Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris

(1)

Nama : MERRY NATALIA SINAGA, SH

NIM : 057011056

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN

PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH DI LEGALISASI ATAU WAARMERKING OLEH NOTARIS

Pembimbing : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS.,CN 2. Chairani Bustami,SH, SpN, MKn.

3. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum Hari/Tanggal : Kamis 22 Maret 2007

Pukul : 09.30 WIB


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN

PEMBUKTIAN AKTA DIBAWAH TANGAN YANG TELAH DI LEGALISASI DAN WAARMERKING OLEH NOTARIS

Nama : MERRY NATALIA SINAGA

NIM : 057011056

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

.Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Ketua

Chairani Bustami, SH, SpN, MKn Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Merry Natalia Sinaga

Tempat/Tanggal lahir : Palembang, 25 Desember 1969 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Status : Menikah

Anak ke : 3 dari 5 bersaudara

Alamat : Jl. Patimura No. 8 Pematang Siantar

II. Keluarga

Nama Suami : Henry TH. Girsang, SH. Nama Anak : Chatrine Lidya Girsang.

III. Pendidikan

- SD Negeri IV Tobelo Maluku Utara : Tamat Tahun 1983.

- SMP Negeri I Pare Pare Sulawesi Selatan : Tamat Tahun 1985.

- SMA Negeri I Pare Pare Sulawesi Selatan : Tamat Tahun 1988.

- S-1, Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu : Tamat Tahun 1993.

- S-2, Program Studi Kenotariatan Skolah Pascasarjana


(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI I

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah………. 12

C. Tujuan Penelitian……….. 12

D. Manfaat Penelitian……… 13

E. Keaslian Penelitian……… 13

F. Kerangka teori dan konsepsi ……… 14

G. Metodologi Penelitian……….. 35

H. Jadwal Rencana Penelitian……… 38


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga notariat merupakan suatu lembaga yang ada di dalam masyarakat yang diharapkan memberikan sumbangan demi terlaksananya hukum dengan baik sehingga akan tercipta ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat

Lembaga ini timbul dari kebutuhan masyarakat dalam pergaulannya antara satu dengan yang lain yang memerlukan alat bukti sebagai alas hak baginya mengenai hubungan keperdataan yang terjadi di antara mereka.

“Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau unimpeachable).1

Fungsi dan peran notaris dalam gerak pembangunan yang semakin komplek dewasa ini tentunya makin luas seiring dengan perkembangan tehnologi dan ilmu pengetahuan dimana masyarakat membutuhkan kepastian hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Hal ini merupakan bentuk pelayanan notaris, dimana sebagai seorang ahli dalam bidang hukum dapat banyak memberi bantuannya. Bagi masyarakat dan pemerintah pelayanan atau produk hukum yang diberikan oleh notaris diharapkan benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.

1

Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat-Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris,


(6)

Notaris sangat dibutuhkan oleh masyarakat baik dalam bentuk nasehatnya, maupun dalam bentuk penyusunan akta yang sedemikian rupa sehingga dapat dicapai apa yang dikehendaki oleh para pihak yang meminta jasanya dalam membuat perjanjian tanpa menyimpang dari aturan hukum yang berlaku. 2

Sejarah notariat tidak terlepas dari sejarah notariat di beberapa negara Eropa pada umumnya dan di negara Belanda pada khususnya, yang berakar dari Notariswet yang lahir pada Tanggal 9 Juli 1842, yang susunannya dan isinya sebagian besar mengambil contoh dari Undang–undang Perancis yaitu dari 25 Ventosean XI tanggal 16 Maret 1803.

Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke–11 atau ke–12 dengan nama Latijnse Notariat yang berasal dari Italia Utara. Perkembangan notariat di Italia meluas ke negara Perancis, notariat ini dikenal sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapatkan pengakuan.

Dari negara Perancis ini pula pada permulaan abad ke–19 lembaga notariat telahdikenal dan meluas ke negara–negara lain dan mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke–17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.

Lembaga notariat telah di kenal di Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan masuknya VOC pada awal abad XVI. Pada waktu itu Belanda masih berbentuk “Republik der Verenigde der Nederlanden”dan kapal-kapal dagang VOC datang

2

R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993. hlm. 8


(7)

ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah sebagai barang dagangan yang sangat laku di Eropa seperti cengkeh, merica, kulit kayu manis, pala dan lain-lain.

VOC yang mempunyai hak monopoli perdagangan pada waktu itu menjual hasil rempah tersebut kepada pedagang-pedagang dari Eropa dan negara-negara lain yang datang ke indonesia. Untuk transaksi yang mereka lakukan itu diperlukan alat bukti tertulis dan lembaga notaris dibutuhkan untuk menjawabnya.

Ketika itu lembaga ini masih diperuntukkan bagi kepentingan penduduk golongan Eropa terutama dalam bidang keperdataan , yaitu Burgelijk Wetboek.3 Meskipun diperuntukkan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia juga dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan notaris, Hal ini menjadikan lembaga notariat semakin dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.4

Maksud dan tujuan membawa lembaga notariat ke Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan akan bukti otentik yang sangat dibutuhkan guna hal dan kepentingan yang timbul karena adanya transaksi dagang yang dilakukan.

Di dalam perkembangannya, lembaga notariat ini secara diam-diam (stilzwijgend) telah diadopsi dan menjadi Hukum Notariat Indonesia.dan berlaku untuk semua golongan.5

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pemerintahan Belanda bentukan VOC pada tanggal 27 Agustus 1620 mengangkat notaris pertama di Indonesia yaitu

Melchior Kerchem yang berkedudukan di Jakarta. Pelantikannya dilakukan oleh

3

Ibid. hlm.1

4

Nico, Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum,CDSBL, Yogyakarta, 2003, hlm.19 Nico, Jawab Notaris

Selaku Pejabat Umum,CDSBL, Yogyakarta, 2003, hlm.35 5


(8)

Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Setelah pengangkatan notaris yang pertama jumlah notaris di Indonesia makin berkembang dan pada Tahun 1650 di Batavia hanya dua notaris yang diangkat.

“Akta-akta notaris di negara-negara Eropa mempunyai kebenaran dan kekuatan bukti formil dan pada umumnya mempunyai kekuatan eksekusi dan demikian mempermudah prosedur di Pengadilan-pengadilan, bahkan mengenai berbagai tindakan/perbuatan harus disertai dengan akta notaris.”6

Pada tanggal 12 November 1620 Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen untuk pertama kalinya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang Jabatan Notaris yang pada pokoknya memuat Jabatan Notaris Publik adalah Jabatan Notaris sendiri terlepas dari kepaniteraan Pengadilan. Pada tanggal 16 Juni 1625 keluar instruksi pertama untuk para Notaris yang berpraktek di Indonesia, instruksi ini memuat 10 Pasal, diantaranya menentukan bahwa Notaris sebelum berpraktek harus diuji dan mengangkat sumpah.

Berkaitan dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dapat dipahami bahwa keberadaan profesi Notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang membutuhkan alat bukti, mengingat fungsi dari Notaris sebagai pembuat alat bukti tertulis berupa akta-akta otentik sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1868 KUHPerdata.

Dalam perkembangannya setelah beberapa kali mengalami perubahan maka lahirlah peraturan perundang–undangan yang baru di bidang notariat yakni Undang-undang Republik

6


(9)

Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disingkat UUJN yang dulunya adalah Peraturan Jabatan Notaris (Staatblad 1860 Nomor 3 Notaris Reglement), terdiri dari XIII Bab dan 92 pasal.

Pasal 1 Reglement of Het Notaris Ambt in Indonesie Staatblad 1860 – 3 menyatakan:

De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afshriften en uittreksels uit te geven; alles voorzover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is. 7

Pasal 1 diatas diterjemahkan oleh G.H.S Lumban Tobing sebagai berikut :

Notaris adalah pejabat umum yang satu–satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 8

Adapun pengertian notaris berdasarkan bunyi Pasal 1 butir 1 jo Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris untuk selanjutnya disebut dengan UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang

7

Engelbrecht, De Wetboeken,Wettenen Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de republiek

indonesie, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1989, hlm.822 8


(10)

pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Melihat kepada tugas utama notaris tersebut, maka dapat dikatakan bahwa notaris mempunyai tugas yang berat, karena harus menempatkan pelayanan masyarakat di atas segala-galanya. Oleh karena itu diperlukan tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi.

Berdasarkan pada pengertian notaris dan kewenangannya tersebut diatas maka suatu akta notaris lahir dan tercipta karena :

1. atas dasar permintaan atau dikehendaki yang berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik.

2. atas dasar undang-undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak, misalnya dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas, harus dengan akta otentik.9

Sebagai undang-undang yang baru, yang menggantikan Peraturan Jabatan Notaris, maka perbedaan yang mendasari lahirnya Undang-undang Jabatan Notaris menurut Winanto Wiryomartani adalah:

1. Perkembangan dunia notariat yang dinamis baik di negara Eropa maupun Asia yang menganut sistem notariat latin yang juga diikuti oleh organisasi di Indonesia.

2. Undang-undang di negara Belanda sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dilakukan pada tanggal 1 Juli 1999.

3. Adanya kepastian hukum bagi para notaris dalam menjalankan jabatannya termasuk kepastian perlindungan hukum bagi para notaris dalam menjalankan jabatanya sebagaimana diatur dalam pasal 66 UUJN. 10

9

Setiawan Rachmat, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1995, hlm. 3. 10

Winanto Wiryomartani, Implementasi UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, RENVOI,


(11)

Notaris sebagai pejabat umum sebagaimana bunyi Pasal 1 UUJN No 30 Tahun 2004 merupakan satu-satunya yang mempunyai wewenang umum, tidak turut pejabat lainnya. Pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu artinya wewenang tersebut tidak meliputi lebih dari pembuatan akta otentik yang secara tegas oleh undang-undang ditugaskan kepada pejabat yang berwenang.

Pengertian pejabat umum dimaksud bukan merupakan pegawai negeri. Pejabat umum disini diartikan orang yang melayani kepentingan umum atau masyarakat umum berdasarkan undang-undang yang diangkat oleh yang berwenang, yang salah satunya adalah notaris. Dengan demikian maka peraturan-peraturan mengenai pegawai negeri tidak berlaku bagi notaris.

Mengingat beratnya tanggung jawab notaris sebagai seorang pejabat umum yang diangkat dan bekerja untuk kepentingan negara, maka notaris harus terlebih dahulu mengangkat sumpah untuk dapat menjalankan jabatannya dengan sah. Mengenai keharusan untuk mengangkat sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat lain yang di tunjuk, dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 4 Undang-undang Jabatan Notaris.

Notaris yang telah diangkat, tetapi belum mengangkat sumpah tidak dapat menjalankan jabatannya secara sah tetapi tidak berarti bukan notaris. Notaris yang belum mengangkat sumpah tidak berwenang untuk membuat suatu akta yang mempunyai kekuatan otentik.

Akta yang dibuat oleh Notaris sebelum mengangkat sumpahnya hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para


(12)

pihak yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1869 KUHPerdata yang menyatakan

“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak” :11

Mengenai sumpah jabatan notaris diatur pada Pasal 4 butir ke- 2 UUJN, dan mengenai pengangkatan sumpah harus diucapkan sebelum notaris menjalankan tugasnya.

Sehubungan dengan sumpah jabatan notaris, apa yang harus dirahasiakan oleh notaris adalah tidak hanya dengan akta-aktanya tetapi juga semua yang diberitahukan atau disampaikan kepada notaris yang menjalankan jabatannya dalam pembuatan akta tersebut, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam aktanya.

Sebagai Pejabat Umum yang menjalankan jabatan yang dipercayakan undang-undang tersebut, menurut Pasal 1 junto Pasal 15 UUJN, tugas dan pekerjaan notaris adalah sebagai pejabat umum tidak terbatas pada membuat akta otentik tetapi juga ditugaskan melakukan pendaftaran dan mensahkan surat–surat di bawah tangan, memberikan nasehat hukum dan penjelasan undang–undang kepada para pihak yang bersangkutan, membuat akta pendirian dan akta perubahan Perseroan Terbatas dan sebagainya.

Sebagai yang ditugaskan untuk memberikan pengesahan (legalisasi) dan melakukan pendaftaran (waarmerking) surat- surat di bawah tangan dalam buku register, selain notaris,

11


(13)

yang mempunyai kewenangan yang sama untuk itu adalah Ketua Pengadilan Negeri, Walikota, Bupati dan Kepala Kewedanan.12

Dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat, sebagian dari masyarakat kurang menyadari pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan diantara para pihak cukup dilakukan dengan rasa saling kepercayaan dan dibuat secara lisan. terutama pada masyarakat yang masih diliputi oleh adat kebiasaan yang kuat, untuk peristiwa–peristiwa yang penting dibuktikan dengan kesaksian dari beberapa orang saksi, biasanya yang menjadi saksi–saksi untuk peristiwa–peristiwa itu ialah tetangga–tetangga, teman–teman sekampung atau pegawai desa.

Peristiwa–peristiwa itu dapat berupa peristiwa–peristiwa biasa yang sudah inherent dalam kehidupan masyarakat itu, seperti pemberian nama kepada, anak yang baru lahir, tetapi dapat juga merupakan peristiwa yang mempunyai akibat hukum yang penting, umpamanya dalam transaksi jual beli atau sewa menyewa serta mengenai peristiwa penting lainnya dalam lngkungan keluarga, umpamanya pembagian warisan, pengangkatan anak bagi orang yang tidak mempunyai anak sendiri dengan hak untuk mewaris.13

Sesungguhnya di dalam kesaksian dengan mempergunakan beberapa saksi tersebut terdapat kelemahan–kelemahan, apabila terdapat suatu peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya, dalam hal terjadi sengketa antara pihak–pihak yang berkepentingan, maka saksi–saksi itulah yang akan membuktikan kebenarannya dengan memberikan kesaksiannya.

Mengenai kesaksian ini, selama saksi itu masih hidup pada waktu sesuatu peristiwa itu harus dibuktikan kebenarannya, maka tidak akan timbul kesukaran, tetapi apabila saksi– saksi itu sudah tidak ada lagi, baik karena saksi itu sudah meninggal dunia atau sudah pindah

12

A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni Bandung 1984, hlm. 36.

13


(14)

ke tempat lain yang jauh dan tidak diketahui alamat tempat tinggalnya, maka akan timbul kesukaran dalam melakukan pembuktian.

Pada sebagian masyarakat lainnya sudah menyadari dan memahami pentingnya membuat dalam bentuk yang tertulis dari suatu peristiwa penting sebagai alat bukti dengan mencatatnya pada suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh orang–orang yang berkepentingan dengan disaksikan dua orang saksi atau lebih.

Berdasarkan hal tersebut masyarakat menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalulintas hukum, baik dalam arti materinya ialah dengan adanya bukti tertulis, maupun dalam arti formal yang menyangkut kekuatan dari alat pembuktian itu sendiri.

Kewajiban untuk membuktikan ini didasarkan pada Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Berbicara masalah alat bukti, dalam Pasal 284 RBg (Rechtsreglement

Buitengewesten) jo Pasal 1866 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

menyatakan, maka yang disebut bukti, yaitu: 14 a. Bukti Surat

b. Bukti Saksi c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah

14


(15)

Untuk mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan–bahan mengenai fakta–fakta, dengan adanya bahan yang mengenai fakta–fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti.

Keyakinan bahwa sesuatu hal memang benar–benar terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan dapat diterimanya oleh pihak lain akan tidak mempunyai arti. Tidak mempunyai arti dimaksudkan karena bukti dalam ilmu hukum itu hanya menetapkan kebenaran terhadap pihak–pihak yang berperkara saja, sehingga tidak seperti bukti dalam

ilmu pasti yaitu berlaku umum yang berarti menetapkan kebenaran untuk setiap orang dan mutlak

Pembuktian hanya ada apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui pengadilan yang biasa disebut dengan perkara. Bentrokan kepentingan itu dapat diakibatkan karena salah satu pihak ada yang menyangkal tentang sesuatu hak.

Pada asasnya Hukum Acara Perdata menganut bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa, apabila ada suatu perkara apakah perkara tersebut mau diajukan atau tidak ke pengadilan, sepenuhnya diserahkan kepada para pihak dan apabila perkara tersebut telah diajukan ke pengadilan disini hakim wajib memeriksa dan mengadilinya.

Dalam Hukum Acara Perdata untuk memenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan hakim, lain halnya dengan Hukum Acara Pidana dimana hakim setiap akan menjatuhkan suatu keputusan selalu memperhatikan keyakinan hakim, karena dalam hukum acara pidana menganut asas pembuktian materil.


(16)

Alat–alat bukti tersebut dalam proses suatu perkara di Pengadilan semuanya adalah penting, tetapi dalam RBg yang menganut atas pembuktian formal, maka disini tampak bahwa bukti surat yang merupakan alat bukti tertulis merupakan hal yang sangat penting di dalam pembuktian. Kekuatan pembuktian mengenai alat bukti surat ini diserahkan pada kebijaksanaan hakim.

“Di dalam masalah keperdataan sering sekali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisian, dan bukti yang disediakan tadi biasanya berupa tulisan.”15

Di dalam KUHPerdata mengenai alat bukti tulisan ini pengaturannya dapat dilihat dalam pasal 1867-1894, dimana Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan : Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan–tulisan otentik maupun dengan tulisan–tulisan di bawah tangan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka perlu pengkajian lebih dalam untuk membahas masalah kekuatan alat bukti surat, terutama mengenai kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, karena apabila melihat ketentuan dalam buku IV KUHPerdata dan dalam Pasal 1874, 1874a, 1880 disana dinyatakan bahwa surat–surat dimaksud perlu ada legalisasi dari Notaris.

Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengadakan penelitian dan untuk selanjutnya melakukan pengkajian, penganalisaan, dan oleh karena itu penulis mengambil

15


(17)

judul dalam pembuatan tesis ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH DI LEGALISASI DAN WAARMERKING OLEH NOTARIS.”

B. Rumasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk membatasi masalah dengan mengidentifikasinya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kekuatan akta di bawah tangan sebagai alat bukti?

2. Apakah fungsi legalisasi dan waarmerking atas akta yang dibuat di bawah tangan memberikan tambahan kekuatan pembuktian dalam sidang di Pengadilan?

3. Apakah akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dan waarmerking dari Notaris dapat dibatalkan oleh hakim?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kekuatan akta di bawah tangan sebagai alat bukti.

2. Untuk mengetahui dapat tidaknya fungsi legalisasi dan waarmerking atas akta yang dibuat di bawah tangan memberikan tambahan kekuatan pembuktian dalam sidang di Pengadilan.

3. Untuk mengetahui dapat tidaknya akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dan waarmerking dari Notaris dibatalkan oleh hakim.


(18)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis:

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya, terutama tentang kewewenang notaris atas legalisasi dan waarmerking terhadap akta di bawah tangan .

2. Manfaat Praktis:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kelangan praktisi dalam menangani suatu perkara dalam suatu pemeriksaan mengenai bukti–bukti terutama mengenai bukti surat, juga memberikan masukan kepada masyarakat mengenai sejauh mana peranan notaris dalam legalisasi dan waarmerking akta–akta di bawah tangan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa tesis dengan judul: “Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi dan Waarmerking Oleh Notaris”, ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(19)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia telah dikodratkan untuk saling berhubungan, hal ini telah terbukti bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini, setiap manusia selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dan berhubungan dengan sesama manusia lainnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat seorang ahli pikir Yunani yaitu Aristoteles yang menyatakan:

“manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.” 16

Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah.

Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu berbeda tingkatannya, misalnya hubungan suami isteri dalam rumah tangga, keluarga, suku bangsa, bahkan hubungan tersebut kerap terjadi dalam bentuk kerjasama antara golongan yang satu dan yang lainnya.

16

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.29


(20)

Salah satu bentuk hubungan untuk mencapai kebutuhannya tersebut antara pihak yang satu dengan yang lainnya seringkali mengadakan perjanjian–perjanjian, apakah itu perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian perkawinan dan sebagainya.

Dalam hubungannya tersebut diatas ada pihak–pihak diantaranya yang lebih menyukai dengan dasar kepercayaan dan ada juga yang lebih menyukai dengan menggunakan bukti–bukti secara tertulis, karena para pihak berpendapat, bahwa bukti tertulis ini dapat dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari apabila timbul perselisihan, lain halnya dengan yang hanya berdasarkan kepercayaan saja, pihak–pihak yang seperti ini tidak mempunyai bukti tertulis hal ini sebenarnya dapat menyulitkan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

“Dinamika kehidupan sosial masyarakat menuntut untuk berinteraksi, interaksi yang terjadi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik-konflik sehingga memerlukan jalan keluar untuk mengakhirinya. Biasanya apabila konflik tersebut tidak bisa diselesaikan oleh para pihak, maka mereka akan menggunakan jalur peradilan.”17

Untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka perjanjian tersebut harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

17


(21)

Apabila syarat subyektif dan syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan. Hukum perjanjian ini menganut sistem terbuka yaitu setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang–undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Seseorang dikatakan telah melakukan wanprestasi artinya ia tidak memenuhi kewajibannya sama sekali, memenuhi kewajiban secara tidak sempurna atau tidak tepat waktu, memenuhi kewajiban secara tidak sempurna atau tidak tepat waktu, memenuhi kewajibannya secara keliru atau tidak baik.

Untuk dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan, baik kesalahan yang dapat diukur secara objektif dan subjektif.

Secara obyektif harus dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara subyektif harus meneliti, apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari


(22)

perbuatannya, dan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Untuk mengetahui adanya suatu perbuatan melawan hukum ini, beban pembuktian tidak hanya harus didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, tetapi juga bahwa perbuatan tersebut harus dapat dibuktikan dengan melihat pada isi dari perjanjian tertulis yang dibuat oleh pihak–pihak yang bersangkutan sebagai alat bukti. Ini berarti bahwa surat atau akta berfungsi sebagai syarat atas keabsahan suatu tindakan hukum dan apabila suatu perbuatan hukum tidak dilakukan dengan surat atau akta maka oleh hukum dianggap tidak sah

Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu, semua alat bukti adalah penting, tetapi alat bukti surat sangat penting dan paling utama di dalam pembuktian.

Hal ini sesuai dengan bentuk surat atau akta yang didalam perkara perdata memegang peranan yang sangat penting dimana semua kegiatan yang menyangkut bidang keperdataan sengaja dicatat atau dituliskan dalam suatu surat atau akta. Setiap transaksi baik jual beli, sewa menyewa, penghibahan, pengangkutan, asuransi, kelahiran, perkawinan dan kematian sengaja dibuat dalam bentuk tertulis untuk kepentingan pembuktian guna memastikan bahwa suatu peristiwa hukum telah terjadi.

Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa:

“Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.” 18:

18


(23)

Dalam hal yang sama I. Rubini menyatakan “ Surat adalah suatu benda (Bisa kertas, kayu, daun lontar) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat).” 19

Rumusan tersebut diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat berupa: 1. Surat yang bukan merupakan akta,

Di dalam Pasal 1881 ayat (1) sub 1 dan 2, Pasal 1883 KUHPerdata telah diatur secara khusus beberapa surat dibawah tangan yang bukan akta yaitu yang berupa:

a. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah diterima;

b. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan didalam suatu alas hak bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan;

c. Catatan-catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulisnya itu merupakan suau pembebasan terhadap debitur;

19


(24)

d. Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda pembayaran asal saja salinan atau tanda pembeyarannya itu berada dalam tangannya debitur.

2. Surat yang berupa akta

Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.20 Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan.

Pasal 108 KUHPerdata menyebutkan:

“Seorang istri,biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya.”

R. Subekti menyatakan kata “akta” pada pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan.21

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

20

R.Subekti dan Tirtosudibio, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta 1980, hlm.9

21


(25)

“Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan tentang kejadian–kejadian atau hal–hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum....”22

“Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti, apabila kemudian dijadikan bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan saja. Berbeda dengan surat biasa, sehelai akta dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti.”23

Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta sebagai berikut: “ Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa–peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.” 24

Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan : pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan–tulisan otentik maupun dengan tulisan–tulisan di bawah tangan.

Menurut bentuknya akta dibagi dalam 2 (dua) bentuk yaitu: a. Akta Otentik

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang–undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai–pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.

22

R. Tresna, Op.cit, hlm. 142.

23

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,

1989, hlm. 57. 24


(26)

Pegawai umum yang dimaksud disini ialah pegawai–pegawai yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya notaris, panitera jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.

Pasal 1 butir ke-7 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa “akta” adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.

“Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan. Akta otentik yang memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan apa yang dilakukannya dan yang dilihat dihadapannya.”25

“Akta otentik dapat juga berarti surat yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.”26

Dengan demikian suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (ten overstaan) seorang pejabat

umum;

2. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

3. pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Adapun akta otentik terbagi atas dua macam yaitu :

25

Victor M. Situmorang dan Cormentyana Sitanggang, Grosee Akta Dalam Pembuktian Dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 115.

26


(27)

1. Akta relaas atau akta pejabat yaitu akta yang dibuat oleh notaris yang menguraikan secara otentik suatu keadaan yang dilihat atau yang disaksikan oleh notaris itu sendiri, dibuat catatannya (aktanya) dan dalam hal ini notaris dalam membuat akta ditekankan pada jabatannya.

2. Akta partij yaitu akta yang dibuat dihadapan notaris, notaris hanya menuangan apa yang diceritakan dan dikehendaki oleh para pihak kedalam aktanya.

Perbedaan diantara kedua golongan akta ini dapat dilihat dalam bentuk

akta-akta itu. Dalam akta partij dengan diancam akan kehilangan otensitasnya atau dikenakan denda, harus ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya, keterangan tersebut harus dicantumkan oleh notaris dalam akta itu dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tanda tangan (surrogaat tanda tangan). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka akta partij penandatanganannya oleh para pihak merupakan suatu keharusan. Untuk akta relass tidak menjadi soal, apakah orang-orang yang hadir tersebut

menolak untuk menandatangani akta itu. Misalnya dalam hal pembuatan berita acara rapat para pemegang saham dalam perseroan terbatas dimana orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup notaris menerangkan didalam akta, bahwa para yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik.

Pasal 165 HIR/285 RBg menyebutkan definisi tentang akta otentik sebagai suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum


(28)

dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu.27 b. Akta Dibawah Tangan.

Berdasarkan bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang bunyinya telah disebutkan terlebih dahulu, menurut Effendi Peranginangin akta yang tidak dibuat secara demikian merupakan akta dibawah tangan yang dibuat oleh yang bersangkutan sendiri tanpa campur tangan pejabat umum.28

Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg merumuskan akta di bawah tangan sebagai yang memenuhi unsur-unsur berikut:

1. tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;

2. tidak dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (pejabat umum) tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak,

3. secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat, seperti register-register,surat-surat urusan rumah tangga dan lain lain.

Akta dibawah tangan memuat pernyataan atau maksud para pihak dengan sepakat untuk menyatakan bahwa diantara mereka telah terjadi suatu perbuatan hukum dengan cara menuliskannya atau menuangkannya dalam suatu catatan sebagai bentuk pernyataan lisan mereka. Berbeda dengan akta otentik, akta dibawah tangan ini tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat umum tetapi dibuat oleh yang berkepentingan untuk dijadikan sebagai alat bukti.

27

Retnowulan Sutantio, Loc. cit, hlm. 58.

28

Effeindi Perangin Angin, Kumpulan Kuliah Pembuatan Akta I, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1991, hlm. 64.


(29)

Hal ini berarti bila para pihak mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam perjanjian itu maka akta dibawah tangan itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta resmi, akan tetapi bila tanda tangan itu disangkal maka pihak yang mengajukan surat perjanjian itu diwajibkan untuk membuktikan kebenaran tentang penandatanganan atau isi akta itu.

Agar pada akta dibawah tangan melekat kekuatan pembuktian harus memenuhi syarat formil dan materil yang mencakup ketentuan:29

a. dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak) tanpa campur tangan pejabat yang berwenang;

b. ditandatangani pembuat atau para pihak yang membuatnya; c. isi dan tandatangan diakui.

Jika syarat tersebut diatas dipenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata dan Pasal 288 RBg, maka :

1. nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik,

2. nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya sempurna dan mengikat.

Akta dibawah tangan yang sudah memenuhi syarat formil dan materil selain memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, juga mempunyai minimal pembuktian “mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain dan dengan demikian pada dirinya sendiri terpenuhi batas minimal pembuktian”.

Akan tetapi terhadap akta dibawah tangan terdapat dua faktor yang dapat mengubah dan mengurangi nilai minimal kekuatan pembuktian yaitu apabila “Terhadapnya diajukan bukti lawan atau isi dan tandatangan diingkari atau tidak diakui pihak lawan”.30

29

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ke- 4, Sinar Grafika, Jakarta,2006, hlm. 546.

30


(30)

Dengan demikian jika terhadap akta di bawah tangan diajukan bukti lawan atau isi dan tandatangan tidak diakui lawan maka nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta dibawah tangan, semata-mata hanya dapat menjadi bukti permulaan tulisan sedangkan batas minimal pembuktiannya sendiri berubah menjadi alat bukti yang berdiri sendiri yang membutuhkan tambahan alat bukti yang lain.

Akta di bawah tangan sebagai permulaan bukti tertulis dalam undang-undang tidak dijelaskan. Di dalam Pasal 1902 KUHPerdata ditemukan syarat-syarat bilamana terdapat permulaan bukti tertulis yaitu sebagai berikut:

1. Harus ada akta;

2. Akta itu harus dibuat oleh orang yang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang mewakilinya;

3. Akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Adapun fungsi akta di bawah tangan adalah sebagai berikut:

a. sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan (formalitas causa); b. sebagai alat pembuktian (probationis causa);

c. selain memiliki fungsi sebagaimana tersebut diatas, akta di bawah tangan juga memiliki kekuatan pembuktian.

Karena di dalam akta di bawah tangan itu, selain tandatangan juga terdapat tanggal maka tentang tanggal ini terdapat ketentuan dalam pasal 1880 KUHPerdata bahwa terhadap pihak ketiga tanggal itu baru dapat diterima sebagai benar mulai:

1) tanggal akta itu diresmikan ( notaris, pejabat lainnya menurut undang-undang).

2) Tanggal dimana yang memberi tandatangan itu meninggal. 3) Tanggal dari akta lain yang menyebut akta itu.


(31)

4) Tanggal dimana pihak ketiga mengakui adanya akta tadi. 31

Oleh karena pembuktian dengan suatu akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh undang-undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu. Begitu pula dapat dimengerti mengapa undang-undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting mengharuskan suatu akte. Misalnya perjanjian perkawinan , pemberian (shenking) benda-benda yang tertulis atas nama, perjanjian hipotik, pendirian perseroan firma atau perseroan Terbatas. 32

Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan tidak tahu atau kurang jelas tentang hukumnya, dalam hal ini hakim dianggap sudah mengetahui peraturan–peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis, hakim diwajibkan untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai–nilai yang hidup dalam masyarakat

Tugas hakim dalam memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya harus memperhatikan dan melindungi kepentingan–kepentingan para pihak yang berperkara. Hal ini berarti bahwa kepentingan suatu pihak yang berperkara tidak boleh dirugikan oleh pihak yang lain dan sebaliknya.

Dalam menjalankan tugasnya tersebut Hakim tidak boleh begitu saja memberikan kepada salah satu pihak suatu kewajiban pembuktian, karena apabila dengan tanpa pertimbangan yang sungguh–sungguh memberikan suatu kewajiban untuk membuktikan sesuatu hal kepada satu pihak yang berperkara akan dapat menimbulkan kerugian pada pihak yang dibebani tersebut.

31

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 202

32


(32)

Dalam hal pembuktian apabila salah satu pihak diberi kewajiban untuk membuktikan sesuatu hal ternyata tidak dapat membuktikan, maka pihak yang tidak dapat membuktikan itu dikalahkan. Hal ini untuk menjamin para pihak yang berper kara untuk tidak dirugikan.

Suatu pihak tidak selalu dapat membuktikan sesuatu yang benar, dan dimungkinkan seseorang membuktikan sesuatu yang tidak benar, maka masalah beban pembuktian dalam sidang di Pengadilan akan menentukan jalannya sidang dan sekaligus menentukan hasil perkara.

Berdasarkan hal tersebut maka yang dimaksud dengan masalah beban pembuktian adalah masalah yang dapat menentukan jalannya pemeriksaan perkara dan menentukan hasil perkara, yang pembuktiannya itu harus dilakukan oleh para pihak dengan jalan mengajukan alat–alat bukti dan hakimlah yang akan menetukan pihak mana yang harus membuktikan serta kebenaran yang mana yang menjadi dasar untuk mengambil putusan akhir.

Beban pembuktian diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 283 RBg. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang mendalilkan sesuatu hak atau kejadian untuk meneguhkan haknya itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Ketentuan tersebut diatas tidak mutlak digunakan oleh hakim dalam menentukan beban pembuktian karena pada suatu kondisi yang nyata dan konkrit tidak hanya pada salah satu pihak saja yang harus membuktikan, melainkan kedua belah pihak harus pula mempunyai alasan–alasannya.


(33)

Suatu akta dapat mempunyai beberapa fungsi yang tergabung menjadi satu didalamnya, yaitu disamping menyatakan adanya suatu perbuatan hukum juga sekaligus mempunyai fungsi sebagai alat pembuktian dan sebaliknya.

Suatu akta yang berfungsi untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum mengandung pengertian dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak pernah terjadi. Contohnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 613 (tentang penyerahan piutang atas nama), Pasal 1682, 1683, 1892 (tentang cara menghibahkan), Pasal 1945 KUHPerdata (tentang sumpah dimuka hakim) untuk akta otentik; sedangkan untuk akta dibawah tangan seperti halnya dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal 1767 (tentang meminjamkan uang dengan bunga), Pasal 1851 KUHPerdata (tentang perdamaian).

Fungsi akta sebagai alat pembuktian misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1548 KUHPerdata (tentang perjanjian sewa menyewa), Pasal 258 KUHDagang (tentang asuransi). Perbuatan hukum disini sebenarnya sudah sah dengan adanya kata sepakat antara para pihak yang berkepentingan, tetapi para pihak membuatnya dalam bentuk akta yang dimaksudkan untuk alat pembuktian dikemudian hari.

Seperti telah disinggung diatas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat pembuktian, maka daya pembuktian akta dapat dibedakan sebagai berikut :33

1. Kekuatan pembuktian lahir (pihak ketiga)

Kekuatan pembuktian lahir dari akta yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, bahwa suatu akta yang kelihatannya seperti akta, diterima/ dianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta, sepanjang tidak terbukti kebalikannya.

33


(34)

2. Kekuatan pembuktian formal

Kekuatan pembuktian formal dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa oleh penandatangan akta diterangkan apa yang tercantum di dalam akta

3. Kekuatan pembuktian material

Kekuatan pembuktian material akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi.

Mengenai bukti surat yang diajukan dalam sidang pengadilan, Buku IV KUHPerdata terutama Pasal 1874, 1874a,1880 KUHPerdata disana dinyatakan bahwa surat–surat yang dimaksud perlu ada legalisasi dan waarmerking dari notaris.

Tugas dan pekerjaan dari seorang notaris tidak hanya membuat akta otentik tetapi juga melakukan pendaftaran dan mensahkan akta-akta yang dibuat dibawah tangan (Legalisasi dan Waarmerking), memberikan nasehat hukum dan penjelasan undang-undang kepada para pihak yang membuatnya dan membuat akta pendirian dan perubahan Perseroan Terbatas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah tangan yang dibacakan oleh notaris dan ditanda tangani oleh penghadap dimuka notaris pada waktu itu juga untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Dimana para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya itu di kenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris.

Pada waarmerking atau pendaftaran akta tersebut terlebih dahulu telah ditanda

tangani atau dibubuhi cap ibu jari oleh penghadap di luar hadirnya atau tanpa sepengetahuan notaris. Notaris tidak mengetahui kapan akta itu ditanda tangani dan siapa yang menandatanganinya. Jadi tidak ada kepastian tentang tanggal dan tanda tangan. Para pihak


(35)

sendiri yang menetapkan isi dan menandatangani akta yang bersangkutan sedang notaris hanya membuat nomor pendaftarannya saja dalam buku daftar waarmerking.

Mengenai legalisasi Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan :

“Sebagai tulisan–tulisan dibawah tangan dianggap akta–akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat–surat, register–register, surat–surat

urusan rumah tangga dan lain–lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seoarang pegawai umum.

Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang–undang dimana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai umum. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut

Dengan undang–undang dapat diadakan aturan–aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.”

Yang dimaksud dengan legalisasi dan waarmerking disini adalah :

1. Legalisasi adalah pengesahan dari surat–surat yang dibuat dibawah tangan dalam mana semua pihak yang membuat surat tersebut datang dihadapan notaris, dan notaris membacakan dan menjelaskan isi surat tersebut untuk selanjutnya surat tersebut diberi tanggal dan ditandatagani oleh para pihak dan akhirnya baru dilegalisasi oleh notaris.

2. Waarmerking adalah pendaftaran dengan membubuhkan cap dan kemudian

mendaftarnya dalam buku pendaftaran yang disediakan untuk itu.34

Terhadap Surat di bawah tangan yang dilegalisasi oleh notaris, maka notaris bertanggung jawab atas 4 (empat) hal: 35

a. Identitas

-Notaris berkewajiban meneliti identitas pihak-pihak yang akan

menandatangani surat/ akta di bawah tangan (KTP,Paspor, SIM), atau diperkenalkan oleh orang lain.

-meneliti apakah cakap untuk melakukan perbuatan hukum

-meneliti apakah pihak-pihak yang berwenang yang menandatangani

34

Ida Rosida Suryana, Serba-serbi Jabatan Notaris, Univrsitas Padjajaran, Bandung, 1999, hlm. 19 35


(36)

surat/akta b. Isi Akta

Notaris wajib membacakan isi akta kepada pihak-pihak dan menanyakan apakah benar isi akta yang demikian yang dikehendaki pihak-pihak.

c. Tandatangan

Mereka harus menandatangani di hadapan notaris d. Tanggal

Membubuhi tanggal pada akta di bawah tangan tersebut keudian dibukukan ke buku daftar yang telah disediakan untuk itu.”

Adapun tujuan dari legalisasi atau waarmerking atas penandatanganan akta dibawah tangan adalah: 36

1) Agar terdapat kepastian atas kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta, dan juga kepastian atas kebenaran bahwa tanda tangan itu adalah benar sebagai tanda tangan para pihak;

2) Dengan demikian, para pihak pada dasarnya tidak leluasa lagi untuk mengingkari tanda tangan yang terdapat pada akta.”

Mengenai kewenangan untuk melegalisir dan me-waarmerking, Ordonantie Staatblad 1916 nomor 46 jo nomor 43 menyatakan:

Pasal 1 : Selain Notaris, juga ditunjuk untuk melegalisir dan

mewarmerking akta dibawah tangan adalah Bupati, Ketua Pengadilan

Negeri dan Walikota.

Pasal 2 ayat 2 : Akta dibawah tangan yang tidak dilegalisir bila mau dijadikan bukti di Pengadilan, bisa di waarmerking oleh notaris dengan dibubuhi perkataan “ditandai” dan ditandatangani oleh notaris dan menyebutkan pula hari, bulan, sewaktu di waarmerking

36


(37)

Dalam Pasal 3 Staatblad 1916 nomor 46 disebutkan suatu pengaturan tentang register

yang harus diadakan untuk mencatat akta-akta di bawah tangan itu, antara lain menentukan bahwa pembukuan dalam register itu memuat, antara lain :37

a. Nomor dan tanggal pembukuan;

b. Nama orang yang membubuhi tanda tangan atau cap jari pada akta; c. Tanggal isi singkat pada akta.

Secara ilmiah maksud dan tujuan (streking) tindakan penandatanganan suatu fakta hukum (rechtfeit), yaitu:

“suatu pernyataan kemauan pembuat tandatangan (penandatanganan) bahwa ia dengan menandatangananinya dibawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.” 38

Dalam praktek sering ditemukan surat–surat di bawah tangan yang dikuatkan oleh pejabat yang tidak berwenang untuk itu misalnya Lurah. Dimana dalam perjanjian jual beli rumah dan tanah misalnya, masyarakat sering meminta lurah untuk memberikan penguatan sebagai yang “mengetahui” terhadap perjanjian mereka tersebut yang dilakukan dengan akta dibawah tangan. Kata “mengetahui”, di cap dan di tandatangani oleh RT, RW, Lurah dan Camat dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai legalisasi. “walaupun sejak Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 ditentukan bahwa jual beli tanah harus dilakukan dengan akta pejabat pembuat akta tanah”.39

37

R. Soegondo Notodisoerjo, Op cit, hlm 205

38

Tan Thong Kie, Studi Notariat Praktek Notaris Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,

2000,hlm.188. 39


(38)

Legalisasi yang diperbuatnya itu tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang– undang, bahkan sering juga oleh pejabat tertentu dilegalisir surat dibawah tangan yang tanggal penandatangannya oleh yang bersangkutan jauh sebelum tanggal dilakukan legalisasi, hal ini jelas tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari legalisasi karena legalisasi ditandatangani sesuai hari pembuatan surat tersebut, dihadapan notaris atau pengadilan.

Di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan para pejabat, terdapat pengertian yang salah mengenai arti dari legalisasi ini. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa dengan dilegalisasinya surat di bawah tangan itu, surat itu memperoleh kedudukan sebagai akta otentik, dengan lain perkataan surat itu dianggap seolah–olah dibuat oleh atau dihadapan notaris, padahal pejabat umum dimaksud hanyalah menjamin mengenai tanggal dan tandatangan dari para pihak yang bersangkutan atas dasar kesepakatan para pihak itu sendiri.

Kepastian tanda tangan artinya pasti bahwa yang tanda tangan itu memang pihak dalam perjanjian, bukan orang lain. Dikatakan demikian karena yang melegalisasi surat itu disyaratkan harus mengenal orang yang menandatangan tersebut dengan cara melihat tanda pengenalnya seperti Kartu Tanda Penduduk dan lain-lain. Jika yang melegalisasi kenal benar orangnya, maka barulah mereka itu membubuhkan tandatangannya dihadapan yang melegalisasi pada saat, hari dan tanggal itu juga.

Adapun letak perbedaan antara waarmerking dan legalisasi ialah bahwa: 40

“Waarmerking hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian

tanda tangan sedangkan pada legalisasi tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi, sedangkan untuk waarmerking, pada saat di- waarmerking, surat itu sudah ditandatangani oleh yang bersangkutan. Jadi yang memberikan waarmerking tidak mengetahui dan karena itu tidak mengesahkan tentang tanda tangannya.”

40


(39)

G. METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif.41 dimana pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji peraturan-peraturan yang ada dan mengimplementasikan dalam praktek di lapangan, serta

literatur-literatur yang berhubungan dengan kekuatan pembuktian akte di bawah tangan yang telah di legalisasi dan waarmerking oleh notaris.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu untuk menggambarkan dan menganalisis masalah–masalah yang akan dikemukakan.42

2. Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul penelitian tesis ini, maka lokasi penelitian adalah pada beberapa kantor Notaris dan Pengadilan Negeri Simalungun

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data:

1. Data primer bersumber dari penelitian yang diperoleh dari nara sumber dalam penelitian lapangan (field research).

2. Data Sekunder yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library research) yang berupa:

41

Pada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan dasar yang digolongkan sebagai data

sekunder yang : a) ada dalam keadaan siap terbuat, b) bentuk dan isinya telah disusun oleh peneliti-peneliti terdahulu, c) dapat diperoleh tanpa terikat waktu atau tempat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi Pertama, cetakan ke 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.37

42

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematik, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu, Bambang Sunggono, Metodolaogi Pengetahuan Hukum, Cetakan ke 3 Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.36, Sunarti Hartono,Penelitian hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, Alumni, Bandung, hlm.101


(40)

a) Bahan-bahan hukum primer, yaitu berhubungan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan yang berkaitan dengan Jabatan Notaris

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi dan media informasi lainnya.

c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus umum, kamus hukum dan jurnal.43

b. Alat Pengumpulan Data

1. Studi dokumen yaitu mempelajari dan menganalisa bahan pustaka 2. Wawancara langsung melalui narasumber yang dapat dipercaya

4. Analisa Data

“Analisa data adalah sebuah proses yang mengatur urutan data, yang mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar”.44 Setelah data primer dan data sekunder diperoleh kemudian disusun secara berturut dan secara sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif.

43

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op cit hlm.14-15 44


(41)

(42)

BAB II

KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum

Notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya tertuang dalam bunyi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004.

Selanjutnya semua akta otentik yang merupakan kewenangan Notaris disebutkan dalam pasal 15 UUJN yakni:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

Dipergunakannya perkataan berwenang dalam Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris diperlukan berhubung dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata


(43)

yang menyatakan:“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang–undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai–pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” :1

Berdasarkan hal tersebut maka untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum.

Di Indonesia seorang Advokat, meskipun merupakan orang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik karena seorang advokat tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun bukan ahli hukum berhak membuat akta otentik untuk hal-hal tertentu, misalnya: membuat akta kelahiran, akta perkawinan dan akta kematian.

Dalam Pasal 1 UUJN ditegaskan bahwa Notaris adalah satu–satunya yang mempunyai wewenang umum, tidak turut pejabat lainnya. Pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu artinya wewenang tersebut tidak meliputi lebih dari pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada pejabat yang bersangkutan oleh undang–undang.

Pengertian pejabat umum dimaksud bukan merupakan pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok– pokok kepegawaian. Pejabat umum disini diartikan sebagai orang yang melayani kepentingan umum atau masyarakat umum berdasarkan undang–undang yang diangkat oleh yang berwenang, yang salah satunya adalah notaris.

Berdasarkan hal tersebut maka peraturan–peraturan mengenai pegawai negeri tidak berlaku bagi notaris dan segala sesuatu diatur dalam peraturan tersendiri sehingga notaris tidak pensiun dan tidak ada suatu hubungan kerja dengan pemerintah, baik yang

1


(44)

diatur dalam perundang–undangan pegawai negeri maupun yang diatur dalam perundang– undangan perburuhan.

Kebanyakan para ahli berpendapat bahwa wewenang dari notaris untuk membuat akta–akta dibatasi oleh ketentuan–ketentuan yang tersebut dalam Pasal 1 butir 1 jo Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris, hanya beberapa orang ahli saja yang berpendapat lain antara lain Colenbrander.

Colenbrander menyatakan sebagai berikut :

Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semuanya yang ia alami dalam suatu akta. Demikianlah ia membuat berita acara dari pada apa yang dibicarakan dalam rapat pemegang saham, yang dihadiri atas permintaan pengurus perseroan, atau tentang jalannya pelelangan yang dilakukannya atas permintaan pengurus perseroan, atau tentang jalannya pelelangan yang dilakukan atas permintaan penjual. Demikianlah ia menyaksikan (constateert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya. 2

Pendapat tersebut diatas meskipun merupakan pendapat minoritas para ahli tetapi dalam praktek notariat di Indonesia justru hal inilah yang terjadi sehingga seorang notaris dapat dikatakan membuat semua akta otentik dari segala hal dalam hukum perdata yang memerlukan pembuktian, dengan tidak dibatasi oleh ketentuan–ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris.

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak hanya tindakan–tindakan hukum saja yang dibuat dalam akta otentik tetapi juga tindakan–tindakan nyata yang tidak semata–mata termasuk dalam tindakan hukum, sehingga tidak langsung menimbulkan akibat hukum. Misalnya : Protes–protes mengenai wesel (Pasal 182 KUHDagang), baik Protes non

betaling (tidak dilakukannya pembayaran), maupun Protes non acceptatie (tidak

dilakukannya akseptasi).

2


(45)

Pasal 1 UUJN meskipun menyebutkan hal yang merupakan wewenang dan kewajiban notaris, dan merupakan definisi dari apa yang disebut dengan notaris, tetapi tidak menyebutkan dengan sempurna seluruh wewenang dan kewajibannya.

Tugas dan pekerjaan dari seorang notaris tidak hanya membuat akta otentik, tetapi juga melakukan pendaftaran dan mensahkan akta–akta yang dibuat di bawah tangan (legalisasi dan waarmerking), memberikan nasehat hukum dan penjelasan undang– undang kepada para pihak yang membuatnya dan membuat akta pendirian dan akta perubahan perseroan terbatas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris.

Menurut ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris, notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, dan dalam Pasal 8 butir b Undang- Undang dimaksud menyatakan notaris diberhentikan dengan hormat, apabila telah mencapai umur 65 (enampuluh lima tahun) Tahun.

Pemberhentian dengan hormat bukan atas permintaan dari notaris sendiri hanya diberikan setelah terlebih dahulu mendengar pertimbangan Mahkamah Agung.

Inti dari tugas notaris ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan– hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa–jasa notaris, yang pada asasnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberi putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa.

Adapun syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris menurut Pasal 3 UUJN adalah sebagai berikut:


(46)

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berumur paling sedikit 27 ( duapuluh tujuh) tahun; d. Sehat jasmani dan rohani;

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (duabelas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.

Barbeda pada Peraturan Jabatan notaris yang tidak mengatur adanya magang maka ketentuan butir f dalam pasal 3 UUJN tersebut diatas menetapkan syarat yang mengharuskan adanya magang (werkstage).

Persyaratan untuk terlebih dahulu menjalani suatu masa magang selama 1 (satu) tahun sebelum sesorang dapat diangkat sebagai notaris adalah penting, karena selama masa magang itulah seorang notaris dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan praktis yang sangat dibutuhkan dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris.

Dalam era globalisasi, otonomi daerah, perdagangan bebas sekarang ini, diperlukan para notaris yang berkualitas baik dalam ilmu maupun iman yang menjunjung tinggi keluhuran martabat notaris dalam memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat, maka UUJN memenuhi ketentuan-ketentuan yang mengatur kenotarisan


(47)

yang meliputi penentuan formasi, pengangkatan, perpindahan, pembinaan, pemberhentian notaris, notaris pengganti dan wakil notaris sementara.

3. Sumpah Jabatan Notaris

Mengingat beratnya tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan bekerja untuk kepantingan negara, maka notaris haruslah terlebih dahulu mengangkat sumpah untuk dapat menjalankan jabatannya dengan sah.

Mengenai keharusan untuk mengangkat sumpah atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk dengan tegas telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris.

Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi para notaris tetapi juga berdasarkan Pasal 34 butir ke 3, kewajiban mengangkat sumpah juga berlaku terhadap notaris pengganti khusus.

Notaris yang telah diangkat, tetapi belum mengangkat sumpah, tidak dapat menjalankan jabatannya secara sah, tetapi tidak berarti bukan notaris. Notaris yang belum mengangkat sumpah tidak berwenang untuk membuat suatu akta yang mempunyai kekuatan otentik melainkan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1869 KUHPerdata.

Sumpah jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 4 butir ke 2 Undang-Undang Jabatan Notaris yang berbunyi :


(48)

bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Repoblik Indonesia, Pancasila dan Undang Dasar Negara Repoblik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.. Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak..

Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.

Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.“

Isi sumpah jabatan notaris dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

1. Belovende eed yaitu notaris bersumpah akan patuh setia kepada Negara Republik Indonesia dan Undang–undang dasarnya serta menghormati semua pembesar–pembesar hakim pengadilan dan pembesar–pembesar lainnya. Dinamakan juga politieke eed.

2. Zuiveringseed yaitu notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti– telitinya semua peraturan–peraturan jabatan notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapat– rapatnya isi akta–akta selaras dengan ketentuan–ketentuan peraturan– peraturan itu. Sumpah ini dinamakan juga beroepseed (sumpah jabatan). 3

Sehubungan dengan sumpah jabatan notaris, apa yang harus dirahasiakan oleh notaris adalah tidak hanya dengan akta–aktanya tetapi juga semua yang diberitahukan atau disampaikan kepada notaris yang menjalankan jabatannya dalam pembuatan akta

3


(49)

tersebut, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam aktanya sebab jabatan yang dipangku oleh seorang notaris adalah jabatan kepercayaan.

4. Hak Ingkar dari Notaris

Mengenai hak ingkar (vershoningsrecht) ini diatur dalam Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 174 ayat 3 RBg

Pasal 1909 KUH.Perdata mewajibkan setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan.

Ketentuan-ketentuan ini tidak berlaku terhadap orang, yang berdasarkan ketentuan– ketentuan perundang–undangan tidak diperbolehkan untuk berbicara, dan juga tidak berlaku terhadap orang, yang berdasarkan Pasal 1909 ayat 2 KUH.Perdata dan Pasal 174 RBg yang disebut diatas, dapat mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningsrecht)

Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan umum yang disebut tadi, yakni bahwa setiap orang yang dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian.

Hak ingkar menurut pasal 174 RBg dan Pasal 1909 ayat 3 KUHPerdata yaitu hak untuk mengundurkan diri dari memberikan kesaksian di muka pengadilan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.

Menurut Van Bemmelen ada tiga dasar untuk dapat menuntut penggunaan hak ingkar ini, yaitu :

“ 1. Hubungan keluarga yang sangat dekat;

2. Bahaya dikenakan hukuman pidana (gevaar voor strafrechtelijke


(50)

3. Kedudukan–pekerjaan dan rahasia jabatan.” 4

Dalam praktek para notaris sering mendapat perlakuan yang kurang wajar dalam hubungannya dengan hak ingkar ini, apabila seorang notaris dipanggil untuk diminta keterangannya mengenai suatu hal atau dipanggil sebagai saksi dalam hubungannya dengan suatu perjanjian yang dibuat dengan akta di hadapan notaris yang bersangkutan.

Bagi pihak–pihak tertentu, apakah itu oleh karena disengaja atau karena tidak mengetahui tentang adanya peraturan perundang–undangan mengenai itu, seolah–olah dianggap tidak ada rahasia jabatan notaris, dan tidak ada hak ingkar dari notaris.

Dasar untuk hak ingkar bagi jabatan–jabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat. Sebagian pakar berpendapat, bahwa hak ingkar ini hanya bagi kepentingan individu dan bukan kepentingan masyarakat umum, sehingga pihak tersebut menganggap tidak ada gunanya hak ingkar ini.

Pendapat tersebut tidak benar dan tidak dapat diterima, karena dibalik kepentingan individu ini terdapat kepentingan masyarakat, dan peraturan atau undang– undang tidaklah dibuat hanya untuk dan bagi kepentingan individu, akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Hak ingkar notaris didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris, dimana notaris tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan kesaksian, sepanjang yang menyangkut isi akta–aktanya.

Sumpah Jabatan Notaris, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 butir ke-2 Undang-Undang Jabatan Notaris, mewajibkan notaris untuk tidak bicara sekalipun di muka pengadilan artinya notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya.

4


(51)

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka hak ingkar yang diberikan oleh undang– undang bagi notaris merupakan hak untuk tidak bicara, tetapi hal ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada pengecualian terhadap ketentuan–ketentuan terhadap Pasal tersebut.

Kewajiban untuk tidak berbicara bagi notaris dikesampingkan dalam hal terdapat kepentingan–kepentingan yang lebih tinggi, yang mengharuskan notaris memberikan kesaksian atau karena perturan perundang–undangan yang berlaku membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.

Notaris wajib untuk merahasiakan tidak hanya apa yang tercantum dalam akta, tetapi juga semua yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, meskipun tidak dicantumkan dalam akta tersebut.

B. Syarat-Syarat Otensitas Suatu Akta

Wewenang utama Notaris adalah untuk membuat akta otentik. Otetnsitas dari akta Notaris bersumber dari Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris dimana Notaris dijadikan sebagai pejabat umum sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

Seorang Notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah hukum tersebut berwenang. Suatu akta yang dibuat oleh Notaris di luar daerah hukumnya (daerah jabatannya) adalah tidak sah.

Wewenang Notaris meliputi 4 hal, yaitu.


(52)

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. 5 Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta adalah otentik apabila sudah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

Dalam hubungannya dengan akta–akta notaris yang dibuat mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan, peraturan jabatan notaris harus menjadikan notaris sebagai pejabat umum

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang akta yang bersangkutan kehilangan otensitasnya, apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, sehingga akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta–akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang– undangan.

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang. Dalam Pasal 53 Undang-Undang Jabatan Notaris misalnya ditentukan, bahwa akta

5


(53)

notaris tidak boleh membuat akta yang memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan keuntungan bagi:

a. notaris sendiri, isteri atau suami notaris; b. saksi, istri atau suami saksi: atau

c. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.

Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan oleh notaris.

Notaris tidak boleh membuat akta selama cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga notaris tidak boleh membuat akta sebelum memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya).

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka notaris tidak berwenang untuk membuat akta otentik, yaitu :

1. Sebelum notaris mengangkat sumpah ( Pasal 4 UUJN ) 2. Selama notaris dipecat (scorshing)

3. Selama notaris cuti, baik yang diberikan atas permintaan sendiri maupun yang diberikan kepadanya tidak atas permintaannya ( diberikan secara jabatan ). 4. Berdasarkan ketentuan–ketentuan dalam Pasal 52 dan 53 UUJN.


(54)

1. Bentuk–Bentuk Akta

Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris, dimana notaris dijadikan sebagai Pejabat Umum sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik.

Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai sifat otentik bukan oleh karena undang–undang menetapkan sedemikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan :6

“ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang–undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai–pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Berdasarkan Pasal 1868 ini, maka dapat diketahui bahwa bentuk akta ada dua yaitu akta yang dibuat oleh notaris dan akta yang dibuat dihadapan notaris.

Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta ini disebut juga akta yang dibuat oleh (door) notaris (sebagai pejabat umum).

Akta notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan memberikan

6


(55)

keterangan itu atau melakukan perbuatan itu dihadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta ini disebut pula akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa ada dua golongan akta notaris yakni :7

“1. Akta yang dibuat : Oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten)

2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij–akten).”

Termasuk di dalam akta relaas ini antara lain berita acara rapat para pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel dan lain–lain akta, yakni akta– akta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 UUJN. Dalam semua akta ini notaris menerangkan atau memberikan dalam jabatannya sebagai Pejabat Umum kesaksian dari semua apa yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain.

Pada akta partij termasuk di dalamnya akta–akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan dimuka umum atau lelang), kemauan terakhir (wasiat), kuasa dan lain sebagainya. Di dalam akta partij ini dicantumkan secara otentik keterangan–keterangan dari orang–orang yang bertindak sebagai pihak–pihak dalam akta itu, disamping keterangan dari notaris itu sendiri yang menyatakan bahwa orang–orang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya tertentu, sebagaimana yang dicantumkan dalam akta itu.

Perbedaan diantara kedua golongan akta itu dapat dilihat dari bentuk akta–akta itu. Dalam akta partij, dengan diancam akan kehilangan otensitasnya atau dikenakan

7


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Akta di bawah tangan sebagai alat bukti dalam proses persidangan di Pengadilan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena terletak pada tandatangan para pihak yang jika diakui, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik. Suatu akta di bawah tangan hanyalah memberi pembuktian sempurna demi keuntungan orang kepada siapa sipenandatanganan hendak memberi bukti, sedangkan terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Berbeda dengan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang pasti, maka terhadap akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya berada di tangan hakim untuk mempertimbangkannya ( Pasal 1881 ayat 2 KUHPerdata ).

1. Fungsi legalisasi atas akta yang dibuat di bawah tangan adalah bahwa legalisasi merupakan pengakuan mengenai tanggal dibuatnya perjanjian, sehingga akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi memberikan kepastian bagi hakim mengenai tanggal, identitas,maupun tandatangan dari para pihak yang bersangkutan dan terkait dalam perjanjian tersebut. Dalam hal ini para pihak yang namanya tercantum dalam surat itu dan membubuhkan tandatangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya dihadapan pejabat


(2)

umum yang bersangkutan dan di hadapan saksi-saksi. Berdasarkan hal tersebut maka akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dari notaris membantu hakim dalam hal pembuktian karena dengan diakuinya isi, tandatangan dan tanggal akta tersebut dibuat, maka isi akta itupun dianggap sebagai kesepakatan para pihak. Terhadap surat di bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terkait dalam surat tersebut boleh menandatangani surat di bawah tangan tersebut kapan saja, dimana saja dan setelah sekian waktu di waarmerking oleh notaris, namun kekuatan surat di bawah tangan tersebut tidak bertambah atau tetap sebagai semula, hanya saja cap dan register yang diterakan diatas surat tersebut tidak menambah nilai pembuktian, melainkan hanya mempunyai arti bahwa surat itu diketahui oleh notaris, diregister, dinomori dan bila surat tersebut hilang dapat dimintakan salinannya dikantor notaris. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi, tanggal dan tanda tangan para pihak dalam surat tersebut.

3. Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dan waarmerking dari Notaris dapat dibatalkan oleh hakim meskipun tugas hakim dalam hal pembuktian hanya membagi beban pembuktian, tetapi secara ex officio hakim tidak dapat membatalkan suatu akta kalau tidak dimintakan pembatalan karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta. Dalam hal akta di bawah tangan yang diakui dimintakan pembatalan, maka hakim dapat membatalkan akta tersebut apabila terdapat bukti lawan. Akta di bawah tangan juga dapat menjadi batal demi hukum apabila tidak dipenuhinya syarat objektif atau subjektif dari suatu perjanjian


(3)

B. Saran

1. Setiap perjanjian atau perikatan yang menyangkut pihak, sebaiknya dibuat dengan akta yang notariel sehingga pembuktiannya bila kelak diperlukan mempunyai keuatan bukti yang pasti dan akurat.

2. Pembuatan dengan akta otentik membantu hakim dalam memberikan keputusannya karena suatu akta yang notariel, isinya adalah netral dan tidak berpihak, dan notaris dapat menjadi saksi ahli bila diperlukan.

3. Pada surat perjanjian yang dibuat dibawah tangan sering terjadi penekanan terhadap pihak yang sangat membutuhkan, tidak ada keseimbangan karena dibuat oleh para pihak sendiri. Sebaiknya setiap perjanjian di buat di hadapan notaris.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Andasasmita, Komar, Notaris I¸ Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1984.

Engelbrecht, De Wetboeken,Wettenen Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de

republiek indonesie, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1989.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ke-3, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

Imron, H.M, Legalisasi Harus Dilengkapi Saksi, Renvoi Nomor 10/34 Maret 2006

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Kie, Tan Thong, Studi Notariat Praktek Notaris Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000

______________, Studi Notariat-Beberapa Mata Pelajaran Dan Serba Serbi Praktek

Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000

Kohar, A., Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni Bandung 1984.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006. Moleong, Lexy J., Metodolagi Penelitian Kualitatif, Penerbit Rosdakarya, Bandung,

2004.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum,CDSBL, Yogyakarta, 2003.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan,Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993.

---, Hukum Notariat Di ndonesia, Rajawali, Jakarta, 1982.

Perangin Angin, Effendi, Kumpulan Kuliah Pembuatan Akta I, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1991.


(5)

Rachmat, Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 1995. Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992. Situmorang, Victor M. dan Cormentyana Sitanggang, Grosee Akta Dalam Pembuktian

Dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Edisi Pertama, Cetakan ke-7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Subekti, R, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001 ---, Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT Intermasa, Jakarta, 2006.

Sunggono, Bambang, Metodologi Pengetahuan Hukum, Cetakan 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Susanto, Astrid S, Pendapat Umum, Putra Abardin, Bandung, 1985.

Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1989.

Suryana Ida Rosida, Serba-serbi Jabatan Notaris, Universitas Padjajaran, Bandung, 1999.

Tobing, G.H.S Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, 1991

Wiryomartani, Winanto, Implementasi UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Renvoi, November 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 30 tahun 200 tentang Undang-undang Jabatan Notaris Staatblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris

Staatblad 1916 Nomor 46 Tentang Kewenangan Legalisasi dan waarmerking


(6)