Analisis Perkawinan Anak di Bawah Umur (Tinjauan Dari Segi Hukum Islam dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Abdurrahman, Muslan, 2002, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang.

Departemen Agama RI, 2001, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri, Cv Asy-Syifa’, Semarang.

Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, 2005, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Recca Publishing, Jakarta.

Ghofur, Abdul Anshori, 2011. Hukum Perkawinan Islam: Perspektif Fikih dan Hukum Positif, , UII Press , Jogyakarta.

Hanafi, Yusuf, 2011 Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Child Marriage) Perspektif Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional. CV.Mandar Maju , Malang. .

Jauhari, Iman, 2003. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam. Pustaka Bangsa, Jakarta.

Mahmud Marjuki, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Malik, Rusdi, 2009. Memahami Undang-undang Perkawinan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Mubarok, Jaih, 2005. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Pustaka Bani Quraisy , Bandung.

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkemabngan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta.

Ramulyo, Mohamad Idris. 1991. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam. Bumi Aksara, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.

Syarifudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Perdana Media, Jakarta. Suherman, Ade Manan dan J.Sastrio, 2010. Penjelasan Hukum Tentang Batasan


(2)

Supriadi, Dedi dan Mustofa, 2009, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Pustaka Al-Fikriis, Bandung .

T.Jafizham, 2006, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkwainan Islam. PT. Mestika, Jakarta.

Internet :

Khairuddin (PA. Pasir Pengaraian) Politik Pembatasan Usia Perkawinan,

Sudirman, “Pembatasan Usia Minimal Perkawinan: Upaya Meningkatkan Martabat Perempuan” (Paper Dosen Fakultas Syariah UIN Malang)

ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1925

Tesis Perpustakaan Pusat, Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim

Diakses tanggal 27 Februari 2013.

. lib.uin-malang.ac.id/

Tohir, Umar Faruq, 2009, Pernikahan Dini di Desa Beluk Raja,Kecamatan Ambunten,Kabupaten Sumenep; (Skripsi Universitas Negeri Islam Sunan KalijagaYogyakart

Diakses tanggal 27 Februari 2013.

2013.

Panjaitan, Linda Rahmita, Perkawinan Anak Di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya (Tesis Magister Kenotariatn Fakultas Hukum Universitas Suimatera Utara Medan). repository.usu.ac.id/handle/123456789/26111 1.

Women and Youth Depelovment Institute Indonesia,”Nikah Dini Sebagai Suatu Degenerasi”.

Diakses tanggal 25 Maret 2013.

Perundang-undangan dan sumber lainnya

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


(3)

Pengaturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.


(4)

BAB III

KETENTUAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERKAWINAN INDONESIA

A. Usia Perkawinan

1. Batas usia perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974

Ketentuan mengenai batas usia untuk kawin diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan di bawah batasan minimal usia nikah sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 di atas, maka harus mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Selanjutnya Pengadilan akan memproses permohonan tersebut dengan pertimbangannya. Alasan-alasan permohonan ini sangat perlu untuk dipertimbangkan karena mereka yang hendak menikah masih terlalu dini, sehingga belum ada kesiapan fisik dan psikis. 74

74 Ibid.

Dispensasi nikah ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang ini, yaitu sebagai berikut :

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.


(5)

2. Batas usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai batas usia calon mempelai diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi:

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Dari kedua ketentuan di atas, dapat dimaknai bahwa apabila pasangan suami istri menikah dengan umur yang relatif masih muda, yaitu di bawah umur 19 tahun (bagi pria) dan umur 16 tahun (bagi wanita), dilihat dari kematangan fisik dan psikisnya masih belum cukup. Oleh karenanya, bila mereka hendak menikah harus meminta izin orang tuanya.75

Menurut KHI, usia perkawinan harus dibatasi demi menjaga keselamatan keluarga dan rumah tangga agar terwujud keluarga yang kekal dan bahagia. Laki-laki di bawah umur 19 tahun dan perempuan di bawah umur 16 tahun dinilai belum cakap dalam membina kehidupan berumah tangga.

76

berbeda pula ketentuan dan cara-cara orang dewasa untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam hukum Islam, tidak ada ketentuan batas umur untuk melakukan suatu perkawinan. Perbedaan iklim dan adat istiadat di tanah air, menyebabkan

77

75

Ibid, hal. 103. 76

Perpustakaan Pusat, Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim , Op. cit. hal. 14. 77

T.Jafizham Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkwainan Islam. , PT. MESTIKA, Jakarta 2006, hal. 259


(6)

Dalam hukum Islam juga dikenal istilah “baligh”. Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai”, maksudnya telah sampainya umur seseorang pada tahap kedewasaan. Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Adapun seorang perempuan disebut baligh jika sudah menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa seorang lelaki bermimpi basah rata-rata umur 15 tahun atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Untuk mengatasi masalah kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum. Kedewasaan seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah ia cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan (ahliat al-wujud), serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliat al-ada). Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran ketidakcakapan dalam Hukum Islam adalah kebelum-balighan seseorang berdasarkan ukuran tersebut di atas.78

Surat an- Nur ayat 32, yang artinya berbunyi :

Ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu, surat an-Nur ayat 32 dan surat an Nisa’ ayat 6.

79

78

Ade Manan Suherman, Op.cit hal. 50. 79


(7)

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak kawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luar lagi Maha Mengetahui.”

Al-Maraghi menafsirkan wassalihi, para lelaki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsirkan ayat tersebut

wassalihi, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karena fungsi perkawinan memerlukan persiapan bukan sekedar materi, tetapi kesiapan spiritual, baik laki-laki maupun perempuan.80

Begitu pula dengan QS surat an-Nisa’ ayat 6, yang artinya berbunyi: 81

Dalam tafsir al-Misbah, maka makna dasar rusdh adalah kelurusan jalan. Dari sisi lahir kata rusdh yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjalankannya mampu bersifat dan bertindak setepat mungkin. Al-Maragi menafsirkan dewasa (rusdh), yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud

balighual-“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…”

80

Dedi Supr iadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Pustaka Al-Fikriis, Bandung, 2009. Hal. 22-23.

81


(8)

nihdh ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterpretasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu (dalam hal ini perkawinan). Menurut Rasyid Ridha, kalimat ballighu al- nikdh menunjukkan bahwa seseorang untuk kawin yakni samapi “bermimpi”. 82

Tapi secara eksplisit para fuqaha’ tidak sepakat terhadap batas usia minimal perkawinan, namun ia berpandangan bahwa balig bagi seseorang itu belum tentu menunjukkan kedewasaanya.83

Menurut Hilman Hadikusuma, usia perkawinan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih asyik dengan dunia bermainnya. Jadi, supaya dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki-laki dan perempuan harus benar-benar telah siap jiwa dan raganya, serta mampu berfikir dan bersikap dewasa. Selain itu, batasan usia nikah ini juga untuk menghindari terjadinya perceraian dini, supaya melahirkan keturunan yang baik dan sehat dan tidak mempercepat pertambahan penduduk. 84

3. Pembatasan usia minimal perkawinan

Satu hal yang menarik dari Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 antara lain adalah adanya pembatasan usia minimal calon mempelai, baik laki-laki maupun perempuan yang pada awalnya termasuk salah satu dari sebelas poin yang

82

Dedi Supriadi dan Mustofa, Op. cit hal 23 83

Ibid, hal 24 84


(9)

ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dirasa unik karena dalam Islam, tidak dikenal adanya batas minimal bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan. Tentu fakta sosial mempunyai banyak peran dalam masalah ini. Banyaknya kasus pernikahan dini yang berakhir dengan tragis cukup memberikan aspirasi atas urgensitas pembatasan usia kawin.85

Ketentuan batas umur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ayat (1) seperti juga disebut dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan bahwa calon suami istri harus sudah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.86

85

Sudirman, Pembatasan Usia Minimal Perkawinan : Upaya Meningkatkan Martabat

Perempuan (Paper Dosen Fakultas Syariah UIN

Malang),ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1925 Diakses tanggal 27 Februari 2013. hal. 7. 86


(10)

Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, baik bagi pria maupun wanita. Masalah penentuan umur dalam UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat ijtihadiyyah, di sinilah pengaruh sosial muncul sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh masa lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syariahnya ternyata mempunyai landasan yang cukup kuat87. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa‘ ayat 9, yang artinya : 88

Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan lapangan

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

87

Ibid, hal. 8.

88


(11)

atas berbagai kasus pernikahan dini, ternyata menunjukkan bahwa pernikahan di bawah umur banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa raganya.

Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam lika-liku rumah tangga. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa angka perceraian yang tinggi cenderung didominasi oleh akibat perkawinan dini. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah yang berlandaskan fakta sosial. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihadiyah, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah ketentuan, undang-undang tetap memberikan jalan keluar. 89

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.

Pasal 7 (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan:

89


(12)

Dalam hal ini, Undang-undang Perkawinan tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Rupanya titik perbedaannya adalah jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19 atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh Pasal 15 ayat (2) KHI.

Apabila dibanding dengan batasan umur calon mempelai di beberapa negara muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi. Berikut data komparatif yang dikemukan Tahir Mahmood dalam buku Personal Law in islamic Countries History, Text and Comparative analysis : 90

Negara

Laki-laki

Perempuan

Aljazair 21 18 Bangladesh 21 18 Mesir 18 16 Indonesia 19 16

Irak 18 18

Jordania 16 15

Libanon 18 17

Libya 18 16

Malaysia 18 16

Maroko 18 15

90


(13)

Yaman Utara 15 15 Pakistan 18 16

Somalia 18 18

Yaman Selatan

18 16

Suriah 18 17

Tunisia 19 17

Turki 17 15

Sumber : Sudirman, Pembatasan Usia Minimal Perkawinan : Upaya Meningkatkan Martabat Perempuan

Dari angka-angka di atas dapat ditegaskan bahwa batas umur terendah untuk menikah di Indonesia relatif cukup tinggi untuk laki-laki tetapi termasuk rendah untuk perempuan. Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi perempuan yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan telah memberikan ketentuan bahwa untuk melangsungkan perkawinan bagi seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Tetapi dalam kenyataannya justru seringkali pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahkan lebih rendah lagi.

e journal.uinmalang.ac.id/index.php/egalita/article/view/1925

91

Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah saja, tetapi tidak boleh didaftarkan. Di

91 Ibid.


(14)

Syria, yang diatur bukan hanya batas umur terendah untuk kawin, tetapi selisih umur antara laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan. Jika perbedaan umur antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan itu terlalu jauh, maka pengadilan dapat melarangnya.92

Di Yordania, aturannya lebih rinci lagi, jika perbedaan umur antara pasangan yang hendak menikah itu melebihi dua puluh tahun, maka perkawinan itu tegas-tegas dilarang kecuali ada izin khusus dari hakim. Di Indonesia ketentuan selisih umur ini belum ada, sehingga seringkali kita menyaksikan seorang lelaki tua menikah dengan seorang perempuan yang sebenarnya pantas menjadi anaknya atau bahkan cucunya, sebagai contoh kasus Syekh Puji.

93

Hukum Syria dan Yordania memandang bahwa dalam hal demikian itu terdapat potensi untuk terjadinya pemerasan terhadap salah satu pihak atau tidak akan menciptakan keluarga yang ideal. 94

Penentuan batas umur tersebut, masing-masing negara tentu memiliki pertimbangannya sendiri. Penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia

92

Ibid, hal. 10.

93

Pujiono Cahyo Widianto, yang lebih poluler disapa Syekh Puji yang menikahi Lutviana Ulfah anak berusia 12 tahun di Semarang pada Agustus 2008 yang lalu.

94


(15)

yang hasilnya kadang-kadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negeri-negeri Islam lainnya, seperti halnya yang terdapat dalam jual beli, sewa-menyewa, warisan, wakaf dan hibah. Demikian pula penerapan hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di pengadilan agama.95

Pertimbangan masalah kependudukan seperti diungkap dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan, turut mempengaruhi perumusan batas umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, sejalan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri. Kesemuanya itu mengandung masalah ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad (ulama Indonesia) dengan menggunakan metode-metode istislah, istihsan, al-urf, dan lain-lain metode istidlal dengan tujuan jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid

(memperoleh kebaikan dan menghindari kerusakan).

96

Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu fisik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengatakan, yang artinya : 97

95

Ibid, hal. 11. 96

Ibid. 97


(16)

“Dari Aisyah r.a dari Nabi SAW bersabda: terangkat qalam

(pertanggungjawaban) dari tiga hal : orang yang tidur hingga ia terbangun dan sadar, orang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi (basah).” (HR Ahmad dan Emat Iman Tarmidzi).

Menurut isyarat hadis tersebut, kematangan seseorang dilihat pada kematangan seksualitasnya, yaitu keluar mani bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan masing-masing orang cenderung berbeda. Hadis ini setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa pada umumnya kematangan fisik itu sudah dimiliki seseorang yang sudah berusia 15 tahun. Memperhatikan hadis di atas, dapat diambil pemahaman bahwa batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya pada usia tersebut anak laki-laki telah mengeluarkan air mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 tahun untuk daerah seperti Madinah telah dianggap memiliki kedewasaan. Ini didasarkan kepada pengalaman Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah saw.98

Di samping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat menikah dengan Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan

98


(17)

tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting karena tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan sekarang jelas sudah berbeda.

Undang Undang Perkawinan yang bersifat nasional kiranya bisa kita pakai sebagai patokan dan dengan berpatokan pada asas lex postiori derogate lex priori

maka dapat di katakan bahwa Indonesia telah mempunyai patokan umum untuk menetapkan usia dewasa, yaitu 18 tahun sehingga semua ketentuan lain yang mengatur usia dewasa yang diundangkan sebelum Undang Undang Perkawinan tidak berlaku lagi.99

B. Dispensasi Nikah di Bawah Umur

Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. Dispensasi nikah yang dimaksud dalam UU No.1 Tahun 1974 adalah penyimpangan terhadap batas minimal usia perkawinan yang telah ditetapkan. Jadi, dispensasi nikah merupakan sebuah bentuk keringanan bagi pasangan atau salah satu pasangan yang belum memenuhi syarat perkawinan yaitu belum cukup umur. UU Perkawinan mengatur batas minimal boleh menikah ini karena melihat pentingnya pernikahan dilangsungkan oleh mereka yang telah matang cara berpikirnya (dewasa) agar mengerti apa tujuan pernikahan tersebut, dan ke arah mana pernikahan itu dibawa. Aturan batas usia boleh menikah ini diciptakan berdasarkan asas kematangan calon mempelai. Meski demikian dalam keadaan sangat memaksa, pernikahan dini juga bisa dilaksanakan dengan izin dari

99


(18)

pengadilan. 100

Maka secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

Hal ini sebagaimana yang di atur pada Pasal 7 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), memuat perihal yang kurang lebih sama . Pada Pasal 15 KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.

101

Menurut pengurus KUA Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Alamsyah Pinem, bahwa ia tidak pernah mengizinkan perkawinan di bawah umur tanpa ada keputusan dari pengadilan agama setempat. Ketika ditanya ada pasangan kawin di bawah umur di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo yang merupakan daerah kerjanya yang menikah tanpa melalui prosedur dispensasi tapi memperoleh buku nikah dari KUA, maka beliau mengatakan bahwa mungkin saja orang tua dari yang bersangkutan memalsukan umurnya anaknya sehingga syaratnya seolah-olah sudah terpenuhi. 102

Karena berdasarkan rapat bulanan yang diadakan di Departemen Agama Kabanjahe, memerintahkan agar setiap pengurus KUA tidak boleh mengizinkan perkawinan di bawah umur tersebut dan mengeluarkan buku nikah tanpa adanya keputusan dari pengadilan agama yang bersangkutan. Apabila perintah tersebut

100

Umar Faruq Tohir, Op.cit. hal. 33 101

Yusuf Hanfi, Op.cit, hal. 111 102

Wawancara dengan Alamsyah Pinem, Pengurus KUA Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, tanggal 29 Maret 2013.


(19)

dilanggar maka perngurus KUA dapat dikenai sanksi berupa pemecatan dan itu merupakan etika profesi mereka.103

a. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri belum mencapai 16 (enam belas) tahun hendak melangsungkan perkawinan, harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan agama.

Pasal 13 (tiga belas) Pengaturan Menteri Agama No.3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan, menyebutkan:

b. Permohonan dispensasi kawin bagi mereka tersebut diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.

c. Pengadilan agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka pengadilan agama memberikan dispensasi kawin dengan suatu penetapan.

1. Alasan-alasan yang dijadikan dasar dalam memberikan dispensasi usia kawin

Adapun alasan-alasan yang biasa dijadikan hakim sebagai dasar dalam memberikan dispensasi usia kawin, di antaranya adalah : 104

103 Ibid.

104

Linda Rahmita Panjaitan, 2010, Perkawinan Anak Di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya (Tesis Magister Kenotariatn Fakultas Hukum Universitas Suimatera Utara Medan)


(20)

a. permohonan yang dimohonkan tidak bertentangan dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan-Nya;

b. pemohon telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan; c. alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan dapat dibenarkan dan diterima

oleh majelis hakim;

d. bila dilihat dari fisik, tubuh calon mempelai dapat dikatakan sudah dewasa; e. telah terjadi hamil diluar nikah, bahwa pihak laki-laki dan pihak perempuan

benar-benar saling mencintai dan berkeinginan hidup berumahtangga tanpa ada paksaan dari pihak manapun;

f. bahwa pihak laki-laki sudah bekerja dan sudah punya penghasilan sendiri yang cukup untuk membiayai hidup berumahtangga;

g. bahwa pihak laki-laki dan pihak perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan telah mengerti apa-apa saja hak dan kewajiban suami istri dan bersedia untuk melaksanakannya;

h. demi kemaslahatan umum bisa juga menjadi alasan diberikan dispensasi usia kawin.

Menurut hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Ahmad Syafruddin,S.H, MH, bahwa pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi usia kawin tergantung kasusnya. Artinya tidak ada suatu norma tertentu yang dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan terhadap dispensasi usia kawin sebagaimana halnya dalam kasus perceraian yang memang sudah ada aturan yang jelas terhadap alasan yang dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, misalnya apabila suami istri sering terjadi


(21)

percekcokan atau ada kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Tapi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap permohonan dispensasi usia kawin tidak ada hal demikian sehingga putusan dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan dan kondisi para pihak yang ingin kawin tersebut. Misalnya apakah dengan diberikannya permohonan dispensasi usia kawin tersebut lebih banyak manfaatnya atau ruginya bagi calon mempelai, apakah orang tua atau keluarga para pihak mendukung perkawinan tersebut atau tidak, bagaimana dengan kemampuan finansial dari calon mempelai yang bersangkutan dan sebagainya. Apabila majelis hakim berkeyakinan bahwa perkawinan tersebut lebih baik bagi kedua calon mempelai maka permohonan dispensasi tersebut akan dikabulkan, tapi apabila hakim berkeyakinan lebih banyak mudharatnya (kerugiannya) maka hakim akan menolak permohonan dispensasi tersebut. 105

Beliau menambahkan bahwa sebagaimana tujuan perkawinan yakni kebahagiaan maka perkawinan di bawah umur harus dipertimbangkan dengan sangat baik. Sering kali calon mempelai yang merasa sudah mampu secara finansial ingin melangsungkan perkawinan tapi dengan emosi yang belum stabil. Karena kematangan emosi sangat diperlukan dalam suatu rumah tangga agar perkawinan tersebut langgeng tanpa berakhir dengan perceraian. 106

Selain itu, pertimbangan hakim juga disesuaikan dengan keadaan sosial, kultur dan hukum yang hidup di mayarakat yang bersangkutan. Misalnya bagi yang beragama Islam maka perkawinan di bawah umur sepanjang tidak

105

Wawancara dengan Ahmad Syafruddin,S.H, MH, hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tanggal 30 April 2013.

106 Ibid.


(22)

melanggar norma-norma agama maka permohonan dispensasi tersebut dapat dikabulkan.107

2. Syarat-syarat permohonan dispensasi usia kawin

Syarat-syarat mengajukan permohonan dispensasi usia kawin yaitu : 108

a. membuat surat permohonan dengan mencantumkan identitas diri pemohon yang lengkap dengan alasan-alasan permohonan.

b. fotocopy surat keterangan untuk menikah dengan alasan-alasan dari kepala desa/lurah pemohon.

c. fotocopy akta kelahiran anak pemohon.

d. fotocopy surat akta nikah dari pemohon (dalam hal ini apabila yang mengajukan permohonan adalah orangtua/wali)

e. fotocopy kartu keluarga.

f. membayar panjar biaya perkara yang telah ditentukan.

Permohonan dapat diajukan oleh para pihak atau orang tua dari para pihak yang bersangkutan disertai dengan alasan-alasan permohonan. Biasanya orang tua dari para pihak yang mengajukan permohonan karena orang tua tahu persis kondisi anaknya. Sehingga orang tua dapat mengetahui yang terbaik untuk anaknya termasuk dalam urusan perkawinan.109

107 Ibid.

108

Linda Rahmita Panjaitan, Loc.cit.

109

Wawancara dengan Ahmad Syafruddin,S.H, MH, hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tanggal 30 April 2013.


(23)

3. Prosedur Permohonan Dispensasi Usia Kawin.

Prosedur permohonan dispensasi usia kawin bagi anak di bawah umur dilakukan sama halnya dengan hukum acara perkara perdata biasa. Untuk permonhonan sispensasi usia kawin acaranya dipercepat. Tidak lebih dari satu bulan permohonan sudah harus diputus.110

Permohonan dispensasi usia kawin wajib dilampiri dengan surat pengantar dari atau diketahui oleh kepala desa atau lurah dengan ketentuan syarat-syarat harus terpenuhi lebih dahulu. Setelah mendapatkan surat pengantar tersebut kemudian pemohon datang ke pengadilan, dengan membawa surat permohonan tertulis mengenai hal dispensasi usia kawin yang memuat alasan-alasan pemohon dan dilengkapi dengan bukti-bukti dan syarat-syarat untuk mengajukan permohonan dispensasi usia kawin, kemudian surat permohonan tersebut diajukan ke panitera pengadilan akan tetapi harus terlebih dahulu membayar panjar biaya perkara

111

Pada saat pemeriksaan oleh tiga orang hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum pemohon wajib membuktikan kebenaran dari isi surat permohonan dan memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan berupa alasan-alasan permohonan, dalam hal ini mengenai dispensasi usia kawin. Selain itu pemohon wajib pula untuk membuktikan bahwa fotocopy surat-surat yang telah diajukan tersebut telah sesuai dengan aslinya dan didaftarkan.

.

112

110

Wawancara dengan Ahmad Syafruddin,S.H, MH, hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tanggal 30 April 2013.

111

, Linda Rahmita Panjaitan, Op.cit. hal. 70

112 Ibid.


(24)

Dalam pemeriksaan perkara permohonan dispensasi usia kawin ini tugas majelis hakim secara keseluruhan adalah mendengar secara langsung keterangan orang tua atau wali dari pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, memberikan penilaian apakah mereka secara fisik sudah cukup umur untuk menikah. Majelis hakim kemudian melihat, memeriksa dan mencocokkan dengan bukti surat yang aslinya diajukan lalu meneliti apakah segala persyaratan untuk mengajukan permohonan telah terpenuhi kemudian adanya beberapa pertimbangan lainnya yang dapat digunakan oleh majelis hakim yang keseluruhannya itu digunakan sebagai pedoman dalam memutuskan apakah permohonan dispensasi usia kawin tersebut dikabulkan atau bahkan ditolak.113

Setelah pemeriksaan selesai dan majelis hakim berkeyakinan yang memungkinkan untuk diberikan dispensasi usia kawin maka pengadilan memberikan salinan penetapan yang dibuat dan diberikan pada pemohon untuk memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan di lembaga pencatat perkawinan. Bagi calon mempelai yang beragama Islam di kantor urusan agama dan bagi yang bukan beragama Islam di kantor catatan sipil.114

Karena permohonan dispensasi usia kawin termasuk permohonan voluntir dalam arti tidak ada pihak lawan maka produk akhir dari permohonan tersebut berupa penetapan dari pengadilan agama apakah permohonan tersebut diterima atau ditolak. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan. 115

113

Ibid hal. 71 114

Ibid hal. 68 115 115

Wawancara dengan Ahmad Syafruddin,S.H, MH, hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tanggal 30 April 2013.


(25)

KUA setempat akan terlebih dahulu memeriksa syarat-syarat perkawinan. Apabila calon mempelai kurang dari usia yang ditentukan UU yakni 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan maka para pihak harus meminta izin dari pengadilan agama yang berupa penetapan permohonan usia kawin. Apabila dispensasi tersebut diterima oleh pengadilan agama dari daerah hukum yang bersangkutan, maka perkawinan tersebut dapat dilaksanakan, tapi apabila dispensasi tersebut ditolak tetapi para pihak tetap melaksanakan perkawinan maka hal tersebut sudah melanggar hukum negara. 116

C. Akibat Hukum Perkawinan Anak di Bawah Umur

Undang-undang Perkawinan membatasi usia minimal perkawinan, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Batasan usia perkawinan tersebut juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan dijadikan sebagai syarat perkawinan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1).

Adapun dispensasi nikah diberlakukan bagi calon mempelai yang berumur di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Maka apabila dispensasi tersebut dikabulkan oleh pengadilan maka tinggal menunggu pencatatan perkawinan tersebut di Kantor KUA setempat maka perkawinan tersebut sah secara hukum dan secara agama.

Adapun akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah antara lain :

116

Wawancara dengan Ahmad Syafruddin,S.H, MH, hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, tanggal 30 April 2013.


(26)

1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami istri.

2. Mahar (mas kawin) yang diberikan menjadi milik sang istri.

3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak sah.

5. Timbulnya kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak-anak dan istrinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama.

6. Berhak saling mewarisi antara suami itri dan anak-anak dengan orang tua. 7. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.

8. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.

9. Bila di antara suami istri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.117

Tapi apabila dispensasi tersebut ditolak oleh pengadilan , apabila pasangan tersebut tetap melaksanakan nikah maka pernikahan tersebut tidak diakui secara hukum (hukum nasional) dan hanya sah secara agama apabila sudah menenuhi syarat dan rukum secara hukum Islam yang lebih dikenal dengan perkawinan

sirri. Perkawinan siri adalah perkawinan yang hanya dilakukan sesuai dan menurut ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing pengantin, jadi hanya melaksanakan perkawinan dengan menatuhi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan saja. Akibatnya pasangan suami istri tersebut tidak dapat meminta atau menagih pengakuan sahnya perkawinan tersebut dari pemerintah atau dengan kata lain

117


(27)

tidak bisa meminta hak-haknya sebagai pasangan suami istri kepada pemerintah, bahkan mereka tidak bisa untuk melakukan perceraian atau menggugat cerai kepada pengadilan. 118

118

Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta,2009, hal.46-47


(28)

BAB IV

ANALISIS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR (TINJAUAN DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974)

A. Faktor Penyebab Perkawinan Anak di Bawah Umur

Pernikahan dengan tujuan membina rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan penuh rahmah bukanlah suatu yang mudah untuk dicapai sehingga perlu kematangan fisik dan psikis yang harus dimiliki oleh calon mempelai. Akan tetapi, dalam realitanya masih banyak ditemukan pernikahan yang dilakukan di bawah umur, biasanya hal ini terjadi pada kelompok masyarakat pelosok desa (rural). Keprimitifan masyarakat pelosok desa itu terjadi karena kurangnya gesekan informasi dari luar. Ini merupakan salah satu penyebab masyarakat pelosok desa tidak mengerti bagaimana seharusnya pernikahan dilakukan.119

1. Kurangnya pencegahan dari orang tua

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo terhadap 7 orang pelaku perkawinan di bawah umur bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, yakni :

Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 80 % (5 dari 7 orang) narasumber mengakui bahwa pada waktu mereka memutuskan untuk menikah pada usia yang masih dikategorikan di bawah umur sebenarnya ada pencegahan dari orang tua mereka agar tidak menikah pada usia belia, tapi kenyataannya perkawinan

119


(29)

tersebut tetap berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan tersebut tidak dihiraukan oleh mereka dan sepertinya pencegahan tersebut sia-sia saja karena tidak berpengaruh terhadap keputusan anak mereka yang ingin tetap melangsungkan perkawinan meski di usia di bawah umur bahkan meninggalkan sekolah yang belum tamat.

Pada umumnya orang tua, terutama yang tinggal di pedesaan beranggapan bahwa perkawinan di bawah umur itu adalah hal yang biasa karena para orang tua dulunya juga menikah muda sehingga ketika anaknya memutuskan untuk kawin muda, orang tua hanya bisa mencegah seadanya saja dalam arti hanya sekedar kata-kata dan nasehat dan tidak berdaya untuk mencegah secara tegas dan paksa.

2. Kurangnya efektifitas UU Perkawinan dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat

Ketika ditanya apakah para narasumber tahu tentang keberadaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, narasumber seluruhnya tahu tentang adanya UU tersebut. Tapi ketika ditanya mengenai adanya pembatasan usia minimal untuk kawin yakni 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, sekitar 90 % (6 dari 7 orang) narasumber tidak tahu tentang adanya peraturan tersebut. Hal ini sangat mengherankan mengingat UU Perkawinan bukanlah UU yang baru tapi sudah berlaku lebih dari 30 tahun, tapi masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu tentang adanya aturan tersebut. Bagaimana bisa aturan tentang batas usia kawin tersebut dapat dipatuhi kalau masyarakat sendiri tidak tahu adanya aturan tersebut.


(30)

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap UU selalu mencantumkan “agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang–undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.” Dan setelah UU tersebut ditempatkan dalam Lembaran Negara maka setiap orang dianggap mengetahuinya dan apabila terkena sanksi dari UU tersebut maka tidak ada alasan tidak tahu hukum. Tapi hal tersebut saja tidak cukup, agar seluruh masyarakat Indonesia mengetahui dan paham mengenai apa yang diatur dalam suatu UU diperlukan sosialisasi yang meyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil.

Memang selain dengan sosialisasi yang gigih dari pemerintah, juga diperlukan kesadaran hukum dan kepedulian masyarakat terhadap aturan hukum. Mayarakat pada umumnya kurang peduli tentang aturan hukum dalam hal ini UU khususnya UU Perkawinan. Padahal UU tersebut sebenarnya bukan untuk membatasi ruang gerak masyarakat tapi untuk kebaikan bersama. Tapi sayangnya hal itu belum dirasakan oleh masyarakat yang masih menganggap UU tersebut tidak bermanfaat bagi mereka.

Selain itu disebabkan juga karena tidak adanya sanksi dari UU Perkawinan itu sendiri dan adanya dispensasi terhadap penyimpangan dari aturan yang ada dalam UU tersebut walaupun harus dengan batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, tapi hal itu menunjukkan bahwa UU Perkawinan tersebut tidak tegas sehingga mudah dikesampingkan oleh masyarakat.


(31)

Meurut C.S.T Kansil, salah satu unsur-unsur hukum adalah bersifat memaksa dan adanya sanksi yang tegas terhadap adanya pelanggaran. Jika melihat Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, di sana terdapat kata “ hanya diizinkan” yang berarti memberi batasan terhadap usia minimal boleh menikah dan pada ayat (2) diatur mengenai dispensasinya. Akan tetapi dalam UU Perkawinan tersebut tidak ditemukan sanksi tegas yang menindak para pelanggarnya sehingga adanya peraturan tersebut hanya ibarat macan ompong yang tidak bisa menggigit mangsa120

Dalam kenyataan prosedur pelaksaan perkawinan di bawah umur, umumnya dilangsungkan tanpa dispensasi perkawinan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, bahkan terjadi penyimpangan dalam hal penambahan umur. Hal itu disebabkan antara lain karena faktor biaya dan birokrasi, kurangnya komunikasi hukum, lemahnya penegakan hukum serta perangkat hukumnya itu sendiri

.

121

3. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua .

Sebagian responden menikah pada usia muda dikarenakan mereka kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka, sehingga mereka mencari kasih sayang tersebut dari orang lain yang biasanya mereka peroleh dari teman-teman mereka di luar rumah. Karena masa-masa remaja yang merupakan masa pubertas di mana setiap anak memang membutuhkan perhatian yang ekstra dari orang tuanya, agar anak tersebut tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak

120

Khairuddin “Politik Pembatasan Usia Perkawinan,

hal. 14

120


(32)

diinginkan. Karena di masa itulah anak yang beralih ke masa dewasanya masih mencari jati diri dan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang bahkan mereka sendiri terkadang tidak tahu apakah itu salah atau benar.

Begitu pula ketika mereka menyukai lawan jenis, ketika mereka mendapat perhatian dari orang tersebut apalagi perhatian tersebut tidak mereka dapat dari orang tua maka mereka cenderung untuk mematuhi orang tersebut dari pada mematuhi orang tuanya. Bahkan ketika mereka diajak untuk kawin di usia muda dan rela melepaskan sekolah mereka, mereka juga mau menurutinya tanpa pikir panjang apa dampak dan akibatnya bahkan pencegahan dari orang tua sekali pun tak mereka hiraukan.

Sebagaimana menurut Charlotte Buchler, psikis manusia itu mengalami perkembangan dari masa bayi hingga masa tuanya. Klasifikasi perkembangan psikis manusia mencakup: (1) masa anak-anak, mencakup masa bayi, (2) masa puber atau adolesensi, (3) masa dewasa (4) masa tua. Menurut Buchler matangnya kejiwaan manusia secara normal (lumrah) itu terkait pertumbuhan manusia. Biasanya hal itu terjadi pada usia dewasa, bukan pada usia anak-anak atau remaja (adolescience) yang cenderung egocentrisme, karena pada usia dewasa ini, manusia sudah bisa berpikir, mengerti dan menganalisa secara maksimal. Hal ini sangatlah berkaitan dengan pernikahan yang sifatnya bukan asal-asalan belaka, perlu pemahaman kesabaran dan kematangan berfikir dalam mengadapi segala cobaan rumah tangga yang merintang. 122

122


(33)

4. Faktor kemiskinan dan ekonomi

Sebagian responden juga mengatakan bahwa alasan mereka yang lain untuk kawin di usia yang masih di bawah umur adalah karena faktor kemiskinan dan ekonomi. Mereka mengakui kawin di bawah umur akan meringankan beban ekonomi orang tua, agar mereka dapat hidup bersama pasangan mereka sehingga tidak lagi menjadi tanggungan orang tua. Hal ini biasanya dialami oleh anak perempuan karena pada umumnya di Indonesia menganut sistem patriarki, khususnya pada masyarakat Batak Karo di mana setelah akad nikah atau setelah perkawinan biasanya pengantin wanita langsung dibawa ke tempat kediaman pria dan menetap di sana. Sehingga ketika teman laki-lakinya mengajaknya untuk kawin apalagi calon mempelai pria tersebut termasuk “orang yang berada” maka si wanita mau-mau saja walaupun usia mereka masih belia.

Tapi anak bukanlah individu yang sudah mampu memikul beban atau resiko dari segala perbuatan yang dilakukan, seperti lazimnya orang dewasa. Memang dalam masa perkembangannya anak harus dikenalkan dengan berbagai persoalan orang dewasa dan juga diajarkan bagaimana menjalani kehidupan di masa dewasa, tetapi bukan berarti anak harus melaksanakan atau merasakannya sebagai suatu beban atau tanggung jawab orang dewasa. Mengajarkan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya memang harus dimulai sejak dini agar bila kelak memasuki masa kehidupan dewasa yang sebenarnya tidak menjadi “shock”. 123

123

Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa: Jakarta, 2003, hal. 107


(34)

5. Faktor kebiasaan dan turun-temurun

Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di Desa Gamber, Simpang Empat. Karo, bahwa salah satu penyebab banyaknya pelaku perkawinan di bawah umur di desa tersebut adalah karena masyarakat menganggap perkawinan di bawah umur tersebut merupakan hal yang biasa karena sudah berlaku secara turun temurun, sehingga para orang tua memaklumi saja ketika anaknya yang masih belia bahkan masih sekolah baik di bangku SMA bahkan SMP itu memutuskan untuk menikah.

Sebagian orang tua narasumber juga mengalami perkawinan di bawah umur bahkan nenek buyut mereka juga menikah pada usia yang masih dikategorikan anak-anak tersebut sehingga tidak heran anaknya juga mengikuti jejak orang tuanya tersebut. Karena ada pepatah mengatakan bahwa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.

Namun orang zaman dulu melakukan nikah dini karena banyak faktor di antaranya kurangnya pendidikan, masih primitif, belum ada aturan tentang usia perkawinan, adat-istiadat yang masih sangat kuat, kedudukan laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang dan sebagainya sehingga perkawinan tersebut dapat dimaklumi. Tapi di zaman sekarang di mana teknologi yang serba canggih, pendidikan yang setara antara laki-laki dan perempuan, adat-istiadat yang mengekang hak perempuan juga sudah dihapuskan bahkan isu globalisasi yang semakin hangat kebiasaan kawin muda ini masih terus terjadi.


(35)

6. Hamil di luar nikah

Hamil di luar nikah atau “marriage by accident” merupakan faktor yang sangat dominan untuk terjadinya perkawinan di bawah umur, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hamil di luar nikah ini diawali karena pergaulan bebas di antara kalangan remaja. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua ditambah masa-masa remaja merupakan masa-masa pubertas yang rentan bagi terjadinya kehamilan di luar nikah.

Dari hasil wawancara bahwa di antara narasumber ada yang menikah muda karena hamil di luar nikah, sehingga untuk menutupi aib keluarga dan untuk memperjelas status anak para pelaku memutuskan untuk menikah muda. Hal ini memang lebih baik bagi mereka dan masa depan anak yang akan lahir tersebut meskipun secara materil dan batin pasangan tersebut belum siap untuk berumah tangga. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur mau tidak mau harus menikah di usia yang masih sangat muda dengan beban dan tanggung jawab layaknya orang dewasa.

B. Dampak dari Suatu Perkawinan yang Salah Satu dan/atau Kedua Pasangan Suami Istri Masih Dikategorikan Sebagai Anak di Bawah Umur

UU Perkawinan dan KHI telah menetapkan batas usia untuk melangsungkan perkawinan, tapi kenyataan di lapangan banyak terjadi peristiwa pernikahan di bawah umur ini. Seperti yang banyak terjadi di Desa Gamber


(36)

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Namun segala sesuatu yang tidak berjalan secara normal pasti menimbulkan dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif. Begitu juga dengan fenomena perkawinan di bawah umur ini, yang ternyata selain menimbulkan dampak negatif juga ada juga sisi positifnya.

Berikut akan diuraikan beberapa dampak, baik dampak negatif maupun dampak positif dari perkawinan di bawah umur berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Gamber Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

1. Dampak negatif a. Kesulitan ekonomi

Para narasumber mengaku salah satu dampak yang paling dirasakan akibat perkawinan di bawah umur tersebut bagi mereka adalah kesulitan mereka dalam menata ekonomi dan keuangan keluarga mereka. Mengingat usia mereka yang masih dikategorikan sebagai anak-anak rasanya cukup wajar mereka kesulitan dalam menata ekonomi dan keuangan mereka karena mereka memang belum seharusnya untuk menanggung beban ekonomi layaknya orang dewasa. Seperti yang dikatakan salah seorang narasumber bahwa mereka masih terbawa sifat-sifat remaja yakni suka membelanjakan uang tanpa berpikir apakah barang yang dibeli tersebut lebih prioritas dari pada kebutuhan lainnya.

Selain itu juga kesulitan dalam menabung dan menghemat uang untuk masa depan. Kebanyakan dari mereka sulit untuk menabung, terkadang bukan karena tidak cukupnya penghasilan, tapi karena belum berpengalaman dalam menata keuangan karena sebelum menikah masih diatur orang tua dengan memberi uang jajan secukupnya tapi setelah menikah uang penghasilan serasa


(37)

punya sendiri tanpa diawasi lagi oleh orang tua membuatnya boros dalam membelanjakan uang sehingga sering kali hal tersebut menjadi pemicu percekcokan dengan pasangannya.

b. Sering terjadi perselisihan dalam rumah tangga

Perselisihan tersebut menurut narasumber banyak faktor penyebabnya, salah satunya faktor ekonomi seperti yang telah diuraikan dalam poin sebelumnya. Selain itu perselisihan dalam rumah tangga juga disebabkan karena kurangnya saling memahami antara pasangan. Walaupun sebelum menikah sempat pacaran, tapi narasumber mengakui baru setelah menikah tahu sifat asli masing-masing.

Maka dalam proses menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut sering terjadi perselisihan di antara pasangan. Seperti yang dialami oleh salah seorang narasumber yang mengatakan bahwa ia telah menyesal menikah dengan pasangannya apalagi di usianya yang masih muda. Sebelum menikah yakni pada waktu pengenalan pasangannya tersebut sangat baik dan lembut padanya maka ketika diajak untuk menikah ia mengikut saja tanpa mengindahkan nasehat dan larangan dari orang tua apalagi ia masih duduk di bangku SMP. Baru setelah menikah sifat asli dari suaminya dirasakannya yakni tempramen dan suka memukul. Oleh karena itu, ia sangat menganjurkan kepada muda mudi agar mengenali dulu calon pasangan dengan sebaik-baiknya dan jangan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menikah muda karena penyesalan di kemudian hari tidak ada gunanya, toh anak juga sudah ada, sehingga untuk bercerai harus berpikir-pikir ulang mengingat masa depan anak dan nama baik keluarga.


(38)

c. Rendahnya pendidikan

Rata-rata narasumber yang diwawancarai masih duduk di bangku SMP dan SMA pada waktu mereka melangsungkan perkawinan. Hal ini menyebabkan pendidikan mereka menjadi terbengkalai. Hal ini sangat disayangkan mengingat pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan dan masa depan seseorang. Bagaimana seseorang dapat menata rumah tangganya dengan baik jika tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup ditambah usia mereka yang memang masih belum dewasa. Sementara membangun dan menata sebuah rumah tangga harus dibekali dengan kematangan dalam berpikir dan bertindak. Bagaimana menata keuangan, mendidik dan mengurus anak-anak, bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat dan sebagainya.

Ketika ditanya apakah mereka menyesal telah menikah pada usia dini, 80 % (5 dari 7 orang) narasumber menyatakan menyesal telah menikah pada usia dini mengingat teman-teman sebaya mereka masih bisa menikmati masa mudanya dan dapat terus sekolah setinggi-tingginya dan mengembangkan diri sedangkan mereka sudah harus mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka layaknya orang dewasa.

d. Kesulitan dalam mengurus anak

Pada umumnya narasumber mengaku kesulitan dalam mengurus anak-anaknya. Apalagi sewaktu mengurus bayi yang sebenarnya belum menjadi tanggung jawab mereka, mau tidak mau harus mengurus bayi tersebut layaknya seperti seorang ibu pada umumnya. Akan tetapi jangankan mengurus bayi yang harus ekstra hati-hati dalam merawatnya, diri sendiri saja belum bisa mereka urus


(39)

dengan baik karena memang masih anak-anak. Sehingga orang tua jugalah yang repot untuk mengurus bayi tersebut sampai dapat diurus oleh ibunya sendiri dengan aman.

Namum tidak hanya berhenti di situ saja, setelah anak-anak tersebut sekolah juga masih menemui kesulitan, baik dalam bidang materi maupun dalam mendidik anak dengan baik. Ketika seorang anak bertanya kepada ibu atau ayahnya mengenai pelajaran di sekolah, maka para orang tua tersebut tidak bisa membantu anaknya karena memang orang tua sendiri tidak paham karena pendidikannya yang rendah. Selain itu pola pikir orang tua juga turut pempengaruhi pola pikir anak, apabila pola pikir orang tuanya yang masih rendah dan masih primitif maka anak juga cenderung memiliki pola pikir seperti itu.

Seperti yang kita tahu bahwa anak adalah generasi penerus bangsa, dapat dibayangkan apa jadinya bangsa ini jika genersi penerus bangsa masih berpola pikir rendah dan primitif sementara di era globalisasi ini dituntut untuk berpikiran maju maka kita akan selamanya menjadi bangsa yang terbelakang dan menjadi sasaran penindasan dari bangsa lain.

Dari sudut pandang kedokteran, perkawinan di bawah umur mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan, di antaranya sebagaimana yang disampaikan oleh Yusuf Hanafi sebagai berikut : 124

a. Kehamilan prematur (premature pregnancy)

Kehamilan pada usia muda dapat membawa akibat yang berbahaya, baik bagi ibu muda maupun bayinya. Menurut UNICEF, tidak seorang gadis pun

124


(40)

boleh hamil sebelum usia 18 tahun, karena secara fisik dan mental ia belum siap untuk melahirkan anak. Ibu muda itu berrisiko melahirkan bayi prematur dengan berat di bawah rata-rata. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi tersebut, karena meningkatkan resiko kerusakan otak dan organ-organ tubuh lainnya. Bayi yang lahir dengan berat kurang dari normal punya resiko kematian 20 kali lebih besar pada tahun pertama dibanding bayi normal.

b. Kematian ibu (maternal mortality)

Resiko kesehatan pada ibu yang muda usia juga tidak kalah besarnya di banding bayi yang dikandungnya. Ibu muda yang berusia antara 10-14 tahun beresiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung kematian merupakan faktor yang paling dominan dalam kematian gadis antara usia 15-19 tahun seantero dunia.

c. Problem kesehatan (health problem) 1) Kerusakan tulang panggul (cepalopelvic)

Pertumbuhan tulang ibu muda yang belum lengkap, meyebabkan kerusakan tulang panggul (celapalovic)-nya sangat tinggi, karena bayi dilahirkan jauh lebih besar dari kemampuan tulang punggulnya. Ini berakibat pada sulit dan lamanya proses persalinan dan mengancam rusaknya organ bayi jika dipaksakan. Juga karena nutrisi yang kurang, ibu-ibu muda sering keguguran dan dapat terkena preeclampsia125

125

Preeclampsia dan bentuk akhirnya eclampsia, adalah sebuah penyakit yang khusus bagi kehamilan. Preeclampsia dicirikan dengan bertambahnya tekanan darah dan hilangnya protein dan urine (proteinuria). Preeclampsia yang memburuk berkembang menjadi eclampsia, yang menambah serangan-serangan penyakit lain dengan sympton yang lebih kompleks.


(41)

2) Vesicovaginal fistulas

Resiko tambahan terhadap kesehatan ibu muda adalah gangguan pada saat melahirkan, yang terjadi bila kepala bayi terlalu besar bagi ibu. Hal ini mengakibatkan vesicovaginal fistulas, terutama saat bidan tradisional yang tidak terlatih mengeluarkan kepala bayi dengan paksa. Vesicovaginal fistulas adalah suatu keadaan yang mengakibatkan trauma kejiwaan dan juga trauma sosial. Akibat tekanan yang berkepanjangan pada kandung kemih ketika terjadi kelahiran yang bermasalah, bagian bawah kemaluan menjadi rusak, dan mengakibatkan saluran yang salah antara kandung kemih dengan vagina. Perempuan yang bersangkutan akan menderita kesulitan pada saat buang air kecil dan kadang kala saat buang air besar.

3) Kekurangan nutrisi (malnoutrished)

Di negara-negara berkembang, pada umumnya tingkat rata-rata konsumsi makanan pada ibu hamil dan menyusui berada jauh di bawah rata-rata kaum laki-laki. Praktek-praktek tradisi termasuk tabu berkenaan dengan gizi mengakibatkan perempuan hamil tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan sehingga menderita kekurangan zat besi dan protein.

4) Hubungan seksual yang tidak aman

Mayoritas pengantin anak-anak harus berhenti sekolah lebih awal. Karenanya mereka tidak familiar dengan isu-isu dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (basic reproductive helath issues and services), termasuk resiko tertular HIV. Isolasi dan ketidakberdayaan juga turut menambah resiko kesehatan reproduksi mereka di mana ibu muda hanya memiliki otonomi


(42)

diri dan kebebasan bergerak yang sangat terbatas. Tidak jarang, masalahnya adalah ketiadaan izin dari pasangan yang berpikiran sangat tradisional dan konservatif.

d. Tidak berpendidikan (no education)

Hampir bisa dipastikan, pengantin kanak-kanak adalah generasi putus sekolah. Kesempatan mereka untuk mengenyam level pendidikan yang lebih tinggi menjadi terkebiri bahkan tidak sedikit pula tidak menyelesaikan bangku pendidikan dasar (primary education). Akibatnya, banyak di antara mereka yang buta aksara (illiterate).

Sejumlah riset menyimpulkan, ada korelasi erat antara level pendidikan anak gadis dengan usianya saat pertama kali menikah. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuhnya, semakin lambat pula menapaki jenjang perkawinan. Sehingga dapat dikatakan bahwa memasukkan dan menahan anak gadis di bangku sekolah merupakan cara terbaik untuk mencegahnya menikah di bawah umur.

e. Kekerasan dalam rumah tangga (abuse and violence)

Gadis-gadis muda yang dikawinkan di usia dini lazimnya bersuamikan pria yang berusia jauh lebih tua darinya. Akibat margin usia yang sangat lebar inilah hampir selalu muncul masalah komunikasi keluarga maupun seksual di antara keduanya. Riset di 16 negara sub Sahara Afrika memperoleh data bahwa selisih usia pengantin perempuan yang masih kanak-kanak dengan pasangannya itu rata-tara terpaut minimal 10 tahun lebih tua.


(43)

Model perkawinan dengan selisih usia terpaut jauh itu pada gilirannya sering menghadirkan “mimpi buruk” bagi pengantin perempuan, di mana mereka mengalami kekerasan (abuse and violence) dalam kehidupan rumah tangganya. Ironisnya, tindak kekerasan suami itu sering kali dijustifikasi secara normatif oleh tradisi. India merupakan negara dengan kekerasan KDRT tertinggi terhadap perempuan yang menikah di usia kisaran 18 tahun.

Dampak terburuk yang penting dicermati bagi pernikahan bawah umur, adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.126

Tidak hanya berhenti di situ, gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada masalah psikologi sosial pelaku/korban pernikahan di bawah umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat menjadi terkendala. Secara ekstrem masalah keterasingan di kalangan pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang lebih kompleks.127

Keterasingan akibat masalah psikologi sosial pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja kualitas daya intelektualnya. Yang disebut terakhir ini, memperlihatkan terpotongnya aspek perkembangan

126

Women and Youth Depelovment Institute Indonesia, Loc.cit. 127


(44)

budaya pasangan menikah di bawah umur, selain disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang terenggut. Sampai pada aspek ini, pasangan nikah di bawah umur bisa dikatakan tidak berkualitas secara budaya.

2. Dampak positif

Ternyata, selain dampak negatif dari perkawinan di bawah umur juga terdapat dampak positifnya sebagai berikut :

a. Masa depan anak lebih terjamin

Pada umunya narasumber mengatakan bahwa perkawinan dini ini juga ada untungnya yaitu bahwa di usia mereka yang masih muda mereka sudah punya anak sehingga nantinya mereka masih mampu menyekolahkan anak-anak mereka setinggi-tingginya. Bila dibandingkan dengan pasangan yang menikah pada usia dewasa, apalagi yang sudah menginjak kepala tiga anak-anak mereka masih kecil. Memang hal tersebut ada benarnya, mengingat mata pencaharian masyarakat Karo pada umumnya adalah bertani dimana hanya mengandalkan tenaga untuk mencari nafkah. Sehingga wajar saja bila faktor usia dan tenaga sebagai patokan keberhasilan masa depan anak-anak mereka.

Tapi sebenarnya yang paling penting bagi keberhasilan masa depan generasi penerus adalah bekal akhlak dan pendidikan yang baik dari orang tuanya. Dalam bidang materi juga tidak harus mengandalkan tenaga saja, bagaimana kalau orang tua tersebut sakit sehingga tidak bisa bekerja untuk mencari penghasilan ? Oleh karena itu, dalam membangun sebuah rumah tangga sangat diperlukan perencanaan sehingga masa depan anak-anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Misalnya menabung, atau bergabung dengan asuransi pendidikan,


(45)

kesehatan dan lain sebagainya. Jadi tidak mesti kawin muda saja dapat menjamin masa depan anak-anak, tapi yang terpenting adalah kesiapan dan perencanaan yang baik serta didikan yang baik dari orang tua tersebu

b. Terhindar dari perzinahan

Para narasumber mengakui mereka menikah di bawah umur, bukan hanya semata-mata karena saling menyukai atau mencintai saja ketika mereka tahap pengenalan atau pacaran. Tapi juga dengan pertimbangan untuk mengindari zina dan dosa besar. Mereka mengatakan bahwa dari pada mereka melakukan hal-hal yang dilarang agama seperti mendekati zina atau bahkan melakukan hubungan seks di luar nikah maka lebih baik mereka menikah walaupun masih berusia di bawah umur.

Memang secara agama kawin muda lebih baik dari pada berzina, tapi apabila kita tidak mendekati zina atau yang dikenal dengan pacaran maka hal itu tidak akan terjadi. Karena dalam Islam sendiri sudah diatur bagaimana cara-cara dan tahap-tahap pengenalan atau ta’aruf, bukan pacaran seperti istilah sekarang yang tidak punya aturan.

Pada hakekatnya, perkawinan di bawah umur juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasannya sudah melampui batas, di mana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Perkawinan di bawah umur juga merupakan upaya untuk meminimalisasi tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus


(46)

dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggung jawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ? demikian menurut Imam Jalaludin Suyuthi128

C. Upaya-Upaya yang Dilakukan Untuk Mencegah Pekawinan Anak di Bawah Umur

.

Walaupun seperti yang disebutkan di atas, bahwa dalam satu sisi perkawinan di bawah umur ada positifnya namun kenyataannya perkawinan dibawah umur lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Oleh karena itu perkawinan di bawah umur tersebut harus dicegah untuk kebaikan bersama khususnya bagi para generasi masa depan bangsa. Adapun cara-cara yang bisa dilakukan antara lain adalah :

1. Membuat kebijakan-kebijakan strategis nasional

Untuk memecahkan masalah sekaligus mencegah perkawinan anak di bawah umur di seluruh bidang, baik hukum, politik, pendidikan, sosial keagamaan, maupun ekonomi, sebagaimana yang dikutip dalam buku karangan Yusuf Hanafi, sebagai berikut : 129

a. Bidang hukum

1) Pemerintah perlu membuat komitmen politik (political will) dan pernyataan yang tegas (clear expression) untuk menghentikan praktek-praktek tradisi yang berbahaya (the harmful tradition practices)

128

Ibid, hal. 52

129


(47)

2) Meratifikasi dan menerapkan secara efektif instrumen-intsrumen international, khususnya semua yang terkait dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak, seperti Convention on Concent to Marriage, Minimum Age for Marriage, and Registration of Marriages Tahun 1964 dan

International Convention on the Rights of the Child Tahun 1989.

3) Melakukan reformasi undang-undang perkawinan, antara lain dengan menghapus institusi dispensasi nikah, rekonsepsi perwalian untuk menghindari kawin paksa (ijbar), serta menetapkan usia minimum untuk menikah bagi anak laki-laki dan perempuan secara sama dan lebih tinggi dari sebelumnya, yakni 18 tahun.

b. Bidang politik

1) Pemerintah dapat membentuk badan-badan (governmental committees) untuk memerangi praktik perkawinan anak di bawah umur.

2) Menyediakan bantuan keuangan (financial assistance) bagi badan dan komite tersebut.

3) Semua pihak yang dapat memberikan sumbangsih atau kontribusi secara nyata untuk menghapuskan praktek-praktek tersebut harus dimobilisasi.

4) Perlunya fokus dan konsentrasi pemerintah untuk memberantas praktek perkawinan di bawah umur di daerah-daerah kantong, khususnya di desa-desa yang miskin.

c. Pendidikan

1) Peningkatan kualitas dan penyediaan layanan pendidikan yang visioner dan prospektif sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pedesaan.


(48)

Pada gilirannya, hal itu diharapkan dapat menunda terutama para gadis menapaki jenjang perkawinan dengan menahan mereka labih lama di bangku sekolah.

2) Penelitian dan penelaahan terhadap kurikulum dan buku sekolah (teks book) harus dilakukan dengan maksud untuk menghapus prasangka terhadap perempuan (prejudices againt women) yang sangat stereotip dan bias gender. d. Sosial keagamaan

1) Perlunya kerja sama dengan lembaga-lembaga agama dan adat (religious and traditional institutions) beserta para pemimpin dan pemukanya dalam rangka menghapus praktik perkawinan anak di bawah umur. Tujuannya adalah : a) Reinterpretasi teks-teks agama yang selama ini disalahpahami memberikan

justifikasi formal atas keabsahan perkawinan di bawah umur.

b) Mengikis dan mendekonstruksi nilai adat dari mindset mayarakat yang memposisikan anak sebagai hak milik dan asset yang dapat diperlakukan sekehendak orang.tua.

e. Ekonomi

Mendorong akselerasi perbaikan ekonomi dan kesejahteraan lewat penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Pasalnya, keluarga-keluarga ekonomi lemah lazimnya menikahkan anaknya sedini mungkin agar terbebas dari beban pembiayaan. Hal itu dilakukan dengan diiringi harapan agar anak gadisnya segera mengalami perbaikan ekonomi pasca perkawinan. Meski dalam kenyataannya, mereka tetap berada dalam lingkaran kemiskinan (the circle of poverty) bahkan lebih buruk dan tragis lagi.


(49)

2. Membuat program-progam strategis untuk pencegahan perkawinan anak di bawah umur

Setiap masalah yang muncul itu untuk dihadapi, bukan untuk dihindari. Sebab setiap kali kita menghindari masalah yang menghadang, di depan kita akan dihadapkan pada beragam persoalan lain pula. Oleh karena itu, bagaimana pun wujud masalah itu, wajib dicari jalan keluarnya. Dalam kaitannya dengan perkawinan di bawah umur, harus ditentukan program yang strategis untuk menganggulangi dan mencegah agar perkawinan di bawah umur tersebut tidak terulang kembali, sebagaimana yang dikutip dalam buku karangan Yusuf Hanafi berikut : 130

a. Pengubahan perilaku hukum masyarakat melalui program sadar hukum

1) Peningkatan taraf pengetahuan dan wawasan warga masyarakat pedesaan yang berekonomi lemah melalui program “Kejar” (bekerja sambil belajar) yang disajikan dalam bentuk paket-paket.

2) Program “Wajar” (Wajib Belajar) bagi anak-anak usia sekolah lebih di perketat pelaksanaannya.

3) Program penyuluhan hukum di bidang perkawinan.

b. Sosialisasi program pendidikan seks dan kesehatan reproduksi

1) Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi perlu di masukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk menciptakan kesadaran di antara anak muda tentang bahaya dan resiko dari perkawinann di bawah umur.

130


(50)

2) Program audiovisual, seperti sketsa, sandiwara, dan paket pendidikan tentang praktek-praktek tradisi berbahaya yang mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak-anak, khususnya perkawinan anak di bawah umur, harus pula digarap dan dipersiapkan.

3) Media massa perlu dimobilisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan resiko perkawinan di bawah umur menuju prakarsa “self motherhood”.

4) Pemerintah harus mengakui dan memajukan hak reproduksi perempuan, termasuk hak mereka untuk menentukan jumlah dan jarak usia anak-anak mereka.

c. Perluasan akses pendidikan yang terjangkau

1) Penyediaan layanan pelatihan kejuruan dan program magang bagi gadis-gadis belia dari keluarga-keluarga miskin untuk memberdayakan mereka secara ekonomi.

2) Perlunya program pelatihan yang efektif bagi pembantu kelahiran tradisional (bidan) dan paramedis untuk membekali mereka dengan keahlian dan pengetahuan baru yang dibutuhkan. Hal ini penting untuk mengurangi angka kematian ibu (maternal mortality) yang hingga kini masih reltif tinggi.

d. Perbaikan manajemen dan administrasi perkawinan

1) Pendaftaran dan pencatatan perkawinan harus diwajibkan demi mengantisipasi praktek perkawinan di bawah umur secara sirri, pemalsuan umur, dan identitas-identitas lainnya.


(51)

2) Sinergi pihak-pihak berwenang yang terkait dengan administrasi perkawinan, seperti kelurahan/desa, kecamatan, dan Kantor Urusan Agama (KUA), sangat diperlukan. Dengan terwujudnya sinergi yang kolektif ini, setiap permohonan perkawinan yang tidak prosedural dan cacat hukum kepada instansi pemerintah, semisal usia calon mempelai perempuan masih di bawah 18 tahun, dapat dibatalkan dan ditolak.

Bertolak dari hasil penelitian di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo bahwa sebagian dari narasumber yang diwawancarai belum tahu adanya aturan tentang batas usia menikah. Seharusnya pemerintah melakukan sosialisasi dan penyuluhan hukum tentang adanya aturan tersebut terutama di desa-desa. Selain itu mereka juga tidak tahu adanya bahaya menikah di bawah umur ini oleh karena itu diperlukan juga penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan bahaya perkawinan di bawah umur terutama bagi muda mudi di desa. Pemerintah juga harus memberdayakan dan mendukung organisasi-organisasi kepemudaan maupun organisasi yang bersifat agama agar pemikiran para pemuda maju dan tidak mandek seperti organisasi Karang Taruna, atau Ikatan Remaja Mesjid dan sebagainya. Sehingga sosialisasi tentang adanya batas umur dalam UU Perkawinan dapat dilakukan melalui organisiasi kepemudaan seperti ini.

Suatu bangsa dalam membangun sumber daya manusia dan mengurus rumah tangganya harus mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus dari generasi ke generasi.


(52)

Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar tata masyarakat. Karena itu usaha-usaha untuk memelihara, membina dan meningkatkan kesejahteraan anak haruslah didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin kelangsungan hidup dan kepribadian bangsa.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, narasumber yang menikah pada usia muda umumnya mereka menyarankan agar sebaiknya jangan menikah pada usia muda, utamakan pendidikan sampai mendapat pekerjaan yang tetap dan kenali dulu pasangan dengan sebaik-baiknya sebelum memutuskan untuk menikah agar tidak menyesal nantinya. Menurut mereka usia ideal untuk kawin adalah antara umur 20-25 tahun karena menurut mereka di usia tersebut baru dapat benar-benar siap lahir batin untuk menikah.

Dalam Al-Qu’ran disebutkan, seseorang boleh melangsungkan perkawinan disesuaikan dengan keadaan kedewasaannya, terdapat pada QS an Nisa’ ayat 6, yang artinya berbunyi : 131

Dari ayat itu jelas tergambar, umur wanita yang boleh kawin adalah anak perempuan berakal sehat yang dianggap telah dewasa. Karena perkawinan adalah

“Hendaklah kamu siasati anak-anak yatim, apabila mereka telah dewasa untuk kawin, maka jika kamu lihat kecerdikan ada pada mereka, hendaklah kamu serahkan kepada mereka harta-harta mereka, janganlah kamu makan harta mereka dengan boros, dengan cepat sebelum mereka dewasa”.

131


(53)

suatu ikatan, di mana izin pribadi sangat menentukan sekali, di mana ternyata dari berbagai-bagai ayat dan hadis bahwa izin itu tidak dapat dirampas begitu saja oleh pihak lain. Jelas umur wanita yang boleh melangsungkan perkawinan, jika ia telah mencapai kedewasaan, yaitu jika seorang wanita telah dapat mengurus harta bendanya dan dapat menetapkan pilihan terhadap calon suaminya sendiri. Pria atau wanita yang belum dewasa tidak dapat menentukan pendapatnya dalam persoalan perkawinan.132

Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen Agama sudah memberantas perkawinan anak-anak di bawah umur. Terakhir Departemen Agama mengintruksikan agar melarang perkawinan anak-anak di bawah umur melalui suratnya, 21 Oktober 1954 No.A/VII/14254. Dalam surat itu diinstruksikan supaya Pegawai Departemen Agama jangan memberikan bantuan perkawinan anak-anak. Dalam surat itu dilampirkan Bijblad No.10945 dimana disebutkan bahwa perkawinan anak-anak sangat menganggu kesehatan sehingga diminta untuk melapor tiap-tiap enam bulan sekali berapa jumlah perkawinan anak-anak di Indonesia. 133

132

T.Jefijham,Op.cit, hal. 259. 133


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, ada beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, yakni kurangnya pencegahan dari orang tua; kurangnya efektifitas UU Perkawinan dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat; kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua; faktor kemiskinan dan ekonomi; faktor kebiasaan dan turun-temurun dan hamil di luar nikah.

2. Perkawinan di bawah umur ini tentu saja menimbulkan dampak kepada pelakunya, mulai dari dampak negatif sampai dampak positifnya juga ada. Dampak negatif dari perkawinan di bawah umur ini adalah kesulitan mereka dalam menata ekonomi dan keuangan keluarga seringnya terjadi perselisihan dalam rumah tangga karena kurangnya komunikasi yang buruk dan egoisme antar pasangan; pendidikan mereka menjadi terbengkalai dan kesulitan dalam mengurus anak-anak. Selain itu, dari sudut pandang kedokteran, perkawinan di bawah umur ini juga mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan, diantaranya : kehamilan prematur (premature pregnancy), kematian ibu (maternal mortality) dan problem kesehatan (health problem) lainnya seperti kerusakan tulang panggul (cepalopelvic),


(55)

Vesicovaginal fistulas, kekurangan nutrisi (malnoutrished) dan hubungan seksual yang tidak aman. Perkawinan di bawah umur juga menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (abuse and violence). Selain dampak negatif dari perkawinan di bawah umur juga terdapat dampak positifnya yakni masa depan anak mereka lebih terjamin dan terhindar dari perzinahan. Tapi perkawinan di bawah umur ini lebih banyak dampak negatifnya dari pada dampak negatifnya.

3. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur antara lain dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis nasional seperti pemerintah perlu membuat komitmen politik (political will) dan pernyataan yang tegas (clear expression) untuk menghentikan praktek-praktek tradisi yang berbahaya (the harmful tradition practices), meratifikasi dan menerapkan secara efektif instrumen-intsrumen international, khususnya semua yang terkait dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak serta melakukan reformasi undang-undang perkawinan, antara lain dengan menghapus institusi dispensasi nikah, rekonsepsi perwalian untuk menghindari kawin paksa (ijbar), serta menetapkan usia minimum untuk menikah bagi anak laki-laki dan perempuan secara sama dan lebih tinggi dari sebelumnya, yakni 18 tahun. Selain itu semua pihak juga diharapkan untuk menanggulangi dan mencegah agar perkawinan anak di bawah umur ini tidak terulang kembali, yakni pengubahan perilaku hukum masyarakat melalui program sadar hukum, perluasan akses pendidikan yang


(56)

terjangkau, sosialisasi program pendidikan seks dan kesehatan reproduksi serta perbaikan manajemen dan administrasi perkawinan.

D. Saran

1. Perlu ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan hukum, sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap warga masyarakat meningkat.

2. Perlunya penyesuaian terhadap beberapa aturan yang tumpang tindih seperti yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Perlunya dilakukan sebuah usaha sistematis yang terarah dalam rangka pengawasan yang menyangkut perkawinan agar tidak terjadi lagi kasus perkawinan terhadap anak di bawah umur. Selain itu semua pihak harus melakukan pembinaan terhadap anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran orang tua, keluarga, masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan , organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan.


(57)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Asas Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan dan hukumnya perkawinan a.Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. 9Kata na-ka-ha

banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam Q.S an-Nisa’ ayat 3, yang artinya berbunyi : 10

Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada Q.S al-Ahzab ayat 37, yang artinya berbunyi :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

11

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah limpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu

9

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Perdana Media, Jakarta,Cetakan ke-2,2007, hal. 35

10

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri, Cv Asy-Syifa’, Semarang, 2001, hal. 165

11


(58)

takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.

Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia terdapat pada Pasal 11 yakni:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan : 12

Ketiga: dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia, dan kekal yang menafikan sekaligus perkawinan temporar sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

Pertama: digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat.

Kedua: digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

12


(1)

5. Ibu Yefrizawati,SH.M.Hum, sebagai dosen pembimbing II yang juga memberikan begitu banyak masukan dan bantuan terhadap penyusunan skripsi ini, serta rela meluangkan waktunya agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Atas semua kebaikan ibu, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT membalasnya dengan suatu kebaikan yang lebih. Amiin.

6. Ibu Zulfi Chairi, SH. M.Hum, selaku dosen wali Penulis.

7. Kepada seluruh dosen Fakulktas Hukum USU yang telah memberikan Ilmu dan Pengetahuan kepada Penulis.

8. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku, bapakku Ramadhan Milala dan mamakku Nurianti br. Ginting. Tak henti-hentinya Penulis mengucapkan terima kasih atas segala dorongan semangat, spiritual, material, serta do’a yang selalu mamak dan bapak panjatkan agar langkah serta usaha yang ditempuh dalam penulisan skripsi ini diberkahi oleh Allah SWT.

9. Terima kasih juga kepada adik-adikku tercinta Handal Fahri Milala dan istrinya Lipina br. Gurukinayan serta Maharanta Milala yang telah memberikan inspirasi dan semangat sehingga Penulis selalu selalu semangat dan termotivasi dalam mengerjakan skripsi ini.

10.Rekan-rekan seperjuangan yang bersama-sama memulai perjuangan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum USU tercinta ini, Fitri Yanti


(2)

lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Juga sahabatku Tera Stella, terima kasih atas segala pengertiannya kepada Penulis selama penyusunan skripsi ini.

Medan, Mei 2013


(3)

ABSTRAK

UU Perkawinan menentukan batas umur untuk kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita berusia 16 tahun. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya perkawinan dilangsungkan di bawah umur. Secara nasional data BPS memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikah saat usia mereka di bawah 18 tahun. Mengingat betapa besar tanggung jawab, baik suami maupun istri perlu kesiapan yang matang, baik fisik maupun psikis. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah apa sajakah faktor penyebab timbulnya perkawinan anak di bawah umur dan bagaimana dampak dari suatu perkawinan yang salah satu dan/atau kedua pasangan suami istri masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur tersebut dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mencengah perkawinan anak di bawah umur.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dan metode yuridis sosiologis. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Lokasi penelitian di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Metode pengumpul data berupa penelitian lapangan dan studi pustaka dan analisa data dilakukan secara kualitatif.

Perkawinan anak di bawah umur ini, disebabkan oleh beberapa faktor yakni kurangnya pencegahan dari orang tua; kurangnya efektifitas UU Perkawinan dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat; kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua; faktor kemiskinan dan ekonomi; faktor kebiasaan dan turun-temurun dan hamil di luar nikah. Sehingga menimbulkan banyak dampak negatif yakni kesulitan mereka dalam menata ekonomi dan keuangan keluarga seringnya terjadi perselisihan dalam rumah; pendidikan mereka menjadi terbengkalai dan kesulitan dalam mengurus anak-anak. Selain itu, dari sudut pandang kedokteran, perkawinan dibawah umur ini juga mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan, diantaranya : kehamilan prematur, kematian ibu dan problem kesehatan lainnya. Perkawinan di bawah umur juga menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun ada juga dampak positifnya yakni yakni masa depan anak mereka lebih terjamin dan terhindar dari perzinahan. Tapi perkawinan di bawah umur ini lebih banyak dampak negatifnya dari pada dampak negatifnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur antara lain dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis nasional sepertipemerintah perlu membuat komitmen politik dan pernyataan yang tegas untuk menghentikan praktek-praktek tradisi yang berbahaya, meratifikasi dan menerapkan secara efektif instrumen-intsrumen international, serta melakukan reformasi undang-undang perkawinan, antara lain dengan menghapus institusi dispensasi nikah, serta menetapkan usia minimum untuk menikah bagi anak laki-laki dan


(4)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian... 5

F. Keaslian Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA………. 11

A. Pengertian dan Azas Perkawinan ... 11

1. Pengertian perkawinan dan hukumya perkawinan ... 11

a. Pengertian perkawinan ... 11

b. Hukumnya perkawinan ... 14

2. Azas perkawinan ... 17

B. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 20

1. Perspektif UU No. 1 tahun 1974 ... 20

2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam ... 22


(5)

D. Pencegahan Perkawinan ... 42

E. Analisis Perbandingan antara Fiqh Munakahat, Kompilasi Hukum Islam, dan UU Perkawinan ... 46

1. Fiqh munakahat ... 46

2. KHI dan UU Perkawinan ... 49

3. Fiqh munakahat dan KHI ... 50

BAB III KETENTUAN PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PERKAWINAN INDONESIA… 51

A. Usia Perkawinan... 51

1. Batas usia perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 ... 51

2. Batas usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam ... 52

3. Pembatasan usia minimal perkawinan ... 55

B. Dispensasi Nikah di Bawah Umur ... 64

1. Alasan-alasan yang dijadikan dasar dalam memberikan dispensasi usia kawin... 67

2. Syarat-syarat permohonan dispensasi usia kawin ... 69

3. Prosedur permohonan dispensasi usia kawin ... 70

C. Akibat Hukum Perkawinan Anak di Bawah Umur ... 72

BAB IV ANALISIS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (TINJAUAN DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UU PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974)……….. 75


(6)

Pasangan Suami Istri Masih Dikategorikan sebagai Anak di Bawah

Umur ... 82

C. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Perkawinan Anak di Bawah Umur ... 93

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN……… 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103