Prevalensi Kebutaan Kelainan Kornea Di Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

PREVALENSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

OLEH :

ISKANDAR MIRZA BAHAR

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PREVALENSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

OLEH

ISKANDAR MIRZA BAHAR

PEMBIMBING :

Prof.Dr.H.ASLIM D.SIHOTANG,SpM (K-VR)

Dr.H.BACHTIAR,SpM

Drs.ABDUL DJALIL AMRI AMRA,Mkes

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

PREVALENSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Rabu 03 Maret 2010.Di hadapan Dewan Guru Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Telah disetujui :

_____________________________________________________________

1. Dr. Delfi, SpM Kepala Departemen ________________________________________________________________________ 2. Prof.Dr.H.AslimD.Sihotang,SpM (K-VR) Ketua Program Studi

________________________________________________________________________ 3. Prof. Dr. H. Aslim D. Sihotang,SpM (K-VR) Pembimbing

________________________________________________________________________ 4. Dr. H. Bachtiar, SpM (K) Pembimbing ________________________________________________________________________ 5. Drs. H. Abdul Djalil Amri Arma, M.Kes Pembimbing ________________________________________________________________________


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala Rahmat dan Hidayahnya saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang,SpM (K-VR), Dr.H.Bachtiar,SpM (K), Drs. H. Abdul Djalil Amri Arma, M.Kes, yang telah banyak memberi masukan saran dan bantuan selama penulisan tesis ini.

Rasa penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada yang terhormat guru-guru saya, Dr. H. Mohd. Dien Mahmud,SpM, Dr. H. Chairul Bahri AD, SpM, Dr.H. Azman Tanjung,SpM, Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang,SpM(K-VR), Dr. Masang Sitepu,SpM, Dr. Suratmin,SpM, Dr. H. Bachtiar,SpM (K), Dr. H. Abdul Gani,SpM, Dr. Hj. Adelina Hasibuan,SpM, Dr. Beby Parwis,SpM, Dr. Syaiful Bahri,SpM, Dr. Hj. Nurhaida Djamil,SpM, Dr. Riza Fatmi, SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap,SpM, Dr. Hj. Aryani A. Amra,SpM, Dr. Delfi, SpM, Dr. H. Zaldi Z,SpM, Dr. Masitha Dewi Sari Sihotang,SpM, Dr. Hj. Novie Diana Sari,SpM, Dr. Nurchaliza H Siregar,SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis,SpM, Dr. Nova Arianti,SpM, Dr. T. Siti Harilza Zubaidah,SpM, Dr. Bobby Ramses E.S,SpM, atas bimbingan dan pengalaman yang telah dibagikan selama saya menjalani pendidikan.


(5)

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada senior saya, Dr. Hj. Arlina Yunita Marsida,SpM, Dr. Hj. Heriyanti Harahap,SpM, Dr. Hj. Aryani A. Amra,SpM, Dr. Agustina Siburian,SpM, Dr. Hj. Ayu Nur Qomariyati,SpM, Dr. Jusni Saragih,SpM, Dr. Hendry Dunand,SpM, Dr. H. Oriza Sativa,SpM, Dr. Novi Wulandari,SpM, Dr. H. Zaldi Z,SpM, Dr. Tambar Malem Bangun,SpM, Dr. H. Irsad Sadri,SpM, Dr. Susan Sri Anggreini, SpM, dan Dr. Hj. Halimatussakdiah,SpM, Dr. Masitha Dewi Sari Sihotang, SpM, Dr. Hj. Novie Diana Sari,SpM, Dr. Nurchaliza H Siregar,SpM, Dr. Rodiah Rahmawaty Lubis,SpM, Dr. Nova Arianti,SpM, Dr. T. Siti Harilza Zubaidah, SpM, Dr. Bobby Ramses E.S, SpM atas bimbingan dan pengalaman yang telah dibagikan kepada saya.

Kepada rekan-rekan sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan para perawat SMF Mata RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi yang setiap hari mendampingi saya dan saling mengingatkan saya selama menempuh pendidikan keahlian ini, saya sangat berterima kasih.

Kepada Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, TK PPDS, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti pendidikan keahlian ini, Juga terima kasih kepada Pimpinan RSUP H. Adam Malik Medan, RSU dr. Pirngadi Medan, RS Kesdam I / BB, RS Tembakau Deli yang telah memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang ada selama saya menempuh pendidikan.

Ucapan terima kasih juga kepada Bupati Tapanuli Selatan, Kadinkes Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Dr. Tambar Malem Bangun,SpM, yang telah memberi izin dan membantu saya dalam melakukan penelitian di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(6)

Untuk yang sangat berarti dalam hidup saya adalah keluarga yang sangat tercinta yang senantiasa sabar, mendoakan, menyayangi, mencintai, memperhatikan, mendukung, dan membantu saya setiap saat. Untuk Orangtua saya H. Chairul Bahar, SH (Alm), HJ Nurhayati Bahar(Alm), dan Mertua saya Said Saleh (Alm), Saidah, terima kasih dan hormat saya yang setinggi-tingginya atas pengertian dan pengorbanannya selama ini. Kakak Abang, Adik serta Kakak Ipar, Abang Ipar, Adik Ipar, terima kasih atas dukungan dan dorongan selama ini.

Kepada istri yang saya banggakan Syarifah Nuraida, terima kasih atas perjuangan, pengorbanan, ketabahan, ketulusan dan dorongannya sehingga semua ini dapat tercapai. Dan untuk anak-anak saya Muhammad Fadly Iskandar, Anissa Mahira Iskandar, M Farid Akbar Iskandar, M Farel . Iskandar kalian adalah anugerah yang tak terhingga dari ALLAH SWT buat papi, doa kalian memicu semangat untuk maju hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada semua pihak yang tak tertulis disini, yang telah banyak membantu saya baik moril dan materil selama menempuh pendidikan keahlian ini, tiada kata yang dapat saya ucapkan selain terima kasih setulus-tulusnya, semoga Tuhan yang membalas semuanya.

Saya menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, mohon maaf dan diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Harapan saya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran USU.

Medan, 03 Maret 2010 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Hlm

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.LATAR BELAKANG .... ... 1

1.2.RUMUSAN MASALAH... 4

1.3.TUJUAN PENELITIAN... 4

1.4.MANFAAT PENELITIAN ... 4

1.5.HIPOTESA ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1.KERANGKA TEORI ... 5

2.2.STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI SELATAN ... 17

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL ... 19

3.1.KERANGKA KONSEP... 19


(8)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 21

4.1. RANCANGAN PENELITIAN... 21

4.2. TEMPAT PENELITIAN ... 21

4.3. POPULASI PENELITIAN ... 21

4.4. BESAR SAMPEL... 21

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI... 24

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 24

4.7. BAHAN DAN ALAT... 25

4.8. JALANNYA PENELITIAN DAN CARA KERJA... 26

4.9. ANALISA DATA... 26

4.10.PERSONALIA PENELITIAN ... 27

4.11.PERTIMBANGAN ETIKA... 27

4.12.BIAYA PENELITIAN ... 27

BAB V. HASIL PENELITIAN ... 28

5.1.DATA UMUM SAMPEL ... 29

a.Usia dan Jenis Kelamin ... 29

b.Tingkat Pendidikan ... 30

c.Pekerjaan. ... 30


(9)

5.2.PESERTA PENELITIAN ... 31

Karakteristik Peserta Penelitian... 32

a.Usia ... 32

b.Jenis Kelamin... 32

c.Pendidikan ... 33

d.Pekerjaan ... 34

e.Lama Menderita Kebutaan ... 35

f.Penyebab Kebutaan ... 36

5.3.PREVALENSI KEBUTAAN ... 37

BAB VI. PEMBAHASAN DAN DISKUSI ... 38

BAB VII.KESIMPULAN DAN SARAN... 42

KESIMPULAN... 42

SARAN ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN LAMPIRAN 1 LEMBAR PERSETUJUAN ... 48

LAMPIRAN 2 LEMBAR SURVEY PREVALENSI KEBUTAAN DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN ... 49


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berdasarkan analisa WHO, dengan jumlah penduduk dunia lebih dari 5,9 milyar jiwa, diperkirakan terdapat 45 juta orang mengalami kebutaan dan 135 juta orang dengan Low Vision atau terdapat kurang lebih 180 juta orang dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Objektif dari program WHO untuk pencegahan kebutaan dengan efektif dan mempertahankan penglihatan jika memungkinkan. Target global adalah harus menurunkan prevalensi kebutaan sampai < 0,5 % di seluruh negara, atau kurang dari 1% pada beberapa negara.1,2,3,4

Vision 2020 dalam program pendekatan kesehatan primer, akan mengutamakan perkembangan Sumber Daya Manusia untuk kesehatan mata. Perhatian ditujukan kepada masyarakat menengah ke bawah yang merupakan tulang punggung Program Nasional untuk pencegahan kebutaan. Sumber Daya Manusia yang cukup terlatih merupakan komponen inti dalam pencegahan, pengobatan, dan rehabilitas kebutaan yang bisa dihilangkan.5

GBHN 1993 mengamanatkan antara lain bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat di seluruh wilayah tanah air, dimana setiap warga negara memperoleh kesempatan untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilnya.5

Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda-beda disetiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum, dan kebutaan sosial. Kira-kira 65 definisi kebutaan tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di bidang Ophthalmologi,


(11)

terminologi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktifitas sehari-hari sampai tidak adanya persepsi cahaya. Supaya ada perbandingan secara statistik baik nasional maupun internasional, WHO pada 1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan serta tajam penglihatan yang kurang dari 3/60. (Snellen) atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979 WHO menambahkan dengan ketidak sanggupan hitung jari pada siang hari pada jarak 3 meter.7,8

Pada tahun 1977 Internasional Classification of Disease (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 katagori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, dimana katagori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan katagori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapangan pandang 5°- 10° ditempatkan pada katagori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5° ditempatkan pada katagori 4.7 (lihat tabel 1)

Tabel 1.1 Klasifikasi ICD terhadap penurunan penglihatan

Category of visual impairment Level of visual acuity ( Snellen

Low Vision 1. Less than 6/18 to 6/60 2. Less than 6/60 to 3/60

Blindness 3. Less than 3/60 Finger Counting at 3m ) to 1/60 (FC at I m) or visual yield between 500 - 100)

4. Less than 1/60 ( Finger Counting at lm) to light perception or visual field less than 50

5. No light perception Dikutip dari community Ophthalmologi, Khurana, 1998, hlm. 439 9

Di Indonesia, kebutaan kelainan kornea menduduki urutan ke-5 dari survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1966 dengan prevalensi saat ini 0,10% dari prevalensi kebutaan 1,5% .Penelelitian di Sumatera Utara tahun 2004 yang dilakukan


(12)

akibat Katarak (Tanjung Balai 0,37%; Karo 0,41%), Glaukoma (Karo 0,094%), Kelainan Refraksi (Tanjung Balai 0,09%; Karo 0,12%), Gangguan Retina (Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11%), dan Kelainan Kornea (Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08%). Angka-angka yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaucoma, kelainan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea.11

Penyebab kebutaan kelainan kornea bisa diakibatkan oleh penyakit infeksi, penyakit autoimun, kelainan kongenital, penyakit metabolik, dan distrofi, penyakit degeneratif, trauma dan tumor. Dari semua penyebab ini WHO secara global telah menentukan beberapa penyakit sebagai target eliminasi yaitu trachoma, kekurangan vitamin A dan Onchocerciasis. Program ini telah dilakukan di beberapa negara yang termasuk endemik.10

Dari pengamatan sementara pada setiap Kabupaten yang ada di Sumatera Utara, mungkin kebutaan karena kelainan kornea berbeda, perlu kiranya dilakukan pemetaan untuk bisa ditentukan tindakan-tindakan preventif dalam menurunkan angka kebutaan ini.

Sesuai dengan tujuan program Vision 2020 right to sight yang telah dicanangkan di Indonesia tanggal 15 Februari 2000 yakni mewujudkan hak setiap warga negara untuk memperoleh penglihatan optimal pada tahun 2020, sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia. Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi peneliti untuk melakukan survei di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(13)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapa angka kebutaan kelainan kornea untuk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2009.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum :

Mendapatkan angka kebutaan kelainan kornea untuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.

1.3.2. Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui karakteristik geografi Kabupaten Tapanuli Selatan b. Untuk mengetahui gambaran karateristik sosiodemografi responden.

c. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

d. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana Kesehatan Mata di Kabupaten Tapanuli Selatan.

e. Untuk mengetahui gambaran angka kebutaan kelainan kornea di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Dengan Penelitian ini dapat dibuat pemetaan tentang buta kelainan kornea di Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.4.2 Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan buta kelainan kornea serta estimasi proyeksi kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan.

1.5. HIPOTESA

Angka kebutaan kelainan kornea di Kabupaten Tapanuli Selatan lebih tinggi daripada angka kebutaan kelainan kornea secara Nasional.


(14)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

.

KERANGKA TEORI

Penelitian penyakit mata yang menyebabkan gangguan penglihatan merupakan ilmu yang terus berkembang. Sorsby melaporkan insiden dan penyebab kebutaan di Inggris dan Wales selama 1948 – 1962, namun laporan ini dibawah perkiraan prevalensi pada populasi yang sebenarnya karena hanya melibatkan populasi pada saat pencatatan.12

Pada tahun 1978 WHO mencanangkan program pencegahan kebutaan dan penekanannya pada model epidemiologi untuk memperkirakan kebutaan dengan menggunakan survei dengan metode yang sederhana dan murah. Kelemahan terbesar pada pendekatan ini adalah tidak termasuk refraksi, inderek ophthalmoskop, fotografi, dan lapangan pandang. Pada tahun 1987 WHO memperkirakan 27 – 35 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan (< 20/400) dan hampir 75 – 80% tinggal di Asia dan Afrika. Perkiraan konservatif pada kebutaan anak seluruh dunia sampai 1 juta anak.12

Dengan menggunakan perkiraan itu, prevalensi kebutaan orang dewasa di dunia mendekati 26 – 34 juta. Belakangan ini WHO memperkirakan 135 juta dari seluruh penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan (<20/60) dan hampir 45 juta orang mengalami gangguan penglihatan (20/400). Jumlah ini meningkat sesuai dengan populasi dunia dan meningkatnya angka harapan hidup rata-rata.12 Di negara-negara yang dicakup daerah pasifik barat WHO, angka prevalensi kebutaan antara 0,5% - >1%. Keadaan ini bervariasi dari negara ke negara, yang paling umum adalah defisiensi Vitamin A pada anak-anak, trauma pada orang dewasa, sama dengan katarak, trachoma, dan glaukoma pada orang dewasa.13


(15)

Di India pada suatu laporan penelitian penyakit mata tahun 1992 oleh National Programme for Control of Blindness (NPCB) menyatakan bahwa penyakit kornea mengakibatkan kebutaan 23,6%, namum penelitian ini tidak melakukan pemeriksaan fundus detail atau pemeriksaan lapang pandangan pada metodologinya. Pada penelitian National Andhra Pradesh Eye Disease Study (APEDS), yang melakukan pemeriksaan detail dilatasi, fundus fotografi, dan lapang pandangan hasilnya berbeda yakni 20,1%.12 Di Tanzania dilaporkan tahun 1990 dari 1847 sampel terdapat kelainan kornea 1,26%.12

Hasil Survey Morbiditas Mata dan Kebutaan tahun 1982 di Indonesia yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI yang meliputi 8 Provinsi yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan, prevalensi kebutaan adalah 1,2% dan kelainan Kornea 0,13% (urutan 3).6,8

Survey Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran merupakan kegiatan terpadu antara Departemen Kesehatan, Departement Sosial, Biro Pusat Statistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Perdami, dan Perhati tahun 1993 – 1996 prevalensi meningkat menjadi 1,5% kelainan Kornea menurun menjadi 0,10% (urutan 5). Dari 20 diagnosa penyakit mata yang hampir sama di setiap Provinsi, jika pada survei tahun 1982 masih didapatkan trachoma dan kekurangan vitamin A dalam 10 urutan penyakit mata tertinggi maka keadaan tersebut sudah tidak didapatkan lagi saat ini. Trachoma masih didapatkan di Jawa Timur (0,2%) dan Nusa Tenggara Barat ( 0,7%). Sedangkan kekurangan vitamin A masih didapatkan di Provinsi Sulawesi Selatan (0,3%) dan NTB (0,1%).6,8


(16)

Penyakit kornea selalu harus dipikirkan sebagai penyakit mata yang sangat serius, karena tindakan yang tidak tepat untuk mengatasi kelainan kornea itu berarti menimbulkan gangguan visus penderita mulai dari kabur sampai buta total.14

Adapun faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:

1. Kelainan permukaan okular

Padapermukaan kornea normal terdapat lapisan tears film yang berfungsi sebagai pelembab dan lubrikasi permukaan kornea, dan juga sebagai nutrisi esensial dan oksigen untuk kornea. Beberapa faktor pertumbuhan juga terdapat pada tear film. Protein spesifik yang terdapat pada tear film termasuk Lysozime, Lactoferrin, Tear Lipocalin, Secretory IgA dan Cystatin S sebagai anti mikrobial. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis, seperti pada keadaan defisiensi air mata, merupakan predisposisi terjadinya infeksi mikroba pada mata.7,15

Kelainan dry eye muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kwantitatif maupun kwalitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Ada 3 bentuk defisiensi lapisan air mata, yakni : defisiensi mukus, defisiensi lemak, dan defisiensi akuos. Dry eye diakibatkan oleh defisiensi akuos termasuk kelainan yang sering ditemukan, khususnya pada orang-orang berusia lanjut atau pada wanita yang telah mengalami menopause.16

Dry eye terjadi pada 10 – 15% orang dewasa. Pada gangguan ini terjadi gangguan produksi air mata atau evaporasi yang berlebihan.7

Defisiensi vitamin A mengakibatkan Xerophtalmia yang bertanggung jawab terhadap sedikitnya 20.000-100.000 kasus kebutaan baru di seluruh dunia setiap tahun.


(17)

Yang berisiko tinggi terhadap xerophtalmia adalah bayi kurang gizi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang kekurangan vitamin A, terutama pada bayi yang mempunyai stress biologis seperti campak atau diare. Infeksi superfisial dengan herpes simplek, campak atau agen bakteri mungkin sebagai predisposisi selanjutnya pada anak-anak menjadi keratomalasia dan kebutaan.17

Pada tahun 1949, RRC telah dinyatakan, defisiensi vitamin A merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Kira-kira 1 juta anak-anak yang buta di Asia sebagian besar terjadi di China. Menurut PBB dan WHO, defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat di China sampai tahun 2000.17

Pada KTT dunia tentang anak pada tahun 1990 memutuskan untuk mengeliminasi kebutaan oleh karena defisiensi vitamin A pada tahun 2000. Dan ini telah dilaksanakan di beberapa negara.6,7 Dibanding tahun 1982 defisiensi vitamin A hampir tidak didapati lagi pada tahun 1993-1996 kecuali Sulawesi Selatan dan NTB.8

2. Infeksi

Secara prinsip penyebab infeksi yang terjadi pada kornea (infeksi mata luar) disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit.(lihat tabel 2.1)


(18)

Tabel 2.1 Penyebab prinsipil infeksi mata luar

Kondisi Virus Bakteri Jamur Parasit

Dermatoblepharitis Herpes simplex Varicella-zoster

Staphylococcus aureus

Streptococcus spp

Blepharitis Herpes simplex Molluscum Contagiosum Staphylococcus spp Moraxella spp Phthirus pubis Konjungtivitis Adenovirus Chlw-nydia

Trachomatis Herpes simpleks Staphylococcus Aureus Streptococcus spp Neisseria gonorrhoeae Haemophilus influenzae Keratitis Herpes

simpleks Moraxella spp. Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Fusarium spp Aspergillus spp Candida albicans Acanthamuba spp Streptococcus pneumoniae Moraxella spp Daeryoadenitis Epstein-Barr

virus mumps

Staphylococcus aureus

Streptococcus pneumoniae Canaliculitis Actynomicetes Daeryocystitis Staphylococcus

spp

Streptococcus spp


(19)

Inisiasi, keparahan dan karakteristik infeksi dipengaruhi oleh hubungan antara virulensi dan patogen, ukuran dan kompetensi serta mekanisme pertahanan host alami.7 Dari semua penyebab kebutaan infeksi, trachoma merupakan penyakit endemis pada 49 negara, kebanyakan di Afrika, tetapi juga di Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

Trachoma merupakan penyebab kebutaan yang paling sering yang dapat dicegah di dunia dengan perkiraan kebutaan 5,6 juta, kerusakan visual atau resiko kebutaan segera dari penyakit ini dan selanjutnya 146 juta kasus trachoma aktif perlu pengobatan. Trachoma sering terdapat di negara- negara yang secara sosioekonomi masih belum memadai termasuk perumahan, kesehatan, air, dan sanitasi.13

Prevalensi Trachoma penyakit yang dihubungkan dengan daerah kumuh, sanitasi dan hygiene yang rendah adalah setinggi 50%, mencapai 90% di daerah China yang sering berpindah-pindah.7

Pada daerah Jimma di Ethopia Barat Daya, kekeruhan kornea akibat Trachoma bertanggung jawab untuk 20,6% dari seluruh kebutaan. Hampir 25% dari study populasi adalah Trachoma aktif. Trachoma telah diperkirakan oleh WHO menyebabkan 15% dari kebutaan di dunia. Merupakan penyebab utama penyakit mata yang dapat dicegah. Hampir 150 juta penduduk terinfeksi oleh klamidia okuler, 10 juta mengalami Trikhiasis Trachomatosa, dan 6 juta buta (<20/400) akibat Trachoma.12

Penelitian di Gambia tahun 1977 didapati prevalensi kebutaan kelainan kornea akibat Trachoma 5%, menurun dibanding tahun 1986 yakni 17%. Pencegahan kebutaan oleh karena Trachoma ini WHO telah membuat strategi sebagai acuan yaitu “SAFE” (Surgery, Antibiotic, Facial Cleanliness, and Environtmental Improvement). Diharapkan


(20)

dengan mengunakan strategi “SAFE” memungkinkan untuk mengeliminasi Trachoma sebagai penyakit yang membutakan menjelang 2020.7,19

Onchocersiasis atau river blindness endemis di 30 negara di Afrika dan juga terjadi ditempat-tempat kecil di negara-negara Amerika Latin dan di Yaman. Sekarang ini ada diperkirakan 18 juta penduduk yang terinfeksi Onchocersiasis. Diantaranya hampir 0,3 juta penduduk buta akibat penyakit ini. Penyakit ini diharapkan bisa diatasi menjelang 2010 jika di negara-negara endemis benar-benar baik. Sekarang ini dilakukan dan diperkenalkan pengobatan langsung ke masyarakat dan pemberian tahunan Invermectin memungkinkan penyakit yang membutakan ini tereliminasi di negara-negara yang terkena di Afrika dan Amerika Latin.13, 20

Lebih dari 25 tahun belakangan ini kemajuan yang berarti telah dilakukan oleh Program Kontrol Onchocerciasis di Afrika Barat (OCP) melalui kontrol vektor dan distribusi invermectin. Keberhasilan ini, jika diekspresikan pada kesehatan, ekonomi, dan pembangunan merupakan rasional yang memotivasi untuk meluncurkan program baru pada tahun 1995, Program Afrika bagi kontrol Onchocerciasis (APOC).13

Di Amerika Latin, Program Eliminasi Onchocerciasis di Amerika (OEPA) berhasil menggunakan distribusi invermectin. Kelompok terkontrol dari LSM bekerjasama dengan ketiga kontrol Onchocersiasis dan Pemerintah terhadap negara-negara endemis.10, 19

3. Imunologi

Kornea normal tidak mempunyai reaksi alergi akut (tidak mempunyai mast cell) atau reaksi arthus tipikal (karena tidak ada pembuluh darah). Namun kornea berperan


(21)

dalam reaksi imun dengan cara elemen imun humoral dan selular yang masuk secara perifer dari pembuluh darah limbal. Bagian kornea ini menjelaskan mengapa banyak sekali kelainan-kelainan yang berhubungan dengan imun terkadi secara perifer kornea dan limbus.7

Sebaliknya ingress dari lekosit melalui badan siliar / akar iris, dan protein plasma melalui gangguan blood-okular barrier, sebagai jalan lain untuk membawa efektor imun ke kornea.7

Penyakit kornea yang berhubungan dengan keadaan ini adalah Thygeson superfisial punctate keratitis (SPK), Interstitial keratitits associated with infectious disease, Reiter Syndrome, Cogan Syndrome, Marginal corneal infiltrates associated with blepharoconjunctivitis, Periferal ulcerative keratitis associated with systemic immune-mediated disease dan Mooren ulcer.7

4. Anomali Kongenital

a. Abnormalitas dan ukuran bentuk kornea

Prevalensi kebutaan anak di negara Barat telah diperkirakan 1-3/10.000 lahir hidup. Ketika dianalisa penyebabnya, malformasi kornea dan segmen anterior (tidak termasuk katarak kongenital) bertanggung jawab untuk kira-kira 1-3% dari seluruh kebutaan pada anak-anak.7

Mikrokornea adalah suatu kondisi dimana tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optik cup, yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa


(22)

berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif dengan predileksi seks yang sama. Transmisi dominan lebih sering.7

Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola mata. Penyebab bisa berhubungan dengan kegagalan optik cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup,meninggalkan ruangan yang besar bagi kornea untuk diisi.7

b. Disgenesis segmen anterior

Peter`s anomali adalah kekeruhan kornea sentral yang terjadi pada saat lahir yang sering dihubungkan dengan vokal area dari adhesi irido korneal yang meluas dari bagian iris-collarette ke batas kekeruhan. Hampir 60% kasus ini bilateral. Anomali Peter ini dihubungkan dengan malformasi sistemik pada kira-kira 60% kasus.7

Keratokonus posterior sirkumskripta adalah suatu kondisi yang khas dimana adanya indentasi parasentral atau sentral yang terlokalisasi pada posterior kornea tanpa protrusi permukaan anterior. Hilangnya subtansi stromal menimbulkan penipisan kornea hingga mencapai 1/3 dari normal. Deposit pigmentasi fokal dan guttae sering terdapat pada pinggiran kekeruhan. Kebanyakan kasus adalah unilateral, non progresif dan sporadik.7

Sklerokornea adalah suatu abnormalitas dimana gelombang mesenkimal kedua (neuroektodermal) membentuk jaringan mirip sklera sebagai pengganti dari kornea yang jernih.20

Skleralisasi kornea non inflamatori dan non progressif ini bisa dibatasi oleh perifer kornea atau seluruh kornea bisa terkena. Limbus biasanya terkena dan pembuluh darah superfisial yang melebar dari sklera normal, episklera dan pembuluh darah


(23)

konjunctiva melewati kornea. Kebanyakan dari gambaran okuler yang biasa terlihat adalah kornea plana yang terjadi pada 80% kasus. Struktur sudut biasanya terganggu. Tidak ada predileksi seks dan 90% kasus adalah bilateral. Anomali sistemik multipel telah dilaporkan sehubungan dengan sklerokornea. Sklerokornea biasanya sporadik, kedua bentuk autosomal dominan dan resesif telah dilaporkan.7,21

5. Distrofi Kornea dan Kelainan Metabilik

Distrofi kornea adalah suatu kondisi bilateral simetrik dan diturunkan, yang sedikit berhubungan atau tidak ada hubungannya dengan lingkungan atau faktor sistemik. Distrofi dimulai pada awal kehidupan tetapi bisa tidak menimbulkan gejala klinis dikemudian hari. Berkembang secara progresif lambat. Distrofi kornea dapat diklasifikasikan menurut genetik, keparahan, gambaran karakteristik biokemis atau lokasi anatomis. Skema anatomik yang mengklasifikasikan distrofi tergantung pada level kornea yang terkena yaitu anterior distrofi, stromal distrofi, posterior distrofi, dan ektatik distrofi.7,21

Banyak manisfestasi kornea dari penyakit sistemik mempengaruhi kejernihan kornea diakibatkan oleh penumpukan abnormal substansi metabolik di epitel, stroma atau endotel. Substansi abnormal secara tipikal menumpuk pada lisosom atau struktur intrasitoplasmik seperti lisosom sebagai penyebab defek enzim tunggal. Kebanyakan kelainan ini adalah autosomal resesif. Yang termasuk kelainan metabolik ini adalah kelainan metabolism karbohidrat, lemak, asam amino, protein, sintesa imunoglobulin, metabolisme nukleotida dan mineral.7


(24)

6. Degenerasi dan Proses Penuaan Kornea

Sudah lama diketahui, kornea secara bertahap menjadi lebih datar, lebih tebal dan sedikit transparan. Penurunan indeks refraktif dan membran descemet menjadi lebih tebal meningkat dari 0,3 µm pada waktu lahir sampai 10 µm pada orang dewasa sebagai akibat dari meningkatnya ketebalan zona posterior. Kadang-kadang guttata perifer dikenal sebagai Hassal-Henle bodies, dapat terbentuk sesuai dengan usia. Pengikisan sel endotel kornea menyebabkan kehilangan ± 100.000 sel selama 50 tahun pertama dari kehidupan. Dari kepadatan sel ± 4000 sel / mm2 pada saat lahir sampai kepadatan 2500-3000 sel / mm2 pada orang dewasa. Angka rata-rata kepadatan sel endotel menurun selama kehidupan orang dewasa sampai hampir 0,6% pertahun. Degenerasi kornea terjadi pada epitel dan subepitel, stroma dan endotel.7

Karena tidak ada klassifikasi alamiah mengenai degenerasi kornea, klasifikasi artifisial harus dibuat. Degenerasi ini sering dikelompokkan berdasarkan lokasi yang terkena yaitu sentral atau perifer dan berdasarkan penuaan primer atau akibat proses lain.20

7. Toksis dan Trauma Kornea

Tidakseperti pada conjunctiva, penyembuhan kornea umumnya avaskular kecuali jika dijumpai peradangan atau penyakit-penyakit permukaan / epitel. Mekanisme reepitelisasi kornea sama dengan yang terlihat pada membran mukosa yang lain serta mengandung migrasi dan proliferasi epitel. Sel-sel epitel kornea tidak mempunyai turn over yang tinggi jika tidak terluka.7


(25)

Seperti epitel tatah lainnya, epitel kornea bertukar sendiri dengan turn over normal 5-7 hari. Setelah luka, diyakini bahwa stem sel limbal berimigrasi secara sentral dan berdiferensiasi ke dalam sel yang mampu berganti dengan sangat cepat, sel-sel ini dapat tumbuh kembali dan mengisi defek ( pertama secara sentripetal, dan akhirnya mengisi area defek dengan bergerak dari lapisan basal kelapisan yang lebih superfisial dari epitel ).20

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan.20

Trauma kornea lain disebabkan oleh bahan kimiawi. Kebanyakan kasus luka kimia pada mata relatif sedikit dan mudah diobati. Kadang-kadang bahan basa dan asam bisa mengakibatkan kerusakan okular yang parah dan kehilangan penglihatan yang permanen, tapi biasanya terjadi hanya pada kerusakan jaringan yang minor dan jarang mengakibatkan kehilangan penglihatan permanen.20

Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral biasanya di limbus. Trauma pada mata juga sering menimbulkan hipema yang menyebabkan timbulnya Corneal Staining.7

8. Tumor Kornea

Tumor primer kornea jarang, kebanyakan jinak atau masa kornea potensial ganas terjadi sebagai akibat dari tumor konjunctiva atau tumor limbal yang secara sekunder mempengaruhi epitel atau stroma kornea. Masa yang paling sering didapat di limbus


(26)

adalah Pterygium, Pseudopterygium, Karsinoma sel skuamosa konjunctiva, Melanoma konjunctiva dan karsinoma sebasea.20

Mengingat bahwa angka kebutaan nasional yang tinggi 1,5% yang sudah menjadi masalah sosial (WHO), pemerintah Indonesia telah menyambut baik program Vision 2020 Right to Sight dan telah dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 15 Februari 2000. Inti dari program tersebut mewujudkan hak setiap warga negara untuk memperoleh penglihatan pada tahun 2020, sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia. Untuk itu peneliti merasa perlu dilakukan pemetaan penyebab kebutaan disetiap daerah. Oleh karena keterbatasan, peneliti hanya meneliti kebutaan oleh karena kelainan kornea.

2.2 STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN TAPANULI

SELATAN

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu daerah yang berada dikawasan dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan berada 00101- 10 501 Lintang Utara, 980501 – 1000101 Bujur Timur dan 0 – 1.915 m dari permukaan laut.22

Kabupaten Tapanuli Selatan menempati area seluas 12.261,55 km2 yang terdiri dari 12 kecamatan dan 503 desa. Area Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Madina, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia dan Kabupaten Madina, dan disebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu. Berdasarkan luas daerah


(27)

menurut kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, luas daerah terbesar adalah kecamatan Sipirok dengan luas 577,18 km2 atau 13,22 persen diikuti Kecamatan Sayurmatinggi dengan luas 519,60 km2 atau 11,90 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kecamatan Arse dengan luas 143,67 km2 atau 3,29 persen dari total luas wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.22

Seperti umumnya daerah-daerah lain yang berada di kawasan Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan termasuk daerah beriklim tropis, sehingga seperti kebanyakan Kabupaten lain di Sumatera Utara memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Jumlah Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan hingga keadaan 30 Juni 2007 berjumlah 261.781 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 59,94 jiwa per km. Perkembangan jumlah penduduk tahun 2005, 2006, 2007 berkisar 261.664, 266.477, 261.781 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 adalah sebesar 1,83 %.22

Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah satu Rumah Sakit Umum (RSU) milik Pemerintah. Sedangkan Puskesmas yang ada berjumlah 16 unit yang disertai Puskesmas Pembantu 57 unit dan Posyandu 547 unit yang tersebar ditiap Kecamatan.22

Tenaga medis yang tersedia di Kabupaten Tapanuli Selatan baik negeri maupun swasta ada 43 Dokter Umum, 10 Dokter Gigi dan 1 Dokter Spesialis. Khusus pelayanan mata belum ada Dokter Spesialis Mata.22


(28)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEPSIONAL

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan, maka kerangka konsep digambarkan sebagai berikut : n sebagai berikut :

KELAINAN PERMUKAAN OKULER INFEKSI IMUNOLOGI KONGENTAL DISTROFI KELAINAN METABOLIK DEGENERASI

TOKSIK & TRAUMA

SOSIAL BUDAYA GEOGRAFI

BUTA KELAINAN

KORNEA

TUMOR SARANA & PRASARANA SUMBER DAYA/ TENAGA KESEHATAN


(29)

3.2DEFENISI OPERASIONAL

3.2.1 Kebutaan kelainan kornea adalah penderita kelainan kornea dengan tajam penglihatan terbaik pada kedua mata < 3/60.

3.2.2 Geografi adalah kondisi alam apakah mudah / sulit dijangkau dari sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan

3.2.3 Sumber Daya Manusia adalah tenaga ahli khususnya Dokter Spesialis Mata dan Perawat Mahir Mata yang tersedia.

3.2.4 Sarana dan prasarana kesehatan adalah ketersediaan Rumah Sakit Pemerintah dan alat-alat bedah mata

3.2.5 Kelainan permukaan okular, infeksi, imunologi, kongenital, distrofi, kelainan metabolik, degenerasi, toksis, trauma dan tumor adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap kelainan kornea


(30)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan cross-sectional atau potong lintang yang bersifat deskriptif.

4.2 TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan penentuan sampel secara purposive

4.3 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Tapanuli Selatan yang sesuai dengan kriteria penelitian, selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh masyarakat desa dan dusun di wilayah kerja Puskesmas tersebut secara purposive.

4.4 BESAR SAMPEL

Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Tapanuli Selatan, maka sampel diambil dari 6 kecamatan yang terpilih.

Besarnya sampel adalah jumlah penduduk dari 6 kecamatan yang terpilih yang dianggap mewakili satu Kabupaten yang ada di wilayah kerja, jumlah sampel yang akan diambil, dihitung dengan rumus Stratified Random dengan Proportional Allocation Methode yaitu :


(31)

N . Z

2

б

c

2

n

=

NG

2

M

2

+ Z

2

б

c

2

Dimana : n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam Penelitian ini.. .

N = Jumlah populasi

Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung Pada nilai α = 0,05, nilai Zc = 1,96.

бc2 = Varians populasi

∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2.P. ∑ai. Mi + P2 . ∑ mi2 =

n - 1 n - 1

P = Proporsi kornea mata = ∑ ai ∑ mi

G = galat pendugaan, diasumsikan 1 %.

M = Rerata kejadian buta kornea mata = mi

n

Untuk menentukan jumlah sampel untuk masing-masing wilayah kerja Puskesmas dihitung dengan rumus : nh =

N n Nh


(32)

Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :

бc2 = Varians populasi

∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2.P. ∑ai. Mi + P2 . ∑ mi2 = n -1 n -1

= 19345,13849

P = Proporsi kornea mata = ∑ ai

∑ mi

= 0,1

M = mi

n = 968,538

mi = jumlah kebutaan secara nasional = 1,5 %

ai = jumlah kebutaan akibat kelainan kornea = 0.10 %

Distribusi Penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan

Kecamatan Jumlah Penduduk Jumlah Kebutaan (mi) Banyak Buta Kornea (ai)

mi x mi ai x ai ai x mi

Jumlah Sampel

G=3%

Angkola Barat 47087 706 71 498436 4984 49844 13

Sayurmatinggi 36733 551 55 303601 3036 30360 10

Batang Angkola 30771 462 46 213444 2134 21344 8

Sipirok 30494 457 46 208849 2088 20885 8

Batang Toru 25918 389 39 151321 1513 15132 7

Angkola Timur 23548 353 35 124609 1246 12461 6

194551 2918 292 1500260 15003 150026 53


(33)

4.5 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI

Kriteria inklusi :

- Semua penderita kelainan kornea dengan tajam penglihatan <3/60 pada satu atau dua mata dan dijumpai kekeruhan kornea pada satu atau kedua mata

- Usia penderita > 5 tahun Kriteria eksklusi :

- Penderita kelainan kornea dengan tajam penglihatan > 3/60 pada satu atau kedua mata

- Penderita kelainan kornea yang bersamaan dengan penyakit kebutaan lainnya - Usia penderita < 5 tahun

4.6 IDENTIFIKASI VARIABEL

- Variabel terikat adalah :

ƒ buta kornea - Variabel bebas adalah :

ƒ Infeksi kornea

ƒ Kongenital

ƒ Imunologi

ƒ Distrofi kornea

ƒ Kelainan Metabolik

ƒ Degenerasi kornea

ƒ Toksik dan trauma


(34)

ƒ Sosio ekonomi

ƒ Budaya

ƒ Geografi

4.7 BAHAN DAN ALAT

1. Pensil 2. Penghapus

3. Kertas Kwesioner 4. Senter

5. Loop

6. Mydriatil 1% tetes mata 7. Fenicol 15 tetes mata 8. Kapas

9. Alkohol

10.Tono meter Schioltz 11.Pantocain 0,5% tetes mata

4.8 JALANNYA PENELITIAN DAN CARA KERJA

Untuk mengumpulkan data akan digunakan suatu formulir kwesioner dimana berisi karakteristik dari sampel, sarana dan prasarana di daerah penelitian. Daerah penelitian untuk suatu Kabupaten akan diwakili oleh seluruh Kecamatan berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan. Peneliti akan mengunjungi seluruh unit Pelayanan Kesehatan di wilayah peneliti yang terdiri dari Puskesmas Induk, Puskesmas Pembantu, Bidan Desa dan fasilitas Kesehatan Swasta. Kemudian peneliti akan memberikan informasi kepada


(35)

Dokter Umum / Perawat / Bidan yang bertugas di wilayah peneliti dan tentang cara pengisian formulir kwesioner mengenai data pasien kelainan kornea yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan, lalu penderita kelainan kornea dikumpulkan pada suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian peneliti akan memeriksa sampel secara langsung. Peneliti akan tinggal di wilayah penelitian sampai seluruh sampel yang telah mengisi formulir kwesioner diperiksa. Data akan disimpan dan dikomputerisasi dengan menggunakan software Mikrosoft Excel.

4.9 ANALISA DATA

Analisa Data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi data.

4.10 LAMA PENELITIAN

Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah ini :

Minggu Mei 09 Juni 09 Juli 09 Februari 10

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Usulan

Penelitian

Penelitian . Penyusunan

Laporan


(36)

4.11 PERSONALIA PENELITIAN

Peneliti : dr. Iskandar Mirza Bahar Pembantu penelitian : dr. Herman

dr. Lesus Eko Sakti dr. Herna Hutasoit dr. Fitria Aldy dr. Muhammad dr. Hasnawati

Pegawai Puskesmas Kabupaten Tapanuli Selatan Aparat Desa Setempat.

4.12 PERTIMBANGAN ETIKA

1. Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan.

2. Penelitian ini melibatkan langsung pasien kelainan kornea yang ada di wilayah penelitian sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk tembusan surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta Aparat Desa setempat.

4.13 BIAYA PENELITIAN


(37)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 29 Juni 2009 sampai dengan 31 Juli 2009 pada 6 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah penduduk sebagai responden yang diperiksa sebanyak 29332 orang, didapati penderita yang mengalami kebutaan sebanyak 360 orang.

Jumlah penduduk yang diperiksa atau sampel yang didapat dari 6 kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu : Kecamatan Angkola Barat : 22 jiwa, Kecamatan Sayurmatinggi : 103 Jiwa, Kecamatan Batang Angkola : 99 jiwa, Kecamatan Sipirok : 43 jiwa, Kecamatan Batang Toru : 30 jiwa, Kecamatan Angkola Timur : 63 jiwa.

Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan rumus Cluster dengan cara Propositional Allocation methode.


(38)

5.1 DATA UMUM SAMPEL

a. Usia dan Jenis kelamin

Tabel 5.2. Distribusi sampel Kebutaan Kelainan Kornea berdasarkan usia dan jenis kelamin.

UMUR (tahun)

Laki – laki (orang)

Perempuan (orang)

Jumlah (orang)

Persentase

(%)

< 10 4 2 6 1,67

10 – 20 10 12 22 6,11

21 – 30 5 4 9 2,50

31 – 40 11 15 26 7,22

41 – 50 12 14 26 7,22

51 – 60 16 49 65 18,06

61 – 70 22 89 111 30,83

71 – 80 22 55 77 21,39

> 80 2 16 18 5,00

Jumlah 104 256 360 100,0

Dari hasil tabel 5.2 menunjukkan bahwa penduduk terbanyak adalah usia 61 - – 70 tahun yaitu 30,83% Selanjutnya usia 71-80 tahun 21,39%, usia 51-60 tahun 18,,06%, usia 31-40 tahun 7,22%, usia 41-50 tahun 7,22% dan seterusnya.

Berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 104 orang (28,89%) dan perempuan sebanyak 256 orang (71,11 %).


(39)

b. Tingkat Pendidikan

Tabel 5.3 Sebaran penduduk yang diperiksa berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah

( orang ) Persentase

Tidak sekolah 63 17,50

SD 226 62,78

SMP 40 11,11

SMU 30 8,33

Akademi / PT 1 0,28

Jumlah 360 100.0

Hasil Tabel 5.3. tingkat pendidikan terbanyak adalah SD sebanyak 62,78%, selanjutnya tidak sekolah 17,50%, SMP 11,11%, SMU 8,33%, dan akademi 0,28%.

c. Pekerjaan

Tabel 5.4. Sebaran penduduk berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Jumlah

(orang ) Persentase

Petani 251 69,72

Dagang/wiraswasta 35 9,72

Pegawai 5 1,39

Ibu Rumah Tangga 25 6,95

Pengemudi 3 0,83

Lainnya 41 11,39

Jumlah 360 100,0

Dari hasil tabel 5.4 menunjukkan urutan terbanyak adalah Petani yaitu 69,72%, selanjutnya lain- lain 11,39%, Dagang/wiraswasta 9,72%, Ibu Rumah Tangga 6,95%, Pegawai 1,39%, dan Pengemudi 0,83%, Pekerjaan lain-lain dimaksudkan adalah ikut


(40)

d. Suku

Tabel 5.5. Sebaran penduduk berdasarkan suku

Pekerjaan Jumlah

(orang ) Persentase

Melayu 1 0,28

Batak 117 32,50

Jawa 5 1,39

Mandailing 232 64,44

Minamg 5 1,39

Jumlah 360 100,0

Hasil penelitian pada Tabel 5.5. menunjukkan sebagian besar responder yang diperiksa sukunya adalah Mandailing 64,44%, hal ini disebabkan bahwa suku Mandailing adalah penduduk asli di Kabupaten Tapanuli Selatan

5.2. PESERTA PENELITIAN

Dari penduduk yang diperiksa sebanyak 29332 orang didapati penderita kebutaan kelainan kornea dua mata yang merupakan tujuan utama penelitian sejumlah 4 orang. Penderita kebutaan satu mata didapati sebanyak 39 orang.


(41)

A. Karakteristik Peserta Penelitian

1. Usia

Tabel 5.6. Sebaran Kebutaan Kelainan Kornea berdasarkan usia

Dua mata Satu Mata Usia

tahun ) N

(orang) %

N

(orang) %

0-20 - - 9 20,00

21-40 1 1 7 15,56

41-60 1 14,3 18 40,00 61 –80 2 57,1 11 24,44

81- - - -

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dari tabel 5.6 ini menunjukkan penderita tertinggi adalah pada usia 61 – 80 tahun yaitu 50% yang mengenai dua mata dan usia 41-60 tahun 40% yang mengenai satu mata.

b.Jenis Kelamin

Tabel 5.7. Sebaran Kebutaan Kelainan Kornea berdasarkan jenis kelamin

Dua Mata Satu Mata

Jenis

Kelamin N (orang)

% N

(orang) %

Laki-laki Perempuan 1 3 25 75 16 29 35,56 64,44

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dari label 5.7 ini menunjukkan bahwa penderita kebutaan kelainan kornea yang mengenai dua mata lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, yaitu 75% dan 25%. Sedangkan pada kebutaan satu mata didapati persentasi perempuan lebih tinggi dari laki-laki yaitu 64,44% dan 35,56%


(42)

a. Pendidikan

Tabel 5.8. Sebaran Kebutaan Kelainan Komea berdasarkan tingkat pendidikan

Dua Mata Satu Mata

Tingkat

Pendidikan N

Orang %

N orang % Tidak sekolah SD SMP SMU

Akademi / PT

- 3 1 - - - 75 25 - - 3 30 7 5 - 6,67 66,67 15,56 11,11 -

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dari tabel 5. 8 ini menunjukkan bahwa penderita kebutaan kelainan kornea terbanyak pada satu mata dan dua mata mempunyai pendidikan terakhir SD..


(43)

b. Pekerjaan

Tabel 5.9. Sebaran Kebutaan Kelainan Komea berdasarkan pekerjaan

Dua Mata Satu Mata

Pekerjaan N

(orang) %

N

(orang) %

Nelayan Buruh Petani Dagang/Wiraswasta Pegawai Ibu RumahTangga Pelajar Pengemudi Lainnya - - 3 - - - 1 - - - - 75 - - - 25 - - - - 29 - - 3 10 - 3 - - 64,44 - - 6,67 22,22 - 6,67

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dari tabel 5.9. didapati pada 2 mata penderita buta karena kelainan komea terbanyak pada petani yaitu 75%, sedangkan buta dengan kelainan kornea pada satu mata terbanyak pada petani yaitu 64,44%.

Selanjutnya pelajar 25% pada dua mata sedangkan satu mata pada pelajar, ibu rumah tangga dan lainnya masing-masing 22,22% dan 6,67%..


(44)

c. Lama Menderita Kebutaan

Tabel 5.10. Sebaran penderita Kebutaan Kelainan Kornea berdasarkan lamanya menderita kebutaan.

Dua Mata Satu Mata

Lama

Menderita N

(orang) %

N

(orang) %

< 1 tahun 1 – 2 tahun

> 2 tahun

- 1 3

- 25 75

4 4 37

8,89 8,89 82,22

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dari tabel 5.10 menunjukkan kebutaan akibat kelainan kornea pada kedua mata terbanyak setelah diderita selama lebih dari 2 tahun yaitu 75%, sedangkan pada kebutaan satu mata yang terbanyak juga setelah menderita selama lebih dari 2 tahun yaitu 82,22%.


(45)

d. Penyebab Kebutaan Kelainan Kornea

Tabel 5.11.1 Sebaran penderita Kebutaan Kelainan Kornea berdasarkan penyebab kelainan kornea.

Dua Mata Satu Mata

Penyebab N

(orang) %

N

(orang) %

Kelainan permukaan okuler dan infeksi

Imunologi Kongenital

Distrofi dan kelainan.metabolik Degenerasi

Toksik dan Trauma Tumor 3 - - 1 - - - 75 - - 25 - - - 36 - 1 2 6 - - 80 - 2,22 4,44 13,33 - -

Jumlah 4 100,0 45 100,0

Dan Tabel 5.11.1 ini menunjukkan bahwa penderitan kebutaan kelainan kornea pada kedua mata dan satu mata terbanyak akibat kelainan permukaan okuler dan infeksi yaitu masing-masing 75% dan 80%.


(46)

g. Tabel Estimasi Kebutaan kornea di Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan Estimasi pada CI 95%

( Batas bawah ; Batas atas )

Prevalensi Kebutaan Kornea

4/29332 x 100% = 0,014 % ( 0,0005 % – 0,00001% )

Prevalensi Kebutaan Kornea

4/155 x 100% = 2,58%

5.3 PREVALANSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA

Kebutaan akibat kelainan kornea dari 360 orang sampel dijumpai sebanyak 4 orang pada kedua mata. Prevalensi kebutaan didapatkan dengan rumus jumlah penderita dibagi jumlah sampel dikali dengan 100%, sehingga didapat prevalensi kebutaan kornea untuk Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 0,014%.


(47)

BAB VI

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kebutaan oleh karena kelainan kornea. Sebagai latar belakang untuk melakukan penelitian ini adalah terdapatnya angka kebutaan yang sudah menjadi masalah sosial (menurut WHO) seperti yang telah dibahas didepan, adanya Program Vision 2020 Right to Sight yang intinya membahas masalah Warga Negara berhak memperoleh penglihatan optimal 2020 yang telah ditanggapi Pemerintah Indonesia dalam pencanangan vision 2020 Right to Sight oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tanggal 15 Februari 2000. Hasil yang didapat akan menjadi dasar untuk menentukan langkah yang diambil dalam menurunkan angka kebutaan ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat persentase kebutaan kelainan kornea yang lebih rendah dari angka Nasional yakni 0,014%, sedangkan angka Nasional adalah 0,10%. Hal ini dikarenakan penduduk Kabupaten kebanyakan yang bekerja diluar rumah tidak menggunakan kacamata pelindung sewaktu panen padi, juga karena tingkat pengetahuan tentang kesehatan mata sangat rendah. Kebiasaan menggunakan pengobatan tradisional juga tidak bisa dikesampingkan penyebab peningkatan ini. Penelitian dilakukan dengan metode survei dengan pendekatan cross-sectional atau potong lintang yang bersifat deskriptif tanpa analisa uji statistik.

Besar sampel yang diteliti dihitung dengan rumus Stratified Random Sampling dengan Proportional Allocation Method, sampel minimal agar penelitian representatip dengan galat penduga 3% berjurnlah 29332 orang.


(48)

Dari tabel 5.2. terlihat distribusi seluruh penduduk yang diperiksa menunjukkan bahwa umur responden berdistribusi tidak normal yaitu cenderung ke arah kiri (ke arah umur tua) dengan rata-rata umur lebih dari 28 tahun.

Dari tabel 5.3. didapati tingkat pendidikan terakhir terbanyak adalah SD sebanyak 62,78%, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan penduduk belum mencapai sasaran Nasional yang menetapkan pendidikan dasar 9 tahun. Hal ini akan berhubungan dengan kesadaran penduduk akan kesehatannya.

Tabel 5.4. menunjukkan penduduk yang diperiksa tidak bekerja menduduki urutan 2 (11,39%) terbanyak setelah petani (69,72%). Dari hasil ini diketahui bahwa penduduk tidak produktip yang masih tergantung secara finansial dari kelompok produktif Hasil wawancara kepada kepala keluarga dengan panduan kwesioner didapatkan sebagian besar sampel memperoleh penghasilan <500.000 rupiah setiap bulannya.

Tabel 5.6 penderita yang buta kelainan kornea tertinggi pada usia 61 - 80 tahun yaitu 50%, namun mereka rata-rata telah mengalami kebutan >2 tahun bahkan ada yang sudah mengalami kebutaan 30 tahun. Hal ini terjadi dikarenakan oleh keengganan untuk diobati, juga karena keyakinan mereka tentang pengobatan tradisionil yang sudah turun temurun. Dan hasil observasi yang kami lakukan bahwa faktor ekonomi juga memegang peranan penting. Ini menunjukkan bahwa mereka sudah lama tidak bekerja optimal. (Lihat lampiran tabel data induk).

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa kebutaan kelainan kornea mayoritas adalah perempuan (75%) hal ini mungkin dikarenakan hubungan dengan pekerjaan, dimana masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan perempuan lebih aktif dibanding laki-laki.


(49)

Tabel 5.8 terlihat bahwa tingkat pendidikan terakhir penderita buta kelainan kornea tertinggi adalah SD, ini menunjukkan bahwa tingkat analisa pencegahan penyakit masih rendah.

Tabel 5.9 didapati penderita kebutaan kelainan kornea adalah petani yaitu 75%, berarti mereka terdiri dari kelompok produktip yang secara ekonomi masih rendah

Tabe15.10 menunjukkan bahwa penderita kebutaan kelainan kornea sudah cukup lama >2 tahun, bahkan ada yang sudah mencapai 30 tahun seperti yang telah diterangkan diatas. Rata-rata dari keempat penderita kebutaan ini telah mengalami kebutaan 7,6 tahun. Dari hasil pengamatan kami , lamanya kebutaan yang terjadi diakibatkan oleh tingkat ekonomi yang masih rendah, pemahaman tentang kesehatan mata yang masih rendah serta ketidakmauan untuk melakukan pengobatan.

Tabel 5.11 terdapat 75% akibat mengalami infeksi, dan distrofi 25%, Dari anamnese yang kami lakukan, pasien kelainan permukaan okuler dan infeksi tidak berobat ke rumah sakit oleh karena budaya dan pengetahuan serta sosio - ekonomi yang rendah. Rata-rata keempat penderita kebutaan kelainan kornea mengobati penyakitnya dengan cara menggabungkan pengobatan antara "Tenaga Kesehatan, tradisionil dan mengobati sendiri dengan ramuan tumbuhan.

Hal ini mereka lakukan karena masih berpikir secara tradisionil yang sudah mereka lakukan sejak dulu kala. Budaya yang salah inilah yang menyebabkan pengobatan mereka tidak optimal.

Pada penelitian ini riwayat penyakit metabolik tidak dibuat dalam bentuk tabel dikarenakan dari hasil wawancara semua penderita tidak ada riwayat penyakit ini.


(50)

DISKUSI

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa banyak penyebab kebutaan kelainan kornea yang teijadi di Kabupaten Tapanuli Selatan dikarenakan faktor budaya yang salah serta sosio - ekonomi yang tidak memadai. Hal inilah yang menjadi tanggung jawab bersama untuk mengatasi kebutaan ini.

Fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki Kabupaten Tapanuli Selatan sudah memadai,dimana untuk Kabupaten Tapanuli Selatan ini tersedia 1 Rumah Sakit Umum Daerah, Puskesmas yang berjumlah 16 unit yang disertai Puskesmas Pembantu 57 unit dan Posyandu 547 unit yang tersebar ditiap Kecamatan, namun sarana ini tidak dapat berjalan dengan baik oleh karena belum memiliki dokter spesialis mata di Kabupaten Tapanuli Selatan sehingga semua Penduduk harus mendapatkan pelayanan khususnya Mata ke Rumah Sakit yang terdapat di Kotamadya Padang Sidempuan.


(51)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Prevalensi kebutaan kelainan kornea Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 0,014 %, sedangkan secara Nasional tahun 1996 adalah 0,10%.

2. Faktor geografi di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

3. Faktor sosio - ekonomi di Kabupaten Tapanuli Selatan masih rendah yang mempunyai peranan terhadap keberhasilan penanggulangan kebutaan kelainan kornea ini.

4. Kebiasaan penduduk berobat mata secara tradisional / pengobatan alternatif di Kabupaten Tapanuli Selatan sangat mempunyai peranan terhadap meningkatnya kebutaan kelainan kornea ini.

5. Faktor Sumber Daya Manusia terutama tenaga kesehatan mata di Kabupaten Tapanuli Selatan masih perlu dimaksimalkan.

6. Sarana dan prasarana kesehatan secara umum cukup memadai namun untuk kesehatan mata tidak ada sehingga perlu menjadi perhatian kita semua.


(52)

SARAN

1. Pemberian kacamata pelindung (kacamata google) saat panen padi sangat menolong untuk menurunkan angka kebutaan kelainan komea di Kabupaten Tapanuli Selatan, melihat hasil terbanyak penyebab kebutaan adalah infeksi.

2. Untuk menurunkan angka kebutaan kelainan kornea ini penyuluhan terhadap masyarakat perlu secara rutin dilakukan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Dasa Wisma, Lembaga Desa, dan sebagainya

3. Pelatihan tenaga kesehatan perlu dilakukan sebagaimana yang telah ditekankan oleh WHO bahwa Sumber Daya Manusia yang terlatih adalah komponen inti dalam pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi kebutaan yang bisa dihilangkan.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 1997 : Unpublished Document Global Initiative for the Elimination to Avoidable Blindness, Public Health Report, 1999, Vol. 114, p.210. 2. Widodo, BA', Dr,SpM, et al, Prevalensi Kebutaan disertai Glaukoma di Kabupaten

Lamongan, dalam - Gondhowiardjo, T.D.,DR,SpM, ed., Ophthalmologica Indonesiana, Journal of the Indonesian Ophthalmologists Association, Vol. 29, No. 1, Jakarta, June 2002, p. 86.

3. World Health Organization, Prevention of Blindness and Deafness, Sept. 1999 , In : http://vvw<v.who. int. !noncommunicable diseases/about/pbd/en/print.html

4. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - The Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness, Feb. 2000, In

http://www.who.intlmediacentre/factsheets/fs213/en/print.html

5. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Human Resource Development, The Global Initiative for the elimination of Avoidable Blindness, Feb.2000, In: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs215/en/print.html

6. Departemen Kesehatan RI, Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan untuk Puskesmas, 1992.

7. American Academy of Ophthalmology, External Disease and Cornea, Basic and Clinical Science Course 2002-2003, Section 8, p.75, 85, 107-8, 189-90, 269, 274-80, 295, 328-36, 341, 372.

8. Depkes RI, Ditjen Binkesmas, Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, 1993-1996, 12 -- 7.


(54)

9. Khurana, AK, Community Ophthalmology Textbook of Ophthalmology, New Age International (P) Limited, Publishers, New Delhi, 1998, p. 349.

10. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 -- Control of Major Blinding Diseases and Disorders, Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness, Feb. 2000, In:

http://www.who.intlmediacentre/factsheets/fs214/en/print_html

11. Sumatera Utara dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 12. American Academy of Ophthalmology, International Ophthalmology, Basic and

Clinical Science Course 2002-2003, Section 13, p. 135,145, 203 -- 23.

13. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Blindness in Western Pasific, The Global Initiative for the elimination of Avoidable Blindness, Sept. 1999, In : http://www.who.indmediacentre/factsheets/fs229/en/print.html

14. Mahmud, MD, dkk, Penyakit-penyakit Cornea, dalam : Cornea, Bahagian Mata Faked USU.

15. American Academy of Ophthalmology, Fundamentals and Principles of Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course 2002-2003, Section 2, p. 45. 16. Tsan, R,Dr. SpM., Marsetio,M.Pro£ Dr.SpM., Efek CMCS 0,5% pada Penderita

Mata Kering, dalam : Gondhowiardjo, T.D.,DR,SpM, ed., Ophthalmologica Indonesiana, Journal of the Indonesian Ophthalmologists Association, Vol. 30, No. 1, Jakarta, June 2003, p. 340.

17. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Blindness as a Public Health Problem in China, The Global Initiative for the elimination of Avoidable Blindness,


(55)

18. Sept. 1999, In : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs230/en/print.html

19. World Health Organization, Programme for the Prevention of Blindness and Deafness, Informal Consultation on Analysis of Blindness Prevention Ouicomcs, Geneva, 16 - 18 Februari ,1997, p.7.

20. World Health Organization, Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness,1997, p. 14, 16.

21. Smolin, G, Thoft, RA, ed., The Cornea, Scientific Foundation and Clinical Practice, Little, Brown and Company, Boston/Toronto, 1987, p. 465, 428, 527, 499.

22. Khurana, AK, Textbook of Ophthalmology, New Age International (P) Limited, Publishers, New Delhi, 1998, p. 146.

23. Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Tapanuli Selatan 2008


(56)

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...

Umur : ...

Pekerjaan : ...

Alamat : ...

Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian PREVALENSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN. Dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.

Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat tanpa paksaan siapapun.

Tapanuli Selatan, ... 2009 Yang memberi persetujuan


(57)

Lampiran-2 Lampiran-2

SURVEY PREVALENSI KEBUTAAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2009


(1)

SARAN

1. Pemberian kacamata pelindung (kacamata google) saat panen padi sangat menolong

untuk menurunkan angka kebutaan kelainan komea di Kabupaten Tapanuli Selatan,

melihat hasil terbanyak penyebab kebutaan adalah infeksi.

2. Untuk menurunkan angka kebutaan kelainan kornea ini penyuluhan terhadap

masyarakat perlu secara rutin dilakukan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu,

Posyandu, Dasa Wisma, Lembaga Desa, dan sebagainya

3. Pelatihan tenaga kesehatan perlu dilakukan sebagaimana yang telah ditekankan oleh

WHO bahwa Sumber Daya Manusia yang terlatih adalah komponen inti dalam

pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi kebutaan yang bisa dihilangkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 1997 : Unpublished Document Global Initiative for the

Elimination to Avoidable Blindness, Public Health Report, 1999, Vol. 114, p.210.

2. Widodo, BA', Dr,SpM, et al, Prevalensi Kebutaan disertai Glaukoma di Kabupaten

Lamongan, dalam - Gondhowiardjo, T.D.,DR,SpM, ed., Ophthalmologica

Indonesiana, Journal of the Indonesian Ophthalmologists Association, Vol. 29, No.

1, Jakarta, June 2002, p. 86.

3. World Health Organization, Prevention of Blindness and Deafness, Sept. 1999 , In :

http://vvw<v.who. int. !noncommunicable diseases/about/pbd/en/print.html

4. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - The Global Initiative for the

Elimination of Avoidable Blindness, Feb. 2000, In

http://www.who.intlmediacentre/factsheets/fs213/en/print.html

5. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Human Resource

Development, The Global Initiative for the elimination of Avoidable Blindness,

Feb.2000, In: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs215/en/print.html

6. Departemen Kesehatan RI, Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan

Kebutaan untuk Puskesmas, 1992.

7. American Academy of Ophthalmology, External Disease and Cornea, Basic and

Clinical Science Course 2002-2003, Section 8, p.75, 85, 107-8, 189-90, 269,

274-80, 295, 328-36, 341, 372.

8. Depkes RI, Ditjen Binkesmas, Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan


(3)

9. Khurana, AK, Community Ophthalmology Textbook of Ophthalmology, New Age

International (P) Limited, Publishers, New Delhi, 1998, p. 349.

10. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 -- Control of Major Blinding

Diseases and Disorders, Global Initiative for the Elimination of Avoidable

Blindness, Feb. 2000, In:

http://www.who.intlmediacentre/factsheets/fs214/en/print_html

11. Sumatera Utara dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

12. American Academy of Ophthalmology, International Ophthalmology, Basic and

Clinical Science Course 2002-2003, Section 13, p. 135,145, 203 -- 23.

13. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Blindness in Western Pasific,

The Global Initiative for the elimination of Avoidable Blindness, Sept. 1999, In :

http://www.who.indmediacentre/factsheets/fs229/en/print.html

14. Mahmud, MD, dkk, Penyakit-penyakit Cornea, dalam : Cornea, Bahagian Mata

Faked USU.

15. American Academy of Ophthalmology, Fundamentals and Principles of

Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course 2002-2003, Section 2, p. 45.

16. Tsan, R,Dr. SpM., Marsetio,M.Pro£ Dr.SpM., Efek CMCS 0,5% pada Penderita

Mata Kering, dalam : Gondhowiardjo, T.D.,DR,SpM, ed., Ophthalmologica

Indonesiana, Journal of the Indonesian Ophthalmologists Association, Vol. 30, No.

1, Jakarta, June 2003, p. 340.

17. World Health Organization, Blindness: Vision 2020 - Blindness as a Public Health


(4)

18. Sept. 1999, In : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs230/en/print.html

19. World Health Organization, Programme for the Prevention of Blindness and Deafness, Informal Consultation on Analysis of Blindness Prevention Ouicomcs, Geneva, 16 - 18 Februari ,1997, p.7.

20. World Health Organization, Global Initiative for the Elimination of Avoidable

Blindness,1997, p. 14, 16.

21. Smolin, G, Thoft, RA, ed., The Cornea, Scientific Foundation and Clinical Practice,

Little, Brown and Company, Boston/Toronto, 1987, p. 465, 428, 527, 499.

22. Khurana, AK, Textbook of Ophthalmology, New Age International (P) Limited,

Publishers, New Delhi, 1998, p. 146.

23. Kabupaten Tapanuli Selatan Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten

Tapanuli Selatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Tapanuli

Selatan 2008


(5)

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...

Umur : ...

Pekerjaan : ...

Alamat : ...

Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian PREVALENSI KEBUTAAN KELAINAN KORNEA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN. Dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.

Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat tanpa paksaan siapapun.

Tapanuli Selatan, ... 2009

Yang memberi persetujuan


(6)

Lampiran-2 Lampiran-2

SURVEY PREVALENSI KEBUTAAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2009