesso Aroma

Acid note

Flavor mangga

PT. Mane Indonesia

Sweet

Asam sunti

Asam sunti dengan Aceh
produsen berbeda
Medan
* di dalam Propilen Glikol (Sigma-Aldrich)

Konsentrasi
1.00%
2.00%
4.00%
0.04%
0.07%
0.14%
0.10%
0.20%
0.40%
0.04%
0.07%
0.14%
100%
100%
6.25 % *
25% *
6.25% *
25% *
6.25% *
25% *
100%

2. Pelatihan panelis

Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

6 112 90

Pengaruh Pemberian Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) Terhadap Kadar Kadmium (Cd) Pada Kerang (Bivalvia) Yang Berasal Dari Laut Belawan Tahun 2010

7 59 114

Pengaruh Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Sebagai Penggumpal Lateks Terhadap Mutu Karet

4 103 73

Pengaruh Perbandingan Sari Belimbing Wuluh dengan Sari aMangga Kweni dan Konsentrasi Gum Arab Terhadap aMutu Sorbet Nira Tebu

1 45 103

Uji Aktivitas Antibiofilm Sari Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Biofilm Pseudomonas aeruginosa Secara In Vitro

7 24 91

PEMANFAATAN EKSTRAK BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) DENGAN KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA SEBAGAI Pemanfaatan Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Dengan Konsentrasi Dan Lama Perendaman Yang Berbe

0 6 11

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Escherichia coli DAN Bacillus sp.

0 0 12

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Staphylococcus aureus DAN Staphylococcus epidermidis.

0 0 13

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) TERHADAP Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Staphylococcus aureus DAN Staphylococcus epidermidis.

0 1 15

Pengaruh Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Penurunan Tekanan Darah.

0 11 20