Eksaminasi Publik Sebagai Upaya Pencegahan Terhadap Praktik Judicial Corruption : Analisis Hasil Eksaminasi Publik Perkara No. 173/PID.B/2011/PN.PDG

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Abdurrahman, Muslam., 2009, Sosiologi Penelitian Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang.

Aldentua Siringoringo dan Tumpal Sihite (Ed)., 1996, Menyingkap Kabut Peradilan Kita : Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung, Pustaka Forum Adil sejahtera, Jakarta.

Ali, Zainuddin., 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Amos,HF.Abraham., 2007, Katrastopi Hukum dan Quo Vadis Politik Peradilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Aris Purnomo, Emerson Yuntho, dan Suhartiyasno (Ed.)., 2003, Peradilan Dagelan : Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa, Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

Arysteus, Suprianus., 2008, Eksaminasi Terhadap Putusan Hakim Sebagai Partisipasi Publik, BPHN Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.

BPHN Departemen Hukum dan HAM RI, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Eksaminasi Putusan Hakim Mengenai Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Gie, Kwik Kian., 2003, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian,

Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan (Edisi III, telah di revisi), Jakarta.

Harahap, M. Yahya., 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (edisi kedua), Sinar Garfika, Jakarta.

Hasrul Halili, Emerson Yuntho, Aris Purnomo (Ed.).,2003, Eksaminasi Publik Perkara Yayasan Pendidikan Kerjasama Yogyakarta, ICW, Jakarta. Ibrahim, Jhonny., 2005, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayu

Media, Malang.

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia., 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), Jakarta.

Komisi Yudisial Republik Indonesia., 2010, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara : Bunga Rampai KY. Jakarta.

____________________________., 2014, Kualitas Hakim dalam Putusan, Sekretariat Jenderal komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1984, Dasar- dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia., 2003, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta. Manan, Bagir., Sistem Peradilan Berwibawa : Suatu Pencarian, Fakultas Hukum

UII Press, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud., 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad., 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Muladi., 2003, Reformasi Hukum Belum Selesai, BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Pointer, J.A., 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah Arif Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung.

R. Subekti dan Tjidrosoedibjo., 2005, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Rahardjo, Satjipto., 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia, Kompas, Jakarta. ______________., 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.

Simanjuntak, Nikolas., 2009, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum,

Siregar, Tampil Anshari., 2007, Metode Penelitian Hukum, Multi Grafia, Medan. Soemitro, Ronny Haritijo., 1983, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,

Semarang.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji., 2013, Penelitian HukumNormatif : Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada,, Jakarta.

Sumaidi, Ahmad Fadli., 2013, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan : Fungsi Manajemen Mahkamah Agung Terhadap Pengadilan di Bawahnya Setelah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang.

Susanto, Anton Freddi., 2004, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung. Suyuthi,, Wildan., 2003, Kode Etik Hakim dan Pedoman Perlaku Hakim,

Mahkamah Agung Republik Inonesia, Jakarta. The World Bank., 2004, Memerangi Korupsi di Indonesia,

Thohari, A. Ahsin., 2004, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta.

Wisnubroto, Al., 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam Beberapa Aspek Kajian, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.


(3)

Wiyono, R., 2008, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kudua, Sinar Grafika, Jakarta.

Zakiyah, Wasingatu, et.al. (eds), 2002, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

___________________________, 2003, Eksaminasi Publik, Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

___________________________ , 2003, Panduan Eksaminasi Publik (edisi revisi), Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

B. Jurnal

Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4. No. 1. Maret 2007, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.

Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11 Edisi Khusus, Februari 2011, Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto.

Jurnal Dinamika Hukum,Vol 12.No.1 Tahun 2012, Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto.

Padjajaran, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1. No. 2. Tahun 2014.

C. Artikel

E. Sundari, 2003, “Menciptakan Lembaga Eksaminasi Sebagai Social Control Terhadap Putusan Pengadilan Yang Independen, Obyektif dan Berwibawa”. Dalam Wasingatu Zakiyah, et.al (Ed.), Eksaminasi Publik, (hlm.-)Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

Hasrul Halili, 2003, “Eksaminasi Publik , Dari Persoalan independensi Sampai Ke Isu Partisan”. Dalam Wasingatu Zakiyah,et.al (Ed.), Eksaminasi Publik, (hlm. -), Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

Mudzakkir, 2003, “Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan” . Dalam Wasingatu Zakiyah,et.al. (Ed.), Eksaminasi Publik Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan,(hlm. -) Indonesia Coruption Watch, Jakarta.

Rachmat Syafaat, 2003, “Mentradisikan Eksaminasi Sebagai Suatu Kajian Ilmiah di Lingkungan Pendidikan Tinggi Hukum” Dalam Dalam Wasingatu Zakiyah,et.al (Ed.), Eksaminasi Publik, (hlm. -), Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2003, “Eksaminasi Publik Sebagai Manifestasi Kekuatan


(4)

Zakiyah,et.al (Ed.), Eksaminasi Publik, (hlm. -), Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

Susanti Adi Nugroho, 2003, “Sejarah dan Pelaksanaan Eksaminasi di Lingkungan

Peradilan”. Dalam Wasingatu Zakiyah, et.al. (Ed.) Eksaminasi Publik, (hlm. -) Indonesia Corruption Watch, Jakarta.

D. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial

Peraturan Menteri No. 7 Tahun 1988 tentang Kepengurusan Perusahaan Daerah Air Minum.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepengurusan Perusahaan Daerah Air Minum.

Keputusan Menteri Otonomi Daerah No. 8 Tahun 2000 tentang Pedoman Akuntansi Keuangan Daerah.

Surat Edaran Mahkmah Agung No.5 Tahun 1966 mengenai Pedoman tentang Fungsi-fungsi hierarkis badan-badan pengadilan/hakim-hakim dan tatalaksana administratif badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum.


(5)

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Eksaminasi, Laporan Bulanan, dan Daftar Banding

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan, tanggal 24 Agustus 2006

E. Internet

https://www.academia.edu/10274016/

http://www.kompasiana.com/bagusoa/korupsi-pada-lembaga-peradilan-judicial-corruption-di-indonesia_55178cb4813311fe689de206/

http://www.kompasiana.com/utamyh/mafia-peradilan-sejarah-dan-realita_550ecbaaa33311b72dba820b/

http://www.kompasiana.com/utamyh/mafia-peradilan-sejarah-daN realita_550ecbaaa33311b72dba820b/

http://eprints.ums.ac.id/9459/1/C100060110.pdf

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6169/font-size1-colorff0000bmafia-peradilan-2bfontbrhirukpikuk-lelang-putusan-di-pengadilan-niaga-dan-ma http://litbangdiklatkumdil.net/direktori-pengadilan.html

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/11/Fiat-Justitia-Sept-2015.pdf

http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Hilangnya-Pengawasan-Terhadap-Profesionalisme-Hakim.pdf

http://www.antikorupsi.org/id/content/press-release-bongkar-mafia-peradilan http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/6%20Bambang%20Sutiiyoso

.pdf

https://muntasirsyukri.wordpress.com/2011/09/01/hakim-antara-legal-justice-moral-justice-dan-sosial-justice/

http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/11/integritas-dan-profesionalitas-korps- adyaksa-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-prof-dr-h-oyo-sunaryo-mukhlas-m-si-2/,

http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/03/11/integritas-dan-profesionalitas-korps- adyaksa-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-prof-dr-h-oyo-sunaryo-mukhlas-m-si-2/

http://www.komisiyudisial.go.id/berita-54303-icw-sampaikan-eksaminasi-publik-putusan-praperadilan-hakim-sarpin-ke-ky.html


(6)

http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/200/148 http://www.antikorupsi.org/id/content/20-kasus-tindak-pidana-korupsi-2012/

F. Putusan


(7)

BAB III

PERLUNYA EKSAMINASI PUBLIK SEBAGAI UPAYA MENCEGAH PRAKTIK JUDICIAL CORRUPTION

A. Lemahnya Internal Control Lembaga Peradilan

Dalam prakteknya pengadilan sebagai pemegang kekuasaan yudisial sangat tertutup dengan berdalih kekuasaan yudisial bebas dan independen. Banyaknya kasus yang memperlihatkan ketertutupan amat potensial memicu beragam penyimpangan, misalnya interaksi antara jaksa, pengacara, panitera, dan hakim dalam praktek suap di pengadilan. Hal inilah yang memicu praktek mafia peradilan yang selama ini ada.124

Para pelaku praktik korupsi di lembaga peradilan senantiasa berlindung dibalik klaim otoritas independensi lembaganya. Praktik korupsi di lembaga peradilan semakin tak terkontrol ketika internal control terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik.

3. Eksaminasi di lingkungan pengadilan dan kejaksaan sebagai pengawasan internal

Eksaminasi putusan merupakan suatu pemberian komentar terhadap putusan-putusan hakim mengenai aspek-aspek tertentu yang dilakukan oleh pimpinan pengadilan maupun hakim pengadilan yang lebih tinggi.

Pelaksanaan eksaminasi dilakukan secara bertingkat. Putusan hakim Pengadilan Negeri dieksaminasi oleh Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan

124

Bambang Widjojanto, Harmonisasi Peran Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi ( dalam) Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4. No.1. Maret 20007, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, hlm. 8-9.


(8)

putusan Ketua-Ketua Pengadilan Negeri di eksaminasi oleh Pengadilan Tinggi. Kewenangan eksaminasi tertinggi berada pada Mahkamah Agung.

Eksaminasi dilakukan sekurang-kurangnya terhadap 3 perkara pidana dan 3 perkara perdata hakim yang bersangkutan dan hanya dilakukan terhadap perkara-perkara yang telah diselesaikan. Eksaminasi difokuskan kepada aspek mengenai tuduhannya, berita-berita acaranya persidangan, putusan, berita acara pelaksanaan dan lain-lain.125

Hasil eksaminasi akan diserahkan kembali pada hakim yang bersangkutan agar hakim yang bersangkutan dapat mempelajari eksaminasi tersebut. SEMA ini juga secara jelas menyebutkan bahwa hasil eksaminasi akan diupayakan untuk dipergunakan sebagai mekanisme obyektif untuk mengukur konduite hakim.

Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, instrumen eksaminasi mengalami degradasi.126 Dari yang tadinya dimaksudkan sebgai suatu instrumen penting yang dipergunakan untuk pengawasan kinerja hakim dan keperluan pembinanaan karir, akhirnya hanya menjadi suatu persyaratan formil dalam kenaikan golongan kepegawaian. Sejak tahun 1978 Mahkamah Agung menetapkan bahwa eksaminasi hanyalah persyaratan tambahan untuk kenaikan golongan disamping syarat-syarat lainnya. Fungsi eksaminasi terus terdegradasi,

125

SEMA No.5 Tahun 1966 mengenai Pedoman tentang Fungsi-fungsi hierarkis badan-badan pengadilan/hakim-hakim dan tatalaksana administratif badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum.

126

Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia,Jakarta,2003,hlm.160.


(9)

sampai akhirnya fungsi eksaminasi untuk kenaikan golongan digantikan dengan ujian dinas.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti Indonesia Corruption Watch dengan beberapa hakim dan mantan hakim, eksaminasi di pengadilan hanya berjalan diawal-awal keluarnya SEMA No.1 Tahun 1967, dan pada tahun 1980 praktis eksaminasi tidak pernah dilakukan lagi di lingkungan lembaga pengadilan.127

Berdasarkan penelitian informal yang dilakukan oleh Susanti Adi Nugroho, Kapuslitbang Mahkamah Agung, menyimpulkan bahwa kendala-kendala yang menyebabkan lembaga eksaminasi di pengadilan berhenti antara lain karena :128

5. Perkara-perkara pidana atau perdata yang diajukan untuk dieksaminasi adalah atas pilihan masing-masing hakim, yang pada umumnya yang diserahkan untuk dieksaminasi adalah perkara yang dianggap putusan-putusan yang terbaik yang pernah dilakukan oleh hakim tersebut, dan yang putusannya diperkuat oleh Mahkamah Agung. (putusan-putusan yang dapat menimbulkan pertanyaan atau yang putusannya dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi, tidak akan diajukan sebagai putusan yang akan di eksaminasi). Penilaian umum tentang bobot putusan hanya dari 3 (tiga) perkara pidana dan 3 (tiga) perkara perdata yang pernah diputus oleh seorang hakim dalam tenggang waktu 4 (empat) tahun, tidak/belum dapat menilai kemampuan hakim yang bersangkutan.

6. Dalam 4 (empat) tahun sulit diperoleh perkara-perkara yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dan dikirimkan kembali ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

7. Dalam tenggang waktu 4 (empat) tahun para hakim telah dimutasi kewilayah pengadilan lain, sehingga tidak mengetahui lagi kelanjutan dari perkaranya.

8. Tidak pernah ada keterangan atau buku catatan tentang baik buruknya hasil penilaian eksaminasi oleh pejabat yang berwenang melakukan eksaminasi, seperti yang ditentukan dalam instruksi atau surat edaran

127

Wazingatu Zakiah,et.al., Panduan Eksamiansi Publik (edisi revisi), Indonesia Corruption Watch, Jakarta,2003,hlm.18.

128


(10)

tersebut, bahkan pada tahun-tahun terakhir, eksamiansi tidak lagi merupakan persyaratan kenaikan golongan bagi seorang hakim.

Mencermati hasil penelitian tersebut, dapat dipahami bahwa kegiatan eksaminasi dilingkungan pengadilan sebagaimana diamanatkan dalam SEMA No.1 Tahun 1967 dalam pelaksanaannya dilakukan setengah hati oleh hakim-hakim yang harus melakukan eksaminasi. Eksaminasi hanya dilakukan terhadap putusan-putusan yang menguntungkan bagi hakim eksaminator.

Sedangkan eksaminasi di kejaksaan menurut penuturan para jaksa yang masih aktif, masih berjalan meskipun umumnya hanya pada kasus-kasus yang mendapat perhatian dari masyarakat.

Menurut narasumber dikejaksaan yang tidak bersedia disebutkan identitasnya sampai saat ini eksaminasi masih berjalan dikejaksaan, namun pada umumnya perkara yang dieksaminasi adalah perkara yang gagal. Dijelaskan yang dimaksud perkara gagal adalah perkara pidana yang diputus bebas oleh hakim. Bahkan dari hasil eksaminasi dapat dikembangkan, apabila terjadi kecerobohan yang fatal, jaksa yang bersangkutan diperiksa oleh bidang pengawasan. Jika ditemukan pelanggaran maka dapat dikenakan aturan dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil, dengan hukuman paling berat adalah pemberhentian tidak hormat.129

Sepintas konsep eksaminasi di kejaksaan cukup ideal namun bukan berarti tidak ada kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya sanksi yang diberikan apabila Kepala Kejaksaan Negeri atau jaksa yang bersangkutan tidak menyerahkan berkas perkara untuk di eksaminasi. Selain itu hasil eksaminasi di kejaksaan tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat. Kejaksaan terkesan menutup diri dalam hal eksaminasi.

129

Wazingatu Zakiah,et.al., Panduan Eksamiansi Publik, Indonesia Corruption Watch, Jakarta,2003,hlm.18.


(11)

2. Pengawasan internal Mahkamah Agung

a. Peraturan Mahkamah Agung sebagai pengaturan pengawasan internal.

Undang-undang telah mengelaborasi ketentuan konstitusional tentang kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menempatkan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan sekaligus sebagai puncak manajemen peradilan. Dalam Posisinya yang demikian itu, Mahkamah Agung dalam perspektif manajemen Sumber Daya Manusia, memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan terkait dengan kompetensi dan profesionalitas hakim sebagai sumber daya manusia pelaksana utama kekuasaan kehakiman.

Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :

“Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung”.

Fungsi pengawasan secara tegas termaktub dalam pasal 39 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang –Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :

(1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap tugas adminisrasi dan keuangan.


(12)

(3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Ketentuan-ketentuan tesebut menyatakan secara tegas tentang adanya fungsi pengawasan Mahkamah Agung mengenai tiga hal, yaitu (i) penyelenggaraan peradilan, (ii) administrasi dan keuangan, dan (iii) tingkah laku hakim. Dua dari tiga objek pengawasan tersebut, yakni penyelenggaraan peradilan dan tingkah laku hakim, serta administrasi peradilan merupakan pencerminan dari kompetensi dan profesionalitas hakim dan pejabat kekuasaan kehakiman lainnya. Sehingga dalam perspektif manajemen sumber daya manusia menjadi objek pembinaan.

Mahkamah Agung mengatur pengawasan internal dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonsia Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan, tanggal 24 Agustus 2006 dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 1.047/KMA/SK/IV/2009 2. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim, tertanggal 8 April 2009 serta mengatur pembinaan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 140/KMA/SK/X/2008 Tentang Buku Panduan Mengenai Pengelolaan dan Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, tanggal 31 Oktober 2008.


(13)

b. Pengadilan dan pejabatnya merupakan subjek hukum pengawasan

Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Pengawasan tersebut mengatur tentang unit-unit yang memiliki fungsi pengawasan dan yang mendapat pengawasan di dalam setiap pengadilan pada setiap jenjangnya sebagai berikut :

1. Yang mengawasi

1) Di lingkungan Mahkamah Agung :

a) Pimpinan Mahkamah Agung;

b) Seluruh pejabat kepaniteraan Mahkamah Agung; dan

c) Seluruh pejabat struktural Mahkamah Agung.

2) Di lingkungan pengadilan tingkat banding :

a) Pimpinan pengadilan tingkat banding;

b) Seluruh pejabat kepaniteraan di lingkungan pengadilan tingkat banding

c) Seluruh pejabat struktural di lingkungan pengadilan tingkat banding.

3) Di lingkungan engadilan tingkat pertama :

a) Pimpingan pengadilan tingkat pertama;

b) Seluruh pejabat kepaniteraan di lingkungan pengadilan tingkat pertama

c) Seluruh pejabat struktural di lingkungan pengadilan tingkat pertama.130

130

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan


(14)

2. Yang Diawasi

Adapun yang mendapat pengawasan, keputusan tersebut menyebutkan setiap pengadilan pada setiap susunan pengadilan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu (i) Mahkamah Agung, (ii) pengadilan tingkat banding,(iii) pengadilan tingkat pertama, serta (iv) aparatur peradilan pada setiap pengadilan dalam susunan tersebut. Ruang lingkupnya meliputi : (i) penyelenggaraan peradilan, (ii) pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasii dan finansial peradilan.131

Berdasarkan uraian mengenai subjek yang melakukan pengawasan dan subjek yang mendapatkan pengawasan, meliputi satuan-satuan organisasi dan objeknya hanya menyebutkan dua hal, yaitu penyelenggaraan peradilan serta pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasi dan finansial peradilan.

Hal tersebut bila dibandingkan dengan judul keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Peradilan “ dan pertimbangan huruf b yang menyatakan, “ serta melakukan pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan” maka terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian.132

Pertama, pengaturan dalam keputusan ini melupakan, atau sekurang-kurangnya melalaikan, satu hal; yaitu pengaturan mengenai pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan. Kedua, Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan, tanggal 24 Agustus 2006, dalam lampiran I, huruf C.

131

Ibid, Lampiran I Huruf D. 132

Ahmad Fadlil Sumaidi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan (Fungsi Manajemen Makamah Agung Terhadap Pengadilan di Bawahnya Setelah Perubahan UUD 1945), Achmad Edi subiyanto, Anna Triningsih (eds), Setara Press, Malang, 2013, hlm. 179.


(15)

sekiranya harus dianggap tidak terjadi kelupaan atau kelalaian dalam pengaturan maka judul keputusan ini menjadi terlampau luas dibandingkan dengan materi muatan yang diaturnya.

Persoalan lain yang muncul apakah pengawasan terhadap hakim yang merupakan wewenang dan tanggung jawab pimpinan pengadilan, yang juga hakim, didelegasikan kepada unit organisasi Mahkamah Agung atau pengadilan yang secara organisatoris berada dalam susunan organisasi sekretariat, sehingga pengawasan hakim bukanlah hakim. Atau tepatkah hakim diawasi oleh satuan organisasi pendukungnya.

c. Kategori, macam, dan objek pengawasan

Pengawasan internal di lingkungan peradilan saat ini terbagi menjadi dua kategori , yakni pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepemimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan. Pengawasan fungsional merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yang di Mahkamah Agung nomenklaturnya adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.133

Pengawasan melekat merupakan fungsi yang ada sejak semula bersamaan dengan adanya fungsi kepemimpinan. Oleh karena itu pengawasan melekat tersebut berbeda dari pengawasan fungsional yang adanya fungsi itu

133

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Peradilan, tanggal 24 Agustus, 2006, dalam Lampiran I, IA, poin 1, 2, 3, dan 7.


(16)

sejak diberikannya kepada unit organisasi atau lembaga yang sengaja dibentuk untuk itu. Dalam hal unit organisasi dan jabatan, di Mahkamah Agung dibentuk Badan Pengawas dan dibentuk pula Ketua Muda Bidang Pengawasan. Adapun untuk jabatan yang sudah ada, misalnya wakil ketua dan/ atau hakim.134

Kedua macam pengawasan tersebut, yakni pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional, merupakan fungsi pengawasan yang pelaksanaannya dilakukan secara aktif dan terus menerus yang pelaksanaannya harus dilaksanakan secar rutin dan reguler. Karena itu maka penyelenggaraan fungsi pengawasan memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi manajemen, sehingga mendapat pengawasan manajemen.

Disamping pengawasan yang bersifat aktif terdapat satu macam lagi pengawasan yang pelaksanaannya bersifat pasif, yaitu proses pengawasan yang pelaksanaannya bergantung pada adanya pengaduan masyarakat. Pelaksanaan pengawasan terkait dengan adanya pengaduan tersebut dilakukan dengan cara monitoring, observasi, konvirmasi, dan/ atau investigasi guna mengungkapkan kebenaran hal yang diadukan.135

Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalannya peradilan dan perilaku hakim yang menjalankannya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan

134

Ahmad Fadlil Sumaidi, Op. Cit.hlm.180. 135

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/080/SK/VIII/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Peradilan, tanggal 24 Agustus, 2006, poin 6. Mengenai kedua macam pengawasan, yaitu pengawasn aktif dan pasif tersebut, dalam keputusan ini juga dikenal dengan istilah “ bentuk pengawasan langsung dan tidak langsung”.


(17)

bersumber dari hak masyarakat dalam mengawasai jalannya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis.

Analisis terhadap keputusan tersebut menemukan bahwa sasaran atau obkek pengawasan pengadilan meliputi : (i) manajen pengadilan,(ii) administrasi persidangan, (iii) administrasi perkara, (iv) administrasi umum, (v) kinerja pelayanana publik, dan (vi) tindak lanjut.

Objek tersebut berbeda dengan “ Ruang Lingkup dan Sasaran Pengawasan” yang lebih mengatur tentang subjek yang mendapatkan pengawasan dan objeknya. Mengenai subjek yang mendapatkan pengawasan, dalam keputusan tersebut disebutkan : (l) lembaga peradilan, dan (ii) aparat peradilan. Pertama, merupakan subjek atau sasaran yang bersifat kelembagaan. Kedua, merupakan subjek atau sasaran yang bersifat sumber daya manusia pelaksana. Dalam hal ini hakim tentu termasuk didalamnya.

Mengenai objek pengawasan, keputusan tersebut menyebutkan hanya satu, yaitu penyelenggaraan, pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasi dan finanasial peradilan, ini berbeda dan bermakna lebih mempersempit objek pengawasan yang diatur dalam undang-undang, baik undang-undang pokok kekuasaan kehakiman maupun undang-undang tentang badan peradilan.136

136

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

menyebutkan bahwa objek pengawasan meliputi: a. Penyelenggaraan

peradilan,b.organisasi, administrasi, dan keuangan peradilan, dan perilaku hakim.; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa objek pengawasan meliputi : a. Penyelenggaraan peradilan,b. Penyelenggaraan administrasi dan keuangan, c. Perilaku hakim.


(18)

Dengan objek pengaturan yang demikian, pengaturan mengenai pengawasan terhadap hakim tidak diatur secara spesifik sebagaimana kedudukannya sebagai sumber daya manusia pelaksana utama tugas substantif fungsi peradilan.137

Tidak adanya pengaturan secara spesifik mengenai pengawasan terhadap hakim dalam lingkungan internal peradilan menjadi salah satu alasan penyebab lemahnya internal kontrol lembaga peradilan. Ketika tidak ada aturan yang secara spesifik berisi keharusan untuk megawasi dan mengontrol perilaku hakim bagaimana mungkin berharap banyak dari kinerja badan pengawas internal peradilan ? Adanya aturan yang jelas dan spesifik kerapkali masih dilanggar dan sering tidak dilaksanakan, terlebih lagi tidak adanya aturan tentu apa yang diharapkan dari fungsi pengawasan akan jauh dari kenyataan.

Menurut catatan Mahkamah Agung, sistem pengawasan terhadap hakim dan hakim agung serta aparat pengadilan lainnya yang dijalankan oleh Mahkamah Agung pada masa lalu memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut :138

7) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kesimpulan ini diambil dari tidak adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui progress report dari laporan yang dimasukkan. Selain itu, akses masyarakat terhadap proses serta hasil pengawasan juga sulit dilakukan;

8) Adanya semangat korps yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang melibatkan anggotanya secara tidak langsung telah menyuburkan praktik-praktik tidak baik di peradilan;

137

Ahmad Fadlil Sumadi, Op.Cit. hlm. 183. 138

A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004, hlm. 199.


(19)

9) Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya metode pengawasan yang ada secara efektif;

10)Lemahnya sumber daya manusia (SDM). Penentuan seseorang menjadi pengawas tidak diatur dalam mekanisme yang jelas. Di dalam Mahkamah Agung, seluruh Ketua Muda dan Hakim Agung secara ex officio menjadi pengawas. Selain itu, pengawas hanya bekerja paruh waktu saja, karena tugas utamanya adalah memutus perkara;

11)Pengawasan yang berjalan selama ini kurang melibatkan partisipasi masyarakat.

12)Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang menyimpang. Setiap surat pengaduan dari masyarakat harus melalui bagian Tata Usaha Mahkamah Agung yang kemudian diteruskan kepada pihak terkait. Selain itu tidak ada sistem prioritas dalam menanagani surat pengaduan masyarakat.

Mahkamah Agung memiliki tugas dan kewenangan melakukan

pengawasan terhadap lembaga pengadilan “ ... namun proses penanganan hakim

-hakim yang diduga melakukan pelanggaran tidak jelas dan tidak transparan, dan

seringkali baru mencuat beritanya pada saat proses persidangan atau putusan.”139

Disamping itu terhadap proses pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap pengadilan dibawahnya tidak dapat dijalankan secara optimal dan kurang di tindak lanjuti karena Mahkamah Agung disibukkan dengan penyelesaian tunggakan perkara.

Masyarakat pemantau peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPPI FH UI) melakukan penelitian melalui kuisioner dengan jumlah responden 536 orang yang berasal dari kalangan praktisi hukum.140 Hasilnya sebanyak 56,97 % responden memberikan pernyataan bernada negatif dan

139

Susanti Adi Nugroho,Op.cit, hlm 13. 140

MAPPI FH UI, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan (Pidana )Terpadu.

Hasil Penelitian Tampa Tahun, (dalam) http://eprints.ums.ac.id/9459/1/C100060110.pdf,


(20)

mengarah pada sifat pesimis atas proses penegakan hukum yang saat ini sedang berjalan.

Faktor eksternal kemandirian aparatur dan lembaga peradilan menjadi tidak terpisahkan dengan penilaian masyarakat, dan apabila suatu keputusan hukum tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam suatu masyarakat, disitu juga dipastikan dapat menimbulkan berbagai bentuk kontroversi pendapat bahwa peradilan tidak mempunyai nilai objektif dalam memutuskan persoalan yang netral.141

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap segala bentuk mekanisme pengawasan internal yang ada di peradilan, yang sudah dianggap jatuh sedemikian rupa kredibilitas dan integritasnya oleh maraknya praktik judicial corruption semakin mendapatkan legitimasi dan afirmasi, manakala masyarakat terlalu sering menyaksikan bahwa fungsi-fungsi pengawasan internal yang ada selama ini lebih diposisikan bersifat protektif karena faktor esprit de corps (semangat solidaritas corps) dari pada ditempatkan sebagai kewenangan objektif untuk menilai indikasi-indikasi kontroversi tentang dugaan berbagai penyimpangan pada proses peradilan.142

Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (I’ espirit de korps ), sehingga objektifitasnya sangat diragukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum. Menurut rekomendasi kebijakan reformasi hukum yang pernah di rumuskan oleh Komisi

141

H.F. AbrahamAmos, Katrastopi Hukum dan Quo Vadis Politik Peradilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 311.

142

Hasrul Halili, Eksaminasi Publik , Dari Persoalan independensi Sampai Ke Isu Partisan (dalam) Wasingatu Zakiyah,et.al (ed), Eksaminasi Publik, Indonesia Corruption Watch,Jakarta,2003,hlm. 79-80.


(21)

Hukum Nasional Republik Indonesia, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah :143

6) tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat;

7) organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan, sementara dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat;

8) rendahnya pengetahuan masyararakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dan pihak profesi itu sendiri;

9) belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur profesinya; 10)tidak adanya kesadaran etis dan moral diantara para pengemban

profesi mentaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga martabat profesi.

Berdasarkan rekomendasi Komisi Hukum Nasional tersebut dapat memperkuat kesimpulan bahwa sistem kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat memegang peranan penting dalam upaya reformasi hukum. Sebab tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan masyarakat selama ini merupakan salah satu sebab rendahnya pengembangan kualitas profesi hukum.

Disilah pentingnya keberadaan lembaga eksaminasi publik sebagai bentuk pengawasan oleh masyarakat (social control) terhadap lembaga peradilan. Peran publik atau masyarakat untuk mengontrol jalannya peradilan akan lebih optimal dengan lembaga eksaminasi, dalam rangka menciptakan atau mengkondisiskan putusan-putusan hakim yang obyektif dan adil. Putusan hakim yang obyektif dan memenuihi rasa keadilan masyarakat hanya akan lahir dari tangan profesi hukum yang berkualitas dan beretika.

143

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), Jakarta, 2003,hlm. 164.


(22)

B. Eksaminasi Publik Sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat Dalam Mengawasi Peradilan

Sebagai negara hukum, Indonesia melandaskan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya pada prinsip-prinsip hukum (rule of law). Hukum dalam konteks ini dipahami sebagai sistem yang mengatur keseimbangan masyarakat apabila terganggu dan harus dipulihkan kembali kepada keadaan semula (restitutio in integrum).

Mekanisme penyelesaian konflik, diantaranya diselenggarakan melalui peradilan. Peradilan disediakan sebagai suatu upaya mencari keadilan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan persengketaannya melalui jalur hukum.

“ Melalui praktik pengadilan berbagai kepentingan di balik aturan hukum yang abstrak tersebut di masukkan oleh hakim ( dan juga aparat penegak

hukum lainnya) dalam proses pengambilan putusan.”144

Akan tetapi, manakala peradilan melalui pirantinya lembaga pengadilan sudah diragukan sebagai tempat mencari dan menemukan keadilan, masyarakat dengan sendirinya bekerja dengan kekuatan otonominya.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa “ masyarakat memiliki suatu kekuatan yang datang secara serta merta dari dalam masyarakat dan tidak diturunkan dari sumber lain kecuali masyarakat itu sendiri dan karena itu disebut sebagai kekuatan otonom atau asli (oerkracht, original power)”.145 Tampa melalui macam-macam prosedur dan persyaratan, kekuatan otonom tersebut

144

Muladi, Reformasi Hukum belum selesai, BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta 2003, hlm.3.

145

Satjipto Rahardjo, dalam Eksaminasi Publik (Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan), Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2003, hlm.37


(23)

mengaktualisasikan dirinya secara spontan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai bentuk kehidupan bersama.

Salah satu persyaratan bagi adanya kehidupan bersama adalah suasana keteraturan dalam hubungan antar anggota masyarakat. Manakala masyarakat butuh akan keteraturan dan ketertiban, maka kekuatan otonom tersebut akan menampilkan dirinya dalam bentuk kekuatan untuk mengatur (sendiri) masyarakat dan akan melahirkan sendiri berbagai kaidah sehingga masyarakat bisa berjalan tertib. Dalam nomenklatur ilmu hukum semua itu kita sebut sebagai kebiasaan (custom).

Kebiasaan tidak diturunkan dari sesuatu yang lain kecuali dari dalam masyarakat sendiri, yaitu dalam bentuk interaksi antara sesama anggota masyarakat. Interaksi itu adalah bentuk dari kekuatan otonom yang akhirnya melahirkan ketertiban dalam masyarakat. Begitu pula selanjutnya dengan munculnya berbagai bentuk lain, seperti bentuk untuk menata dan memberikan keadilan kepada para anggota masyarakat. Apa yang sekarang disebut pengadilan, juga muncul dari kekuatan otonom itu sendiri.

Sebagai salah satu contoh bekerjanya kekuatan otonomi masyarakat adalah

kasus “Pengadilan Rakyat Kebomoro”,146

salah satu desa di wilayah Tayu Pati Jawa Tengah pada tahun 2003.

146

http://www.antikorupsi.org/id/content/di-luar-pengadilan, di akses pada tanggal 26 Januari 2016.


(24)

Kepala Desa dan sejumlah perangkat desa lain dihadapkan kepada pengadilan rakyat dengan tuduhan menggelapkan uang ganti rugi pembebasan tanah untuk proyek jalan lingkar sebesar Rp.89,9 Juta. Ratusan rakyat mendatangi kepala desa dan minta penjelasan tentang uang ganti rugi tersebut. Rakyat tidak mendapat penjelasan yang memuaskan karena terjadi saling lempar tanggung jawab antara para pengurus desa. Terjadilah kegaduhan yang dapat ditenangkan oleh Camat dibantu Kepala Polisi Sektor dan Danramil. Akhirnya rakyat sepakat untuk menunjuk salah seorang warga desa untuk memimpin sebuah pengadilan dibantu oleh beberapa warga desa lainnya.

Sidang berjalan selama tiga jam. Hasil pemeriksaan ditemukan bahwa uang yang seharusnya dimasukkan ke kas desa telah habis dibagi-bagi untuk para pengurus desa. Semua perangkat desa yang dituduh melakukan penggelapan mengakui perbuatan mereka dan bersedia mengembalikan uang yang mereka terima. Uang tersebut diserahkan dan dihitung bersama-sama dihadapan rakyat Kebomoro. Yang lebih menarik , rakyat kemudian menyerahkan kepada aparat hukum untuk melanjutkan prosesnya secara hukum.

Fenomena Pengadilan rakyat “Kebomoro” menarik untuk dicermati untuk beberapa alasan :147

Pertama, pada saat perangkat hukum yang ada tidak bekerja dengan baik untuk menyelesaikan persoalan korupsi (terutama korupsi besar yang dilakukan pejabat negara), masyarakat tidak sabar menunggu dan akhirnya berusaha untuk

147

Syprianus Aristeus, Eksaminasi Terhadap Putusan Hakim Sebagi Partisipasi Publik, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.87-89.


(25)

menyelesaikan persoalan dengan mekanisme internal (Masyarkat) yang dibuat. Selama ini masyarakat hanya diperlihatkan sandiwara legal formal di pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi. Bahkan penyelesainnya memakan waktu yang panjang dan melelahkan. Pada titik itulah masyarakat mulai frustasi dan menggelar pengadilan rakyat untuk menunjukkan bahwa masyarakat mampu menyelesaikan persoalan sendiri.

Kedua, forum pengadilan rakyat yang tidak chaos dan membawa hasil ini merupakan pengawasan rakyat secara langsung atas bekerjanya sistem birokrasi yang korup. Pengawasan ini terwujud dari proses klarifikasi sampai dengan pengadilan yang digelar dan pengembalian uang secara nyata. Proses penghukuman dari masyarakat hanya berhenti pada titik itu (pengakuan dan pengembalian uang) karena pranata dan sarana prasarana yang tidak mendukung untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku.

Pada akhirnya perangkat peradilan sebagi perangkat negara yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan untuk dilibatkan dalam persoalan masyarakat kembali diminta masyarakat. Bagaiman pun juga perangkat negara itulah yang punya sarana untuk menghukum.

Bekerjanya hukum diluar formalitas menjadi menarik manakala mampu memberikan pengaruh atau dampak pada bekerjanya hukum dalam wilayah yang ada (formal). Inilah rancangan awal yang semula dipikirkan oleh penggagas eksaminasi publik.148 Setidaknya eksaminasi tidak hanya bekerja pada

148

Gagasan awal eksamiansi publik muncul dari beberapa pengacara Indonesia Corruption Watch (ICW) yang beberapa kali melakukan diskusi pada tahun 2002. Dari diskusi dan kegeraman atas sandiwara peradilan dalam kasus Bulog-Goro yang


(26)

ruang lingkup peradilan, tetapi publik pun mampu melakukannya. Ruang publik yang coba dimasuki oleh eksaminasi yang pada titik tertentu dianggap menabrak kebiasaan dan diluar formalitas.149

Dalam lintasan sejarah, Indonesia banyak menyimpan contoh-contoh lain yang menunjukkan bekerjanya kekutan otonom disaat hukum formal mengalami kegagalan. Barangkali ada baiknya mengenangkan kembali peristiwa reformasi di tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Presiden Soeharto.

Gerakan ini adalah manifestasi dari munculnya kekuatan otonom dari dalam masyarakat, disebabkan oleh kegagalan lembaga-lembaga formal yang ada. Penyaluran aspirasi melalui lembaga-lembaga itu menjadi macet dan mulailah rakyat mencari saluran lain.

Apabila membaca peristiwa tersebut dari perspektif jalannya hukum sebagaimana yang dikemukakan Karl Renner,150 kita dapat memahami bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan atau perkembangan hukum di Indonesia, khususnya pada waktu berbagai lembaga formal mengalami kegagalan untuk menyalurkan kehendak rakyat. Dalam keadaan demikian maka kekuatan otonom masyarakat mengambil alih melalui gerakan mahasiswa yang

melibatkan Tommy Soeharto itulah akhirnya keluar ide pentingnya melakukan pengujian atau eksaminasi atas kasus tersebut.

149

Selama ini eksaminasi dilakukan di lingkungan pengadilan dan kejaksaan. Bekerjanya eksaminasi dilingkungan peradilan tersebut untuk menjalankan fungsi pengawasn internal.

150

Karl Renner sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa “ the developent of the law works out what is socially reasonable”. Kita hanya dapat menangkap kata-kata Rener dengan baik manakala kita bertolak dari pandangan kompleksitas mengenai hukum yaitu, bahwa sektor formal dan non- formal (yang

muncul dari masyarakat) selalu beranyaman satu sama lain. Manakala hukum atau


(27)

mendapat dukungan rakyat. Itulah contoh nyata bagaimana hukum mencari jalannya sendiri kearah tujuan yang diangagapnya adil dan layak.

Terobosan hukum dengan melakukan pengadilan rakyat di Kebomoro menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat pun melaksanakan hukum sesuai dengan konsepnya. Terlepas dari pro- kontra tentang efektivitas pengadilan rakyat terbuka bahwa di luar formalitas yang ada hukum mampu bekerja dan memenuhi keadilan masyarakat.

Terkait dengan inisiasi adanya eksaminasi publik, kisah masyarakat Keboromo bukanlah kasus yang mengilhami lahirnya eksaminasi publik. Namun kisah ini setidaknya bisa dijadikan refleksi bahwa masyarakat bisa melakukan sesuatu dalam wilayah hukum. Implikasi tindakan masyarakat agar aparat hukum menindaklanjuti pengadilan rakyat juga jelas. Aparat hukum yang menangani kasus ini juga tidak bisa lari dari pengawasan masyarakat. Suatu implikasi positif karena dapat meminimalisir praktik korupsi dalam penyelesaian perkara di peradilan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik korupsi di peradilan menggurita. Menyelesaikan persoalan korupsi peradilan atau biasa disebut judicial corruption tidak bisa atau sulit menggunakan cara-cara konvensional dengan pembaharuan peradilan. Pembenahan dari dalam ,mulai dari pendium dini, manajemen perkara dan pembentukan badan-badan pengawas internal hanya akan mengobati penyakit yang satu dan menimbulkan penyakit di tempat lain.151

Korupsi merupakan extra ordinary crime yang memerlukan extra ordinary measuress. Sebagai kejahatan luar biasa , korupsi tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa. Terobosan hukum yang terkadang menabrak kebiasaan hukum

151


(28)

yang berkembang perlu dilakukan. Salah satunya adalah dengan melakukan

eksaminasi atas putusan peradilan yang tidak beres.”152

Fenomena praktik korupsi dan mafia peradilan tidak mungkin di biarkan terus menerus. Kehadiran sekelompok orang anggota masyarakat yang memiliki komitmen dan kepedulian untuk mengembalikan citra, wibawa, dan independensi lembaga peradilan sangat diharapkan dan dibutuhkan keberadaannya, untuk mencoba memutus jaringan kejahatan dalam dunia peradilan yang sudah mengakar, dengan cara ikut mengontrol kinerja lembaga peradilan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menngkatkan peran dan kapasitas eksaminasi publik.153

Sebagaimana halnya dengan pengadilan rakyat “Keboromo” dan peristiwa

sejarah “ Reformasi,” eksaminasi publik merupakan manifestasi dari kekuatan

otonom masyarakat dalam penyelenggaraan hukum. Gagasan eksamiansi publik yang muncul dari beberapa pengacara Indonesia Corruption Watch (ICW) bermula dari semakin maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan yang indikasinya dapat dilihat dari munculnya putusan-putusan pengadilan yang kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Apa yang paling diharapkan masyarakat dalam penegakan hukum adalah keadilan. 154 Kendatipun semenjak munculnya hukum moderen telah mengakibatkan bifurkasi perjalanan hukum. Sebelum kemunculan hukum moderen yang ada dalam hukum adalah masalah perburuan keadilan. Proses hukum adalah pencarian keadilan, tetapi sejak munculnya hukum moderen maka proses hukum berhadapan dengan satu persimpangan. Proses hukum adalah untuk kemenangan. Proses hukum dalam sistem hukum moderen sangat bersandar

152

Ibid, hlm.91 153

Rachmat Syafaat, Mentradisikan Eksaminasi Sebagai Suatu Kajian Ilmiah di Lingkungan Pendidikan Tinggi Hukum, ICW, 2002, hlm. 62.

154

Sesuai ajaran Prioritas Baku Gustav Radbruch yang berpendapat bahwa, tujuan hukum berdasrkan prioritas adalah keadilan,kemanfaatan, baru kepastian hukum.


(29)

pada prosedur, sehingga menimbulkan adanya keadilan substansif dan keadilan prosedural.

Bagir Manan dalam bukunya “Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu

Pencarian)” menyatakan bahwa “Ada dua aspek penting untuk mencapai penegakan hukum yanga adil dan berkeadilan yaitu tata cara penegakan hukum (prosedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice).155

Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi hukum, persoalan tata cara mewujudkan tujuan sama penting dengan tujuan itu sendiri. Tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Cara-cara yang dimaksud meliputi unsur-unsur kepastian aturan, kepastian kelembagaan, kepastian mekanisme, bahkan kepastian waktu, dan berbagai keluaran yang dapat diperkirakan. Inilah yang sehari-hari disebut kepastian hukum (rechtszekerheid atau legal certainly).

Memang kepastian tidak sama dengan keadilan, bahkan mungkin kepastian dapat saja bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi tampa kepastian, pasti tidak akan ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat subjektif karena sepenuhnya bergantung pada yang menentukan atau mengendalikan kepastian. Keadilan seperti ini mempunyai potensi melahirkan ketidakadilan.

Keadilan substantif menyangkut isi keadilan itu sendiri. Secara teoritik banyak pandangan mengenai hal ini. Ada yang melihat dari tingkat pencapaian

155

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta,2005,hlm.11.


(30)

kepuasan (Roscoe Pound). Ada yang memandang dari sudut manfaat (Bentham). Ada pula yang memandang keadilan semata-mata diukur dari pelaksanaan hukum itu sendiri (Hans Kelsen).

Untuk dapat menemukan secara tepat substansi keadilan haruslah dibedakan antara keadilan individual (individual justice) dan keadilan sosial (social justice).156 Sangat ideal apabila keadilan individual tercermin dalam keadilan sosial atau sebaliknya keadilan sosial menjadi tidak lain dari sublimasi keadilan individual. Namun dalam kenyataannya dapat terjadi semacam jarak pemisah antara keadilan individual dan keadilan sosial. Jarak ini dapat dikurangi, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermat dilekatkan nilai sosial atau moral dari setiap aturan hukum yang akan ditegakkan.

Keberadaan eksaminasi publik menurut Satjipto Rahardjo erat kaitannya dengan kemunculan studi hukum kritis. Studi hukum kritis tidak hanya merupakan suatu gerakan intelektual, melainkan juga sebagai suatu kekuatan yang merambah kedalam dunia praktek.

Kegiatan eksaminasi publik sebagai bagian dari partisipasi publik terhadap hukum memiliki landasan ilmiah dan teoritis cukup kuat dan karena itu berada di jalan yang benar. Studi hukum kritis Indonesia masih memiliki dimensi lain apabila dihubungkan dengan keterpurukan negara kita saat ini dan memiliki suatu mission sacree untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan tersebut. Studi hukum kritis diharapkan dapat memabantu menolong Indonesia keluar dari penderitannya sekarang

ini dengan “keberaniannya” untuk mengajukan pemikiran dan aksi

alternatif. Kita memang membutuhkan suatu tracee baru dalam menjalankan dan menegakkan hukum di Indonesia.157

156

Ibid,hlm.12 157


(31)

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa keberadaan eksaminasi publik merupakan manifestasi dari kekuatan otonom masyarakat. Kekuatan yang lahir secara murni karena tuntutan akan rasa keadilan. Masyarakat memandang bahwa keadilan adalah nafas dari penegakan hukum, manakala keadilan masih ditemukan, masyarakat berkeyakianan bahwa hukum masih hidup dan ditegakkan. Namun, ketika kondisi penegakan hukum sudah semakin memprihatinkan, ditandai dengan begitu banyaknya putusan-putsan yang kontroversial, keberadaan mafia peradilan yang bukan sekedar isu melainkan realitas sosial. Maka kekuatan otonom itu bekerja untuk sesuatu yang dirindukan dalam kehidupan berhukum yakni rasa keadilan masyarakat.

C. Upaya Hukum Sebagai Instrumen Pengujian Terhadap Putusan Pengadilan Masih di Ragukan Publik

Pada dasarnya sistem peradilan telah memiliki instrumen awal yang sedikit banyak mampu menjembatani kebutuhan untuk menjaga independensi hakim di satu sisi dan memastikan agar pencari keadilan tidak dirugikan oleh putusan hakim yang mungkin tidak tepat disisi yang lain. Jembatan tersebut adalah mekanisme upaya hukum (appeal system).

Upaya hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha bai dari terdakwa,maupun jaksa penuntut umum atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-haknya kepada pejabat berdasarkan Undang-Undang yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung keadilan dan kebenaran.158

Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi dan putussan pengadilan tinggi bisa dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan di Indonesia tersedia pula mekanisme peninjauan

158


(32)

kembali. Melalui mekanisme banding, kasasi atau peninjauan kembali, dapat dilakukan evaluasi apakah putusan yang dimintakan banding, kasasi atau peninjauan kembali tersebut telah diputus dengan benar atau tidak. Apabila ternyata putusan pengadilan tingkat bawah tersebut keliru, maka hakim pengadilan yang lebih tinggi dapat memperbaiki kekeliruan yang ada. Jika ternyata putusannya sudah benar, maka putusan hakim yang lebih rendah tersebut akan diperkuat.

Selama ini upaya hukum tersebut jarang dibaca sebagai mekanisme evaluasi terhadap kinerja hakim. Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya kompensasi/dampak kepegawaian yang timbul dari mekanisme tersebut (yang mana merupakan salah satu ciri utama dari evaluasi kinerja konvensional).159

Pada dasarnya pengujian putusan pengadilan oleh pengadilan yang lebih tinggi atas perkara pengadilan tingkat lebih rendah telah memenuhi karakteristik dasar dari suatu instrumen evaluasi terhadap kualitas (kinerja), sekaligus merupakan umpan balik bagi hasil kerja hakim pengadilan tingkat yang lebih rendah yang putusannya dibanding atau dikasasi. Umpan balik dimaksudkan untuk menunjukkan kepada hakim yang memutus perkara tersebut (dan hakim-hakim lain pada umumya) ekspektasi institusi (pengadilan yang lebih tinggi) tentang bagimana seharusnya hakim memeriksa dan memutus jenis perkara tersebut.

159

Pembaharuan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003,hlm.136.


(33)

Dengan demikian dimasa yang akan datang, hakim yang bersangkutan ataupun hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang serupa (similiar cases) dapat memperhatikan secara sungguh-sungguh ekspektasi institusi tentang bagaimana seharusnya perkara tersebut diputus.

Memang mekanisme upaya hukum ini sebagai salah satu mekanisme evaluasi kinerja hakim belum tentu mampu memberikan penilaian yang menyeluruh terhadap kinerja hakim karena dua hal. 160Pertama, mekanisme ini baru akan berhasil jika kinerja (kualitas) hakim pengadilan yang lebih tinggi pasti lebih baik dari kinerja hakim pengadilan yang lebih rendah. Kedua, tidak semua perkara dimintakan banding. Memang kita bisa berpendapat bahwa walau tidak semua perkara dimintakan banding atau kasasi, setiap putusan yang dianggap tidak baik oleh para pihak pasti akan dimintakan banding atau kasasi. Namun pada kenyataannya tidak setiap orang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan yang lebih rendah pasti akan mengajukan banding atau kasasi.

Dalam situasi penegakan hukum Indonesia saat ini, dimana kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak dan proses penegakan hukum semakin berkurang disebabkan karena adanya penyalahgunaan kekuasaan (judicial corruption) di pengadilan rendah sampai pada pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). Akibatnya walaupun putusan pengadilan mengenai suatu perkara yang jelas aturan hukumnya dan telah diuji melalui proses pengujian banding dan kasasi oleh Mahkamah Agung, masyarakat tetap saja sulit untuk mempercayai

160


(34)

kualitas putusan pengadilan sebagai suatu putusan hukum yang benar dan memenuhi rasa keadilan.161

Bagaimana membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan adalah persoalan yang timbul dan harus segera diselesaikan sebagai akibat dari maraknya praktik judicial corruption. Manakala masyarakat meragukan kualitas putusan pengadilan yang dibuat oleh pengadilan negeri sampai pengadilan tertinggi akan kemanakah lagi masyarakat meminta pengujian secara objektif terhadap putusan pengadilan tersebut ?

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal lembaga lain sebagai alternatif pengujian terhadap putusan pengadilan. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang tergabung dalam European Union (EU) yang dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan Uni Eropa apabila merasa dirugikan disebabkan karena hakim dalam memutus suatu perkara dinilai diskriminasi atau melanggar hak asasi manusia.162

Yasonna H. Laoly dalam sebuah tulisannya mengatakan “mengingat sering ditemuinya praktek-praktek kolusi dan adanya isu-isu (?) mafia peradilan... semakin banyaknya pihak-pihak yang meminta banding atau kasasi dalam beberapa tahun terakhir ini mungkin saja karena mereka dikalahkan dengan cara-cara yang tidak jujur (kolusi).163

161

Mudzakkir,Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan (dalam) Wasingatu Zakiyah,et.al. ed., Eksaminasi Publik Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Coruption Watch, Jakarta, 2003, hlm.98.

162 Ibid. 163


(35)

Ketidakpuasan terhadap putusan-putusan hakim dari salah satu pihak yang berperkara sering di latarbelakangi oleh adanya faktor-faktor non-yuridis. Misalnya kolusi antara hakim dengan salah satu pihak.164 Sehubungan dengan ini, semakin besarnya proporsi perkara yang dimintakan banding atau kasasi oleh salah satu pihak yang berperkara terakhir ini perlu dicermati secara khusus.

Permintaan pemeriksaan ulang terhadap keputusan hakim dari sebagian besar orang yang berperkara tidak boleh dilihat semata-mata hanya dari sudut ketidakpuasan para pihak. Artinya hanya melihat bahwa pihak yang kalah itu biasanya selalu tidak puasa atas kekalahannya. Barangkali persoalan akan lain jika diteliti faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang tidak puas terhadap kekalahannya.

Di era reformasi pergeseran kekuasaan membuat korupsi pun ikut bertransformasi. Munculnya pusat-pusat kekuasaan di luar istana membuat simpul-simpul korupsi meluas dan praktik mafia yang menyertai itu merebak tak terkendali sehingga menyerupai democratic corruption.

Khusus di wilayah peradilan, ICW menemukan angka yang cukup menakjubkan. Dari 300 responden dari pihak yang terkait langsung dengan proses peradilan dan pernah mengurus perkara di Mahkamah Agung, 73 % diantaranya meyakini ada korupsi di lembaga puncak kekuasaan kehakiman tersebut.165

164

Ibid 165

Wasingatu Zakiyah, et.all., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta, 2002, hlm. 8.


(36)

ICW mencatat bahwa sudah berulang kali berbagai praktek korupsi di Mahkamah Agung terbongkar. Praktek kolusi antara hakim dan pihak-pihak yang berperkara ternyata juga menjangkiti para hakim agung dan pejabat di Mahkamah Agung. Kerapkali terjadi, pihak yang berperkara menolak memberikan uang suap akan dikalahkan, sekalipun bukti-buktinya kuat. Kecuali, jika perkaranya mendapat sorotan publik luas.166

ICW mencatat pula bahwa pola korupsi yang banyak terjadi di MA adalah pemerasan terhadap para pihak. Dalam melakukan pemerasan, hakim agung bekerja sama dengan asistennya atau hakim yustisi (non-palu). Selanjutnya, hakim yustisi yang akan menghubungi pihak-pihak yang berperkara. Tawaran yang diajukan tidak hanya berupa pemenangan, tetapi juga percepatan perkara. Seperti diketahui, tumpukan perkara di MA mencapai belasan ribu kasus. Kalau bukan kasus yang mendesak, menyangkut hajat hidup orang banyak atau mendapat sorotan publik, perkara yang datang belakangan harus antre disidang.167

Mencermati berbagai pola praktik korupsi ( judicial corruption ) di tubuh Mahkamah Agung, maka dapat dimaklumi apa penyebab ketidakpuasan pihak yang kalah terhadap kekalahannya, demikian juga dengan terdakwa yang seharusnya dihukum dinyatakan bebas lepas dari tuntutan hukum. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang seyogiyanya melaksanakan fungsi pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua

166

Mafia Peradilan, Hiruk Pikuk Lelang Putusan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6169/font-size1- colorff0000bmafia-peradilan-2bfontbrhirukpikuk-lelang-putusan-di-pengadilan-niaga-dan-ma, diakses 10 Februari 2016.

167 Ibid


(37)

pengadilan yang berada dibawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman belum bersih dari praktik korupsi.

Adagium klasik “ air di hilir tak kan jernih, kalau sudah keruh di hulu

barangkali cocok dengan potret mafia di institusi penegak hukum. Persekongkolan niscaya kelompok elit dalam sebuah lembaga pada akhirnya membuat mekanisme-mekanisme inti yang awalnya di desain untuk meminimalisir penyimpangan tidak berfungsi. Seperti unit pengawasan internal, unit penegak etik, dan perilaku penegak hukum atau bahkan mekanisme standar pengawasan melekat.168

Unit-unit tersebut tentu tidak akan berarti apa-apa jika jabatan-jabatan strategis sudah terkooptasi virus mafia. Lebih dari itu bukan tidak mungkin terjadi pelembagaan penyalahgunaan wewenang dan praktik koruptif lainnya. Oleh sebab itu kehadiran lembaga eksaminasi publik dirasakan perlu sebagai bentuk pengawasan terhadap lembaga peradilan. Karena dalam kondisi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya selalu muncul pertanyaan Quis qustodiet ipsos qustodes, “siapakah yang akan mengawasi pengawas?”

168

Febri Diansyah, “Peta Buta” Pemberantasan Mafia Hukum : Mungkinkah

Mafia Memberantas Mafia ( dalam) Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisual, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010, hlm. 39-40.


(38)

D. Hilangnya Pengawasan Terhadap Profesionalisme Hakim

1. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap hakim

Pengawasan terhadap hakim, selain dilakukan oleh internal Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi, dilakukan pula oleh lembaga eksternal, yaitu komisi yudisial. Komisi yudisial hadir di tengah-tengah lembaga negara kekuasaan kehakiman yang telah ada bersama-sama hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kehadiran secara konstitusional komisi yudisial tersebut kemudian secara kelembagaan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Berdasarkan latar belakang pembentukananya, Komisi Yudisal dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim dalam hal penyimpangan perilaku yang bisa menurunkan martabat hakim. Tetapi tidak lama setelah pembentukan dan eksistensinya, sudah terjadi konflik antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh beberapa hakim agung dengan memangkas kewenangan-kewenangan pengawasan yang semula diberikan oleh Undang-Undang kepada Komisi Yudisial.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi tingkah laku hakim tumpang tindih dengan berbagai


(39)

Undang-Undang yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman sehingga Mahkamah Konstitusi membatalkan berbagai kewenangan Komisi Yudisial.

Denny Indrayana lewat rubrik opini dalam harian kompas sebagaimana dikutip Lilian G.F Apituley menyatakan bahwa “ Lonceng kematian berdentang kencang dan makin maraklah mafia peradilan dengan adanya putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU KY”.169 Lebih lanjut dinyatakan bahwa, 31 hakim sebagai pemohon pengujian bersama para kuasa hukumnya,diantaranya : O.C. Kaligis, Juan Felix Tampubolon, dan Indrianto Seno Adji sedang tersenyum lebar karena hampir semua permohonan mereka dikabulkan oleh MK.

Pada tahun 2011 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Perubahan tersebut dilakukan sebagai upaya :

d) menjabarkan “kewenangan lain” sebagaimana dimaksud dalam Undang

-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e) penguatan tugas dan fungsi Komisi Yudisial;

f) penyesuaian terhadap perkembangan hukum masyarakat.

Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal pengawas peradilan harus mengawasai sekitar 739 Pengadilan di seluruh Indonesia yang terdiri dari : 30 Pengadilan Tinggi, 302 Pengadilan Negeri, 27 Pengadilan Tinggi Agama, 317 Pengadilan Agama, 19 Mahkamah Syariah, 25 Pengadilan Tata Usaha Negara, 4

169

Lilian G.F. Apituley, Peran Komisi Yudisial dalam Mengatasi Mafia Peradilan di Indonesia,


(40)

Pengadilan tinggi Tata Usaha Negara, 13 Pegadilan Meliter, dan 2 Pengadilan Tinggi Meliter.170

Dengan kondisi bahwa Komisi Yudisial hanya berada di pusat pemerintahan dan tidak dapat membuat perwakilan di daerah lain, mengawasi 739 Pengadilan dengan ribuan hakimnya bukan merupakan suatu hal yang mudah, tetapi tentunya tidak pula dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak memberikan kinerja yang maksimal.

Setiap tahunnya, Komisi Yudisial menerima ratusan hingga ribuan laporan masyarakat. Data tahun 2005 -2013 menunjukkan rata-rata hanya 48 % laporan masyarakat yang ditanagani KY hingga klarifikasi pada terlapor atau diteruskan ke instansi yang berwenang. Semakin mengerucut, tiap tahunnya rata-rata hanya 20,5 % laporan ditangani hingga pemeriksaan pelapor/saksi dan sebanyak 18,3 % laporan ditangani hingga tingkat pemeriksaan hakim/ terlapor.171

Semenjak Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2011 disahkan. Komisi Yudisial memiliki wewenang melakukan pemantauan. Sejak saat itu hingga tahun 2014, Komisi Yudisial menerima sebanyak 704 laporan pemantauan persidangan, namun sebagaian besar dari laporan tersebut tidak dapat di tindaklanjuti oleh Komisi Yudisial.

170

http://litbangdiklatkumdil.net/direktori-pengadilan.html, diakses tanggal 24 Maret 2016.

171

Fransiscus Manurung, Melihat Sekilas Pegawasan KY, Artikel dalam Buletin Fiat Justitia Ma PPI FHUI, Vol.1. No.2 September 2016, hlm.4. Diakses dari http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/11/Fiat-Justitia-Sept-2015.pdf, tanggal 24 Maret 2016.


(41)

4. Instrumen pengawasan terhadap profesionalisme hakim yang ter-amputasi

Hakim sebagai pejabat negara memiliki tugas penting secara ekslusif , yang berarti tidak dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak memiliki kapasitas dan legalitas, yakni menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu jabatan hakim juga merupakan profesi karena untuk menduduki jabatan tersebut diperlukan pengetahuan, keterampilan, integritas, yang tidak saja diperoleh melalui jenjang pendidikan formal, tetapi juga harus dibuktikan melalui serangkaian ujian dan seleksi. Pada titik ini merupakan suatu keharusan agar hakim senantiasa bertindak profesional yang sangat menentukan penilaian atas kehormatan, martabat dan perilaku hakim sebagai aparat penegak hukum.

Profesionalisme bukan merupakan suatu hal yang sekali jadi dan bersifat abadi. Profesionalisme selalu berkembanag dan dipengaruhi berbagai aspek,mulai dari motivasi internal untuk mengembangkan diri hingga godaan dari luar yang mencederai integritas. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme dan institusi yang berfungsi menjaga dan menegakkan profesionalisme hakim. Salah satunya adalah kode etik dan pedoman perilaku hakim serta mekanisme pengawasan hakim.172

Profesionalisme sebagai bagian dari kode etik hakim sudah diakui di dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang antara lain menyatakan sebagai berikut.

...

172

http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Hilangnya-Pengawasan-Terhadap-Profesionalisme-Hakim.pdf, diakses tanggal 10 Maret 2016.


(42)

6.2 A judge shall devote the judge’s professional activity to judicial duties, which include not only the performance of judicial functions and responsibilities in court and the making of the decisions, but also other tasks relevant to the judiccial office or the courts operations.

6.3 A judge shall take reasonable steps to maintain and enhance the judge’s knowledge, skills and personal qualities necessary for the proper performance of judicial duties, taking advantage for this purpose of the training and other facilities which should be made available, under judical control, to judges.

...

6.5 A judge shall perform all judicial duties including the delivery of reserved decisions, efficiently, fairly with reasonalbe promptness.

Prinsip profesionalisme dan pedoman pelaksanaan dalam Bangalore Principle tersebut dianut di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dirumuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.173 Prinsip Profesional ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan kerjasama melaksanakan tugas administratif, mengutamakan tugas judisial, dan wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan.

Dalam tataran aplikasi, rumusan pelaksanaan sikap profesional yang terdapat dalam butir 10.1 sampai dengan butir 10.4 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 36/P/HUM/2011. Majelis hakim berpendapat bahwa kewenangan KY Berdasarkan pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman merupakan

173

Butir 10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat terminologi “Profesional” yang dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional kemudian mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.


(43)

kewenangan pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut Undang-Undang harus semata-mata menyangkut perilaku hakim guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim.

Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang mengawasi teknis hukum. Rumusan butir 8.1.174 dan rumusan butir 10.4.175 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinilai tidak memuat sebuah cakupan tentang perilaku tetapi terkait dengan pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kongnitif. Oleh karena itu hal ini tidak termasuk ke dalam wilayah pengawasan eksternal KY karena tidak termasuk “perilaku”.

Majelis hakim berpendapat bahwa jika Komisi Yudisial menemukan adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa kekeliruan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dilakukan dengan kesengajaan, masalah ini masuk kedalam wilayah pengawasan perilaku, baik oleh Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial.

Majelis hakim menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan dengan cara, misalnya memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses persidangan, memeriksa putusan hakim, dan hal-hal lain yang terkait dengan teknis peradilan, adalah tidak tepat, sebab kalaupun terdapat kekeliruan dalam

174

Penerapan butir 8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagai para pencari keadilan.

175

Penerapan butir 10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.


(44)

penegakan hukum acara, para pihak dapat melakukan perbaikannya melalui proses “upaya hukum” sebagaimana diatur dalam hukum formal ( hukum acara). Pengawasan oleh Komisi Yudisial seharusnya fokus mengenai dugaan pelanggaran etik dan/atau perilaku.

Majelis hakim memutuskan mengabulkan permohonan uji materil para pemohon. Putusan menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Repulik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu pasal 40 ayat (2) dan pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo pasal 34A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung .

Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36P/HUM/2011 penting untuk dicermati. Sebagai bahan pembanding, dan argumentasi penguat bahwa pengawasan terhadap profesonalisme hakim telah hilang pasca keluarnya putusan MA Nomor 36P/HUM/2011, berikut ini akan diuraikan catatan hukum ( legal anotation) Muchamad Ali Safa‟at :176

176

Muchamad Ali Safa‟at, Anotasi Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor: 36P/HUM/2011 dalam Perkara Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009; Nomor:2/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, disampaikan dalam sidang Majelis Eksaminasi Publik yang diselenggarakan oleh Indonesian Court Monitoring (ICM), Jogjakarta, 17 Maret 2012.


(45)

Didalam putusan ini sangat jelas bahwa antara argumentasi hukum di dalam pertimbangan hukum hakim sama sekali tidak berangkat dari argumentasi hukum yang diajukan oleh pemohon sebagai dasar permohonan. Pemohon mengajukan argumentasi utama yang digunakan sebagai dasar permohonan untuk menyatakan bahwa butir-butir SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung adalah dalil bahwa substasi bahwa butir-butir SKB dimaksud adalah norma hukum, bukan norma etik atau perilaku. Hal ini sama sekali tidak dinilai dan dipertimbangkan oleh mejelis hakim.

Majelis hakim mengkonstruksikan argumentasi berbeda untuk menyatakan bahwa butir-butir SKB dimaksud bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung berdasarkan materinya yang dinilai justru tidak menyangkut perilaku, melainkan soal pengetahuan atau pemahaman yang masuk wilayah kognitif, yang menurut majelis hakim tidak termasuk wilayah pengawasan Komisi Yudisial, dan hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum.

Pertimbangan hukum tersebut mengkonstruksikan bahwa apa yang dimaksud dengan teknis hukum menurut majelis hakim adalah sesuatu yang terkait dengan wilayah kognitif, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum hakim dalam menjalankan tugas persidangan. Padahal yang dimaksud dengan teknis hukum juga meliputi perilaku dalam memimpin persidangan dan menerapkan hukum acara. Bahkan, tingkat pengetahuan dan pemahaman hakim juga hanya dapat dilihat melalui perilakunya.


(46)

Meskipun seandaianya (quad non) ketentuan dalam butir-butir SKB dimaksud berada pada wilayah pengetahuan dan pemahaman (kognitif), tetap saja hal ini merupakan bagian dari norma kode etik yaitu hakim harus profesional sesuai dengan pedoman perilaku ke 10- Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dengan demikian , hakim yang tidak mengetahui atau memahami aturan hukum dan kemampuan lain yang diperlukan untuk menjalankan tugas sudah melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Hal ini sangat wajar mengingat profesi hakim merupakan profesi terhormat yang tentunya dituntut memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam.

Pendapat majelis hakim, yanag menyatakan bahwa pengawasan perilaku hakim baru dapat dilakukan oleh MA atau KY pada saat terjadinya kekeliruan hakim dalam memeriksa dan memutus karena kesengajaan bertentangan dengan nilai profesionalisme hakim yang dianut secara universal sebagai bagian dari kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Selanjutnya, pendapat majelis hakim yang menyatakan bahwa pengawasan tidak dapat mempersoalkan proses persidangan bertentangan dengan maksud dari pengawasan itu sendiri, yaitu untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim. Hal yang sangat menentukan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim adalah perilaku di persidangan. Jika pengawasan tidak dapat dilakukan terhadap perilaku hakim dalam proses persidangan, maka pengawasan perilaku hakim akan teramputasi, tidak lagi meliputi pengawsana di dalam dan diluar persidangan, melainkan hanya sebatas pengawasan terhadap perilaku hakim di luar persidangan.


(1)

dan baik, disamping memberikan masukan-masukan dan bimbingan yang sangat berarti untuk terselesaikannya skripsi ini.

9. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., Selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis selama menjalani studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta Bapak/Ibu Staf Administrasi ( Pegawai Tata Usaha) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Kepada Abang Penulis, Yunaldi dan Yuhendra yang membantu membiayai pedidikan Penulis selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, juga adik- adik penulis M. Ratdi dan Yunita yang kehadiran mereka memberi semangat bagi Penulis.

12.Kepada Ainul Afdah, Seperti arti dari nama yang diberikan kepadamu “ Permata Hati” , begitu pula berartinya hadirmu. Hati yang telah dihiasi oleh permata, betapapun luas ruang kehidupan didalamnya kehadiran seseorang yang lain tidaklah begitu berarti. Terimakasih untuk bantuan moril dan materil.

13.Kepada teman- teman yang mengerti arti persahabatan, Lae Junelpri Saragih, Wahyudi Agung Pamungkas, Alfian Syahri, Lagut Putra, M. Nizun, Tohap M. Tambunan yang banyak dan sering memberikan bantuan juga motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14.Teman-teman Penulis stambuk 2012 ( Bunga, Ayu, Fadillah Hafsah, Riki Purba, Debora S. Waluhu, M. Febri, Amrul Daulay, dan kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu) .


(2)

vi

15.Teman-teman di GAMADIKSI ( Gerakan Mahasiswa Bidikmisi USU ) kita sama-sama belajar dalam keterbatasan ekonomi dan keserba tidak-cukupan. Kita menyelesaikan skripsi dalam penantian akan pencairan dana penelitian dan pelatihan penulisan. Dalam penantian itu kita akhirnya menyadari bahwa janji-janji hanyalah sekedar dalih, namun kita terlambat untuk menginsyafi bahwa hak kita entah kemana. Semoga air mata penderitaan selama masa pendidikan menjadi pembasuh jiwa yang menyucikan hati agar dikemudian hari generasi yang memimpin adalah generasi yang punya nurani sehingga terputus mata rantai kemiskinan negeri yang kaya ini.

Medan, Juli 2016

Penulis,


(3)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

ABSTRAK DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan Masalah... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Tinjauan Umum Tentang Eksaminasi dan Eksaminasi Publik a. Pengertian Eksaminasi ... 13

b. Pelaksanaan Eksaminasi di Lingkungan Pengadilan ... 15

c. Eksaminasi di Lingkungan Kejaksaan ... 17

d. Eksaminasi Publik... 18

2. Korupsi di Lembaga Peradilan a. Defenisi Judicial Corruption ... 22

b. Pola Korupsi di Lembaga Peradilan... 26

G. Metode Penelitian... 34

H. Sistematika Penulisan... 38

BAB II PENRERAPAN HUKUM MAJELIS HAKIM PN PADANG DALAM PERKARA NO 173/PID.B/2011/PN.PDG A. Kasus Posisi... 40

B. Dakwaan ...46

C. Tuntutan... 48


(4)

viii

1. Analisis Dakwaan ... 49 2. Analisis Tuntutan... 52 3. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim... 53

BAB III PERLUNYA LEMBAGA EKSAMINASI PUBLIK SEBAGAI UPAYA MENCEGAH PRAKTIK JUDICIAL CORRUPTION A. Lemahnya Internal Control Lembaga Peradilan ... 77

1. Eksaminasi di Lingkungan Pengadilan dan Kejaksaan Sebagai Pengawasan Internal... 78 2. Pengawasan Internal Mahkamah Agung ... 81 B. Eksaminasi Publik Sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi

Masyarakat dalam Mengawasi Peradilan... 92 C. Upaya Hukum Sebagai Instrumen Pengujian Putusan

pengadilan Masih di Ragukan Publik... 102 D. Hilangnya Pengawasan Terhadap Profesionalisme Hakim.113

1. Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Eksternal Perilaku Hakim... 113 2. Instrumen Pengawasan Terhadap Profesionalisme Hakim

yang Teramputasi... 116 BAB IV PENGARUH EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP PRAKTIK

JUDICIALCORRUPTION

A. Hasil Eksaminasi Publik Yang Independen, Obyektif dan Berwibawa Menimbulkan Dampak Moral Sehingga Hakim Lebih Berhati-hati Memutus Perkara...125 B. Hasil Eksaminasi Publik dapat di Jadikan Sebagai Pedoman

Penilaian Kinerja hakim... 129 C. Eksaminasi Mendorong Hakim Membuat Putusan yang Lebih Baik atau Profesional... 135 D. Eksaminasi Publik Mendorong Jaksa Agar Lebih Baik


(5)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan... 147 B. Saran... 149 DAFTAR PUSTAKA


(6)

x ABSTRAK

Abdiman* Syafruddin Kalo**

M. Ekaputra***

Judicial Corruption atau yang lebih populer disebut mafia peradilan merupakan realitas sosial yang sulit di buktikan melalui sistem hukum pidana. Indikasi adanya judicial corruption ditandai dengan munculnya putusan-putusan yang kontroversial dan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Eksaminasi publik sebagai serangkaian uji intelektual profesional menjadi pengujian alternatif terhadap putusan hakim dalam kondisi dimana pengawasan yang dilakukan oleh internal peradilan seringkali mempertontonkan hasil yang mengecewakan. Penelitian ini membahas tentang analisis hasil eksaminasi publik perkara tindak pidana korupsi, pentingnya keberadaan eksaminasi publik dan pengaruh eksaminasi publik terhadap judicial corruption.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode library research . Bahan-bahan kepustakaan meliputi buku-buku hukum, putusan pengadilan, jurnal hukum, artikel dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan eksaminasi publik dan judicial corruption yang kemudian di analisis secara kualitatif.

Analisis putusan perkara No 173/PID.B/2011/PN.PDG dan perbandingannya terhadap hasil eksaminasi publik memperlihatkan ketidakcermatan jaksa penuntut umum dan kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi.

Eksaminasi publik perlu di pertahankan eksistensi dan disosialisasikan keberadaannya. Perlunya eksaminasi publik disebabkan karena : lemahnya internal control lembaga peradilan; eksaminasi publik merupakan manifestasi kekuatan otonomi masyarakat dalam mengawasi peradilan; upaya hukum sebagai mekanisme pengujian terhadap putusan pengadilan masih diragukan publik ; dan hilangnya instrumen pengawasan terhadap profesonalisme hakim.

Eksaminasi publik menimbulkan dampak moral sehingga hakim lebih berhati-hati memutus perkara, hasil eksaminasi publik dapat dijadikan sebagai penilain terhadap kinerja hakim, eksaminasi publik mendorong hakim membuat putusan yang lebih baik atau profesonal, dan eksaminasi publik mendorong agar jaksa lebih profesional membuat dakwaan dan tuntutan.

_________________________ * Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II