1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian Hukum menurut Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup, perintah, dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang
seharusnya ditaati oleh suatu anggota masyarakat. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah penguasa itu.
Hukum diciptakan untuk masyarakat, sehingga hukum harus sesuai dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Hukum memiliki sifat mengikat dan
memaksa, sehingga masyarakat memiliki kewajiban untuk menaati dan mematuhi peraturanhukum tersebut. Hukum mengatur segala aspek kehidupan yang ada di
masyarakat termasuk juga dalam kegiatan PerkawinanPernikahan. Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan
pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan.
1
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial
dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan sebagai upaya pelestarian
1
Bachtiar A . 2004. Menikahlah Maka Engkau Akan Bahagia. Saujana. Yogyakarta. Hal 2
kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan inter-personal. Syarat-syarat perkawinan adalah menurut Pasal 6
– Pasal 11 UU No 1 Tahun 1974 : 1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanyasalah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal duniawalinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 2 dan pasal 4. 5.
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu. Dengan adanya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan
mampu memberikan kontribusi untuk masyarakat yang ingin melaksanakan perkawinan. Namun pada dewasa ini seolah menjadi sebuah persoalan klasik
yang terjadi di Indonesia. Perkembangan dan dinamika masyarakat yang terus berkembang menimbulkan masalah dan persoalan baru yang belum dapat
terselesaikan. Dengan adanya Perkawinan masyarakat mengharapkan mendapat perlindungan dan pengakuan oleh Negara. Dengan itu jelas Negara memiliki
kewajiban untuk melindungi, mencatat dan menerbitkan bukti akta perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan prosedur yang ditentukan tanpa
memandang status agama dari masyarakat yang melakukan pernikahan.
2
2
Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso. 2010. Pernikahan Beda Agama Kesaksian Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan : ICRP Komnas HAM. Jakarta. Hal 10
Dalam perspektif HAM Hak Asasi Manusia perkawinanpernikahan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan membentuk keluarga adalah hak
prerogratif yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Namun dewasa ini banyak terjadi permasalahan yang tidak disadari oleh Negara yang tidak
memberikan ruang bagi masyarakat yang melakukan pernikahan beda agama.
3
Sebagai sebuah instrument hukum UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap
sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna dan sebagai alat untuk menilai benar tidaknya suatu tingkah laku.
Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada kepastian
hukum dalam
masyarakat. Jika
asumsi ini
benar-benar diimplementasikan ke dalam UU, maka sudah pasti perlunya melakukan
perubahan terhadap UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama pasal 2 1 yang selama ini dijadikan sebagai rujukan oleh masyarakat dalam persoalan
perkawinan beda agama. Dalam Pasal 2 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Agama dalam UU ini memegang peranan penting
dalam sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 tersebut disebutkan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya, jadi bagi seorang yang beragama Islam tidak ada
3
Ibid. Hal 11
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agama Islam, demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu dan Buddha tidak ada kemungkinan
kawin dengan melanggar hukum masing-masing agamanya.
4
Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi keberagamaan yang ada secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus
diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi
hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut. Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota
ini berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, dan wilayahnya dikelilingi oleh Kabupaten Malang. Malang
merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, dan dikenal dengan julukan kota pelajar. Kota Malang yang terletak pada ketinggian antara
440 - 667 meter diatas permukaan air laut, merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena potensi alam dan iklim yang dimiliki. Letaknya yang
berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak 112,06° - 112,07° Bujur Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan.
5
Perkawinan beda agama banyak terjadi di kalangan artis Indonesia, diantaranya adalah Happy Salma dengan Tjokorda Dwi Bagus dan Christian
Sugiono dengan Titi Kamal, Irfan Bachdim dengan Jennifer Kurniawan, dan lain-
4
Ibid.
5
Pemerintah Kota Malang. http:malangkota.go.id
. Diakses Tanggal 4 Januari 2014
lain.
6
Perlu diingat Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar
golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken GHR atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad
1898 No. 158. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Perkawinan beda agama tidak dimungkinkan dilarang di Indonesia karena bunyi pasal 2 1
bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
November Tahun 2013 lalu masyarakat kembali dikagetkan dengan munculnya berita di media masa seputar pembatalan perkawinan oleh
Asmirandah kepada Jonas Rivanno akibat Jonas yang awalnya sudah menyatakan sebagai seorang muslim kemudian murtad kembali kepada agamanya semula
setelah menikahi Asmirandah pada tanggal 17 Oktober 2013 tahun lalu.
7
Maka dari itu berdasarkan latar belakang diatas penulis ingin mengetahui dan mendalami bagaimana pengaturan yang tepat bagi perkawinan beda agama
dan bagaimana upaya penegakkan hukumnya. Selain itu bahwa perdebatan yang terjadi diantara para ulama yang berpegang dengan Al-Quran, Al-Hadits harus
6
Menyoal Perkawinan Beda Agama. Sosbud.Kompasiana.Com. Diakses Tanggal 4 Januari 2014
7
Akhirnya Asmirandah
Ajukan Pembatalan
Pernikahan Dengan
Jonas. http:www.hidayatullah.com
diakses tanggal 28 November 2013
menemukan jawaban terang. Ulama yang menentang dengan keras dengan alasan bahwa Allah melarang pernikahan agama sesuai dengan seruan Firman-Nya dan
pernikahan itu tidak akan sah di mata Allah. Selain itu Ulama yang memperbolehkan dengan alasan bahwa penafsiran terhadap Firman Allah harus
disesuaikan dengan konteks jaman yang selalu dinamis atau berubah-ubah. Pernikahan beda agama atau lintas agama yang dimaksudkan dalam Islam
adalah pernikahan antara seseorang yang beragama Islam Muslim atau Muslimah dan yang bukan Islam atau non-Muslim. Di dalam pasal 44 KHI juga
dinyatakan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pada tanggal 1 Juni 1980 MUI
Pusat mengeluarkan fatwa bahwa perkawinan beda agama itu adalah haram. Hal ini semakin menguatkan bahwa para ulama yang tidak setuju terhadap
perkawinan beda agama memang memiliki dasar Instrumen Hukum yang kuat mengenai larangan perkawinan beda agama. Lalu bagaimana dengan orang yang
sudah melangsungkan perkawinan beda agama dan apakah mereka mendapat perlindungan hukum oleh Negara sedangkan hingga saat ini tidak ada pengaturan
jelas tentang perkawinan beda agama. Bila dilihat dari sudut pandang Hukum Islam Para Ulama berpendapat
bahwa penafsiran QS. Al-Baqarah Ayat 221 yang artinya : ...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum
mereka beriman.... Apakah ini diartikan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan lelaki non muslim adalah sebuah perbuatan zina yang berdampak
kepada status perkawinannya sehingga akan menimbulkan banyak masalah di
kemudian hari. Maka berdasarkan uraian tersebut, penulis melakukan penulisan hukum
skripsi ini
menggunakan judul
“ANALISA TERHADAP PELAKSANAAN
PENCATATAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA
DITINJAU DARI PASAL 2 UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM Studi di Wilayah
Hukum Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Malang. B.
Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Malang? 2.
Bagaimana Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Pasal 2 UU. No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum
Islam?
C. Tujuan Penulisan