Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik

(1)

ANALISIS MAKNA PERIBAHASA DALAM BAHASA

MELAYU RIAU KABUPATEN KEPULAUAN

MERANTI: KAJIAN SEMANTIK

SKRIPSI

DIKERJAKAN OLEH

NAMA : ANGELIA RAMITA LUMBAN GAOL

NIM : 110702016

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS MAKNA PERIBAHASA DALAM BAHASA

MELAYU RIAU KABUPATEN KEPULAUAN

MERANTI: KAJIAN SEMANTIK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana

OLEH

ANGELIA RAMITA LUMBAN GAOL NIM 110702016

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. Drs. Irwan, M.Hum. NIP. 196207161988031002 NIP. 196110121990101001

Ketua Departemen Sastra Daerah

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. NIP. 196207161988031002


(3)

Disetujui oleh:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN

2015

Departemen Sastra Daerah

Ketua,

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. NIP 196207161988031002


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari/Tanggal:...

Fakultas Ilmu Budaya

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia ujian:

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. ... Dra. Herlina Ginting, M.Hum . ... Dra. Asriaty R.Purba, M.Hum. ... Drs. Irwan, M.Hum. ... Dr. Rozanna Mulyani, M.A. ...


(5)

ABSTRAK

Judul skripsi: Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik

Penelitian ini berjudul Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik. Desa Selatpanjang di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu desa yang penulis teliti. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menjelaskan jenis-jenis peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti; 2) Mendeskripsikan makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti. Penelitian tentang Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti ini adalah penelitian kajian semantik dengan menggunakan metode deskriptif. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Dapat memberikan penjelasan tentang jenis-jenis dan makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti; 2) Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya tentang analisis makna peribahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti; 3) Sebagai sumber informasi tentang kajian semantik bagi mahasiswa khususnya Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini penulis menerapkan penelitian yang bersifat deskriptif yakni berusaha menggambarkan secara objektif dan tepat tentang Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu: Kajian Semantik. Dengan demikian, metode yang digunakan tersebut sekaligus digunakan sebagai upaya ekplorasi terhadap gejala dan kenyataan yang diamati dan dipelajari dan pengumpulan data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik oleh Prof. DR. Henry Guntur Tarigan (1985) serta makna idiomatikal dan peribahasa oleh Abdul Chaer (2009). Menurut Tarigan (1985) mengatakan bahwa peribahasa merupakan suatu teknik pengajaran kosakata dan juga dapat menunjang pengajaran semantik. Peribahasa mungkin saja dapat dibagi-bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan sudut pandangan yang berbeda-beda. Tetapi dalam buku ini peribahasa dibagi atas tiga jenis, yaitu: a) Pepatah; b) Perumpamaan; c) Ungkapan. Chaer (2009) mengatakan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase atau kalimat) yang

“menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan lain selain mencarinya di dalam kamus. Hasil penelitian peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu. Peribahasa dalam sistem sosial budaya Melayu Riau lebih dilihat dan dimaknai sebagai nilai-nilai dasar yang menjadi patokan, berprilaku, dan sekaligus mengajarkan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang selaras dan seimbang. Dihubungkan dengan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat Melayu Riau yang sudah ada, peribahasa banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi, dan mempunyai fungsi sosial, seperti pendidikan, identitas diri, dan sebagai alat untuk memperoleh gengsi dalam masyarakat.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberi rahmat dan karunia-Nya serta kekuatan sehingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa

Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik”. Adapun hasil

penelitian ini penulis harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

terhadap kajian bahasa.

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang isi skripsi ini, penulis

memaparkan rincian sistematika penulisan ini sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang maslah,

rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

Bab II merupakan kajian pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan

dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi

penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, variabel

penelitian, populasi dan sampel, tahapan kegiatan.

Bab IV merupakan temuan penelitian dan pembahasan dan bab V

merupakan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya


(7)

Akhir kata, penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada para dosen di

Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatea Utara

yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu bagi penulis khususnya kepada

Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum. dan Bapak Drs. Irwan, M.Hum., yang

telah memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi

ini. Ucapan terima kasih, penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah

memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2015

Penulis,

Angelia Ramita Lumban Gaol


(8)

ر ڠف

ير ڠي , يا ڠي

ريد

ف ي ف ر يش يج ف

ف ڬڠي

ر ثيي ر اد

ر

ڠي ي فير ي يث ي ي

ي :ي ري

ف ي ف ير ي ي

اد

يريف ي ي ا " دجر

ڠف اد

فاد فر ي ف ي ا يي ي ف ي فادا ." ي

.

ي فد ر

رف ي ف ,ي ا ي فير ي ا ڠ

ف

د ي ق ا

ي

ي

:

ر يڬ ي ا ي ف ي ي

ڠي

د ف فر ا

اد يي ي ف

,

ڠ ر ف

. يي ي ف

. ڬ يد ڠي يرؤ اد ف ير ڠي

ف ي فر

ڠي يي ي ف يد فر

ر , يي ي ف ي ,ر د يد ف

ف ر يا , اد

ف , ف اد ي فف , يي ي ف يرف , اد ف ڠف يد , يي ي

. يڬ

اد ف

فر اد

ف اد يي ي ف

فر


(9)

ير ا . ڠر يڬ ر يرد ف ر دي ي ا ي فر يرادث ي ف

يرد ڠ ث ف ڠي ر اد ير فر ڠ ڠ ي ف , يا

ف

,ﭼ

ي د

.ي ا ي فير رف

ڠ ث ي ف , ري ا

رفد اد

د ارف ادف ي ير ف

ير ڠي ر ا رط

رفي ا ,يد يا

ف رياد ار

اد . . ,ڬ

ير . رد ف ادف ث

ي ف يڬ يا اد

ڠف

ڠي ,

, ريا . رد

ي ف اد ي ف ادف

اد ي ير ير

ا .ي ا ي فير

ا ي ف , ي ير ف

ادف ف

ير ڠي

ي ا ي فير ڬ ي ا ي فير ي ث د ي ف يڬ ر ف ڠ

ي يڬ ا ف ر

ڬا , دي

١٠

ي ف

ڬ

ي ر يي يڠا


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis tiada hentinya mengucapkan puji dan syukur serta berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesikan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sudah membantu penulis dalam memberikan arahan, motivasi, bimbingan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatn ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Pudek I, Pudek II, Pudek III, dan seluruh pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra

Daerah dan pembimbing I yang sudah memberikan motivasi, arahan dan masukan kepada penulis.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah, yang sudah memberikan arahan dan masukan kepada penulis. 4. Bapak Drs. Irwan, M.Hum., selaku pembimbing II yang sudah

memberikan arahan, motivasi dan masukan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Dosen-dosen penulis yang dengan kasih sayang memberikan ilmu dengan ikhlas memberikan pelajaran yang baik selama perkuliahan buat penulis yang tidak dapat disebut satu persatu.

6. Terima kasih kepada Ayahanda Drs. M. Lumban Gaol, M.Si dan ibunda R. Br. Marpaung, B.Sc yang sangat penulis hormati dan sayangi yang telah bersusah payah untuk membimbing penulis sejak kecil hingga dewasa, dan berkorban baik moril maupun material sehingga skripsi ini terselesaikan.


(11)

7. Terima kasih kepada kakak dan adikku tercinta Marisi Yohana Lumban Gaol, S.Hut, Indra Junjungan Lumban Gaol, S.Kom, Ester Lestari Katrina Lumban Gaol dan Winny Handayani Lumban Gaol yang telah membantu penulis dalam material dan juga atas doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Sahabat-sahabat penulis stambuk 2011 Royanti Lamtiur Purba, Ermawati, Tifanny Panjaitan dan yang lainnya saya ucapkan terima kasih atas saran dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman penulis semuanya yang telah mendukung penulis, yang tidak dapat ditulis satu persatu terima kasih atas kritik dan saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini yang telah membantu penulisan skripsi ini, kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga skripsi ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Angelia Ramita Lumban Gaol


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Masalah ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUTAKA ... 8

2.1 Kepustakaan Yang Relavan ... 8

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Pepatah ... 12

2.2.2 Perumpamaan ... 12

2.2.3 Ungkapan ... 14

2.2.4 Makna Idiomatikal dan Peribahasa ... 14

2.3 Pengertian Bahasa Melayu ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Metode Dasar ... 17

3.2 Lokasi, Sumber Data Penelitian ... 17

3.3 Instrumen Penelitian ... 18

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 18


(13)

BAB IV PEMBAHASAN ... 21

4.1 Pepatah ... 22

4.2 Perumpamaan ... 56

4.3 Ungkapan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

LAMPIRAN :

Surat Keterangan


(14)

ABSTRAK

Judul skripsi: Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik

Penelitian ini berjudul Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti: Kajian Semantik. Desa Selatpanjang di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu desa yang penulis teliti. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menjelaskan jenis-jenis peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti; 2) Mendeskripsikan makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti. Penelitian tentang Analisis Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti ini adalah penelitian kajian semantik dengan menggunakan metode deskriptif. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Dapat memberikan penjelasan tentang jenis-jenis dan makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti; 2) Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya tentang analisis makna peribahasa Melayu Riau Kabupaten Kepulauan Meranti; 3) Sebagai sumber informasi tentang kajian semantik bagi mahasiswa khususnya Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini penulis menerapkan penelitian yang bersifat deskriptif yakni berusaha menggambarkan secara objektif dan tepat tentang Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu: Kajian Semantik. Dengan demikian, metode yang digunakan tersebut sekaligus digunakan sebagai upaya ekplorasi terhadap gejala dan kenyataan yang diamati dan dipelajari dan pengumpulan data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik oleh Prof. DR. Henry Guntur Tarigan (1985) serta makna idiomatikal dan peribahasa oleh Abdul Chaer (2009). Menurut Tarigan (1985) mengatakan bahwa peribahasa merupakan suatu teknik pengajaran kosakata dan juga dapat menunjang pengajaran semantik. Peribahasa mungkin saja dapat dibagi-bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan sudut pandangan yang berbeda-beda. Tetapi dalam buku ini peribahasa dibagi atas tiga jenis, yaitu: a) Pepatah; b) Perumpamaan; c) Ungkapan. Chaer (2009) mengatakan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase atau kalimat) yang

“menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) tidak ada jalan lain selain mencarinya di dalam kamus. Hasil penelitian peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu. Peribahasa dalam sistem sosial budaya Melayu Riau lebih dilihat dan dimaknai sebagai nilai-nilai dasar yang menjadi patokan, berprilaku, dan sekaligus mengajarkan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang selaras dan seimbang. Dihubungkan dengan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat Melayu Riau yang sudah ada, peribahasa banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi, dan mempunyai fungsi sosial, seperti pendidikan, identitas diri, dan sebagai alat untuk memperoleh gengsi dalam masyarakat.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Melayu digunakan sebagai alat komunikasi baik lisan maupun

tulisan oleh masyarakat Melayu di Nusantara. Bahasa Melayu tersebar luas

hampir di seluruh wilayah Indonesia, akan tetapi pembahasan ini khusus

merujuk pada bahasa yang dipertuturkan di daerah Melayu Riau, Kabupaten

Kepulauan Meranti Kecamatan Tebing Tinggi Kota Selatpanjang.

Kabupaten Kepulauan Meranti adalah salah satu kabupaten di provinsi

Riau, Indonesia, dengan ibu kotanya adalah Selatpanjang. Secara geografis

kabupaten Kepulauan Meranti berada pada koordinat antara sekitar 0° 42' 30" -

1° 28' 0" LU, dan 102° 12' 0" - 103° 10' 0" BT, dan terletak pada bagian pesisir

timur pulau Sumatera, dengan pesisir pantai yang berbatasan dengan sejumlah

negara tetangga dan masuk dalam daerah Segitiga Pertumbuhan Ekonomi

(Growth Triagle) Indonesia - Malaysia - Singapore (IMS-GT) dan secara tidak

langsung sudah menjadi daerah Hinterland Kawasan Free Trade Zone (FTZ)

Batam - Tj. Balai Karimun. Dalam rangka memanfaatkan peluang dan

keuntungan posisi geografis dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah

perbatasan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura, maka wilayah


(16)

dengan Riau daratan dengan negara tetangga melalui jalur laut, hal ini untuk

melengkapi kota Dumai yang terlebih dahulu ditetapkan dan berfungsi sebagai

kota Pusat Kegiatan Strategis Negara yaitu yang berfungsi sebagai beranda

depan negara, pintu gerbang internasional, niaga dan industri.

Luas kabupaten Kepulauan Meranti : 3707,84 km², sedangkan luas kota

Selatpanjang adalah 45,44 km².

Bahasa Melayu Riau dalam pemakaian sehari-hari, sama seperti bahasa

daerah lainnya, mengalami frekuensi yang menurun dilihat dari kosakata yang

muncul, terutama kosakata baru yang merupakan budaya baru. Kosakata baru

bagi masyarakat bahasa Melayu Riau cenderung diserap melalui bahasa

Indonesia, yang sebagian besar lafalnya disesuaikan dengan lingkungan

fonetik bahasa Melayu.

Salah satu unsur bahasa yang cenderung baku dan beku, baik dari segi

struktur maupun makna (maksud) adalah unsur yang disebut peribahasa

(secara universal unsur ini dimiliki bahasa-bahasa yang ada di dunia dengan

bentuk-bentuk baku dan beku, yang sering disebut pula adalah unsur idiom).

Unsur tersebut diwariskan secara turun-temurun dengan struktur dan makna

yang sama meskipun sebagian makna ekspresi itu tidak cocok bagi budaya


(17)

Peribahasa Melayu mempunyai kaitan yang rapat dengan kehidupan

dan pemikiran bangsa Melayu. Sebagai salah satu puisi tertua yang

memaparkan akal budi bangsa Melayu, penciptaan peribahasa sangat terkait

dengan adat-istiadat Melayu lama. Sejajar dengan itu, menelusuri peribahasa

dapat dikaji struktur sosial Melayu lama, sikap, aktivitas kehidupan serta

falsafah hidup yang mereka anut.

Peribahasa Melayu diciptakan berdasarkan pengalaman hidup yang

memancarkan nilai dan hati budi orang Melayu. Perwatakan serta sifat-sifat

orang Melayu dapat juga diketahui dari peribahasa Melayu di mana peribahasa

berperanan sebagai hukum adat dan nasihat moral dalam mengawali tingkah

laku anggota masyarakatnya. Penciptaannya, yang berdasarkan keadaan

kehidupan bermasyarakat sebenarnya, memancarkan pemikiran bangsa Melayu

tentang alam kehidupan yang mereka alami.

Ungkapan yang berbunyi “Bahasa menunjukkan bangsa” mempunyai

makna bahwa adanya hubungan intrinsik antara bahasa dan sikap, pemikiran

dan perilaku sesuatu bangsa itu yang dapat diidentifikasi melalui pemakaian

bahasa termasuklah peribahasa dimana terkandung nilai-nilai budaya yang

mencerminkan kehidupan manusia pada waktu tertentu. Tidak dapat dipungkiri

bahwa peribahasa merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke

abad. Peribahasa merupakan pengungkapan emosi dalam masyarakat Melayu


(18)

Peribahasa merupakan khazanah ilmu pengetahuan dan budaya. Oleh

karena itu, penghayatan terhadap peribahasa akan memberikan keseimbangan

antara pemerolehan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dan

pembangunan jiwa di pihak lain.

Peribahasa dalam bahasa Melayu mencakup berbagai jenis atau genre

termasuk mamang, bidal, gurindam, pantun dan lain-lain. Sebagian daripada

peribahasa ini merupakan bentuk terikat lalu dipakai dalam kalimat biasa

dengan diberi sebuah referent (rujukan) yang menunjuk kepada apa atau siapa.

Pernyataan emosi yang menggunakan ungkapan tersurat, misalnya untuk

menyatakan kerendahan hati pihak penutur, “apalah… kita ini mentimun je…

takkanlah hak berlawanan dengan durian”. Pernyataan ini menggambarkan luapan emosi kecewa atau pernyataan ketidakmampuan untuk yang

dibicarakan. Ini salah satu fungsi penting metafora secara umum, yaitu

mengalihkan muatan emosi dari penutur ke pendengar. Hal ini dapat dilihat

dalam peribahasa yang mempunyai pesan yang berlaku dalam masyarakat

tetapi juga menilai emosi yang terungkap dari segi baik buruknya.

Karena sebagian besar peribahasa yang berkaitan dengan emosi

merujuk kepada perasaan universal yang tidak boleh dipisahkan daripada isi

kognitif pesannya. Peribahasa ini juga merupakan suatu bentuk nyata yang

dapat dikesan daripada kerangka budaya yang mengandung norma-norma


(19)

Sama halnya dengan peribahasa dalam bahasa lain, peribahasa Melayu

memiliki beberapa fungsi sosial, termasuk memberikan nasihat, pengamatan

terhadap dunia dan keadaan, sebagai tanda identitas pembicara sebagai

identitas pembicara sebagai anggota suatu kaum atau untuk memperindah

bahasa cakap.

Semua bahasa mempunyai berbagai strategi verbal untuk

menyampaikan emosi (perasaan), walaupun emosi sangat bersifat universal di

dalam arti bahasa dialami oleh semua manusia di dunia ini, tetapi

tindakan-tindakan emosi ini berbeda mengikuti budaya. Dengan ini emosi adalah

bersifat kultural spesifik yang berkaitan dengan tingkah laku dan tindakan

suatu masyarakat dalam memaparkan emosi tersebut. Emosi orang Melayu

berbeda dengan emosi orang India, orang Cina dan sebagainya. Ungkapan ini

merujuk keadaan yang mempengaruhi pikiran orang Melayu. Tidak heran

banyak peribahasa Melayu berkaitan dengan emosi dan reaksi terhadap emosi

yang dialami orang Melayu sejak dulu kala.

Peribahasa emosi dibagi beberapa kelompok, menurut metafora yang

dikandungi emosi yang digambarkan struktur atau hal lain yang mempermudah

analisis. Disamping itu setiap peribahasa mempunyai maksud sosial, pesan

yang sama-sama dimengerti pemakai dan pendengar yang berkaitan erat

dengan masyarakat dan keadaan mereka.

Oleh karena itu sangatlah wajar kalau peribahasa dikaji secara


(20)

sejak dahulu dan menambahkan pengetahuan kita mengenai pandangan dunia

suatu bangsa.

1.2Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah jenis-jenis peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten

Kepulauan Meranti?

2. Bagaimanakah makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten

Kepulauan Meranti ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah disebutkan di atas,

adapun tujuan penelitian yang dijelaskan adalah antara lain:

1. Menjelaskan jenis-jenis peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten

Kepulauan Meranti.

2. Mendeskripsikan makna peribahasa dalam bahasa Melayu Riau Kabupaten

Kepulauan Meranti.

1.4Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian ini, manfaat yang diharapkan dari


(21)

1. Meningkatkan kualitas pengetahuan pemahaman kajian semantik

terhadap peribahasa.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya tentang

analisis semantik terhadap peribahasa Melayu Riau.

3. Untuk menambah kepustakaan pada bidang linguistik.

4. Sebagai penambah pengetahuan dan penambah data kepustakaan di

Departemen Sastra Daerah khususnya Program Studi Bahasa dan Sastra


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kepustakaan yang Relevan

Sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik

berupa buku-buku acuan yang relevan maupun dengan

pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan yang berdasarkan fakta sangatlah

diperlukan untuk menghasilkan karya ilmiah yang objektif.

Berkaitan dengan judul proposal ini, penulis akan menguraikan

beberapa definisi tentang peribahasa.

Peribahasa ialah segala susunan cakap yang pendek yang telah melekat

di mulut orang ramai semenjak beberapa lama oleh sebab sedap dan bijak

perkataannya, luas dan benar tujuannya, dipakai akan dia jadi sebutan oleh

orang sebagai bandingan, teladan dan pengajaran. Maka ialah juga yang

dikatakan bidalan, pepatah, perbilangan dan perumpamaan kerana tiap-tiap

satu ini cakap yang mengandung segala sifat peribahasa yang telah disebutkan

itu (Za‟ba 1962, 165 dalam Harun Mat Piah).

KBBI dalam buku Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa

Sunda (1988:671 dan 991) mengatakan, “peribahasa merupakan kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan menyatakan suatu maksud


(23)

Ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas dan padat berisi perbandingan,

perumpamaan dan nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.

Peribahasa merupakan kelompok kata yang tetap susunannya dan

biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu. Poerwadarminta dalam buku

Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda (1976:738).

Penelitian Djajasudarma, dkk. (1997) dengan judul Nilai Budaya dalam

Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Hasil penelitiannya adalah bahwa peribahasa

merupakan unsur bahasa yang dapat menggambarkan budaya suatu masyarakat

bahasa pada zamannya atau unsur-unsur budaya yang memiliki nilai yang

sebagian besar menjadi pedoman atau larangan dalam aktivitas manusia

berbudaya.

Depdikbud dalam buku Pepatah-petitih dalam bahasa Dayak Ngaju

(1988:671), peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat; yang tetap

susunannya dan biasanya mengisahkan maksud tertentu.

Edward Djamaris dalam buku Pepatah-petitih dalam bahasa Dayak

Ngaju (1990:26), peribahasa itu ada yang bersifat universal, berlaku untuk

semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan banyak sesuai dengan

suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu

perumpamaan yang tepat; halus dan jelas; mutiara bahasa mustika bahasa,

bunga bahasa, keindahan bahasa, dan pula dianggap sebagai bahasa diplomasi.

Peribahasa adalah suatu kiasan bahasa yang berupa kalimat atau


(24)

nasihat, perbandingan, perumpamaan, prinsip dan aturan tingkah laku.

(http://bahasindo.blogspot.com/2012/08/peribahasa.html)

Poerwadarminta dalam buku Pengajaran Semantik (1976:738),

peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan

biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu.

Peribahasa merupakan kekayaan bahasa kita perlu kita pelihara

baik-baik. Memang ada peribahasa yang sudah menghilang, yang tidak dijumpai

lagi dalam percakapan sehari-hari tetapi masih banyak pula yang tetap

bertahan, Zakaria & Syofyan dalam buku Pengajaran Semantik (1984:7).

Tarigan dalam buku Pengajaran Semantik (1985:156), peribahasa

merupakan suatu teknik pengajaran kosakata dan juga dapat menunjang

pengajaran semantik. Di dalam setiap peribahasa terkandung bukan hanya

makna kamus tetapi juga makna majasi; bukan hanya arti kata-kata yang

sebenarnya tetapi juga arti kiasan, yang merupakan garapan semantik dan juga

pengajaran semantik.

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa peribahasa adalah kelompok

perkataan atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya menyatakan suatu

maksud tertentu (ke dalam peribahasa termasuk pula pepatah, perumpamaan


(25)

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk

yang berlaku secara umum dan akan mempermudah seorang penulis dalam

memecahkan suatu masalah yang dihadapinya. Teori yang digunakan untuk

membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi

penulis.

Dalam landasan teori penelitian ini, penulis menggunakan teori

semantik oleh Prof. DR. Henry Guntur Tarigan dan analisis makna idiomatikal

dan peribahasa oleh Abdul Chaer. Penulis menggunakan teori ini karena

penulis berpendapat bahwa untuk menganalisis Peribahasa Melayu Riau, teori

ini lebih sesuai.

Menurut Tarigan (1985:156), peribahasa merupakan suatu teknik

pengajaran kosakata dan juga dapat menunjang pengajaran semantik.

Peribahasa mungkin saja dapat dibagi-bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan

sudut pandangan yang berbeda-beda. Tetapi dalam buku ini peribahasa dibagi

atas tiga jenis, yaitu:

a. Pepatah

b. Perumpamaan


(26)

2.2.1 Pepatah

Pepatah adalah sejenis peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran

yang berasal dari orang tua-tua (Poerwadarminta; 1976 : 734). Jadi secara

singkat: pepatah adalah peribahasa yang berisi nasihat dan ajaran.

Contoh:

1. Datang tampak muka, pergi tampak punggung

(Datang dengan baik, pergi pun harus dengan baik pula)

2. Sepala-pala mandi biar basah

(Mengerjakan sesuatu perbuatan hendaklah sempurna, jangan

separuh-separuh)

3. Arang habis besi tak kimpal

(Kerugian sudah banyak, maksud tak sampai)

2.2.2 Perumpamaan

Perumpamaan adalah ibarat, amsal; persamaan (perbandingan)

peribahasa yang berupa perbandingan. (Poerwadarminta; 1976:1125).

Perbedaan utama antara pepatah dengan perumpamaan dapat kita lihat

dengan jelas pada pemakaian secara eksplisit kata-kata:

a. seperti

b. sebagai

c. laksana


(27)

e. bagai (kan)

f. seumpama

g. macam

h. umpama

dan sejenisnya, seperti beberapa contoh perumpamaan beserta maksud atau

maknanya.

1. Bagai air di daun talas.

(Dikiaskan kepada orang yang tiada tetap hatinya; mudah berubah-ubah

jika ada orang yang menyalahkan pendiriannya).

2. Umpama air digenggam tiada tiris

(Dikiaskan kepada orang yang sangat kikir, tidak sedikit juga terbuka

tangannya untuk menolong orang sengsara).

3. Bak alu pencungkil duri

(Melakukan pekerjaan yang sia-sia, yang tak mungkin berhasil).

4. Bagaikan anjing melintangi denai

(Dikiaskan kepada seseorang yang sombong menunjukkan

kesombongannya. Sangat gembira mendapat keterangan sesuatu)

5. Laksana antah lemukut, lapar sangat baru berguna

(Menunjukkan barang suatu yang tidak berharga dan kurang baik, tetapi


(28)

6. Penaka api di dalam sekam

(Rindu atau dendam tersembunyi; dari luar tidak kelihatan, tetapi di dalam

sudah remuk).

2.2.3 Ungkapan

Ungkapan ialah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk

menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan, seperti:

1. datang bulan

yang berarti haid;

2. celaka tiga belas

yang berarti celaka sekali. (Poerwadarminta; 1976 : 1129).

2.2.4 Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Untuk dapat memahami yang dimaksud dengan makna idiomatikal,

kiranya perlu diketahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Yang

dimaksud dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase

maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal

unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. (Chaer,

2009:74).

Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna „yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya‟; bentuk menjual sepeda bermakna „yang menjual menerima uang dan yang membeli


(29)

mendapat sepedanya‟; tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi, tidaklah memiliki makna seperti bentuk menjual rumah ataupun menjual

sepeda, melainkan bermakna „tertawa dengan keras‟. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itu yang disebut makna idiomatic. Seperti contoh

bentuk lain, membanting tulang, meja hijau, tulang punggung, dsb.

Kridalaksana (Chaer, 1993) menyebutnya dengan makna kiasan

(transferred meaning, figurative meaning) adalah pemakaian kata dengan

makna yang tidak sebenarnya.

2.3 Pengertian Bahasa Melayu

Menurut Ridwan (2005:81-124), bahasa Melayu sebagai sistem

mengisyaratkan keteraturan. Bahasa Melayu merupakan penanda identitas

masyarakat etnis budaya Melayu, juga penanda identitas utama kehidupan

manusia Melayu. Bahasa Melayu kaya akan nilai-nilai kemanusiaan yang

dikandungnya diekspresikan melalui berbagai bentuk dan jenis kebahasaan

ungkapan, kiasan, gurindam, seloka, pepatah, yang selalu membekali manusia

denngan peran tunjuk ajar untuk selalu berkehidupan yang baik dan berbudi

bahasa. Sikap berbahasa orang Melayu mencerminkan sentuhannya dengan

alam dan lingkungann yang menurut persepsi budaya dan memiliki

gejala-gejala hubungan antara sikap manusia dengan keyakinan, dambaan dan

tata-krama seperti yang diungkapkan melalui hasil-hasil kesusastraan dan bahasa


(30)

dalam pembinaan sikap hidup manusia yang berkepribadian dan melalui kata

dan ungkapan bahasa Melayu sesuai dengan pilar utama adat Melayu yang

bernuansakan Islam.

Sinar (2002:111) mengatakan bahwa “penutur bahasa Melayu adalah

masyarakat yang merupakann sekelompok manusia atau homo langues yang

hidup berkelompok dan saling mempengaruhi”. Bahasa Melayu juga bersifat

universal, selalu menerima, tidak ekslusif, terbuka dan toleransi terhadap

bahasa yang lain.

Bahasa Melayu Riau memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting

di wilayah pemakaiannya, yaitu berfungsi sebagai alat komunikasi antar warga

dalam kegiatan sehari-hari dan upacara adat. Sementara itu, di luar wilayah

pemakaiannya, bahasa Melayu Riau digunakan oleh masyarakat Melayu Deli

dan Sedang. Agar bahasa daerah Melayu tetap dapat berkembang, maka harus

tetap dilakukan pembinaannya.

Dalam hal ini bahasa Melayu Riau diteliti berdasarkan semantik dalam

kajian makna idiomatikal dan peribahasa menurut Abdul Chaer (2009) dan


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode adalah prosedur atau tata cara yang ditempuh untuk mencapai

tujuan tertentu. Dalam melakukan penelitian, penulis menerapkan penelitian

yang bersifat deskriptif yakni berusaha menggambarkan secara objektif dan

tepat tentang Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu: Kajian Semantik.

Dengan demikian, metode yang digunakan tersebut sekaligus digunakan

sebagai upaya ekplorasi terhadap gejala dan kenyataan yang diamati dan

dipelajari. Dapat dipahami, bahwa penggunaan metode tersebut akan sekaligus

dijadikan sebagai kerangka analisis dalam menjawab masalah-masalah yang

diajukan dalam penelitian.

Sebagaimana dijelaskan bahwa, fokus penelitian yang diarahkan pada

pemaparan inti Makna Peribahasa dalam Bahasa Melayu. Sesuai dengan objek

yang dikaji, pilihan metode ini adalah opsi yang cukup beralasan mengingat

sifatnya deskriptif.

3.2 Lokasi dan Sumber Data

Lokasi yang dijadikan objek penelitian adalah di Provinsi Riau,

Kabupaten Kepulauan Meranti Kecamatan Tebing Tinggi Desa Selatpanjang.


(32)

kelengkapan data peribahasa standar. Data tulis diambil dari berbagai kamus

dan hasil penelitian pemula.

Kamus yang digunakan sebagai sumber data tulis, antara lain Antologi

Puisi Lama Nusantara Berisi Nasihat dan Adat Budaya Melayu Jati Diri dan

Kepribadian dijadikan pula sebagai sumber data peribahasa Melayu.

3.3. Instrumen Penelitian

Sebelum penulis melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu

mempersiapkan instrumen atau alat bantu penelitian. Instrumen penelitian

adalah :

1. Alat tulis, berupa buku catatan dan pulpen untuk mencatat data-data yang

diperlukan.

2. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk membantu merekam

wawancara dengan informan, sehingga mempermudah penulis pada saat

pengolahan data.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data merupakan

langkah yang sangat penting dalam metode ilmiah, karena pada umumnya data


(33)

Teknik metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

1. Metode Observasi

Metode observasi yaitu mengadakan pengamatan secara langsung ke

daerah objek penelitian.

2. Metode Wawancara

Dengan cara mewawancarai informan atau dengan mengajukan

pertanyaan langsung kepada informan. Wawancara dilakukan untuk

memperoleh keterangan lebih lanjut dan terperinci mengenai Peribahasa

Melayu Riau.

3. Metode kepustakaan

Metode ini digunakan untuk mendapatkan keterangan tentang penelitian

yang pernah dilakukan terhadap peribahasa Melayu, mengumpulkan

buku-buku yang berhubungan dengan judul proposal.

3.5. Metode Analisa Data

Metode analisa data merupakan cara dalam pengolahan data, fakta atau

fenomena yang sifatnya belum dianalisis. Metode analisis data juga merupakan


(34)

Langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisis data pada

penelitian ini adalah :

1. Menuliskan data yang diperoleh dari lapangan

2. Data yang diperoleh diperiksa ulang kemudian dilakukan klasifikasi data.

3. Data yang diklasifikasikan sesuai dengan objek penelitian.

4. Setelah data diklasifikasikan, kemudian di analisis sesuai dengan kajian

yang diterapkan.


(35)

BAB IV

PEMBAHASAN

Dewasa ini banyak orang yang tidak mengetahui lagi arti sebuah

peribahasa; padahal peribahasa yang merupakan kekayaan bahasa kita perlu

kita pelihara baik-baik. Memang ada peribahasa yang sudah menghilang, yang

tidak dijumpai lagi dalam percakapan sehari-hari, tetapi masih banyak pula

yang tetap bertahan.

Karena itulah maka peribahasa itu perlu dilestarikan dan diajarkan

di sekolah-sekolah. Di samping itu memang peribahasa merupakan suatu

teknik pengajaran kosakata dan dapat menunjang pengajaran semantik. Di

dalam setiap peribahasa terkandung bukan hanya makna kamus tetapi juga

makna majas bukan hanya arti kata-kata yang sebenarnya tetapi juga arti

kiasan, yang merupakan garapan semantik dan juga pengajaran semantik.

Berikut ini penulis telah mengumpulkan data peribahasa yang akan

dikelompokkan dan dianalisis serta ditafsirkan kandungan karakternya

berdasarkan teori yang penulis gunakan di atas sebagai berikut :

1. Pepatah

2. Perumpamaan; dan


(36)

PEPATAH

1. Dayung sudah di tangan, perahu sudah di air.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah dayung sudah di

tangan perahu sudah di air adalah sebagai berikut. Pada kata „dayung dan

perahu‟ membandingkan arti apa yang dikehendaki, „di tangan/ di air‟ adalah

tempat yang baik atau pas buat untuk diperoleh terhadap apa yang

dikehendaki.

Secara idiomatis pepatah dayung sudah di tangan, perahu sudah di air

diumpamakan kepada segala-gala yang dikehendaki sudah diperoleh.

2. Yang lama dikelek, yang baharu didukung

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah yang lama

dikelek, yang baharu didukung adalah sebagai berikut. Pada kata „yang lama

dan yang baharu‟ membandingkan arti perubahan terhadap sesuatu, „dikelek/ didukung‟ sama dengan pengertian tetap diamalkan.

Secara idiomatis pepatah yang lama dikelek, yang baharu didukung

diumpamakan kepada adat yang lama tetap diamalkan di samping budaya


(37)

3. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah berat sama

dipikul, ringan sama dijinjing adalah sebagai berikut. Pada kata „berat dipikul,

ringan dijinjing‟, membandingkan beban (berat) ditanggung (dipikul), rasa

senang (ringan) dirasakan bersama (jinjing).

Secara idiomatis pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing

diumpamakan kepada: mengalami susah senang bersama-sama.

4. Kalah membeli menang memakai.

Secara harfiah, ungkapan kalah membeli menang memakai dapat

digambarkan sebagai berikut. Seseorang, misalnya Rina, membeli sesuatu (tas)

dengan harga yang agak mahal, tetapi kulaitas tas itu bagus sehingga dapat

digunakan oleh Rina dalam jangka waktu yang agak lama. Seorang yang lain,

misalnya Dini, juga membeli tas dengan harga yang lebih murah, tetapi

kualitas tas itu kurang bagus sehingga tidak dapat digunakan Dini dalam

jangka waktu yang agak lama. Dalam hal membeli, Rina kalah dari Dini

karena membeli tas itu dengan harga mahal, sedangkan Dini membeli tas itu

dengan harga murah. Namun, dalam hal memakai, Rina menang dari Dini

karena Rina dapat menggunakan tas itu dalam jangka waktu yang agak lama,

sedangkan Dini menggunakan tas itu dalam jangka waktu yang tidak terlalu


(38)

Secara idiomatis, ungkapan kalah membeli, menang memakai dapat

digunakan untuk menyatakan pendapat bahwa seseorang yang bijaksana akan

membeli barang yang kualitasnya baik dan dapat dipakai dalam jangka waktu

yang agak lama meskipun harganya mahal.

5. Dia gali lubang tutup lubang.

Secara harfiah, ungkapan gali lubang tutup lubang mempunyai makna

sebagai berikut. Seseorang menggali lubang, berarti ia membuat suatu

masalah. Lalu, ia mengatasi masalah itu dengan membuat masalah baru.

Keadaan seperti itu digambarkan dengan ungkapan gali lubang tutup lubang.

Secara idiomatis ungkapan gali lubang tutup lubang menggambarkan

keadaan seseorang yang hidup dengan berutang, tetapi tidak sanggup

membayar utangnya. Kemudian ia berutang kepada orang lain lagi untuk

membayar utangnya yang lama. Dengan cara itu ia terbebas sementara karena

utang lama sudah dapat dilunasinya. Secara singkat ungkapan itu bermakna

“membayar utang dengan uang yang diutang pula”.

6. Cepat kaki ringan tangan.

Secara harfiah, ungkapan cepat kaki ringan tangan dapat digambarkan

sebagai seseorang yang rajin, tidak pernah bermalas-malasan, cekatan, suka

bekerja, dan suka menolong orang lain. Dalam melakukan pekerjaannya, orang


(39)

dengan senang hati tanpa merasa terpaksa dan tidak menunggu-nunggu

perintah lagi.

7. Mumbang jatuh kelapa jatuh

Secara harfiah, ungkapan mumbang jatuh kelapa jatuh mengandung

makna bahwa bukan buah kelapa (biasanya buah kelapa yang sudah sangat tua

terlepas dari tangkainya) saja yang dapat jatuh atau gugur, melainkan

mumbang (putik yang bakal menjadi buah) pun dapat jatuh atau gugur.

Secara idiomatis ungkapan mumbang jatuh kelapa jatuh mengandung

makna „baik yang muda maupun yang tua pasti mati atau menemui ajalnya.‟

Ungkapan ini memberi nasihat atau peringatan kepada manusia bahwa maut

bukan milik orang tua saja, melainkan juga milik orang muda bahkan bayi

sekalipun dapat djemput maut.

8. Sudah memberi air kepada orang yang haus, memberi makan kepada

orang yang lapar.‟

Secara harfiah orang yang haus tentu ingin sekali minum agar hilang

hausnya itu. Orang yang lapar pun tentu ingin makan agar hilang rasa

laparnya. Jadi, jika orang haus diberi minum dan orang lapar diberi makan

betapa senang hatinya, hilang sudah kesusahan karena rasa haus dan lapar.

Secara idiomatis ungkapan memberi air kepada orang yang haus,


(40)

sengsara atau sedang dalam kesulitan. Dia sangat mengharapkan pertolongan.

Dengan pertolongan yang didapatnya itu ia terlepas dari kesulitan yang selama

ini dialaminya.

9. Anjing pun, kalau berjalan-jalan akan terkena tongkat.

Karena berjalan-jalan kesana kemari, seekor anjing, matanya menjadi

lebam seperti terkena tongkat. Hal yang baik seperti hujan musiman, yang

datangnya tak terduga, misalnya seperti ketika kita sedang berangkat ke

kantor. Selain itu juga mempunyai arti, seseorang mendapatkan keberuntungan

yang tidak terpikirkan sebelumnya.

10. Besar pasak daripada tiang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah besar pasak

daripada tiang adalah sebagai berikut. Seharusnya pasak harus lebih kecil

daripada tiang, jika pasak itu lebih besar, tentu tidak mungkin dapat

dimasukkan pada lubang tembus yang ada pada tiang.

Secara idiomatis pepatah besar pasak daripada tiang diumpamakan

kepada keadaan pengeluaran belanja lebih besar jumlahnya daripada


(41)

11 Tong kosong nyaring bunyinya.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah tong kosong

nyaring bunyinya adalah sebagai berikut. Disini orang yang tiada berilmu itu

diperbandingkan dengan tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang

kalau dipukul akan berbunyi nyaring; tong yang berisi penuh tentu tiada akan

berbunyi nyaring. Sebaliknya orang pandai, yang banyak ilmunya biasanya

pendiam, merunduk dan tidak pongah.

Secara idiomatis pepatah tong kosong nyaring bunyinya diumpamakann

kepada orang yang tiada berilmu biasanya banyak cakapnya. Keadaan ini

disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi Bagai padi, semakin berisi,

semakin runduk.

12. Hina besi karena karat.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah hina besi karena

karat adalah sebagai berikut. Pada kata „besi dan karat‟ membandingkan arti bahwa besi hancur karena karat, begitu juga dengan manusia mendapatkan

hinaan orang karena hidupnya miskin (melarat).

Secara idiomatis pepatah hina besi karena karat diumpamakan kepada


(42)

13. Macam abu diatas tunggul.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah macam abu

diatas tunggul adalah sebagai berikut. Pada kata „abu, tunggul‟ menajamkan arti yaitu „abu‟ diletakkan dimana saja; tertiup angin, dihapus akan dengan mudahnya terbang, begitu juga manusia gampang datang dan pergi.

Secara idiomatis pepatah macam abu diatas tunggul diumpamakan

kepada gampang datanng, gampang pergi. Dalam pepatah ini mempunyai

makna marah/ sindiran.

14. Cacing punya tai, kera punya “gah”.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah cacing punya tai,

kera punya “gah” adalah sebagai berikut. Pada kata „cacing-tai, kera-gah‟,

membandingkan arti yaitu „cacing/ kera‟ adalah manusia, „tai/ gah‟ adalah

tempat yang tidak baik atau pas buat manusia bersenang-senang.

Secara idiomatis pepatah cacing punyai tai, kera punya “gah” diumpamakan kepada senang tidak pada tempatnya.

15. Mata mengantuk bantal disodorkan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah mata mengantuk

bantal disodorkan adalah sebagai berikut. Pada kata „mata dan bantal‟,

membandingkan arti yaitu „mata‟ sama dengan hal yang diminta dari seseorang, „bantal‟ sama dengan yang didapatkan dari yang diminta.


(43)

Secara idiomatis pepatah mata mengantuk bantal disodorkan

diumpamakan kepada apa yang diinginkan mendapatkan sambutan.

16. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah sesal dahulu

pendapatan, sesal kemudian tak berguna adalah sebagai berikut. Pada kata

„pendapatan, tak berguna‟ membandingkan „pendapatan‟ adalah pengambilan keputusan dan „tak berguna‟ adalah keputusan yang salah.

Secara idiomatis pepatah sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak

berguna diumpamakan kepada dalam mengambil keputusan harus berhati-hati,

jangan sampai salah mengambil keputusan karena bisa membahayakan diri

sendiri.

17. Tak sia-sia pasang naik, tak sia-sia perahu berlayar, tak sia-sia matahari

terbit, tak sia-sia ternak disembelih, tak sia-sia malim diundang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah Tak sia-sia

pasang naik, tak sia perahu berlayar, tak sia matahari terbit, tak

sia-sia ternak disembelih, tak sia-sia-sia-sia malim diundang adalah sebagai berikut. Pada

„kata tak sia-sia‟ menajamkan arti yaitu menyatakan tidak berguna secara tak langsung.

Secara idiomatis pepatah tak sia-sia pasang naik, tak sia-sia perahu


(44)

malim diundang diumpamakan kepada segala keputusan yang telah disetujui

supaya jangan tidak berguna dan hanya lelah saja yang diperoleh.

18. Sebesar-besar gunung, lebih besar maksud yang kami kandung.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah Sebesar-besar

gunung, lebih besar maksud yang kami kandung adalah sebagai berikut. Pada

kata „sebesar-besar gunung‟, membandingkan hasrat hati yang begitu membara seperti sebesar gunung.

Secara idiomatis pepatah diumpamakan kepada penghulu telangkai

berharap sekali jawaban dari pihak perempuan menerima pinangan mereka.

19. Siapa suka bersangka buruk, orang melarat hidup pun teruk.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah siapa suka

bersangka buruk, orang melarat hidup pun teruk adalah sebagai berikut. Pada

kata „buruk dan teruk‟ membandingkan arti bahwa pikiran yang selalu jelek

pada orang lain akan menyusahkan diri sendiri.

Secara idiomatis pepatah siapa suka bersangka buruk, orang melarat

hidup pun teruk diumpamakan kepada: jangan berburuk sangka kepada orang


(45)

19. Sudah jatuh ketimpa tangga.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah sudah jatuh

ketimpa tangga adalah sebagai berikut. Pada kata „jatuh dan ketimpa‟

menajamkan „arti‟ yaitu jatuh adalah suatu hal yang tidak enak dirasakan pada

tubuh manusia karena sakit, sedangkan „ketimpa‟ adalah keadaan yang

menyesakkan nafas. Jadi jatuh adalah masalah yang diperoleh, belum lagi

selesai datang pula masalah yang lain (ketimpa).

Secara idiomatis pepatah sudah jatuh ketimpa tangga diumpamakan

kepada: baru saja mendapat musibah, belum selesai mendapatkan musibah

lagi.

20. Berkotek di luar sangkar, bertelur diluar pagar.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah berkotek di luar

sangkar, bertelur diluar pagar adalah sebagai berikut. Pada kata „berkotek -sangkar, bertelur-pagar‟, membandingkan arti bahwa „berkotek dan bertelur‟

sama dengan memberikan keterangan, „sangkar dan pagar‟ sama dengan

setelah perkara diputuskan.

Secara idiomatis pepatah berkotek di luar sangkar, bertelur diluar

pagar diumpamakan kepada: setelah perkara diputuskan, baru memberi


(46)

21. Nyamuk mati gatal tak habis.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah nyamuk mati

gatal tak habis adalah sebagai berikut. Pada kata „mati dan gatal‟, menajamkan

arti yaitu „mati‟ maksudnya adalah masalah sudah selesai, „gatal‟ maksudnya

dendam yang tak kunjung reda dan tetap membara.

Secara idiomatis pepatah nyamuk mati gatal tak habis diumpamakan

kepada: menaruh dendam meski perkara selesai.

22. Kalau tak berhemat cermat, karam dilaut sesat di darat.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah kalau tak

berhemat cermat, karam dilaut sesat di darat adalah sebagai berikut. Pada kata

„tak hemat cermat, karam dan sesat‟, menajamkan arti yaitu „tak hemat cermat‟ maksudnya sikap boros, „karam dan sesat‟ maksudnya akan celaka kalau sikap

boros terus-terusan dilakukan.

Secara idiomatis pepatah kalau tak berhemat cermat, karam dilaut

sesat di darat diumpamakan kepada: sikap boros dapat mencelakakan.

23. Tahu dilihat cermin orang, tahu dikias gunjing orang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah tahu dilihat

cermin orang, tahu dikias gunjing orang adalah sebagai berikut. Pada kata

„dilihat cermin, dikias gunjing‟, menajamkan arti dilihat cermin berarti kita harus mengkoreksi sikap dan sifat diri sendiri baru lihat sikap orang lain, „kias


(47)

gunjing‟ maksudnya hargai dan hati-hati dengan pujian, komentar, serta ejekan orang lain terhadap diri kita.

Secara idiomatis pepatah tahu dilihat cermin orang, tahu dikias gunjing

orang diumpamakan kepada: menjaga kesopanan dan tingkah laku dan

menghargai serta mewaspadai kritik dan komentar orang lain.

24.Piring tak retak, nasi tak dingin.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah piring tak retak,

nasi tak dingin adalah sebagai berikut. Pada kata „piring retak, nasi dingin‟,

menajamkan arti yaitu „piring‟ yaitu keinginan, „retak‟ yaitu ditolak, „nasi‟ yaitu orang yang diinginkan, „dingin‟ yaitu tolakan.

Secara idiomatis pepatah piring tak retak, nasi tak dingin diumpamakan

kepada: apabila pinangan ditolak, tidak mengapa, pihak laki-laki pun tak

memaksa.

25. Kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata

pelihara lidah.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah kalau berjalan

pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah

adalah sebagai berikut. Pada kata „kaki, mata, lidah‟, menajamkan arti yaitu „kaki‟ alat berjalan harus diarahkan ke tempat yang baik, „mata‟ alat melihat


(48)

harus dibuka untuk melihat hal yang baik, „lidah‟ alat berbicara harus

digunakan untuk mengucapkan kata yang baik-baik saja.

Secara idiomatis pepatah kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat

pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah diumpamakan kepada: dalam

menjalani bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu-rambu

pernikahan dan menjaga segalanya dengan damai.

26. Tercubit kulit ikut daging.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah tercubit kulit ikut

daging adalah sebagai berikut. Pada kata „kulit dan daging‟, membandingkan

arti „kulit‟ sama dengan malu, „daging‟ sama dengan saudara dan orang tua.

Secara idiomatis pepatah tercubit kulit ikut daging diumpamakan

kepada: Jangan buat malu, karena saudara dan orang tua ikut malu juga.

27. Menitipkan pisang pada kere (kera).

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah menitipkan

pisang pada kere (kera) adalah sebagai berikut. Pada kata „pisang, kere‟,

menajamkan arti yaitu „pisang‟ adalah makanan kesukaan „kera‟, jangankan

dititipkan, didekatkan saja langsung dimakan, pisang adalah amanah, harus

disampaikan pada orang yang tepat, bukan pada sembarangan orang.

Secara idiomatis pepatah menitipkan pisang pada kere (kera)


(49)

28. Anjing menggonggong kafilah berlalu.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah anjing

menggonggong kafilah berlalu adalah sebagai berikut. Pada kata „anjing

menggonggong, kafilah‟, membandingkan arti yaitu „anjing‟ menggonggong sama dengan orang yang suka usil, „kafilah‟ adalah orang yang diusil.

Secara idiomatis pepatah Anjing menggonggong kafilah berlalu

diumpamakan kepada: apapun yang dikatakan orang biarkan saja karena yang

dikatakannya tidak benar.

29. Ubah dan ganti, tukar dan anjak, bernaung pada kitabullah dan rumah

nabi.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah ubah dan ganti,

tukar dan anjak, bernaung pada kitabullah dan rumah nabi adalah sebagai

berikut. Pada kata „ubah dan bernaung‟, menajamkan arti yaitu „ubah‟

maknanya berganti tentang hukum, adat atau apapun tetapi harus tetap

„bernaung‟ artinya berpedoman/ berdasarkan pada kitab Al-Qur‟an.

Secara idiomatis pepatah ubah dan ganti, tukar dan anjak, bernaung

pada kitabullah dan rumah nabi diumpamakan kepada: setiap perubahan


(50)

30. Mengubah jangan semena-mena, mengganti jangan sesuka hati.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah mengubah

jangan semena-mena, mengganti jangan sesuka hati adalah sebagai berikut.

Pada kata „semena-mena‟, menajamkan arti yaitu menyatakan sesuka hati menurutkan nafsu yang tidak baik.

Secara idiomatis pepatah mengubah jangan semena-mena, mengganti

jangan sesuka hati diumpamakan kepada: jangan semewenang-wenang

menurut nafsu.

31. Hilang jasa beliung, timbul jasa rimbas.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah hilang jasa

beliung, timbul jasa rimbas adalah sebagai berikut. Pada kata „beliung dan

rimbas‟, membandingkan arti yaitu „beliung‟ sama dengan kebaikan seseorang,

„rimbas‟ sama dengan kebusukan seseorang.

Secara idiomatis pepatah hilang jasa beliung, timbul jasa rimbas

diumpamakan kepada: hilang jasa seseorang, busuk orang tahu.

32. Beranak tiada berbidan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah beranak tiada

berbidan adalah sebagai berikut. Pada kata „beranak dan berbidan‟,

menajamkan arti yaitu „beranak‟ berarti suatu keadaan melahirkan yang susah, sakit dan bertaruh nyawa, „bidan‟ adalah seseorang yang ahli menolong dalam


(51)

melahirkan. Maksudnya „beranak‟ adalah keadaan susah, „tiada berbidan‟

adalah karena kebodohan sendiri.

Secara idiomatis pepatah beranak tiada berbidan diumpamakan

kepada: seseorang dalam kesusahan karena kebodohan sendiri.

33. Tiada biduk karam sebelah.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah tiada biduk

karam sebelah adalah sebagai berikut. Pada kata „biduk karam‟,

membandingkan arti yaitu „biduk‟ adalah satu keluarga, „karam sebelah‟

adalah anak yang nakal yang membuat malu satu keluarga.

Secara idiomatis pepatah tiada biduk karam sebelah diumpamakan

kepada: anak celaka, satu keluuarga menderita juga.

34. Janganlah menjadi itik tak sudu, ayam tak patuh.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah janganlah

menjadi itik tak sudu, ayam tak patuh adalah sebagai berikut. Pada kata „tak

sudu dan tak patuh‟, membandingkan arti yaitu „tak sudu‟ artinya tercampak begitu saja akhirnya kehinaan yang datang, „tak patuh‟ artinya tidak menuruti

peraturan akhirnya menjadi tak berguna.

Secara idiomatis pepatah janganlah menjadi itik tak sudu, ayam tak

patuh diumpamakan kepada: janganlah jadi orang yang hina atau benda yang


(52)

35. Biar jatuh terletak, jangan jatuh terhempas.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah biar jatuh

terletak, jangan jatuh terhempas adalah sebagai berikut. Pada kata „biar

terletak, jangan terhempas‟, menajamkan arti yaitu „terletak‟ adalah suatu tindakan yang lembut walaupun sakit, tapi kalau „terhempas‟ adalah suatu

keadaan yang terletak secara terpaksa dan keadaan yang menyakitkan.

Secara idiomatis pepatah biar jatuh terletak, jangan jatuh terhempas

diumpamakan kepada: kalau sebagai pejabat lebih baik mengundurkan diri

sebelum dipecat.

36. Jauh mencari suku, dekat mencari induk.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah jauh mencari

suku, dekat mencari induk adalah sebagai berikut. Pada kata „jauh suku, dekat

induk‟, menajamkan arti yaitu kemanapun kita pergi merantau tetap yang

paling enak adalah bertemu dengan satu suku karena cuma mereka saudara kita

di tempat asing, tapi kalau tidak merantau pasti yang kita cari adalah teman

dekat.

Secara idiomatis pepatah jauh mencari suku, dekat mencari induk

diumpamakan kepada: jika merantau carilah sesuku dengan kita, kalau dekat


(53)

37. Rusa masih di hutan, arang sudah membara.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah rusa masih di

hutan, arang sudah membara adalah sebagai berikut. Pada kata „rusa,

membara‟, membandingkan arti yaitu „rusa di hutan‟ sama dengan sesuatu yang belum diraih, „arang membara‟ sama dengan sudah digembar -gemborkan.

Secara idiomatis pepatah rusa masih di hutan, arang sudah membara

diumpamakan kepada: sesuatu yang belum diraih, tapi sudah

digembar-gemborkan.

38. Sepuluh batang bertindih, batang di bawah yang keberatan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah sepuluh batang

bertindih, batang di bawah yang keberatan adalah sebagai berikut. Pada kata

„bertindih, keberatan‟, membandingkan arti yaitu „bertindih‟sama dengan para pejabat yang berbuat jahat, „keberatan‟ sama dengan masyarakat yang menderita.

Secara idiomatis pepatah sepuluh batang bertindih, batang di bawah

yang keberatan diumpamakan kepada: para pejabat tinggi melakukan


(54)

39. Kuini yang bau, bacang yang nampak.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah kuini yang bau,

bacang yang nampak adalah sebagai berikut. Pada kata „kuini bau dan bacang

nampak‟, membandingkan arti yaitu kuini bau sama dengan pekerja yang

berpikir keras hasilnya baik, tapi yang mendapat pujian adalah „bacang

namapak‟ yaitu pimpinan.

Secara idiomatis pepatah kuini yang bau, bacang yang nampak

diumpamakan kepada: para pekerja yang bekerja dan berpikir keras, pimpinan

yang dipuji.

40. Pinang tak berbuah, sirih yang ditebas.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah pinang tak

berbuah, sirih yang ditebas adalah sebagai berikut. Pada kata „pinang berbuah,

sirih ditebas‟, membandingkan arti yaitu „pinang tak berbuah‟ sama dengan diri sendiri yang teledor, „sirih ditebas‟ sama dengan orang lain yang disalahkan.

Secara idiomatis pepatah pinang tak berbuah, sirih yang ditebas

diumpamakan kepada: kesalahan dilakukan karena ulah diri sendiri, tetapi


(55)

41. Berakit-rakit kita ke hulu, berenang kita ke tepian, bersakit dahulu senang

pun tak datang malah mati kemudian.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah berakit-rakit kita

ke hulu, berenang kita ke tepian, bersakit dahulu senang pun tak datang malah

mati kemudian adalah sebagai berikut. Pada kata „berakit-rakit‟ maksudnya menggunakan sejenis sampan kecil untuk menyeberangi sungai. Menggunakan

rakit harus berhati-hati karena kalau tidak, bisa terjatuh dan tenggelam ke

sungai. Begitu juga rakyat miskin, sudah berusaha keras untuk memenuhi

kebutuhan, itu pun hanya makan sehari saja terpenuhi, bahkan kadang-kadang

mereka tidak memperoleh apa-apa. Jadi „berakit-rakit‟ sama dengan berusaha

keras, „malah mati kemudian‟ sama dengan sudah berusaha keras bekerja

namun hasil tak ada. Dalam pepatah ini beroperasi menggunakan bahasa

figuratif.

Secara idiomatis pepatah berakit-rakit kita ke hulu, berenang kita ke

tepian, bersakit dahulu senang pun tak datang malah mati kemudian

diumpamakan kepada: orang zaman sekarang (tingkat ekonominya menengah

ke bawah) berusaha segiat apapun dia akan tetap miskin, karena para pejabat

tidak peduli dengan keadaan mereka dan hanya memperkaya diri sendiri tanpa


(56)

42. Diberi hati minta jantung, diberi jantung minta nyawa, nya mu yang ku

telan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah diberi hati minta

jantung, diberi jantung minta nyawa, nya mu yang ku telan adalah sebagai

berikut. Pada kata „hati‟ adalah bantuan yang diberikan, „jantung‟ adalah

bantuan yang lebih, „nyawa‟ adalah yang dibantu ingin menguasai. Jadi dalam pepatah ini mengatakan secara tak langsung sifat orang yang diberi bantuan

adalah rakus dan tamak.

Secara idiomatis pepatah diberi hati minta jantung, diberi jantung

minta nyawa, nya mu yang ku telan diumpamakan kepada: sudah diberi

bantuan minta lagi, sudah diberi lebih mau menguasai bahkan melakukan

tindakan pembunuhan, akhirnya yang memberi bantuan marah dan semua

bantuan diambil kembali.

43. Uang mu adalah uang ku, uang ku milikku sendiri.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah uang mu adalah

uang ku, uang ku milikku sendiri adalah sebagai berikut. Pada kata „uang‟

sama dengan harta, „ku‟ sama dengan orang yang pelit.

Secara idiomatis pepatah uang mu adalah uang ku, uang ku milikku


(57)

lain, sementara hartanya sendiri tidak pernah dibagi-bagikan. Alias pelit,

curang dan dengki.

44. Sirik tanda tak mampu.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah sirik tanda tak

mampu adalah sebagai berikut. Pada kata „sirik‟ adalah sifat manusia yang

artinya iri hati, „tak mampu‟ maknanya ketidakmampuan seseorang untuk

berkompeten dengan temannya, akhirnya melakukan sesuatu yang tak baik

terhadap temannya yang berhasil.

Secara idiomatis pepatah sirik tanda tak mampu diumpamakan kepada:

orang yang mempunyai rasa benci pada orang lain bersifat sirik yaitu selalu iri

hati atas keberhasilan orang lain, karena ketidakmampuannya.

45. Umur baru seumur jagung, darahpun baru setampuk pinang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah umur baru

seumur jagung, darahpun baru setampuk pinang adalah sebagai berikut. Pada

kata „seumur jagung dan setampuk pinang‟ menajamkan arti menyatakan usia

si gadis baru saja beranjak dewasa dan belum pantas untuk menikah karena


(58)

Secara idiomatis pepatah umur baru seumur jagung, darahpun baru

setampuk pinang diumpamakan kepada: usia si gadis masih muda muda belum

bisa dipercaya untuk mengurus rumah tangga.

46. Nampaknya gayung telah bersambut juga.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah nampaknya

gayung telah bersambut juga adalah sebagai berikut. Pada kata „gayung‟ membandingkan apa yang diinginkan sama dengan gayung yang dicidukkan ke

air dan sudah pasti air yang diinginkan diperoleh.

Secara idiomatis pepatah nampaknya gayung telah bersambut juga

diumpamakan kepada: apa yang ditanyakan dan diinginkan akhirnya

diindahkan juga bagi yang diajak bicara.

47. Begitu di lidah, begitu di hati.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah begitu di lidah,

begitu di hati adalah sebagai berikut. Pada kata „lidah dan hati‟, membandingkan arti bahwa apa yang diucapkan, begitu juga dengan apa yang

tersirat di hati.


(59)

48. Tanda manusia tetap beradat, tanda kampung tetap berpenghulu.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah tanda manusia

tetap beradat, tanda kampung tetap berpenghulu adalah sebagai berikut. Pada

kata „beradat dan berpenghulu‟, membandingkan arti bahwa setiap sesuatu pasti kembali pada bagian utamanya/ pemimpinnya.

Secara idiomatis pepatah tanda manusia tetap beradat, tanda kampung

tetap berpenghulu diumpamakan kepada: apapun keputusan yang diambil tetap

harus dalam adat yang berlaku.

49. Dimana ranting dipatah, di situ air disauk, dimana tanah dipijak, disitu

langit dijunjung.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah dimana ranting

dipatah, di situ air disauk, dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung adalah

sebagai berikut. Pada kata „ranting dipatah, air disauk, tanah dipijak, langit

dijunjung‟, membandingkan arti bahwa dimanapun kita berada, kita harus

menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan tata cara kehidupan serta


(60)

Secara idiomatis pepatah dimana ranting dipatah, di situ air disauk,

dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung diumpamakan kepada: adat akan

diikuti sesuai dengan adat yang ada pada anak perempuan.

50. Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah adat bersendikan

syarak, syarak bersendikan kitabullah adalah sebagai berikut. Pada kata

„syarak dan kitabullah‟, menajamkan arti yaitu menyatakan bahwa Islam

dalam Melayu adalah yang nomor satu sehingga dalam melakukan segala

sesuatu harus berlandaskan pada hukum Islam yang terdapat dalam kitab

Al-Qur‟an.

Secara idiomatis pepatah adat bersendikan syarak, syarak bersendikan

kitabullah diumpamakan kepada: semua adat yang dilakukan harus

berdasarkan pada agama Islam hukumnya.

51. Berenang galinjir, tahu awak mana jantan, mana betina.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah berenang

galinjir, tahu awak mana jantan, mana betina adalah sebagai berikut. Pada


(61)

sejenis ikan kalau berenang baru ketahuan mana jantan mana betina dengan

orang yang berilmu tahu membedakan yang baik dan yang jelek.

Secara idiomatis pepatah berenang galinjir, tahu awak mana jantan,

mana betina diumpamakan kepada: orang banyak ilmu tahu membedakan

mana yang baik dan mana yang buruk.

52. Kalau muka yang buruk usah cermin dipecahkan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah kalau muka yang

buruk usah cermin dipecahkan adalah sebagai berikut. Pada kata „muka buruk,

cermin dipecahkan‟, membandingkan arti yaitu „muka buruk‟ disamakan dengan kesusahan dari diri sendiri, „cermin dipecahkan‟ disamakan dengan

orang lain yang disalahkan atau kesusahan itu.

Secara idiomatis pepatah kalau muka yang buruk usah cermin

dipecahkan diumpamakan kepada: kalau memang kesusahan itu datangnya

dari diri sendiri, tidak usah orang yang disalahkan.

53. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah lebih baik


(62)

kalau sudah mati apapun yang terjadi kita tidak tahu lagi, „putih mata‟

maksudnya malu, menutup mata karena tidak mau melihat orang.

Secara idiomatis pepatah lebih baik berputih tulang daripada berputih

mata diumpamakan kepada: lebih baik mati dari pada menanggung malu.

54. Bak pucuk eru, kemana angin bertiup kesitu dia bergoyang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah adalah sebagai

berikut. Pada kata „pucuk eru‟, membandingkan arti yaitu „pucuk eru‟ disamakan dengan sifat manusia yang tidak punya pendirian.

Secara idiomatis pepatah diumpamakan kepada: orang yang tak punya

pendirian.

55. Karena mulut punggung bertai.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah karena mulut

punggung bertai adalah sebagai berikut. Pada kata „bertai‟, menajamkan arti

yaitu „bertai‟ maksudnya perolehan atau mempunyai hasil dari apa yang

dilakukan, dan yang melakukan sesuatu adalah diri kita sendiri.

Secara idiomatis pepatah karena mulut punggung bertai diumpamakan


(63)

56. Elok anak karena emak, baik anak karena bapak.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah elok anak karena

emak, baik anak karena bapak adalah sebagai berikut. Pada kata „elok emak,

baik bapak‟, membandingkan arti yaitu „emak dan bapak‟ adalah sepasang

manusia yang ideal dan seimbang artinya kehidupan harus bisa diseimbangkan

seperti keselarasan emak dan bapak.

Secara idiomatis pepatah elok anak karena emak, baik anak karena

bapak diumpamakan kepada: keselarasan yang berhasil bagi anak didik.

57. Kalau bersahabat berapat-rapat, selalu rapat jadi mudarat.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah kalau

bersahabat berapat-rapat, selalu rapat jadi mudarat adalah sebagai berikut.

Pada kata „berapat-rapat‟, menajamkan arti yaitu berapat-rapat sama dengan artinya terlalu dekat, karena terlalu dekat akhirnya pada saat bertengkar

menimbulkan permusuhan yang abadi.

Secara idiomatis pepatah kalau bersahabat berapat-rapat, selalu rapat

jadi mudarat diumpamakan kepada: persahabatan yang hancur akibat terlalu


(64)

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah hutang budi

dibawa mati, beban tak lepas seumur hidup adalah sebagai berikut. Pada kata

„hutang budi dan beban‟, membandingkan arti yaitu „hutang budi‟ adalah jasa

seseorang yang tak bisa dibayar dengan apapun dan merupakan „beban‟ seorang manusia terhadap penolongnya.

Secara idiomatis pepatah hutang budi dibawa mati, beban tak lepas

seumur hidup diumpamakan kepada: hutang budi tak terganti sampai mati.

59. Terlanggar pantang hidup, terbuang tersalah adat hidup melarat.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah terlanggar

pantang hidup, terbuang tersalah adat hidup melarat adalah sebagai berikut.

Pada kata „terbuang, tersalah‟, menajamkan arti yaitu setiap peraturan sulit

untuk dilaksanakan tapi harus dipatuhi.

Secara idiomatis pepatah terlanggar pantang hidup, terbuang tersalah

adat hidup melarat diumpamakan kepada: anak agar menjaga pantang dan

larang meskipun sulit.


(65)

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah pekak-pekak

badak adalah sebagai berikut. Pada kata „badak‟, membandingkan arti yaitu

„badak‟ adalah seekor binatang yang berkulit keras disenggol/ dipegang tidak

akan terasa bagi binatang tersebut, begitu juga bagi manusia yang sudah

dinasihati telinga dan jiwanya sama seperti kulit badak tersebut.

Secara idiomatis pepatah pekak-pekak badak diumpamakan kepada:

anak muda yang pura-pura tidak mengerti mufakat orang-orang tua.

61. Punggur terbang, pelatuk menumpang mati.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah punggur

terbang, pelatuk menumpang mati adalah sebagai berikut. Pada kata „pelatuk‟,

membandingkan arti yaitu „pelatuk‟ adalah sejenis burung yang disamakan

dengan dosa orang yang menjadi beban orang lain.

Secara idiomatis pepatah punggur terbang, pelatuk menumpang mati


(66)

62. Malu bertanya sesat di jalan.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah malu bertanya

sesat di jalan adalah sebagai berikut. Pada kata „malu, menajamkan arti yaitu

„malu‟ adalah suatu tindakan atau tingkah laku yang satu sisi menguntungkan

dan satu sisi lagi merugikan.

Secara idiomatis pepatah malu bertanya sesat di jalan diumpamakan

kepada: kunci ilmu adalah bertanya agar anak pintar (bertambah ilmu).

63. Harga garam pada asinnya, harga manusia pada malunya.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah harga garam

pada asinnya, harga manusia pada malunya adalah sebagai berikut. Pada kata

„asin dan malu‟, menajamkan arti yaitu „asin‟ adalah penanda utama pada

garam, dan „malu‟ adalah penanda pada manusia.

Secara idiomatis pepatah harga garam pada asinnya, harga manusia

pada malunya diumpamakan kepada: manusia harus menjaga marwah diri


(67)

64. Habis manis sepah dibuang.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah habis manis

sepah dibuang adalah sebagai berikut. Pada kata „manis dan sepah‟,

menajamkan arti yaitu „manis‟ sama dengan sesuatu yang indah, baik, enak, sedap dan nikmat, sedangkan „sepah‟ sama dengan sampah, sisa, ampas yang harus dibuang dan dilenyapkan. Jadi segala kebaikan diambil dari seseorang,

setelah dipakai dicampakkan begitu saja.

Secara idiomatis pepatah habis manis sepah dibuang diumpamakan

kepada: seseorang memanfaatkan teman/ orang lain untuk kenikmatannya

sendiri setelah dimanfaatkan, dilupakan begitu saja bahkan kalau bisa

dilenyapkan.

65. Jangan sampai cacing naik ke mata.

Secara harfiah makna yang terkandung dalam pepatah jangan sampai

cacing naik ke mata adalah sebagai berikut. Pada kata „cacing naik ke mata‟,

membandingkan arti yaitu „cacing‟ disamakan dengan masyarakat yang bertanggung jawab, „naik ke mata‟ sama dengan mengendalikan pemimpin.

Secara idiomatis pepatah jangan sampai cacing naik ke mata


(1)

7. biang keladi

Idiom biang keladi digunakan untuk menjelaskan penyebab atau asal mula (muasal) suatu peristiwa yang selalu dianggap bersifat negatif. Dapat saja yang menjadi penyebab peristiwa itu terlibat langsung, tetapi dapat juga tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu.

8. darah daging

Idiom darah daging digunakan untuk menyatakan tali kekerabatan. Adakalanya idiom darah daging digunakan sebagai sindiran untuk mengingatkan atau menekankan sesuatu karena orang yang dituju sudah mulai lupa akan tanggung jawab dan tugasnya.

9. sudah berpulang ke rahmatullah. 10. sudah berpulang ke alam baka

Dalam bahasa Indonesia adakalanya orang menggunakan bentukan sudah berpulang ke alam baka, sudah berpulang ke asalnya, sudah berpulang ke rahmatullah untuk menyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Idiom verbal dengan menggunakan kata sedang mengandung makna „dalam

keadaan‟. Dari data yang diamati, hanya ditemukan beberapa data idiom verbal

dengan menggunakan kata sedang atau tengah yang mengandung makna


(2)

11. Celaka Ayam

Maknanya: marah/sindiran halus, artinya sudah ada rumah tetapi suka

bertandang tidur di rumah orang. Tingkah laku „ayam‟ walaupun sudah disediakan kandang, tetapi tetap saja tidur di kandang bebek atau angsa. Rasa marah/peduli orang tua terhadap anaknya karena tidak bisa dinasihati untuk betah di rumah. Analisis: kalimat celaka ayam dihubungkan dengan

karakteristik manusia yaitu sifat „ayam‟ disamakan dengan sifat manusia, yang

artinya manusia yang dinasehati (lawan tutur) dengan pepatah tersebut sifatnya

sudah hampir sama dengan „ayam‟ dan yang menasihati (penutur) tingkat


(3)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian peribahasa bahasa Melayu Riau lebih dilihat dan dimaknai sebagai nilai-nilai dasar yang menjadi patokan, berprilaku dan sekaligus mengajarkann masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang selaras dan seimbang. Pada masa sekarang ini ditemukan kenyataan bahwa anak muda zaman sekarang di daerah Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti sudah jarang menggunakan peribahassa dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka anggap bahwa peribahasa sudah kuno dan kampungan. Orangtua sekarang ini, sudah jarang menasihati anak-anaknya dengan peribahasa, dan ketua adat setempat juga sudah jarang menggunakan peribahasa, kalaupun dipakai hanya sesekali saja.

Dalam peribahasa terkandung makna idiomatikal. Untuk memahami makna idiomatikal ini perlu diketahui apa yang dimaksud dengan idiom. Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang

maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Makna idiomatikal dalam peribahasa bahasa Melayu Riau, umpamanya menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Jenis idiom yang disebut ungkapan idiomatik


(4)

ini dapat disejajarkan dengan apa yang oleh dinamakan idiom sememik. Idiom sememik dapat diberi contoh yaitu peribahasa. Bagai anjing dengan kucing. Secara harfiah makna yang terkandung dalam perumpamaan bagai anjing dengan kucing adalah sebagai berikut. Kucing dan anjing di dalam sejarah kehidupan kita memang merupakan dua ekor binatang yang tidak pernah rukun. Entah apa sebabnya. Secara idiomatis perumpamaan bagai anjing dengan kucing diumpamakan kepada hal dua orang yang selalu bertengkar.

Ungkapan sebagai masalah ekspresi dalam pertuturan akan bertambah dan berkurang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut dan kreativitas penutur bahasa tersebut dalam menggunakan bahasanya. Namun, tidak sedikit ungkapan yang telah menetap dan digunakan orang terus-menerus, sampai sekarang. Misalnya, tebal muka, duduk perut, tamu yang tak diundang dan sebagainya. Oleh karena itulah disebut bentuk-bentuk tersebut dengan nama rangkaian tetap atau frase idiomatikal.

5.2 Saran

Dari penelitian yang dilakukan tentang makna idiomatikal dalam peribahasa bahasa Melayu Riau, ternyata peribahasa ini berfungsi sekali dalam kehidupan masyarakat Melayu karena mengajari manusia untuk berbicara secaara halus, sopan, santun dan berbudi bahasa. Tetapi sangat disayangkan sekali, generasi muda di daerah Kab. Kepulauan Meranti, khususnya Kota Selatpanjang sudah tidak menggunakan peribahasa itu lagi dalam berkomunikasi.


(5)

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi remaja untuk menyadari dan menerapkan peribahasa yang dibuat dalam bentuk Muatan Lokal sebagai salah satu mata pelajaran tambahan di sekolah; Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, atau Sekolah Menengah Atas, bagi orang tua dan Ketua Adat pepatah nasihat disosialisasikan sebagai acuan pedoman hidup; dalam bergaul, dan bersopan santun dalam berbahasa agar membangun karakter dan moral berbahasa, berbudaya dan adat-istiadat seperti pepatah mengatakan “Adat Menunjukkan Bangsa”.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika.

Djajasudarma, T. Fatimah, dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://bahasindo.blogspot.com/2012/08/peribahasa.html

Ipeh, Dunis, dkk. 1997. Pepatah-Petitih dalam bahasa Dayak Ngaju. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Piah, Mat Harun. 1962. Puisi Melayu.

Parera, D.J. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa Bandung.

Ullmann, Stephen. 1977. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wumbu, B., Indra, dkk., 1992. Ungkapan Tradisional yang ada Kaitannya dengan Sila-Sila dalam Pancasila daerah Sulawesi Tengah. Palu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.