LANDASAN TEORI Respons Pembaca Remaja Terhadap Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah

membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja”. 12 Dari beberapa definisi remaja di atas, penulis menyimpulkan bahwa remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan dan pertumbuhan yang dimulai dari aspek fisik, psikis, dan sosial yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. 2. Batas Usia Remaja Menurut Hurlock, “Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 tahun sampai 18 tahun, yaitu matang secara hukum”. 13 Menurut Sabri, “Masa remaja berlangsung dari usia 15 tahun sampai usia 21 tahun. Pertama masa remaja awal yang berlangsung hingga usia 17 tahun, dan kedua, masa remaja akhir yang berlangsung hingga mencapai kematangan resmi secara hukum yaitu umur 21 tahun”. 14 Sedangkan menurut Rahayu, “Masa remaja terbagi menjadi tiga periode, yakni masa remaja awal bermula dari usia 12 tahun sampai 15 tahun, remaja pertengahan bermula dari usia 15-18 tahun, dan remaja akhir bermula dari usia 18-21 tahun”. 15 Sama halnya menurut Agustiani,“Masa remaja terdiri dari masa remaja awal 12-15 tahun, masa ini individu berusaha mengembangkan diri dan tidak bergantung kepada orangtua. Masa remaja pertengahan 15-18 tahun, masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Masa remaja akhir 19-21 tahun masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa”. 16 12 Mohammad Ali Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, h. 9. 13 Hurlock, Op. cit., h. 206. 14 M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995, h. 25. 15 Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya,Yogyakarta: Mada Uneversity Press, 2002, h. 264. 16 Hendrianti Agustini, Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, Bandung: Refika Aditama, 2006, h. 29. Dari penjelasan tersebut, penulis sependapat dengan Rahayu dan Agustiani bahwa masa remaja berlangsung dari usia 12-21 tahun. Adapun dalam penelitian ini informan berusia 13-19 tahun yang terdiri dari 17 orang perempuan dan 8 orang laki-laki dan semuanya merupakan pelajar. 3. Perkembangan Psikologi Remaja Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, perkembangan psikologi remaja masa remaja mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Masa remaja adalah masa yang penting karena terjadi pertumbuhan fisik dan perkembangan mental secara cepat. b. Masa remaja adalah masa transisi atau periode peralihan. Bukan kanak- kanak lagi tetapi belumbisa disebut dewasa. Pada usia ini sering terjadi keraguandalam peran yang dilakukan. c. Masa remaja adalah masa atau usia perubahan periodeperubahan.Adalima perubahan yang terjadi dalam masa remaja, yaitu : 1 Perubahan tingkat emosionalitas. Pada masa ini tingkat emosionalitas cukup tinggi. 2 Cepatnya perubahan kemasakan seks. 3 Perubahan badan, perubahan minat, perubahan-perubahan peranan sosial,memunculkan problem-problem baru yang perlu dipecahkan. 4 Terjadi perubahan nilai. 5 Berubah menjadi ambivalen. Remaja ingin bebas tetapi takut bertanggung jawab. d. Masa remaja adalah masa atau usia atau bermasalah periode bermasalah. Masalah-masalah tersebut muncul akibat adanya perubahan- perubahan fisik, perubahan seksual maupun perubahan psikis. e. Masa remaja adalah periode mencari identitas. Kadang-kadang terjadi krisis identitas masalah identitas diri. f. Masa remaja adalah usia yang ditakuti, kadang-kadang dihubungkan dengan perilaku yangdistruktif merusakdan hal-hal yang negatif. g. Masa remaja adalah masa ambang dewasa. 17 Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menjadi dewasa, atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa. Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, maka masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Jika kita hubungkan perkembangan psikologis remaja dengan bagaimana pembaca remaja mengapresiasi dalam merespons suatu karya novel, didapat kesimpulan bahwa proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti yakni, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut. Selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suau teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur- unsur yang bersifat subjektif. Sedangkan aspek evaluatif berkaiatan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk. Indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. 17 Hurlock, Op. cit., h. 207-209. C. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata novus yang juga berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis lain, novel ini baru muncul kemudian. 18 Novel dapat dikatakan sebagai kisah sejarah hidup seseorang karena berkaitan dengan peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu kehidupan orang tersebut. Bahkan Wellek dan Warren pun menegaskan, “Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan karena ditulis sangat meyakinkan, sebagai sejarah kehidupan seseorang dan zamannya”. 19 Menurut Stanton, “Ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan suatu semesta yang lengkap sekaligus rumit”. 20 Semi pun mengatakan,“Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek- aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel dapat diartikan sebagai cerita yang memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas”. 21 Adapun dalam KBBI novel merupakan karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. 22 Novel sebagai bagian dari karya sastra berupa prosa memiliki dua unsur pembangun yang terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sesuai dengan namanya merupakan unsur- unsur pembangun yang berada di dalam karya itu sendiri, unsur intrinsik secara faktual akan dijumpai saat seseorang membaca 18 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 124. 19 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1989, h. 276. 20 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, h. 90. 21 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1993, h. 32. 22 Depdikbud, h. 694. sebuah karya sastra, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur pembangun yang berada di luar karya sastra itu, unsur ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap bangunan suatu karya karena tidak ikut menjadi bagian di dalamnya seperti unsur intrinsik. 23 Dari beberapa pendapat tersebut peneliti menyimpulkan bahwa novel adalah karangan prosa narasi fiktif panjang, berisi gambaran kehidupan manusia beserta watak dan lingkungan tempat tinggalnya serta memiliki rangkaian peristiwa yang saling menjalin satu sama lain. Novel terbentuk oleh unsur intrinsik dan unsur ektrinsik. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menganalisis unsur intrinsik novel yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. 2. Unsur Intrinsik Novel Unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun yang berada dalam karya sastra. Kepaduan antar unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud.Adapun unsur-unsur tersebut yakni: a. Tema Menurut Tarigan,“Tema merupakan sasaran tujuan”. 24 Temalah yang dijadikan tujuan menulis karangan. 25 Menurut Aminudin, “Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya”. 26 Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. 27 Sedangkan menurut Priyatni, “Tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita 23 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2005, h. 23. 24 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 2011, h. 125. 25 Aoh K. Hadimadja, Seni Mengarang, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978, h. 98. 26 Aminudin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Jakarta: Sinar Baru, h. 67. 27 Siswanto,h.161. dalam karya fiksi”. 28 Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa- peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. 29 Cara mengidentifikasi tema dapat dilakukan dengan pembacaan secara teliti sehingga detail-detail yang renik pun dapat dikenali dan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. 30 Nurgiyantoro menegaskan bahwa untuk menemukan tema sebuah karya fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja Dengan demikian, disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok atau gagasan yang mendasari suatu cipta sastra yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Pokok persoalan itu bisa berupa kehidupan, pandangan hidup, dan komentar terhadap lingkungan. Tema dapat diketahui melalui pembacaan karya sastra secara keseluruhan, kemudian disimpulkan. b. Alur atau Plot Menurut Priyatni, “Alur merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat”. 31 Menurut Semi,“Alur atau plot merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya”. 32 Sama halnya menurut Aminudin, “Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan- tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita”. 33 28 Priyatni, Op. cit., h. 119. 29 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 68. 30 Stanton, Op.cit., h. 42. 31 Priyatni.Loc. cit, h. 113. 32 Semi. Op. cit., h.43. 33 Aminudin, Op. cit., h. 83. Stanton menjelaskan bahwa,“Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh terhadap keseluruhan cerita”. 34 Bagi sastrawan alur atau plot berfungsi sebagai suatu kerangka karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan keseluruhan isi ceritanya, sedangkan bagi pembaca, pemahaman plot berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara runtut dan jelas. 35 Alur atau plot pada prinsipnya bergerak dari suatu permulaan melalui suatu pertengahan menuju standar akhir. 36 Pun demikian menurut Sudjiman, “Pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Cerita diwali dengan cerita tertentu dan diakhiri dengan cerita lainnya. 37 Sementara itu Nurgiyantoro menjelaskan isi dari tahapan- tahapan alur tersebut yaitu tahap awal tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya, yakni berupa deskripsi latar setting dan pengenalan tokoh-tokoh. Tahap tengah cerita yang disebut juga pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan klimaks. Tahap akhir cerita yang disebut juga tahap penyelesaian atau pelaraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks, pada penyelesain ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada bagaimanakah akhir sebuah cerita 38 Dari penjelasan di atas disimpulakan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa dan kejadian yang saling berhubungan dengan adanya sebuah deretan hubungan kausalitas sebab akibat. 34 Stanton, Op.cit., h.28. 35 Siswanto, Loc. cit., h. 161. 36 Tarigan, Op. cit., h. 127. 37 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988, h. 31. 38 Nurgiyantoro, Op.cit. h. 142—145. Alur dibedakan berdasarkan kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatannya. Dalam penilitian ini, hanya dipilih penggolongan alur berdasarkan kriteria urutan waktu. Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi dua yaitu alur kronologis lurus dan alur sorot balik flash back. Dalam alur kronologis, setiap peristiwa disusun secara sistematis, bagian-bagian dalam alur disusun benar-benar sesuai keberadaannya. Sedangkan dalam alur sorot balik, setiap peristiwa tidak tersusun secara sistematis, bagian awal cerita bisa merupakan akhir, dan akhir cerita bisa merupakan awal atau tengah cerita. Alur dalam sebuah novel seringkali divariasikan, artinya penggunaan alur tidak murni kronologis ataupun sorot balik. 39 c. Latar atau Setting Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 40 Istilah latar berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh menjalankan perannya. 41 Aminudin dalam buku Siswanto mengemukakan bahwa,“Latar cerita adalah tempat umum, general local, waktu sejarah historical time, dan kebiasaan masyarakat social circumlances dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat”. 42 Sedangka menurut Kenny dalam Sudjiman yaitu,“Latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarah, musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh. 43 Dari penjabaran di atas disimpulkan bahwa latar adalah segala keterangan mengenai waktu, tempat, dan suasana terjadinya lakuan atau peristiwa dalam karya sastra. Ketiga unsur ini walau masing- 39 Ibid., h. 153—155. 40 Ibid., h. 216. 41 Furqonul Aziez Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. h. 74. 42 Siswanto, Op. cit., h. 149. 43 Sudjiman, op.cit., h. 44. masing menawarkan permasalahan yang bebea dan dapat dibicarakan secara sendiri-sendiri atau masing-masing, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Latar cerita akan berpengaruh terhadap unsur lainnya jika latar ditampilkan secara khas, dalam hal ini akan berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Menurut Sudjiman, “Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita; sebaliknya juga tipe tokoh tertentu menghendaki latar yang tertentu pula. Latar dapat juga mengungkapkan watak tokoh. Misalnya penggambaran keadaan kamar tokoh yang acak-acakan, mengesankan bahwa penghuninya bukan pecinta kerapian”. 44 Dalam karya fiksi, latar dibedakan menjadi dua tipe yaitu latar netral dan latar tipikal.Menurut Nurgiyantoro, “Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Penggunaan latar tipikal dimaksudkan untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa karya itu bersifat realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual”. 45 Jadi, latar netral tidak menunjukkan pada suatu tempat dan waktu tertentu yang khas, sedangkan latar tipikal merujuk pada suatu tempat dan waktu tertentu secara jelas atau memiliki kekhasan. d. Tokoh dan penokohan Menurut Priyatni,“Tokoh adalah para pelaku atau subjek lirik dalam karya fiksi”. 46 Tokoh merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. 47 Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang 44 Ibid., h. 49. 45 Nurgiyantoro, Op.cit., h. 220—222. 46 Priyatni, Op. cit,. h. 110. 47 Ibid., h. 165. jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. 48 Menurut Aminudin dalam buku Siswanto mengartikan, “Tokoh sebagai pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan”. 49 Masalah penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. 50 Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh merupakan orang yang secara imajinatif ditampilkan sebagai pelaku cerita dan berperan sebagai orang yang menggerakan alur dalam sebuah cerita. Sedangkan penokohan adalah pelukisan penggambaran fisik dan jiwa para tokoh, baik melalui tingkah laku maupun gagasannya dalam menjalankan roda kehidupan manusia yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pengelompokan tokoh dibedakan menjadi beberapa jenis. Salah satunya yaitu pengelompokan tokoh berdasarkan segi peranan. Berdasarkan segi peranananya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama biasanya memiliki peranan yang penting dan mendominasi keseluruhan cerita, sementara tokoh tambahan peranannya tidak terlalu banyak dalam cerita, artinya intensitas kemunculannya dalam cerita tidak sebanyak tokoh utama. Tokoh utama dalam cerita terkadang lebih dari satu, sebab dinilai memiliki porsi keterlibatan yang sama dalam cerita. Maka dari itu untuk membedakan keutamaan tokoh dalam cerita didasarkan pada perbedaannya secara bertingkat sebagaimana yang dinyatakan oleh Nurgiyantoro. 48 Nurgiyantoro, Op. cit., h. 165. 49 Siswanto, Op. cit., h. 142. 50 Nurgiyantoro, Loc. cit., h. 194. Menurut Nurgiyantoro, “Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: utama yang utama, tokoh utama yang tambahan, tokoh tambahan yang utama dan tokoh tambahan yang memang tambahan”. 51 Dengan demikian, walaupun dalam cerita terdapat dua tokoh utama atau dua tokoh tambahan, keduanya memiliki perbedaan kadar keutamaannya dalam cerita. Dalam penelitian ini, menggunakan pengelompokan tokoh berdasarkan segi peranannya tersebut. e. Sudut Pandang Menurut Pradopo,“Sudut pandang merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan”. 52 Menurut Minderop, “Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh”. 53 Sedangkan Tarigan menjelaskan bahwa,“Sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara sang pengarang dengan alam fiktif ceritanya, ataupun sang pengarang dengan pikiran dan perasaan para pembacanya”. 54 Dari beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa sudut pandang adalah posisi pencerita atau narator dalam cerita dan bagaimana sikap narator tersebut terhadap diirinya sendiri dalam cerita. Bagi pembaca, sudut pandang merupakan acuan untuk memahami cerita secara keseluruhan. Sebagaimana pendapat Stevick 51 Ibid., h. 178. 52 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, Cet. VI, h. 75. 53 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, h. 88. 54 Tarigan, Op. Cit., h. 140. dalam Nurgiyantoro, “Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita, karena pemahaman pembaca terhadap sebuah novel akan dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandanganya”. 55 Sudut pandang secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu sudut pandang persona pertama dan sudut pandang persona ketiga.Sudut pandang persona pertama terdiri atas: teknik pencerita “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Menurut Minderop, “Teknik pencerita aku tokoh utama yaitu pencerita yang ikut berperan sebagai tokoh utama, melaporkan cerita dari sudut pandang aku dan menjadi pusat cerita. Sedangkan teknik pencerita aku tokoh tambahan yaitu pencerita yang tidak turut berperan dalam cerita, hadir sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar atau penonton dan hanya untuk melaporkan cerita kepada pembaca dari sudut pandang aku. 56 Dengan demikian, jika yang dipilih adalah teknik pencerita “aku” tokoh utama, maka kita sebagai pembaca akan memahami isi cerita berdasarkan pandangan si tokoh utama tersebut yang memiliki peranan penting dalam cerita, tentunya si tokoh utama ini mengalami peristiwa dan konflik secara langsung dalam cerita. Sedangkan jika dalam karya sastra digunakan teknik pencerita “aku” tokoh tambahan, maka pembaca akan memahami cerita berdasarkan pemahaman atau pandangan tokoh tambahan yang dalam hal ini mengamati keseluruhan peristiwa dalam cerita yang lebih banyak dialami oleh tokoh utama. Penggunaan sudut pandang berdampak pada hasil kisahan dalam cerita. Sudut pandang pencerita akuan dan sudut pandang pencerita diaan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan demikian, pada praktiknya, pengarang akan memilih sudut pandang yang sesuai dengan efek yang ingin ditimbulkannya pada cerita ciptaannya dan pada diri pembaca. 55 Nurgiyantoro, Op.cit., h. 251. 56 Ibid., h. 262—264. f. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa atau cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa. 57 Menurut Semi, “Gaya bahasa adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa”. 58 “Gaya itu ditentukan oleh sifat atau watak pengarang karena watak pengarang berbeda-beda, berbeda-beda pula gaya bahasa pengarang”. 59 Menurut Siswanto, “Gaya bahasa adalah cara seseorang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”. 60 Sedangkan menurut Zainuddin, “Gaya bahasa adalah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu”. 61 Jadi gaya bahasa adalah seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya melalui medium bahasa.Gaya bahasa juga bisa membentuk karakter atau ciri dari tulisan yang dibuat oleh pengarang itu sendiri yang membedakannya dengan pengarang yang lain, menimbulkan keindahan dan keharmonisan dalam bahasa yang nantinyaakan menimbulkan imajinasi dan pengaruh bagi pembaca. Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan menjadi beberapa 57 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. h. 112. 58 Semi, Op. cit., h. 47. 59 Hadimadja, Op. cit., h. 62. 60 Siswanto, Op. cit., h. 158. 61 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, h.51. jenis. Salah satunya yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dan dan gaya bahasa berlangsung tidaknya makna. 62 Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat 63 . Dengan kata lain, gaya bahasa mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Adapun dalam pilihan kata ini terbagi menjadi bahasa standar dan substandar.Dalam penelitian ini penulis hanya membahas bahasa non standar, yakni bahasa dari mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yakni apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksud. Gaya bahasa berdasarkan keberlangsungan makna ini biasanya disebut sebagai tropeatau figure of speechyang artinya “pembalikan” atau “penyimpangan.Ttropeatau figure of speech dengan demikian memiliki bermacam-macam fungsi yakni, menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan. Ttropeatau figure of speech dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. 64 Gaya bahasa retoris terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya: 1 Aliterasiadalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam 62 Keraf, Op. cit., h. 116—117. 63 Ibid., h. 117. 64 Ibid. puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. 2 Asonasiadalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. 3 Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Gaya bahasa kiasan terbagi menjadi beberapa macam gaya bahasa, diantaranya: 1 Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. 2 Pesonifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. 3 Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. 4 Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. 65 g. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 66 Jadi amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya sebagai pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu karya sastra. Amanat sebuah cerita tidak selamanya diungkapkan secara eksplisit. Oleh karena itu pembaca harus menafsirkan sendiri amanat 65 Ibid.,h. 138—145. 66 Siswanto, Op. cit., h. 162. yang terknadung di dalam sebuah cerita. Amanat memang merupakan pesan dari pengarang yang ditujukan bagi pembaca. Akan tetapi pesan atau amanat ini tidak selalu berupa keterangan pengarang, melainkan dapat pula disampaikan dalam bentuk dialog atau pikiran para tokoh dalam cerita. Amanat sangat bermanfaat bagi pembaca, hal ini terjadi karena amanat dapat menambah pengetahuan pembaca melalui pesan-pesan yang di sampaikan. Selain itu amanat dapat memperluas cakrawala pembaca melalui jalan cerita yang diperankan oleh tokoh-tokoh dalam suatu cerita. D. Pendekatan Teori 1. Pendekatan Pragmatik Pragmatik adalah pendekatan sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. 67 Istilah pragmatik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali dirumuskan dalam istilah Horatius: seniman bertugas untuk docere dan delectare, memberi ajaran dan kenikmatan, seringkali ditambah lagi movere, menggerakan pembaca ke kegiatan yang bertanggungjawab; seni harus menggabungkan sipat dulce dan utile, bermanfaat dan manis. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakan untuk bertindak oleh karya seni yang baik. 68 Dalam ilmu sastra modern, aspek pragmatik mulai ditonjolkan lagi. Ilmu sastra modern lebih berorientasi pada masalah: apa yang dilakukan oleh pembaca dengan karya sastra dan apa yang dilakukan oleh karya sastra dengan pembacanya. Apakah tugas dan dan batas kemungkinan pembaca sebagai pemberi makna. Bukan sarana bahasa yang pertama-tama menarik perhatian tetapi efeknya pada pembaca sebagai faktor dalam proses semiotik dan pertanyaan bagaimana tanggapan pembaca terhadap karya sastra. 69 67 Ibid., h. 190. 68 A Teeuw, Sastra dan Ilmu sastra, Bandung: Firma Ekonomi, 1984. h. 51. 69 Ibid., h. 185. Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna. Karena itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastranya berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra ini dapat diungkap melalui penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra. Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan. Dalam pendekatan ini karya sastra dipandang sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Oleh karena itu penilaian karya sastra terutama ditekankan pada tujuan atau fungsi yang hendak disampaikan kepada pembaca seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Ahmadun Yosi Herfanda. Menurutnya, untuk menegaskan peran sastra sebagai agen perubahan maka diperlukan orientasi pada kebermanfaatan sastra sebagai media pencerahan dan pencerdasan masyarakat. Dengan indikator pembaca dan karya satra, pendekatan pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Berdasarkan pada pandangan ini pula dilakukan penelitian terhadap novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dengan pembaca sebagai objek penelitiannya. Dengan begitu peneliti dapat mengetahui respons dan bagaimana pengaruh novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi terhadap pembaca remaja. 2. Resepsi Sastra Resepsi sastra berasal dari kata reciper Latin, reception Inggris yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. 70 Karya sastra tidak bermakna apa-apa selama tidak ditanggapi oleh pembaca. Adanya karya sastra atau kesusastraan ditentukan oleh pemberian makna yang hanya dapat dilaksanakan dalam praktek membaca. 71 Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. 72 Jauss dalam bukunya Literaturegeschichte alsProvokation mempertimbangkan sejarah sastra terutama sebagai sebuah hasil penulisan dan resepsi yaitu bahwa pengalaman pembaca diterangkan dan dibatasi. 73 Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks.Oleh pembaca teks itu dikongkretkan, dijadikan 70 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. h. 163. 71 Subagio Sastrowardoyo, Sekilas Sosial Sastra dan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, h. 29. 72 Racmat Djoko Pradopo, Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya dalam buku Bahasa Sastra Budaya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, h. 182. 73 Rien T. Segers, Evaluasi Teks Sastra, Yogyakarta: Adicita, 2000, h. 35. sebuah teks seperti dihayati dan dimengertinya. Usaha kongkretisasi ini menghasilkan laporan-laporan resepsi. 74 Reaksi termaksud dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif, mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera mereaksi dengan perasannya. Reaksi terhadap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, akan jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra. Setiap orang akan berbeda dalam merespon sebuah karya sastra. Begitu juga tiap periode itu berbeda dengan periode yang lain dalam merespon sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan ini ialah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca itu mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Artinya, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tersendiri terhadap suatu karya sastra. Pengertian karya sastra pun akan berbeda antara setiap orang karena setiap pembaca akan mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca tersebut sesuai dengan pengertian karya sastra yang dimilikinya. Cakrawala harapan tersebut ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuannya dalam menanggapi karya sastra. Cakrawala atau horizon harapan menjadi kunci bagi teori Jauss. Cakrawala harapan disusun dengan tiga kriteria. a. Norma generik yang terkenal yang dipaparkan oleh teks yang dibaca oleh pembaca; b. Pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap keseluruhan teks yang telah dibaca sebelumnya; 74 Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem diterjemahkan oleh Dick Hartono, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia, 1986. h. 79. c. Kontras antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk menerima teks baru di dalam cakrawala harapan yang sempit dan cakrawala harapan yang luas. 75 Meskipun pembaca yang menetukan karya sastra, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam karya sastra itu ada tempat-tempat terbuka yang mengharuskan pembaca untuk mengisinya hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang mengandun pengertian multitafsir. Bahkan dikatakan Iser, “Makin banyak tempat-tempat terbuka atau kosong itu, maka karya sastra akan semakin bernilai. Tentu saja hal ini ada batasnya, yaitu bila sebuah karya sastra terlalu banyak memiliki tempat kosong itu menyebabkan pembaca tidak bisa mengisinya. Tentu hal ini akan menyebabkan karya sastra tersebut tidak bisa diipahami oleh para pembaca”. 76 Dalam metode estetika resepsi pembaca yang diteliti merupakan pembaca yang ahli bukan pembaca awam, yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra, ahli estetika yang dipandang mewakili para pembaca periodenya. Dengan memahami estetika resepsi kita dapat mengetahui bagaimanakah respon para ahli sastra dan kritikus sastra dalam menanggapi novel Negeri 5 Menara. Dengan begitu kita dapat mengetahui pengaruh novel tersebut bagi para ahli sastra. 3. Evaluasi Teks Sastra Setelah mengetahui respons pembaca ahli dengan teori estetika resepsi, untuk mengetahui respons pembaca yang bukan ahli yakni pembaca awam, teori yang digunakan adalah teori evaluasi sastra. Estetika resepsi sangat penting dalam studi sastra modern karena dengan begitu aspek-aspek nilai suatu teks sastra maupun aspek faktualnya dapat diteliti. Tujuan dari evaluatif yaitu melihat suatu teks sastra yang didasarkan pada nilai-nilai, namun jika tujuan hanya deskriptif teks tersebut hanya dilihat faktanya saja. 75 Segers, Op. cit., h. 36. 76 Ibid,. h. 39. Pada proses evaluasi sejumlah pembaca yang memberikan informasi diminta untuk memberikan putusan nilai mengenai teks-teks tertentu. Reaksi-reaksi pembaca diderivasikan dari keyakinan bahwa putusan nilai yang didasarkan pada pengetahuan yang kecil atau tidak ada sama sekali dengan objek yang dinilai. Putusan nilai bertumpu pada pengetahuan objek karena objeknya adalah teks sastra, pengetahuan yang dibutuhkan adalah sastra termasuk di dalamnya elemen-elemen sistem sastra. 77 Masalahnya dapatkah nilai yang diberikan mengukur teks tersebut. Pengukuran keluasan korpus sastra sepertinya belum pernah dipermasalahkan. Akan tetapi harus ditekankan bahwa pengukuran adalah hal tertentu, dan putusan nilai hanya signifikan jika seorang menyadari bahwa kenyataan parameter pada hakikatnya bersifat arbitrer. Adapun tiga faktor bagi analisis proses evaluasi sastra yakni: a. Analisis terhadap struktur dan kode tekstual. b. Analisis terhadap horizon harapan pembaca. c. Analisis terhadap hubungan timbal balik antara a dan b. 78 Maka dari itu, penelitian tentang respons pembaca remaja terhadap novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi ini akan menganalisis bagaimana kenyataan respons pembaca yang bukan pembaca ahli menilai novel tersebut. Pada penilaian respons sendiri yang digunakan bersifat arbitrer, peneliti akan menggunakan penilaian yang telah dibuat berdasarkan metode yang dianjurkan dalam evaluasi sastra mengenai novel tersebut. Jika hal ini telah dilakukan maka kita dapat melihat respons pembaca bukan hanya dari pendapat para ahli sastra dan kritkus sastra saja, tetapi juga dapat melihat penilaian Negeri 5 Menara ini berdasarkan pendapat pembaca awam. E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dilakukan untuk mengetahui keaslian suatu karya ilmiah serta posisinya di antara karya-karya sejenis dengan tema ataupun 77 Ibid,.h. 96. 78 Ibid,.h. 88. pendekatan yang serupa.Penelitian yang relevan dengan karya tulis ilmiah ini berguna sebagai bahan perbandingan antara analisis yang penulis kemukakan dengan karya ilmiah sebelumnya. Selanjutnya penulis akan memaparkan beberapa penelitian yang telah berbentuk skripsi yang sedikit banyak berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan tentang Respons Pembaca Novel N5M. PertamaApriliyanto Nugroho dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Telaah Yurisprudensi dalam Penemuan Nilai Sosial pada Novel Negeri 5 Menara Karangan A. Fuadi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah.”Penelitian inibertujuan untuk mengetahui cara penerapan model pembelajaran telaah yurisprudensi dalam penemuan nilai sosial pada novel N5M karangan A. Fuadi. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif analisis isi dan studi kasuseksperimen. Hasil penelitian ini ditemukan beberapa pengembangan mengenai pembelajaran telaah yurisprudensi, nilai sosial yang terdapat pada novel N5M meliputi: 1 nilai material yang berjumlah lima belas nilai yang terdapat dalam novel. 2 nilai vital yang berjumlah empat puluh tiga nilai yang terdapat dalam novel. 3 nilai kerohanian yang meliputi: a nilai kebenaran yang berjumlah tiga puluh sembilan nilai yang terdapat dalam novel. b nilai keindahan yang berjumlah tiga puluh satu nilai yang terdapat dalam novel. c nilai moral yang berjumlah dua puluh empat nilai yang terdapat dalam novel. d nilai keagamaan yang berjumlah dua puluh enam nilai yang terdapat dalam novel tersebut.Selain itu, ditemukan pula isu sosial yang terjadi dalam novel berjumlah dua puluh tujuh isu sosial yang berkembang pada novel tersebut. Hasil pembelajaran sastra di SMA mengenai unsur ekstrinsik nilai sosial yang meliputi nilai material, nilai vital, nilai kerohanian yang terdiri dari nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai moral, dan nilai keagamaan. Kedua Dwi Astuti dalam penelitian berjudul “Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Kajian Psikologi Sastra.” Penelitinya meneliti novel N5Mkarena kepribadian tokoh utamanya, novel ini menceritakan permasalahan hidup yang dapat mempengaruhi atau mengubah kepribadian tokoh, sehingga menjadi berlawanan dengan kepribadian sebelumnya. Novel N5M memiliki tokoh utama dengan kepribadian yang menarik sehingga perlu dikaji. Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra, khususnya mengenai psikologi kepribadian. Dari penelitian dengan tujuan psikologis diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. secara keseluruhan tipe kepribadian dalam novel N5M karya Ahmad Fuadi didominasi oleh tipe ekstrovert. Terutama dipengaruhi dunia objektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasinya terutama bertujuan kedalam pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor objektif. b.frekuensi pemunculan tipe kepribadian didominasi kepribadian ektrovert dengan pemunculan empat puluh sembilan kali, sedangkan kepribadian introvert hanya muncul sebanyak dua puluh kali. c. faktor yang mempengaruhi kepribadian tokoh utama meliputi faktor dalam dan faktor luar yang berupa pengaruh dari keluarga dan lingkungan. Faktor luar lebih banyak mempengaruhi kepribadian dari tokoh utama. KetigaSulis Dian Martanti, dalam penelitian yang berjudul “Media dan Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Sebuah Studi Critical Analysis wacana Pendidikan Pondok Pesantren yang Direpresentasikan dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi.”Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor dalam teks novel N5M Karya Ahmad Fuadi. Fokus pernyataannya adalah bagaimana Ahmad Fuadi mengkonstruksikan wacana tersebut dalam bangunan kata dan kalimat. Serta bagaimana bahasa dan simbol yang digunakan dalm merepresentasikan maksud dari novel. Tiap kata dan kalimat yang dipergunakan dimaknai menunjukan sebuah praktek ideologi. Setelah dianalisis diperoleh hasil bahwa kata-kata dan kalimat yang dipakai oleh Ahmad Fuadi, dalam bercerita cenderung tau bahkan lebih berpihak pada pendidikan yang diajarkan di Pondok Pesantren Gontor. Fuadi menceritakan bagaimana kurikulum yang jauh berbeda dengan sekolah umum, dengan metode yang jauh lebih intensif, disiplin tinggi, dan dengan memberikan motivasi dan atau keteladanan serta dukungan penuh terhadap pendidikan dalam kata-kata atau kalimat provokatif, persuasif, propagandis, dan subyektif. Sepanjang yang peneliti tahu belum ada seorang peneliti yang mengambil judul “Respons Pembaca Remaja terhadap Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah. F. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Setiap guru wajib membuat perencanaan pembelajaran. Inti perencanaan pembelajaran itu adalah rencana pelaksanaan pembelajaran RPP dan bahan ajar. Kedua hal itu disebut perangkat pembelajaran. Dengan kedua perangkat pembelajaran itulah guru mewujudkan harapannya yakni meningkatkan kompetensi peserta didik sehingga mencapai kriteria ketuntasan minimal. Model pembelajaran ditampilkan dalam RPP. Model pembelajaran yang aplikatif dan pragmatis adalah RPP yang benar-benar dapat digunakan untuk mengantarkan siswanya kepada pencapaian kompetensi dengan tuntas. Model-model itu hanya dimungkinakan lahir dari tangan guru yang benar-benar memahami SK, KD, dan mampu menjabarkannya menjadi indikator. Dari indikator dilahirkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan prosedur serta instrument penilaian. Jadi, setiap guru yang ingin membuat model pembelajaran harus memahami komponen RPP dan terampil mengolah dan menyatukannya dalam RPP yang aplikatif dan pragmatis. Bahan ajar dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk. Dapat berupa buku, modul, power point, dan bentuk lain yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan peserta didik. Untuk dapat menyusun bahan ajar yang tepat pendidik harus mengawalinya dari menganalisis materi pokok dari KD dan materi pembelajaran dari indikator. Jika kita hubungkan perkembangan psikologis remaja dengan bagaimana pembaca remaja mengapresiasi dalam merespons suatu karya novel, disimpulkan bahwa proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti yakni, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut. Selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suau teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra yang secara langsung menunjang kehadiran teks sastra itu sendiri. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam menghayati unsur- unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu unsur emosi juga sangat berperan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Sedangkan aspek evaluatif berkaiatan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk. Indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Pembelajaran sastra tidak hanya meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra juga dapat mengembangkan keterampilan hidup lainnya seperti berpikir kritis, berkepribadian, dan bermasyarakat berbudaya. Untuk mencapai perkembangan keterampilan-keterampilan yang lebih optimal, maka mutu pengajaran sastra di sekolah harus ditingkatkan. Dengan demikian, kualitas guru sangat menentukan. Guru yang tidak menguasai metode mengajar sastra yang benar dan memiliki minat membaca dan mengkaji karya sastra yang rendah dapat menjadi penghambat utama keberhasilan pengajaran sastra. Guru dapat menjadikan siswa penikmat dan pengkaji karya sastra. Kreativitas guru hendaknya didayagunakan untuk memanfaatkan teks-teks sastra sebagai bahan pembelajaran sastra di kelas. Guru harus kreatif dalam memilih materi sastra agar siswa tertarik dan tidak merasa terbebani dalam belajar sastra. Untuk siswa SMA, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan novel-novel remaja. Sebagai salah satu bentuk sastra remaja, novel remaja adalah hasil karya sastra yang menampilkan permasalahan remaja dan berusaha untuk memenuhi selera remaja. Tema permasalahan yang diangkat, tokoh-tokoh, serta gaya bahasanya disesuaikan dengan selera dan dunia remaja. Novel remaja seharusnya dapat menjadi ladang subur untuk memperkaya bahan pembelajaran dan bahan diskusi di kelas. Guru perlu membaca, mengenali, dan menyelami terlebih dahulu novel-novel remaja yang ada. Karena banyak novel remaja yang hanya berisikan tentang kisah percintaan remaja tanpa memiliki nilai yang mendidik. Di samping itu, guru juga harus menjajagi dan menimbang kemampuan siswa sehingga dapat memilih dan memilah novel-novel remaja mana yang tepat digunakan untuk siswanya. Pemanfaatan novel remaja ini merupakan upaya mengenalkan remaja dengan karya-karya sastra yang dekat dengan dunianya. Dengan demikian, pembelajaran sastra tidak harus dipenuhi dengan ritual hafalan dan belenggu pengetahuan tentang sastra, yang seringkali menjadikan siswa merasa terasing dengan dunianya sendiri. Adapun dalam penelitian ini, novel yang digunakan adalah novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang diketahui di dalamnya terdapat banyak pelajaran atau nilai didik yang dapat diambil oleh pembaca. Penulis memilih novel Negeri 5 Menarakarenanovel ini relevan dengan dunia pendidikan, memberikan inspirasi, motivasi dan semangat juang terhadap orang yang kerdil akan impian. Pengarang mengisahkan semangat dan pengalaman unik tokoh- tokohnya, yang berupaya maju dalam pendidikan yang inspiratif. Selain itu novel ini dapat dikhususkan untuk pembaca remaja karena tokoh-tokoh dalam novel Negeri 5 Menara adalah remaja yang berkarakter, sehingga novel ini cocok untuk bahan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. Pendekatan utama yang selama bertahun-tahun digunakan untuk mendidik adalah pendekatan interaksi langsung direct instruction approach, yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada guru, di mana guru yang mengarahkan dan mengendalikan, menguasai keterampilan akademis, memilliki ekspetasi yang tinggi terhadap siswa, serta memaksimalkan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar. Sampai sekarang pendekatan ini masih banyak diterapkan di sekolah. Padahal dalam pembelajaran, seharusnya siswalah yang harus lebih aktif. Pada tahun 1990-an, keinginan untuk melakukan reformasi sekolah difokuskan pada pendekatan CTL Contextual Teaching and Learning. CTL adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. CTL bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang siswa pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian siswa, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. 79 Selain itu diharapkan juga guru melakukan pembelajaran secara PAKEM Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan sehingga siswa belajar dengan senang hati. Dengan konsep tersebut diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. 79 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, Bandung: MLC, 2009 h. 65.

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN KOMUNITAS SAHIBUL MENARA:

“MANJAD DA WAJADA”

A. Biografi Ahmad Fuadi

Ahmad Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh sungguh maka akan berhasil. Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan mantra manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD. Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia. Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs,George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy. Fuadi dan istrinya Yayi tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling. N5M adalah novel pertama dari trilogi N5M karya yang terbit tahun 2009. Adapun trilogi kedua yakni novel Ranah 3 Warna yang terbit tahun 2011 dan trilogi ketiga yakni novel Rantau Satu Muara yang terbit tahun 2013. Cerita dalam novel N5M tidak terlepas dari inspirasi perjalanan hidup sang penulis.Meski diangkat dari kisah nyata dan sebagian besar peristiwa yang diangkatnya dalam novel adalah pengalaman pribadinya namun novel N5M bukanlah biografi seorang Ahmad Fuadi. Dengan menjadikan tokoh rekaan Alif, maka Fuadi memberi jarak antara dirinya dengan sang tokoh. Setengah royalti dari penjualan novel diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan volunteer yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis untuk kalangan yang kurang mampu. Riwayat Pendidikan Ahmad Fuadi 1. KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo 1988-1992. 2. Program Pendidikan Internasional, Canada World Youth, Montreal, Kanada 1995-1996. 3. Nation University of Singapore, Singapura studi satu semester 1997. 43 4. Universitas Padjajaran, Indonesia, BA dalam Hubungan Internasional, September 1997. 5. The George Washingtone University, Washington DC, MA dalam Media and Public Affairs Mei 2001. 6. Royal Holloway, Universitas London, Inggris, MA dalam Media Arts, September 2005. Penghargaan dan Beasiswa 1. SIF-ASEAN Visiting Student Fellowship, National University of Singapore, 1997. 2. Indonesian Cultural Foundation Inc Award, 2000-2001. 3. Columbian College of Arts and Sciences Award, The George Washington University, 2000-2001. 4. The Ford Foundation Award 1999-2000. 5. CASE Media Fellowship, University of Maryland, College Park, 2002. 6. Beasiswa Fulbright, ProgramPascasarjana, The George Washington University, 1999-2001. 7. Beasiswa British Chevening, ProgramPascasarjana, University of London, London2004-2005. 8. Longlist Khatulistiwa Literary Award 2010. 9. Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia 2010. 10. PenulisBuku Fiksi Terbaik, Perpustakaan Nasional Indonesia 2011. 11. Liputan6 Award, SCTV untuk Kategori Pendidikan dan Motivasi 2011. 12. Penulis Terbaik, IKAPIIndonesia Book Fair 2011. 13. Writer in Residence, Bellagio, Lake Como - Italy, Rockefeller Foundation 2012. 14. Penghargaan Nasional HKI, kategori novel, DJHKI, Kementerian Hukum dan HAM 2013. Pengalaman Profesional 1. Penulis dan Kolumnis bebas, 1992-1998. 2. Menulis ratusan artikel mengenai peristiwa terkini untuk media massa di Indonesia. 3. Wartawan dari CJSR 3 TV Communautaire, St-Raymond, Quebec, Kanada, 1995. 4. AsistenPenelitian, School of Media and Public Affairs, George Washington University, Washington DC, 2000-2001. 5. AsistenPenelitian, Center for Media and Public Affairs, Washington DC, 2000-2001. 6. Bekerja di Pemanasan Global dan Budaya Pop Project. 7. Wartawan, MajalahTEMPO, Jakarta, Indonesia, Augustus1998-2002. 8. Mengulas dan menulis berita aktual mulai dari politik, ekonomi sampai berita seni. 9. Internasionalkoresponden, MajalahTEMPO, Washington DC, Agustus1999- September2002. 10. Mengulas peristiwa dan menulis cerita dari titik-titik utama di AS seperti Pentagon, Gedung Putih, dan Capitol Hill. Di antara highlight dari laporannya adalah: penulisan cerita dan tindak lanjutnya peristiwa 11 September dari Washington DC dan mewawancarai tokoh-tokoh seperti Colin Powell dan Paul Wolfowitz. 11. Produser TV dan Editor, Voice of America, Washington DC, Mei2001- Oktober2002. 12. Wartawan, Voice of America, Jakarta, November2002 - November2005. 13. Spesialis Publikasi dan Informasi, USAID-LGSP Local Governance Support ProgramDesember2005-Agustus2007. 14. Direktur Komunikasi, The Nature Conservancy TNC Agustus2007-2009. The Nature Conservancy TNC sebagai salah satu organisasi konservasi terbesar di dunia, Bertanggungjawab untuk mengembangkan dan menerapkan strategi komunikasi untuk meningkatkan dan mempertahankan kesadaran masyarakat dan dukungan TNC. Publikasi dan mengkoordinasikan semua usaha pemasaran TNC di Indonesia. Managed hubungan media, media monitoring, identitas visual dan branding, internal eksternal publikasi, dan manajemenrisiko. Mewakili TNC di arena nasional dan internasional. Bekerja sama dengan berbagai staf TNC di lebih dari 30 negara di dunia. Ketrampilan Bahasa Menguasai 4 bahasa: bahasa Indonesia,Inggris, Perancis dan bahasa Arab. Pengalaman Mengajar 1. Trainer, Humas, Publikasi, menulis, fotografi. USAID-LGSP 2006-2007. Dihadiri oleh staf lembaga bantuan dari 8 provinsi di Indonesia. 2. Trainer, Workshop produksi TV, International Broadcasting Bureau-VOA, September 2005. Dihadiri oleh jurnalis TV produsen dari 14 stasiun TV di Indonesia. 3. Certified trainer DDI untuk pengembangan organisasi 4. Speaker atau fasilitator di berbagai negara seperti Kanada, Malaysia dan Amerika Serikat. 5. Mengajar anak sekolah di berbagai tempat seperti: Virginia, AS, PM Gontor, Bandung, dll. 80

B. Komunitas Sahibul Menara: “MAN JADDA WAJADA”

Komunitas Sahibul Menara “MAN JADDA WAJADA” adalah bagian atau cabang dari Komunitas Menara yang didirikanoleh Nikita Lili pada tanggal 29 Februari 2013 yang kini beranggotakan 216 orang. Nikita Lili sendiri ialah salah satu relawan komunitas Menara yang saat ini bekerja sebagaiKey Account Executive di PT. Pharos Indonesia. Menurut perempuan berdarah Jawa ini awalnya ia hanya ingin membuat grup relawan saja, tapi sebelumnya tentu dengan seizin Ahmad Fuadi sebagai pendiri Komunitas Menara. Dengan membuat grup ini ia dan anggota lainnya bisa berbagi informasi apa saja tanpa harus berkaitan dengan Negeri 5 80 Wikipedia, Ahmad Fuadi. http:id.wikipedia.orgwikiAhmad_Fuadi, akses,14 Juli 2011.

Dokumen yang terkait

NILAI MOTIVASI DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA Nilai Motivasi dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMK Muham

0 1 18

NILAI MOTIVASI DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA DAN IMPLEMENTASINYA Nilai Motivasi dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMK Muham

0 2 14

NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI:KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM Nilai Pendidikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Kajian Sosiologi Sastra Serta Implementasinya dalam Pembelajaran di Madrasah

0 2 16

ASPEK MOTIVASI PADA NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI DAN Aspek Motivasi Pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi Dan Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Kajian Intertekstual Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 12

ASPEK MOTIVASI PADA NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI DAN Aspek Motivasi Pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi Dan Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Kajian Intertekstual Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 31

ANALISIS GAYA BAHASA HIPERBOLA DAN PERSONIFIKASI PADA NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI Analisis Gaya Bahasa Hiperbola Dan Personifikasi Pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi.

3 9 14

PENDAHULUAN Analisis Gaya Bahasa Hiperbola Dan Personifikasi Pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi.

1 4 7

ANALISIS GAYA BAHASA HIPERBOLA DAN PERSONIFIKASI PADA NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI Analisis Gaya Bahasa Hiperbola Dan Personifikasi Pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi.

0 0 17

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA Aspek Sosial dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KAJIAN NILAI BUDAYA DAN KARAKTER TOKOH REMAJA DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SMA.

0 5 40