Penggunaan Biost (Bio-Organic Soil Treatment) Untuk Mengurangi Penggunaan Pupuk Tunggal N, P, K Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis) Belum Menghasilkan Umur Dua Tahun

PENGGUNAAN BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) UNTUK
MENGURANGI PENGGUNAAN PUPUK TUNGGAL N, P, K
PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis)
BELUM MENGHASILKAN UMUR DUA TAHUN

DIMAS KHAIRULYA
A24110009

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Pupuk
BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) untuk Mengurangi Penggunaan Pupuk
Tunggal N, P, K pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) Belum
Menghasilkan Umur Dua Tahun benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Dimas Khairulya
NIM A24110009

2

ABSTRAK
DIMAS KHAIRULYA. Penggunaan BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) untuk
Mengurangi Penggunaan Pupuk Tunggal N, P, K pada Tanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis) Belum Menghasilkan Umur Dua Tahun. Dibimbing oleh
SUDRADJAT.
Kelapa sawit adalah komoditas perkebunan utama di Indonesia. Luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat hingga mencapai 10 956

231 hektar dan menghasilkan 29 344 479 ton CPO pada tahun 2014. Pupuk hayati
merupakan alternatif dari pupuk anorganik yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari tanggap vegetatif tanaman kelapa sawit belum
menghasilkan terhadap BIOST. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2014
sampai Mei 2015 di Kebun Pendidikan dan Penelitian Kelapa Sawit IPB-Cargill,
Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Rancangan yang digunakan adalah rancangan
kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan dan tujuh taraf perlakuan yaitu
dosis standar kebun (B1), 250 g BIOST + dosis standar kebun (B2), 500 g BIOST
+ dosis standar kebun (B3), 750 g BIOST + dosis standar kebun (B4), 250 g
BIOST + 50% dosis standar kebun (B5), 500 g BIOST + 50% dosis standar kebun
(B6), dan 750 g BIOST + 25% dosis standar kebun (B7). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan B5, B6, dan B7 dengan pengurangan dosis standar
kebun menunjukkan tanggap morfologi dan fisiologi yang relatif sama dengan
perlakuan 100% dosis standar kebun. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
250 g BIOST pada tanaman kelapa sawit dapat mengurangi 50% dosis standar
kebun dan penggunaan 750 g BIOST dapat mengurangi penggunaan 75% dosis
standar kebun.
.
Kata kunci: kelapa sawit, pupuk hayati, pupuk tunggal


3

ABSTRACT
DIMAS KHAIRULYA. The Use of BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) to
Reduce The Use of Single N, P, K Fertilizer On Second Year Immature Oil Palm
(Elaeis guineensis). Supervised by SUDRADJAT.
Oil palm is a main commodity in Indonesia. Oil palm plantation area in
Indonesia continued to increase up to 10 956 231 ha and produced 29 344 479 ton
CPO in 2014. Bio-fertilizer is an alternative for inorganic fertilizer that can
improve soil fertility, and therefore the use of inorganic fertilizer can be reduced.
The objective of this research was to study vegetative responses of immature
second year oil palm to BIOST. This experiment was conducted from May 2014
until May 2015 at IPB-Cargill Oil Palm Teaching Farm, Jonggol, Bogor, West
Java. The experimental design used was randomized complete block design with
three replications and seven treatments i.e. standard fertilizer rate (B1), 250 g
BIOST + standard fertilizer rate (B2), 500 g BIOST + standard fertilizer rate (B3),
750 g BIOST + standard fertilizer rate (B4), 250 g BIOST + 50% standard
fertilizer rate (B5), 500 g BIOST + 50% standard fertilizer rate (B6), dan 750 g
BIOST + 25% standard fertilizer rate (B7). The result showed that the B5, B6, and

B7 treatments that used BIOST and less standard farm fertilizer rate showed
relatively same morphology and physiology response to 100% standard farm
fertilizer rate treatment. This showed that the use of 250 g BIOST can reduce
50% standard farm fertilizer rate and the use of 750 g BIOST can reduce 75%
standard farm fertilizer rate.
Keywords: oil palm, bio-fertilizer, single nutrient fertilizer

4

5

PENGGUNAAN BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) UNTUK
MENGURANGI PENGGUNAAN PUPUK TUNGGAL N, P, K
PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis)
BELUM MENGHASILKAN UMUR DUA TAHUN

DIMAS KHAIRULYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

6

8

9

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Sholawat beriring
salam juga disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Topik dalam penelitian

ini adalah pemupukan, dengan judul Penggunaan BIOST (Bio-Organic soil
Treatment) untuk Mengurangi Penggunaan Pupuk Tunggal N, P, K pada Tanaman
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) Belum Menghasilkan Umur Dua Tahun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Sudradjat, MS selaku
pembimbing skripsi dan bapak Ir. Adolf Pieter Lontoh, MS selaku pembimbing
akademik. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada bapak Mohammad Djoni
selaku manager kebun dan staff yang telah membantu penulis selama pelaksanaan
penelitian. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan penelitian S1
Ahmad Irfan Nurmahdy, Larasati Dena Mahardika, Dupan Juliando Imannuel,
dan keluarga besar Agronomi dan Hortikultura khususnya untuk angkatan 48 yang
telah mendukung penulis dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayahanda Rudy, ibunda Elie Kodrat, adik tersayang Dini
Khalidja, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

Dimas Khairulya

10


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

XI

DAFTAR GAMBAR

XI

DAFTAR LAMPIRAN

XI

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Syarat Tumbuh

2

Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit

2

Pupuk Hayati


3

METODE PENELITIAN

3

Tempat dan Waktu

3

Bahan dan Alat

3

Metode Penelitian

4

Pelaksanaan Penelitian


4

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Keadaan Umum

6

Tanggap Morfologi

6

Tanggap Fisiologi Tanaman terhadap Penggunaan BIOST

11

Kandungan Hara Tanah


13

Efektivitas Agronomi Relatif

15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

25

11

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Tanggap tinggi tanaman terhadap penggunaan BIOST
Tanggap lingkar batang terhadap penggunaan BIOST
Tanggap jumlah pelepah terhadap penggunaan BIOST
Tanggap panjang pelepah ke -9 terhadap penggunaan BIOST
Tanggap jumlah anak daun pelepah ke-9 terhadap penggunaan BIOST
Tanggap luas daun pelepah ke-9 terhadap penggunaan BIOST
Kandungan hara N, P, K dalam daun
Tanggap hijau daun terhadap penggunaan BIOST
Kadar N pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
10 Kadar P pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
11 Kadar K pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
12 Nilai efektivitas agronomi relatif

7
7
8
9
10
10
11
12
14
14
14
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Curah hujan selama penelitian (Juni 2014 sampai Mei 2015)
Tanggap hijau daun pada 22 BST
Tanggap hijau daun pada 28 BST

6
13
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
2 Konsentrasi hara dalam daun kelapa sawit pada kondisi defisiensi dan
optimum
3 Hasil analisis BIOST
4 Rekapitulasi sidik ragam penggunaan BIOST terhadap tinggi tanaman,
lingkar batang, jumlah pelepah, panjang pelepah, jumlah anak daun,
luas daun, dan tingkat kehijauan daun
5 Rekapitulasi sidik ragam penggunaan BIOST terhadap tinggi tanaman,
lingkar batang, jumlah pelepah, panjang pelepah, jumlah anak daun,
luas daun, dan tingkat kehijauan daun (lanjutan)
6 Rekapitulasi sidik ragam penggunaan BIOST terhadap tinggi tanaman,
lingkar batang, jumlah pelepah, panjang pelepah, jumlah anak daun,
luas daun, dan tingkat kehijauan daun (lanjutan)
7 Rekapitulasi sidik ragam penggunaan BIOST terhadap kandungan hara
tanah

20
20
21

22

23

24
24

5

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah komoditas perkebunan
unggulan dan utama di Indonesia. Kelapa sawit mempunyai produk utama berupa
Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). Tanaman kelapa sawit
merupakan tanaman perkebunan yang banyak ditanam di Indonesia karena
mempunyai hasil yang menguntungkan. Kelapa sawit merupakan primadona
tanaman perkebunan yang menjadi salah satu penghasil devisa negara. Luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat hingga mencapai 10 956
231 hektar dan menghasilkan 29 344 479 ton CPO pada tahun 2014 (Ditjenbun
2014).
Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman yang menghasilkan
minyak nabati. Minyak nabati juga dapat diperoleh dari tanaman kedelai, bunga
matahari, dan rapak (rapeseed). Kelapa sawit mempunyai produktivitas minyak
nabati yang paling tinggi (Dradjat 2012).
Usaha perkebunan kelapa sawit ini mengalami perkembangan yang pesat.
Pengembangan areal perkebunan kelapa sawit yang pesat banyak menggunakan
lahan-lahan berpotensi baik yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan,
palawija, dan hortikultura. Kondisi ini menyebabkan pemerintah mulai
mengarahkan pembukaan lahan kelapa sawit yang baru pada lahan-lahan sub
optimal dan marjinal yang tidak baik untuk ditanam dengan tanaman pangan dan
hortikultura (Pahan 2013).
Kebutuhan konsumsi hara kelapa sawit yang tinggi menyebabkan
munculnya ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan pupuk anorganik.
Penggunaan pupuk kimia dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan
penurunan tingkat kesuburan tanah (Lestari 2009). Perkembangan di bidang
bioteknologi telah menghasilkan pupuk hayati (bio-fertilizer) untuk mengatasi
efisiensi pemupukan yang rendah sebagai akibat dari rendahnya aktivitas mikrob
tanah (Goenadi 2006). Pupuk hayati merupakan alternatif dari pupuk anorganik
yang dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga dapat mengurangi
penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan produksi tanaman (Saraswati dan
Sumarno 2008).
Mikroba tanah yang terkandung di dalam pupuk BIOST adalah
Azotobacter, Azospirillum, Mikoriza, Bacillus, dan Tricoderma. Pupuk hayati
BIOST yang bersifat memperbaiki tanah dapat mengurangi kerusakan pada tanah.
Aktivitas mikroba yang terkandung di dalamnya juga dapat membantu
menguraikan unsur-unsur hara yang terikat kuat dan secara langsung (nonsimbiotik) mampu mengambil N dari udara bebas, sehingga dapat mengurangi
penggunaan pupuk tunggal N. Pupuk BIOST merupakan salah satu contoh dari
pupuk hayati yang dapat memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Pupuk
BIOST (Bio-Organic Soil Treatment) terbuat dari bahan organik dan bahan alam
yang diolah menggunakan Bio-Triba, sehingga bersifat mengembalikan daya
dukung tanah (soil regenerator). Pupuk ini menggunakan konsep memperbaiki
tanah, karena tanah yang subur akan memberikan suplai makanan yang baik

26
kepada tanaman. Pupuk BIOST terbuat dari humus, tepung fosil, protein alami,
dan mikroba multi strain (*).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tanggap morfologi dan fisiologi
tanaman kelapa sawit belum menghasilkan umur dua tahun terhadap penggunaan
BIOST.

TINJAUAN PUSTAKA
Syarat Tumbuh
Tekstur tanah lempung berdebu, lempung liat, lempung berpasir, dan liat
berpasir merupakan tekstur yang ideal untuk tanaman kelapa sawit (Pahan 2013).
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh hingga 1 000 m dpl, namun ketinggian
optimal untuk produktivitas kelapa sawit adalah 400 m dpl. Kemiringan lahan
yang baik untuk tanaman kelapa sawit adalah 0 – 12o. Drainase yang baik
dibutuhkan untuk pertumbuhan kelapa sawit. Tingkat keasaman (pH) tanah
optimum pada tanaman kelapa sawit adalah 5 – 5.5 (Sunarko 2014).
Tanaman kelapa sawit membutuhkan curah hujan 2 000 – 2 500 mm
tahun-1. Kekurangan curah hujan sebesar 100 mm tahun-1 dapat menyebabkan
pengurangan tandan buah segar sebanyak 8 – 10% pada tahun berikutnya. Lama
penyinaran optimum yang dibutuhkan kelapa sawit adalah 5 – 12 jam hari-1.
Penyinaran yang kurang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman
dan berkurangnya jumlah asimilasi. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada
kisaran suhu 18 – 33 oC, namun suhu optimum agar kelapa sawit dapat tumbuh
dengan baik adalah 24 – 28 oC (Corley dan Tinker 2003). Kecepatan angin pada
lahan kelapa sawit sebesar 5 – 6 km jam-1 dapat membantu proses pemyerbukan
tanaman (BBP2TP 2008).
Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit
Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman terdiri atas 16 unsur. Terdapat
sembilan unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak yang lebih
dikenal sebagai hara makro, yaitu C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S. Tujuh unsur
lainnya yang terdiri atas Fe, Cu, Mn, Zn, Mo, B, dan Cl dikenal sebagai hara
mikro. Pemupukan dilakukan untuk memenuhi unsur hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Pemupukan yang baik dilakukan dengan tepat jenis, dosis,
aplikasi, tempat, dan waktu (Purwa 2007).
Pemupukan harus dikelola dengan baik sehingga dapat menjamin
tercapainya tujuan pemupukan karena biaya pemupukan merupakan salah satu
komponen biaya produksi yang besar. Biaya pupuk dalam pengelolaan
perkebunan kelapa sawit adalah sekitar 30% dari biaya produksi dan 60% dari
biaya pemeliharaan (Sugiyono et al. 2005). Pemupukan dapat meningkatkan daya
tahan tanaman terhadap serangan penyakit dan pengaruh iklim yang tidak
menguntungkan. Pemupukan yang sesuai dengan kebutuhan optimal tanaman dan
(*): sumber diambil dari produsen BIOST.

3

status kesuburan tanah akan memberikan hasil tanaman yang maksimal (Saputra
2011).
Penyerapan pupuk oleh tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan air.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), air berperan adalah sebagai pelarut senyawa
molekul organik (unsur hara) dari dalam tanah ke dalam tanaman, transportasi
fotosintat dari sumber ke penerima, membukanya stomata, sebagai penyusun
utama protoplasma, serta pengatur suhu bagi tanaman. Apabila ketersediaan air
tanah kurang bagi tanaman maka transportasi unsur hara ke daun akan terhambat
sehingga berdampak pada produktivitas dari tanaman tersebut.
Pupuk Hayati
Pupuk hayati merupakan inokulan dengan bahan aktif organisme hidup
yang berfungsi untuk menambat hara tertentu dan memfasilitasi ketersediaan hara
di dalam tanah bagi tanaman. Peningkatan ketersediaan hara terhadap tanaman
dapat dilakukan misalnya oleh cendawan mikoriza, pelarutan fosfat oleh mikroba
pelarut fosfat atau melalui perombakan oleh fungi. Hal ini berlangsung melalui
hubungan simbiotis atau nonsimbiotis (Suriadikarta et al. 2006). Penggunaan
mikroba penyubur tanah dapat memberikan banyak manfaat, yaitu menyediakan
sumber hara bagi tanaman, melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit,
menstimulir perkembangan sistem perakaran, metabolit pengatur tumbuh, dan
sebagai bioaktivator (Saraswati dan Sumarno 2008).
Mikroorganisme dalam pupuk hayati digunakan dalam bentuk inokulan.
Inokulan ini dapat mengandung hanya satu strain atau mengandung multistrain.
Pada mulanya hanya dikenal satu kelompok fungsional mikroba, tetapi
perkembangan teknologi inokulan memungkinkan untuk memproduksi lebih dari
satu kelompok fungsional mikroba dalam inokulan (Suriadikarta et al. 2006).
Penggunaan pupuk hayati yang diaplikasikan bersama pupuk kimia
menghasilkan produksi yang lebih tinggi daripada penggunaan pupuk kimia tanpa
pupuk hayati. Pengurangan dosis pupuk kimia ini dapat menekan resiko
pencemaran lingkungan dan menghemat sumberdaya (Simanungkalit 2001).

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Pendidikan dan Penelitian Kelapa Sawit
IPB-Cargill, kecamatan Jonggol, Bogor dengan ketinggian 209 m di atas
permukaan laut. Penelitian dilaksanakan selama satu tahun, yaitu pada bulan Mei
2014 sampai Mei 2015.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kelapa
sawit belum menghasilkan varietas Damimas umur 17 bulan setelah tanam,
BIOST, Urea, SP-36, dan MOP. Alat-alat yang digunakan adalah cangkul, koret,
meteran, timbangan, dan SPAD-502.

46
Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak
dengan tujuh perlakuan yang terdiri atas:
1.
B1 = 100% dosis standar kebun Jonggol tanaman-1
2.
B2 = pemupukan BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
3.
B3 = pemupukan BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
4.
B4 = pemupukan BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
5.
B5 = pemupukan BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
6.
B6 = pemupukan BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
7.
B7 = pemupukan BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar kebun
Jonggol tanaman-1
Perlakuan untuk B1 menggunakan dosis pupuk standar kebun Jonggol
tanpa BIOST. Dosis standar kebun jonggol yang dimaksud adalah 1 500 g Urea
tanaman-1, 750 g SP-36 tanaman-1, dan 1 050 g MOP tanaman-1.
Terdapat tujuh perlakuan di dalam penelitian ini dan dilakukan tiga
ulangan untuk masing-masing kombinasi sehingga terdapat 21 satuan percobaan.
Setiap satuan percobaan terdiri atas lima tanaman sehingga total tanaman kelapa
sawit yang diamati pada penelitian ini adalah 105 tanaman. Model rancangan
yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
Yij = µ + Bi + Uj + Ԑij
Keterangan:
i
= taraf pemberian BIOST ke-(1, 2, 3, 4, 5, 6, 7)
j
= ulangan ke-(1,2,3)
Yij
= nilai pengamatan pengaruh perlakuan pemupukan BIOST ke-i, ulangan
ke-j
µ
= nilai rataan umum
Bi
= pengaruh pemupukan BIOST ke-i
Uj
= pengaruh ulangan ke-j
Ԑij
= pengaruh galat dari perlakuan pemupukan BIOST ke-i, ulangan ke-j
Uji lanjut DMRT dilakukan jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan
terhadap peubah yang diamati. Uji ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan
nilai tengah antar perlakuan. Uji t dilakukan pada kandungan hara tanah pada taraf
nyata 5% untuk membandingkan dua perlakuan.
Pelaksanaan Penelitian
Pemupukan
Aplikasi pupuk BIOST dan pupuk N, P, K tunggal dilakukan dua kali
dalam setahun pada bulan Mei dan November 2014. Dosis pupuk yang diberikan
pada setiap pemupukan adalah setengah dari dosis selama setahun. Pemberian
pupuk dilakukan dengan cara ditaburkan di piringan kelapa sawit. Penyiangan
dilakukan secara mekanis di dalam piringan kelapa sawit agar tidak menimbulkan
persaingan hara dengan gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa
sawit.

55
Pengamatan morfologi
Peubah-peubah morfologi yang diamati adalah:
1.
tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai daun tertinggi dari
tanaman dengan menggunakan meteran
2.
lingkar batang, diukur dengan menggunakan meteran ±10 cm dari
permukaan tanah
3.
jumlah pelepah, pelepah yang dihitung adalah yang telah membuka
sempurna
4.
jumlah anak daun pada pelepah ke-9, dihitung dari ujung pelepah hingga
pangkal pelepah diamati setiap dua bulan sekali
5.
panjang pelepah ke-9, diukur dengan menggunakan meteran dari pangkal
pelepah hingga ujung pelepah diamati setiap dua bulan sekali
6.
luas daun (LD), dihitung melalui pengolahan rata-rata panjang dan lebar dari
dua anak daun pada pelepah ke-9 dengan menggunakan rumus:
∑ p×l
LD =
×n×k
4
Keterangan: p : panjang anak daun ke-9 (cm)
l : lebar anak daun ke-9 (cm)
n : jumlah anak daun (helai)
k : konstanta (untuk TBM senilai 0.57)
Pengamatan fisiologi
Peubah fisiologis yang diamati adalah:
1.
tingkat kehijauan daun, pengukuran dilakukan menggunakan SPAD-502
pada dua sampel anak daun di bagian kanan dan dua sampel anak daun di
bagian kiri yang dilakukan enam bulan sekali
2.
analisis kandungan hara pada jaringan daun (N, P, dan K), dilakukan dengan
mengambil tiga helai anak daun sebelah kanan dan tiga helai anak daun
sebelah kiri pada pelepah ke-9 yang dilakukan pada akhir pengamatan.
Analisis tanah
Sampel tanah diambil pada saat sebelum perlakuan dan pada 28 BST
dengan menggunakan metode komposit pada perlakuan dan ulangan. Sampel
diambil pada kedalaman 0 - 20 cm, 20 - 40 cm, dan 40 - 60 cm di bawah
permukaan tanah. Analisis yang dilakukan meliputi tekstur tanah, pH tanah, dan
kandungan hara total (N, P, K).
Efektivitas agronomi relatif
Efektivitas agronomi relatif dihitung dengan membandingkan hasil dari
pemberian perlakuan kombinasi pemupukan dengan hasil dari pemberian pupuk
rekomendasi dikalikan 100% (Machay et al. 1984). Perlakuan yang menggunakan
rekomendasi pemupukan pada penelitian ini adalah perlakuan B1. Perlakuan B7
digunakan sebagai kontrol karena dosis pupuk tunggal N, P, K hanya sebanyak
25%. Pupuk BIOST dinyatakan efektif secara agronomi apabila memiliki nilai
efektivitas relatif lebih besar dari 100%. Efektivitas agronomi relatif dihitung pada
umur 28 BST. Rumus perhitungan efektivitas agronomi relatif adalah sebagai
berikut:
Efektivitas agronomi relatif = Nilai Perlakuan - Nilai Kontrol x 100%
Nilai Pembanding - Nilai Kontrol

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa tekstur tanah terdiri atas
32% pasir, 36% debu, dan 32% liat yang tergolong dalam kategori liat. Kondisi
pH tanah awal tergolong sangat masam (pH H2O 4.3) meningkat setelah
perlakuan menjadi masam (pH H2O 4.8). Kadar P-tersedia 3.1 ppm sebelum
perlakuan meningkat menjadi 7.5 ppm setelah perlakuan. Kadar N-total sebelum
perlakuan tergolong rendah (0.18%) meningkat menjadi sedang (0.26%). Kadar K
sebelum perlakuan tergolong rendah (0.19 me 100 g-1) meningkat menjadi sedang
(0.49 me 100 g-1). Kriteria penilaian berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia oleh
Pusat Penelitian Tanah (2008) (Lampiran 1).
Curah hujan selama penelitian (Mei 2014 – Mei 2015) berkisar antara 5
hingga 403 mm bulan-1. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret 2015 dan
curah hujan terendah terjadi pada bulan September 2014. Rata-rata curah hujan
selama penelitian adalah 189 mm. Bulan kering terjadi selama empat bulan, yaitu
pada bulan Agustus 2014 sampai Oktober 2014 dan bulan Mei 2015. Data curah
hujan selama penelitian disajikan pada Gambar 1.

450

Curah hujan (mm)

400
350
300
250
200
150
100
50
0

Jun

Jul Ags

Sep Okt Nov Des Jan

Feb Mar Apr Mei

Gambar 1 Curah hujan selama penelitian (Juni 2014 sampai Mei 2015)
Tanggap Morfologi
Tinggi tanaman
Perlakuan dengan BIOST tidak menunjukkan perbedaan tanggap yang
nyata pada tinggi tanaman. Perlakuan dengan pemupukan 100% pupuk tunggal N,
P, K menghasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda dengan perlakuan dengan
pemupukan 50% dan 25% pupuk tunggal N, P, K. Tanggap tinggi tanaman
terhadap penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 1.

7
Tabel 1 Tanggap tinggi tanaman terhadap penggunaan BIOST
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
17 BST
18 BST 19 BST 20 BST
21 BST
B1
301.07
310.87
321.07 331.07
340.60
B2
293.87
305.47
316.67 327.93
337.80
B3
296.93
308.73
319.73 329.13
337.80
B4
277.20
287.15
294.43 305.27
314.83
B5
282.00
293.47
305.20 315.27
325.73
B6
294.13
305.73
316.73 327.73
336.40
B7
289.07
299.73
309.27 317.40
327.20
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan
23 BST
24 BST 25 BST 26 BST
27 BST
B1
357.87
368.80
379.33 392.07
408.07
B2
356.40
366.13
377.53 387.07
399.13
B3
354.67
362.60
373.20 384.53
396.00
B4
334.18
343.72
354.42 364.03
374.38
B5
351.80
355.13
366.73 375.73
385.93
B6
354.40
364.67
374.60 383.80
399.60
B7
344.07
352.67
361.47 368.73
382.20

22 BST
353.33
348.00
346.00
323.63
334.47
345.20
335.67
28 BST
420.20
410.80
408.13
388.27
398.73
408.73
392.53

Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Lingkar batang
Tanggap lingkar batang terhadap perlakuan yang diberikan tidak
menunjukkan hasil yang berbeda. Perlakuan dengan pengurangan pupuk tunggal
N, P, K (B5, B6, dan B7) menghasilkan lingkar batang yang tidak berbeda dengan
perlakuan dengan pemupukan 100% pupuk tunggal N, P, K.
Tabel 2 Tanggap lingkar batang terhadap penggunaan BIOST
Diameter batang (cm)
Perlakuan
17 BST
18 BST
19 BST
20 BST
21 BST
B1
114.40
120.53
125.00
128.87
133.07
B2
107.80
115.06
121.47
125.53
129.87
B3
112.67
119.13
123.93
128.67
133.27
B4
97.03
101.57
105.93
109.07
112.00
B5
106.67
111.80
116.47
120.47
124.67
B6
108.60
114.93
120.47
125.47
129.73
B7
108.40
114.40
118.87
123.60
127.87

22 BST
138.20
134.33
137.53
116.07
128.67
135.13
132.00

68
Tabel 2 Tanggap lingkar batang terhadap penggunaan BIOST (lanjutan)
Diameter batang (cm)
Perlakuan
23 BST 24 BST
25 BST
26 BST 27 BST
B1
143.13
150.60
156.40
165.93
171.47
B2
139.53
145.67
151.80
159.80
173.87
B3
142.67
149.20
156.40
165.87
175.07
B4
120.63
125.57
131.30
143.60
154.53
B5
133.33
138.00
143.47
152.33
166.33
B6
140.80
147.93
156.00
162.60
175.07
B7
136.27
142.20
148.13
157.00
166.20

28 BST
180.40
181.53
185.67
164.93
173.87
183.40
173.93

Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Hal ini sesuai dengan penelitian Sudradjat et al. (2014) yang menunjukkan
bahwa pengurangan 50% pupuk tunggal N, P, K tidak menghasilkan perbedaan
pertumbuhan lingkar batang yang nyata. Perlakuan dengan penggunaan 25%
pupuk tunggal N, P, K juga tidak menunjukkan hasil yang berbeda dengan
penggunaan 100% pupuk tunggal N, P, K. Tanggap lingkar batang terhadap
penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 2.
Jumlah pelepah
Peubah jumlah pelepah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
perlakuan dari 17 BST sampai 28 BST. Hal ini sesuai dengan penelitian Siallagan
et al. (2014) yang menyatakan bahwa jumlah pelepah dipengaruhi oleh sifat
genetik dari tanaman dan lingkungan dan rata-rata pertambahan jumlah pelepah
tiap bulannya adalah dua pelepah. Tanggap jumlah pelepah terhadap penggunaan
BIOST terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Tanggap jumlah pelepah terhadap penggunaan BIOST
Jumlah pelepah (helai)
Perlakuan
17 BST 18 BST 19 BST 20 BST 21 BST
B1
31
34
36
38
41
B2
33
35
38
40
42
B3
31
34
36
38
41
B4
28
31
33
35
38
B5
32
34
37
39
41
B6
28
31
33
36
38
B7
30
33
35
37
40

22 BST
43
44
43
40
44
40
42

9
Tabel 3 Tanggap jumlah pelepah terhadap penggunaan BIOST (lanjutan)
Jumlah pelepah (helai)
Perlakuan
23 BST 24 BST 25 BST 26 BST 27 BST 28 BST
B1
46
49
52
55
58
60
B2
47
50
53
56
60
62
B3
46
49
52
56
59
61
B4
43
46
49
52
55
56
B5
46
49
52
55
59
61
B6
43
46
50
52
56
58
B7
44
48
51
54
57
59
Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Panjang pelepah ke-9
Panjang pelepah ke-9 tidak memberikan tanggap yang berbeda terhadap
perlakuan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Sudradjat et al. (2015)
bahwa pengurangan dosis pupuk tunggal N, P, K tidak menghasilkan perbedaan
yang nyata pada pertumbuhan panjang pelepah. Tanggap panjang pelepah ke-9
terhadap penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Tanggap panjang pelepah ke-9 terhadap penggunaan BIOST
Panjang pelepah ke-9 (cm)
Perlakuan
18 BST 20 BST 22 BST 24 BST 26 BST
B1
271.83 250.73
244.54
255.07
309.60
B2
265.80 253.93
250.03
266.93
274.40
B3
273.13 257.00
271.62
253.33
264.27
B4
270.87 253.93
251.65
241.27
270.73
B5
284.40 263.00
276.23
255.67
271.20
B6
275.27 261.27
261.67
270.60
288.72
B7
274.87 258.00
260.20
255.33
277.13

28 BST
311.67
308.13
307.73
279.27
296.87
305.93
293.87

Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Jumlah anak daun pelepah ke-9
Jumlah anak daun pelepah ke-9 tidak memberikan perbedaan tanggap pada
18 BST sampai 28 BST, kecuali pada 26 BST. Tanggap jumlah anak daun
pelepah ke-9 pada perlakuan B3 menghasilkan jumlah anak daun terbanyak pada

10
6
26 BST. Jumlah anak daun pelepah ke-9 pada B3 lebih banyak 8.1% daripada B6.
Perlakuan B4 menunjukkan hasil dengan jumlah anak daun pelepah ke-9 paling
sedikit, yaitu 12.1% lebih rendah dari B3. Tanggap jumlah anak daun pelepah ke9 terhadap penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tanggap jumlah anak daun pelepah ke-9 terhadap penggunaan BIOST
Jumlah anak daun pelepah ke-9 (helai)
Perlakuan
18 BST 20 BST 22 BST 24 BST 26 BST
28 BST
B1
169
160
156
172
195ab
189
B2
164
161
153
171
189abc
188
B3
176
161
158
168
198a
189
B4
167
161
150
160
174c
177
B5
166
164
155
171
196ab
182
B6
170
162
156
178
182bc
187
B7
176
164
160
171
188abc
186
Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1;
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf α 5%;

Luas daun pelepah ke-9
Tanggap luas daun pelepah ke-9 terhadap perlakuan yang diberikan tidak
menunjukkan perbedaan dari 18 BST sampai 28 BST. Tanggap luas daun pelepah
ke-9 terhadap penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Tanggap luas daun pelepah ke-9 terhadap penggunaan BIOST
Luas daun pelepah ke-9 (cm2)
Perlakuan
18 BST
20 BST 22 BST
24 BST 26 BST
B1
9144.20
8269.96 5939.27
8903.82 6831.62
B2
9500.43
8223.65 6685.91
9620.30 9242.26
B3
9576.21
8423.29 5950.77
8872.55 7412.64
B4
8957.14
7974.94 6199.33
8235.03 7823.59
B5
9351.27
8510.78 7078.53
9058.07 8431.63
B6
9222.65
7957.45 6622.36 10093.69 8735.20
B7
8871.07
8035.73 6680.84
9237.12 8339.43

28 BST
11688.84
12168.97
12999.84
10840.68
11301.22
12462.85
11490.25

Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

11
Perlakuan dengan penggunaan BIOST dengan pengurangan pupuk tunggal
N, P, K secara umum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada peubah
morfologi dengan perlakuan 100% pupuk tunggal N, P, K. Hal ini diduga karena
adanya kandungan mikroorganisme yang dapat memfasilitasi ketersediaan hara.
Azospirillum dan Azotobacter dapat mengikat nitrogen dari udara secara
nonsimbiosis. Kemampuan bakteri ini yang dapat mengurangi penggunaan pupuk
tunggal N, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N. Mikroba pelarut
pospat memiliki kemampuan untuk melarutkan P, baik dari dalam tanah maupun
dari pupuk, sehingga dapat meningkatkan P yang tersedia bagi tanaman
(Saraswati dan Sumarno 2008). Adanya Mikoriza juga dapat meningkatkan
penyerapan P pada kondisi ketersediaan P yang rendah (Widiastuti et al. 1993).
Pupuk hayati tidak dapat menyediakan seluruh hara yang dibutuhkan
tanaman, sehingga pupuk anorganik tetap harus diberikan namun dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah dari standar (Junaedi et al. 1999). Pupuk hayati
hanya berfungsi untuk menyediakan hara yang teratur dan seimbang sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh tanaman. Fungsi dari pupuk hayati ini dapat
mengurangi penggunaan pupuk anorganik sehingga dapat mengurangi
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan pupuk anorganik
dalam jumlah yang banyak (Wachjar et al. 2006).
Tanggap Fisiologi Tanaman terhadap Penggunaan BIOST
Analisis kandungan hara daun
Analisis jaringan pada daun kelapa sawit bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan BIOST terhadap penyerapan hara. Kadar hara yang
terkandung di dalam daun dari masing-masing perlakuan dapat menunjukkan
tingkat kecukupan, defisiensi, dan kelebihan hara (Siallagan et al. 2014). Daun
yang dianalisis merupakan anak daun pada pelepah ke-9. Hasil analisis hara yang
terkandung di dalam jaringan daun pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kandungan hara N, P, K dalam daun
Perlakuan

N-total (%)

P-total (%)

K-total (%)

B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7

2.88
2.76
2.75
2.71
2.80
2.76
2.74

0.12
0.11
0.12
0.11
0.12
0.12
0.11

1.09
1.10
1.40
1.24
1.06
1.23
1.23

Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

6
12
Hasil analisis kandungan N, P, dan K dalam daun menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan kandungan hara dalam daun pada perlakuan dengan
pengurangan pupuk tunggal N, P, K dan menggunakan BIOST dengan perlakuan
100% pupuk tunggal N, P, K. Berdasarkan kriteria konsentrasi hara Von Uexhull
(1992) (Lampiran 2), kandungan N optimum pada tanaman kelapa sawit muda
adalah 2.6 - 2.9%, kandungan P optimum adalah 0.16 - 0.19%, dan kandungan K
adalah 1.1 - 1.3%. Kandungan N dan K pada perlakuan berada pada kondisi
optimum. Rata-rata kandungan N adalah 2.77% dan kandungan K adalah 1.19%.
Kandungan P tidak berada pada kondisi optimum, yaitu 0.11%. Kandungan P
pada daun tidak pada kondisi optimum diduga karena unsur P yang tersedia pada
tanah tergolong rendah.
Tingkat kehijauan daun
Tingkat kehijauan daun diukur pada anak daun pelepah ke-9 dengan
menggunakan alat SPAD-502. Perlakuan B3 menunjukkan tingkat kehijauan daun
yang paling tinggi pada 22 BST. Tingkat kehijauan daun tertinggi pada 28 BST
terdapat pada perlakuan B4. Perlakuan B5, B6, dan B7 dengan pengurangan dosis
standar kebun tidak menunjukkan perbedaan tingkat kehijauan daun dengan B1
yang menggunakan 100% dosis standar kebun pada 22 BST. Tanggap hijau daun
terhadap penggunaan BIOST disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Tanggap hijau daun terhadap penggunaan BIOST
Tingkat kehijauan daun
Perlakuan
22 BST
28 BST
B1
58.40bc
64.26ab
B2
57.60c
62.70abc
B3
60.43a
65.99ab
B4
57.70ab
60.40a
B5
61.17c
64.23bc
B6
57.75c
61.28c
B7
57.79c
61.97bc
Keterangan: BST= bulan setelah tanam. B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B7 = BIOST 750 g tanaman-1 + 25% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf α 5%;

Rata-rata hasil pengamatan tingkat kehijauan daun secara keseluruhan
pada 22 BST adalah 58.69 dan meningkat menjadi 62.97 pada 28 BST.
Peningkatan tingkat kehijauan daun pada 28 BST diduga disebabkan karena
adanya curah hujan yang lebih tinggi pada 23 BST sampai 27 BST. Hal ini sesuai
dengan penelitian Li et al (2006) yang menyatakan bahwa kekurangan air dapat
merusak komponen dalam daun yang berperan untuk fotosintesis sehingga
berpengaruh terhadap tingkat kehijauan daun. Terhambatnya proses fotosintesis

13

Tingkat kehijauan daun

akan menyebabkan penurunan fotosintat, sehingga dapat menghambat
pertumbuhan tanaman. Tanggap hijau daun pada 22 BST dan 28 BST terhadap
perlakuan disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

64.00
62.00
60.00
58.00
56.00
54.00
52.00

B1

B2

B3

B4
B5
Perlakuan

B6

B7

Tingkat kehijauan daun

Gambar 2 Tanggap hijau daun pada 22 BST

70.00
68.00
66.00
64.00
62.00
60.00
58.00
56.00
54.00

B1

B2

B3

B5
B4
Perlakuan

B6

B7

Gambar 3 Tanggap hijau daun pada 28 BST

Kandungan Hara Tanah
Pengamatan kandungan hara pada B1 (100% dosis pupuk standar kebun)
dan B6 (500 g BIOST + 50% dosis pupuk standar kebun) dilakukan dengan
membandingkan kandungan N-total, P-total, dan K-total pada tiga kedalaman
tanah, yaitu 0 - 20 cm, 20 - 40 cm, dan 40 - 60 cm. Kandungan N-total, P-total,
dan K-total berturut-turut disajikan pada Tabel 9, Tabel 10, dan Tabel 11.

6
14
Tabel 9 Kadar N pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
Kandungan N total (%)
Kedalaman (cm)
B1
B6
0 - 20
0.30
0.27
20 - 40
0.27
0.24
40 - 60
0.25
0.25
Keterangan: B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Tabel 10 Kadar P pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
Kandungan P total (mg P2O5 / 100g)
Kedalaman (cm)
B1
B6
0 – 20
21.33
29.97
20 – 40
19.97
37.03
40 – 60
17.80
21.80
Keterangan: B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Tabel 11 Kadar K pada B1 dan perlakuan B6 pada kedalaman 0-60 cm, setelah
perlakuan
Kandungan K total (mg K2O / 100g)
Kedalaman (cm)
B1
B6
0 – 20
52.97
57.10
20 – 40
45.40
47.60
40 – 60
43.63
48.17
Keterangan: B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Hasil uji t menunjukkan bahwa kandungan hara tanah pada perlakuan B6
tidak berbeda dengan B1. Hal ini menunjukkan kandungan BIOST dapat
meningkatkan kandungan hara tanah. Kandungan N menunjukkan bahwa
perlakuan B6 dengan pengurangan 50% pupuk tunggal N, P, K berada pada
kondisi sedang yang sama dengan B1. Hal ini diduga karena terdapat bakteri
fiksasi nitrogen, seperti Azospirillum dan Azotobacter pada BIOST.
Pupuk hayati akan membantu proses dekomposisi yang terjadi di dalam
tanah yang memberikan pengaruh positif terhadap sifat biologi dan sifat kimia
tanah. Hal ini akan menyebabkan unsur hara N dan P yang terkandung di dalam
tanah akan terlepas secara berangsur-angsur (Tania et al. 2012). Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya pH tanah dari 4.3 menjadi 4.8, namun pH pada
kisaran 4.5 – 5.5 masih tergolong masam. Menurut Supardi (1983), unsur P tidak
larut dan tidak tersedia bagi tanaman pada tanah yang tergolong masam yang
disebabkan karena berikatan dengan besi, aluminium, dan mangan. Menurut Sari
et al. (2015), unsur P kurang dapat diserap oleh tanaman pada tanah dengan

15
tekstur liat. Hal ini diduga menyebabkan P-tersedia pada tanah rendah, sehingga
kandungan hara P pada daun juga berada pada kondisi tidak optimum.
Efektivitas Agronomi Relatif
Nilai efektivitas agronomi relatif dihitung pada 28 BST. Perlakuan B3
menghasilkan nilai efektivitas agronomi relatif tertinggi pada lingkar batang
(181.45%). Perlakuan B3 juga menghasilkan nilai efektivitas agronomi relatif
pada jumlah anak daun yang sama efektifnya dengan pembanding (B1). Nilai
efektivitas agronomi relatif jumlah pelepah tertinggi (215.38%) dihasilkan oleh
perlakuan B2. Hasil perhitungan efektivitas agronomi relatif pada 28 BST
disajikan pada Tabel 12.
Perlakuan B6 dengan 500 g BIOST dan pengurangan 50% dosis pupuk
tunggal N, P, K menghasilkan nilai efektivitas agronomi relatif lingkar batang
sebesar 146.37%. Lingkar batang merupakan salah satu faktor yang menentukan
pertumbuhan kelapa sawit yang baik. Perlakuan B5 dengan 250 g BIOST dan
pengurangan 50% dosis pupuk tunggal N, P, K menghasilkan nilai efektivitas
agronomi relatif sebesar 169.23%. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
BIOST dapat menurunkan 50% penggunaan pupuk tunggal N, P, K. Nilai
efektivitas agronomi relatif rataan paling rendah terdapat pada perlakuan B4
(BIOST 750 g tanaman + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1).
Hal ini sejalan dengan pernyataan Simanungkalit (2001) yang menyatakan bahwa
penurunan pertumbuhan terjadi lebih awal pada perlakuan dengan kombinasi
pupuk hayati dan pupuk kimia dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk hayati
(BIOST).
Tabel 12 Nilai efektivitas agronomi relatif pada 28 BST
Nilai efektivitas agronomi relatif (%)
Perlakuan
TT
LB
JP
PP
JAD
Rataan
B1
B2
66.03 117.47 215.38
80.11
66.67
109.13
B3
56.38 181.45 146.15
77.87
100.00
112.37
B4
-15.40 -139.10 -207.69 -82.02 -300.00
-148.84
B5
22.41
-0.93 169.23
16.85 -133.33
14.85
B6
58.55 146.37
-76.92
67.75
33.33
45.82
Keterangan: TT = tinggi tanaman, LB = lingkar batang, JP = jumlah pelepah, PP = panjang
pelepah, JAD = jumlah anak daun, LD = luas daun;
B1 = 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B2 = BIOST 250 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B3 = BIOST 500 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B4 = BIOST 750 g tanaman-1 + 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B5 = BIOST 250 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.
B6 = BIOST 500 g tanaman-1 + 50% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pengurangan pupuk
tunggal N, P, K yang dikombinasikan dengan BIOST dapat menghasilkan tanggap
vegetatif yang tidak berbeda secara statistik dengan dosis pupuk tunggal N, P, K
standar. Peubah tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah pelepah, panjang pelepah

6
16
ke-9, jumlah anak daun pelepah ke-9, dan luas daun pelepah ke-9 menunjukkan
hasil yang tidak berbeda antara perlakuan pengurangan dosis pupuk tunggal N, P,
K dan menggunakan BIOST dengan perlakuan 100% pupuk tunggal N, P, K.
Hasil pengamatan pada perlakuan B5 menunjukkan bahwa penggunaan 250 g
BIOST dapat mensubstitusi 50% dosis standar kebun. Hasil pengamatan pada
perlakuan B7 menunjukkan bahwa penggunaan 750 g BIOST dapat mensubstitusi
75% dosis standar kebun. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BIOST dapat
mengurangi penggunaan pupuk tunggal N, P, K tanpa mengurangi pertumbuhan
tanaman kelapa sawit secara nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Junaedi et al.
(1999), bahwa penggunaan pupuk hayati dapat mengurangi penggunaan pupuk
anorganik karena pupuk hayati mengandung mikroorganisme yang dapat
menghasilkan enzim dan bahan organik yang berperan dalam proses pelarutan
hara.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan dengan penggunaan BIOST dan pengurangan dosis pupuk
tunggal N, P, K memberikan tanggap morfologi dan fisiologi yang relatif sama
dengan penggunaan 100% dosis standar pupuk kebun Jonggol tanaman-1. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan 500 g BIOST pada tanaman kelapa sawit belum
menghasilkan umur dua tahun dapat mengurangi penggunaan pupuk tunggal N, P,
K sebesar 50% dan penggunaan 750 g BIOST dapat mengurangi penggunaan
pupuk tunggal N, P, K sebesar 75%.

Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mempelajari pengaruh BIOST
terhadap sifat kimia dan biologi tanah, karena perbaikan sifat kimia dan biologi
tanah akan meningkatkan efektivitas pemupukan dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman.

17

DAFTAR PUSTAKA
[BBP2TP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008.
Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Lampung (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Corley RHV dan Tinker PB. 2003. The Oil Palm: Fourth Edition. Oxford (UK):
Blackwell Science Ltd.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2014. Pertumbuhan areal kelapa sawit
meningkat [Internet]. [diunduh 2015 Sep 20]. Tersedia pada:
http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhan-areal-kelapa-sawitmeningkat.html#.
Dradjat B. 2012. Upaya mengatasi black campaign kelapa sawit dan langkah
strategis ke depan. Prosiding Petani dan Pembangunan Pertanian. 2012.
Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Hlm 276 – 292.
Goenadi DH dan Santi LP. 2006. Aplikasi bioaktivator SuperDec dalam
pengomposan limbah padat organik tebu. Buletin Agronomi. 34 (3): 173 –
180.
Junaedi A, Wachjar A, Rachman A. 1999. Pengaruh penggunaan pupuk hayati
terhadap pertumbuhan tanaman belum menghasilkan (TBM I) kopi robusta
(Coffea canephora Pierre ex Froehner). Buletin Agronomi. 27 (2): 12-17.
Lestari AP. 2009. Pengembangan pertanian berkelanjutan melalui substitusi
pupuk anorganik dengan pupuk organik. Jurnal Agronomi. 13 (1): 38-44.
Li R, Guo P, Baum M, Grando S, Ceccarelli S. 2006. Evaluation of chlorophyll
content and fluorescence parameters as indicators of drought tolerance in
barley. Agricultural Sciences in China. 5 (10): 751-757.
Machay AD, Syers JK, Gregg PEH. 1984. Ability of chemical extraction
procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock material.
Journal Agricultural Research of New Zealand. 27 (2): 219 – 230.
Pahan I. 2013. Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Purwa DR, ed. 2007. Petunjuk Pemupukan. Jakarta (ID): PT Agromedia Pustaka.
Salisbury FB dan Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Rukmana D dan
Sumaryono, penerjemah. Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari: Plant
Physiology.
Saputra RA. 2011. Evaluasi pemupukan pada kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) di kebun Radang Seko Banjar Balam, PT Tunggal Perkasa
Plantations, Indragiri Hulu, Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Saraswati R dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikroba penyubur tanah sebagai
komponen teknologi pertanian. Iptek Tanaman Pangan. 3 (1): 41-58.
Sari VI, Sudradjat, Sugiyanta. 2015. Peran pupuk organik dalam meningkatkan
efektivitas pupuk NPK pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Jurnal
Agronomi Indonesia. 43 (2): 153-160.
Siallagan I, Sudradjat, Hariyadi. 2014. Optimasi dosis pupuk organik dan NPK
majemuk pada tanaman kelapa sawit belum menghasilkan. Jurnal Agronomi
Indonesia. 42 (2): 166-172.

18
6
Simanungkalit RDA. 2001. Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia: suatu
pendekatan terpadu. Buletin AgroBio. 4 (2): 56-61.
Sudradjat, Saputra H, Yahya S. 2015. Optimization of NPK compound fertilizer
package rate on one year old oil palm (Elaeis guineensis Jacq) trees.
International Journal of Science: Basic and Applied Research. 20 (1): 365372.
Sudradjat, Sukmawan Y, Sugiyanta. 2014. Influence of manure, nitrogen,
phosphorus and potassium fertilizer application on growth of one-year-old
oil palms on marginal soil in Jonggol, Bogor, Indonesia. Journal of Tropical
Crop Science. 1 (2): 18-24.
Sugiyono, Sutarta ES, Darmosarkoro W. 2005. Peranan perimbangan K, Ca, dan
Mg tanah dalam penyusunan rekomendasi pemupukan kelapa sawit.
Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit: 19-20 Apr 2005. Medan (ID):
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Hlm 43-56.
Sunarko. 2014. Budidaya Kelapa Sawit di Berbagai Jenis Lahan. Jakarta (ID): PT
Agromedia Pustaka.
Supardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suriadikarta DA, Simanungkalit RDM, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, eds.
2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Tania N, Astina, Budi S. 2012. Pengaruh pemberian pupuk hayati terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung semi pada tanah podsolik merah kuning.
Jurnal Sains Mahasiswa Pertanian. 1 (1): 10-15.
Wachjar A, Supijatno, Rubiana D. 2006. Pengaruh beberapa jenis pupuk hayati
terhadap pertumbuhan dua klon tanaman teh (Camellia sinensis (L) O.
Kuntze) belum menghasilkan. Buletin Agronomi. 34 (3): 160-164.
Widiastuti H, Santoso D, Putra SM, Wiramihardja M, Farida A, Marahimin B,
Panjaitan K, Sinaga J. 2013. Penggunaan biostimulan Orgamin untuk
efisiensi pemupukan dan peningkatan produktivitas kelapa sawit di dataran
tinggi. Menara Perkebunan. 81 (2): 41-48.

19

LAMPIRAN

6
20
Lampiran 1 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sangat
Sifat kimia tanah
Rendah Sedang
Tinggi
rendah
C-Organik (%)
< 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00
Nitrogen
< 0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75
C/N