Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

T E S I S

Oleh

USAMMAH

037005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

USAMMAH

037005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Nama Mahasiswa : Usammah Nomor Pokok : 037005027 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA) K e t u a

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S) (Prof. Muhammad Daud, S.H) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Nopember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

2.

Prof. Muhammad Daud, SH (Alm)

3.

Prof. Chainur Arrasyid, SH


(5)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana, sebaliknya eksistensi tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya, dengan demikian tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Demikian juga di dalam hukum pidana Islam, seseorang itu belum dapat dipertanggungjawabkan manakala tidak ada perbuatan yang dilanggar. Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi fokus penelitian ini yaitu; Bagaimanakah eksistensi Asas dalam hukum pidana ditinjau dari perspektif hukum Islam, Faktor apakah yang melandasi pertanggungjawaban pidana dan Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Nasional di lihat dari perspektif hukum Islam. Tujuan dari penelitian ini tidak lain untuk mengetahui eksistensi asas, faktor yang melandasinya dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam. Bentuk Penelitian ini normatif yang hanya menggunakan data sekunder, sifatnya deskriptif yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal pada tempat dan saat tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Asas dalam hukum pidana baik pidana positif maupun hukum pidana Islam sama-sama memiliki sifat mengikat terhadap tindakan atau perbuatan yang dikategorikan dalam pidana, meskipun dalam hukum pidana positif asas legalitas telah diperlonggar. Faktor yang sangat utama adanya pertanggungjawaban pidana adalah tergantung pada terjadinya pelanggaran yaitu perbuatan melawan hukum atau kemaksiatan, term ini digunakan sebagai istilah yang sama baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif. Di samping itu pertanggungjawaban dapat ditegakkan atas tiga dasar; (1) Adanya perbuatan yang dilarang, (2) Dikerjakan dengan kemauan sendiri dan (3) Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam adalah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).


(6)

ABSTRACT

Criminal responsibility will not be required until someone performs a criminal act, but the existence of criminal act does not depend on whether or not there is someone who in reality does the criminal act. There are the number of actions which become criminal acts even though there is no body to be responsible for having done them, therefore, in criminal law, it is impossible to ask someone to be responsible if he/she never does a criminal act. That someone cannot be asked for his/her responsibility if he/she does not anything against the law is also stated in Islamic criminal law. Based on this principle, the purpose of this descriptive normative study is to analyze (1) the existence of principle in criminal law according to the perspective of Islamic law, (2) the factor that base the criminal responsibility, and (3) the national criminal responsibility according to the perspective of Islamic law. The data for this study were obtained from the secondary data showing the issues which occurred in a certain place and in a certain time. The result of this study shaws that the principle in criminal law, either in positive criminal law or in Islamic criminal law, has a binding nature for anything categorized as criminal act although in the positive criminal law the principle of legality has become loose. The main factor that causes the existence of criminal responsibility depends on the incident of offence such as breaking the law immoral acts and this term is also used in both the Islamic criminal law and the positive criminal law. In addition, this criminal responsibility can be maintained based on 3 (there) basis such as (1) performing illegal act, (2) on own will, and (3) realizing its consequences. In Islamic criminal law, criminal responsibility is a burden imposed on someone as the result of the illegal act(s) he/she did on his/her own will while he/she knew, understood and realized what the consequences would be. This burden not only resulted from performing the act which is prohibited by Islamic law (syar’i) either it is an act which is prohibited to do it or the one which is prohibited to leave it, but also because the doer deliberately did the illegal act not because he/she was made to do it by somebody else.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama saya panjatkan puji dan syukur ke hadhirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala rahmat serta karunia-Nya sehingga segala proses menjadi mudah dan tesis ini dapat saya selesaikan.

Saya menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak, baik yang bersifat bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh karena itu, saya ingin mengucapan terimakasih yang terdalam kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan bagi saya menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan serta masukan yang diberikan kepada saya selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Terimakasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA, selaku Ketua Komisi


(8)

Pembimbing dan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS serta Prof. Muhammad Daud, SH, (Alhm) selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Prof. Chainur Arrasyid, SH dan Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku penguji tesis penulis.

6. Seluruh Dosen penulis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Abdul Hamid, Ibunda Zahirah yang telah mencurahkan semua kasih sayang kepada ananda serta tidak pernah henti memberikan dukungan baik itu materil maupun moril serta do’anya yang terus terucap demi kesuksesan ananda.

8. Isteri yang tercinta yang telah memberi dukungan sepenuhnya baik moril maupun materil serta anak-anak yang menjadi kebanggaan dan harapan penulis

9. Terimakasih pada bapak Drs. H. Hafifuddin, M.Ag dan juga teman-teman mitra kerja di Jurusan Syari’ah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe; Malahayati, Taufiq, Bastiar, Zamri, Abrar, Mahdi, Danial, Husnaini dan banyak lagi juga menjadi semangat/motivator dalam penyelesaian tesis ini.

10. Seluruh Staf Pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala bantuannya serta kemudahan yang diberikan kepada penulis.


(9)

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan yang penulis terima dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang memerlukan dan mengembangkannya.

Medan, 24 Nopember 2008

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : U s a m m a h

Tempat/Tanggal Lahir : Lhokseumawe / 14 Maret 1969 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

S t a t u s : Kawin

Pendidikan : - SD Negeri Uteun Bayi Lhokseumawe, 1982 - MTsN Lhokseumawe, 1985

- PGA Negeri Lhokseumawe, 1988

- Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 1994

- Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……….….……..………….…..…..….….… vi

DAFTAR ISI ………..……….………. vii

DAFTAR TABEL .……….………...……….……….… x

DAFTARGAMBAR ....….……….. xi

BAB I : PENDAHULUAN ……….….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….…..….….……... 1

B. Perumusan Masalah ….……… 12

C. Tujuan Penelitian ………. 12

D. Manfaat Penelitian ….……….. 12

E. Keaslian Penelitian ….……….. 13

F. Metode Penelitian ….………. 13

1. Metode Pendekatan, Sifat dan Bentuk Penelitian ……...…. 13

2. Data dan Sumber Data ………..……. 14

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data ………..….. 15

4. Analisis Data ………... 16

G. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional ……...………… 16

a. Kerangka Teoritis ………... 16

b. Kerangka Konsepsional ………. 21

BAB II : EKSISTENSI ASAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM …. 33 A. Asas Hukum Pidana Nasional………. 33


(12)

1. Asas legalitas ……….. 43

2. Asas tidak berlaku surut ……… 48

3. Asas praduga tak bersalah ……….. 52

4. Tidak sahnya hukuman karena keraguan ……… 53

C. Eksistensi Hukum Islam ………. 54

BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MELANDASI PERTANGGUNG- JAWABAN PIDANA ……….…….…..…..……... 61

A. Arti dan Dasar Pertanggungjawaban Pidana ..…….……….…….. 61

B. Objek Pertanggungjawaban Pidana ……….... 66

1. Manusia ……….………. 67

2. Badan Hukum ………... 68

C. Faktor-Faktor Pertanggungjawaban pidana dan Tingkatannya ….. 71

1. Adakalanya sengaja (al-‘Amdu) .….….……….…...….…… 73

2. Adakalanya menyerupai sengaja (syibhul ‘amdi) ………….. 74

3. Adakalanya keliru (al Khata’) ……… 75

4. Adakalanya menyerupai kekeliruan ……… 75

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM - ISLAM ………..…….……… 77

A. Kemampuan Bertanggungjawab ……..…….….….……….. 77

B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana ….….………... 82

1. Adanya unsur melawan hukum ……….. 83

2. Adanya kesalahan ………..………….. 85

C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ….…..………. 87

1. Disebabkan perbuatan mubah (asbab al ibahah) ……… 90


(13)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………. 106

A. Kesimpulan ……….. 106

B. Saran-saran ………. 109


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtstaat), sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (UUD 1945) yaitu Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (macht staat).1 Dengan tujuan sebagaimana disebutkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas Indonesia, karena mempunyai pandangan hidup bernegara yaitu Pancasila dan Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila.2 Sebagai Negara Hukum yang bersumber dari Pancasila maka sudah barang tentu produk hukum yang

1

Lihat, penjelasan umum tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (pasca Amandemen)

2

Oemar Senoadji, "Peradilan Bebas Negara Hukum" dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, ed. 2, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 93


(17)

dilahirkan merupakan suatu cita-cita atau nilai yang diserap dari norma-norma kehidupan masyarakat serta budayanya.

Timbul pertanyaan, apakah penggunaan kata-kata rechtsstaat tersebut, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental ataukah sistem pemerintahan Anglosaxon. Walaupun Negara Indonesia menggunakan kata rechtsstaat di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, namun sistem hukum yang digunakan bukan kedua-duanya. Karena konsep negera hukum Pancasila sendiri mempunyai ciri-ciri antara lain3 :

1. Ada hubungan yang erat antara Agama dengan negara 2. Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa

3. Kebebasan beragama dalam arti positif

4. Ateisme tidak dibenarkan dan Komunisme dilarang 5. Azas kekeluargaan dan kerukunan.

Selain ciri-ciri tersebut di atas, Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa adanya perlindungan tentang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi, suatu kekuasaan kehakiman yang bebas, adanya asas legalitas, substansial dan formal, juga diterima sebagai Negara hukum Pancasila baik secara sistem Common Law maupun Civil Law

dan Social Legality.4

Dengan melihat pada ciri-ciri negara hukum Indonesia, maka hukum yang digunakan tidak saja hukum tertulis akan tetapi hukum tak tertulis juga dapat

3

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum:Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, Muhammad Tahir Azhary, ed. 2, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 97

4

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cet. I, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 21


(18)

dijadikan sebagai hukum. Hukum yang menjadi rambu pengendali dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sebagainya. Di samping itu sudah menjadi asas umum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa Undang-Undang lebih tinggi kedudukannya dari peraturan lainnya.

Hukum pidana yang kini berlaku di Indonesia yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, selanjutnya disingkat dengan KUHP, merupakan Kitab Undang-Undang peninggalan penjajahan Belanda yang dilandasi oleh falsafah yang berbeda dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia. Walaupun demikian KUHP tersebut sudah dilakukan perubahan sejak tahun 1981 dan selesai pada awal tahun 19935 yang seterusnya sampai dengan tahun 2000 telah dihasilkan sebuah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.

Hukum pidana merupakan hukum tentang penjatuhan sanksi, ikhwal penegakan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut lebih tampak di sini dibandingkan dalam bidang-bidang hukum lainnya, hukum pidana karena itu pertama-tama adalah hukum (tentang) sanksi.

5

Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, diterjemah oleh: Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. XXXVII


(19)

"Hukum pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum" demikian pernah dikatakan oleh G.E. Mulder, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana dari Universitas Nijmegen.6 Bila dibandingkan dengan hukum Sipil yang menyoalkan tentang pentaatan kepada hukum dan persoalan ganti rugi. Hukum pidana tidak menawarkan tentang perlindungan menyeluruh atas kepentingan dan kebendaan hukum akan tetapi hukum pidana mengupayakan melawan sebagian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran hukum. Hukum pidana juga menjaga dan mempertahankan norma-norma materil secara 'fragmentaris'.7

Di dalam KUHP diatur batas-batas berlakunya aturan pidana, dasar penghapus, pemberat dan peringan pidana, penyertaan melakukan tindak pidana, serta gabungan tindak pidana dan sebagainya.8 Masalah pidana atau pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan, hal mana merupakan suatu yang wajar dalam perkembangan manusia, karena itu manusia selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa yang lalu. Pidana dan pemidanaan terkait erat dengan filosofi pemidanaan, sebagai filsafat sudah barang tentu akan selalu mengalami ketidakpuasan. Karena itu Guru besar hukum pidana di Universitas Leiden, Van der Hoeven menyatakan dengan nada kecewa bahwa ahli-ahli hukum

6

Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid., hal. 7

7

Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid.., hal. 8

8

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam:Penegakan Syari'at dalam wacana dan agenda, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal. 82


(20)

pidana tidak dapat menjelaskan tentang dasar-dasar dari hak memidana dan juga sebab apa kita memidana.9

Sistem pidana dan pemidanaan yang dikembangkan dalam aliran klasik pada abad ke XVIII dengan paham indeterminisme, yaitu dengan menekankan pada perbuatannya, bukan pada pelakunya. Namun aliran ini ditentang oleh aliran modern yang lahir pada abad ke XIX yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara posistif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Dalam perkembangannya aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan terhadap pelaku tindak pidana, aliran ini dipengaruhi oleh aliran modern dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana. Akibat dari pengaruh aliran tersebut diperkenankannya adanya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.10 Dari itu muncullah ide individualisasi pidana dengan karakteristik antara lain:11

1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perorangan (asas personal); 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas; 'tiada

pidana tanpa kesalahan')

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi

9

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2

10

Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, M. Sholehuddin, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 27

11

M. Sholehuddin, Ibid., hal. 27. lihat juga Barda Nawawi Arief dalam Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 43


(21)

pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya

Di dalam konsep hukum pidana Indonesia didasarkan kepada perbuatan dan pembuatannya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang ditetapkan dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 28, maka tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana diberi keterangan yang lebih jelas, masing-masing dalam Pasal 12 dan Pasal 27.12 Pada Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 menyatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuataanya.13 Dasar adanya tindak pidana merupakan azas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1). Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama dibatasi pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dapat dipidananya delik culpa

hanya bersifat pengecualian (eksepsional) apabila secara tegas oleh Undang-undang mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh Undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya

12

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1987), hal. 67

13


(22)

dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.14

Di samping hukum pidana dari civil law15 dan dari common law16, semestinya para ahli hukum pidana juga menerima keberadaan hukum pidana Islam, sayangnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak digagas untuk penerapan hukum pidana Islam. Barangkali hukum pidana Islam dianggap sebuah hukum yang kejam.17 Pada hal penerapan sanksi hukumannya tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat bukti-bukti dan saksi-saksi yang kuat dan akurat.

Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapannya dikenal dengan beberapa asas, sementara dalam hukum pidana Islam juga telah dikenal asas yang sama sebagaimana dikenal dalam hukum modern. Seperti asas legalitas yaitu

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu), hukum pidana Islam juga mengenal hal seperti itu sebagaimana disebutkan dalam Al~Qur`an18 dan sebagainya.

14

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 86

15

Dianut di Negara-negara Eropa Kontinental dan bekas jajahannya seperti India, Perancis, Jerman, Belanda, Mesir, Indonesia dan sebagainnya

16

Dianut di Negara-negara Anglosaxon (Inggris) dan bekas jajahannya seperti Ingris, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada dan sebagainnya

17

Hukum Islam dianggap kejam hanya dilihat dari segi penerapan sanksi hukumannya saja seperti potong tangan bagi para pencuri, cambuk 80 kali bagi perampok dan pemabuk, cambuk 100 kali atau rajam sampai mati bagi penzina laki-laki ataupun perempuan, dan sebagainya. Namun tidak di lihat kenapa sanksi hukuman yang seperti itu diterapkan tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak yang ada pada ummatnya.

18

Q.S. Al Israa`: 15, artinya, "…dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul."


(23)

Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik, cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala muncul persoalan tentang sanksi hukumannya yang dianggap sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Pada hal apabila diteliti dari sudut pandang Islam itu sendiri, maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga telah memenuhi prinsip-prinsip hukum pidana modern bahkan telah mendahuluinya.19

Pertanggungjawaban pidana di dalam hukum Islam merupakan pembebanan kepada seseorang sebagai akibat perbuatannya (atau tidak berbuat dalam delik omisi20) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.21 Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal,22 yaitu :

1. Adanya perbuatan yang dilarang 2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seseorang dalam suatu perbuatan, maka akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak

19

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam…, Op Cit, hal. 10

20

Kata omisi atau ommision berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya hukuman atau ancaman hukuman. Lihat juga E.Utrecht dalma Hukum Pidana I, yang menyebutkan bahwa delik omissionis adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah dengan kata lain delicta ommisionis adalah tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana diperintahkan sedangkan delik commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang, dengan kata lain delicta commissionis adalah membuat seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang.

21

Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam:Penegakan Syari'at dalam wacana dan agenda, Cet. II, (Jakarta: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hal. 166

22

Topo Santoso, Ibid., hal. 166, lihat juga Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hal. 154


(24)

terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal pikiran yang sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka tidak ada pertanggungjawaban pidana padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan dilakukannya. Karenanya pertanggungjawaban pidana tidak bisa dimintakan kepada orang gila, anak-anak, orang dungu, dan orang yang sudah hilang kemauan serta orang yang dipaksa dan terpaksa. Dengan kata lain bahwa pelaku tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah ia mukallaf, yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana.

Berdasarkan hal ini, syari'at Islam tidak mengenal tempat tanggungjawab pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-nash syari'at menegaskan makna ini dengan jelas malalui sabda Rasulullah SAW, yang menyatakan :23

"Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras"

"Tidak dituntut dari ummatku kesalahan, kelupaan dan apa yang dipaksakan kepada mereka"

23

Said Hawwa, Al Islam, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al Kattani, Arif Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase, Cet. Pertama, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 694


(25)

dan Allah berfirman:24

"....tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pila) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya….."

Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur`an adalah bahwa seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang dilarang oleh agama.

Syari'at Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas suatu tindakan kejahatan dipikul oleh si penjahat itu sendiri. Dengan demikian dibatalkan sistem pertanggungjawaban yang berlaku di zaman jahiliyah dalam masalah kejahatan pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut.25 Dalam kaitan itu al-qur`an menyatakannya dalam surat al-Baqarah; 178, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula, yang demikian itu suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat, barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih"

24

Al Qur`an Surat al Baqarah: 173

25

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syari'ah (Al-Islamu 'Aqidatun wa Syari'atun), diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain, Cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), hal. 620


(26)

Di dalam Fiqh Jinayat, pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip,26 Pertama; Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan, Kedua; Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut, Ketiga; si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.

Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat.

Pada dasarnya pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam (syari'at Islam) tidak jauh beda, hanya saja beberapa bentuk hukum positif yang menegakkan pertanggungjawaban pidana atas filsafat jabar (determinisme, fatalisme)27

Berkaitan dengan uraian di atas, maka menarik untuk diteliti tentang asas-asas dalam pertanggungjawaban pidana dan faktor-faktor serta pertanggungjawaban pidana di lihat dari perspektif hukum Islam, dengan harapan ditemukannya konsep yang tepat dalam perspektif hukum Islam.

26

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi Revisi, Cet. Ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 242

27

Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967), hal. 156


(27)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah :

1. Bagaimanakah eksistensi Asas dalam hukum pidana ditinjau dari perspektif hukum Islam ?

2. Faktor apakah yang melandasi pertanggungjawaban pidana ?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana nasional di lihat dari perspektif hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Berpedoman pada uraian yang terdapat dalam perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan asas dalam konsep pertanggungjawaban pidana menurut hukum Islam

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang melandasi pertanggungjawaban pidana

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertanggungjawaban pidana Nasional di lihat dari perspektif hukum Islam.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum pidana positif maupun di bidang


(28)

hukum pidana Islam dalam kajian tentang pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat perundang-undangan khususnya hukum pidana Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada para kalangan praktisi hukum positif ataupun para pakar hukum Islam di dalam penerapannya di Indonesia. Di samping itu juga sebagai bahan penelitian lanjutan, yang diharapkan dapat memberi andil bagi perkembangan hukum pidana baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa belum ada tesis yang membahas tentang Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam, jadi penulisan tesis ini dapat dikatakan "asli dan jauh dari unsur plagiat" yang bertentangan dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan, Sifat dan Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif yang hanya menggunakan data sekunder, mengacu pada norma-norma hukum yang


(29)

terdapat di dalam perundang-undangan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal pada tempat dan pada saat tertentu dengan menuturkan dan menafsirkan data (bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tertier) untuk pemecahan masalah. Sedangkan bentuk penelitian adalah preskriptif, yaitu memberikan gambaran atau merumuskan permasalahan sesuai dengan keadaan/fakta yang ada.28

2. Data dan Sumber Data

Oleh karena penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, maka data yang diperlukan hanya data sekunder. Data sekunder yang diperlukan itu adalah bahan hukum29 primer yang bersumber dari sumber primer, yaitu perundang-undangan yang relevan dengan rumusan masalah. Selain bahan hukum primer juga diperlukan bahan hukum sekunder yang bersumber dari sumber sekunder, yaitu buku-buku literatur ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnnya yang relevan dengan rumusan masalah. Diperlukan juga bahan hukum tertier, seperti Rancangan

28

Alvi Syahrin, Penelitian Hukum Normatif, Kuliah Kedua pada Program Magister Bidang Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tanggal 2 Maret 2004

29

Lihat: Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat, Ed. 1, Cet., 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13. Bahan hukum dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: (1) Bahan hukum primer (primary law material) yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim); (2) Bahan hukum sekunder (secondary law material) yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik); (3) Bahan hukum tertier (tertiary law material) yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia)


(30)

Undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia bahkan Ensiklopedi baik hukum maupun umum

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka30 yang meliputi sumber primer, yaitu perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Sumber sekunder, yaitu buku-buku literatur ilmu hukum terutama tentang hukum Pidana serta tulisan-tulisan hukum lainnya termasuk media Internet untuk mengakses bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan. Sumber tertier, yaitu Rancangan Undang-undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia serta ensiklopedi. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum (data) yang diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan (editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan masalah (systematizing).31

30

Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Lihat: Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 81

31

Editing yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah; penandaan (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen), pemegang hak cipta atau urutan rumusan masalah. Catatan atau tanda akan ditempatkan dibagian bawah teks yang disebut catatan kaki (footnote) dengan nomor urut; penyusunan (reconstructing), -


(31)

4. Analisis Data

Data yang berupa dari berbagai sumber baik bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif, komprehensif dan lengkap,32 kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.

G. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional

a. Kerangka Teoritis

Islam adalah agama para Rasul dan Nabi seluruhnya, dari sejak Nabi Adam.as sampai kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi pemungkas risalah-risalah Allah SAW.33 Islam merupakan agama penyempurnaan terhadap ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, dimana Islam memberikan tuntunan aqidah, syari'ah dan mu'amalat, kesemuanya itu tidak lain adalah untuk kemaslahatan ummat. Islam tidak saja berkisar antara ibadah-ibadah

yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan; dan sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan malasah (systematizing), Ibid, hal. 126

32

Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan selektif, sehngga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Konprehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna. Ibid. hlm.127

33

Lihat Al Qur`an dalam surat Baqarah; 128, 132, Maidah; 44, Ali Imran; 52, Al-A'raf; 126, Yunus; 72, 84, Yusuf; 101, Al-Naml; 44, Al-Ahqaaf; 15, dan Asy-Syuura; 13


(32)

yang rutinitas tetapi Islam membawa dan mengajarkan kepada ummatnya seluruh persoalan yang dihadapi dalam kehidupan dunia.

Dengan demikian Islam adalah aqidah, ibadah, manhaj kehidupan dan dukungan-dukungan penguatnya, seperti tergambar dalam tabel berikut ini.34

Jihad, amar makruf, nahi mungkar, hukum dan sanksi

Manhaj-manhaj kehidupan, berupa manhaj politik, manhaj ekonomi, manhaj militer, manhaj pendidikan, manhaj akhlak dan manhaj sosial

Rukun-rukun

Dukungan-dukungan

Bangunan

Ibada-ibadah berupa: shalat, zakat, puasa dan haji, dan aqidah yaitu dua syahadat, keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kiamat.

I s l a m

Gambar 1. Bangunan Islam dalam kehidupan

Islam memiliki pandangan yang unik tentang kejahatan dan hukuman diantara semua sistem yang ada di permukaan bumi ini. Islam memiliki komitmen teguh terhadap keadilan absolut yang sedapat mungkin untuk diwujudkan dalam kemaslahatan kehidupan masyarakatnya. Karena itu semua kejahatan yang dilarang

34


(33)

dalam Islam merupakan perbuatan yang melahirkan kekacauan dan merusak keamanan serta ketertiban dalam masyarakat.

Bila dikaji lebih mendalam posisi hukum di Indonesia, khususnya hukum Islam ternyata masih belum dapat diterapkan secara sempurna, ini mengingat bukan saja karena penduduknya yang notabene pemeluk agama Islam akan tetapi karena negara Indonesia bukan negara Islam. Namun demikian kedudukan hukum Islam di bidang keperdataan di Indonesia mendapat tempat yang sangat bagus dalam hukum positif yang merupakan modifikasi norma-norma agama yang kemudian dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka lahirlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan hukum Islam di bidang pidana, ternyata belum mendapat tempat yang bagus, buktinya hukum pidana Islam dianggap hukum yang mempunyai sifat yang sangat kejam dan tidak selaras dengan perkembangan zaman modern35. Pada hal hukum Islam secara spesifik lebih dari semua hukum manusia dan dapat dipertahankan disetiap zaman.36

Hukum pidana positif merupakan hukum publik, dimana hukum pidana tersebut memberikan dan menetapkan sanksi pada perlanggaran norma lainnya. Norma hukum itu adalah norma hukum yang dianggap sangat penting bagi

35

ada dua kelompok besar yang berbeda memegang pendapat bahwa sistem hukum Islam tidak selaras dengan perkembangan zaman. Kelompok pertama, mereka yang tidak punya pengetahuan baik hukum Islam maupun hukum modern sementara kelompok yang kedua, mengenal hukum modern tetapi tidak tahu apa-apa tentang hukum Islam, lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan syari'at Islam dalam konteks modernitas, hal. 16

36

Abdul Qadir 'Audah "Criminal Law of Islam" dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan syari'at Islam dalam konteks modernitas, Op Cit., hal. 16


(34)

kelangsungan hidup masyarakat yang aman dan tertib. Oleh sebab itu hukum pidana pada umumnya memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, suatu akibat yang berupa pidana. Maka dengan syarat tersebut melahirkan suatu perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sejalan dengan itu maka KUHP Indonesia memuat dua hal pokok yaitu;

Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, yaitu syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan Pengadilan menjatuhi hukuman kepada si pelanggar. Kedua, menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.37

Aturan hukum pidana karena itu menjaga dan mempertahankan kepentingan-kepentingan. Memberikan sanksi untuk pencuri, karena menjaga kepentingan harta benda seseorang dari memiliki barang yang tidak sah, memberi sanksi terhadap penghinaan agar menjaga dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan sebagainya. Semua itu diatur dalam hukum pidana dengan mengedepankan asas bahwa tiada di pidana seseorang jika tidak ada aturannya, di samping itu asas dalam hukum pidana tidak berlaku surut terhadap perbuatan pidana yang belum ada aturannya. Asas ini yang terdapat dalam Al-Qur`an, yang menekankan bahwa hukum baru berlaku kalau risalahnya telah sampai kepada ummat atau masyarakat yang bersangkutan.

37


(35)

Adapun yang menjadi teori, yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang tindak pidana yang berkaitan dengan kesalahan, karena kesalahan dan pertanggungjawaban pidana erat kaitannya. Karena adanya kesalahan menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban, akan tetapi yang terlihat menunjukkan pada sebuah kenyataan di lapangan, yang mana terjadi perbedaan dalam praktek hukum yaitu tidak ada satu kesamaan dalam memahami satu bentuk kesalahan dan pertanggunjawaban. Salah satu pandangan yang dikemukakan oleh Schaffmeister menyebutkan bahwa penggunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bukan suatu keharusan menurut perundang-undangan empiris akan tetapi asas normatif.38 Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Curzon, yang menyatakan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dan karenannya mengenakan pidana terhadapnya.39

Schaffmeister menyatakan bahwa istilah kesalahan mempunyai arti yang berbeda jangkauan dan isinya, yaitu kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan di samping sifat melawan hukum, dan juga kesalahan dipakai untuk bagian khusus rumusan delik yaitu sebagai sinonim dari sifat tidak berhati-hati.40 Kesalahan dalam hukum pidana adalah suatu ikhwal yang tidak dapat dihindari, kesalahan selalu mempunyai kaitannya dengan tindak pidana yang

38

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungajawaban Pidana tanpa Kesalahan, Cet. I, (Jakarta: Predana Media, 2006), hal. 2

39

Chairul Huda, Ibid.

40

D. Schaffmeister, N. Keijzer, dkk., editor J.E. Sahetapy, Hukum Pidana; Kumpulan bahan penataran Hukum Pidana dalam rangka kerjasama Hukum Indonesia - Belanda, cet. III, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 85


(36)

dilakukan oleh setiap orang. Setiap orang tidak ingin terlibat dalam perbuatan terlarang, hanya saja memang patut dan diyakini bahwa orang dapat dipersalahkan karena tindakannya. Suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana, dengan kata lain mempunyai relevansi dari sudut pandang hukum pidana.

Sifat kesalahan mempunyai tingkatan yang berkenaan dengan kesengajaan (dolus) dan kesalahan dikarenankan kelelaian (culpa). Dollus dapat di mengerti sebagai berbuat dengan kehendak dan maksud untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimaan dirumuskan dalam kejahatan. Sedangkan culpa dalam perbuatan kurang mendapat perhitungan terhadap munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh sipelaku tindak pidana.

b. Kerangka Konsepsional

Konsep jinayah atau dalam istilah Indonesia disebut pidana, membicarakan tentang masalah larangan, karena setiap perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan larangan selalu terangkum dalam konsep jinayah yang merupakan perbuatan tersebut dilarang oleh syara'. Lahirnya larangan karena perbuatan tersebut mengancam kehidupan sosial masyarakat atau sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Kata jinayaat berasal dari bahasa Arab, ia merupakan bentuk jamak dari kata

jinayah yang diambil dari kata janaaya yang berarti memetik. Adapun kata jinayah menurut syari’at Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syari’at untuk


(37)

dilakukan.41 Berkaitan dengan kejahatan, kata al-jinayat dalam bentuk jama’ jinâyah

berakar dari kata Janaz-Zanba–Jinayatan, yang berarti melakukan kejahatan, hal ini disebut dalam bentuk jamak karena modusnya beragam, adakalanya menyangkut jiwa dan anggota tubuh, adaklalanya dengan sengaja dan tidak sengaja (tersalah).42

Kata jinayat atau disebut dengan Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahasan fiqh (Fikih), kalau pemahaman fiqh itu adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mangatur tentang kehidupan manusia dalam sistem hubungannya dengan Allah dan manusia, maka fiqh jinayah

secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan akan diberikan sanksi hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan, karenanya tujuan dari ketentuan itu tidak lain diciptakan Allah adalah untuk mendatangkan kemaslahatan ummat. Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi SAW, yang mengatakan "tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusia melakukan perusakan terhadap orang lain"43.

Segala bentuk tindakan pengrusakan terhadap orang ataupun makhluk lainnya di larang oleh agama dan tindakan tersebut merupakan kejahatan atau disebut dengan

jinayah atau istilah yang lebih tepat untuk itu disebut dengan jarimah. Fiqh jinayah

41

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, diterjemahkan oleh Nur Hasanuddin, Cet. I, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 399

42

Abd. Rasyid Salim, Meraih Jalan Petunjuk Syarah Bulugul Maram (Hidayatul anam Bisyarhi Bulughul Maram min Adillati al Ahkam), penerj. Bahrun Abubakar Ihsan, Lc, Cet. 1, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hal. 20

43

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, edisi pertama, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 253


(38)

sendiri berbicara tentang tindak kejahatan yang dilarang Allah pada manusia untuk melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akan mendapat sanksi hukuman di akhirat.

Ali ‘Audah menyebutkan, Jinayat dalam pengertian istilah adalah perbuatan yang diharamkan secara syariat, apakah perbuatan itu terjadi terhadap jiwa manusia, hartanya atau selain keduanya.44 Sedangkan dalam kebanyakan ahli fiqih memberikan pengertian secara mutlak terhadap perbuatan yang terjadi pada manusia saja, seperti pembunuhan, melukai dan memukul, namun sebagian fuqaha yang lainnya mengkhususkan penggunaan kata jinayat pada jarimah huduud dan qishash.45

Dalam banyak kesempatan para fuqaha sering menggunakan kata jinayah

dengan maksud jarimah, penggunaan kata jarimah ini dimaksudkan pada pembatasan perbuatan yang dilarang saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah di kalangan fuqaha, dapat disimpulkan bahwa kata jinayah dalam istilah fiqih adalah sinonim (muradif) dengan kata jarimah.

Di dalam hukum Islam, setiap tindakan jarimah disebut juga sebagai tindakan jinayah, baik itu hukuman yang dijatuhkan berupa kurungan, denda atau hukuman yang lebih berat. Di samping itu yang menjadi perhatian tentang jarimah ini dalam hukum Islam adalah sifat kepidanaan dari suatu tindak pidana, sementara dalam

44

Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Janaiy al-Islamiy, Muqaranan bil-Qanunil Wadh’iy, Juz Awal, (Beirut: Muasasah Risalah, 1996), hal. 67

45


(39)

hukum positif yang menjadi perhatian adalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku tindak pidana.

Ada beberapa bentuk pidana atau jinayah dengan istilah jarimah yang disebutkan dalam pidana Islam, di lihat dari segi mengerjakannya, yaitu :46

1. Dengan cara berbuat atau melakukan tindak pidana, disebut dengan jarimah ijabiyah/delict commisionis.

2. Dengan cara tidak melakukan/melaksanakan hal yang diperintahkan, disebut dengan jarimah salabiyah/delict ommisonis.

3. Jarimah ijabiyah taqa'u bithariq al-salab/delict commisionis per ommisionem commisa. Jenis jarimah yang ketiga ini adalah menahan seseorang tahanan dengan tidak memberi makan dan tidak memberi minum sehingga tawanan tersebut meninggal. Hal inilah sebagaimana dicontohkan oleh mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali.

Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai tentang bentuk atau istilah yang tepat terhadap perbuatan itu disebut jinayat atau jarimah, dalam hal ini jarimah dibagi ke dalam tiga golongan :

1. Golongan jarimah hudud, yang terdiri dari perzinahan, menuduh orang lain berzina, meminum minuman khamar (memabukkan), merampok, merusak, membuat onar, murtad dan memberontak.

46

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, kajian kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 130


(40)

2. Golongan jarimah qishash atau diyat, yang terdiri atas pembunuhan sengaja, pembunuhan mirip sengaja dan pembunuhan tidak sengaja

3. Golongan jarimah ta'zir, yaitu larangan/perintah tentang sesuatu hal yang tidak dirumuskan secara pasti, termasuk sanksinya dan pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada pihak penguasa.

Pada hakekatnya, di lihat dari karakter atau sifat dari pelanggaran dan perbuatan pada ketiga golongan di atas, maka hanya jarimah ta'zir yang dapat dianggap sesuai dengan delik-delik hukum pidana. Sementara itu jarimah hudud dan jarimah qishash/diyat lebih dogmatis dan menjadi hak Allah yang tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh manusia. Hal ini sangat berbeda dengan delik hukum pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan dan diperbaharui sesuai dengan kepentingan hukum atau masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang.

Suatu perbandingan bila di lihat dalam Kitab Undang-Undang Pidana Mesir, terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan kepada berat ringannya hukuman, yaitu; (1) Jinayah (kejahatan); suatu tindak pidana yang diancamkan hukuman mati, hukuman kerja berat seumur hidup, hukuman kerja berat sementara dan hukuman penjara (Pasal 10), (2) Janhah (kejahatan ringan); suatu tindak pidana yang dijatuhi hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau hukuman denda lebih dari 100 qirasy (Pasal 11), dan (3) Mukhalafa (pelanggaran); suatu


(41)

tindak pidana yang dijatuhi hukuman tidak lebih dari satu minggu atau hukuman denda ynag jumlahnya tidak lebih dari 100 qirasy (Pasal 12).47

Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindakan kejahatan atau jinayah berdasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah SWT dalam wahyu-wahyu-Nya dan penjelasannya diberikan oleh Nabi dalam haditsnya. Al-Qur`an telah memaparkan beberapa kejahatan tertentu yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan umumnya dan ketertiban khususnya dalam masyarakat. Al-Qur`an juga mewajibkan dijatuhi hukuman terhadap kejahatan dalam upaya mencegah dan mengurangi kejahatan dalam masyarakat.

Kejahatan-kejahatan tersebut berupa kejatahan/pelanggaran terhadap jiwa, hal ini bisa berupa pembunuhan atau perusakan anggota tubuh, Kejahatan terhadap harta benda dalam bentuk pencurian, kejahatan terhadap kehormatan dalam bentuk penuduhan zina, kejahatan terhadap keturunan dalam bentuk perzinahan, akal dalam bentuk meminum minuman keras (khamar), kejahatan terhadap agama dalam bentuk kemurtadan (keluar dari agama Islam) dan terhadap perundang-undangan umum kemasyarakatan dalam bentuk menyamun dan membuat kerusakan di muka bumi ini.48

47

Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 88

48

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syari'ah (Al-Islamu 'Aqidatun wa Syari'atun), Op Cit., hal. 610


(42)

Di dalam al-Qur`an ditegaskan bahwa yang termasuk dalam tindak pidana adalah:49

1. Pembunuhan, (al-Baqarah; 178) 2. Pencurian (sirqah), al-Maidah; 38-39) 3. Penzinahan, (an-Nur; 3-5)

4. Tuduhan penzinahan, (4-5)

5. Perusuhan dan pengacau keamanan 6. pemberontakan

7. Kemurtadan

8. Minum Khamar, (al-Maidah; 90-91)

9. Keengganan melaksanakan hukum Allah, (al-Maidah; 44, 45 dan 47)

10. Pelanggaran terhadap aturan Allah yang menyebabkan seseorang harus membayar kafarah ataupun fidiyah, (al-Maidah; 89, 95-96)

Secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu meliputi :50 1. Pidana qishash atas jiwa

2. Pidana qishash atas badan 3. Pidana diyat (denda ganti rugi) 4. Pidana Mati

5. Pidana Penyaliban (salib)

6. Pidana pelemparan batu sampai mati (rajam) 7. Pidana potong kaki atau tangan

8. Pidana pengusiran atau pembuangan 9. Pidana cambuk atau dera dan sebagainya

Selain bentuk-bentuk pidana yang tersebut di atas, baik bentuk yang ditegaskan dalam al-qur`an maupun secara tradisional, ada pidana yang dihukum dengan hukuman hadd. Para fuqaha menyebutnya dengan istilah kejahatan huduud, dimana hukuman dari kejahatan atau tindak pidana tersebut sudah merupakan

49

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit., hal. 132

50


(43)

ketetapan/ditetapkan oleh Allah SWT. Syari'at Islam telah membatasi kejahatan ini dalam tujuh macam, yaitu 51:

1. Zina

2. Menuduh (orang lain) berzina 3. Meminum khamar

4. Mencuri 5. Merampok 6. Menganiaya 7. Murtad

Pengertian hukum Islam diterjemahkan sebagai al~fiqh al Islamy atau dalam kontek tertentu disebut al syar'iah al Islamy, dan yang penekanannya lebih besar adalah al fiqh al Islamy.52 Hasbi Ash Shiddieqi, mendefinisikan hukum Islam itu adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari'at atas kebutuhan masyarakat.

Dalam kajian hukum Islam terdapat istilah yaitu; fiqh, syari'ah dan tasyri' Islam, ketiga istilah ini memiliki keterkaitan tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal.53 Karena norma-norma dasar yang terdapat dalam al-qur`an dan hadits banyak yang bersifat global atau umum, perlu dilakukan perumusan secara mendetil terhadap pemahaman yang umum itu untuk direalisasikan dalam kehidupan

51

Said Hawwa, Op Cit., hal. 658

52

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 7

53


(44)

sehari-hari yaitu melalui ilmu Fiqh. Karena itu di dalam fiqh membutuhkan aktualita pemikiran untuk merespon perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Secara definitif Ibnu Subkiy dalam kitabnya Jam'u al-Jawami' menyatakan bahwa fiqh berarti; "ilmu tentang hukum-hukum syar'i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili"54

Secara leksikal kata Syari'ah berarti "jalan ke tempat pengairan" atau "jalan yang harus diikuti" atau "tempat lalu air di sungai"55 di antara pakar hukum Islam memberikan definisi kepada syari'ah itu dengan "segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak".56

Di samping istilah syari'ah diterjemahkan oleh Abdullah Yusuf Ali sebagai jalan yang betul yang lebih luas dari sekedar ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.57 Namun demikian Pengertian syari'ah di sini mempunyai dua makna; pertama, makna yang umum yaitu keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan, dan yang kedua, dalam makna yang khusus yang berkonotasi fiqih yaitu ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang Al Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode tertentu.

54

Ibnu Subkiy, Jam'u al-Jawami' dalam Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Op. Cit., hal 5

55

Amir Syarifuddin, Ibid., hal. 2

56

Amir Syarifuddin, Ibid., hal. 3

57

Abdullah Yusuf Ali dalamSyahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia,Cet. 1, (Nanggaroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2004), hal. 74


(45)

Antara Fiqh dan Syari'ah menunjukkan hubungan yang sangat erat, karena

Fiqh adalah formula yang dipahami dari syari'ah dan syari'ah tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa dipahami melalui fiqh. Hukum secara etimologi berarti man'u yaitu mencegah, hukum juga berarti qadha' yang memiliki arti putusan.

Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata yaitu hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat perundang-undangan yang mengatur tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.

Pidana (jinayah) adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang

mukallaf yang melanggar perintah atau larangan Allah yang dikhitbahkan kepada orang-orang mukallaf, dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi (hukuman) itu harus dilaksanakan sendiri maupun dilaksanakan oleh para penguasa ataupun Allah sendiri akan menghukumnya baik di dunia maupun di akhirat.58

Istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang, biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha', perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara'. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.59 Istilah jarimah oleh Imam al-Mawardi mendefinisikannya sebagai berikut60 :

58

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit, hal. 125

59

A. Djazuli, Op Cit, hal. 1

60


(46)

"Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta'zir"

Dalam hukum Islam (syari'at Islam), pertanggungjawaban pidana diartikan pembebenan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.61

Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 (tiga) dasar yaitu:62 a. Adanya perbuatan yang dilarang

b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

c. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut

Menurut Djazuli, dalam bukunya Fiqh Jinayah, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu:

1. Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan,

2. Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut,

3. Si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.63

61

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Op Cit., hal. 154

62

Ahmad Hanafi, Ibid.

63


(47)

Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman masyarakat harus disesuaikan dengan seberapa besar kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat, di samping itu bahwa hukuman tersebut merupakan sesuatu yang diperlukan di tengah-tengah masyarakat sebagai alat untuk mengurangi berbagai macam kejahatan atau tindak pidana.


(48)

BAB II

EKSISTENSI ASAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Asas Hukum Pidana Nasional

Dalam setiap Negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya, yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas perarturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, merupakan hukum pidana yang telah dikodifikasikan, yaitu sebagian besar aturannya telah disusun dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Secara umum hukum pidana mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpelihara ketertiban umum. Kebutuhan akan kepentingan masyarakat tersebut satu sama lain tidak akan dapat terpenuhi secara merata dan satu sama lainnya tetap akan berbeda. Tentu saja dalam memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat akan bersikap dan berbuat menurut kebutuhan yang didapatkan. Untuk itu hukum akan memberikan rambu-rambu sebagai batasan tertentu sehingga sikap dan perbuatan masyarakat tersebut tidak semena-mena dan tidak sebebas-bebasnya, hal ini merupakan salah satu fungsi dari hukum itu sendiri.


(49)

Di samping itu secara khusus hukum pidana berfungsi, yaitu:64

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang dan memperkosa kepentingan hukum tersebut

2. Memberi dasar legitimasi bagi Negara 3. Mengatur dan membatasi kekuasaaan Negara

Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik manusia sebagai pribadi, manusia sebagai kelompok masyarakat atau manusia sebagai anggota suatu Negara, yang wajib dijaga, dipelihara dan dipertahankan agar tidak dilanggar atau disewenang-wenangkan oleh sikap atau perilaku maupun perbuatan manusia lainnya.

Memberikan dasar legitimasi bagi Negara dimaksudkan adalah berupa hak untuk menjalankan hukum dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan Negara yang sangat besar, sehingga Negara dapat menjalankan fungsi dari hukum pidana itu sendiri yaitu mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi sebaliknya perlindungan hukum itu tidak berakibat kepada terganggunya perlindungan hukum masyarakat lainnya, setidaknya mengurangi atau mengeliminir dari kesewenang-wenangan kekuasaan Negara dalam menjalankan fungsi hukum itu.

64

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal 15


(50)

Hukum pidana dibentuk dan disusun dengan maksud dapat mempertahankan kepentingan hukum masyarakat dengan cara dilindungi dan dijaminnya kedamaian dan ketertiban. Hukum itu sendiri berisikan nilai-nilai dan asas-asas yang dapat dipahami dari aspirasi hukum yang optimal dan dapat dipahami sebagai ukuran untuk teori hukum dan praktek hukum. Asas hukum merupakan ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum, sebagian merupakan sebagai kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan kelompok manusia,65 sebagian yang lain merupakan dasar pemikiran dibalik Undang-undang dan Yurisprudensi. Apabila ada peraturan perundang-undangan yang tidak didukung oleh suatu asas hukum, maka peraturan itu kehilangan diri dari sifat hukum.66

Dalam hukum pidana (positif) dikenal beberapa asas yang penting untuk diketahui, karena dengan adanya suatu asas dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistimatis, kritis dan harmonis.

Pada hakekatnya asas dari pada hukum pidana itu dapat digolongkan kepada 2 (dua) macam, yaitu; asas yang dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau perundang-undangan lainnya dan asas hukum yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum yang tidak tertulis dan di anut di dalam yurisprudensi.67

65

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, terbitan kelima, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 14

66

Bambang Poernomo, Ibid.

67


(51)

Berkaitan dengan kedua asas tersebut di atas, menjadi hal pokok dalam menjatuhi hukuman (pidana) pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Tercantumnya asas "Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat di pidana selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya" dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah asas yang disebut dengan asas legalitas, sering juga dipakai istilah bahasa Latin, yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege.68 Ucapan ini berasal dari Paul Johann Anselm Von Feuerbach (1775 – 1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman, dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin, dalam bukunya "Lehrbuch des peinlichen Recht" pada tahun 1801.69 Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta" yang dapat disalin istilah tersebut dengan "tiada delik tanpa ketentuan yang tegas".70 Hazewinkel–Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda "Geen delict, geen straf zonder een voorafgaande strafbepaling" sebagai rumusan pertama dan "Geen delict zoonder een precieze wettelijke bepaling" sebagai rumusan yang kedua.71

68

Andi Hamzah, Azas-azas Hokum Pidana, edisi revisi, cet. kedua, (Jakarta: Renika Cipta, 1994), hal. 39

69

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cet. Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 23

70

Andi Hamzah, Op Cit., hal 40

71


(52)

Ada dua hal yang dapat dirumuskan dari asas tersebut:72

1. Jika suatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.

2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.

Menurut beberapa pengarang dalam ilmu hukum pidana, menyebutkan bahwa rumusan Nullun delictum berasal dari ajaran Montesquieu yang umumnya terkenal dengan ajaran Trias politika. Kita tahu bahwa maksud ajaran trias politika itu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tindakan sewenang-wenangan dari pihak pemerintah Negara. Di samping itu ajaran Montesquieulah yang malakukan pertentangan yang hebat terhadap peradilan Arbitrer,73 tidak saja Montesquieu, John Locke juga memperjuangkannya sebagai suatu keinginan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi perorangan. Dari perjuangannya itu John Locke mendapatkan penghargaan Neersslag dalam Constitusi Amerika dan revolusi Perancis

Bagi Indonesia kiranya semua peraturan dapat dirumuskan secara sederhana dan terang, sehingga dapat dirasakan dan dimengerti oleh rakyat dan berurat berakar di bumi Indonesia. Hal ini tidak lain dimaksudkan baahwa asas legalitas kiranya

72

Andi Hamzah, Ibid.

73

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. Kesebelas, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), hal. 388. lihat juga Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet. Keempat, (Jakarta: Erlangga, 1984), hal. 166


(53)

dapat diperlonggar. Dengan tidak mengenyampingkan asas dalam hukum pidana Indonesia bahwa dalam Pasal 16 Ugolowny Kodex Uni Soviet 1922, menetapkan antara lain bahwa suatu perbuatan yang kendatipun tidak Tatbestandmassig (tidak tercantum dengan tegas dalam Undang-undang), juga diancam pidana pembuatnya, bila dipandang membahayakan keutuhan masyarakat (socially dangerous).74

Di tinjau dari sisi lain bahwa rumusan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege tersebut di atas agak lebih sempit karena menggunakan istilah perbuatan, sedangkan hukum pidana tidak saja menyangkut perbuatan aktif yang dalam istilah bahasa Indonesia dinamakan perbuatan tetapi juga perbuatan pasif (pengabaian), bahkan dalam hukum pidana ekonomi mengenal adanya peristiwa pidana yang ditimbulkan oleh pembuat yang sudah mati.75

Perwujudan asas lagalitas hukum dalam lapangan hukum pidana oleh para ahli sering diwujudkan menjadi beberapa masalah yaitu dalam hubungannya antara

The rule of law dengan perlindungan Hak Asasi Manusia, The rule of law dengan proses kriminal, The rule of law dengan pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuatan luar masih banyak lagi permasalahan yang serupa, dan juga bahwa the rule of law kaitannya dengan asas lagalitas yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali tetap tegak dalam bentuknya di tengah-tengah perubahan dan pergolakan masyarakat, dengan pengaruh dan effeknya terhadap kehidupan hukum sebagai suatu palladium dari kepastian hukum dan persamaan dalam hukum. Roelan

74

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidna I, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 36

75


(54)

Saleh menyatakan bahwa asas itu merupakan dasar pokok tentang perbuatan pidana, karena tanpa adanya ketentuan hukum pidana lebih dahulu mengenai apa yang dilarang (dan apa yang diperintahkan untuk dilakukan) maka tidaklah diketahui adanya perbuatan pidana.76

Perumusan asas legalitas dimaksudkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan-perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, akan tetapi juga macamnya pidana akan diancamkan. Dengan demikian, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang akan dapat diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.

Nah dari itu dapat diketahui bahwa asas legalitas mengandung makna, diantaranya ;77

1. Ketentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui Undang-undang yang dibuat oleh Negara atau berdasarkan kekuatan Undang-Undang-undang dalam arti formal.

2. Bahwa pembentukan Undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama mendapatkan legitimasi dari undang-undang dalam arti formal

76

Zainal Abidin Farid, ibid., hal. 42

77

Teguh Prasetyo dan Adul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Op Cit., hal. 26


(55)

tetapi tidak boleh menciptakan sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti formal.78

Asas ini mengandung makna asas perlindungan, yang secara histories merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancien Regime

serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu Negara liberal pada waktu itu. Sekarang pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan Negara yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan Negara pun tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan.

B. Asas Hukum Pidana Islam

Sejak 14 abad yang lalu, hukum pidana Islam telah menjadi pionir dalam menerapkan hukum yang berlandaskan kepada sumber yang valid dan akurat, yaitu Al–Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang merupakan sumber asli dari ajaran Islam. Namun 14 abad kemudian rasanya hukum pidana Islam sudah mengalami perubahan yang cukup parah, sampai-sampai sumber hukum Islam yang aslipun dalam gambaran umum para ahli hukum sudah buram. Hal ini tidak lain karena anggapan bahwa sistem hukum yang berlaku sekitar abad 7 ini yang lahir di padang yang tandus sudah dianggap ketinggalan zaman dibandingkan dengan sistem

78

Undang-undang dalam arti formal dimaksudkan bahwa Undang-undang yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945


(56)

hukum modern saat ini. Seiring dengan anggapan ini bahwa masyarakat berubah maka hukumpun mengalami perubahan dalam memenuhi kehidupan, idepun berlanjut bahwa hukum lama telah ketinggalan zaman.

Anggapan ini adalah salah besar karena telah membandingkan syari'at Islam dengan hukum modern, lalu mengklaim bahwa syari'at Islam tidak selaras lagi dengan kehidupan modern saat ini.

Hukum Islam hadir di muka bumi ini sebagai hukum yang menyempurnakan hukum-hukum lain dan juga menjadi pedoman bagi hukum modern saat ini.

Di lihat dari segi keberlakuan hukum Islam di Indonesia, mempunyai 2 alasan, yaitu; Pertama, berlakunya hukum Islam secara normatif, artinya bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila hukum Islam itu di langgar. Bagian hukum ini terutama hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dipatuhi atau tidak dipatuhui hukum Islam itu dalam masyarakat sangatlah tergantung pada keyakinan dan kesadaran keimanan ummat Islam itu sendiri. Kedua, berlakunya hukum Islam secara yuridis formal yaitu bagian hukum yang mengatur hubungan antara manusia dan mengatur hubungan manusia dengan makhluk yang lainnya.

Di Indonesia bagian hukum Islam yang dijadikan sebagai hukum positif, karena perundang-undangan menghendaki untuk itu. Lihat saja pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Kewarisan berdasarkan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang


(57)

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo PP No. 5 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.79

Hukum Islam sebagai salah satu bidang ilmu hukum, telah banyak dipelajari secara ilmiah, tidak saja oleh orang Islam itu sendiri akan tetapi oleh banyak orang yang bukan beragama Islam, sejak masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda sampai saat ini.

Pada perkembangan selanjutnya muncul kecenderungan mempelajari ajaran Islam sebagai bahan kajian perbandingan dengan hukum lain. Hal ini muncul karena adanya kenyataan terhadap pengakuan dan ketinggian nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan dan kepentingan penganut agamanya saja akan tetapi mengatur hubungan dan kepentingan manusia yang bukan beragama Islam sekalipun, inilah yang disebut dengan Islam rahmatan lil 'alamin.

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1952, para peserta yang menghadiri "the week of Islamic Law" (pekan hukum Islam) yang terdiri dari para ahli perbandingan hukum menyatakan bahwa: "Asas-asas hukum Islam mempunyai nilai yang tinggi yang tidak dapat diperkaitkan lagi" di dalam keputusan lain dinyatakan bahwa: dalam berbagai Mazhab yang ada di lingkungan besar hukum Islam, terdapat kekayaan pemikiran hukum serta teknik yang mengagumkan yang memberi kemungkinan kepada hukum Islam dan untuk

79

Suparman Usman, Hukum Islam:Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. Kedua, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 5


(58)

berkembang memenuhi semua kebutuhan dan penyesuaian yang dituntut oleh kehidupan modern.80

Sebagaimana tersebut pada sub Bab di atas, bahwa baik hukum pidana Belanda maupun hukum Pidana Indonesia, terdapat asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, meskipun sudah berumur ratusan tahun yaitu sejak tahun 1886 sampai saat sekarang, maka dalam hukum pidana Islam juga mengenal asas Legalitas yang berkenaan dengan unsur formal hukum Pidana Islam.

Di dalam lapangan hukum pidana Islam juga terdapat beberapa asas yang sudah umum dipakai dalam hukum Islam.

1. Asas Legalitas

Dalam hukum Islam juga mengenal asas legalitas, yang berkenaan dengan unsur formal hukum pidana Islam yang merupakan salah satu aturan pokok yang sangat penting. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) berbunyi: "Tidak ada tindakan pidana dan tidak ada sanksi hukuman atas sesuatu tindakan tanpa ada aturannya"81 atau "tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada Undang-undang yang mengaturnya."82

80

Maulana Muhammad Ali, Din Al Islam (Islamilogi) dalam Suparman Usman, Hukum Islam:Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Ibid., hal . 9

81

Teguh Prasetyo dan Adul Halim Barkatullah, Op Cit., hal. 27

82

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), HAL. 131


(1)

dalam setiap penegakan hukum dengan penekanan pada bentuk dan jenis pidana yang merupakan esensi dari penentuan pertanggungjawaban pidana.

3. Hukum pidana Islam adalah satu-satunya hukum yang memberikan kemaslahatan dan jawaban terhadap permasalahan hukum pidana nasional, oleh karenanya Pemerintah harus mengupayakan dapat diberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Al-Qur`an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.,

A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi Revisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syari’ah), Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, diterjemahkan oleh Syamsuddin Ramadhan, Cet. pertama, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004

Abdul Gani Abdullah, Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional, dalam Pidana Islam di Indonesia ; peluang, prospek dan tantangan, Cet. pertama, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004

Abdul Mujib, Kaedah-kaedah Ilmu Fiqh (al-Qawa’idul Fiqhiyyah), Cet. II, Jakarta: Kalam Mulia, 2001


(2)

Abd. Rasyid Salim, Meraih Jalan Petunjuk Syarah Bulugul Maram (Hidayatul anam Bisyarhi Bulughul Maram min Adillati al Ahkam), penerj. Bahrun Abubakar Ihsan, Lc, Cet. 1, Bandung: Nuansa Aulia, 2007

Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’iy al Islamy, Muqaranan bil-Qanunil Wadh’iy, Juz Awal, Beirut: Muasasah Risalah, 1996.

Abu Mazaya al-Hafiz dan Abu Izzat al-Sahafi, Fiqh Jenayah Islam, Cet. pertama, Kuala Lumpur: al-Hidayah Publisher, 2004

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2000

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam; Fikih Jinayah, Cet. Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Ali Yafie, Umar Syihab, Ahmad Sukarja, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008.

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, edisi pertama, Jakarta: Prenada Media, 2003

Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional; Mengenang 65 Thn Prof. Dr., Bustanul Arifin, SH,Cet. pertama, Jakarta: Gema Insan Press, 1996

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Reneka Cipta, 1991 Asnawi Abdullah, (Implementasi Hukum Ta’zir di Kota Lhokseumawe), Tesis,

Program Studi Pengkajian Islam, Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2008.

As-Syaukani, Nail al Authar juz VII, Saudi Arabia: Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiya, tt Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi


(3)

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2006

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1987

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: pustaka Tintas Mas, 1999

E. Utrecht dan Mohd. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet. Kesebelas, Jakarta: Sinar Harapan, 1989

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut Ajaran Ahlussunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971

Hudhari Bik, Tarekh al-Tasyri’ (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), diterjemahkan oleh Mohammad Zuhri, Darul Ikhya, 1980

Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, diterjemah oleh: Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003

Jimly As-Shiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia; study tentang bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh dan relevansinya bagi usaha pembaharuan KUHP Nasional, Bandung: Angkasa, 1996

Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Islam Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia, Cet. pertama, Yogyakarta: Galang Press, 2002

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh–1, Cet., III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syari'ah (Al-Islamu 'Aqidatun wa Syari'atun), diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain, Cet. Pertama, Jakarta: Pustaka


(4)

_________ , Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah, buku ketiga, alih bahasa Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1980

Masturi Irham, Metodologi Ijtihad Umar Bin Khaththab, Jakarta: Khalifa, 2005 Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: BP Iblam,

2004

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Drafindo Persada, 2005

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, ed. 2, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2003 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalitas Syari’at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan

Implimentasi menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. pertama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, , Cet. II, Bandung: Mandar Maju, 2000

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cet. I, Jakarta: Erlangga, 1985 _________ , Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, cet. keempat, Jakarta:

Erlangga, 1984

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4, Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996

Sayyed Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, diterjemahkan oleh Nur Hasanuddin, cet. I, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Said Hawwa, Al Islam, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al Kattani, Arif Chasanul Muna, Sulaiman Mapiase, Cet. Pertama, Jakarta: Gema Insani, 2004 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet. ketiga, (Malang: UMM

Press, 2005)

Sumiadi, “Pidana dan Pemidanaan dalam Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (studi tentang hudud, kisas dan ta’zir)”, Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2003


(5)

Suparman Usman, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Ed. 1, Cet., 6, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003

Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1, Nanggaroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2004

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Ed. 1, Cet., 6, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003:

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, kajian kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari'at dalam wacana dan agenda, Cet.I, Jakarta: Gema Insani, 2003

_________, Menggagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas, Cet. kedua, Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika, 2001

Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan aturan Ilahi untuk Manusia, diterjemahkan oleh Ade Nurdin dan Riswan, Cet. I, Bandung: Arasy Mizan Pustaka, 2003

_________ , Anatomy Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utamo, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2000

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

B. UNDANG-UNDANG

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (pasca Amandemen)

Indonesia, GBHN, ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 dilengkapi UUD 1945 dan perubahannya, piagam Jakarta


(6)

C. INTERNET

http:www.google.co.id/Position Paper Advokasi RUU KUHP seri 33 tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Elsam, 2008