167
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Eksaminasi, Laporan Bulanan, dan Daftar Banding
Keputusan Ketua
Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Nomor :
KMA080SKVIII2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan, tanggal 24 Agustus 2006
E. Internet
https:www.academia.edu10274016 http:www.kompasiana.combagusoakorupsi-pada-lembaga-peradilan-judicial-
corruption-di-indonesia_55178cb4813311fe689de206 http:www.kompasiana.comutamyhmafia-peradilan-sejarah-dan-
realita_550ecbaaa33311b72dba820b http:www.kompasiana.comutamyhmafia-peradilan-sejarah-daN
realita_550ecbaaa33311b72dba820b http:eprints.ums.ac.id94591C100060110.pdf
http:www.hukumonline.comberitabacahol6169font-size1-colorff0000bmafia- peradilan-2bfontbrhirukpikuk-lelang-putusan-di-pengadilan-niaga-dan-ma
http:litbangdiklatkumdil.netdirektori-pengadilan.html http:mappifhui.orgwp-contentuploads201511Fiat-Justitia-Sept-2015.pdf
http:safaat.lecture.ub.ac.idfiles201403Hilangnya-Pengawasan-Terhadap- Profesionalisme-Hakim.pdf
http:www.antikorupsi.orgidcontentpress-release-bongkar-mafia-peradilan http:law.uii.ac.idimagesstoriesJurnal20Hukum620Bambang20Sutiiyoso
.pdf https:muntasirsyukri.wordpress.com20110901hakim-antara-legal-justice-
moral-justice-dan-sosial-justice http:www.fshuinsgd.ac.id20120311integritas-dan-profesionalitas-korps-
adyaksa-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-prof-dr-h-oyo-sunaryo- mukhlas-m-si-2
, http:www.fshuinsgd.ac.id20120311integritas-dan-profesionalitas-korps-
adyaksa-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia-prof-dr-h-oyo-sunaryo- mukhlas-m-si-2
http:www.komisiyudisial.go.idberita-54303-icw-sampaikan-eksaminasi-publik- putusan-praperadilan-hakim-sarpin-ke-ky.html
Universitas Sumatera Utara
168
http:dinamikahukum.fh.unsoed.ac.idindex.phpJDHarticleview200148 http:www.antikorupsi.orgidcontent20-kasus-tindak-pidana-korupsi-2012
F. Putusan
Putusan Perkara Nomor 173PID.B2011PN.PDG.
Universitas Sumatera Utara
119
BAB III PERLUNYA EKSAMINASI PUBLIK SEBAGAI UPAYA MENCEGAH
PRAKTIK JUDICIAL CORRUPTION A. Lemahnya Internal Control Lembaga Peradilan
Dalam prakteknya pengadilan sebagai pemegang kekuasaan yudisial sangat tertutup dengan berdalih kekuasaan yudisial bebas dan independen.
Banyaknya kasus yang memperlihatkan ketertutupan amat potensial memicu beragam penyimpangan, misalnya interaksi antara jaksa, pengacara, panitera, dan
hakim dalam praktek suap di pengadilan. Hal inilah yang memicu praktek mafia peradilan yang selama ini ada.
124
Para pelaku praktik korupsi di lembaga peradilan senantiasa berlindung dibalik klaim otoritas independensi lembaganya. Praktik korupsi di lembaga
peradilan semakin tak terkontrol ketika internal control terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik.
3. Eksaminasi di lingkungan pengadilan dan kejaksaan sebagai pengawasan internal
Eksaminasi putusan merupakan suatu pemberian komentar terhadap putusan-putusan hakim mengenai aspek-aspek tertentu yang dilakukan oleh
pimpinan pengadilan maupun hakim pengadilan yang lebih tinggi. Pelaksanaan eksaminasi dilakukan secara bertingkat. Putusan hakim
Pengadilan Negeri dieksaminasi oleh Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan
124
Bambang Widjojanto, Harmonisasi Peran Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 4. No.1. Maret 20007,
Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, hlm. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
120
putusan Ketua-Ketua Pengadilan Negeri di eksaminasi oleh Pengadilan Tinggi. Kewenangan eksaminasi tertinggi berada pada Mahkamah Agung.
Eksaminasi dilakukan sekurang-kurangnya terhadap 3 perkara pidana dan 3 perkara perdata hakim yang bersangkutan dan hanya dilakukan terhadap
perkara-perkara yang telah diselesaikan. Eksaminasi difokuskan kepada aspek mengenai tuduhannya, berita-berita acaranya persidangan, putusan, berita acara
pelaksanaan dan lain-lain.
125
Hasil eksaminasi akan diserahkan kembali pada hakim yang bersangkutan agar hakim yang bersangkutan dapat mempelajari eksaminasi
tersebut. SEMA ini juga secara jelas menyebutkan bahwa hasil eksaminasi akan diupayakan untuk dipergunakan sebagai mekanisme obyektif untuk mengukur
konduite hakim. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, instrumen eksaminasi
mengalami degradasi.
126
Dari yang tadinya dimaksudkan sebgai suatu instrumen penting yang dipergunakan untuk pengawasan kinerja hakim dan keperluan
pembinanaan karir, akhirnya hanya menjadi suatu persyaratan formil dalam kenaikan golongan kepegawaian. Sejak tahun 1978 Mahkamah Agung
menetapkan bahwa eksaminasi hanyalah persyaratan tambahan untuk kenaikan golongan disamping syarat-syarat lainnya. Fungsi eksaminasi terus terdegradasi,
125
SEMA No.5 Tahun 1966 mengenai Pedoman tentang Fungsi-fungsi hierarkis badan-badan pengadilanhakim-hakim dan tatalaksana administratif badan-badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
126
Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia,Jakarta,2003,hlm.160.
Universitas Sumatera Utara
121
sampai akhirnya fungsi eksaminasi untuk kenaikan golongan digantikan dengan ujian dinas.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti Indonesia Corruption Watch dengan beberapa hakim dan mantan hakim, eksaminasi di pengadilan hanya
berjalan diawal-awal keluarnya SEMA No.1 Tahun 1967, dan pada tahun 1980 praktis eksaminasi tidak pernah dilakukan lagi di lingkungan lembaga
pengadilan.
127
Berdasarkan penelitian informal yang dilakukan oleh Susanti Adi Nugroho, Kapuslitbang Mahkamah Agung, menyimpulkan bahwa kendala-
kendala yang menyebabkan lembaga eksaminasi di pengadilan berhenti antara lain karena :
128
5. Perkara-perkara pidana atau perdata yang diajukan untuk dieksaminasi
adalah atas pilihan masing-masing hakim, yang pada umumnya yang diserahkan untuk dieksaminasi adalah perkara yang dianggap putusan-
putusan yang terbaik yang pernah dilakukan oleh hakim tersebut, dan yang putusannya diperkuat oleh Mahkamah Agung. putusan-putusan
yang dapat menimbulkan pertanyaan atau yang putusannya dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi, tidak akan diajukan sebagai putusan
yang akan di eksaminasi. Penilaian umum tentang bobot putusan hanya dari 3 tiga perkara pidana dan 3 tiga perkara perdata yang pernah
diputus oleh seorang hakim dalam tenggang waktu 4 empat tahun, tidakbelum dapat menilai kemampuan hakim yang bersangkutan.
6. Dalam 4 empat tahun sulit diperoleh perkara-perkara yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dan dikirimkan kembali ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
7. Dalam tenggang waktu 4 empat tahun para hakim telah dimutasi
kewilayah pengadilan lain, sehingga tidak mengetahui lagi kelanjutan dari perkaranya.
8. Tidak pernah ada keterangan atau buku catatan tentang baik buruknya
hasil penilaian eksaminasi oleh pejabat yang berwenang melakukan eksaminasi, seperti yang ditentukan dalam instruksi atau surat edaran
127
Wazingatu Zakiah,et.al., Panduan Eksamiansi Publik edisi revisi, Indonesia Corruption Watch, Jakarta,2003,hlm.18.
128
Ibid,hlm.19-20.
Universitas Sumatera Utara
122
tersebut, bahkan pada tahun-tahun terakhir, eksamiansi tidak lagi merupakan persyaratan kenaikan golongan bagi seorang hakim.
Mencermati hasil penelitian tersebut, dapat dipahami bahwa kegiatan eksaminasi dilingkungan pengadilan sebagaimana diamanatkan dalam SEMA
No.1 Tahun 1967 dalam pelaksanaannya dilakukan setengah hati oleh hakim- hakim yang harus melakukan eksaminasi. Eksaminasi hanya dilakukan terhadap
putusan-putusan yang menguntungkan bagi hakim eksaminator. Sedangkan eksaminasi di kejaksaan menurut penuturan para jaksa yang
masih aktif, masih berjalan meskipun umumnya hanya pada kasus-kasus yang mendapat perhatian dari masyarakat.
Menurut narasumber dikejaksaan yang tidak bersedia disebutkan identitasnya sampai saat ini eksaminasi masih berjalan dikejaksaan,
namun pada umumnya perkara yang dieksaminasi adalah perkara yang gagal. Dijelaskan yang dimaksud perkara gagal adalah perkara pidana
yang diputus bebas oleh hakim. Bahkan dari hasil eksaminasi dapat dikembangkan, apabila terjadi kecerobohan yang fatal, jaksa yang
bersangkutan diperiksa oleh bidang pengawasan. Jika ditemukan pelanggaran maka dapat dikenakan aturan dalam PP No. 30 Tahun 1980
tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil, dengan hukuman paling berat adalah pemberhentian tidak hormat.
129
Sepintas konsep eksaminasi di kejaksaan cukup ideal namun bukan berarti tidak ada kelemahan. Salah satunya adalah tidak adanya sanksi yang diberikan
apabila Kepala Kejaksaan Negeri atau jaksa yang bersangkutan tidak menyerahkan berkas perkara untuk di eksaminasi. Selain itu hasil eksaminasi di
kejaksaan tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat. Kejaksaan terkesan menutup diri dalam hal eksaminasi.
129
Wazingatu Zakiah,et.al., Panduan Eksamiansi Publik, Indonesia Corruption Watch, Jakarta,2003,hlm.18.
Universitas Sumatera Utara
123
2. Pengawasan internal Mahkamah Agung a. Peraturan Mahkamah Agung sebagai pengaturan pengawasan
internal. Undang-undang telah mengelaborasi ketentuan konstitusional tentang
kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menempatkan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan
sekaligus sebagai puncak manajemen peradilan. Dalam Posisinya yang demikian itu, Mahkamah Agung dalam perspektif manajemen Sumber Daya Manusia,
memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan terkait dengan kompetensi dan profesionalitas hakim sebagai sumber daya manusia pelaksana utama kekuasaan
kehakiman. Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan : “Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung”.
Fungsi pengawasan secara tegas termaktub dalam pasal 39 ayat 1 sampai dengan ayat 3 Undang
–Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :
1 Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada
semua peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh
Mahkamah Agung. 2
Selain pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
tugas adminisrasi dan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
124
3 Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Ketentuan-ketentuan tesebut menyatakan secara tegas tentang adanya
fungsi pengawasan Mahkamah Agung mengenai tiga hal, yaitu i penyelenggaraan peradilan, ii administrasi dan keuangan, dan iii tingkah laku
hakim. Dua dari tiga objek pengawasan tersebut, yakni penyelenggaraan peradilan dan tingkah laku hakim, serta administrasi peradilan merupakan
pencerminan dari kompetensi dan profesionalitas hakim dan pejabat kekuasaan kehakiman lainnya. Sehingga dalam perspektif manajemen sumber daya manusia
menjadi objek pembinaan. Mahkamah Agung mengatur pengawasan internal dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonsia Nomor : KMA080SKVIII2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan,
tanggal 24 Agustus 2006 dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor
1.047KMASKIV2009 2. 02SKBP.KYIV2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim, tertanggal 8 April 2009 serta mengatur pembinaan
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 140KMASKX2008 Tentang Buku Panduan Mengenai Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, tanggal 31 Oktober 2008.
Universitas Sumatera Utara
125
b. Pengadilan dan pejabatnya merupakan subjek hukum pengawasan Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Pengawasan tersebut
mengatur tentang unit-unit yang memiliki fungsi pengawasan dan yang mendapat pengawasan di dalam setiap pengadilan pada setiap jenjangnya sebagai berikut :
1. Yang mengawasi 1 Di lingkungan Mahkamah Agung :
a Pimpinan Mahkamah Agung; b Seluruh pejabat kepaniteraan Mahkamah Agung; dan
c Seluruh pejabat struktural Mahkamah Agung. 2 Di lingkungan pengadilan tingkat banding :
a Pimpinan pengadilan tingkat banding; b Seluruh pejabat kepaniteraan di lingkungan pengadilan tingkat banding
c Seluruh pejabat struktural di lingkungan pengadilan tingkat banding. 3 Di lingkungan engadilan tingkat pertama :
a Pimpingan pengadilan tingkat pertama; b Seluruh pejabat kepaniteraan di lingkungan pengadilan tingkat pertama
c Seluruh pejabat struktural di lingkungan pengadilan tingkat pertama.
130
130
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA080SKVIII2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
126
2. Yang Diawasi Adapun yang mendapat pengawasan, keputusan tersebut menyebutkan
setiap pengadilan pada setiap susunan pengadilan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu i Mahkamah Agung, ii pengadilan tingkat banding,iii pengadilan
tingkat pertama, serta iv aparatur peradilan pada setiap pengadilan dalam susunan tersebut. Ruang lingkupnya meliputi : i penyelenggaraan peradilan, ii
pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasii dan finansial peradilan.
131
Berdasarkan uraian mengenai subjek yang melakukan pengawasan dan subjek yang mendapatkan pengawasan, meliputi satuan-satuan organisasi dan
objeknya hanya menyebutkan dua hal, yaitu penyelenggaraan peradilan serta pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasi dan finansial peradilan.
Hal tersebut bila dibandingkan dengan judul keputusan tentang “
Pedoman Pelaksanaan Pe ngawasan di Lingkungan Peradilan “ dan
pertimbangan huruf b yang menyatakan, “ serta melakukan pengawasan
terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan” maka terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian.
132
Pertama, pengaturan dalam keputusan ini melupakan, atau sekurang- kurangnya melalaikan, satu hal; yaitu pengaturan mengenai pengawasan terhadap
tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan. Kedua,
Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan, tanggal 24 Agustus 2006, dalam lampiran I, huruf C.
131
Ibid, Lampiran I Huruf D.
132
Ahmad Fadlil Sumaidi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan Fungsi Manajemen Makamah Agung Terhadap Pengadilan di Bawahnya Setelah Perubahan
UUD 1945, Achmad Edi subiyanto, Anna Triningsih eds, Setara Press, Malang, 2013, hlm. 179.
Universitas Sumatera Utara
127
sekiranya harus dianggap tidak terjadi kelupaan atau kelalaian dalam pengaturan maka judul keputusan ini menjadi terlampau luas dibandingkan dengan materi
muatan yang diaturnya. Persoalan lain yang muncul apakah pengawasan terhadap hakim yang
merupakan wewenang dan tanggung jawab pimpinan pengadilan, yang juga hakim, didelegasikan kepada unit organisasi Mahkamah Agung atau pengadilan
yang secara organisatoris berada dalam susunan organisasi sekretariat, sehingga pengawasan hakim bukanlah hakim. Atau tepatkah hakim diawasi oleh satuan
organisasi pendukungnya. c. Kategori, macam, dan objek pengawasan
Pengawasan internal di lingkungan peradilan saat ini terbagi menjadi dua kategori , yakni pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan
melekat merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepemimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan
atasan dalam perspektif susunan kelembagaan. Pengawasan fungsional merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang
sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yang di Mahkamah Agung nomenklaturnya adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.
133
Pengawasan melekat merupakan fungsi yang ada sejak semula bersamaan dengan adanya fungsi kepemimpinan. Oleh karena itu pengawasan
melekat tersebut berbeda dari pengawasan fungsional yang adanya fungsi itu
133
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA080SKVIII2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan di Lingkungan Peradilan, tanggal 24 Agustus, 2006, dalam Lampiran I, IA, poin 1, 2, 3, dan 7.
Universitas Sumatera Utara
128
sejak diberikannya kepada unit organisasi atau lembaga yang sengaja dibentuk untuk itu. Dalam hal unit organisasi dan jabatan, di Mahkamah Agung dibentuk
Badan Pengawas dan dibentuk pula Ketua Muda Bidang Pengawasan. Adapun untuk jabatan yang sudah ada, misalnya wakil ketua dan atau hakim.
134
Kedua macam pengawasan tersebut, yakni pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional, merupakan fungsi pengawasan yang pelaksanaannya
dilakukan secara aktif dan terus menerus yang pelaksanaannya harus dilaksanakan secar rutin dan reguler. Karena itu maka penyelenggaraan fungsi pengawasan
memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi manajemen, sehingga mendapat pengawasan manajemen.
Disamping pengawasan yang bersifat aktif terdapat satu macam lagi pengawasan yang pelaksanaannya bersifat pasif, yaitu proses pengawasan yang
pelaksanaannya bergantung pada adanya pengaduan masyarakat. Pelaksanaan pengawasan terkait dengan adanya pengaduan tersebut dilakukan dengan cara
monitoring, observasi, konvirmasi, dan atau investigasi guna mengungkapkan kebenaran hal yang diadukan.
135
Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat
terhadap jalannya
peradilan dan
perilaku hakim
yang menjalankannya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk
menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan
134
Ahmad Fadlil Sumaidi, Op. Cit.hlm.180.
135
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA080SKVIII2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengawasan di Lingkungan Peradilan, tanggal 24 Agustus, 2006, poin 6. Mengenai kedua macam pengawasan, yaitu pengawasn aktif dan pasif tersebut, dalam keputusan
ini juga dikenal dengan istilah “ bentuk pengawasan langsung dan tidak langsung”.
Universitas Sumatera Utara
129
bersumber dari hak masyarakat dalam mengawasai jalannya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis.
Analisis terhadap keputusan tersebut menemukan bahwa sasaran atau obkek pengawasan pengadilan meliputi : i manajen pengadilan,ii
administrasi persidangan, iii administrasi perkara, iv administrasi umum, v kinerja pelayanana publik, dan vi tindak lanjut.
Objek tersebut berbeda dengan “ Ruang Lingkup dan Sasaran Pengawasan” yang lebih mengatur tentang subjek yang mendapatkan
pengawasan dan objeknya. Mengenai subjek yang mendapatkan pengawasan, dalam keputusan tersebut disebutkan : l lembaga peradilan, dan ii aparat
peradilan. Pertama, merupakan subjek atau sasaran yang bersifat kelembagaan. Kedua, merupakan subjek atau sasaran yang bersifat sumber daya manusia
pelaksana. Dalam hal ini hakim tentu termasuk didalamnya. Mengenai objek pengawasan, keputusan tersebut menyebutkan hanya
satu, yaitu penyelenggaraan, pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasi dan finanasial peradilan, ini berbeda dan bermakna lebih
mempersempit objek pengawasan yang diatur dalam undang-undang, baik undang-undang pokok kekuasaan kehakiman maupun undang-undang tentang
badan peradilan.
136
136
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan
bahwa objek
pengawasan meliputi:
a. Penyelenggaraan
peradilan,b.organisasi, administrasi, dan keuangan peradilan, dan perilaku hakim.; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa objek pengawasan meliputi : a. Penyelenggaraan peradilan,b. Penyelenggaraan
administrasi dan keuangan, c. Perilaku hakim.
Universitas Sumatera Utara
130
Dengan objek pengaturan yang demikian, pengaturan mengenai pengawasan terhadap hakim tidak diatur secara spesifik sebagaimana
kedudukannya sebagai sumber daya manusia pelaksana utama tugas substantif fungsi peradilan.
137
Tidak adanya pengaturan secara spesifik mengenai pengawasan terhadap hakim dalam lingkungan internal peradilan menjadi salah satu alasan penyebab
lemahnya internal kontrol lembaga peradilan. Ketika tidak ada aturan yang secara spesifik berisi keharusan untuk megawasi dan mengontrol perilaku hakim
bagaimana mungkin berharap banyak dari kinerja badan pengawas internal peradilan ? Adanya aturan yang jelas dan spesifik kerapkali masih dilanggar dan
sering tidak dilaksanakan, terlebih lagi tidak adanya aturan tentu apa yang diharapkan dari fungsi pengawasan akan jauh dari kenyataan.
Menurut catatan Mahkamah Agung, sistem pengawasan terhadap hakim dan hakim agung serta aparat pengadilan lainnya yang dijalankan oleh Mahkamah
Agung pada masa lalu memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut :
138
7 Kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kesimpulan ini diambil
dari tidak adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui progress report dari laporan yang dimasukkan.
Selain itu, akses masyarakat terhadap proses serta hasil pengawasan juga sulit dilakukan;
8 Adanya semangat korps yang menyebabkan pengawasan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung tidak efektif. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus yang melibatkan anggotanya
secara tidak langsung telah menyuburkan praktik-praktik tidak baik di peradilan;
137
Ahmad Fadlil Sumadi, Op.Cit. hlm. 183.
138
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004, hlm. 199.
Universitas Sumatera Utara
131
9 Kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya
metode pengawasan yang ada secara efektif; 10
Lemahnya sumber daya manusia SDM. Penentuan seseorang menjadi pengawas tidak diatur dalam mekanisme yang jelas. Di
dalam Mahkamah Agung, seluruh Ketua Muda dan Hakim Agung secara ex officio menjadi pengawas. Selain itu, pengawas hanya
bekerja paruh waktu saja, karena tugas utamanya adalah memutus perkara;
11 Pengawasan yang berjalan selama ini kurang melibatkan partisipasi
masyarakat. 12
Rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan atau mengadukan perilaku hakim yang menyimpang. Setiap surat
pengaduan dari masyarakat harus melalui bagian Tata Usaha Mahkamah Agung yang kemudian diteruskan kepada pihak terkait.
Selain itu tidak ada sistem prioritas dalam menanagani surat pengaduan masyarakat.
Mahkamah Agung memiliki tugas dan kewenangan melakukan pengawasan terhadap lembaga pengadilan “ ... namun proses penanganan hakim-
hakim yang diduga melakukan pelanggaran tidak jelas dan tidak transparan, dan seringkali baru mencuat beritanya pada saat proses persidangan atau putusan.”
139
Disamping itu terhadap proses pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap pengadilan dibawahnya tidak dapat dijalankan secara optimal
dan kurang di tindak lanjuti karena Mahkamah Agung disibukkan dengan penyelesaian tunggakan perkara.
Masyarakat pemantau peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia MAPPI FH UI melakukan penelitian melalui kuisioner dengan jumlah
responden 536 orang yang berasal dari kalangan praktisi hukum.
140
Hasilnya sebanyak 56,97 responden memberikan pernyataan bernada negatif dan
139
Susanti Adi Nugroho,Op.cit, hlm 13.
140
MAPPI FH UI, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Hasil Penelitian Tampa Tahun, dalam
http:eprints.ums.ac.id94591C100060110.pdf ,
diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
132
mengarah pada sifat pesimis atas proses penegakan hukum yang saat ini sedang berjalan.
Faktor eksternal kemandirian aparatur dan lembaga peradilan menjadi tidak terpisahkan dengan penilaian masyarakat, dan apabila suatu
keputusan hukum tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku dalam suatu masyarakat, disitu juga dipastikan dapat menimbulkan berbagai
bentuk kontroversi pendapat bahwa peradilan tidak mempunyai nilai objektif dalam memutuskan persoalan yang netral.
141
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap segala bentuk mekanisme pengawasan internal yang ada di peradilan, yang sudah dianggap jatuh
sedemikian rupa kredibilitas dan integritasnya oleh maraknya praktik judicial corruption semakin mendapatkan legitimasi dan afirmasi, manakala masyarakat
terlalu sering menyaksikan bahwa fungsi-fungsi pengawasan internal yang ada selama ini lebih diposisikan bersifat protektif karena faktor esprit de corps
semangat solidaritas corps dari pada ditempatkan sebagai kewenangan objektif untuk menilai indikasi-indikasi kontroversi tentang dugaan berbagai
penyimpangan pada proses peradilan.
142
Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps I’ espirit de korps , sehingga objektifitasnya sangat diragukan. Hal ini menjadi
salah satu penyebab rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum. Menurut rekomendasi kebijakan reformasi hukum yang pernah di rumuskan oleh Komisi
141
H.F. AbrahamAmos, Katrastopi Hukum dan Quo Vadis Politik Peradilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 311.
142
Hasrul Halili, Eksaminasi Publik , Dari Persoalan independensi Sampai Ke Isu Partisan dalam Wasingatu Zakiyah,et.al ed, Eksaminasi Publik, Indonesia
Corruption Watch,Jakarta,2003,hlm. 79-80.
Universitas Sumatera Utara
133
Hukum Nasional Republik Indonesia, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pengembangan profesi hukum adalah :
143
6 tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan yang seharusnya
dilakukan oleh masyarakat; 7
organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan,
sementara dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat;
8 rendahnya pengetahuan masyararakat mengenai substansi kode etik
profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dan pihak profesi itu sendiri;
9 belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban
profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat luhur profesinya; 10
tidak adanya kesadaran etis dan moral diantara para pengemban profesi mentaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan
salah satu faktor penting untuk menjaga martabat profesi. Berdasarkan rekomendasi Komisi Hukum Nasional tersebut dapat
memperkuat kesimpulan bahwa sistem kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat memegang peranan penting dalam upaya reformasi hukum.
Sebab tidak berjalannya sistem kontrol dan pengawasan masyarakat selama ini merupakan salah satu sebab rendahnya pengembangan kualitas profesi hukum.
Disilah pentingnya keberadaan lembaga eksaminasi publik sebagai bentuk pengawasan oleh masyarakat social control terhadap lembaga peradilan. Peran
publik atau masyarakat untuk mengontrol jalannya peradilan akan lebih optimal dengan lembaga eksaminasi, dalam rangka menciptakan atau mengkondisiskan
putusan-putusan hakim yang obyektif dan adil. Putusan hakim yang obyektif dan memenuihi rasa keadilan masyarakat hanya akan lahir dari tangan profesi
hukum yang berkualitas dan beretika.
143
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Kebijakan Reformasi Hukum Suatu Rekomendasi, Jakarta, 2003,hlm. 164.
Universitas Sumatera Utara
134
B. Eksaminasi Publik Sebagai Manifestasi Kekuatan Otonomi Masyarakat Dalam Mengawasi Peradilan
Sebagai negara hukum, Indonesia melandaskan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya pada prinsip-prinsip hukum rule of law. Hukum
dalam konteks ini dipahami sebagai sistem yang mengatur keseimbangan masyarakat apabila terganggu dan harus dipulihkan kembali kepada keadaan
semula restitutio in integrum. Mekanisme penyelesaian konflik, diantaranya diselenggarakan melalui
peradilan. Peradilan disediakan sebagai suatu upaya mencari keadilan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan persengketaannya melalui jalur hukum.
“ Melalui praktik pengadilan berbagai kepentingan di balik aturan hukum yang abstrak tersebut di masukkan oleh hakim dan juga aparat penegak
hukum lainnya dalam proses pengambilan putusan.”
144
Akan tetapi, manakala peradilan melalui pirantinya lembaga pengadilan sudah diragukan sebagai tempat
mencari dan menemukan keadilan, masyarakat dengan sendirinya bekerja dengan kekuatan otonominya.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa “ masyarakat memiliki suatu kekuatan yang datang secara serta merta dari dalam masyarakat dan tidak
diturunkan dari sumber lain kecuali masyarakat itu sendiri dan karena itu disebut sebagai kekuatan otonom atau asli oerkracht, original power
”.
145
Tampa melalui macam-macam prosedur dan persyaratan, kekuatan otonom tersebut
144
Muladi, Reformasi Hukum belum selesai, BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta 2003, hlm.3.
145
Satjipto Rahardjo, dalam Eksaminasi Publik Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2003, hlm.37
Universitas Sumatera Utara
135
mengaktualisasikan dirinya secara spontan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai bentuk kehidupan bersama.
Salah satu persyaratan bagi adanya kehidupan bersama adalah suasana keteraturan dalam hubungan antar anggota masyarakat. Manakala masyarakat
butuh akan keteraturan dan ketertiban, maka kekuatan otonom tersebut akan menampilkan dirinya dalam bentuk kekuatan untuk mengatur sendiri masyarakat
dan akan melahirkan sendiri berbagai kaidah sehingga masyarakat bisa berjalan tertib. Dalam nomenklatur ilmu hukum semua itu kita sebut sebagai kebiasaan
custom. Kebiasaan tidak diturunkan dari sesuatu yang lain kecuali dari dalam
masyarakat sendiri, yaitu dalam bentuk interaksi antara sesama anggota masyarakat. Interaksi itu adalah bentuk dari kekuatan otonom yang akhirnya
melahirkan ketertiban dalam masyarakat. Begitu pula selanjutnya dengan munculnya berbagai bentuk lain, seperti bentuk untuk menata dan memberikan
keadilan kepada para anggota masyarakat. Apa yang sekarang disebut pengadilan, juga muncul dari kekuatan otonom itu sendiri.
Sebagai salah satu contoh bekerjanya kekuatan otonomi masyarakat adalah kasus “Pengadilan Rakyat Kebomoro”,
146
salah satu desa di wilayah Tayu Pati Jawa Tengah pada tahun 2003.
146
http:www.antikorupsi.orgidcontentdi-luar-pengadilan , di akses pada
tanggal 26 Januari 2016.
Universitas Sumatera Utara
136
Kepala Desa dan sejumlah perangkat desa lain dihadapkan kepada pengadilan rakyat dengan tuduhan menggelapkan uang ganti rugi pembebasan
tanah untuk proyek jalan lingkar sebesar Rp.89,9 Juta. Ratusan rakyat mendatangi kepala desa dan minta penjelasan tentang uang ganti rugi tersebut.
Rakyat tidak mendapat penjelasan yang memuaskan karena terjadi saling lempar tanggung jawab antara para pengurus desa. Terjadilah kegaduhan yang dapat
ditenangkan oleh Camat dibantu Kepala Polisi Sektor dan Danramil. Akhirnya rakyat sepakat untuk menunjuk salah seorang warga desa untuk memimpin
sebuah pengadilan dibantu oleh beberapa warga desa lainnya. Sidang berjalan selama tiga jam. Hasil pemeriksaan ditemukan bahwa
uang yang seharusnya dimasukkan ke kas desa telah habis dibagi-bagi untuk para pengurus desa. Semua perangkat desa yang dituduh melakukan penggelapan
mengakui perbuatan mereka dan bersedia mengembalikan uang yang mereka terima. Uang tersebut diserahkan dan dihitung bersama-sama dihadapan rakyat
Kebomoro. Yang lebih menarik , rakyat kemudian menyerahkan kepada aparat hukum untuk melanjutkan prosesnya secara hukum.
Fenomena Pengadilan rakyat “Kebomoro” menarik untuk dicermati untuk beberapa alasan :
147
Pertama, pada saat perangkat hukum yang ada tidak bekerja dengan baik untuk menyelesaikan persoalan korupsi terutama korupsi besar yang dilakukan
pejabat negara, masyarakat tidak sabar menunggu dan akhirnya berusaha untuk
147
Syprianus Aristeus, Eksaminasi Terhadap Putusan Hakim Sebagi Partisipasi Publik, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.87-89.
Universitas Sumatera Utara
137
menyelesaikan persoalan dengan mekanisme internal Masyarkat yang dibuat. Selama ini masyarakat hanya diperlihatkan sandiwara legal formal di pengadilan
dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi. Bahkan penyelesainnya memakan waktu yang panjang dan melelahkan. Pada titik itulah masyarakat mulai frustasi
dan menggelar pengadilan rakyat untuk menunjukkan bahwa masyarakat mampu menyelesaikan persoalan sendiri.
Kedua, forum pengadilan rakyat yang tidak chaos dan membawa hasil ini merupakan pengawasan rakyat secara langsung atas bekerjanya sistem birokrasi
yang korup. Pengawasan ini terwujud dari proses klarifikasi sampai dengan pengadilan yang digelar dan pengembalian uang secara nyata. Proses
penghukuman dari masyarakat hanya berhenti pada titik itu pengakuan dan pengembalian uang karena pranata dan sarana prasarana yang tidak mendukung
untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku. Pada akhirnya perangkat peradilan sebagi perangkat negara yang
sebelumnya tidak pernah dipikirkan untuk dilibatkan dalam persoalan masyarakat kembali diminta masyarakat. Bagaiman pun juga perangkat negara itulah yang
punya sarana untuk menghukum. Bekerjanya hukum diluar formalitas menjadi menarik manakala mampu
memberikan pengaruh atau dampak pada bekerjanya hukum dalam wilayah yang ada formal. Inilah rancangan awal yang semula dipikirkan oleh
penggagas eksaminasi publik.
148
Setidaknya eksaminasi tidak hanya bekerja pada
148
Gagasan awal eksamiansi publik muncul dari beberapa pengacara Indonesia Corruption Watch ICW yang beberapa kali melakukan diskusi pada tahun 2002. Dari
diskusi dan kegeraman atas sandiwara peradilan dalam kasus Bulog-Goro yang
Universitas Sumatera Utara
138
ruang lingkup peradilan, tetapi publik pun mampu melakukannya. Ruang publik yang coba dimasuki oleh eksaminasi yang pada titik tertentu dianggap
menabrak kebiasaan dan diluar formalitas.
149
Dalam lintasan sejarah, Indonesia banyak menyimpan contoh-contoh lain yang menunjukkan bekerjanya kekutan otonom disaat hukum formal mengalami
kegagalan. Barangkali ada baiknya mengenangkan kembali peristiwa reformasi di tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Presiden Soeharto.
Gerakan ini adalah manifestasi dari munculnya kekuatan otonom dari dalam masyarakat, disebabkan oleh kegagalan lembaga-lembaga formal yang
ada. Penyaluran aspirasi melalui lembaga-lembaga itu menjadi macet dan mulailah rakyat mencari saluran lain.
Apabila membaca peristiwa tersebut dari perspektif jalannya hukum sebagaimana yang dikemukakan Karl Renner,
150
kita dapat memahami bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan atau perkembangan hukum
di Indonesia, khususnya pada waktu berbagai lembaga formal mengalami kegagalan untuk menyalurkan kehendak rakyat. Dalam keadaan demikian maka
kekuatan otonom masyarakat mengambil alih melalui gerakan mahasiswa yang
melibatkan Tommy Soeharto itulah akhirnya keluar ide pentingnya melakukan pengujian atau eksaminasi atas kasus tersebut.
149
Selama ini eksaminasi dilakukan di lingkungan pengadilan dan kejaksaan. Bekerjanya eksaminasi dilingkungan peradilan tersebut untuk menjalankan fungsi
pengawasn internal.
150
Karl Renner sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa “ the developent of the law works out what is socially reasonable
”. Kita hanya dapat menangkap kata-kata Rener dengan baik manakala kita bertolak dari pandangan
kompleksitas mengenai hukum yaitu, bahwa sektor formal dan non- formal yang muncul dari masyarakat selalu beranyaman
satu sama lain. Manakala hukum atau proses formal macet, maka kekuatan otonom akan mengambil alih
.
Universitas Sumatera Utara
139
mendapat dukungan rakyat. Itulah contoh nyata bagaimana hukum mencari jalannya sendiri kearah tujuan yang diangagapnya adil dan layak.
Terobosan hukum dengan melakukan pengadilan rakyat di Kebomoro menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat pun melaksanakan hukum sesuai
dengan konsepnya. Terlepas dari pro- kontra tentang efektivitas pengadilan rakyat terbuka bahwa di luar formalitas yang ada hukum mampu bekerja dan
memenuhi keadilan masyarakat. Terkait dengan inisiasi adanya eksaminasi publik, kisah masyarakat
Keboromo bukanlah kasus yang mengilhami lahirnya eksaminasi publik. Namun kisah ini setidaknya bisa dijadikan refleksi bahwa masyarakat bisa melakukan
sesuatu dalam wilayah hukum. Implikasi tindakan masyarakat agar aparat hukum menindaklanjuti pengadilan rakyat juga jelas. Aparat hukum yang menangani
kasus ini juga tidak bisa lari dari pengawasan masyarakat. Suatu implikasi positif karena dapat meminimalisir praktik korupsi dalam penyelesaian perkara
di peradilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik korupsi di peradilan
menggurita. Menyelesaikan persoalan korupsi peradilan atau biasa disebut judicial corruption tidak bisa atau sulit menggunakan cara-cara
konvensional dengan pembaharuan peradilan. Pembenahan dari dalam ,mulai dari pendium dini, manajemen perkara dan pembentukan badan-
badan pengawas internal hanya akan mengobati penyakit yang satu dan menimbulkan penyakit di tempat lain.
151
Korupsi merupakan extra ordinary crime yang memerlukan extra ordinary measuress. Sebagai kejahatan luar biasa , korupsi tidak bisa diselesaikan dengan
cara-cara biasa. Terobosan hukum yang terkadang menabrak kebiasaan hukum
151
Syiprianus Aristeus, Op.cit,hlm.90
Universitas Sumatera Utara
140
yang berkembang perlu dilakukan. Salah satunya adalah dengan melakukan eksaminasi atas putusan peradilan yang tidak beres.”
152
Fenomena praktik korupsi dan mafia peradilan tidak mungkin di biarkan terus menerus. Kehadiran sekelompok orang anggota masyarakat yang
memiliki komitmen dan kepedulian untuk mengembalikan citra, wibawa, dan independensi lembaga peradilan sangat diharapkan dan dibutuhkan
keberadaannya, untuk mencoba memutus jaringan kejahatan dalam dunia peradilan yang sudah mengakar, dengan cara ikut mengontrol kinerja
lembaga peradilan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menngkatkan peran dan kapasitas eksaminasi publik.
153
Sebagaimana halnya dengan pengadilan rakyat “Keboromo” dan peristiwa sejarah “ Reformasi,” eksaminasi publik merupakan manifestasi dari kekuatan
otonom masyarakat dalam penyelenggaraan hukum. Gagasan eksamiansi publik yang muncul dari beberapa pengacara Indonesia Corruption Watch ICW
bermula dari semakin maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan yang indikasinya dapat dilihat dari munculnya putusan-putusan pengadilan yang
kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Apa yang paling diharapkan masyarakat dalam penegakan hukum adalah
keadilan.
154
Kendatipun semenjak munculnya hukum moderen telah mengakibatkan bifurkasi perjalanan hukum. Sebelum kemunculan hukum
moderen yang ada dalam hukum adalah masalah perburuan keadilan. Proses hukum adalah pencarian keadilan, tetapi sejak munculnya hukum moderen maka
proses hukum berhadapan dengan satu persimpangan. Proses hukum adalah untuk kemenangan. Proses hukum dalam sistem hukum moderen sangat bersandar
152
Ibid, hlm.91
153
Rachmat Syafaat, Mentradisikan Eksaminasi Sebagai Suatu Kajian Ilmiah di Lingkungan Pendidikan Tinggi Hukum, ICW, 2002, hlm. 62.
154
Sesuai ajaran Prioritas Baku Gustav Radbruch yang berpendapat bahwa, tujuan hukum berdasrkan prioritas adalah keadilan,kemanfaatan, baru kepastian hukum.
Universitas Sumatera Utara
141
pada prosedur, sehingga menimbulkan adanya keadilan substansif dan keadilan prosedural.
Bagir Manan dalam bukunya “Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian” menyatakan bahwa “Ada dua aspek penting untuk mencapai
penegakan hukum yanga adil dan berkeadilan yaitu tata cara penegakan hukum prosedural justice dan isi atau hasil penegakan hukum substantive justice.
155
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi hukum, persoalan tata cara mewujudkan tujuan sama penting dengan tujuan itu sendiri. Tujuan mewujudkan
keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Cara-cara yang dimaksud meliputi unsur-unsur kepastian aturan, kepastian kelembagaan,
kepastian mekanisme, bahkan kepastian waktu, dan berbagai keluaran yang dapat diperkirakan. Inilah yang sehari-hari disebut kepastian hukum rechtszekerheid
atau legal certainly. Memang kepastian tidak sama dengan keadilan, bahkan mungkin
kepastian dapat saja bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi tampa kepastian, pasti tidak akan ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat
subjektif karena sepenuhnya bergantung pada yang menentukan atau mengendalikan kepastian. Keadilan seperti ini mempunyai potensi melahirkan
ketidakadilan. Keadilan substantif menyangkut isi keadilan itu sendiri. Secara teoritik
banyak pandangan mengenai hal ini. Ada yang melihat dari tingkat pencapaian
155
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, FH UII Press, Yogyakarta,2005,hlm.11
.
Universitas Sumatera Utara
142
kepuasan Roscoe Pound. Ada yang memandang dari sudut manfaat Bentham. Ada pula yang memandang keadilan semata-mata diukur dari pelaksanaan
hukum itu sendiri Hans Kelsen. Untuk dapat menemukan secara tepat substansi keadilan haruslah
dibedakan antara keadilan individual individual justice dan keadilan sosial social justice.
156
Sangat ideal apabila keadilan individual tercermin dalam keadilan sosial atau sebaliknya keadilan sosial menjadi tidak lain dari sublimasi
keadilan individual. Namun dalam kenyataannya dapat terjadi semacam jarak pemisah antara keadilan individual dan keadilan sosial. Jarak ini dapat dikurangi,
apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermat dilekatkan nilai sosial atau moral dari setiap aturan hukum yang akan ditegakkan.
Keberadaan eksaminasi publik menurut Satjipto Rahardjo erat kaitannya dengan kemunculan studi hukum kritis. Studi hukum kritis tidak hanya
merupakan suatu gerakan intelektual, melainkan juga sebagai suatu kekuatan yang merambah kedalam dunia praktek.
Kegiatan eksaminasi publik sebagai bagian dari partisipasi publik terhadap hukum memiliki landasan ilmiah dan teoritis cukup kuat dan
karena itu berada di jalan yang benar. Studi hukum kritis Indonesia masih memiliki dimensi lain apabila dihubungkan dengan keterpurukan negara
kita saat ini dan memiliki suatu mission sacree untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan tersebut. Studi hukum kritis diharapkan
dapat memabantu menolong Indonesia keluar dari penderitannya sekarang
ini dengan “keberaniannya” untuk mengajukan pemikiran dan aksi alternatif. Kita memang membutuhkan suatu tracee baru dalam
menjalankan dan menegakkan hukum di Indonesia.
157
156
Ibid,hlm.12
157
Satjipto Rahardjo,Op.Cit,hlm.58
Universitas Sumatera Utara
143
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa keberadaan eksaminasi publik merupakan manifestasi dari kekuatan otonom masyarakat.
Kekuatan yang lahir secara murni karena tuntutan akan rasa keadilan. Masyarakat memandang bahwa keadilan adalah nafas dari penegakan hukum, manakala
keadilan masih ditemukan, masyarakat berkeyakianan bahwa hukum masih hidup dan ditegakkan. Namun, ketika kondisi penegakan hukum sudah semakin
memprihatinkan, ditandai dengan begitu banyaknya putusan-putsan yang kontroversial, keberadaan mafia peradilan yang bukan sekedar isu melainkan
realitas sosial. Maka kekuatan otonom itu bekerja untuk sesuatu yang dirindukan dalam kehidupan berhukum yakni rasa keadilan masyarakat.
C. Upaya Hukum Sebagai Instrumen Pengujian Terhadap Putusan Pengadilan Masih di Ragukan Publik
Pada dasarnya sistem peradilan telah memiliki instrumen awal yang sedikit banyak mampu menjembatani kebutuhan untuk menjaga independensi
hakim di satu sisi dan memastikan agar pencari keadilan tidak dirugikan oleh putusan hakim yang mungkin tidak tepat disisi yang lain. Jembatan tersebut
adalah mekanisme upaya hukum appeal system. Upaya hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha bai dari
terdakwa,maupun jaksa penuntut umum atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-haknya kepada pejabat berdasarkan Undang-Undang
yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam usaha mencari kepastian hukum yang mengandung keadilan dan kebenaran.
158
Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi dan putussan pengadilan tinggi bisa dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung. Bahkan di Indonesia tersedia pula mekanisme peninjauan
158
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, hlm. 147.
Universitas Sumatera Utara
144
kembali. Melalui mekanisme banding, kasasi atau peninjauan kembali, dapat dilakukan evaluasi apakah putusan yang dimintakan banding, kasasi atau
peninjauan kembali tersebut telah diputus dengan benar atau tidak. Apabila ternyata putusan pengadilan tingkat bawah tersebut keliru, maka hakim
pengadilan yang lebih tinggi dapat memperbaiki kekeliruan yang ada. Jika ternyata putusannya sudah benar, maka putusan hakim yang lebih rendah
tersebut akan diperkuat. Selama ini upaya hukum tersebut jarang dibaca sebagai mekanisme
evaluasi terhadap kinerja hakim. Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya kompensasidampak kepegawaian yang timbul dari mekanisme tersebut
yang mana merupakan salah satu ciri utama dari evaluasi kinerja konvensional.
159
Pada dasarnya pengujian putusan pengadilan oleh pengadilan yang lebih tinggi atas perkara pengadilan tingkat lebih rendah telah memenuhi karakteristik
dasar dari suatu instrumen evaluasi terhadap kualitas kinerja, sekaligus merupakan umpan balik bagi hasil kerja hakim pengadilan tingkat yang lebih
rendah yang putusannya dibanding atau dikasasi. Umpan balik dimaksudkan untuk menunjukkan kepada hakim yang memutus perkara tersebut dan hakim-
hakim lain pada umumya ekspektasi institusi pengadilan yang lebih tinggi tentang bagimana seharusnya hakim memeriksa dan memutus jenis perkara
tersebut.
159
Pembaharuan Sistem Pembinaan SDM Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2003,hlm.136.
Universitas Sumatera Utara
145
Dengan demikian dimasa yang akan datang, hakim yang bersangkutan ataupun hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang serupa
similiar cases dapat memperhatikan secara sungguh-sungguh ekspektasi institusi tentang bagaimana seharusnya perkara tersebut diputus.
Memang mekanisme upaya hukum ini sebagai salah satu mekanisme evaluasi kinerja hakim belum tentu mampu memberikan penilaian yang
menyeluruh terhadap kinerja hakim karena dua hal.
160
Pertama, mekanisme ini baru akan berhasil jika kinerja kualitas hakim pengadilan yang lebih tinggi pasti
lebih baik dari kinerja hakim pengadilan yang lebih rendah. Kedua, tidak semua perkara dimintakan banding. Memang kita bisa berpendapat bahwa walau
tidak semua perkara dimintakan banding atau kasasi, setiap putusan yang dianggap tidak baik oleh para pihak pasti akan dimintakan banding atau kasasi.
Namun pada kenyataannya tidak setiap orang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan yang lebih rendah pasti akan mengajukan banding atau kasasi.
Dalam situasi penegakan hukum Indonesia saat ini, dimana kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak dan proses penegakan hukum semakin
berkurang disebabkan karena adanya penyalahgunaan kekuasaan judicial corruption di pengadilan rendah sampai pada pengadilan tertinggi Mahkamah
Agung. Akibatnya walaupun putusan pengadilan mengenai suatu perkara yang jelas aturan hukumnya dan telah diuji melalui proses pengujian banding dan
kasasi oleh Mahkamah Agung, masyarakat tetap saja sulit untuk mempercayai
160
ibid
Universitas Sumatera Utara
146
kualitas putusan pengadilan sebagai suatu putusan hukum yang benar dan memenuhi rasa keadilan.
161
Bagaimana membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan adalah persoalan yang timbul dan harus segera diselesaikan
sebagai akibat dari maraknya praktik judicial corruption. Manakala masyarakat meragukan kualitas putusan pengadilan yang dibuat oleh pengadilan negeri
sampai pengadilan tertinggi akan kemanakah lagi masyarakat meminta pengujian secara objektif terhadap putusan pengadilan tersebut ?
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal lembaga lain sebagai alternatif pengujian terhadap putusan pengadilan. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang
tergabung dalam European Union EU yang dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan Uni Eropa apabila merasa dirugikan disebabkan karena hakim
dalam memutus suatu perkara dinilai diskriminasi atau melanggar hak asasi manusia.
162
Yasonna H. Laol y dalam sebuah tulisannya mengatakan “mengingat
sering ditemuinya praktek-praktek kolusi dan adanya isu-isu ? mafia peradilan... semakin banyaknya pihak-pihak yang meminta banding atau kasasi dalam
beberapa tahun terakhir ini mungkin saja karena mereka dikalahkan dengan cara-cara yang tidak jujur kolusi.
163
161
Mudzakkir,Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan dalam Wasingatu Zakiyah,et.al. ed., Eksaminasi Publik Partisipasi Masyarakat Mengawasi
Peradilan, Indonesia Coruption Watch, Jakarta, 2003, hlm.98.
162
Ibid.
163
Yasonna H. Laoly, Op.cit. hlm.25.
Universitas Sumatera Utara
147
Ketidakpuasan terhadap putusan-putusan hakim dari salah satu pihak yang berperkara sering di latarbelakangi oleh adanya faktor-faktor non-yuridis.
Misalnya kolusi antara hakim dengan salah satu pihak.
164
Sehubungan dengan ini, semakin besarnya proporsi perkara yang dimintakan banding atau kasasi oleh
salah satu pihak yang berperkara terakhir ini perlu dicermati secara khusus. Permintaan pemeriksaan ulang terhadap keputusan hakim dari sebagian
besar orang yang berperkara tidak boleh dilihat semata-mata hanya dari sudut ketidakpuasan para pihak. Artinya hanya melihat bahwa pihak yang kalah itu
biasanya selalu tidak puasa atas kekalahannya. Barangkali persoalan akan lain jika diteliti faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang tidak puas terhadap
kekalahannya. Di era reformasi pergeseran kekuasaan membuat korupsi pun ikut
bertransformasi. Munculnya pusat-pusat kekuasaan di luar istana membuat simpul-simpul korupsi meluas dan praktik mafia yang menyertai itu merebak
tak terkendali sehingga menyerupai democratic corruption. Khusus di wilayah peradilan, ICW menemukan angka yang cukup
menakjubkan. Dari 300 responden dari pihak yang terkait langsung dengan proses peradilan dan pernah mengurus perkara di Mahkamah Agung, 73
diantaranya meyakini ada korupsi di lembaga puncak kekuasaan kehakiman tersebut.
165
164
Ibid
165
Wasingatu Zakiyah, et.all., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta, 2002, hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
148
ICW mencatat bahwa sudah berulang kali berbagai praktek korupsi di Mahkamah Agung terbongkar. Praktek kolusi antara hakim dan pihak-pihak yang
berperkara ternyata juga menjangkiti para hakim agung dan pejabat di Mahkamah Agung. Kerapkali terjadi, pihak yang berperkara menolak memberikan uang suap
akan dikalahkan, sekalipun bukti-buktinya kuat. Kecuali, jika perkaranya mendapat sorotan publik luas.
166
ICW mencatat pula bahwa pola korupsi yang banyak terjadi di MA adalah pemerasan terhadap para pihak. Dalam melakukan pemerasan, hakim agung
bekerja sama dengan asistennya atau hakim yustisi non-palu. Selanjutnya, hakim yustisi yang akan menghubungi pihak-pihak yang berperkara. Tawaran yang
diajukan tidak hanya berupa pemenangan, tetapi juga percepatan perkara. Seperti diketahui, tumpukan perkara di MA mencapai belasan ribu kasus. Kalau bukan
kasus yang mendesak, menyangkut hajat hidup orang banyak atau mendapat sorotan publik, perkara yang datang belakangan harus antre disidang.
167
Mencermati berbagai pola praktik korupsi judicial corruption di tubuh Mahkamah Agung, maka dapat dimaklumi apa penyebab ketidakpuasan pihak
yang kalah terhadap kekalahannya, demikian juga dengan terdakwa yang seharusnya dihukum dinyatakan bebas lepas dari tuntutan hukum. Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang seyogiyanya melaksanakan fungsi pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
166
Mafia Peradilan, Hiruk Pikuk Lelang Putusan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah
Agung, http:www.hukumonline.comberitabacahol6169font-size1-
colorff0000bmafia-peradilan-2bfontbrhirukpikuk-lelang-putusan-di-pengadilan-niaga- dan-ma
, diakses 10 Februari 2016.
167
Ibid
Universitas Sumatera Utara
149
pengadilan yang berada dibawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman belum bersih dari praktik korupsi.
Adagium klasik “ air di hilir tak kan jernih, kalau sudah keruh di hulu” barangkali cocok dengan potret mafia di institusi penegak hukum.
Persekongkolan niscaya kelompok elit dalam sebuah lembaga pada akhirnya membuat mekanisme-mekanisme inti yang awalnya di desain untuk
meminimalisir penyimpangan tidak berfungsi. Seperti unit pengawasan internal, unit penegak etik, dan perilaku penegak hukum atau bahkan mekanisme standar
pengawasan melekat.
168
Unit-unit tersebut tentu tidak akan berarti apa-apa jika jabatan-jabatan strategis sudah terkooptasi virus mafia. Lebih dari itu bukan tidak mungkin
terjadi pelembagaan penyalahgunaan wewenang dan praktik koruptif lainnya. Oleh sebab itu kehadiran lembaga eksaminasi publik dirasakan perlu sebagai
bentuk pengawasan terhadap lembaga peradilan. Karena dalam kondisi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya selalu muncul pertanyaan Quis
qustodiet ipsos qustodes, “siapakah yang akan mengawasi pengawas?”
168
Febri Diansyah, “Peta Buta” Pemberantasan Mafia Hukum : Mungkinkah
Mafia Memberantas Mafia dalam Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisual, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010, hlm. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
150
D. Hilangnya Pengawasan Terhadap Profesionalisme Hakim
1. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap hakim
Pengawasan terhadap hakim, selain dilakukan oleh internal Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi, dilakukan pula oleh lembaga
eksternal, yaitu komisi yudisial. Komisi yudisial hadir di tengah-tengah lembaga negara kekuasaan kehakiman yang telah ada bersama-sama hadirnya Mahkamah
Konstitusi dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kehadiran secara konstitusional komisi yudisial tersebut
kemudian secara kelembagaan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Berdasarkan latar belakang pembentukananya, Komisi Yudisal dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim dalam hal penyimpangan
perilaku yang bisa menurunkan martabat hakim. Tetapi tidak lama setelah pembentukan dan eksistensinya, sudah terjadi konflik antara Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang
diajukan oleh beberapa hakim agung dengan memangkas kewenangan- kewenangan pengawasan yang semula diberikan oleh Undang-Undang kepada
Komisi Yudisial.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi tingkah laku hakim tumpang tindih dengan berbagai
Universitas Sumatera Utara
151
Undang-Undang yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman sehingga Mahkamah Konstitusi membatalkan berbagai kewenangan Komisi Yudisial.
Denny Indrayana lewat rubrik opini dalam harian kompas sebagaimana dikutip Lilian
G.F Apituley menyatakan bahwa “ Lonceng kematian berdentang kencang dan makin maraklah mafia peradilan dengan adanya putusan MK No.
005PUU-IV2006 yang menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU KY”.
169
Lebih lanjut dinyatakan bahwa, 31 hakim sebagai pemohon pengujian bersama para kuasa hukumnya,diantaranya : O.C. Kaligis, Juan Felix
Tampubolon, dan Indrianto Seno Adji sedang tersenyum lebar karena hampir semua permohonan mereka dikabulkan oleh MK.
Pada tahun 2011 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Perubahan tersebut dilakukan sebagai
upaya :
d menjabarkan “kewenangan lain” sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e
penguatan tugas dan fungsi Komisi Yudisial; f
penyesuaian terhadap perkembangan hukum masyarakat.
Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal pengawas peradilan harus mengawasai sekitar 739 Pengadilan di seluruh Indonesia yang terdiri dari : 30
Pengadilan Tinggi, 302 Pengadilan Negeri, 27 Pengadilan Tinggi Agama, 317 Pengadilan Agama, 19 Mahkamah Syariah, 25 Pengadilan Tata Usaha Negara, 4
169
Lilian G.F. Apituley, Peran Komisi Yudisial dalam Mengatasi Mafia Peradilan di Indonesia,
Universitas Sumatera Utara
152
Pengadilan tinggi Tata Usaha Negara, 13 Pegadilan Meliter, dan 2 Pengadilan Tinggi Meliter.
170
Dengan kondisi bahwa Komisi Yudisial hanya berada di pusat pemerintahan dan tidak dapat membuat perwakilan di daerah lain, mengawasi
739 Pengadilan dengan ribuan hakimnya bukan merupakan suatu hal yang mudah, tetapi tentunya tidak pula dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak
memberikan kinerja yang maksimal.
Setiap tahunnya, Komisi Yudisial menerima ratusan hingga ribuan laporan masyarakat. Data tahun 2005 -2013 menunjukkan rata-rata hanya 48 laporan
masyarakat yang ditanagani KY hingga klarifikasi pada terlapor atau diteruskan ke instansi yang berwenang. Semakin mengerucut, tiap tahunnya rata-rata hanya
20,5 laporan ditangani hingga pemeriksaan pelaporsaksi dan sebanyak 18,3 laporan ditangani hingga tingkat pemeriksaan hakim terlapor.
171
Semenjak Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2011 disahkan. Komisi Yudisial memiliki wewenang melakukan pemantauan. Sejak saat itu hingga tahun
2014, Komisi Yudisial menerima sebanyak 704 laporan pemantauan persidangan, namun sebagaian besar dari laporan tersebut tidak dapat di tindaklanjuti oleh
Komisi Yudisial.
170
http:litbangdiklatkumdil.netdirektori-pengadilan.html , diakses tanggal 24
Maret 2016.
171
Fransiscus Manurung, Melihat Sekilas Pegawasan KY, Artikel dalam Buletin Fiat Justitia Ma PPI FHUI, Vol.1. No.2 September 2016, hlm.4. Diakses dari
http:mappifhui.orgwp-contentuploads201511Fiat-Justitia-Sept-2015.pdf, tanggal 24 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
153
4. Instrumen pengawasan terhadap profesionalisme hakim yang ter- amputasi
Hakim sebagai pejabat negara memiliki tugas penting secara ekslusif , yang berarti tidak dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak memiliki
kapasitas dan legalitas, yakni menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu jabatan hakim juga merupakan profesi karena untuk menduduki jabatan tersebut
diperlukan pengetahuan, keterampilan, integritas, yang tidak saja diperoleh melalui jenjang pendidikan formal, tetapi juga harus dibuktikan melalui
serangkaian ujian dan seleksi. Pada titik ini merupakan suatu keharusan agar hakim senantiasa bertindak profesional yang sangat menentukan penilaian atas
kehormatan, martabat dan perilaku hakim sebagai aparat penegak hukum.
Profesionalisme bukan merupakan suatu hal yang sekali jadi dan bersifat abadi. Profesionalisme selalu berkembanag dan dipengaruhi berbagai aspek,mulai
dari motivasi internal untuk mengembangkan diri hingga godaan dari luar yang mencederai integritas. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme dan institusi yang
berfungsi menjaga dan menegakkan profesionalisme hakim. Salah satunya adalah kode etik dan pedoman perilaku hakim serta mekanisme pengawasan hakim.
172
Profesionalisme sebagai bagian dari kode etik hakim sudah diakui di dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang antara lain
menyatakan sebagai berikut.
...
172
http:safaat.lecture.ub.ac.idfiles201403Hilangnya-Pengawasan-Terhadap- Profesionalisme-Hakim.pdf
, diakses tanggal 10 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
154
6.2 A judge shall devote the judge’s professional activity to judicial
duties, which include not only the performance of judicial functions and responsibilities in court and the making of the decisions, but also other
tasks relevant to the judiccial office or the courts operations.
6.3 A judge shall take reasonable steps to maintain and enhance the judge’s knowledge, skills and personal qualities necessary for the proper
performance of judicial duties, taking advantage for this purpose of the training and other facilities which should be made available, under judical
control, to judges.
... 6.5 A judge shall perform all judicial duties including the delivery of
reserved decisions, efficiently, fairly with reasonalbe promptness.
Prinsip profesionalisme dan pedoman pelaksanaan dalam Bangalore Principle tersebut dianut di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
dirumuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
173
Prinsip Profesional ini dilaksanakan antara lain dalam bentuk upaya meningkatkan
kemampuan dan kualitas dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan kerjasama melaksanakan tugas administratif, mengutamakan tugas judisial, dan
wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan.
Dalam tataran aplikasi, rumusan pelaksanaan sikap profesional yang terdapat dalam butir 10.1 sampai dengan butir 10.4 Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 36PHUM2011. Majelis hakim berpendapat bahwa kewenangan KY
Berdasarkan pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman merupakan
173
Butir 10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat terminologi “Profesional” yang dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk
pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional kemudian mendorong
terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai
setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Universitas Sumatera Utara
155
kewenangan pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut
Undang-Undang harus semata-mata menyangkut perilaku hakim guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim.
Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang mengawasi teknis hukum. Rumusan butir 8.1.
174
dan rumusan butir 10.4.
175
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinilai tidak memuat sebuah cakupan tentang perilaku tetapi terkait
dengan pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kongnitif. Oleh karena itu hal ini tidak termasuk ke dalam wilayah pengawasan eksternal KY
karena tidak termasuk “perilaku”.
Majelis hakim berpendapat bahwa jika Komisi Yudisial menemukan adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa
kekeliruan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dilakukan dengan kesengajaan, masalah ini masuk kedalam wilayah pengawasan perilaku, baik oleh
Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial.
Majelis hakim menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan dengan cara, misalnya memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses
persidangan, memeriksa putusan hakim, dan hal-hal lain yang terkait dengan teknis peradilan, adalah tidak tepat, sebab kalaupun terdapat kekeliruan dalam
174
Penerapan butir 8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagai para pencari keadilan.
175
Penerapan butir 10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk
dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
Universitas Sumatera Utara
156
penegakan hukum acara, para pihak dapat melakukan perbaikannya melalui proses “upaya hukum” sebagaimana diatur dalam hukum formal hukum acara.
Pengawasan oleh Komisi Yudisial seharusnya fokus mengenai dugaan pelanggaran etik danatau perilaku.
Majelis hakim memutuskan mengabulkan permohonan uji materil para pemohon. Putusan menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2,
10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Repulik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang- Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu pasal 40
ayat 2 dan pasal 41 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo pasal 34A ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung .
Pertimbangan Majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36PHUM2011 penting untuk dicermati. Sebagai bahan pembanding, dan
argumentasi penguat bahwa pengawasan terhadap profesonalisme hakim telah hilang pasca keluarnya putusan MA Nomor 36PHUM2011, berikut ini akan
diuraikan catatan hukum legal anotation Muchamad Ali Safa‟at :
176
176
Muchamad Ali Safa‟at, Anotasi Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor: 36PHUM2011 dalam Perkara Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Keputusan
Bersama Ketua
Mahkamah Agung
dan Ketua
Komisi Yudisial
Nomor: 047KMASKBIV2009; Nomor:2SKBP.KYIV2009 tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim, disampaikan dalam sidang Majelis Eksaminasi Publik yang diselenggarakan oleh Indonesian Court Monitoring ICM, Jogjakarta, 17 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
157
Didalam putusan ini sangat jelas bahwa antara argumentasi hukum di dalam pertimbangan hukum hakim sama sekali tidak berangkat dari argumentasi
hukum yang diajukan oleh pemohon sebagai dasar permohonan. Pemohon mengajukan argumentasi utama yang digunakan sebagai dasar permohonan untuk
menyatakan bahwa butir-butir SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-
Undang Mahkamah Agung adalah dalil bahwa substasi bahwa butir-butir SKB dimaksud adalah norma hukum, bukan norma etik atau perilaku. Hal ini sama
sekali tidak dinilai dan dipertimbangkan oleh mejelis hakim.
Majelis hakim mengkonstruksikan argumentasi berbeda untuk menyatakan bahwa butir-butir SKB dimaksud bertentangan dengan UU Kekuasaan
Kehakiman dan UU Mahkamah Agung berdasarkan materinya yang dinilai justru tidak menyangkut perilaku, melainkan soal pengetahuan atau pemahaman yang
masuk wilayah kognitif, yang menurut majelis hakim tidak termasuk wilayah pengawasan Komisi Yudisial, dan hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum.
Pertimbangan hukum tersebut mengkonstruksikan bahwa apa yang dimaksud dengan teknis hukum menurut majelis hakim adalah sesuatu yang
terkait dengan wilayah kognitif, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum hakim dalam menjalankan tugas persidangan. Padahal yang dimaksud dengan
teknis hukum juga meliputi perilaku dalam memimpin persidangan dan menerapkan hukum acara. Bahkan, tingkat pengetahuan dan pemahaman hakim
juga hanya dapat dilihat melalui perilakunya.
Universitas Sumatera Utara
158
Meskipun seandaianya quad non ketentuan dalam butir-butir SKB dimaksud berada pada wilayah pengetahuan dan pemahaman kognitif, tetap saja
hal ini merupakan bagian dari norma kode etik yaitu hakim harus profesional sesuai dengan pedoman perilaku ke 10- Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Dengan demikian , hakim yang tidak mengetahui atau memahami aturan hukum dan kemampuan lain yang diperlukan untuk menjalankan tugas sudah
melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Hal ini sangat wajar mengingat profesi hakim merupakan profesi terhormat yang tentunya dituntut memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam.
Pendapat majelis hakim, yanag menyatakan bahwa pengawasan perilaku hakim baru dapat dilakukan oleh MA atau KY pada saat terjadinya kekeliruan
hakim dalam memeriksa dan memutus karena kesengajaan bertentangan dengan nilai profesionalisme hakim yang dianut secara universal sebagai bagian dari
kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Selanjutnya, pendapat majelis hakim yang menyatakan bahwa pengawasan tidak dapat mempersoalkan proses persidangan bertentangan dengan
maksud dari pengawasan itu sendiri, yaitu untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim. Hal yang sangat
menentukan keluhuran martabat, kehormatan dan perilaku hakim adalah perilaku di persidangan. Jika pengawasan tidak dapat dilakukan terhadap perilaku hakim
dalam proses persidangan, maka pengawasan perilaku hakim akan teramputasi, tidak lagi meliputi pengawsana di dalam dan diluar persidangan, melainkan
hanya sebatas pengawasan terhadap perilaku hakim di luar persidangan.
Universitas Sumatera Utara
159
Dengan Putusan MA yang membatalkan butir 8.1 sampai butir 8.4, serta butir 10.1 sampai butir 10.4, satu lagi instrumen upaya untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, martabat dan perilaku hakim diamputasi. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sendiri semakin tidak berdaya dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim. Dengan demikian, terhadap hakim yang tidak profesional tidaka ada lagi tindakan yang dapat dilakukan, kecuali menunggu
hingga pensiun.
177
Hilangnya instrumen untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di dalam persidangan, semakin membuka celah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam proses peradilan. Penyimpangan-penyimpangan yang dimaksud bahkan mengarah pada praktik judicial corruption. Bukan hal yang
sulit untuk menemukan jawaban “mengapa hakim kerapkali melahirkan putusan- putusan yang kontroversial ?”. Meskipun membutuhkan jawaban yang kompleks,
salah satu persoalan penting adalah terkait dengan profesionalisme hakim. Oleh sebab itu, pertanyaan tersebut akan terjawab dengan pertanyaan baru, “bagaimana
mungkin putusan kontroversial dan jauh dari rasa keadilan akan lahir dari hakim dan majelis yan
g profesional ?”.
Argumentasi hukum yang dibangun hakim, tidak tampak cacat hukum serta dapat di pertanggungjawabkan lepas dari produk putusan kolutif. Bahkan
putusan pengadilan hanya bisa dikoreksi secara internal dalam struktur vertikal proses hukum selanjutnya mulai dari upaya hukum banding di Pengadilan
Tinggi, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
177
http:safaat.lecture.ub.ac.id , Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
160
Semangat untuk memberantas praktik korupsi di pengadilan hanya menyalahkan sistem yang ada, kurang berorientasi pada pengawasan kinerja
profesionalisme penegak hukum, sehingga terhalang perilaku penegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaan abuse of power yang tersamar dalam
legalitas kewenangan penegak hukum.
178
Ketika Komisi Yudisial sudah tidak lagi berwenang melakukan pengawasan perilaku hakim dalam persidangan, maka profesionalnya seorang
hakim dapat dinilai melalui putusannya. Sebagaimana diuraikan pada Bab terdahulu, putusan hakim dapat diuji melalui upaya hukum. Namun,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan juga menyebabkan timbulnya keraguan-keraguan publik terhadap upaya hukum, kendatipun publik
masih mengharapkan keadilan melalui upaya banding , kasasi dan peninjauan kembali.
Menempuh upaya hukum dalam kondisi dimana lembaga peradilan telah terkontaminasi dengan praktik judicial corruption ibarat bergantung pada tali
yang lapuk. Berharap mendapatkan keadilan, namun seringkali putus pengharapan dan kian jauh dari keadilan. Disinilah perlunya dilakukan eksaminasi publik atau
legal ananotation pemberian catatan-catan hukum terhadap putusan hakim untuk menilai profesionalisme hakim dalam memutus suatu perkara.
178
Jawade Hafidz, Sistem Pertanggungjawaban Perkara Korupsi dalam Percepatan Penyelamatan Keuangan Negara, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11, Edisi
Khusus, Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto, Februari, 2011, hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
161
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Padang tidak menerapkan asas hukum
tiada pidana tampa kesalahan secara tepat dan benar dalam Perkara No. 173PID.B2011PN.PDG. Putusan majelis hakim cacat prosedural, karena
tidak mengikuti ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP. Majelis hakim keliru dalam membuat pertimbangan unsur “barang siapa” dalam
Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun1999. Majelis hakim keliru dalam memberikan pertimbangan bahwa unsur penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tidak terbukti; Majelis hakim telah melanggar prinsip Audi Et Elteram
Partem karena tidak mempertimbangkan saksi dan alat bukti yang diajukan oleh jaksa.
2. Perlunya eksaminasi publik dalam upaya mencegah judicial corruption
adalah karena: lemahnya internal control lembaga peradilan; eksaminasi publik merupakan manifestasi kekuatan otonomi masyarakat dalam
mengawasi peradilan; publik masih meragukan upaya hukum; dan hilangnya pengawasan terhadap profesionalisme hakim.
3. Pengaruh eksaminasi publik terhadap praktik judicial corruption yaitu :
mendorong jaksa lebih profesional dalam merumuskan surat dakwaan dan tuntutan; menimbulkan dampak moral sehingga hakim lebih berhati-hati
memutus perkara; Hasil eksaminasi publik dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap kinerja hakim dan jaksa; dan Eksaminasi publik
mendorong hakim membuat putusan yang lebih baik atau profesonal.
Universitas Sumatera Utara
162
B. Saran 1. Pentingnya meningkatkan keberadaan lembaga eksaminasi publik dalam