Diskusi 19. Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh

SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID PEER Cycle 3 No.ISSN: 2477­6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015 199 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai Gambar 5. Perkembangan Populasi Penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat dari Tahun 2003 hingga Tahun 2014 BPS Aceh Barat, 2015.

5. Diskusi

Proses rekonstruksi Aceh setelah 11 tahun peristiwa tsunami di tahun 2004 memperlihatkan beberapa perubahan mendasar dari aspek tata ruang. Hal­hal penting yang ditemukan adalah dimasukkannya unsur evakuasi kota dalam jaringan transportasi serta penetapan titik­titik aman. Namun, jika dibandingkan dengan proses rekonstruksi Jepang pasca tsunami tahun 2011, maka Aceh tidak memiliki konsep mitigasi tsunami yang jelas di kawasan pantainya. Kawasan Tohoku yang dibangun kembali pasca tsunami Tahun 2011 menetapkan sejumlah konstruksi fisik yang dibangun untuk mengantisipasi tsunami dengan perulangan setiap 150 tahun Koshimura et al., 2014. Di beberapa tempat di kawasan Tohoku dapat ditemukan pembangunan dinding laut untuk memenuhi skenario pencegahan dampak kerusakan tsunami dengan perulangan 150 tahun tersebut. Hal serupa tidak ditemukan di Aceh. Namun demikian, pendekatan hard structures yang diadopsi di Jepang bukanlah satu­satunya cara untuk mitigasi tsunami. Penataan kawasan pantai dengan soft structures, seperti pembangunan sabuk hijau dapat menjadi alternatif mitigasi bencana tsunami. Jika merujuk pada RTRW Banda Aceh Tahun 2009­2029, konsep sabuk hijau tersebut telah disebutkan. Penanaman pohon bakau jenis Rhizopora sp. dengan kepadatan 0.2 pohonm 2 dan diameter pohon di atas 15 cm dan ketebalan garis hutan sekitar 400 m sejajar garis pantai akan mampu mereduksi energi gelombang tsunami hingga 30 Yanagisawa et al., 2009. Meskipun kinerja hutan bakau masih terdapat beberapa hal yang belum begitu jelas Marois dan Mitsch, 2015, seperti tingkat efektifitas kinerja bakau dikaitkan dengan besaran gelombang tsunami, namun hutan bakau memberikan alternatif bagi kota­kota pantai yang sulit membangun konstruksi mitigasi tsunami karena alasan estetika dan dukungan finansial. Namun demikian, seperti diuraikan di bagian terdahulu, faktanya kedua kota belum secara konsisten menerapkan upaya tersebut sekalipun disebutkan dalam RTRW yang saat ini berlaku. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami jika dibandingkan dengan proses yang terjadi di Jepang pasca tsunami tahun 2011, berlangsung relatif cepat. Beberapa hal turut mendorong percepatan proses pemulihan Aceh. Namun, seringkali proses yang cepat tersebut tidak mempertimbangkan kebutuhan upaya pengurangan SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID PEER Cycle 3 No.ISSN: 2477­6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015 200 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai risiko dalam jangka panjang Khazai et al., 2006. Hal ini dapat dilihat dari aspek kontrol pemukiman dan kepadatan penduduk sebagaimana yang terjadi di Banda Aceh dan Meulaboh. Di sisi lain, skenario keberlanjutan pemulihan Aceh setelah BRR Aceh­ Nias tidaklah begitu jelas arah pemulihannya. Hal ini berbeda dengan rekonstruksi Jepang yang memiliki target 5 dan 10 tahunan proses pemulihan yang lebih rinci dan terarah Leelawat et al., 2015. BRR Aceh­Nias yang mengakhiri masa kerjanya pada April 2009 menyerahkan proses pemulihan Aceh kepada Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh selanjutnya membentuk Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh BKRA. Lembaga ini merumuskan proses lanjutan pemulihan Aceh untuk hanya kurun waktu 3 tahun, yaitu dari Tahun 2010 hingga Tahun 2012. Dalam empat sasaran kerja BKRA ini juga lebih menitikberatkan proses lanjutan BRR Aceh Nias dan relatif sedikit alokasi kegiatan yang berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana tsunami dalam jangka panjang lihat Pemerintah Aceh, 2009. Skenario pemulihan fase kedua tahun ke­5 hingga tahun ke­10 tidak memiliki rujukan kongkrit selain melanjutkan apa yang telah dilaksanakan oleh BRR. Hal serupa juga dapat dilihat pada proses penyusunan tata ruang kota­kota di Aceh yang belum secara optimal mempertimbangkan keberlanjutan proses pemulihan tersebut. Sebagaimana diuraikan di atas, Kota Meulaboh dan Banda Aceh menetapkan Qanun RTRW nya pada fase kedua proses pemulihan tersebut.

6. Kesimpulan