Tinjauan Pustaka Pertanggungjawaban Pidana Perdagangan Orang Pada Wanita Dibawah Umur Dalam Perspektif Hukum Dan Ham (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 806/PID.B/2009/PN.MDN)

10

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru 19911992 dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Pasal 27 konsep KUHP 19821983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang- undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 20042005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi Universitas Sumatera Utara 11 syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya dikemukakan, Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Pada umumnya, masyarakat sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut: TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA Unsur tindak pidana dan kesalahan kesengajaan adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan kesengajaan dan kealpaan. A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP; KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan Universitas Sumatera Utara 12 lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. B. SistemPertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP; Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang- undangan dibawah ini : 1. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; 2. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 3. UU No.35 Tahun tentang Narkotika 2009. Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak Universitas Sumatera Utara 13 dipertanggungjawabkan. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP 6 Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu . Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat. 6 Pasal 44 ;barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya gebrekkige ontwikkeling atau terganggu karena penyakit ziekelijke storing, tidak dipidana. Pasal 48 ; barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Pasal 49 ; barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan eerbaarheid atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Pasal 50 ; barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang tidak dipidana. Pasal 51 ; barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Universitas Sumatera Utara 14 adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. 7

2. Pengertian Perdagangan Orang

Dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap orang yang melakukan perengkrutan,pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau member bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang melanggar persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 dan paling banyak Rp.600.000.000,00. Pengertian perdagangan orang, menyatakan : “setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman penyeraha terimaan orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan 7 http:princemalekrove.blogspot.com201205pertanggungjawaban-pidana.htm l diakses pada tanggal 10 juli 2014, pukul 11.15 Wib. Universitas Sumatera Utara 15 kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang, untuk tujuan ,mengeksploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun”. Dalam Protocol to Prevent, suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Supplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000, yang dimaksud dengan perdagangan orang “rekrutment, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk- bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuanm atau pencurangan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaanpemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal ataupun pengambilan organ-organ tubuh.” 8 Orang-orang yang dijual umumnya berasal dari daerah miskin dimana peluang untuk mendapatkan penghasilan amat terbatas. Bisa juga mereka berasal dari korban pengungsian atau orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Kebanyakan dari mereka masuk ke negara lain dibawa oleh traffickers melalui 8 Kementrian kordinator bidang kesejahteraan rakyat, penghapusan perdagangan orang di Indonesia, Jakarta,2005, hal.2 Universitas Sumatera Utara 16 perbatasan. Karena kontrol yang kurang diperbatasan inilah, mereka bisa dengan leluasa lolos dan masuk ke negara tersebut. Dan berdasarkan Peraturan Daerah Perda Provinsi Sumatera Utara No. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak menyatakan bahwa : “Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculika, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan, atau penjeratan utang untuk tujuan atau berakibat meneksploitasi perempuan dan anak”. Sedangkan perdagangan anak umumnya dilakukan oleh orang tua yang benar- benar miskin. Alasan mereka menjual anaknya adalah untuk membayar hutang atau untuk mendapatkan uang. Ada juga yang menjual anaknya karena belum siap untuk mengurus anak tersebut sehingga mereka dijual dengan harapan bisa memperoleh masa depan yang lebih baik. Di Afrika Barat, penjualan anak kerap terjadi akibat kematian satu atau kedua orang tuanya yang disebabkan oleh HIV Aids. 9

3. Pengertian Pelaku dan Korban Perdagangan.

Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 2007, yang dimaksud dengan pelaku adalah yang terkandung dalam pasal 2 Undang-undang ini, yaitu setiap orang yang melakukan 9 http:duniaclassik.blogspot.com201304human-trafficking-forced-labor.html, diakses pada tanggal 14 juli 2014, pukul 09.24 Wib Universitas Sumatera Utara 17 perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, ekonomi, danatau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 4. Perkembangan Peraturan PerUUan perdagangan orang di Indonesia. Sebelum masuknya Belanda ke wilayah Indonesia berlaku Hukum Pidana Adat dibidang kepidanaan. Setelah Belanda masuk dan menjajah Indonesia maka terjadi dualisme hukum pidana, yaitu: a. Hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, yaitu Wetboek van Strafrecht voor de Eropeanen. b. Hukum pidana yang berlaku bagi orng-orang bumi putera dan golongan Timur Asing arab, cina, india dan sebagainya, yaitu Wetboek van Strafrecht. Kedua hukum pidana di atas diadakan oleh pemerintah Belanda dengan bersumber pada hukum pidana Prancis, yaitu Code Penal, yang lahir pada masa Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1915 diumumkan adanya KUHP yang baru dan KUHP tersebut berlaku 1 januari 1918 bagi semua penduduk di Indonesia dengan menghapus kedua KUHP yang berlaku sebelum tahun 1918. Dalam KUHP ini bersumber langsung dari Universitas Sumatera Utara 18 KUHP Nasional Belanda yang sudah ada sejak tahun 1866 dengan perubahan- perubahan untuk diberlakukan di Indonesia. Pada masa pemerintahan Belanda KUHP 1918 ini masih berlaku, kecuali untuk kepentingan pemerintahannya dalam beberapa hal tertentu pemerintah Jepang mengeluarkan juga maklumat-maklumat yang memuat ketentuan pidana. Setelah merdeka dan disahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 maka berdasarkan pasal II aturan Peralihan UUD 1945, semua lembaga Negara dan peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Pada masa agresi militer Belanda terjadi dualisme hukum karena belanda membawa hukum Pidananya dengan nama Wetboek Van Strafrecht Voor Indonesia dan yang berlaku di Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsche Indie. Kemudian berakhir dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan kemudian diterjemahkan menjadi KUHP yang digunakan sampai saat ini.

F. Metode Penelitian