8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep kanker serviks 1.1. Pengertian kanker serviks
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim, yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak
vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita usia 35-55 tahun. Hampir 90 dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks. Sedangkan 10
sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lender pada saluran servikal yang menuju rahim Nasedul, 2008 dalam Prayitno, 2014.
Kanker serviks akan muncul jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tidak terkendali. Apabila sel serviks terus membelah, maka akan
terbentuk suatu massa jaringan yang disebut tumor. Tumor ini bisa bersifat jinak atau ganas. Jika kondisi tumor ganas maka disebut kanker serviks Prayitno, 2014.
1.2. Faktor penyebab kanker serviks Faktor penyebab kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma
VirusHPV. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada kanker dan lesi prakanker Rasjidi, 2008. Sejalan
dengan pendapat Herald Zur Hansen bahwa ada hubungan antara infeksi HPV dan prakanker serviks. Pendapat ini didasari oleh penemuan yang dilakukan oleh Koss,
dkk yang menemukan sel atipia koilositik. Istilah koilositik digunakan untuk menggambarkan sel epitel gepeng abnormal yang ditandai oleh vakuolisasi sekitar
inti sel yang banyak pada sedian sel pasien dengan dysplasia dan karsinoma mulut rahim. Pada saat yang sama Purola dan Savia juga menemukan sel koilisitik yang
Universitas Sumatera Utara
9
sama seperti yang ditemukan oleh Koss, dkk dengan menggunakan mikroskop elektron pada penderita dengan kondiloma akuminata yang mengandung partikel
HPV. Setelah penemuan ini banyak sekali ahli yang berusaha mendeteksi partikel virus dengan menggunakan teknik biomolekuler. Hingga kini terdapat 138 strain
HPV yang telah teridentifikasi dan HPV yang bersifat memicu terjadinya keganasan dapat terdeteksi pada 90-95 lesi prakanker mulut rahim Iman dan Henri, 2007.
Menurut Kumalasari dan Andhyantoro 2012, ada beberapa faktor risiko dan predisposisi yang menyebabkan perempuan terpapar HumanPappiloma Virus
diantaranya yaitu: 1.2.1. Hubungan seksual
Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seksual, semakin besar pula risiko mengalami kanker serviks Kumalasari
dan Andhyantoro, 2012. Wanita dengan partner seksual yang banyak juga akan
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual Rasjidi, 2008.
1.2.2. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada perempuan yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan risiko mengalami karsinoma
serviks. 1.2.3. Perilaku seksual
Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan enam atau lebih mitra seks atau bila berhubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
10
1.2.4. Riwayat infeksi di daerah kelamin dan radang panggul Infeksi menular seksual IMS dapat menjadi peluang meningkatnya risiko
terkena kanker serviks. 1.2.5. Sosial ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas, dan kebersihan
perseorangan. 1.2.6. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya hubungan terjadinya kanker serviks pada perempuan yang pasangannya belum dilakukan sirkumsisi. Hal ini karena pada prianonsirkumsisi,
hygiene penis tidak terawat sehingga banyak terdapat kumpulan smegma. 1.2.7. Pemakaian alat kontrasepsi
Pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap kanker serviks yaitu bermula dari adanya erosi di serviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang
terus-menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks. 1.2.8. Merokok
Merokok memiliki hubungan yang sangat tinggi terhadap terjadinya dysplasia serviks setelah infeksi HPV menetap Sellors et al. 2003, dalam
Dunleavey, 2009. Hubungan antara tembakau, dysplasia dan kanker akibat HPV telah dipelajari secara ekstensif walaupun penyebab tepat dari mekanisme
kardiogenik ini belum jelas. United States Surgeon General and International Agency for Reasearch on Cancer menyatakan bahwa ada hubungan yang positif
antara perokok aktif dengan kejadian kanker serviks Trimble et al. 2005 dalam Dunleavey, 2009.
Universitas Sumatera Utara
11
Rokok sebagai salah satu penyebab kanker serviks dan merokok berhubungan dengan kanker sel skuamosa pada serviks bukan adenoskuamosa atau
adenokarsinoma. Mekanisme kerja bisa langsung aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok atau melalui efek imunosupresif dari perokok
Rasjidi, 2008. 1.2.9. Pemakaian DES Dietilstilbestrol
Wanita yang menggunakan DES untuk mencegah keguguran berisiko mengalami kanker serviks Prayitno, 2014. Hubungan antara clear cell
adenocarcinoma serviks dan paparan DES in utero telah dibuktikan Rasjidi, 2008. 1.2.10. Defisiensi zat gizi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dan pada wanita yang rendah konsumsi beta karoten dan vitamin A,C,dan E dapat
meningkatkan risiko terkena kanker serviks. 1.3. Faktor pelindung kanker serviks
Ada beberapa faktor pelindung yang dapat menurunkan risiko seorang wanita mengalami kanker serviks yaitu Rasjidi, 2008:
1.3.1. Kontrasepsi barier Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi barier
diafragma dan kondom akan menurunkan risiko kanker serviks. Hal ini dikarenakan serviks dilindungi dari kontak langsung bahan karsinogen dari cairan
semen. Hampir semua spermisida mengandung surfaktan kimia aktif untuk menghentikan gerakan sperma. Beberapa kontrasepsi lain dapat menginaktifkan
virus yang ditularkan secara seksual.
Universitas Sumatera Utara
12
1.3.2. Subtipe histologi Dysplasia serviks sering didiagnosis pada wanita usia 20-an; kanker insitu
pada usia 30-an; dan kanker invasif pada usia 40 tahun. Karsinoma sel skuamosa dijumpai pada 90 dari semua kasus kanker seviks, 10 lainnya dibagi antara
adenokarsinoma dan adenoskuamosa karsinoma. Kanker serviks biasanya muncul pada pertemuan antara kanalis servikalis dan ektoserviks dimana epitel kolumnar
diganti epitel skuamosa pada usia dewasa dan kehamilan. Skuamokolumnar junction ini merupakan zona transformasi. Terdapat bukti histokimia, sitokimia, epidemiologi
yang menunjukkan bahwa intraepitelial neoplasia serviks CIN akan berlanjut. 1.4. Gejala kanker serviks
Pada umumnya, perubahan pra kanker pada serviks tidak menimbulkan gejala-gejala tertentu. Perubahan pada serviks tidak dapat terdeteksi kecuali jika
penderita menjalani pemeriksaan atau deteksi dini. Gejala akan muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi ganas dan meluas ke jaringan sekitarnya.
Pada saat itulah muncul gejala-gejala kanker serviks. Adapun gejala-gejala tersebut yaitu adanya pendarahan abnormal pada vagina, terutama diantara 2 menstruasi,
setelah melakukan hubungan seksual dan menopause, menstruasi abnormal lebih lama dan lebih banyak dan keputihan yang menetap dengan adanya cairan yang
encer, berwarna pink atau coklat, berwarna merah atau hitam serta berbau busuk seperti bangkai. Pada kanker serviks stadium lanjut akan timbul gejala seperti nafsu
makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan, rasa nyeri di panggul, punggung atau tungkai, patah tulang fraktur dan keluar air kemih dan tinja dari
vagina Prayitno, 2014.
Universitas Sumatera Utara
13
1.5. Stadium kanker serviks Stadium kanker serviks dapat ditetapkan secara klinis. Stadium klinis yang
banyak digunakan adalah stadium kanker serviks menurut Federation International of Gynecology and Obstetrics FIGO yang dikembangkan pada tahun 1950an
Dunleavey, 2009. Stadium klinis FIGO membutuhkan pemeriksaan pelvik, jaringan serviks biopsi konisasi untuk stadium IA dan biopsi jaringan serviks untuk
stadium klinik lainnya, foto paru-paru, pielografi intravena atau CT-Scan. Sedangkan untuk kasus kanker serviks yang lebih lanjut diperlukan pemeriksaan
sistoskopi, proktoskopi dan barium enema Anwar, 2011. Tabel 2. Stadium kanker serviks menurut FIGO tahun 2000
Stadium 0 StadiumI
StadiumI A
I A1
I A2 Stadium I B
I B1 I B2
Stadium II II A
II B Karsinoma insitu, karsinoma intraepitelial.
Karsinoma masih terbatas di serviks penyebaran ke korpus uteri diabaikan.
Invasi kanker ke stroma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopik. Lesi yang dapat diilihat secara makroskopik walau
dengan invasi yang superfisial dikelompokkan pada stadium I B. Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3,0 mm dan
lebar horizontal lesi tidak lebih dari 7 mm. Invasi ke stroma lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan
perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm. Lesi yang tampak terbatas pada serviks atau secara mikroskopik
lesi lebih luas dari stadium I A2. Lesi yang tampak tidak lebih dari 4 cm dari dimensi terbesar.
Lesi yang tampak lebih dari 4 cm dari dimensi terbesar. Tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi belum mengenai
dinding panggul atau sepertiga distal bawah vagina. Tanpa invasi ke parametrium.
Sudah menginvasi parametrium
Universitas Sumatera Utara
14
Stadium III
III A
III B
Stadium IV IV A
IV B Tumor telah meluas ke dinding panggul dan atau mengenai
sepertiga bawah vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.
Tumor telah meluas ke sepertiga bawah vagina dan tidak menginvasi ke parametrium tidak sampai dinding panggul.
Tumor telah meluas ke dinding panggul dan atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.
Tumor meluas ke luar dari organ reproduksi Tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih atau rektum dan
atau keluar dari rongga panggul minor. Metastatis jauh penyakit mikroinvasif: invasi stroma dengan
kedalaman 3 mm atau kurang dari membrana basalis epitel tanpa invasi ke rongga pembuluh limfe darah atau melekat dengan lesi
kanker serviks
1.6. Deteksi dini kanker serviks Deteksi dini kanker serviks merupakan aplikasi sistematis sebuah
pemeriksaan untuk mengidentifikasi kondisi serviks yang abnormal pada suatu populasi. Wanita sebagai target untuk dilakukan deteksi dini mungkin merasa sehat
secara fisik dan tidak merasakan tanda dan gejala apapun sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan pemeriksaan WHO, 2013.
Skrining atau deteksi dini sebagai upaya pencegahan sekunder yang dilakukan denganpemeriksaan atau tes pada orang yang belum menunjukkan adanya
gejala penyakit yang belum terlihat atau masih berada pada stadium praklinik memiliki syarat-syarat tertentu terhadap suatu penyakit. Adapun syarat-syarat
skrining terhadap suatu penyakit yaitu penyakit tersebut mempunyai akibat yang serius, fatal, morbiditas lama dan mortalitas tinggi, penyakit tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
15
mempunyai cara pengobatan dan bila digunakan pada kasus yang ditemukan melalui skrining, efektivitasnya harus lebih tinggi, penyakit tersebut harus memiliki fase
praklinik yang panjang dan prevalensi yang tinggi di antara populasi yang dilakukan skrining, jika prevalensi rendah maka yang terdeteksi juga akan rendah serta tes yang
dipakai harus memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta biaya pemeriksaan tidak mahal Rasjidi, 2008.
Ada beberapa jenis deteksi dini kanker serviks yang dapat dipilih oleh wanita usia subur untuk mengidentifikasi kondisi serviks yang abnormal. Adapun jenis-jenis
deteksi dini kanker serviks yaitu Rasjidi, 2008: 1.6.1. Tes pap smear
Deteksi dini penyakit kanker serviks dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan sitologi menggunakan tes pap smear. American College of Obstetrician
and Gynecologist ACS dan US Preventive Task Force USPSTF mengeluarkan panduan bahwa setiap wanita seharusnya melakukan tes pap smear dalam upaya
deteksi dini kanker serviks sejak 3 tahun pertama dimulainya aktivitas seksual atau saat usia 21 tahun Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007.
Tes pap smearadalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio. Untuk
mengetahui adanya tanda-tanda awal keganasan serviks prakanker yang ditandai dengan adanya perubahan pada lapisan epitel serviks displasia Rasjidi, 2008.
1.6.2. Tes IVA Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka asam asetat 2 dan
larutan iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan. Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami
Universitas Sumatera Utara
16
displasia sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. Tes ini lebih cocok digunakan di negara yang sedang berkembang Rasjidi, 2008.
2. Wanita Usia Subur WUS Wanita Usia Subur adalah wanita yang masih dalam usia reproduktif, yaitu
antara usia 15-49 tahun, dengan status belum menikah, menikah atau janda. Wanita Usia Subur ini mempunyai organ reproduksi yang masih berfungsi dengan baik,
sehingga lebih mudah untuk mendapatkan kehamilan, yaitu antara umur 20 sampai dengan 45 tahun. Usia subur wanita berlangsung lebih cepat apabila dibandingkan
dengan pria. Adapun puncak kesuburan adalah usia 20-29 tahun yang memiliki kesempatan 95 untuk terjadinya kehamilan. Saat wanita berusia sekita 30 tahun
presentase untuk menyebabkan kehamilan menurun hingga 90. Sedangkan saat berusia 40 tahun kesempatan untuk terjadinya kehamilan menurun menjadi 40.
Sedangkan setelah mendekati usia 50 tahun, wanita hanya mempunyai kesempatan
hamil dengan persentase 10 Depkes, 2014.
3. Konsep pendidikan kesehatan 3.1. Definisi pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada individu, kelompok atau masyarakat.
Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan individu, kelompok atau masyarakat dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik mengenai kesehatan. Pengetahuan
tersebut akhirnya diharapkan dapat mengubah perilaku Notoatmodjo, 2003.
Universitas Sumatera Utara
17
Berdasarkan pengertian pendidikan kesehatan diatas tersirat unsur-unsur pendidikan kesehatan yaitu input sasaran pendidikan yaitu individu, kelompok atau
masyarakat dan pendidik yaitu pelaku pendidikan kesehatan, proses upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain dan output hasil proses pendidikan
kesehatan yaitu sasaran dapat mengubah perilaku Notoatmodjo, 2003. Pendidikan kesehatan juga berusaha menggali motivasi seseorang untuk
menerima proses perubahan perilaku melalui tindakan persuasif secara langsung terhadap sistem nilai, kepercayaan, dan perilaku Whitehead, 2004.
3.2. Batasan pendidikan kesehatan Salah satu unsur pendidikan kesehatan yaitu hasil output. Output yang
diharapkan dari sebuah proses pendidikan kesehatan yaitu perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif. Perubahan
perilaku yang belum atau tidak kondusif ke perilaku yang kondusif mengandung beberapa dimensi yaitu Notoatmodjo, 2003:
3.2.1. Perubahan perilaku Perubahan perilaku-perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan menjadi perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan atau dengan kata lain perubahan perilaku yang negatif ke perilaku yang positif. Contoh
perilaku yang perlu diubah adalah merokok, minum minuman keras, ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan dan lain-lain.
3.2.2. Pembinaan perilaku Usaha yang dilakukan untuk mempertahankan perilaku masyarakat yang
sudah memiliki perilaku hidup sehat healthy life style. Contoh perilaku hidup sehat
Universitas Sumatera Utara
18
yang harus dipertahankan adalah olahraga teratur, makan dengan makanan yang seimbang, menguras bak mandi, membuang sampah di tempat sampah dan lain-lain.
3.2.3. Pengembangan perilaku Pengembangan perilaku sehat ini terutama dilakukan untuk membiasakan
hidup sehat bagi anak-anak. Perilaku hidup sehat sebaiknya dimulai sejak dini, karena kebiasaan perawatan terhadap anak termasuk perilaku kesehatan yang
diberikan orangtua akan langsung berpengaruh pada perilaku sehat pada anak. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa secara konsep
pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi dan mengajak orang lain baik individu, kelompok maupun masyarakat agar melaksanakan perilaku hidup
sehat. Sedangkan secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik
masyarakat dalam memelihara kesehatannya Notoatmodjo, 2003. 3.3. Ruang lingkup pendidikan kesehatan
Menurut Setiawati 2008 ruang lingkup pendidikan kesehatan berdasarkan aspek kesehatan yaitu:
3.3.1. Aspek Promotif Sasarannya adalah masyarakat yang ada dalam rentang sehat, sehingga perlu
dipertahankan status kesehatannya 3.3.2. Aspek preventif
Aspek ini meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Sasaran pencegahan primer adalah masyarakat yang berisiko terpapar berbagai penyakit atau
terganggu akan kesehatannya. Sasaran dari pencegahan sekunder adalah para
Universitas Sumatera Utara
19
penderita yang mengalami penyakit kronik. Dan sasaran dari pencegahan tersier adalah penderita yang baru sembuh dari sakitnya.
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan
dimensi tingkat pelayanan kesehatan Notoadmodjo, 2007. Berdasarkan dimensi sasaran pendidikan, pendidikan kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu pendidikan kesehatan individual, pendidikan kesehatan kelompok, dan pendidikan kesehatan masyarakat.
Sedangkan berdasarkan dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat yaitu pendidikan kesehatan di
sekolah dengan sasaran murid, pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasaran keluarga pasien, dan pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengaan sasaran
buruh atau karyawan yang bersangkutan. Berdasarkan dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan
dapat dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan five level of prevention dari Leavel and Clark, yaitu:
a. Promosi Kesehatan Health promotion Dalam hal ini, pendidikan kesehatan yang di perlukan nisalnya dapat berupa
dalam hal peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene perorangan dan sebagainya.
b. Perlindungan Khusus Specific protection Salah satu contoh pendidikan kesehatan yang dapat di berikan pada tingkat
ini misalnya program imunisasi sebagai pelayanan perlindungan khusus terutama di negara-negara berkembang. Hal ini dapat dikarenakan kesadaran masyarakat tentang
Universitas Sumatera Utara
20
pentingnya imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anak masih sangat rendah.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera Early diagnosis and prampt treatment
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi
dalam masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa bahkan tidak mau di obati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan di perlukan pada tahap ini.
d. Pembatasan cacat Disability limitation Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak menuntaskan pengobatannya terhadap suatu penyakit sehingga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan
akan beresiko menganlami kecacatan atau ketidakmampuan. Sehingga pendidikan kesehatan juga diperlukan pada tahap ini.
e. Rehabilitasi Rehabilitation Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, sebagian orang akan mengalami
kecacatan. Sehingga untuk memulihkan kekecacatannya diperlukan beberapa latihan-latihan tertentu. Dan juga dikarenakan rendahnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat, ia enggan mengikuti latihan-latihan tersebut. Oleh karena itu pendidikan kesehatan diperlukan pada tahap ini untuk orang yang bersangkutan
ataupun masyarakat yang terkadang tidak mau menerima mereka sebagai masyarakat yang normal.
Universitas Sumatera Utara
21
3.4. Visi dan misi pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan harus m
emiliki visi yang jelas. Yang dimaksud “visi” dalam konteks ini adalah apa yang diinginkan oleh pendidikan kesehatan sebagai
penunjang program-program kesehatan yang lain. Visi umum pendidikan kesehatan tidak terlepas dari Undang-Undang Kesehatan No. 231992 dan WHO yaitu
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosial sehingga produktif secara ekonomi maupun
sosial. Pendidikan kesehatan di semua program kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan
maupun program kesehatan lainnya bermuara pada kemampuan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, baik kesehatan individu, kelompok dan masyarakat
Notoatmodjo, 2003. Untuk mencapai visi tersebut, perlu upaya-upaya yang harus dilakukan dan
inilah yang disebut dengan “misi”. Misi pendidikan kesehatan adalah upaya yang harus dilakukan untuk mencapai visi tersebut. Adapun misi pendidikan kesehatan
yaitu Notoatmodjo, 2003: 3.4.1. Advokat advocate
Melakukan kegiatan advokasi dengan para pengambil keputusan di berbagai program dan sektor yang terkait dengan kesehatan. Kegiatan advokasi berarti
melakukan upaya-upaya agar para pembuat keputusan atau penentu kebijakan tersebut mempercayai dan meyakini bahwa program kesehatan yang ditawarkan
perlu didukung melalui kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan politik.
Universitas Sumatera Utara
22
3.4.2. Menjembatani meditiate Menjadi jembatan dan menjalin kemitraan dengan berbagai program dan
sektor yang terkait dengan kesehatan. Dalam melaksanakan program-program kesehatan perlu kerjasama dengan program lain di lingkungan kesehatan, maupun
sektor lain yang terkait. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan kerjasama atau kemitraan ini diperlukan peran pendidikan atau promosi kesehatan.
3.4.3. Memampukan enable Memberikan kemampuan atau keterampilan kepada masyarakat agar mereka
mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri secara mandiri. Hal ini berarti masyarakat diberikan kemampuan-kemampuan atau keterampilan agar
mereka mandiri di bidang kesehatan, termasuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan mereka. Misalnya pendidikan dan pelatihan dalam rangka
meningkatkan keterampilan cara bertani, beternak, bertanam obat-obatan tradisional, koperasi dan sebagainya dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga income
generating. Selanjutnya dengan ekonomi keluarga yang meningkat, maka kemampuan dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan kelurga juga
meningkat.
4. Konsep motivasi 4.1. Pengertian motivasi
Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yakni “movere” yang berarti
“menggerakkan” Winardi, 2007. Motivasi merupakan situasi atau kondisi internal yang menggerakkan dan memberikan arahan terhadap pikiran, perasaan, dan
tindakan Lahey, 2012. Menurut Sadirman 2007, motivasi adalah perubahan
Universitas Sumatera Utara
23
energi diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului
dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Swanburg 2000 mendefinisikan motivasi sebagai konsep yang menggambarkan baik kondisi ekstrinsik yang
merangsang perilaku tertentu dan respon intrinsik yang menampakkan perilaku manusia. Sedangkan menurut Moekijat 2000 dalam bukunya “Dasar-dasar
Motivasi” bahwa motivasi yaitu dorongan menggerakkan, sebagai suatu perangsang dari dalam, suatu gerak hati yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu.
4.2. Jenis-jenis motivasi Menurut Djamarah 2002 motivasi terbagi menjadi 2 dua jenis yaitu
motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. 4.2.1. Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang dirangsang oleh sifat dasar yang melekat dalam aktivitas seseorang Lahey, 2012. Motivasi instrinsik didasarkan
pada faktor-faktor internal, seperti kebutuhan organismik otonomi, kompetensi, dan keterhubungan, rasa ingin tahu, tantangan, dan usaha. Ketika seseorang termotivasi
secara instrinsik kita terlibat dalam perilaku karena kita menikmatinya King, 2010. Menurut Taufik 2007, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik yaitu:
a. Kebutuhan need Seseorang melakukan aktivitas kegiatan karena adanya faktor-faktor
kebutuhan baik biologis maupun psikologis, misalnya motivasi ibu untuk membawa balita ke posyandu untuk imunisasi karena balita akan mendapatkan kekebalan
tubuh.
Universitas Sumatera Utara
24
b. Harapan expectancy Seseorang dimotivasi oleh karena keberhasilan dan adanya harapan
keberhasilan bersifat pemuasan diri seseorang, keberhasilan dan harga diri meningkat dan menggerakkan seseorang ke arah pencapaian tujuan, misalnya ibu
membawa balita ke posyandu untuk imunisasi dengan harapan agar balita tumbuh dengan sehat dan tidak mudah tertular oleh penyakit-penyakit infeksi.
c. Minat Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keinginan pada suatu hal tanpa
ada yang menyuruh, misalnya ibu membawa balita ke posyandu tanpa adanya pengaruh dari orang lain tetapi karena adanya minat ingin bertemu dengan teman-
teman maupun ingin bertemu dengan tenaga kesehatan dokter, bidan dan perawat. 4.2.2. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang
atau pengaruh dari luar sehingga seseorang berbuat sesuatu Lahey, 2012. Ketika seseorang termotivasi secara ekstrinsik maka seseorang akan terlibat dalam perilaku
tertentu karena ganjaran eksternal King, 2010. Menurut Taufik 2007, faktor- faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik yaitu:
a. Dorongan keluarga Ibu membawa balita ke posyandu bukan kehendak sendiri tetapi karena
dorongan dari keluarga seperti suami, orang tua, teman. Misalnya ibu membawa balita ke posyandu karena adanya dorongan dukungan dari suami, orang tua
ataupun anggota keluarga lainnya. Dukungan dan dorongan dari anggota keluarga semakin menguatkan motivasi ibu untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
Universitas Sumatera Utara
25
balitanya. Dorongan positif yang diperoleh ibu, akan menimbulkan kebiasaan yang baik pula, karena dalam setiap bulannya kegiatan posyandu dilaksanakan ibu akan
dengan senang hati membawa balitanya tersebut. b. Lingkungan
Lingkungan adalah tempat dimana seseorang tinggal. Lingkungan dapat mempengaruhi seseorang sehingga dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu.
Selain keluarga, lingkungan juga mempunyai peran yang besar dalam memotivasi seseorang dalam merubah tingkah lakunya. Dalam sebuah lingkungan yang hangat
dan terbuka, akan menimbulkan rasa kesetiakawanan yang tinggi. Dalam konteks pemanfaatan posyandu, maka orang-orang di sekitar lingkungan ibu akan mengajak,
mengingatkan, ataupun memberikan informasi pada ibu tentang pelaksanaan kegiatan posyandu.
c. Imbalan Seseorang dapat termotivasi karena adanya suatu imbalan sehingga orang
tersebut ingin melakukan sesuatu, misalnya ibu membawa balita ke posyandu karena ibu akan mendapatkan imbalan seperti mendapatkan makanan tambahan berupa
bubur, susu ataupun mendapatkan vitamin A. Imbalan yang positif ini akan semakin memotivasi ibu untuk datang ke posyandu, dengan harapan bahwa anaknya akan
menjadi lebih sehat. 4.3. Tujuan motivasi
Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga
dapat memperoleh hasil dan mencapai tujuan Taufik, 2007.
Universitas Sumatera Utara
26
Setiap tindakan motivasi seseorang mempunyai tujuan yang akan dicapai. Makin jelas tujuan yang diharapkan atau akan dicapai, maka semakin jelas pula
bagaimana tindakan memotivasi itu dilakukan. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil apabila tujuannya jelas dan didasari oleh yang dimotivasi. Oleh karena
itu, setiap orang yang akan memberikan motivasi pada seseorang harus mengenal dan memahami benar-benar latar belakang kehidupan, kebutuhan, serta kepribadian
orang yang akan dimotivasi Taufik, 2007. 4.4. Unsur-unsur motivasi
Unsur-unsur motivasi terdiri dari sikap positif, orientasi pada pencapaian tujuan, dan daya dorong. Sedangkan unsur-unsur utama motivasi yaitu daya dorong,
daya fokus atau perhatian, dan daya topang atau penguatan. Daya dorong untuk melakukan suatu tindakan tertentu, daya fokus untuk memberikan perhatian khusus
terhadap suatu tindakan tertentu, dan daya topang untuk memperkuat atau memberi alasan pembenar bagi tindakan tertentu Denny, 1992 dalam Suharsono M., dan
Caroline M., 2008. Menurut Sardiman 2007, motivasi mengandung tiga unsur penting.
Pertama, motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di
dalam sistem neurophysiological yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia, penampakannya akan menyangkut kegiatan
fisik manusia. Kedua, motivasi ditandai dengan munculnya rasa “feeling”, atau
afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan perubahan tingkah laku manusia.
Ketiga, motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini
Universitas Sumatera Utara
27
sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam dari diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang
terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan yang akan dicapai oleh orang tersebut.
4.5. Fungsi motivasi Menurut Notoatmodjo 2007, motivasi mempunyai 3 tiga fungsi. Pertama,
mendorong manusia untuk berbuat, sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang
akan dikerjakan. Kedua, menentukan arah perbuatan yakni ke arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan
yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya. Ketiga, menyeleksi perbuatan yaitu menentukan perbuatan-perbuatan
apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan perbuatan
yang sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi karena sudah melakukan proses penyeleksian.
Universitas Sumatera Utara
28
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN