waktu tersebut telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik Pasal 110 ayat 4 KUHAP.
C. Pembuktian Delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang- undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, antara lain : 1.
Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.
Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama
pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus
Universitas Sumatera Utara
diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja
orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.
2. Sehubung dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa tersebut, apakah
dibuktikan dengan semua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP atau sudah dianggap cukup, apabila kesalahan itu dibuktikan dengan sekurang-
kurangnya dua atau tiga alat bukti yang sah. Untuk itu KUHAP telah mengaturnya lebih lanjut mengenai batas minimum pembukt ian.
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, asas
minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti yang membuktikan salah atau tidaknya terdakwa.
Artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Batas minimum pembukt ian ini diatur didalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
Universitas Sumatera Utara
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam Pasal 183 KUHAP tersebut ditemukan kalimat “dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah”, maksud dari kalimat itu adalah untuk
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa baru boleh dilakukan hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan “dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah”. Jadi, minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhkan pidana, harus dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja, undang-undang menganggap tidak atau belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Batas
minimum yang dianggap cukup oleh undang-undang, paling sedikit dua alat bukti yang sah.
Pasal 184 ayat 1 KUHAP telah disebutkan secara rinci atau limitatif alat- alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu :
1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk,
5. Keterangan terdakwa.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1 KUHAP, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Diluar ini, tidak dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan jenis alat bukti
tersebut terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam
Universitas Sumatera Utara
Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-
kurangnya atau paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan penjumlahan dari
sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus
saling bersesuaian, saling menguatkan dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain, atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa
keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan
terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat persesuaian.
Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tetapi dijumpai dalam pasal yang lain.
Namun, sebagai aturan umum general rule dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, tanpa mengurangi prinsip umum
yang diatur dalam Pasal 183 tersebut, ada beberapa asas yang diatur pada pasal- pasal lain yang bertujuan untuk lebih menegaskan prinsip umum yang diatur pada
Pasal 183 KUHAP, antara lain : 1.
Pasal 185 ayat 2 KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah “satu saksi tidak merupakan saksi”. Istilah ini merupakan pengertian yang ditarik dari
rumusan : “unus testis nullus testis”.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasal 189 ayat 4, keterangan atau pengakuan terdakwa confession by on
accused saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Bila melihat asas-asas tersebut, maka untuk membuktikan kesalahan
terdakwa akan mengalami kesulitan Tetapi untuk delik kekerasan dalam rumah tangga, UUPKDRT memberikan kemudahan dalam pembuktian kesalahan
terdakwa. Dalam Pasal 55 UUPKDRT disebutkan bahwa :
“Sebagai alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.
Melihat pasal tersebut berarti untuk membuktikan kesalahan terdakwa hanya diperlukan atau dibutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap
cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti yang sah lainnya Bila melihat ketentuan Pasal 185 ayat 2 KUHAP, keterangan seorang
saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus tertis nullus testis”. Ini berarti jika
alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain,
“kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya. Walaupun seandainya keterangan keterangan saksi tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap mungkir serta
kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksi ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan “unus testis
nullus testis”.
Universitas Sumatera Utara
Melihat ketentuan kedua pasal tersebut, ketentuan Pasal 55 UUPKDRT jelas membelakangi atau bertentangan dengan ketentuan Pasal 185 ayat 2
KUHAP karena dalam Pasal 55 disebutkan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sepanjang
didukung dengan suatu alat bukti sah lainnya. Alat bukti yang lainnya dapat berupa alat bukti surat misalnya seperti visum et repertum atau surat keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti, atau dengan menggunakan alat bukti petunjuk, yang mana dapat ditarik atau digali dan
dijabarkan hakim atau penuntut umum dari keterangan terdakwa atau dari kejadian maupun dari keadaan yang ada persesuaiannya antara yang satu dengan
yang lain. Akan tetapi, tidak mudah mencari suatu petunjuk sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat dinilai sebagai alat bukti, harus terdapat persesuaian
antara perbuatan, kejadian atau keadaan dengan peristiwa pidana. Walaupun demikian pembuktian dalam UUPKDRT masih tetap mengacu pada prinsip batas
minimum pembuktian., yaitu : untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Pasal 55 UUPKDRT merupakan bentuk kemudahan pembuktian delik kekerasan dalam rumah tangga. Kemudahan dalam hal pembuktian tersebut
tentunya mutlak diperlukan mengingat lingkup rumah tangga yang diatur oleh UUPKDRT dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia masih dianggap
tabu untuk dicampuri oleh pihak luar dan adanya angapan bahwa apa yang terjadi dalam lingkup rumah tangga merupakan urusan intern rumah tangga sehingga
pada gilirannya akan menyulitkan proses pembuktian.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENCABUTAN DELIK ADUAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA
A. Pihak-Pihak yang Berhak Mengadukan dan Mencabut Delik Aduan Kekerasan Dalam Rumah Tangga