Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi Di Kabupaten Langkat

(1)

PREVALENSI KEBUTAAN

AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

DI KABUPATEN LANGKAT

TESIS

DOKTER SPESIALIS MATA

Oleh:

Dr. Cut Nori Altika Renardi

Departemen Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun 1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi, kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari.1,2

Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter.1,2

Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat table 1.1 ).1


(3)

Tabel 1.1. Klasifikasi rekomendasi WHO-ICD 2007 terhadap gangguan penglihatan.1

Presenting Distance Visual Acuity

Category of Visual Impaiment Level of Visual Acuity ( Snellen )

Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18

Low Vision

1. Less than 6 / 18 to 6 / 60 2. Less than 6 / 60 to 3 / 60

Blindness

1. Less than 3 / 60 (Finger Counting at 3 m) to 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m ) or Visual field between 5 – 10.

2. Less than 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m ) to light perception or visual field less than 5 3. No light perception

Undang – undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan indra penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kwalitas kehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir batin.5

Di negara berkembang di seluruh dunia selain masalah sosial dan ekonomi, maka kebutaan masih merupakan masalah yang besar. Pada tahun 1990, WHO memperkirakan prevalensi kebutaan berkisar antara 0,3%-0,7%, dan angka ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Beberapa Penelitian epidemiologi melaporkan prevalensi angka kebutaan bilateral di negara berkembang di Asia berkisar 0,4% dan kebutaan unilateral berkisar 2,6 %.6


(4)

Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996, sebesar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%), Glaukoma (0,20%), Kelainan Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan Kelainan Kornea (0,10%). Kebutaan karena katarak kejadiannya diperkirakan 0,1% (sekitar 210.000 orang) per tahun.7,8,9,10

Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata tahun 2004 didapat angka kebutaan sebagai berikut : kebutaan akibat Katarak ( Tanjung Balai 0,37%; Karo 0,41% ), Glaukoma ( Karo 0,094% ), Kelainan Refraksi ( Tanjung Balai 0,09%; Karo 0,12% ), Gangguan Retina ( Tanjung Balai 0,06%; Karo 0,11% ), dan Kelainan Kornea ( Tanjung Balai 0,11%; Karo 0,08% ). Angka-angka yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea.11

Pemeriksaan tajam penglihatan pada seseorang terutama pada anak selama ini banyak menemui kendala, padahal di sisi lain, informasi tentang tajam penglihatan ini sangat penting dalam membantu penegakan diagnosis dan memegang peranan penting dalam analisis fungsi penglihatan.12

Dalam memeriksa tajam penglihatan pada anak selalu didapat kesulitan akibat kurangnya komunikasi antara pemeriksa dengan anak tersebut oleh karena anak-anak belum mampu melakukan kontak dengan baik. Untuk itu diperlukan ketrampilan pemeriksa sehingga pemeriksa mendapat hasil yang baik, walaupun kadang kala selain gangguan indera penglihatan terdapat gangguan indera lain pada anak tersebut.

Kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan yang belum mendapatkan banyak perhatian karena definisi kebutaan refraksi berdasarkan tajam penglihatan terbaik setelah terkoreksi, termasuk defenisi yang digunakan oleh International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Kebutaan akibat kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan terbesar kedua yang dapat diobati setelah katarak.


(5)

Seorang yang mengalami kebutaan, baik pada satu mata maupun pada kedua matanya memerlukan perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak Sosio, Ekonomi dan Psikologi yang akhirnya menjadi beban individu, masyarakat dan negara.

Hal – hal tersebut diatas menjadi latar belakang bagi Peneliti untuk mengetahui prevalensi kebutaan terakhir (2009) akibat kelainan refraksi di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapa angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Langkat pada tahun 2009 dan faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi angka kebutaan kelainan refraksi tersebut.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum

Mendapatkan angka kebutaan akibat kelainan refraksi untuk Kabupaten Langkat dan faktor – faktor yang mempengaruhi kebutaan tersebut.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik geografi Kabupaten Langkat. 2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik sosio – demografi responden atau

penderita kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah Kabupaten Langkat.

3. Untuk mengetahui gambaran kesehatan mata responden di wilayah Kabupaten Langkat.

4. Untuk mengetahui gambaran budaya di wilayah Kabupaten Langkat.

5. Untuk mengetahui gambaran sarana dan prasarana kesehatan mata di Kabupaten Langkat.


(6)

6. Untuk mengetahui gambaran kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah Kabupaten Langkat.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Dengan Penelitian ini, akan didapat angka prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di wilayah Kabupaten Langkat.

1.4.2. Dapat dibuat kebijakan yang berkaitan dengan penatalaksanaan kebutaan akibat kelainan refraksi serta estimasi proyek kegiatan yang dapat menurunkan angka kebutaan tersebut


(7)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. KERANGKA TEORI

Kelainan refraksi disebut juga “refraksi anomali”, ada 4 macam kelainan refraksi yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

1. Miopia

2. Hipermetropia 3. Astigmatisma 4. Afakia

Ad 1. Miopia

Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan didepan retina. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis minus.

Bentuk dari Miopia menurut penyebabnya 13,14,15,16,17,18,19,20:

1.1. Miopia aksial

Diameter antero-posterior dari bola mata lebih panjang dari normal, walaupun kornea dan kurvatura lensa normal dan lensa dalam posisi anatominya normal. Miopia dalam bentuk ini dijumpai pada proptosis sebagai hasil dari tidak normalnya besar segmen anterior, peripapillary myopic crescent dan exaggerated cincin skleral, dan


(8)

1.2. Miopia kurvatura

Mata memiliki diameter antero-posterior normal, tetapi kelengkungan dari kornea lebih curam dari rata-rata, missal : pembawaan sejak lahir atau keratokonus, atau kelengkungan lensa bertambah seperti pada hiperglikemia sedang ataupun berat, yang menyebabkan lensa membesar.

1.3. Miopia karena peningkatan indeks refraksi

Peningkatan indeks refraksi daripada lensa berhubungan dengan permulaan dini atau moderate dari katarak nuklear sklerotik. Merupakan penyebab umum terjadinya

Miopia pada usia tua. Perubahan kekerasan lensa meningkatkan indeks refraksi, dengan demikian membuat mata menjadi myopik.

1.4. Miopia karena pergerakan lensa ke anterior

Keadaan ini sering terlihat setelah operasi glaukoma dan akan meningkatkan miopia pada mata.

Ad 2. Hipermetropia

Hipermetropia (hyperopia) atau ‘Far – sightedness’ adalah suatu kelainan refraksi

daripada mata dimana sinar – sinar yang berjalan sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan dibelakang retina, oleh karena itu bayangan yang dihasilkan kabur. Untuk mengoreksinya dipakai lensa sferis plus.

Struktur Hipermetropia berdasarkan pada konfigurasi anatomi dari bola mata :

2.1. Hipermetropia Aksial

Bola mata lebih pendek dari normal pada diameter antero-posterior, meskipun media refraksi (misalnya lensa atau kornea) normal.


(9)

2.2. Hipermetropia kurvatura

Keadaan dimana kelengkungan lensa atau kornea lebih tipis dari normal dan power refraksinya turun. Sekitar setiap 1 mm penurunan dari radius kelengkungan tersebut menghasilkan Hipermetropia 6 D

2.3. Hipermetropia indeks refraksi

Terjadi penurunan indeks refraksi akibat penurunan dari densitas beberapa atau seluruh bagian dari system optik mata, juga penurunan power refraksi mata. Biasanya terjadi pada usia tua dan juga pada penderita diabetes terkontrol.

Ad 3. Astigmatisma

Astigmatisma adalah suatu kondisi dengan kurvatura yang berlainan sepanjang meridian yang berbeda-beda pada satu atau lebih permukaan refraktif mata ( kornea, permukaan anterior atau posterior dari lensa mata ), akibatnya pantulan cahaya dari suatu sumber atau titik cahaya tidak terfokus pada satu titik di retina.

Pada astigmatisma, karena adanya variasi dari lengkungan kornea atau lensa pada meridian yang berbeda-beda mencegah berkas sinar itu memfokuskan diri kesatu titik.

Jenis-jenis Astigmatisma

3.1. Astigmatisma Reguler

Secara teori, pada setiap titik pada permukaan yang lengkung, arah dari kelengkungan yang terbesar dan yang terkecil selalu terpisah 90 derajat tetapi arah ini bias beribah saat melewati satu titik ke titik yang lain. Bila meridian utama dari astigmatisma mempunyai orientasi yang konstan pada setiap titik yang melewati pupil dan apabila ukuran astigmatisma ini sama pada setiap titik. Kondisi refraktif ini dikenal sebagai astigmatisma regular. Dan ini bisa dikoreksi dengan kacamata lensa silindris.


(10)

Berdasarkan axis dan sudut antara 2 meridian utama, astigmatisma reguler dibagi atas: 3.1.1. Horizonto-vertikal astigmatisma

Dibagi dalam 2 bentuk :

3.1.1.1. Astigmatisma with the rule

Suatu astigmatisma dimana meridian vertical lebih curam dari horizontal, dikoreksi dengan lensa silindris positif dengan axis 9020 atau lensa silindris negatif dengan axis 18020.

3.1.1.2. Astigmatisma against the rule

Suatu astigmatisma dimana meridian horizontalnya lebih curam dari meridian vertical. Koreksinya dengan lensa silindris positif dengan axis 18020 atau lensa silindris negatif dengan axis 9020.

3.1.2. Astigmatisma oblique

Suatu bentuk regular astigmatisma dimana garis meridian utamanya tidak tegak lurus tapi miring dengan axis 45 dan 135.

Tipe Refraktif Dari Astigmatisma Reguler

Bergantung pada posisi dari 2 garis fokus yang berhubungan ke retina, astigmatisma regular lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe :

3.1.1. Simple astigmatisma

Berkas cahaya pada satu meridian terfokus tepat did retina, dan cahaya pada meridian yang lain terfokus pada titik didepan retina disebut simple myopic astigmatisma. Jika cahaya itu terfokus dibelakang retina disebut simple hypermetropic astigmatisma. Contoh : C – 2 x 90 atau C  2 x 90.


(11)

3.1.2. Compound astigmatisma

Pada jenis ini, berkas cahaya pada kedua meridian terfokus didepan retina disebut astigmatisma Miopia compound dan jika terfokus dibelakang retina disebut astigmatisma Hipermetropia compound.

Contoh : S  4, C  2 x 90 atau S  4, C  2 x 90 3.1.3. Mixed astigmatisma

Pada jenis ini berkas cahaya pada satu meridian terfokus pada titik di depan retina dan cahaya pada meridian yang lain terfokus di belakang retina.

Contoh : S  4, C  2 x 90 atau S  4, C  2 x 90

3.2. Astigmatisma Irregular

Suatu astigmatisma dimana sinar-sinar sejajar dengan garis pandang dibias tidak teratur. Astigmatisma irregular ini bersifat / mempunyai perubahan-perubahan irregular dari tenaga refraksinya pada meridian-meridian yang berbeda. Terdapat multi meridian yang tidak dapat dianalisa secara geometris. Lensa silindris hanya sedikit memperbaiki penglihatan dalam kasus-kasus ini, tapi dapat diterapi dengan lensa kontak rigid.

Ad 4. Afakia

Afakia secara literature berarti tidak adanya lensa dalam mata. Afakia akan mengakibatkan Hipermetropia tinggi.

Penyebab :

1. Kongenital.

Suatu keadaan yang jarang dimana lensa tidak ada sejak lahir. 2. Afakia paska operasi.


(12)

( Extra Capsular Cataract Extraction ).

3. Post Traumatik.

Diikuti oleh trauma tumpul atau tembus, yang mengakibatkan subluksasi atau dislokasi dari lensa.

4. Posterior dislokasi dari lensa ke vitreus akan menyebabkan optikal Afakia. Optik Afakia dari mata : perubahan optik terjadi setelah keluarnya lensa.

1. Mata menjadi Hipermetropia tinggi

2. Total power mata berkurang dari  60 D menjadi  44D 3. Fokal poin anterior menjadi 23.2 mm didepan kornea

4. Posterior fokal poin sekitar 31 mm dibelakang kornea atau sekitar 7 mm

dibelakang mata normal ( panjang bola mata anterior-posterior sekitar 24 mm ) Terapi : untuk mengkoreksi Afakia terdiri dari kacamata, kontak lensa, intraokular lensa.

Kelainan refraksi telah dilaporkan sebagai penyebab gangguan penglihatan yang mencolok diberbagai belahan dunia. Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi juga telah dilaporkan terjadi diseluruh dunia, gangguan refraksi ini dapat diterapi, dimana sebagian besar dapat dikoreksi.

Berdasarkan analisis WHO, diperkirakan terdapat 45 juta orang mengalami kebutaan dan 135 juta orang dengan low vision atau terdapat kurang lebih 180 juta orang dengan gangguan penglihatan diseluruh dunia.

Salah satu penyebab kebutaan adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Hal; ini dapat diketahui dari laporan-laporan penelitian mengenai kelainan refraksi. Kelainan refraksi menjadi penyebab kebutaan ( ditandai dengan tajam penglihatan < 20/200 pada mata yang terbaik ) pada 0,3% populasi did Andra Pradesh India. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada usia 40 tahun atau lebih adalah 1,06% di Andra Pradesh India dan 0,11% di Victoria Australia.


(13)

Prevalensi yang tinggi dari gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi atau koreksinya tidak optimal telah dilaporkan dalam 10 tahun terakhir ini dari beberapa penelitian-penelitian survey, seperti Baltimore Eye Survey, The Blue Mountains Eye Study, The Victoria Visual Impairment Project, dan Andra Pradesh Eye Diseases Study.

Sebagian besar penelitian epidemiologi terhadap kelainan refraksi difokuskan pada Miopia, mungkin hal ini disebabkan karena Miopia merupakan penyebab tersering gangguan penglihatan pada kelainan refraksi.

Miopia juga dapat berhubungan dengan kelainan mata yang lain seperti retinal detachment dan myopic retinal degeneration, dimana hal ini dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan.


(14)

2.2. STRUKTUR GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI KABUPATEN LANGKAT.

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3° 14’– 4° 13’ Lintang Utara, 97°52’ – 98° 45’ Bujur Timur dan 4 – 105 m dari permukaan laut. Kabupaten Langkat menempati area seluas ± 6.263,29Km² (626.329 Ha) yang terdiri dari 23 Kecamatan dan 277 Desa serta 34 Kelurahan Definitif. Area Kabupaten Langkat di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo,di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Alas, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Langkat, luas daerah terbesar adalah kecamatan Batang Serangan dengan luas 934,90 km2 atau 14,93persen diikuti kecamatan Bahorok dengan luas 884,79 km2 atau 12,25 persen. Sedangkan luas daerah /terkecil adalah

Kecamatan Binjai dengan luas 49,55 km2 atau 0,79 persen dari total luas wilayah

Kabupaten Langkat.

Seperti umumnya daerah – daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis. Sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu : musim kemarau dan musim hujan.

Berdasarkan Kabupaten Langkat Dalam Angka 2008, Kabupaten Langkat memiliki jumlah penduduk sekitar 1.042.523 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 164,04 jiwa / km2 . Perkembangan jumlah penduduk tahun 2004, 2005, 2006, 2007 berkisar 955.348, 970.433, 1.013.849 dan 1.027.414 dengan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2004 adalah sebesar 7,014 %.

Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Langkat meliputi 3 Rumah Sakit Umum Pemerintahan, 1 Rumah Sakit Umum Swasta. Sementara pada daerah Kecamatan dan


(15)

Pedesaan Kabupaten Langkat pada tahun 2007 ini memiliki sarana kesehatan yang cukup memadai yaitu : 28 buah Puskesmas, 153 Puskesmas pembantu dan 1.256 buah Pos Yandu yang semuanya tersebar di tiap Kecamatan22.

Banyaknya sarana / pelayanan kesehatan menurut Kecamatan

Kecamatan Puskesmas Puskesmas pembantu

Balai Pengobatan

Rumah

Bersalin Pos Yandu

Bahorok 2 7 9 0 22

Salapian 2 11 10 1 25

Sei Bingei 2 10 8 2 16

Kuala 1 7 7 0 18

Selesai 1 10 2 1 13

Binjai 1 4 3 2 7

Stabat 2 9 12 2 10

Wampu 1 8 4 1 13

Batang

Serangan 1 7 4 2 8

Sawit Seberang 1 5 2 0 5

Padang Tualang 1 7 3 0 10

Hinai 1 9 9 1 50

Secanggang 3 10 5 0 15

Tanjung Pura 1 7 2 0 19

Gebang 1 9 2 0 10

Babalan 2 5 7 1 8

Sei Lepan 1 4 1 0 14

Brandan Barat 1 6 7 1 7

Besitang 1 10 11 0 11

Pangkalan Susu 2 8 4 0 17

Serapit

Kutambaru

Pematang Jaya

Jumlah Total 28 153 110 14 260


(16)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL

3.1. KERANGKA KONSEPSIONAL

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan

mengarahkan asumsi mengenai elemen – elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan dalam latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :

KERANGKA KONSEP

SOSIO EKONOMI SUMBER DAYA

MANUSIA

BUDAYA PEMELIHARAAN

KESEHATAN MATA

KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

GEOGRAFI SARANA &

PRASARANA KESEHATAN


(17)

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

- Kebutaan refraksi adalah penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60 dan belum dikoreksi dengan kacamata.

- Sosio ekonomi adalah segala sesuatu mengenai kemampuan daya beli masyarakat dan pemerintah.

- Geografi adalah kondisi alam, apakah mudah / sulit dijangkau dari sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia, dimana hal tersebut akan mempengaruhi cakupan pelayanan kesehatan yang akan diberikan.

- Sumber Daya Manusia adalah tenaga ahli khususnya Dokter Spesialis Mata dan Perawat Refraksionis Mata yang tersedia.

- Sarana dan Prasarana kesehatan mata adalah pengetahuan penderita terhadap penyakit mata yang dideritanya untuk mendapat pelayanan kesehatan.


(18)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN 4.1. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini adalah Penelitian survey dengan pendekatan Cluster atau

pengelompokan yang bersifat deskritif , artinya subjek yang diamati pada saat monitoring biologik dan pengukuran tingkat pengetahuan masyarakat dinilai dengan pengamatan pada saat bersamaan ( transversal ) atau dengan satu kali pengamatan / pengukuran.

4.2. PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat yang merupakan daerah dataran rendah dengan penentuan sampel secara purposive.

4.3. POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Langkat yang sesuai dengan kriteria penelitian, selanjutnya dilakukan pemeriksaan seluruh masyarakat desa dan dusun di wilayah kerja Puskesmas tersebut secara random sampling.

4.4. BESAR SAMPEL

Untuk mendapatkan data yang representatif yang mewakili satu Kabupaten Langkat, maka sampel diambil dari 10 kecamatan yang terpilih.

Besarnya sampel adalah jumlah penduduk dari 10 kecamatan yang terpilih yang dianggap mewakili satu Kabupaten yang ada di wilayah kerja, jumlah sampel yang akan diambil, dihitung dengan rumus Stratified Random dengan Proportional Allocation Methode yaitu :


(19)

Dimana :

n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam penelitian ini.

N = Jumlah populasi

Z = Nilai baku normal dari tebal Z yang besarnya tergantung

Pada nilai α = 0,05, nilai Zc = 1,96.

σ2

c = Varians populasi

= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2P∑aiMi + P2 ∑mi2 n – 1 n – 1

P = Proporsi kebutaan refraksi = ∑ ai

∑ mi

G = Galat pendugaan, diasumsikan 3 %.

M = Rerata kejadian buta refraksi = ∑ mi

n

Dengan demikian, sampel jumlah untuk masing – masing Kecamatan yaitu :

σ2

c = Varians populasi

= ∑ ( ai + P mi )2 = ∑ ai2 – 2 P ∑ai Mi + P2 ∑ mi2 n – 1 n – 1

= 19345,13849

P = Proporsi kelainan refraksi

= ∑ ai

∑ mi = 0,1

M = ∑ mi

N Z

2 2

σ

c

n =


(20)

n = 968,5

mi = jumlah kebutaan secara nasional

= 1,5 %

ai = banyak kebutaan akibat kelainan refraksi = 0.14 %

Tabel 4.5. Dengan demikian sampel masing – masing untuk tiap kecamatan adalah

Kecamatan

*Jumlah penduduk

(Nh)

Jumlah Kebutaan

(mi)

Banyak Kebutaan

(ai)

mi2 ai2 ai x mi G = 3 %

Stabat 82.223 1.248 117 1.557.504 13.689 146.016 12

Hinai 47.077 706 66 498.436 4.356 46.596 7

Secanggang 68.565 1.028 96 1.028.196 9.216 98.688 10 Selesai 68.215 1.023 96 1.046.529 9.216 94.752 10

Kuala 38.429 576 54 331.776 2916 31.104 6

Babalan 63.830 957 89 915.849 7.921 85.173 10

Binjai 41.024 615 57 378.225 3.249 35.055 6

Gebang 47.991 720 67 518.400 4.489 48.240 7

Padang

Tualang 52.930 794 74 630.436 5.476 58.756 8 Salapian 30.770 462 43 213.444 1849 19.866 5 Jumlah 542.054 8.131 911 7.118.795 61.277 664.246 81


(21)

4.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 4.5.1. Kriteria inklusi :

- Semua penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata < 3/60 dan belum dikoreksi dengan kacamata.

- Usia penderita ≥ 5 tahun

- Tekanan intra okuli normal [10-21 mm Hg]

- Tidak dijumpai adanya kelainan di segmen anterior dan posterior mata - Bersedia ikut dalam penelitian

4.5.2. Kriteria eksklusi :

- Penderita kelainan refraksi dengan visus terbaik pada kedua mata > 3/60 dan sudah dikoreksi dengan kaca mata.

- Usia penderita < 5 tahun - Tekanan intra okuli tinggi

- Dijumpai adanya kelainan pada segmen anterior dan posterior mata - Tidak bersedia ikut dalam penelitian

4.6. IDENTIFIKASI VARIABEL

4.6.1. Variabel terikat adalah kebutaan akibat refraksi. 4.6.2. Variabel bebas adalah :

- Sosio ekonomi - Sumber daya manusia

- Budaya - Sarana dan prasarana kesehatan


(22)

4.7. BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Snellen Chart

2. Trial lens set

3. Direct ophthalmoscope

4. Senter

5. Lup

6. Pensil

7. Kertas kwesioner

4.8. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN

Pengumpulan data menggunakan formulir kuisioner yang berisi data karakteristik dari sample, sarana dan prasarana di daerah Penelitian. Daerah Penelitian untuk satu Kabupaten diwakili oleh 10 Kecamatan dengan beberapa Desa terpilih setelah survey pendahuluan. Peneliti akan mengunjungi seluruh unit Pelayanan Kesehatan di wilayah Penelitian yang terdiri dari Puskesmas induk dan Puskesmas pembantu, dengan kerjasama lintas sektoral melalui Kecamatan, Lurah dan Kepala Lingkungan yang berada di wilayah Kotamadya tersebut. Kemudian Peneliti menentukan jadwal pemeriksaan yang sebelumnya berkoordinasi dengan Kepala Puskesmas yang bertugas di wilayah Penelitian, lalu Penderita kelainan refraksi di kumpulkan di Puskesmas pada waktu tertentu, kemudian Peneliti akan memeriksa langsung sampel. Jumlah sampel yang belum mencukupi dilakukan pemeriksaan langsung ke rumah – rumah pada lingkungan yang terpilih dengan di bantu oleh Kepala Lingkungan. Data yang telah terkumpul akan disimpan dan di komputerisasi dengan menggunakan software Microsoft Excel.


(23)

Skema Alur Penelitian

Registrasi Pemeriksaan Visus < 3/60

Skrining kriteria eksklusi

Pemeriksaan Pin Hole

> 3/60 Maju 2-3 meter < 3/60

Kelainan Refraksi

Dilanjutkan peneliti lain yang kebetulan

bersamaan

4.9 LAMA PENELITIAN

Lama penelitian diperkirakan 3 bulan seperti pada tabel di bawah ini :

Bulan Mei ‘09 Juni ‘09 Juli ‘09 Februari ‘10 Minggu M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4

UP Pnl PL Prs

Keterangan : UP = Usulan Penelitian ; Pnl = Penelitian ; PL = Penyusunan Laporan ; Prs = Presentasi

4.10. ANALISA DATA

Analisa data dilakukan secara deskriptif dan di sajikan dalam bentuk tabulasi data.

4.11. PERSONALIA PENELITIAN

Peneliti : Cut Nori Altika Renardi


(24)

4.12. PERTIMBANGAN ETIKA

1. Usulan Penelitian ini terlebih dahulu di setujui oleh Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini kemudian di ajukan untuk disetujui oleh rapat Komite Etika PPKRM Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Inform konsen dan kerahasiaan.

Penelitian ini melibatkan langsung pasien kelainan refraksi yang ada di wilayah Penelitian, sehingga membutuhkan kerjasama lintas sektoral dalam bentuk tembusan surat izin untuk melakukan penelitian kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan Kabupaten / Kotamadya, Puskesmas, Camat, Kepolisian, serta Aparat Desa setempat.

4.13. BIAYA PENELITIAN


(25)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. DATA KEPENDUDUKAN

Penelitian ini berbentuk survei yang dilakukan pada tanggal 13 Juli 2009 sampai dengan 20 Agustus 2009 pada sepuluh kecamatan di Kabupaten Langkat dengan beberapa desa yang terdapat angka kebutaan dengan jumlah penduduk sebanyak 29.500 orang.

Jumlah penduduk yang diperiksa atau sampel yang didapat dari sepuluh kecamatan adalah sebagai berikut, yaitu : Kecamatan Stabat dengan sampel buta 51 orang, Kecamatan Hinai dengan sampel buta 30 orang , Kecamatan Secanggang dengan sampel buta 94 orang, Kecamatan Selesai dengan sampel buta 42 orang, Kecamatan Kuala dengan sampel buta 30 orang, Kecamatan Babalan dengan sampel buta 39 orang, Kecamatan Binjai dengan sampel buta 27 orang, Kecamatan Gebang dengan sampel buta 28 orang, Kecamatan Padang Tualang dengan sampel buta 31 orang, Kecamatan Salapian dengan sampel buta 15 orang.

Hal ini sesuai dengan rumus pengambilan sampel, dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan rumus Cluster dengan cara Propositional Allocation methode.


(26)

5.2. DATA UMUM SAMPEL 5.2.1. Usia.

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan usia.

Umur [Tahun] Laki – laki Perempuan Jumlah [N]

6 – 10 1 3 4

11 – 15 4 3 7

16 – 20 3 5 8

21 – 25 1 4 5

26 – 30 6 2 8

31 – 35 7 6 13

36 – 40 5 3 8

41 – 45 7 8 15

46 – 50 18 25 43

51 – 55 12 16 28

56 – 60 30 35 65

61 – 65 25 27 52

66 – 70 32 35 67

71 – 75 19 7 26

76 – 80 10 13 23

> 80 8 7 15

Total 188 199 387

Dari tabel 5.1 distribusi sampel berdasarkan usia diatas, didapatkan jumlah sampel terbanyak pada usia 66 – 70 tahun yaitu 67 orang. Selanjutnya usia 56 – 60 tahun sebanyak 65 orang dan seterusnya.


(27)

5.2.2. Jenis kelamin

Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin.

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah [N] Persentase [%]

Stabat 24 27 51 13,18

Hinai 18 12 30 7,75

Secanggang 50 44 94 24,29

Selesai 24 18 42 10,85

Kuala 10 20 30 7,75

Babalan 19 20 39 10,08

Binjai 9 18 27 6,98

Gebang 14 14 28 7,23

Padang Tualang 12 19 31 8,01

Salapian 7 8 15 3,88

Total 187 200 387 100

Hasil tabel 5.2. didapatkan sampel berjenis kelamin laki – laki sebanyak 187 orang ( 48,32 % ) dan perempuan sebanyak 200 orang ( 51,68 % ). Maka dari data ini didapatlah jumlah sampel wanita lebih banyak dibanding jumlah sampel laki – laki.

5.2.3. Tingkat Pendidikan

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]

Tidak Sekolah 116 29,97

SD [Sederajat] 191 49,35

SMP [Sederajat] 37 9,56

SMU [Sederajat] 39 10,08

Akademi / PT 4 1,03


(28)

Hasil tabel 5.3. memperlihatkan bahwa sampel yang tidak sekolah sebanyak 116 Orang, SD [Sederajat] 191 orang , SMP [Sederajat] 37 orang, SMU [Sederajat] 39 orang. Akademi / Perguruan Tinggi 4 orang. Sebagian besar tingkat pendidikan sampel adalah sekolah dasar atau yang sederajat.

5.2.4. Jenis pekerjaan

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan.

Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]

Buruh / Karyawan 20 6,97

Petani 204 52,71

Nelayan 5 1,29

Pegawai 21 5,43

Ibu Rumah Tangga 89 23,00

Dagang / wiraswasta 21 5,43

Pelajar 14 3,62

Lainnya 13 3,36

Total 387 100

Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 204 orang atau 52,71 % dan disusul dengan Ibu Rumah Tangga sebanyak 89 orang ( 23,00 % )


(29)

5.2.5. Suku Bangsa.

Tabel 5.5. Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa.

Suku Bangsa Jumlah [N] Persentase [%]

Jawa 223 57,62

Banjar 13 3,36

Melayu 92 23,77

Batak 22 5,69

Lainnya 37 9,56

Total 387 100

Berdasarkan tabel 5.5. diatas tampak bahwa suku Jawa merupakan suku yang terbanyak yang mengalami kebutaan pada 10 Kecamatan yang mewakili Kabupaten Langkat.

5.3. DATA KEBUTAAN AKIBAT KELAINAN REFRAKSI

Karakteristik peserta penelitian kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten Langkat. Dari penduduk yang diperiksa yaitu sebanyak 1180 orang, dengan sampel kebutaan 387 orang didapatkan penderita yang buta akibat kelainan refraksi sebanyak 55 orang.


(30)

5.3.1.Karakteristik peserta penelitian 5.3.1.1. Usia.

Tabel 5.6. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan usia.

Umur [Tahun] Jumlah [N] Persentase [%]

6 – 10 2 3,64

11 – 15 4 7,27

16 – 20 7 12,73

21 – 25 3 5,45

26 – 30 5 9,09

31 – 35 5 9,09

36 – 40 2 3,64

41 – 45 7 12,73

46 – 50 9 16,36

51 – 55 4 7,27

56 – 60 3 5,45

61 – 65 2 3,64

66 – 70 2 3,64

71 – 75 - -

76 – 80 - -

>80 - -

Total 55 100

Pada table diatas tampak 2 orang menderita kebutaan refraksi pada umur 6 – 10 dengan persentase 3,64%, pada usia 11-15 tahun dengan jumlah 4 orang, 7,27%. Usia 16-20 tahun sebanyak 7 orang, 12,72%. Usia 21-25 tahun sebanyak 3 orang, 5,45%. Usia 26-30 tahun terdapat 5 orang, 9,1%. Usia 31-35 tahun sebanyak 5 orang, 9,1%. Usia 36-40 tahun sebanyak 2 orang, 3,6%. Usia 41-45 tahun sebanyak 7 orang, 12,7%. Usia 46-50 tahun sebanyak 9 orang, 16,36%. Usia 51-55 tahun sebanyak 4 orang, 7,27%. Usia 56-60 tahun sebanyak 3 orang, 5,45%. Usia 61-65 tahun sebanyak 2 orang, 3,6%. Usia 66-70 tahun sebanyak 2 orang, 3,6%.


(31)

5.3.1.2. Jenis Kelamin

Tabel 5.7. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Jumlah [N] Persentase [%]

Perempuan 29 52,73

Laki-laki 26 47,27

Total 55 100

Dari table diatas tampak bahwa jenis kelamin pada kebutaan refraksi 29 orang perempuan dan 26 orang laki – laki.

5.3.1.3. Tingkat Pendidikan.

Tabel 5.8. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Tingkat Pendidikan Jumlah [N] Persentase [%]

Tidak Sekolah 2 3,64

SD [Sederajat] 33 60

SMP [Sederajat] 8 14,54

SMU [Sederajat] 12 21,80

Akademi / PT - -

Total 55 100

Pada table diatas tampak penderita kebutaan akibat kelainan refraksi berpendidikan rendah, dengan 60% di SD [Sederajat] dan 14,54 % di SMP [Sederajat], 21,8% di SMU [Sederajat], sedangkan 3,6% tidak sekolah. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan untuk mendapatkan kesehatan yang layak, antara lain mendapatkan penglihatan yang sempurna.


(32)

5.3.1.4. Pekerjaan.

Tabel 5.9. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan pekerjaan.

Pekerjaan Jumlah [N] Persentase [%]

Buruh / Karyawan 7 12,7

Petani 18 32,72

Pegawai 1 1,81

IRT 19 34,54

Pelajar 9 16,36

Lainnya 1 1,81

Total 55 100

Pada tabel diatas tampak 18 orang petani (32,72%) yang menderita kebutaan akibat refraksi, 19orang (34,54) ibu rumah tangga, 9 orang (16,36%) pelajar, 7 orang (12,7%) buruh, 1 orang (1,81%) pegawai, dan 1 orang (1,81%) lainnya.

5.3.1.5. Riwayat keluarga.

Tabel 5.10. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan adanya riwayat keluarga yang memakai kacamata.

Riwayat keluarga berkacamata Jumlah [N] Persentase [%]

Ya 10 18,18

Tidak 44 80

Tidak tau 1 1,81

Total 55 100

Pada table diatas tampak sebagian besar tidak ada riwayat keluarga yang memakai kacamata.


(33)

5.3.1.6. Riwayat tempat berobat [wawancara].

Tabel 5.11. Sebaran kebutaan refraksi berdasarkan riwayat tempat berobat [wawancara].

Riwayat tempat berobat Jumlah [N] Persentase [%]

Puskesmas 2 3,64

RS Pemerintah 33 60,00

RS Swasta 2 3,64

Tradisional 3 5,45

Optikal 11 20,00

Tidak melakukan pengobatan 4 7,27

Total 55 100

Pada tabel tampak riwayat masyarakat Kabupaten Langkat menggunakan sarana kesehatan terbanyak di Puskesmas yakni 3,63%, di Rumah Sakit Pemerintah 60 %, di Rumah Sakit Swasta 3,63%, di optikal 20%, secara Tradisional 5,45%, dan Tidak melakukan pengobatan 7,27%.


(34)

5.3.1.7. Umur dan Jenis kelamin.

Tabel 5.12. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut umur dan jenis kelamin.

Laki-laki Perempuan Satu Mata Dua Mata Satu Mata Dua Mata

Total Umur

[Tahun]

N [%] N [%] N [%] N [%] N [%]

5 – 10 - - - - - - 2 3,64 2 3,64

11 – 15 - - 3 5,45 - - 1 1,82 4 7,27 16 – 20 - - 3 5,45 2 3,64 2 3,64 7 12,73 21 – 25 - - - - 1 1,82 2 3,64 3 5,45 26 – 30 2 3,64 1 1,82 1 1,82 1 1,82 5 9,09 31 – 35 1 1,82 1 1,82 3 5,45 - - 5 9,09 36 – 40 1 1,82 - - 1 1,82 - - 2 3,64 41 – 45 1 1,82 2 3,64 3 5,45 1 1,82 7 12,73 46 – 50 4 7,27 1 1,82 2 3,64 2 3,64 9 16,36 51 – 55 2 3,64 1 1,82 1 1,82 - - 4 7,27 56 – 60 1 1,82 1 1,82 1 1,82 - - 3 5,45 61 – 65 - - 2 3,64 - - - - 2 3,64 66 – 70 - - 1 1,82 1 1,82 - - 2 3,64

71 – 75 - - - -

76 – 80 - - - -

>80 - - - - - -

Total 12 21,82 16 29,09 16 29,09 11 20 55 100

Pada tabel diatas tampak kebutaan refraksi pada kedua mata terbanyak didapat pada umur antara 16 hingga 20 tahun dan pada satu mata pada umur antara 46 hingga 50 tahun. Dengan distribusi jenis kelamin terbanyak yang didapat pada wanita dengan kisaran umur 46 hingga 50 tahun.


(35)

Tabel 5.13. Sebaran jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan.

Kebutaan Kelainan Refraksi

Satu Mata Persentase

[%] Dua Mata

Persentase

[%] Jumlah [N]

Persentase [%]

Miopia 19 34,55 21 38,18 40 72,73

Hipermetropia 8 14,55 7 12,73 15 27,27

Astigmatisma - - -

Afakia - - -

Pada table diatas tampak distribusi jenis kelainan refraksi yang menyebabkan kebutaan, dimana penyebab yang terbanyak adalah miopia.

5.3.2. Hasil Pemeriksaan Mata Lanjutan.

Tabel 5.14. Sebaran kebutaan akibat kelainan refraksi berdasarkan penyebab dan hasil koreksi. Visus Sebelum

Koreksi Hasil Koreksi

Visus Sesudah Koreksi

OD OS OD OS OD OS

Diagnosa

2/60 2/60 S-9,00 S-9,00 5/18 5/18 Miopia 2/60 2/60 S-11,00 S-12,00 5/50 5/50 Miopia 2/60 2/60 S-7,25 S-7,25 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-9,00 S-9,25 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-9,75 S-9,75 5/10F 5/10 Miopia 2/60 2/60 S-7,25 S-7,25 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-7,50 S-7,50 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-10.00 S-10.50 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-7,25 S-7,50 5/25 5/25 Miopia 2/60 2/60 S-8,25 S-8,50 5/18F 5/18F Miopia 2/60 2/60 S-8,00 S-8,50 5/25 5/25 Miopia

2/60 - S-7,00 - 5/33 - Miopia

2/60 - S-8,00 - 5/50 - Miopia

2/60 - S-10,.00 - 5/18F - Miopia


(36)

2/60 - S-8,.50 - 5/18 - Miopia

2/60 - S-7,00 - 5/33 - Miopia

2/60 - S-8,00 - 5/10F - Miopia

2/60 - S-7,50 - 5/25 - Miopia

2/60 - S-8,50 - 5/12F - Miopia

2/60 - S-9,00 - 5/18F - Miopia

2/60 - S-7,00 - 5/25 - Miopia

2/60 - S-7,50 - 5/25 - Miopia

2/60 - S-7,50 - 5/33 - Miopia

- 2/60 - S-6,75 - 5/50 Miopia

- 2/60 - S-11,00 - 5/12F Miopia

- 2/60 - S-9,25 - 5/18F Miopia

- 2/60 - S-8,00 - 5/25 Miopia

- 2/60 - S-7,50 - 5/25 Miopia

- 2/60 - S-8,25 - 5/25 Miopia

1/60 1/60 S-6,25 S-6,25 4/60 4/60 Miopia 1/60 2/60 S-8,50 S-7,00 4/60 5/50 Miopia 1/60 2/60 S-8,25 S-8,25 5/33 5/33 Miopia 1/60 2/60 S-8,25 S-8,00 5/50 5/50 Miopia 1/60 2/60 S-7,00 S-8,00 5/50 5/25 Miopia 2/60 1/60 S-8,25 S-10,00 5/25 5/33 Miopia 2/60 1/60 S-8,50 S-8,50 5/33 5/50 Miopia 2/60 1/60 S-8,00 S-9,00 5/18F 5/25 Miopia 2/60 1/60 S-7,50 S-7,50 5/18F 5/33 Miopia 2/60 2/60 S-6,75 S-6,75 5/50 5/50 Miopia 2/60 2/60 S+8,75 S+8,75 5/16F 5/16 Hipermetropia 2/60 2/60 S+7,25 S+7,25 5/25 5/25 Hipermetropia 2/60 2/60 S+8,00 S+8,00 5/10F 5/10 Hipermetropia 1/60 2/60 S+8,00 S+8,00 5/33 5/33 Hipermetropia 1/60 2/60 S+9,00 S+8,25 5/33 5/18F Hipermetropia 1/60 2/60 S+8,50 S+8,50 5/18 5/16 Hipermetropia 1/60 2/60 S+7,00 S+7,50 5/50 5/50F Hipermetropia


(37)

2/60 - S+8,00 - 5/25 - Hipermetropia

2/60 - S+7,50 - 5/16F - Hipermetropia

2/60 - S+7,50 - 5/25 - Hipermetropia

2/60 - S+7,00 - 5/18 - Hipermetropia

- 2/60 - S+8,50 - 5/16 Hipermetropia

1/60 - S+7,00 - 5/50 - Hipermetropia

1/60 - S+8,00 - 5/25 - Hipermetropia

- 1/60 - S+8,25 - 5/50 Hipermetropia

Dari tabel diatas tampak bahwa penyebab kebutaan refraksi yang terbanyak adalah miopia, dan hasil koreksi dengan lensa sferis negatif, yang besarnya bervariasi antara –6.25 D sampai –12.00 D, dan keseluruhan responden tidak dapat dikoreksi penuh.

Tabel 5.15. Estimasi Kebutaan Akibat Kelainan Refraksi di Kabupaten Langkat.

KABUPATEN LANGKAT ESTIMASI PADA CI 95% ( Batas bawah, Batas atas ) Prevalensi Kebutaan Refraksi

28/29.500 x 100% = 0,09% ( 0,06% ; 0,13% ) Prevalensi Kebutaan


(38)

5.4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Dari tabel 5.1. sampai tabel 5.5. tampak gambaran karakteristik penduduk sampel sampel dari wilayah penelitian.

Distribusi umur dan jenis kelamin pada tabel 5.1. dan 5.2. menunjukkan lebih banyak penduduk dalam usia produktif atau usia muda dan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan. Distribusi umur ini sesuai dengan gambaran kependudukan di Indonesia umumnya. Umumnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Burma, India, dan Indonesia dikatakan berstruktur muda.. Secara garis besar struktur penduduk di sepuluh kecamatan yang diteliti, penduduk yang berusia 66 tahun keatas sekitar 33,9% dan kelompok umur 65 tahun ke bawah hampir mencapai 66,1%.

Dari tabel 5.3. terlihat bahwa, sebagian besar penduduk berpendidikan hanya sampai pada bangku Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya Sumber Daya Manusia.

Dari tabel 5.4. diatas tampak bahwa petani merupakan porsi terbesar yaitu sebanyak 204 orang atau 52,71 % dan disusul dengan Ibu Rumah Tangga sebanyak 89 orang ( 23,00 % ).

Dari tabel 5.5., Suku terbanyak yang diperiksa adalah suku Jawa diikuti suku Melayu dan suku lainnya.

Dari table 5.6. tampak gambaran peserta penelitian yang mengalami kebutaan akibat kelainan refraksi berkisar 6-70 tahun, dimana terbanyak pada usia 16-50 tahun. Ini sesuai dengan penelitian di luar negeri ( Pakistan, India ) yang menyebutkan bahwa kebutaan akibat kelainan refraksi biasanya mengenai usia produktif.


(39)

Dari table 5.7., penyebaran kebutaan akibat kelainan refraksi menurut jenis kelamin terdapat 29 orang wanita dan 26 orang laki-laki. Menurut referensi prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada wanita dan laki-laki adalah sama, tetapi dalam hal ini responden yang datang pada umumnya adalah wanita, jadi pada hasil penelitian ini prevalensi kebutaan refraksi pada wanita lebih tinggi hanyalah merupakan faktor kebetulan saja.

Dari tabel 5.8., sebagian besar penderita hanya menamatkan pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penderita kurang memahami penyakitnya, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian dalam upaya penanggulangan kebutaan akibat kelainan refraksi.

Pada tabel 5.9., prevalensi kebutaan akibat refraksi tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Dari tabel 5.10., telah ditelusuri dari hasil anamnesa prevalensi kebutaan akibat refraksi lebih banyak yang tidak ada riwayat keluarga berkacamata, ini disebabkan oleh tingkat sosioekonomi yang rendah sehingga tidak mampu membeli kacamata dan juga karena tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang memahami penyakitnya.

Dari tabel 5.11., sebagian besar penderita berobat ke puskesmas, Rumah Sakit Umum, Tradisional, tetapi oleh karena keterbatasan tenaga medis yang mengerti tentang penyakit kelainan refraksi dan alat yang tidak mendukung, maka penderita kurang memahami penyakitnya.

Dari tabel 5.13., angka kebutaan refraksi mengenai satu dan kedua mata hampir sama, tetapi kebutaan refraksi pada kedua mata sedikit lebih banyak, hal ini sesuai dengan referensi bahwa kebutaan refraksi pada umumnya mengenai kedua mata.


(40)

Hubungan geografi dengan kebutaan refraksi

Pada penelitian ini, geografis dari kabupaten Langkat dapat dikategorikan daerah dataran rendah dengan ketinggian 4 sampai 105 m diatas permukaan laut. Prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama kesehatan mata masih terjangkau oleh kendaraan roda dua dan roda empat dan faktor geografi tidak menjadi halangan bagi penderita kelainan refraksi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan memperoleh kacamata.

Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian memeriksakan diri ke Rumah Sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, puskesmas, bahkan sebagian pernah mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut oleh karena merasa tidak nyaman dan semakin pusing, sebagian merasa nyaman dipakai tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita yang lain merasa malu memakai kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal.


(41)

Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi

Sumber daya manusia di kabupaten Langkat terutama petugas kesehatan sudah memadai. Semua kelurahan mempunyai bidan desa dan sudah ada petugas kesehatan mata di seluruh puskesmas dan pelayanan kesehatan mata sudah mulai terlaksana sehingga dapat membantu tenaga ahli seperti dokter spesialis mata yang ada di RSU pemerintah.

Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi

Sarana dan prasarana kesehatan di kabupaten Langkat dimana terdapat satu RSU pemerintah tersedia alat pemeriksaan refraksi, serta beberapa puskesmas telah tersedia alat trial lens tetapi masyarakat itu sendiri kurang memahami/menyadari bahwa penyakit kelainan refraksi sangat mudah terdeteksi dan bisa diobati dengan ukuran kacamata yang tepat.


(42)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

6.1.1. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten Langkat adalah 0,09%, lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi kebutaan Nasional akibat kelainan refraksi yaitu 0,14% dan sama nilainya dengan prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada penelitian sebelumnya di Kotamadya Tanjung Balai yaitu 0,09%. 6.1.2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan.

6.1.3. Faktor Sosial Ekonomi yang masih rendah mempunyai peranan terhadap masih tingginya kebutaan refraksi.

6.1.4. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kekurang pahaman terhadap

pemeliharaan kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga penyakit yang diderita tak terobati dengan baik.

6.1.5. Faktor Budaya dengan adanya perasaan rendah diri dalam berkaca mata sehingga menyebabkan penglihatan kabur bahkan akan dapat menyebabkan kebutaan

6.1.6. Faktor Sumber Daya Manusia sudah memadai dimana tenaga medis khususnya dokter spesialis mata sudah ada dan tenaga medis lainnya sudah mulai memahami sepenuhnya tentang kesehatan mata dan cara mendeteksi kelainan refraksi sehingga sosialisasi terhadap masyarakat sudah mulai tercapai dalam upaya menurunkan angka kebutaan ini.


(43)

6.2. SARAN

6.2.1. Upaya menurunkan angka kebutaan refraksi perlu adanya dilakukan penyuluhan kepada masyarakat secara rutin, terutama tentang kelainan refraksi dapat di koreksi dengan pemakaian kacamata yang merupakan cara penanggulangan kebutaan refraksi yang paling sederhana, serta dengan mudah dapat dideteksi di puskesmas oleh tenaga medis terlatih misalnya oleh refraksionis atau dokter mata setempat. 6.2.2. Mengadakan pemeriksaan dan penyuluhan mata secara rutin di Puskesmas dan

sekolah untuk mendeteksi dini kelainan refraksi pada lanjut usia, dewasa dan anak usia sekolah.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

1. Official WHO updates combined 1996-2007 available at

http://www.who.int/classifications/committees/Official%20WHO%20updates%20combined %201996-2007.pdf

2. http://www.Br J Ophthalmol.com//Causes of low vision and blindness in rural Indonesia, 2003;87:1075-1078

3. Nema H.V., Community Ophthalmology in Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Chapter 30, New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2002, page 398-403

4. Whitcher John P., Blindness in Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, sixteenth edition, Chapter 23, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004, page 413-418.

5. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon,The Cause and Prevention of Blindness in Parsons’ Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section 34, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, page 523 – 536.

6. Depkes RI, Perdami, Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 - 2

7. http://dev.fk.unair.ac.id, Setiap Menit Satu Anak di Dunia Akan Menjadi Buta, 2007

8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan, puskom.publik@yahoo.co.id, 2007

9. http://www.edusehat.com - Indonesian Health Education, 10 persen anak sekolah di Indonesia kelainan refraksi, January 2008

10. RMEXPose.com; Tiap Menit, Ada Satu Orang Jadi Buta dalam 10 Persen Anak

11. Pratomo H, Silalahi E, Asnita SN, Libra A, Surjani L, Sitorus J, Ginting M, Sari MD, Siregar NH, Barus J, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak, Glaukoma, Kelainan Refraksi, Gangguan Retina dan Kelainan Kornea di Kotamadya Tanjung Balai dan Kabupaten Karo, Tesis Dokter Spesialis Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.


(45)

12. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth Edition, Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 443 – 457.

13. Dewanto I, Pardianto G, Saleh TT, Pemeriksaan Visus Pada Anak, Tinjauan Kepustakaan, Bagian Ilmu Penyakit Mata RSU Dr. Soetomo / FK UNAIR, 2005, hal 1.

14. Handayani AT., Moestidjab, Gambaran Ketebalan Kornea Sentral Pada Penderita Miopia Pra-Lasik Di Klinik Mata Surabaya, Laporan Penelitian, Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya, Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 6, No. 2, Agustus 2008: Hal. 118-126

15. American Academy of Ophthalmology, Optics of the Human Eye in Clinical Optics, Section 3, Chapter 3, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 105-123

16. American Academy of Ophthalmology, Clinical Refraction in Clinical Optics, Section 3, Chapter 4, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 125-141

17. Whitmore W.G, Curtin B.J, The Optics of Miopia in Duane’s Clinical Ophthalmology, Vol. 1, Chapter 42, Lippincot Williams & Wilkins, 2004, p. 1-10

18. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon, Refractive Errors of the Eye in Parson’s Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section II, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, p. 71-83

19. Gallin P.F, Practical Pediatric Refraction in Pediatric Ophthalmology Clinical Guide, Chapter 3, 2000, p. 23-29

20. Kanski J.J, Degenerative Miopia, Acquired Macular Disorders and Related Conditions in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition, 2007, p. 654-655

21. Tiharyo I., Gunawan W., Suhardjo, Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Daerah Perkotaan Dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran UGM / RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Oftalmologi Indonesia, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008, hal. 104-112.

23. American Academy of Ophthalmology, Glaucoma, Section 10, Chapter 4, Basic and Clinical Science Course, 2008-2009, p. 85.


(1)

Hubungan geografi dengan kebutaan refraksi

Pada penelitian ini, geografis dari kabupaten Langkat dapat dikategorikan daerah dataran rendah dengan ketinggian 4 sampai 105 m diatas permukaan laut. Prasarana jalan dari desa ke pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama kesehatan mata masih terjangkau oleh kendaraan roda dua dan roda empat dan faktor geografi tidak menjadi halangan bagi penderita kelainan refraksi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Hubungan Sosio-Ekonomi dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel ternyata masih banyak penduduk berpenghasilan rendah. Ini mungkin diakibatkan oleh pendidikan dan pekerjaan yang tersedia didaerah tersebut. Oleh sebab itu untuk keberhasilan program kebutaan perlu pemberian pelayanan pemeriksaan dan pengobatan mata gratis terhadap orang-orang yang tidak mampu, bila memungkinkan pemberian kacamata gratis bagi penderita kebutaan refraksi, karena beberapa penderita kebutaan refraksi disebabkan oleh ketidakmampuan memperoleh kacamata.

Hubungan Budaya Tentang Pemeliharaan Kesehatan Mata dengan kebutaan refraksi

Dari hasil survey yang kami lakukan terhadap sampel maka sebagian memeriksakan diri ke Rumah Sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, puskesmas, bahkan sebagian pernah mendapatkan kacamata dari optik tetapi penderita tidak memakai kacamata lebih lanjut oleh karena merasa tidak nyaman dan semakin pusing, sebagian merasa nyaman dipakai tapi hanya waktu belajar saja, sementara sebagian penderita yang lain merasa malu memakai kacamata atau merasa harga kacamatanya mahal.


(2)

Hubungan Sumber Daya Manusia dengan kebutaan refraksi

Sumber daya manusia di kabupaten Langkat terutama petugas kesehatan sudah memadai. Semua kelurahan mempunyai bidan desa dan sudah ada petugas kesehatan mata di seluruh puskesmas dan pelayanan kesehatan mata sudah mulai terlaksana sehingga dapat membantu tenaga ahli seperti dokter spesialis mata yang ada di RSU pemerintah.

Hubungan Sarana dan Prasarana Kesehatan dengan kebutaan refraksi

Sarana dan prasarana kesehatan di kabupaten Langkat dimana terdapat satu RSU pemerintah tersedia alat pemeriksaan refraksi, serta beberapa puskesmas telah tersedia alat trial lens tetapi masyarakat itu sendiri kurang memahami/menyadari bahwa penyakit kelainan refraksi sangat mudah terdeteksi dan bisa diobati dengan ukuran kacamata yang tepat.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

6.1.1. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di kabupaten Langkat adalah 0,09%, lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi kebutaan Nasional akibat kelainan refraksi yaitu 0,14% dan sama nilainya dengan prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi pada penelitian sebelumnya di Kotamadya Tanjung Balai yaitu 0,09%. 6.1.2. Faktor geografi dari penelitian ini tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan.

6.1.3. Faktor Sosial Ekonomi yang masih rendah mempunyai peranan terhadap masih tingginya kebutaan refraksi.

6.1.4. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan kekurang pahaman terhadap pemeliharaan kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga penyakit yang diderita tak terobati dengan baik.

6.1.5. Faktor Budaya dengan adanya perasaan rendah diri dalam berkaca mata sehingga menyebabkan penglihatan kabur bahkan akan dapat menyebabkan kebutaan

6.1.6. Faktor Sumber Daya Manusia sudah memadai dimana tenaga medis khususnya dokter spesialis mata sudah ada dan tenaga medis lainnya sudah mulai memahami sepenuhnya tentang kesehatan mata dan cara mendeteksi kelainan refraksi sehingga sosialisasi terhadap masyarakat sudah mulai tercapai dalam upaya menurunkan angka kebutaan ini.


(4)

6.2. SARAN

6.2.1. Upaya menurunkan angka kebutaan refraksi perlu adanya dilakukan penyuluhan kepada masyarakat secara rutin, terutama tentang kelainan refraksi dapat di koreksi dengan pemakaian kacamata yang merupakan cara penanggulangan kebutaan refraksi yang paling sederhana, serta dengan mudah dapat dideteksi di puskesmas oleh tenaga medis terlatih misalnya oleh refraksionis atau dokter mata setempat. 6.2.2. Mengadakan pemeriksaan dan penyuluhan mata secara rutin di Puskesmas dan

sekolah untuk mendeteksi dini kelainan refraksi pada lanjut usia, dewasa dan anak usia sekolah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Official WHO updates combined 1996-2007 available at

http://www.who.int/classifications/committees/Official%20WHO%20updates%20combined %201996-2007.pdf

2. http://www.Br J Ophthalmol.com//Causes of low vision and blindness in rural Indonesia, 2003;87:1075-1078

3. Nema H.V., Community Ophthalmology in Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Chapter 30, New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2002, page 398-403

4. Whitcher John P., Blindness in Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, sixteenth edition, Chapter 23, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004, page 413-418.

5. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon,The Cause and Prevention of Blindness in Parsons’ Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section 34, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, page 523 – 536.

6. Depkes RI, Perdami, Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan ( PGPK ) Untuk Mencapai Vision 2020, 2003, hal 1 - 2

7. http://dev.fk.unair.ac.id, Setiap Menit Satu Anak di Dunia Akan Menjadi Buta, 2007

8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan, puskom.publik@yahoo.co.id, 2007

9. http://www.edusehat.com - Indonesian Health Education, 10 persen anak sekolah di Indonesia kelainan refraksi, January 2008

10. RMEXPose.com; Tiap Menit, Ada Satu Orang Jadi Buta dalam 10 Persen Anak

11. Pratomo H, Silalahi E, Asnita SN, Libra A, Surjani L, Sitorus J, Ginting M, Sari MD, Siregar NH, Barus J, Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak, Glaukoma, Kelainan Refraksi, Gangguan Retina dan Kelainan Kornea di Kotamadya Tanjung Balai dan Kabupaten Karo, Tesis Dokter Spesialis Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.


(6)

12. Khurana A.K. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology, Fourth Edition, Chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Publisher, 2007, page 443 – 457.

13. Dewanto I, Pardianto G, Saleh TT, Pemeriksaan Visus Pada Anak, Tinjauan Kepustakaan, Bagian Ilmu Penyakit Mata RSU Dr. Soetomo / FK UNAIR, 2005, hal 1.

14. Handayani AT., Moestidjab, Gambaran Ketebalan Kornea Sentral Pada Penderita Miopia Pra-Lasik Di Klinik Mata Surabaya, Laporan Penelitian, Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya, Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 6, No. 2, Agustus 2008: Hal. 118-126

15. American Academy of Ophthalmology, Optics of the Human Eye in Clinical Optics, Section 3, Chapter 3, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 105-123

16. American Academy of Ophthalmology, Clinical Refraction in Clinical Optics, Section 3, Chapter 4, Basic and Clinical Science Course, 2005-2006, p. 125-141

17. Whitmore W.G, Curtin B.J, The Optics of Miopia in Duane’s Clinical Ophthalmology, Vol. 1, Chapter 42, Lippincot Williams & Wilkins, 2004, p. 1-10

18. Ramanjit Sihota, Radhika Tandon, Refractive Errors of the Eye in Parson’s Diseases of the Eye, Twentieth Edition, Section II, New Delhi, Reed Elsevier India Private Limited, 2007, p. 71-83

19. Gallin P.F, Practical Pediatric Refraction in Pediatric Ophthalmology Clinical Guide, Chapter 3, 2000, p. 23-29

20. Kanski J.J, Degenerative Miopia, Acquired Macular Disorders and Related Conditions in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition, 2007, p. 654-655

21. Tiharyo I., Gunawan W., Suhardjo, Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah Dasar Daerah Perkotaan Dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Penelitian, Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran UGM / RS Dr. Sardjito Yogyakarta, Jurnal Oftalmologi Indonesia, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008, hal. 104-112.