Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas Guru Sebagai Emansipator Guru Sebagai Evaluator Guru Sebagai Kulminator

9. Guru Sebagai Penasehat

Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.

10. Guru Sebagai Pembaharu Inovator

Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

11. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas

Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang Universitas Sumatera Utara lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.

12. Guru Sebagai Emansipator

Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.

13. Guru Sebagai Evaluator

Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

14. Guru Sebagai Kulminator

Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir kulminasi. Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa Universitas Sumatera Utara mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator. Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik. Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.

2.4 Kekerasan Seksual Pada Anak

2.4.1 Pengertian Kekerasan Seksual Pada Anak

Menurut Gelles dalam Suyanto Kurniati, 2013 kekerasan terhadap anak child abuse adalah peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak, contoh paling jelas tindakan kekerasan yang dialami anak- anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan penyerangan seksual sexual assault, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau Universitas Sumatera Utara makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan, dan kekerasan yang berkaitan dengan medis medical abuse. Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. CASAT Programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA. Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya tersebut Huraerah, 2008 dalam Kurniati, 2013. Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, Universitas Sumatera Utara hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah incest, dan sodomi Depkes RI, 2007. Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan. Menurut Lyness kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan mediabenda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002.

2.4.2 Dampak pada Anak Korban Kekerasan

Dampak pada anak yang korban kasus kekerasan dapat berdampak jangka pendek ataupun jangka panjang. Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah fisik, antara lain: lebam, lecet, kerusakan organ, robekan selaput dara, gangguan susunan syaraf pusat. Disamping itu seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam,menangis, menyendiri. Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan seksual antara lain Kehamilan Tidak Universitas Sumatera Utara Diinginkan KTD, Infeksi Menular Seksual IMS termasuk HIVAIDS,gangguankerusakan organ reproduksi Depkes RI, 2007. Untuk dampak jangka panjang lainnya, ketika dewasa nanti anak dapat mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa dengan kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya atau menjadi pelaku kekerasan seksual. Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak Pertiwi, 2012. Finkelhor dan Browne Kurniawati, 2013 menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu: a. Pengkhianatan Betrayal Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orang tua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orang tua menjadi hal yang mengancam anak. b. Trauma secara Seksual Traumatic Sexualization Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor mencatat bahwa Universitas Sumatera Utara korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya. c. Tidak Berdaya Powerlessness Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya. d. Stigma Stigmatization Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut. Dampak kekerasan seksual menurut Ollier Hobday dalam Mashudi Nur’aini, 2015 berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Penting untuk menerima fakta bahwa orang yang berbeda akan memiliki reaksi berbeda pula pada suatu kejadian atau peristiwa. Reaksi yang sifatnya segera biasanya Universitas Sumatera Utara berlangsung selama beberapa hari sampai dengan beberapa minggu. Reaksipredominan cenderung berupa guncanganshock dan rasa tidak berdaya. Reaksi semacam itu dapat terinternalisasi yakni dimana anak menjadi tenang dan terkendali, serta bisa pula tereksternalisasi yakni dimana anak menunjukkan perilaku seperti menangis, mengamuk, atau terganggu secara fisik. Konsekuensi personal yang dialami anak korban kekerasan seksual biasanya mempengaruhi pola perilaku, emosi dan kognitif anak tersebut. Beberapa kognisi dan perilaku muncul sebagai strategi coping dalam konteks kekerasan seksual. Misalnya perilaku agresif dilakukan anak agar dapat mengendalikan situasi intim dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dapat membantu anak perempuan merasa dicintai oleh pelaku kekerasan seksual dan menjelaskan mengapa pelaku tersebut melakukan hal buruk pada diri anak perempuan itu Ollier Hobday, dalam Mashudi Nur’aini, 2015. Berikut ini dampak kekerasan seksual pada tiga ranah psikologis anak, sebagaimana dikemukakan oleh Ollier dan Hobday : Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Dampak Psikologis Lanjutan dari Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Emosional Kognitif Behavioral  Shock  Ketakutan  Hilang kendali  Tidak dapat berkonsentrasi  Cemas  Kilasan balik  Fobia  Kondisi emosional berubah-ubah moody  Depresi  Mengamuk  Malu  Menyukai kesendirian  Mati rasa  Marah  Terhina  Merasa kotor  Merasa dikuasai  Menganggap diri tidak berarti  Tidak mudah percaya  Mengurung diri  Rasa tidak berdaya  Rasa bersalah  Menyalahkan diri sendiri  Focus terhadap kesalahan diri  Mengabaikan hal-hal baik  Tidak mampu menjalin hubungan baik  Mencemooh diri  Mengalami kebingungan untuk membedakan kasih saying dan tindakan seksual  Kebingungan identitas  Kurang percaya atau terlalu percaya  Tidak percaya akan kekuasaan  Menggunakan kekerasan untuk menegaskan keyakinan  Tidak mampu menetapkan batasan  Tidak mengetahui hak- hak pribadi  Isolasimenarik diri  Kelelahan  Hiper-vigilansi  Gangguan tidur  Penyalahgunaan obat-obatan dan alcohol  Berani ambil resiko  Bertingkah ‘nakal’  Bergabung dalam kelompok yang ditolak masyarakat  Membuat dirinya tampil jelek  Gagasan bunuh diri  Membawa semua jenis hubungan pada teman seksual  Mengalami kesulitan melakukan aktivitas seksual  Terjerat dalam prostitusi  Kurang asertif  Pergaulan bebas dan pemberont ak Banyak faktor yang akhirnya memicu kekerasan seksual yang terjadi terutama di kalangan anak usia dini. Dalam Pedoman Rujukan Kasus Kekeasan Terhadap anak Bagi Petugas Kesehatan 2007 terdapat banyak faktor resiko terjadi kekerasan pada anak, mulai dari fakto anak itu sendiri, orang tuakeluarga, maupun masyarakatsosial. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah masa depan Universitas Sumatera Utara bangsa dan negara, oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara positif. Terutama disaat ia mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang disebut masa remaja. Dewasa ini mengawasi dan membatasi anak bukan merupakan tindakan efektif yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Telebih telah banyak kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dilakukan bukan hanya oleh orang asing melainkan orang yang dekat dengan si anak. Untuk itu penting membekali anak agar dapat mandiri dan petanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

2.4.3 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Resna dan Darmawan dalam Kurniati, 2013, tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perkosaan Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku biasanya lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu risiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil. Khusus untuk anak ini dilindungi dan tidak dikembalikan Universitas Sumatera Utara kepada situasi dimana terjadi tempat perkosaan, pemerkosa harus dijauhkan dari anak. 2. Incest Incest didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi. 3. Eksploitasi Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri. Selain itu Tower dalam Lubis, 2012 juga melakukan pembagian jenis kekerasan seksual berdasarkan identitas pelaku. 1. Familial Abuse Familial Abuse atau Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi Universitas Sumatera Utara pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, yang dipercaya merawat anak termasuk dalam pengertian incest. incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama, penganiayaan sexual molestation, hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, perkosaan sexual assault, berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada penis fellatio, dan stimulasi oral pada klitoris cunnilingus. Kategori terakhir yang paling fatal disebut perkosaan secara paksa forcible rape, meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. 2. Extrafamilial Abuse Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40 yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak- anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak”. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orang tua mereka. Universitas Sumatera Utara Selain itu, beberapa orang tua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai Noviana, 2015. Pengkategorian kekerasan seksual yang dikemukakan oleh Kempe dan Kempe 1984 dalam Mashudi dan Nur’aini, 2015 adalah sebagai berikut : a. Inses, yakni aktivitas seksual antar anggota keluarga b. Pedofilia, yakni preferensi seksual orang dewasa terhadap anak pra- pubertassebagai objek kesenangan seksual c. Ekshisibionisme, yakni tindakan menunjukkan alat kelamin terhadap orang lain, dalam hal ini biasanya dilakukan orang dewasa laki-laki pada anak d. Pencabulan, yakni tindakan berupa mengagumi dengan hasrat seksual, menyentuh, meremas, mencium dan masturbasi e. Hubungan seksual, yakni tindakan yang melibatkan kontak oral-genital, anal-genital, dan penil-vaginal f. Perkosaan, yakni tindakan penetrasi seksual dengan paksaan dan tanpa persetujuan korban g. Sadism seksual, yakni tindakan kekerasan seksual yang melibatkan upaya melukai atau menciderai tubuh korban dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan seksual h. Pornografi anak, yakni produksi dan distribusi material yang mengandung aktivitas seksual yang melibatkan anak di bawah umur di dalamnya Universitas Sumatera Utara i. Prostitusi anak, yakni pelibatan anak dalam aktivitas seksual untuk kepentingan komersial. 2.4.4 Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah Model preventif lebih sulit untuk diaplikasikan pada gangguan stress pascatrauma, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kekerasan seksual di masa anak-anak. Upaya pencegahan dapat diawali dengan cara mengumpulkan data dari korban yang bertahan dari kekerasan seksual salah satunya adalah mengenai cara mengidentifikasi pelaku sesegera mungkin sebelum pelaku tersebut menyerang. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan aksi kekerasan seksual pada anak sedang marak disuarakan oleh KPAI atau Komite Perlindungan Anak Indonesia. Wujud kepedulian KPAI ini dilakukan melalui berbagai kampanye mengenai hak-hak anak, sosialisasi tentang dampak kekerasan seksual maupun hukuman bagi pelaku kekerasan seksual serta berbagai pelatihan bagi orang tua dan guru mengenai deteksi dini indikasi tindakan kekerasan seksual yang mungkin dialami oleh anak. Di luar negeri seperti di Amerika Serikat, upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak sudah dilakukan sejak lama, yakni sejak tahun 1970-an akan tetapi mulai mengemuka pada dekade terakhir ini. Dua program pencegahan kekerasan seksual pada anak yang paling terkemuka di Amerika Serikat adalah The Catholic Curch dan Boy Scouts of America Bagley King. Program pencegahan kekerasan seksual hendaknya dapat memodifikasi individu dan Universitas Sumatera Utara lingkungan, memiliki pengimplementasian yang multikomponen serta upaya yang terkoordinasi dan sistematis Mashudi Nur’aini, 2015. Negara lain seperti Malaysia sejak 1979 telah mendirikan Youth Advisory Center dan Filipina dengan Developing Programme and Life Education, Indonesia masih amat tertinggal. Bahkan di Malaysia, mulai tahun 2011 pendidikan reproduksi seks diberikan sejak anak-anak masuk SD Rifani, 2014. Menurut Bagley King dalam Mashudi Nur’aini, 2015, keterampilan keselamatan pribadi Personal safety skills merupakan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan terhindar dari tindakan kekerasan seksual. Personal safety skills terdiri atas tiga komponen keterampilan yang dikenal dengan slogan 3 R yakni : a. Recognize, yakni kemampuan anak mengenali ciri-ciri orang yang berpotensi melakukan kekerasan seksual predator. Pada komponen recognize ini, anak diajari untuk mengenali bagian-bagian tubuh pribadi yang tidak boleh disentuh sembarang orang, dan bagaimana mengatakan tidak saat orang lain melakukan sentuhan tidak aman unsafe touch, menyuruh membuka baju atau memperlihatkan bagian tubuh pribadi, menyuruh anak melihat bagian tubuh pribadi sang pelaku dan memperlihatkan konten seksual. Anak diberikan kesadaran atas hak-hak pribadi terhadap tubuhnya, serta bagaimana mereka boleh menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menyentuh bagian tubuhnya, terutama yang sensitif atau yang sangat pribadi. Dengan demikian anak Universitas Sumatera Utara diharapkan dapat membedakan pelaku tindakan kekerasan seksual daripada orang lainnya yang berkomunikasi atau melakukan kontak fisik dengannya. Gambar 2.1 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak mengenali dan memahami sentuhan tidak aman b. Resist, yakni kemampuan anak bertahan dari perlakuan atau tindakan kekerasan seksual, misalnya berteriak minta tolong, memberitahu orang lain bahwa orang yang menggandengnya bukanlah ayah atau ibunya, dan sebagainya. Pada komponen resist ini anak diajari untuk mengidentifikasi sejumlah tindakan yang dapat ia lakukan ketika berhadapan dengan pelaku kekerasan seksual atau ketika berada dalam situasi yang memungkinkan terjadinya tindakan kekerasan seksual. Anak diajari untuk dapat mengabaikan rayuan dan bujukan dari orang yang berpotensi melaku kan kekerasan seksual, mengatakan “Tidak” atau “Stop” dengan lantang dan tegas pada orang yang mencoba melakukan tindak kekerasan seksual pada mereka, melakukan tindakan perlawanan seperti memukul, menggigit, menendang pada pelaku kekerasan seksual, melarikan diri dari pelaku kekerasan seksual dan berteriak meminta pertolongan pada orang sekitar. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2 Media ajar personal safety skills yang bertujuan membantu anak melakukan tindakan bertahan dari perlakuan kekerasan seksual c. Report, yakni kemampuan anak melaporkan perilaku kurang menyenangkan secara seksual yang diterimanya dari orang dewasa, bersikap terbuka kepada orang tua atau guru agar dapat memantau kondisi anak tersebut. Pada komponen report anak diajari agar mampu bersikap terbuka atas tindakan kekerasan seksual yang diterimanya, dan mampu melaporkan pelaku pada orang dewasa atau lembaga lain yang berkepentingan dan dipercaya oleh anak untuk membantunya. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3 Media ajar personal safety skills berupa video yang mengajarkan anak bagaimana melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami 2.5 Landasan Teori Domain Perilaku Kesehatan Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benjamin Bloom 1908, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku. Pembagian ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yakni kognitif cognitive domain, afektif affective domain, dan psikomotor psychomotor domain. Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari Notoatmodjo, 2007:

1. Pengetahuan Knowledge

Dokumen yang terkait

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Kecenderungan Perilaku Seksual Remaja.

0 1 18

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Kecenderungan Perilaku Seksual Remaja.

0 1 11

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada Siswa SMA "X" di Kota Bandung Tahun 2015.

2 6 24

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 16

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 2

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 1 11

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 49

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 9 3

Gambaran Perilaku Guru terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual pada Siswa di Sekolah Dasar Harapan 1 dan 2 Medan Tahun 2016

0 0 13

PENDIDIKAN SEKSUAL BERBASIS BUDAYA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI INDONESIA

0 0 15