153
4. Instrumen pengawasan terhadap profesionalisme hakim yang ter- amputasi
Hakim sebagai pejabat negara memiliki tugas penting secara ekslusif , yang berarti tidak dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak memiliki
kapasitas dan legalitas, yakni menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu jabatan hakim juga merupakan profesi karena untuk menduduki jabatan tersebut
diperlukan pengetahuan, keterampilan, integritas, yang tidak saja diperoleh melalui jenjang pendidikan formal, tetapi juga harus dibuktikan melalui
serangkaian ujian dan seleksi. Pada titik ini merupakan suatu keharusan agar hakim senantiasa bertindak profesional yang sangat menentukan penilaian atas
kehormatan, martabat dan perilaku hakim sebagai aparat penegak hukum.
Profesionalisme bukan merupakan suatu hal yang sekali jadi dan bersifat abadi. Profesionalisme selalu berkembanag dan dipengaruhi berbagai aspek,mulai
dari motivasi internal untuk mengembangkan diri hingga godaan dari luar yang mencederai integritas. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme dan institusi yang
berfungsi menjaga dan menegakkan profesionalisme hakim. Salah satunya adalah kode etik dan pedoman perilaku hakim serta mekanisme pengawasan hakim.
172
Profesionalisme sebagai bagian dari kode etik hakim sudah diakui di dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang antara lain
menyatakan sebagai berikut.
...
172
http:safaat.lecture.ub.ac.idfiles201403Hilangnya-Pengawasan-Terhadap- Profesionalisme-Hakim.pdf
, diakses tanggal 10 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
154
6.2 A judge shall devote the judge’s professional activity to judicial
duties, which include not only the performance of judicial functions and responsibilities in court and the making of the decisions, but also other
tasks relevant to the judiccial office or the courts operations.
6.3 A judge shall take reasonable steps to maintain and enhance the judge’s knowledge, skills and personal qualities necessary for the proper
performance of judicial duties, taking advantage for this purpose of the training and other facilities which should be made available, under judical
control, to judges.
... 6.5 A judge shall perform all judicial duties including the delivery of
reserved decisions, efficiently, fairly with reasonalbe promptness.
Prinsip profesionalisme dan pedoman pelaksanaan dalam Bangalore Principle tersebut dianut di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
dirumuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
173
Prinsip Profesional ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk upaya meningkatkan
kemampuan dan kualitas dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan kerjasama melaksanakan tugas administratif, mengutamakan tugas judisial, dan
wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan.
Dalam tataran aplikasi, rumusan pelaksanaan sikap profesional yang terdapat dalam butir 10.1 sampai dengan butir 10.4 Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 36PHUM2011. Majelis hakim berpendapat bahwa kewenangan KY
Berdasarkan pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman merupakan
173
Butir 10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat terminologi “Profesional” yang dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk
pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional kemudian mendorong
terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai
setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Universitas Sumatera Utara
155
kewenangan pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut
Undang-Undang harus semata-mata menyangkut perilaku hakim guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim.
Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang mengawasi teknis hukum. Rumusan butir 8.1.
174
dan rumusan butir 10.4.
175
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinilai tidak memuat sebuah cakupan tentang perilaku tetapi terkait
dengan pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kongnitif. Oleh karena itu hal ini tidak termasuk ke dalam wilayah pengawasan eksternal KY
karena tidak termasuk “perilaku”.
Majelis hakim berpendapat bahwa jika Komisi Yudisial menemukan adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa
kekeliruan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dilakukan dengan kesengajaan, masalah ini masuk kedalam wilayah pengawasan perilaku, baik oleh
Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial.
Majelis hakim menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan dengan cara, misalnya memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses
persidangan, memeriksa putusan hakim, dan hal-hal lain yang terkait dengan teknis peradilan, adalah tidak tepat, sebab kalaupun terdapat kekeliruan dalam
174
Penerapan butir 8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagai para pencari keadilan.
175
Penerapan butir 10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk
dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
Universitas Sumatera Utara
156
penegakan hukum acara, para pihak dapat melakukan perbaikannya melalui proses “upaya hukum” sebagaimana diatur dalam hukum formal hukum acara.
Pengawasan oleh Komisi Yudisial seharusnya fokus mengenai dugaan pelanggaran etik danatau perilaku.
Majelis hakim memutuskan mengabulkan permohonan uji materil para pemohon. Putusan menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2,
10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Repulik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang- Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu pasal 40
ayat 2 dan pasal 41 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo pasal 34A ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung .
Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36PHUM2011 penting untuk dicermati. Sebagai bahan pembanding, dan
argumentasi penguat bahwa pengawasan terhadap profesonalisme hakim telah hilang pasca keluarnya putusan MA Nomor 36PHUM2011, berikut ini akan
diuraikan catatan hukum legal anotation Muchamad Ali Safa‟at :
176
176
Muchamad Ali Safa‟at, Anotasi Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor: 36PHUM2011 dalam Perkara Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Keputusan
Bersama Ketua
Mahkamah Agung
dan Ketua
Komisi Yudisial
Nomor: 047KMASKBIV2009; Nomor:2SKBP.KYIV2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim, disampaikan dalam sidang Majelis Eksaminasi Publik yang diselenggarakan oleh Indonesian Court Monitoring ICM, Jogjakarta, 17 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
157
Didalam putusan ini sangat jelas bahwa antara argumentasi hukum di dalam pertimbangan hukum hakim sama sekali tidak berangkat dari argumentasi
hukum yang diajukan oleh pemohon sebagai dasar permohonan. Pemohon mengajukan argumentasi utama yang digunakan sebagai dasar permohonan untuk
menyatakan bahwa butir-butir SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Mahkamah Agung adalah dalil bahwa substasi bahwa butir-butir SKB dimaksud adalah norma hukum, bukan norma etik atau perilaku. Hal ini sama
sekali tidak dinilai dan dipertimbangkan oleh mejelis hakim.
Majelis hakim mengkonstruksikan argumentasi berbeda untuk menyatakan bahwa butir-butir SKB dimaksud bertentangan dengan UU Kekuasaan
Kehakiman dan UU Mahkamah Agung berdasarkan materinya yang dinilai justru tidak menyangkut perilaku, melainkan soal pengetahuan atau pemahaman yang
masuk wilayah kognitif, yang menurut majelis hakim tidak termasuk wilayah pengawasan Komisi Yudisial, dan hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum.
Pertimbangan hukum tersebut mengkonstruksikan bahwa apa yang dimaksud dengan teknis hukum menurut majelis hakim adalah sesuatu yang
terkait dengan wilayah kognitif, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum hakim dalam menjalankan tugas persidangan. Padahal yang dimaksud dengan
teknis hukum juga meliputi perilaku dalam memimpin persidangan dan menerapkan hukum acara. Bahkan, tingkat pengetahuan dan pemahaman hakim
juga hanya dapat dilihat melalui perilakunya.
Universitas Sumatera Utara
158
Meskipun seandaianya quad non ketentuan dalam butir-butir SKB dimaksud berada pada wilayah pengetahuan dan pemahaman kognitif, tetap saja
hal ini merupakan bagian dari norma kode etik yaitu hakim harus profesional sesuai dengan pedoman perilaku ke 10- Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Dengan demikian , hakim yang tidak mengetahui atau memahami aturan hukum dan kemampuan lain yang diperlukan untuk menjalankan tugas sudah
melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Hal ini sangat wajar mengingat profesi hakim merupakan profesi terhormat yang tentunya dituntut memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam.
Pendapat majelis hakim, yanag menyatakan bahwa pengawasan perilaku hakim baru dapat dilakukan oleh MA atau KY pada saat terjadinya kekeliruan
hakim dalam memeriksa dan memutus karena kesengajaan bertentangan dengan nilai profesionalisme hakim yang dianut secara universal sebagai bagian dari
kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Selanjutnya, pendapat majelis hakim yang menyatakan bahwa pengawasan tidak dapat mempersoalkan proses persidangan bertentangan dengan
maksud dari pengawasan itu sendiri, yaitu untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim. Hal yang sangat
menentukan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim adalah perilaku di persidangan. Jika pengawasan tidak dapat dilakukan terhadap perilaku hakim
dalam proses persidangan, maka pengawasan perilaku hakim akan teramputasi, tidak lagi meliputi pengawsana di dalam dan diluar persidangan, melainkan
hanya sebatas pengawasan terhadap perilaku hakim di luar persidangan.
Universitas Sumatera Utara
159
Dengan Putusan MA yang membatalkan butir 8.1 sampai butir 8.4, serta butir 10.1 sampai butir 10.4, satu lagi instrumen upaya untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, martabat dan perilaku hakim diamputasi. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sendiri semakin tidak berdaya dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim. Dengan demikian, terhadap hakim yang tidak profesional tidaka ada lagi tindakan yang dapat dilakukan, kecuali menunggu
hingga pensiun.
177
Hilangnya instrumen untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di dalam persidangan, semakin membuka celah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam proses peradilan. Penyimpangan-penyimpangan yang dimaksud bahkan mengarah pada praktik judicial corruption. Bukan hal yang
sulit untuk menemukan jawaban “mengapa hakim kerapkali melahirkan putusan- putusan yang kontroversial ?”. Meskipun membutuhkan jawaban yang kompleks,
salah satu persoalan penting adalah terkait dengan profesionalisme hakim. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan terjawab dengan pertanyaan baru, “bagaimana
mungkin putusan kontroversial dan jauh dari rasa keadilan akan lahir dari hakim dan majelis yan
g profesional ?”.
Argumentasi hukum yang dibangun hakim, tidak tampak cacat hukum serta dapat di pertanggungjawabkan lepas dari produk putusan kolutif. Bahkan
putusan pengadilan hanya bisa dikoreksi secara internal dalam struktur vertikal proses hukum selanjutnya mulai dari upaya hukum banding di Pengadilan
Tinggi, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
177
http:safaat.lecture.ub.ac.id , Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
160
Semangat untuk memberantas praktik korupsi di pengadilan hanya menyalahkan sistem yang ada, kurang berorientasi pada pengawasan kinerja
profesionalisme penegak hukum, sehingga terhalang perilaku penegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaan abuse of power yang tersamar dalam
legalitas kewenangan penegak hukum.
178
Ketika Komisi Yudisial sudah tidak lagi berwenang melakukan pengawasan perilaku hakim dalam persidangan, maka profesionalnya seorang
hakim dapat dinilai melalui putusannya. Sebagaimana diuraikan pada Bab terdahulu, putusan hakim dapat diuji melalui upaya hukum. Namun,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan juga menyebabkan timbulnya keraguan-keraguan publik terhadap upaya hukum, kendatipun publik
masih mengharapkan keadilan melalui upaya banding , kasasi dan peninjauan kembali.
Menempuh upaya hukum dalam kondisi dimana lembaga peradilan telah terkontaminasi dengan praktik judicial corruption ibarat bergantung pada tali
yang lapuk. Berharap mendapatkan keadilan, namun seringkali putus pengharapan dan kian jauh dari keadilan. Disinilah perlunya dilakukan eksaminasi publik atau
legal ananotation pemberian catatan-catan hukum terhadap putusan hakim untuk menilai profesionalisme hakim dalam memutus suatu perkara.
178
Jawade Hafidz, Sistem Pertanggungjawaban Perkara Korupsi dalam Percepatan Penyelamatan Keuangan Negara, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11, Edisi
Khusus, Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Februari, 2011, hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
161
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan