PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan

5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Dari tabel 5.1. sampai tabel 5.5. tampak gambaran karakteristik penduduk sampel sampel dari wilayah penelitian. Dari tabel 5.1. dan 5.2. terlihat distribusi umur dan jenis kelamin menunjukkan lebih banyak penduduk dalam usia 61 -70 tahun yaitu berkisar 30,83 dan jenis kelamin terbanyak perempuan yaitu berkisar 71,11 . Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia umumnya. Seperti pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya seperti Burma dan India. Dari tabel 5.3. terlihat bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar SD sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya sumber daya manusia dan dampaknya ini juga akan menyebabkan kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit mata khususnya kelainan refraksi. Dari tabel 5.4. terlihat bahwa sebagian besar penduduk mempunyai pekerjaan sebagai petani yaitu sebesar 69,72, hal ini sangat sesuai dengan daerah Indonesia yang berdaerah agraris. Dari tabel 5.5. terlihat bahwa suku terbanyak sebagai sampel dari 6 kecamatan adalah suku Mandailing, diikuti suku batak lainnya. Dari table 5.6. tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan akibat kelainan refraksi berkisar 6-80 tahun lebih, dimana terbanyak pada kisaran umur 16 hingga 20 tahun dan antara umur 61 hingga 65 tahun. Dari table 5.7., penyebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut jenis kelamin terdapat 25 orang wanita dan 6 orang laki-laki. Menurut referensi prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada wanita dan laki-laki adalah sama, tetapi dalam hal ini Universitas Sumatera Utara responden yang datang pada umumnya adalah wanita, jadi pada hasil penelitian ini prevalensi kebutaan refraksi pada wanita lebih tinggi hanyalah merupakan faktor kebetulan saja. Dari tabel 5.8., sebagian besar penderita hanya menamatkan pendidikannya di tingkat SMP [Sederajat]. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami penyakitnya, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan kebutaan akibat kelainan refraksi. Dari tabel 5.9., prevalensi kebutaan akibat refraksi tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Dari tabel 5.10., telah ditelusuri dari hasil anamnesa prevalensi kebutaan akibat refraksi lebih banyak yang tidak ada riwayat keluarga berkacamata, ini disebabkan oleh tingkat sosio-ekonomi yang rendah sehingga tidak mampu membeli kacamata dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang memahami penyakitnya. Dari tabel 5.11, sebagian besar penderita berobat secara Tradisional, kemudian tidak mengobati penyakitnya dan juga ke Puskesmas, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga medis yang mengerti tentang penyakit kelainan refraksi dan alat yang tidak mendukung, maka penderita kurang memahami penyakitnya. Dari tabel 5.13., angka kebutaan refraksi mengenai kedua mata dan kedua mata lebih banyak daripada yang satu mata, hal ini sesuai dengan referensi bahwa kebutaan refraksi pada umumnya mengenai kedua mata. Universitas Sumatera Utara Hubungan Geografi dengan kebutaan refraksi Pada penelitian ini, geografi dari kabupaten Tapanuli Selatan dikategorikan daerah pegunungan dengan ketinggian 0-1.915 meter diatas permukaan laut. Walaupun demikian prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan masih bisa dilalui kendaraan roda dua. Jadi faktor geografis sebenarnya tidak menjadi penghalang bagi penderita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata. Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan memperoleh kacamata. Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian besar mengobati penyakit mata diri secara tradisional bahkan ada yang tidak mengobati penyakitnya, kemudian ke Puskesmas selanjutnya ke Rumah Sakit Swasta, ada yang mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut oleh karena merasa tidak nyaman dan semakin pusing, sebagian merasa nyaman dipakai Universitas Sumatera Utara tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita merasa malu memakai kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal. Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi Sumber daya manusia di kabupaten Tapanuli Selatan terutama petugas kesehatan belum memadai walaupun semua desa telah mempunyai bidan desa. Program puskesmas tentang kesehatan mata yang juga termasuk dalaam 18 program pokok kesehatan puskesmas belum terlaksana dengan baik. Khususnya mengenai tenaga Spesialis Mata yang masih belum ada sampai sekarang di Kabupaten Tapanuli Selatan. Oleh karena itu perlulah menjadi perhatian khususnya bagi pengambil keputusan untuk pengadaan tenaga Spesialis Mata yang sangat dibutuhkan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Tapanuli Selatan belum memadai dimana ada 1 satu RSU Pemerintah yang semestinya sudah dapat melakukan pemeriksaan kesehatan mata, namun sampai sekarang belum bisa melayani pelayanan secara optimal oleh karena belum tersedianya sarana untuk pelayanan kesehatan mata serta belum adanya tenaga dokter spesialis mata di Kabupaten Tapanuli Selatan. Universitas Sumatera Utara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN