Fenomena dan Problematika Perkawinan Beda Agama

pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. b. Keputusan tidak berlaku surut terhadap 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut 2. Suami atau Isteri yang bertindak dengan Itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu 3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Asmin, 1996:108

2.1.8 Fenomena dan Problematika Perkawinan Beda Agama

Pernikahan beda agama merupakan maslalah yang serius dalam pemikiran Bangsa Indonesia antara pro dan kontranya. Walaupun pada waktu ini adanya gejala perubahan pandangan atau pendapat mengenai perkawinan beda agama, kiranya akan lebih bijaksana bila dipertimbangkan lagi sebelum mengambil putusan terakhir kalu calon pasangan mempunyai agama yang berbeda. Dalam perkawinan, makin dekat kesesuaian latar belakang dari pasangan tersebut, makin besar pula kemungkinannya untuk mendapatkan kesuksesan dalam perkawinan, persoalan-persoalan akan dapat dihindari sekecil-kecilnya. Perkawinan antara pasangan yang mempunyai agama yang berbeda akan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk timbulnya masalah bila dibandingkan dengan perkawinan yang seagama, yang dapat meningkat sampai perceraian. Secara langsung mungkin tidak dapat dikatakan bahwa hal tersebut semata-mata hanya karena perbedaan agama, tetapi seperti telah dikemukakan bahwa dengan perkawinan dengan perbedaan agama antar suami dan isteri hal tersebut akan membawa perbedaan dalam pendapat, sikap, kerangka acuan dan ini dapat berkembang lebih jauh yang akhirnya dapat terjadi perceraian. Makin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon pasangannya, dan pemilihan tersebut berdasarkan rasa cinta. Jika cinta telah mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita, tidak jarang pertimbangan secara matang juga termasuk menyangkut agama menjadi kurang begitu berperan. Perkawinan yang sah apabila menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Perkawian beda agama bisa diterima karena mempererat kekerabatan antara satu agama dengan agama yang lain. Namun pada kenyataannya keadaan tersebut kurang adanya suatu penerimaan yang baik. Suatu perkawinan antara dua orang yang menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, sebaliknya kedua calon suami istri yang menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan agamanya masing-masing maka keadaan ini akan menimbulkan masalah, permasalahan-permasalahan yang biasanya muncul dalam perkawinan beda agama antara lain bagaimanakah proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam keluarga, apakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperbolehkan perkawinan beda agama yang hanya dilakukan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sudah sah atau tidak, bagaimanakah menentukan agama bagi anak-anaknya nanti dan pasangan beda agama yang akan menikah pada umumnya merasa ragu dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik dalam membina kelaurganya kelak, juga persepsi masyarakat tentang perkawinan yang berbeda agama. Semua kesepakatan sebelum melakukan perkawinan beda agama harus tercapai sehingga konflik yang mungkin tercapai mungkin dapat dihindari. Mohd Idris Ramulyo, 2004:93

2.1.9 Kewajiban Orang Tua terhadap Anak Dalam Hukum Agama