2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tiga
bulan; 3.
Menetapkan hukuman tersebut tidak perlu dijalani sebelum ada perintah Hakim karena Terdakwa bersalah telah melakukan suatu kesalahan dalam
suatu syarat yang telah ditentukan dalam waktu 6 enam bulan; 4.
Memerintahkan barang bukti berupa : 1 satu buah Buku Nikah No. 44244XII1993 tanggal 02 Februari atas nama Misni dikembalikan kepada
saksi korban MISNI 5.
Membebankan Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1.000 seribu rupiah;
B. Analisis Kasus
Hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan bahwa tersangka suami korban dikenai Pasal 44 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga UUPKDRT, isinya : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 lima belas juta rupiah”
Dalam Pasal 44 ayat 1 UUPKDRT tindak pidana dikenai pidana penjara 5 lima tahun, maka penahanan yang dilakukan oleh penyidik telah sesuai dengan
apa yang telah ditentukan dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP, dimana disebutkan bahwa penahanan dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih atau tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat 3,
Pasal 296, Pasal 335 ayat 1, Pasal 351 ayat 1, Pasal 353 ayat 1, Pasal 372,
Universitas Sumatera Utara
Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHP.
Pasal 44 ayat 1 UUPKDRT bukan merupakan delik aduan sehingga surat pencabutan pengaduan dan surat perdamaian tidak dapat menghentikan
penyidikan atas perkara itu sehingga perkara tersebut tetap dilanjutkan penyidikannya dan pihak kepolisian melimpahkan berkas perkara ke penuntut
umum. Pada tingkat penuntutan tersangka dikenai Pasal 44 ayat 4 UUPKDRT,
dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 lima juta rupiah”.
Menurut katerangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya bahwa perbuatan tersangka atau suaminya itu lebih tepat dikenakan Pasal 44 ayat 4 UUPKDRT
karena kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami kepada istrinya tidak menimbulkan penyakit dan tidak menghalangi untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dan menurut hasil visum bahwa si istri tidak mengalami atau tidak terdapatnya kelainan, hanya terdapat
luka memar yang disebabkan oleh trauma tumpul. Pasal 44 ayat 4 UUPKDRT merupakan delik aduan Pasal 51
UUPKDRT. Di tingkat penuntutan atau kejaksaan si istri saksi korban telah melakukan pencabutan pengaduan tanggal 19 Juni 2007 yang ditujukan langsung
kepada KAJARI Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam. Menurut hukum
Universitas Sumatera Utara
apabila suatu delik aduan yang telah dicabut pengaduannya pada tanggal 19 Juni 2007, maka perkara Suwanto harus sudah di SP3 atau dihentikan penuntutannya.
Pencabutan pengaduan tersebut dapat diajukan apabila masih dalam tenggang waktu tiga bulan seperti yang disebutkan dalam Pasal 75 KUHP. Tenggang waktu
tiga bulan dihitung sejak dimulainya penyidikan atau telah dikeluarkannya surat perintah penyidikan oleh pihak kepolisian. Melihat jangka waktu tersebut, maka
surat pencabutan pengaduan yang diajukan oleh korban Misni tanggal 19 Juni 2007 masih dalam tenggang waktu tiga bulan.
Walaupun korban Misni telah mengajukan surat pencabutan pengaduan atas perkara tersebut tetapi Jaksa yang menangani perkara tetap melanjutkan
perkara itu sehingga majelis hakim memutuskan perkara tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya aturan yang tegas dan jelas mengatur mengenai
tindakan jaksa penuntut umum yang tetap melanjutkan perkara sampai ke tingkat pengadilan. KUHAP juga tidak mengatur mengenai tindakan jaksa penuntut
umum tersebut sehingga jaksa penuntut umum dapat melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum dan tidak adanya saksi atas
tindakan tersebut. Hakim tidak mempertimbangkan surat pencabutan pengaduan yang
diajukan oleh korban Misni, hakim hanya mempertimbangkan surat perdamaian dalam pertimbangan hukumnya. Sesuai dengan ketentuan yang ada didalam
KUHAP bahwa hakim bersifat aktif untuk menemukan alat-alat bukti dalam perkara pidana. Dalam hal ini seharusnya hakim harus sudah mempelajari dan
mempertimbangkan surat pencabutan pengaduan di kepolisian tanggal 8 Juni 2007 dan surat pencabutan pengaduan di tingkat penuntutan tanggal 19 Juni 2007 yang
masuk dalam berkas perkara.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan