Paradigma Kontstrutivistik URAIAN TEORITIS

utama adalah kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis ataupun politis. Realitas yang ada di media merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi politik. Stuart Hall Eriyanto, 2004: 34 mengungkapkan realitas secara sederhana dapat dilihat sebagai salah satu set fakta, tapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Media bisa menjadi subjek dalam menafsirkan dan member defenisi sendiri terhadap suatu realitas untuk disebarkan pada khalayak. Sehingga isi dan struktur media bukan sesuatu yang bersifat netral, melainkan sebuah konstruksi yang bersifat subjektif. Media pada akhirnya harus dipahami dalam keseluruhan produksi dan tahap-tahapnya serta struktus sosial yang ada.

II.2 Paradigma Kontstrutivistik

Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Ilmu komunikasi dapat dikategorikan dalam ilmu pengetahuan yang mempunyai aktivitas penelitian yang bersifat multi paradigma. Paradigma merupakan orientasi dasar untuk teori dan riset. Pada umumnya suatu paradigma 20 Universitas Sumatera Utara keilmuan merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Deddy Mulyana 2003 menyebut paradigma sebagai suatu ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa. Pada dasarnya terdapat beberapa Paradigma komunikasi yaitu, Paradigma klasik, paradigma konstrutivistik dan teori kritis. Terlepas dari segala variasinya, perbedaan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain dapat dikelompokkan berdasarkan hal yang mendasar. Hal-hal tersebut adalah hal yang berkaitan dengan konsep dan ide dasar ilmu sosial, atau asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, opsi moral, serta komitmen terhadap nilai- nilai tertentu. Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistik paradigma klasik dan memiliki sifat yang sama dengan positivistik, sedangkan yang membedakan objek kajiannya adalah dalam memandang realitas sosial. Positivistik berangkat dari sistem dan struktur sosial sedangkan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Sedangkan teori kritis sendiri adalah anak cabang pemikiran marxis. pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial Eriyanto, 2001: 46. Sedangkan tujuan paradigma kritis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan 21 Universitas Sumatera Utara penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstrutivistik, ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif, paradigma konstrutivistik lebih sesuai dan juga sesuai dengan judul yang akan diteliti oleh penulis dibandingkan menggunakan paradigma yang lain. Biasanya, penelitian yang dipakai dalam penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dan memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain. Paradigma konstruktivis dalam ilmu sosial merupakan sebagai kritik terhadap ilmu sosial positivistik. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas sosial secara ontologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan. Realitas sosial yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistik. Secara epistomologis, paradigma konstrutivistik menganggap pemahaman suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan hal yang diteliti. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu sosial ini memahami realitas sosial, ilmu bersifat netral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan paradigma ini bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Menurut Zainuddin Maliki dalam website www.halimsani.wordpress.com Konstruktivistik dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas 22 Universitas Sumatera Utara bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkontruksi realitas sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karena itu tugas ilmu sosial dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruksi melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah struktural. Hasil pemikiran Weber dari tindakan sosial dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas sosial dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan aktor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,”masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat”. Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial. Konstruksi sosial berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu.

II.3 Analisis Semiotika